Oleh :
Zenny Wijaya (120 100 187)
Pembimbing :
dr. Asan Petrus, M.Ked (For), Sp.F
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan berkat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul Gigitan Ular
Berbisa.
Penulisan makalah ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan
Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Ilmu Kedokteran Forensik
dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada pembimbing,
dr. Asan Petrus, M.Ked (For), Sp.F, yang telah meluangkan waktunya dan memberikan
banyak masukan dalam penyusunan makalah ini sehingga penulis dapat menyelesaikan tepat
pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik
isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari
pembaca sebagai koreksi dalam penulisan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini
bermanfaat, akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.
Penulis
i
TUJUAN INSTRUKSIONAL
ii
DAFTAR ISI
iii
DAFTAR TABEL
iv
DAFTAR GAMBAR
v
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul
vi
BAB I
PENDAHULUAN
Luka akibat gigitan ular dapat berasal dari gigitan ular tidak berbisa
maupun gigitan ular berbisa. Umumnya ular menggigit pada saat ia aktif, yaitu
pada pagi dan sore hari, apabila ia merasa terancam atau diganggu. Di seluruh
dunia setiap tahunnya ditemukan ribuan orang yang meninggal dunia akibat
gigitan ular berbisa. Di Amerika Serikat ditemukan 8000 kasus gigitan ular
berbisa per tahunnya dengan 98% gigitan terjadi di daerah ekstremitas dan 70%
disebabkan oleh Rattlesnake. Di bagian emergensi RS.Hasan Sadikin Bandung
dalam kurun waktu 1996-1998 dilaporkan sejumlah 180 kasus gigitan ular
berbisa. Sementara di RSUD dr.Saiful Anwar Malang dalam kurun waktu satu
tahun (2004) dilaporkan sejumlah 36 kasus gigitan ular berbisa. Kepada semua
kasus gigitan ular tersebut diberikan terapi antivenom dan menunjukkan hasil
yang baik kecuali pada satu kasus yang dibawa ke rumah sakit sudah dalam
keadaan koma dan apnoe. Hal ini sejalan dengan laporan Auerbach (2005) bahwa
angka kematian ditemukan kurang dari 1% pada kasus gigitan ular berbisa yang
diberi terapi antivenom. Estimasi global menunjukkan sekitar 30.000-40.000
kematian akibat gigitan ular berbisa.1
Gigitan ular sering tidak dilaporkan. Sekitar 8000 gigitan dilaporkan di
Amerika Serikat setiap tahunnya, dengan sekitar 2000 disebabkan oleh ular
berbisa. Carolina Utara memiliki frekuensi tertinggi, dengan 19 gigitan per
100.000 orang. Rata-rata nasional sekitar 4 gigitan per 100.000 orang. Kematian
akibat gigitan ular jarang, tidak lebih dari 12 kasus kematian akibat gigitan ular
berbisa tiap tahunnya yang dilaporkan antara tahun 1960-1990.2
Umumnya hanya pelaporan data internasional yang tersedia. Sebagian
besar gigitan ular dan kematian akibat gigitan ular tidak dilaporkan, terutama di
negara berkembang. Diperkirakan 1,8-2,5 juta gigitan ular berbisa terjadi di
seluruh dunia setiap tahunnya, menghasilkan kira-kira 100.000 sampai 125.000
kematian tahunan, namun ini mungkin tidak dilaporkan. Di seluruh dunia, gigitan
ular secara tidak proporsional mempengaruhi populasi sosioekonomi rendah lebih
1
banyak di lokasi pedesaan. Gigitan terutama di ekstremitas bawah pada petani
atau pekerja yang menginjak atau mengganggu seekor ular di lading atau sawah,
atau mereka dapat hadir sebagai gigitan di kepala atau badan pada orang yang
tidur di tanah. 2
Sebanyak 76% korban merupakan laki-laki kulit putih. Studi University of
Tennessee Medical Center at Knoxville melaporkan 9:1 rasio laki-laki:perempuan.
