Anda di halaman 1dari 34

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN JULI 2017


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

PTERYGIUM

OLEH :

MAGFIRAH NASARUDDIN
10542 039112

PEMBIMBING :

dr. RAHASIAH TAUFIK, Sp.M (K)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2017
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Magfirah Nasaruddin

NIM : 10542 039112

Kasus : Pterygium

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu
Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, Juli 2017


Pembimbing

(dr. Rahasiah Taufik, Sp.M (K))


BAB I

LAPORAN KASUS

A. Identifikasi Pasien
Nama : Ny. N

Umur : 36 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : JL. Barombong Makassar

Agama : Islam

Pekerjaan : IRT

Tanggal masuk rumah sakit : 12 Juli 2017 (Rumah Sakit Syekh Yusuf)

B. Anamnesis

Keluhan Utama : Mata kanan tertutup selaput berbentuk segitiga yang terasa

mengganjal.

Anamnesis Terpimpin : Ny. N 36 tahun, datang dengan keluhan mata kanan

tertutup selaput berbentuk segitiga yang terasa mengganjal. Keluhan ini

dirasakan pasien sejak + 3 bulan yang lalu, yang makin lama mengganggu

penglihatan. Pasien juga kadang merasa matanya perih. Awal sebelum muncul

selaput, mata pasien memang nampak merah seperti urat-urat, lama kelamaan

membentuk selaput, hingga sebesar sekarang. Selain itu, mata kanan terasa gatal

terutama bila terkena angin, kadang-kadang terasa perih dan mata berair.

Riwayat Penyakit Terdahulu :


Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama sebelumnya (-)
Riwayat Pengobatan :
(-)
Riwayat Penyakit Keluarga dan sosial
(-)
C. Status General
Kepala : Bentuk bulat,simetris, rambut tidak mudah dicabut
Mata : Lihat status oftalmologis
Leher : Tidak ada pembesaran KGB dan nyeri tekan (-)
Thoraks : Simetris kiri dan kanan
Pulmo : Ronkhi -/-, Wheezing -/-
Jantung : Dalam batas normal
Abdomen : Dalam batas normal
Ekstremitas : Dalam batas normal

D. Status Lokalisasi Oftalmologis


OD OS
Palpebra Edema (-) Edema (-)
Silia Normal, sekret (+) Normal, sekret (-)
Apparatus lakrimasi (+) lakrimasi (-)
lakrimalis
Konjungtiva Agak Hiperemis (+) Hiperemis(-),
Bola mata Normal Normal
Kornea Normal Normal
Bilik Mata Normal Normal
Depan
Iris Coklat, Kripte (+) Coklat, kripte (+)
Pupil Bulat, Sentral, Bulat, Sentral, RC
RC(+) (+)
Lensa Jernih Jernih
Mekanisme Ke segala arah Ke segala arah
muscular
E. Pemeriksaan Palpasi
Palpasi OD OS
Tensi Ukuler Tn Tn
Nyeri tekan (-) (-)
Massa tumor (-) (-)
Glandula Tidak ada Tidak ada
Preaurikuler Pembesaran pembesaran

F. Visus
VOD : 20/40 (tanpa dikoreksi)
VOS : 20/20 (tanpa dikoreksi)
G. Diagnosis Kerja
OD Ptrigium
H. Penatalaksanaan
C. Hyalub 6x1 gtt OD
I. Prognosis
- Ad vitam : bonam
- Ad visam : bonam
- Ad kosmeticam : bonam
- Ad sanationam : bonam

J. Resume
Ny. N 36 tahun, datang dengan keluhan mata kanan tertutup selaput berbentuk
segitiga yang terasa mengganjal. Keluhan ini dirasakan pasien sejak + 3 bulan
yang lalu, yang makin lama mengganggu penglihatan. Pasien juga kadang
merasa matanya perih. Awal sebelum muncul selaput, mata pasien memang
nampak merah seperti urat-urat, lama kelamaan membentuk selaput, hingga
sebesar sekarang. Selain itu, mata kanan terasa gatal terutama bila terkena
angin, kadang-kadang terasa perih dan mata berair.
Pada pemeriksaan oftalmoskopi OD didapatkan lakrimasi (+), konjugtiva agak
kemerahan (+), tampak selaput berbentuk segitiga di daerah nasal dengan apeks
melewati limbus tetapi tidak melewati pupil, visus VOD : 20/40, visus VOS ;
20/20
K. Pembahasan
Pasien ini datang dengan keluhan. N 36 tahun, datang dengan keluhan

mata kanan tertutup selaput berbentuk segitiga yang terasa mengganjal.

Berdasarkan informasi tersebut saya memikirkan beberapa kemungkinan

diagnosis banding pada kasus ini yaitu pingekuela, dan pseudoptrigium

Kemungkinan diagnosis pseudoptrigium dan pingekuela dapat

disingkirkan karena pada penderita ini tidak ada riwayat peradangan

sebelumnya.

Pada kasus, pasien mengeluhkan adanya rasa mengganjal pada mata

kanan dan disertai gejala iritasi, yakni pasien kadang merasakan nyeri pada

mata kanan disertai mata yang berair. Selain itu pasien juga menyadari adanya

selaput yang muncul di mata kanannya dan semakin lama semakin membesar.