Studi juga melaporkan 50% pasien berusia 18-28 tahun. 96% gigitan berlokasi
pada ekstremitas, dimana 56% di tangan. Kejadian musiman 100% dari bulan
April sampai Oktober. Pada populasi anak-anak, kebanyakan gigitan ular terjadi
usia anak sekolahan dan remaja saat sore hari di musim panas. Lokasi luka paling
sering di ekstremitas bawah.2
Sebagian besar gigitan ular tidak berbisa dan disebabkan oleh spesies yang
tidak berbahaya. Amerika Utara merupakan rumah bagi 25 spesies ular berbisa.
Di seluruh dunia, hanya sekitar 15% dari lebih dari 3000 spesies ular yang
dianggap berbahaya bagi manusia. Famili Viperidae merupakan famili ular
berbisa terbesar, yang anggotanya dapat ditemukan di Afrika, Eropa, Asia dan
Amerika. Famili Elapidae merupakan famili ular berbisa terbesar berikutnya. Di
Amerika Utara, spesies berbisa merupakan anggota famili Viperidae dan Elapidae,
subfamili Crotalidae. Subfamili Crotalidae (pit vipers) meliputi rattlesnakes
(Crotalus dan Sistrurus), cottonmouths (Agkistrodon), dan copperheads
(Agkistrodon). Kepala berbentuk segitiga, nostril pits (organ penginderaan panas),
pupil elips, lempeng subkaudal disusun dalam satu baris merupakan ciri khas
Crotalidae. Mereka dapat ditemukan di semua wilayah negara, dan habitatnya
bervariasi berdasarkan spesies. Cottonmouths ditemukan di dekat rawa atau
sungai. Copperheads di lingkungan perairan dan kering, dan rattlesnakes lebih
memilih padang rumput kering dan lereng bukit berbatu. Cobra, mambas, dan
kraits juga merupakan anggota famili Elapidae tetapi bukan berasal dari
Amerika.2
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.A. Secara Klinis
2.A.1 Anatomi dan Nomenklatur Ular
Ular berbentuk silindris, panjang, tidak beranggota gerak, reptil berdarah
dingin. Badan ular dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:3
1. Kepala
2. Badan
3. Ekor
Nomenklatur 4
Filum : Chordata
Kelas : Reptilia
Ordo : Squamota
Subordo : Serpentes
3
2. Famili Crotalidae/Viperidae misalnya ular tanah, ular hijau ular
bandotan puspo, russells viper, saw-scaled viper
3. Famili Hydrophidae misalnya ular laut
4. Famili Colubridae misalnya ular pohon, African boomslanag snake
4
Beberapa spesies Viperidae, hydrophiidae memproduksi rabdomiolisin
sistemik sementara spesies yang lain menimbulkan mionekrosis pada tempat
gigitan.1
Untuk menduga jenis ular yang menggigit adalah ular berbisa atau ular
tidak berbisa dapat dipakai rambu-rambu bertolak dari bentuk kepala ular dan luka
bekas gigitan sebagai berikut:1
Ciri-ciri ular berbisa:
1. Bentuk kepala segi empat panjang
2. Gigi taring kecil
3. Bekas gigitan: luka halus berbentuk lengkungan
Ciri-ciri ular tidak berbisa:
1. Kepala segitiga
2. Dua gigi taring besar di rahang atas
3. Dua luka gigitan utama akibat gigi taring
5
Sumber: Principles of Forensic Medicine & Toxicology (Bardale, 2011)
Gambar 2.5 (a) Common Krait Head; (b) Common Krait
6
Sumber: Review of Forensic Medicine and Toxicology (Biswas, 2015)
Gambar 2.8 Head Scales Ular Berbisa & Ular Tidak Berbisa
7
Sumber: Nelson Textbook of Pediatrics (Stanton, 2011)
Gambar 2.12 Perbedaan Anatomis Ular Berbisa & Ular Tidak Berbisa
8
2.A.3 Komposisi, Sifat, Mekanisme Kerja, Serta Dosis Letal Bisa Ular
Bisa ular (venom) terdiri dari 20 atau lebih komponen sehingga
pengaruhnya tidak dapat diinterpretasikan sebagai akibat dari satu jenis toksin
saja. Venom yang sebagian besar (90%) adalah protein, terdiri dari berbagai
macam enzim, polipeptida non-enzimatik dan protein non-toksik. Berbagai logam