Dari hasil pemeriksaan fisik juga ditemukan adanya selaput fibrovascular

berbentuk segitiga dari canthus medialis mata kanan dan meluas yang melewati

limbus tetapi tidak melewati pupil. Dari perluasan tersebut, maka dapat

disimpulkan pasien memiliki pterigium derajat 2.

Setelah dilakukan pemeriksaan oftalmologi didapatkan lakrimasi (+),

konjugtiva agak kemerahan (+), tampak selaput berbentuk segitiga di daerah

nasal dengan apeks melewati limbus tetapi tidak melewati pupil, visus VOD :

20/40, visus VOS ; 20/20.

Prognosis pterygium yaitu penglihatan dan kosmetik setelah dieksisi akan

baik. Rasa tidak nyaman pada hari pertama setelah operasi dapat

ditoleransi,kebanyakan pasien setelah 48 jam setelah operasi dapat beraktivitas

kembali. Pasien dengan pterygium berulang dapat dilakukan eksisi ulang.


Gambar 1. Pasien
BAB I
PENDAHULUAN

Pterigium merupakan penyakit yang berpotensi menyebabkan kebutaan dan

mengganggu kosmetik, pada stadium lanjut memerlukan tindakan operasi untuk

perbaikan visus. Adanya faktor-faktor resiko, penyebab dan distribusi penyakit ini

berguna untuk memberikan strategi yang tepat dalam pencegahan terjadinya pterigium.1

Angka prevalensi pterigium sangat besar (0,731%), berkisar 1,2% ditemukan di

daerah urban pada orang kulit putih dan 23,4% di daerah tropis Barbados pada orang

kulit hitam. Di Amerika Serikat, angka prevalensi 2% (bagian Utara) sampai 7%

(bagian Selatan). Prevalensi ini berbeda-beda di antara jenis ras, luas dan lamanya

paparan sinar matahari. Umumnya angka prevalensi pterigium pada daerah tropis lebih

tinggi dibandingkan daerah lainnya. Berbagai teori patogenesis pterigium menunjukkan

paparan sinar ultra violet merupakan penyebab utama terjadinya pterigium. 1

Di daerah tropis seperti Indonesia, dengan paparan sinar matahari tinggi, risiko

timbulnya pterigium 44 lebih tinggi dibandingkan daerah non-tropis, dengan

prevalensi untuk orang dewasa > 40 tahun adalah 16,8%; laki-laki 16,1% dan

perempuan 17,6%.1,6,8 Hasil survei morbiditas oleh Departemen Kesehatan Republik

Indonesia pada tahun 19931996, angka kejadian pterigium sebesar 13,9% dan

menempati urutan kedua penyakit mata. Di Sulawesi Selatan, pterigium menduduki

peringkat kedua dari sepuluh macam penyakit utama dengan insidens sekitar 8,2%.1

Menurut penelitian dari Erry dkk yaitu pada daerah dekat khatulistiwa seperti

Sumatera Barat, Maluku Utara, Kalimantan Barat dan Sulawesi Tengah terlihat

prevalensi pterigium lebih tinggi. Karena daerah yang dekat khatulistiwa sinar UV. B
lebih tinggi intensitasnya sehingga dapat menyebabkan perubahan seluler pada limbus

kornea bagian medial. Hal ini sesuia dengan pernyataan Cameron yang menyatakan

angka kejadiaan pterigium semakin meningkat bila mendekati garis khatulistiwa.

Khususnya daerah yang berada di antara 37 lintang utara dan 37 lintang selatan yang

disebut dengan pterygium.2

Suatu penelitian epidemiologi di Adelaide (Australia) menemukan faktor risiko

independen terjadinya pterigium berhubungan dengan umur, jenis kelamin (laki-laki),

daerah tinggal (desa) dan paparan sinar matahari. Hal ini tidak jauh berbeda dengan di

Indonesia di mana prevalensi pterigium juga akan meningkat dengan bertambahnya

umur . Prevalensinya juga lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan, Karena laki-

laki lebih banyak melakukan aktivitas diluar ruangan sehingga lebih sering

berhubungan dengan faktor risiko terjadi pterigium seperti sinar ultraviolet, debu, angin

dan udara yang kering. Sesuai pula dengan bidang pekerjaan yang mana pekerja tani

dan nelayan yang kebanyakan tidak tamat sekolah dasar dengan tingkat pengeluaran

rumah tangga yang rendah dan tinggal didesa yang menderita pterigium lebih tinggi.

Hal ini perlu dicermati karena tingkat pendidikan rendah sehingga pengetahuan

mengenai penyakit mata sangat minim ditambah pula dengan akses pelayan kesehatan

yang mereka dapatkan sangat minimal sehingga kelompok ini sangat rentan terhadap

penurunan tajam penglihatan sampai dengan kebutaan.2


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi

1. Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membrane yang menutupi sclera dan kelopak bagian

belakang. Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh Sel Goblet

yang berfungsi membasahi bola mata terutama kornea. Bermacam-macam obat mata

dapat diserap melalui konjungtiva ini.3

Konjungtiva terdiri atas tiga bagian yaitu :3

Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, sukar digerakkan dari tarsus.

Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera di

bawahnya

Konjungtiva fornises atau forniks konjungtiva yang merupakan tempat peralihan

konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi.

Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang

membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan

permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersatu dengan kulit

pada tepi kelopak (persambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea di limbus.

Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat

erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke posterior

(di forniks superior dan inferior) dan membungkus episklera dan menjadi

konjungtiva bulbaris. Konjugtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbita di

forniks dan melipat berkali-kali. Lipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan

memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik.4


Gambar 2. Anatomi Kongjungtiva

2. Kornea

Kornea adalah jaringan transparan yang ukuran dan strukturnya sebanding

dengan kristal sebuah jam tangan kecil. Kornea ini disisipkan kedalam sklera

pada limbus, lekukan melingkar pada sambungan ini disebut sulcus scleralis.4

Gambar 3. Anatomi Kornea


B. Histologi

1. Konjungtiva

Lapisan epitel konjungtiva terdiri dari dua hingga lima lapisan epitel silinder

bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, di atas

karunkula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri dari

sel-sel epitel skuamosa. Sel-sel epitel superfisial mengandung sel-sel goblet bulat

atau oval yang mensekresikan mukus. Mukus mendorong inti sel goblet ke tepi dan

diperlukan untuk dispersi lapisan airmata secara merata di seluruh prekornea.4

Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid dan satu lapisan

fibrosa. Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan di beberapa tempat

mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum. Lapisan

fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus.

Kelenjar air mata asesori (kelenjar Krause dan wolfring) yang struktur dan

fungsinya mirip kelenjar lakrimal, terletak didalam stroma. Sebagian besar

kelenjar Krause berada di forniks atas dan sedikit ada di forniks bawah. Kelenjar

wolfring terletak di tepi atas tarsus atas. 4,5

Arteri-arteri konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri

palpebralis, kedua arteri ini beranastomosis dan bersama dengan banyak vena

konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring-jaring

vaskular konjungtiva yang banyak sekali. Konjungtiva menerima persarafan dari

percabangan (oftalmik) pertama nervus V. Saraf ini hanya relatif sedikit

mempunyai serat nyeri. 4


Gambar 4. Histologi Kongjungtiva

2. Kornea

Kornea dewasa rata-rata mempunyai tebal 550 m dipusatnya (terdapat

variasi menurut ras); diameter horizontalnya sekitar 11,75 mm dan vertikalnya

10,6 mm. Dari anterior ke posterior, kornea mempunyai lima lapisan yang

berbeda-beda: lapisan epitel (yang berbatasan dengan lapisan epitel konjungtiva

bulbaris), lapisan Bowman, stroma, membran descemet, dan lapisan endotel.

Lapisan epitel mempunyai lima atau enam lapisan sel. 4

Lapisan Bowman merupakan lapisan jernih aselular, yang merupakan

bagian stroma yang berubah. Stroma kornea menyusun sekitar 90% ketebalan

kornea. Bagian ini tersusun atas jalinan lamella serat-serat kolagen dengan lebar

sekitar 10-250 m dan tinggi 1-2 m yang mencakup hampir seluruh diameter

kornea. Lamella ini berjalan sejajar dengan permukaan kornea, dan karena ukuran

dan kerapatannya menjadi jernih secara optis. Lamella terdapat didalam suatu zat

dasar proteoglikan terhidrasi bersama keratosit menghasilkan kolagen dan zat


dasar. Membran descemet yang merupakan lamina basalis endotel kornea,

memiliki tampilan yang homogen dengan mikroskop cahaya tetapi tampak

berlapis-lapis dengan mikroskop elektron akibat perbedaan struktur antara bagian

pra dan pasca nasalnya. Endotel hanya memiliki satu lapis sel, tetapi lapisan ini

berperan besar dalam mempertahankan deturgesensi stroma kornea. Endotel

kornea cukup rentan terhadap trauma dan kehilangan sel-selnya seiring dengan

penuaan. Reparasi endotel terjadi hanya dalam wujud pembesaran dan pergeseran

sel-sel, dengan sedikit pembelahan sel. Kegagalan fungsi endotel akan

menimbulkan edema kornea. 4

Sumber-sumber nutrisi untuk kornea adalah pembuluh-pembuluh darah

limbus, humor aqueous, dan air mata. Kornea superfisial juga mendapatkan

sebagian besar oksigen dari atmosfir. Saraf-saraf kornea didapat dari cabang

pertama (opthalmicus) nervus kranialis V (trigeminus). 4

Transparansi kornea disebabkan oleh strukturnya yang seragam,

avaskularitas, dan deturgesensinya. 4

Gambar 5. Histologi Kornea


B. Definisi Pterigyum

Pterigium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskular konjungtiva yang

bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah

kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke kornea

berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea.