seperti zink berhubungan dengan beberapa enzim seperti ecarin (suatu enzim
prokoagulan dari E.carinatus venom yang mengaktivasi protrombin). Karbohidrat
dalam bentuk glikoprotein seperti serine protease ancrod merupakan prokoagulan
dari C.rhodostoma venom (menekan fibrinopeptida-A dari fibrinogen dan dipakai
untuk mengobati kelainan thrombosis). Amin biogenik seperti histamin dan 5-
hidroksitriptamin yang ditemukan dalam jumlah dan variasi yang besar pada
Viperidae, mungkin bertanggung jawab terhadap timbulnya rasa nyeri pada
gigitan ular. Sebagian besar bisa ular mengandung fosfolipase A yang
bertanggung jawab pada aktivitas neurotoksik presinaptik, rabdomiolisis dan
kerusakan endotel vaskular. Enzim venom lain seperti fosfoesterase,
hialuronidase, ATP-ase, 5-nuklotidase, kolinesterase, protease, RNA-ase dan
DNA-ase perannya belum jelas.1
Racun crotalid diproduksi dan disimpan di dalam sepasang kelenjar bawah
mata. Racun dilepas dari taring berongga yang terletak di rahang atas. Taring
mampu tumbuh sampai besarnya 20 mm pada rattlesnakes. Dosis racun tiap
gigitan bergantung pada waktu yang telah berlalu sejak gigitan terakhir, tingkat
ancaman yang dirasakan ular dan ukuran mangsa. Lubang hidung berespons
terhadap emisi panas mangsa, yang memungkinkan ular memvariasikan jumlah
racun yang dikeluarkan.2
Ular karang memiliki taring yang lebih pendek dan mulut yang lebih kecil.
Hal ini memungkinkan kesempatan yang lebih kecil untuk mengeluarkan bisa
dibandingkan crotalid, dan gigitan ular karang lebih mirip mengunyah daripada
serangan yang mana pit vipers terkenal. Kedua metode tersebut menginjeksikan
racun pada korban untuk melumpuhkannya dengan cepat dan mulai
2
mencernanya.
9
Bukti menunjukkan bahwa perbedaan antara komponen racun spesies ular
yang berbeda dihasilkan dari evolusi pola makanan yang terjadi dari waktu ke
waktu. Bisa kebanyakan adalah air. Protein enzimatik dalam bisa memberikan
sifat destruktif. Protease, kolagenase, dan arginin ester hidrolase telah
diidentifikasi dalam racun pit viper. Neurotoksin terdiri dari sebagian besar bisa
ular karang. Rincian spesifik beberapa enzim yang diketahui yaitu: (1)
hyaluronidase memungkinkan penyebaran cepat bisa melalui jaringan subkutan
dengan mengganggu mukopolisakarida; (2) fosfolipase A2 memainkan peran
utama dalam hemolisis sekunder akibat efek esterolitik membran sel darah merah
dan meningkatkan nekrosis otot; (3) enzim trombogenik mempromosikan
pembekuan fibrin yang lemah, yang pada gilirannya mengaktifkan plasmin dan
menghasilkan koagulopati konsumtif dan konsekuensi hemoragiknya.2
Konsentrasi enzim bervariasi antar spesies, sehingga menyebabkan
pembentukan bisa yang berbeda. Gigitan cooperhead umumnya terbatas pada
kerusakan jaringan setempat. Rattlesnakes dapat meninggalkan luka yang parah
dan menyebabkan keracunan sistemik. Coral snakes meninggalkan luka kecil
yang kemudian menyebabkan gagal nafas akibat blokade neuromuskular
sistemik.2
Efek racun lokal berfungsi sebagai pengingat potensi gangguan sistemik
dari fungsi sistem organ. Salah satu efek adalah pendarahan lokal; koagulopati
tidak jarang. Efek lain edema lokal, meningkatkan kebocoran kapiler dan cairan
interstisial di paru-paru. Mekanika paru dapat berubah secara signifikan. Efek
akhir, kematian sel lokal, meningkatkan konsentrasi asam laktat sekunder
terhadap perubahan status volume dan membutuhkan peningkatan ventilasi per
menit. Efek blokade neuromuskular menyebabkan kerja diafragma yang buruk.
Gagal jantung bisa terjadi akibat hipotensi dan asidosis. Mionekrosis
meningkatkan kekhawatiran tentang mioglobinuria dan kerusakan ginjal. 2
10
Sumber: Review of Forensic Medicine and Toxicology (Biswas, 2015)
Gambar 2.13 Dosis Lethal & Jumlah Bisa yang Diinjeksikan Tiap Gigitan
11
Tabel 2.1. Klasifikasi Gigitan Ular Menurut Schwartz
12
wajah, bibir, lidah dan tenggorokan sehingga menyebabkan sukar
bicara, kelopak mata menurun, susah menelan, otot lemas, sakit
kepala, kulit dingin, muntah, pandangan kabur, dan mati rasa di
sekitar mulut. Selanjutnya dapat terjadi paralisis otot leher dan
anggota badan, paralisis otot pernapasan sehingga lambat dan
sukar bernapas, tekanan darah menurun, denyut nadi lambat dan
tidak sadarkan diri. Nyeri abdomen sering kali terjadi dan
berlangsung hebat. Pada keracunan berat dalam waktu satu jam
dapat timbul gejala-gejala neurotoksik. Kematian dapat terjadi
dalam 24 jam.
2. Gigitan Viperidae
i. Efek lokal timbul dalam 15 menit atau setelah beberapa jam berupa
bengkak dekat gigitan untuk selanjutnya cepat menyebar ke
seluruh anggota badan, rasa sakit dekat gigitan.
ii. Efek sistemik muncul dalam 5 menit atau setelah beberapa jam
berupa muntah, berkeringat, kolik, diare, perdarahan pada bekas
gigitan (lubang dan luka yang dibuat taring ular, hidung berdarah,
darah dalam muntah, urin dan tinja. Perdarahan terjadi akibat
kegagalan faal pembekuan darah. Beberapa hari berikutnya akan
timbul memar, melepuh dan kerusakan jaringan, kerusakan ginjal,
edema paru, kadang-kadang tekanan darah rendah dan denyut nadi
13
cepat. Keracunan berat ditandai dengan pembengkakan di atas siku
dan lutut dalam waktu 2 jam atau ditandai dengan pendarahan
hebat.
3. Gigitan Hydropiidae:
i. Gejala yang segera muncul berupa sakit kepala, lidah terasa tebal,
berkeringat dan muntah
ii. Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan
nyeri menyeluruh, spasme pada otot rahang, paralisis otot,
kelemahan otot ekstraokular, dilatasi pupil dan ptosis,
mioglobulinuria yang ditandai dengan urin warna cokelat gelap
(gejala ini penting untuk diagnostik), ginjal rusak, henti jantung.
4. Gigitan Rattlesnake dan Crotalidae:
i. Efek lokal berupa tanda gigitan taring, pembengkakan, ekimosis
dan nyeri pada daerah gigitan merupakan indikasi minimal yang
perlu dipertimbangkan untuk pemberian polivalen crotalide
antivenin
ii. Anemia, hipotensi dan trombositopenia merupakan tanda penting
5. Gigitan Coral snake:
i. Jika terdapat toksisitas neurologis dan koagulasi, diberikan
antivenin (Micrurus fulvius antivenin)
14
Tabel 2.2. Tanda dan Gejala Gigitan Pit Viper
15
Perubahan Neurologis Neurotoksin dan myotoksin menginvasi ke
Mati rasa tubuh
Pergerakan tidak terkoordinasi
Kelemahan
Kesulitan menelan dan bernafas
Kelumpuhan
Ptosis
Diplopia
Berkeringat
Sumber: Hurst Reviews Pathophysiology Review, (Hurst, 2008)
16
menyebabkan kegagalan pernafasan dan ventilasi mekanis. Sindrom kompartemen
sejati adalah komplikasi yang jarang. Kematian jarang terjadi. 2
Blokade neuromuskular yang berkepanjangan dapat terjadi akibat bisa ular
karang. Komplikasi terkait antivenin meliputi reaksi hipersensitivitas langsung
(anafilaksis,tipe I) dan reaksi hipersensitivitas yang tertunda (serum sickness, tipe
III). Anafilaksis adalah suatu peristiwa yang dimediasi oleh immunoglobulin E
(IgE), meliputi degranulasi dari mast sel yang dapat menyebabkan laringospasme,
vasodilatasi, dan kebocoran kapiler. Kematian biasa terjadi tanpa intervensi
farmakologis. Serum sickness terjadi 1-2 minggu setelah pemberian antivenin.