Gambarannya seperti sayap klasik (sesuai dengan asal katanya dari bahasa Yunani

pteron) yang artinya sayap kecil.3,6

Pterigium merupakan konjungtiva bulbi patologik yang menunjukkan

penebalan, berupa lipatan berbentuk segituga yang tumbuh menjalar ke dalam

kornea, dengan puncak segitiganya di kornea, kaya akan pembuluh darah yang

menuju kearah puncak pterigium . kebanyakan pterigium ditemukan di bagian nasal,

dan bilateral.7,8

Pterigium biasanya berbentuk segitiga dengan bagian cap, head, and body. Cap

terletak di bagian tepi pterigium yang disusun oleh gray subephitelial corneal

opacity, yang juga disebut daerah abu-abu. Bagian head pterigium adalah

peninggian massa yang melekat kuat pada jaringan episklera di bawahnya. Bagian

body pterigium merupakan jaringan fibrovaskuler yang dibatasi oleh lipatan

konjungtiva normal.8

Pterigium primer umumnya berasal dari konjungtiva yang merupakan

perambahan berbentuk segitiga dari jaringan konjungtiva bulbi menuju kornea dan

telah diyakini bahwa pterigium merupakan gangguan kronik dengan distribusi

geografis yang berbeda dan hubungannya dengan paparan sinar matahari.6

Pterigium dapat digolongkan sebagai pterigium primer atau pterigium

berulang, Lesi berulang biasanya merupakan lesi yang lebih agresif, yang secara
cepat terjadi beberapa minggu hingga beberapa bulan setelah eksisi dari pterigium

primer.6

C. Epidemiologi
Ptrigium terbesar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas

dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Factor yang sering

mempengaruhi adalah daerah dekat equator, yakni daerah <37o lintang utara dan

selatan dari equator. Prevalensi tinggi sampai 22% di daerah dekat equator dan

kurang dari 2 % pada daerah di atas <40o. 10

Pasien di bawah umur 15 tahun jarang terjadi ptrigium. Prevalensi ptrigium

meningkat dengan umur, terutama decade ke 2 dan ke 3 dari kehidupan. Insiden

tinggi pada umur antara 20 dan 49 tahun. Rekuren lebih sering pada umur muda

daripada umur tua. Laki-laki 4x kali lebih resiko dari perempuan.10

D. Faktor Resiko
Banyak penelitian telah berusaha mengkorelasikan epidemiologi dan fitur

geografis dari prevalensi pterigium dengan berbagai faktor risiko pterigium. Dari

penelitian didapati bahwa faktor risiko untuk perkembangan pterigium didominasi

oleh lingkungan alam, seperti matahari dan radiasi ultraviolet juga iritasi kronik dari

partikel-partikel udara. Beberapa penelitian juga menyebutkan adanya keterlibatan

faktor herediter.6,9,10

1. Radiasi ultraviolet

Faktor risiko utama untuk perkembangan pterigium adalah paparan terhadap

sinar ultraviolet (UV). Penipisan lapisan ozon pada dekade terakhir ini, memiliki

efek pada peningkatan radiasi ultraviolet dan berikutnya memiliki efek pada

peningkatan insidensi penyakit yang berhubungan dengan sinar matahari seperti

pterigium, katarak dan keratopathy. 6,10


Cahaya matahari yang diabsorbsi oleh kornea dan konjungtiva memicu

kerusakan sel yang selanjutnya berproliferasi. Percobaan yang dilakukan pada tikus

telah menunjukkan bahwa radiasi ultraviolet menyebabkan hiperplasia sel dan

degenerasi membran Bowman. 6,10

Tinggi rendahnya sinar matahari yang jatuh pada mata dipengaruhi oleh faktor

lokal dan faktor eksternal. Kelengkungan kornea, kedalaman bilik anteriordan

penonjolan okular merupakan faktor lokal, sementara faktor eksternal meliputi

lintang, medan reflektif seperti permukaan datar horizontal, paparan terhadap pasir,

serpihan beton, hamparan salju, waktu di luar ruangan,penggunaan kacamata dan

topi. 6,10

2. Faktor genetik

Beberapa kasus dilaporkan bahwa ada sekelompok anggota keluarga

mengalami pterigium. Dari penelitian case control menunjukkan apabila terdapat

riwayat keluarga dengan pterigium, maka kemungkinan pterigium akan diturunkan

secara autosomal dominan. Walaupun pada kasus, faktor risiko utama yakni radiasi

ultraviolet tidak bisa dipisahkan. Disamping itu, onkogen p53 diduga sebagai marker

yang mungkin berperan dalam pterigium. 6,10

3. Faktor Risiko Lain

Iritasi kronik atau inflamasi yang terjadi pada area limbus atau perifer kornea

merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal

defisiensi, dan saat ini mendukung teori baru patogenesis pterigium. Selain itu, debu,

kelembaban yang rendah, dan trauma kecil dari bahan partikel tertentu,dry eye dan

virus papiloma juga diduga dapat menyebabkan pterigium. Wong juga menunjukkan

adanya faktor angiogenesis pterigium dan penggunaan farmakoterapi

antiangiogenesis sebagai terapi. 6,10


E. Patogenesis
Konjungtiva merupakan organ yang secara selektif memberikan perlindungan

atas bagian dalam sistem mata terhadap dunia luar. Konjungtiva dalam tugasnya

sebagai pelindung sering kali terpapar pada berbagai jenis perusak, seperti kuman,

debu, alergen, aerosol, gas toksik, dan berbagai jenis radiasi. 6

Konjungtiva yang selalu berhubungan dengan dunia luar adalah konjungtiva

bulbi. Adanya kontak denganUV, debu, kekeringan mengakibatkan penebalan dan

pertumbuhan konjungtiva bulbi ke kornea. Pterigium biasanya bilateral karena kedua

mata memiliki kemungkinan terpapar dengan UV dan debu. Semua kotoran pada

konjungtiva akan menuju ke bagian nasal lalu ke pungtum lakrimalis dan dialirkan

ke meatus nasi inferior. Disamping kontak langsung, nasal konjungtiva juga secara

tidak langsung mendapat sinar UV akibat pantulan dari hidung sehingga bagian

nasal lebih sering terkena daripada temporal pterigium.6

Menurut American Academy of Oplthalmology , hingga saat ini etiologi

pterigium tidak diketahui dengan jelas.Tetapi penyakit ini lebih sering pada orang

yang tinggal di daerah yang panas.Oleh karena itu gambaran yang paling dapat

diterima tentang hal ini adalah respon terhadap faktor-faktor lingkungan seperti

paparan terhadap matahari (ultraviolet), daerah kering,inflamasi, daerah angin

kencang dan debu atau faktor iritan lainnya. Pengeringan lokal dari kornea dan

konjungtiva yang disebabkan kelainan tear film menimbulkan pertumbuhan

fibroplastik baru merupakan salah satu teori. 6,10

Ultraviolet adalah mutagen untuk tumor supresor gene p53 pada limbal basal

stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta diproduksi dalam

jumlah berlebihan dan menimbulkan proses kolagenase meningkat. Sel-sel

bermigrasi dan membentuk angiogenesis. Akibatnya terjadi perubahan degenerasi


kolagendan terlihat jaringan subepitelial fibrovaskular. Pada jaringan subkonjungtiva

terjadi degenerasi elastoik, proliferasi jaringan vaskular di bawah epitel yang

selanjutnya menembus dan merusak kornea. Kerusakan pada kornea terdapat pada

lapisan membran bowman oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular, yang sering

disertai dengan inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang

terjadi dysplasia.6,10

Pada kornea penjalaran pterygium mengakibatkan kerusakan epitel kornea dan

membran bowman. Pada bentuk dini, perigium sukar dibedakan dengan pinguecula.

Pada bagian puncak pterygium dini terlihat bercak-bercak kelabu yang dikenal

sebagai pulau-pulau Fuchs. Garis Stocker (garis yang terpigmentasi oleh zat besi)

dapat terlihat pada pterygium lanjut di kornea.11

Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan

defisiensi limbal stem cell, terjadi pembentukan jaringan konjungtiva pada

permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke

kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran basement dan

pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterigium dan

karenan itu banyak penelitian menunjukkan bahwa pterigium merupakan manifestasi

dari defisiensi atau disfungsi limbal stem cell. Kemungkinan akibat sinar ultraviolet

terjadi kerusakan limbal stem cell di daerah interpalpebra.6,10

Pemisahan fibroblast dari jaringan pterigium menunjukkan perubahan

phenotype, pertumbuhan lebih baik pada media mengandung serum dengan

konsentrasi rendah dibanding dengan fibroblast konjungtiva normal. Lapisan

fibroblast pada bagian pterigium menunjukkan proliferasi sel yang berlebihan. Pada

fibroblast pterigium menunjukkan matrix metalloproteinase, dimana matriks

ekstraselluler berfungsi untuk jaringan yang rusak, penyembuhan luka, mengubah


bentuk. Hal ini menjelaskan mengapa pterigium cenderung terus bertumbuh, invasi

ke stroma kornea, dan terjadi reaksi fibrovaskular dan inflamasi. 6,10

Gambar 6. Patogenesis Pterygum

F. Gejala Klinis

Pada fase awal, pterigium tidak memberikan keluhan atau hanya menimbulkan

keluhan mata merah, iritatif, dan keluhan kosmetik. Pterigium lebih sering dijumpai

pada laki-laki yang bekerja di luar rumah. Bisa unilateral atau bilateral. Kira-kira

90% terletak di daerah nasal. Pterigium yang terletak di nasal dan temporal dapat

terjadi secara bersamaan walaupun pterigium di daerah temporal jarang ditemukan.

Kedua mata sering terlibat tetapi jarang simetris. Perluasan pterigium dapat sampai

ke medial dan lateral limbus sehingga menutupi sumbu penglihatan yang

menyebabkan penglihatan kabur. 6,10

Secara klinis pterigium muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada

konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah fissura interpalpebra. Biasanya pada
bagian nasal tetapi dapat juga terjadi pada bagian temporal. Deposit besi dapat

dijumpai pada bagian epitel kornea anterior dari kepala pterigium. 8,10,11

Pterigium dibagi menjadi tiga bagian yaitu: body, apex (head) dan cap. Bagian

segitiga yang meninggi pada pterigium dengan dasarnya ke arah kantus disebut

body, sedangkan bagian atasnya disebut apex dan ke belakang disebut cap. 11

Pembagian pterigium berdasarkan perjalanan penyakit dibagi atas 2 tipe, yaitu

progresif dan regresif :

Progresif pterigium: tebal dan banyak pembuluh darah dengan beberapa infiltrat

di depan kepala pterigium (disebut cap pterigium).

Regresif pterigium: tipis, atrofi, sedikit pembuluh darah. Akhirnya membentuk

membrane, tetapi tidak pernah hilang.

Sementara itu, pembagian lain pterigium yaitu: 8,10,11

1. Tipe I: meluas kurang 2 mm dari kornea. Stoker's line atau deposit besi dapat

dijumpai pada epitel kornea dan kepala pterigium. Lesi sering asimptomatis

meskipun sering mengalami inflamasi ringan. Pasien dengan pemakaian lensa

kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat. 8,10,11

2. Type II: menutupi kornea sampai 4 mm, bias primer atau rekuren setelah operasi,

berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan astigmatisma.