Pengendapan kompleks antigen-imunoglobulin G (IgG) di kulit, sendi dan ginjal
bertanggung jawab atas atralgia, urtikaria, dan glomerulonefritis (jarang).
Biasanya lebih dari 8 vial antivenin harus di berikan untuk menghasilkan sindrom
ini. Perawatan suportif terdiri dari antihistamin dan steroid. Studi yang lebih baru
sekarang melaporkan insiden yang lebih rendah (5,4%) dari reaksi akut
hipersensitivitas.2
2.A.8 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan pada kasus gigitan ular berbisa adalah:
1. Menghalangi/ memperlambat absorpsi bisa ular
2. Menetralkan bisa ular yang sudah masuk ke dalam sirkulasi darah
3. Mengatasi efek lokal dan sistemik
17
Tindakan penatalaksanaan1
A. Sebelum penderita dibawa ke pusat pengobatan, beberapa hal yang perlu
diperhatikan adalah:
i. Penderita diistirahatkan dalam posisi horizontal terhadap luka gigitan
untuk mencegah peningkatan jumlah bisa yang kembali ke jantung dan
memasuki sirkulasi sistemik. Lepaskan perhiasan dan pakaian yang ketat
dari sekitar ekstremitas.
ii. Jangan memanipulasi daerah gigitan
iii. Bersihkan menyeluruh dengan sabun dan air
iv. Penderita dilarang berjalan dan dilarang minum minuman yang
mengandung alkohol atau kafein, yang berefek menstimulasi
peningkatan absorpsi bisa
v. Apabila gejala timbul secara cepat sementara belum tersedia antibisa,
ikat daerah proksimal dan distal dari gigitan. Tindakan mengikat ini
kurang berguna jika dilakukan lebih dari 30 menit paska gigitan. Tujuan
ikatan adalah untuk menahan aliran limfe, bukan menahan aliran vena
atau arteri.
18
ii. Penatalaksanaan fungsi pernafasan
iii. Penatalaksanaan sirkulasi: beri infus cairan kristaloid
iv. Beri pertolongan pertama pada luka gigitan: verban ketat dan luas di atas
luka, imobilisasi (dengan bidai)
v. Ambil 5-10 ml darah untuk pemeriksaan: waktu protrombin, aPTT,
D-dimer, fibrinogen dan Hb, leukosit, trombosit, kreatinin, urea, elektrolit
(terutama K), CK. Periksa waktu pembekuan, jika >10 menit,
menunjukkan kemungkinan adanya koagulopati
vi. Apus tempat gigitan dengan venom detection
vii. Beri SABU (Serum Anti Bisa Ular, serum kuda yang dikebalkan)
polivalen 1 ml berisi:
10-50 LD50 bisa Ankystrodon
25-50 LD50 bisa Bungarus
25-50 LD50 bisa Naya Sputarix
Fenol 0.25% v/v
Teknik pemberian: 2 vial @ 5 ml intra vena dalam 500 ml NaCl 0,9%
atau Dextrose 5% dengan kecepatan 40-80 tetes/ menit. Maksimal 100 ml (20
vial). Infiltrasi lokal pada luka tidak dianjurkan. 1
Indikasi SABU (Serum Anti Bisa Ular) adalah adanya gejala venerasi
sistemik dan edema hebat pada bagian luka.