3. Type III: mengenai kornea lebih 4 mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang

luas terutama yang rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva

yang meluas ke fornik dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola

mata.

Menurut Donald, Sao-Bing&Jessica, berdasarkan terlihatnya pembuluh darah

episklera di pterigium dan harus diperiksa dengan slit lamp, pterigium dibagi

menjadi 3 yaitu: 8,10,11


1. T1 (atrofi) :pembuluh darah episklera jelas terlihat

2. T2 (intermediet) :pembuluh darah episklera sebagian terlihat

3. T3 (fleshy, opaque) :pembuluh darah tidak jelas terlihat

Gambar 7. Tipe pterigium (Gambar A pterigium tipe atrofi (T1), gambar B


pterigium tipe intermediate (T2), gambar C pterigium tipe fleshy (T3) (Tan, 2002)

Dari beberapa jenis pembagian pterigium, yang lebih umum digunakan adalah

pembagian berdasarkan derajat pterigium. Pterigium juga dapat dibagi menjadi 4 :


8,10,11

1. Derajat 1, jika pterigium belum melewati limbus, hanya terbatas pada limbus

kornea.

2. Derajat 2, jika sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm

melewati kornea. Pterigium belum mencapai pupil.

3. Derajat 3, sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran pupilmata

dalam keadaan cahaya normal (pupil dalam keadaan normal sekitar 34mm)

4. Derajat 4, pertumbuhan pterigium melewati pupil sehingga mengganggu

penglihatan.
Gambar 8 . Derajat pterigium (Gambar A pterigium derajat 1, gambar B
pterigium derajat 2, gambar C pterigium derajat 3, gambar D pterigium derajat
4)

Pterigium pada gradasi awal biasanya asimtomatik. Beberapa keluhan yang

dikeluhkan mirip dengan keluhan dry eye, yaitu berupa rasa terbakar, gatal ataupun

berair. Dengan bertambahnya progresifitas dari pterigium, ukuran lesi semakin

membesar, dan dapat menjadi keluhan secara kosmetik bagi pasien. Pada pterigium

dengan gradasi yang lebih lanjut, dapat menimbulkan gangguan visual, akibat

adanya astigmatisme ataupun karena pterigium menutup visual aksis.

G. Diagnosis

1. Anamnesis

Pada anamnesis didapatkan keluhan berupa mata sering berair dan tampak

merah dan mungkin menimbulkan astigmatisma yang memberikan keluhan

berupa gangguan penglihatan. Keluhan subjektif dapat berupa rasa panas, gatal

atau alasan kosmetik.Pada kasus berat dapat terjadi diplopia, biasanya penderita

mengeluhkan adanya sesuatu tumbuh di kornea dan kuatir akan adanya

keganasan.3,6

2. Pemeriksaan fisik

Pada inspeksi, pterigium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular pada

permukaan konjungtiva. Pterigium dapat memberikan gambaran yang vaskular

dan tebal tetapi ada juga pterigium yang avaskular dan datar. 3,6

3. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk mendiagnosis

pterigiumadalah topografi kornea, yang untuk menilai seberapa besar komplikasi

berupa astigmatisma irregular yang disebabkan oleh pterigium.3,6


H. Diagnosis Banding (2458)

Secara klinis pterigium sering didiagnosis banding dengan kelainan mata yaitu

pinguekula dan pseudopterigium.7

Gambar 9. Pinguekula

Pinguekula adalah kelainan mata yang terdapat pada kunjungtiva bulbi, pada

bagian nasal maupun temporal, di daerah celah kelopak mata. Pinguekula terlihat

sebagai penonjolan berwarna putih kuning keabu-abuan, berupa hipertrofi yaitu

penebalan selaput lendir. Bentuknya kecil, meninggi dan kadangkadang mengalami

inflamasi. Secara histopatologik pada puncak penonjolan ini terdapat degenerasi

hialin. Pinguekula tidak menimbulkan keluhan, kecuali apabila menunjukkan

peradangan sebagai akibat iritasi. Dalam keadaan iritasi, maka dapat disertai seperti

ada benda asing.7

Patogenesis belum jelas, tetapi umumnya diterima, bahwa rangsangan luar

mempunyai peranan pada timbulnya pinguekula. Sebagai rangsangan luar antara lain

adalah panas, debu, sinar matahari, dan udara kering. 7


Umumnya pinguekula tidak memerlukan pengobatan. Pinguekula yang

menunjukan peradangan umumnya diobati untuk menekan peradangannya. Steroid

topical memberi hasil yang mempercepat redanya peradangan.7

Gambar10. Pseudopterygium

Pseudopterigium mirip dengan pterigium, dimana jaringan parut fibrovaskular

timbul pada konjungtiva bulbi menuju kornea. Dapat terjadi dalam proses

penyembuhan suatu ulkus kornea atau kerusakan permukaan kornea, konjungtiva

menutupi luka kornea tersebut, sehingga terlihat seolah-olah konjungtiva menjalar

ke kornea. Keadaan ini disebut pseudopterigium. Pseudopterigium merupakan

kelainan terdapatnya perlengketan konjungtiva dengan kornea yang cacat. Perbedaan

pseudopterigium dengan pterigium adalah: 7

puncak pterigium menunjukkan pulau-pulau Fuchs pada kornea sedangkan

pseudopterigium tidak.

pseudopterigium didahului riwayat kerusakan permukaan kornea sedangkan

pterigium tidak.
Selain kedua hal di atas kadang-kadang dapat dibedakan dengan melihat

pembuluh darah konjungtiva yang lebih menonjol pada pterigium daripada

pseudopterigium. Pada pseudopterigium pembuluh darah konjungtiva sesuai dengan

konjungtiva bulbi normal. Pada pseudopterigium dapat dimasukkan sonde di

bawahnya, sedangkan pada pterigium tidak. Pterigium bersifat progresif sedangkan

pseudopterigium tidak. Pseudopterigium tidak memerlukan pengobatan, serta

pembedahan kecuali sangat menganggun visus, atau alasan kosmetik.7

Diagnosis banding pterigium sangat luas. Massa pada limbus seperti

papilloma, squamous sel karsinoma, melanoma konjungtiva dan pagetoid atau

sebaceous karsinoma. Lesi yang jarang seperti kista epitel, pyogenic granuloma,

keratoacanthoma, adenoma, fibroma, fibrochondroma, fibrous histiocytoma,

angioma, lyphaangioma, Kaposi sarcoma, alveolar endothelioma, neurolommoma,

maligna schwanoma, mycosis fungioides, juvenile xantthagranuloma, leukemia,

episclera osseous christoma, ectopic lacrimal tissue, lipoma, amyloid, blue nevus,

nevus dan limbal dermoid. Namun lesi tersebut mudah dibedakan dengan

pterigium.7

I. Penatalaksanaan

1. Konservatif

Untuk pterigium derajat 1-2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat

diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-

7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan

pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada

kornea.3,6

2. Bedah
Bedah eksisi adalah satu-satunya yang memuaskan pada pengobatan

ptrigium.5 Pada pterigium derajat 3 dan 4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi

pterigium. Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium, bagian konjungtiva bekas

pterigium tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari

konjungtiva bagian superior untuk menurunkan angka kekambuhan. Tujuan

utama pengangkatan pterigium adalah memberikan hasil yang baik secara

kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal mngkin, angka kekambuhan

yang rendah. 6

Penggunaan mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus pterigium

yang rekuren, mengingat komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat.6

3. Indikasi Operasi 5,6

Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus.

Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil.

Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau

karena astigmatisma.

Kosmetik, terutama untuk penderita wanita

4. Teknik Pembedahan 6

Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan,

dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovaskular di limbus ke kornea. Banyak

teknik bedah telah digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara universal

karena tingkat kekambuhan yang bervariasi. Terlepas dari teknik yang digunakan,

eksisi pterigium adalah langkah pertama untuk perbaikan. Banyak dokter mata

lebih memilih untuk memisahkan ujung pterigium dari kornea yang

mendasarinya. Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih cepat, jaringan parut

yang minimal dan halus dari permukaan kornea.


Teknik bedah eksisi pterygium.5

1. Setelah anestesi topikal, mata dibersihkan, kemudian

digunakan spekulum mata universal.

2. Kepala pterygium diangkat dan dibedah

3. Massa utama pterygium kemudian dipisahkan. Dari

sklera di bawah dan konjungtiva secara dangkal.

4. Jaringan pterygium kemudian dilepas.

5. Haemostasis tercapai dan jaringan episklera yang

terkena diawasi secara menyeluruh.

6. Langkah selanjutnya berbeda tergantung tekniknya

yaitu :

1. Bare sclera : tidak ada jahitan, bertujuan untuk menyatukan kembali

konjungtiva dengan permukaan sklera di depan insersio tendon rektus,

menyisakan area sklera yang terkena. (teknik ini sudah tidak dapat diterima

karena tingginya tingkat rekurensi pasca pembedahan yang dapat mencapai 40-

75% dan hal ini tidak direkomendasikan).

2. Simple closure: menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka, dimana

teknik ini dilakukan bila luka pada konjungtiva relatif kecil.

3. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisi untuk

memungkinkan dilakukannya penempatan flap.

4. Rotational flap: dibuat insisi berbentuk huruf U disekitar luka bekas eksisi

untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian diletakkan

pada bekas eksisi.


5. Limbal conjunctival autograft transplantation (LLAT): suatu free graft yang

biasanya diambil dari konjungtiva bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan

ukuran luka kemudian dipindahkan dan dijahit atau difiksasi dengan bahan

perekat jaringan. (misalnya Tisseel VH, Baxter Healthcare, Dearfield, Illionis).

Gambar 11. Histologi Kornea

5. Terapi Tambahan 6

Tingkat kekambuhan yang tinggi terkait dengan operasi terus menjadi

masalah, karena itu terapi tambahan telah dimasukkan ke dalam pengelolaan

pterigium. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat kekambuhan telah


berkurang dengan penambahan terapi ini, tetapi ada komplikasi dari terapi

tambahan ini.

MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena kemampuannya

untuk menghambat fibroblast. Efeknya mirip dengan iradiasi beta. Namun,

dosis minimal yang aman dan efektif belum ditemukan . Ada dua bentuk

MMC yang saat ini digunakan,yaitu aplikasi intraoperatif MMC langsung ke

sklera setelah eksisi pterigium, dan penggunaan obat tetes mata MMC topikal

setelah operasi. Beberapa penelitian sekarang menganjurkan penggunaan

MMC hanya intraoperatif untuk mengurangi toksisitas.

Sehingga, untuk mencegah kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan

pemberian:

- Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari,

bersamaan dengan pemberian dexamethasone 0,1% 4x1 tetes/hari kemudian

tappering off sampai 6 minggu.

- Mitomycin C 0,04% (0,4 mg/ml) 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan

bersamaan dengan salep mata dexamethasone.

J. Komplikasi 6

Menurut Fisher komplikasi pterigium antara lain :

Distrorsi dan penglihatan sentral berkurang

Mata merah

Iritasi

Scar (parut) kronis pada konjungtiva dan kornea

Komplikasi setelah eksisi pterigium adalah:


Infeksi,reaksi bahan jahitan (benang),diplopia,scar kornea,konjungtiva graft

longgar,dan komplikasi yang jarang termasuk perforasi bola mata, vitreous

hemmorage atau retinal detachment.

Penggunaan mytomicin C setelah operasi dapat menyebabkan ektasis pada sklera

dan kornea.

Kekambuhan berulang

Komplikasi jangka panjang setelah operasipterigium, yaitu:

Penipisan kornea atau sklera dapat terjadi bahkan puluhan tahun setelah operasi.

Penatalaksanaan kasus ini sangat sulit.

Beberapa kasus, penggunaan MMC topikal sebagai terapi tambahan dan setelah

operasi pterigium menyebabkan kelainan seperti mencairnya sklera dan atau

kornea

Komplikasi yang paling umum dari pterigium adalah kekambuhan setelah

operasi. Eksisi bedah sederhana memiliki tingkat kekambuhan tinggi sekitar 50-

80%. Tingkat kekambuhan telah dikurangi menjadi sekitar 5-15% dengan

penggunaan autografts konjungtiva atau lumbal atau transplantasi membran pada

saat eksisi. Meskipun jarang,degenerasi ganas jaringan epitel yang melapisi

pterigium dapat terjadi. 6

K. Prognosis

Penglihatan dan kosmetik setelah dieksisi adalah baik. Rasa tidak nyaman

pada hari pertama setelah operasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien setelah 48

jam setelah operasi dapat beraktivitas kembali. Pasien dengan pterigium berulang

dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva autograft atau

transplantasi membran amnion. Sebaiknya dilakukan penyinaran dengan strontium


yang mengeluarkan sinar beta, dan apabila residif maka dapat dilakukan

pembedahan untuk mencegah kekambuhan pterigium (sekitar 50-80%). Pada

beberapa kasus pterigium dapat berkembang menjadi degenerasi ke arah keganasan

jaringan epitel.6

L. Pencegahan

Pasien dengan risiko tinggi timbulnya pterigium seperti riwayat keluarga

mengalami pterigium atau penduduk di daerah tropik yang bekerja di luar rumah

seperti petani yang banyak kontak dengan debu dan UV disarankan memakai topi

yang memiliki pinggiran, dan menggunakan kacamata sunblock dan mengurangi

terpapar dengan sinar matahari. 6


DAFTAR PUSTAKA

1. Shintya, Djajakusli. The Profile of Tear Mucin Layer and Impression Cytology in

Pterygium Patients. Department of Ophthalmology, Faculty of Medicine,

Hasanuddin University/Dr. Wahidin Sudirohusodo General Hospital, Makassar.

Jurnal Oftalmologi Indonesia.Vol. 7. No. 4 Desember 2010.

2. Erry, dkk. Distribusi Dan Karakteristik Pterigium Di Indonesia. Buletin Penelitian

Sistem Kesehatan Vol. 14 No. 1 Januari 2011: 8489.

3. Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum dan Mahasiswa

Kedokteran Edisi ke-2. Jakarta : Balai penerbit FKUI; 2010.

4. Riordan, Paul, Eva. Anatomi dan Embriologi Mata. Dalam Vaughan & Asbury

Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta : EGC; 2011. Hal.8-10.

5. Khurana, AK. Comprehensive Opthalmology Fourth Edition. India:New Age

International Limited Publishers; 2007.

6. repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/.../4/Chapter%20II.pdf. (Diakses pada


tanggal 19 Juli 2017)
7. Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia. Ilmu Penyakit Mata. CV. Sagung
Seto : Jakarta, 2010.
8. erepo.unud.ac.id/9167/.../2458a02207662ce3b1458204d76a02dc. (Diakses pada
tanggal 19 Juli 2017)
9. Achyut, dkk. A Clinical Study of Pterygium and Results of Treatment by Excision
and Limbal Autograft or Augmented with Post-Op Mitomycin C. Open Journal of
Ophthalmology, 2013, 3, 97-102.
10. Laszuarni. Prevalensi Pterygium di Kabupaten Langkat. [tesis]. Departemen Ilmu
Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan : 2010.
11. Emilia Evi. Third Grade Pterygium Of A Farmer. Medical Faculty of Lampung
University. Medula, Volume 2, Nomor 3, Maret 2014.

Anda mungkin juga menyukai