19
Pedoman terapi SABU (Serum Anti Bisa Ular) mengacu pada Schwartz
dan Way (Depkes, 2001): Derajat 0 dan I: tidak diperlukan SABU, dilakukan
evaluasi dalam 12 jam, jika derajat meningkat maka diberikan SABU1
i. Derajat II : 3-4 vial SABU
ii. Derajat III : 5-15 vial SABU
iii. Derajat IV : berikan penambahan 6-8 vial SABU
Tabel 2.4. Pedoman Terapi SABU Menurut Luck
20
a. Jika koagulopati tidak membaik (fibrinogen tidak meningkat,
waktu pembekuan darah tetap memanjang), ulangi pemberian
SABU. Ulangi pemeriksaan darah pada 1 dan 3 jam berikutnya dst.
b. Jika koagulopati membaik (fibrinogen meningkat, waktu
pembekuan menurun) maka monitor ketat diteruskan dan ulangi
pemeriksaan darah untuk memonitor perbaikannya. Monitor
dilanjutkan hinga 2x24 jam untuk mendeteksi kemungkinan
koagulopati berulang. Perhatian untuk penderita gigitan Viperidae
untuk tidak menjalani operasi minimal 2 minggu setelah gigitan.
3. Terapi suportif lainnya pada keadaan:
a. Gangguan koagulasi berat: beri plasma fresh-frozen (dan
antivenin)
b. Perdarahan: beri transfuse darah segar atau komponen darah,
fibrinogen, vitamin K, transfusi trombosit
c. Hipotensi: beri infuse cairan kristaloid
d. Rabdomiolisis: beri cairan dan natrium bikarbonat
e. Monitor pembengkakan lokal setiap jam dengan ukuran lilitan
lengan atau anggota badan
f. Sindrom kompartemen: lakukan fasiotomi
g. Gangguan neurotoksik: beri neostigmin (asetilkolinesterase),
diawali dengan sulfas atropin
h. Beri tetanus profilaksis bila dibutuhkan
i. Untuk mengurangi rasa nyeri berikan aspirin atau kodein, hindari
penggunaan obat-obatan narkotik depresan
4. Terapi profilaksis:
a. Pemberian antibiotika spectrum luas. Kuman terbanyak yang
dijumpai adalah P.aeroginosa, Proteus sp., Clostridium sp.,
B.fragilis
b. Beri toksoid tetanus
c. Pemberian serum anti tetanus: sesuai indikasi
21
2.A.9 Prognosis
Pemulihan penuh adalah peraturannya, meski komplikasi lokal dari bisa
mungkin terjadi. Kematian terjadi kurang dari 1 gigitan per 5000. Kematian akibat
gigitan ular jarang terjadi. Dengan penggunaan antivenin yang tepat, kematian
menjadi lebih jarang.7
Angka kematian yang dilaporkan berkisar 1.4%. Angka ini termasuk
tinggi karena banyak gigitan tidak signifikan yang tidak dilaporkan. Kebanyakan
sekuele terjadi sebagai hasil dari luka pada ekstremitas atas atau wajah dan terdiri
dari: berkurangnya ruang gerak, kelemahan, hipesthesia, paresthesia, anesthesia,
kulit yang memucat warnanya, serta jarang amputasi.7
22
Sumber: Review of Forensic Medicine and Toxicology (Biswas, 2015)
Gambar 2.21 Ciri Eksternal dari Gigitan Ular (a) Berbisa (b) Tidak Berbisa
iv. Pada gigitan viper, terdapat warna yang memucat, bengkak dan selulitis di
sekitar luka, dan pendarahan terjadi dari tempat punksi dan mukosa.
Kelenjar limfa regional membengkak dan pendarahan.
v. Pada gigitan elapidae, tempat gigitan mengandung cairan dan darah
hemolisis menyebabkan pembuluh darah ternoda, dan tidak ada
penampilan yang khas yang mengindikasikan penyebab kematian, kecuali
tanda asfiksia.
23
ii. Pada gigitan elapidae, tempat gigitan mengandung cairan dan darah
hemolisis menyebabkan pembuluh darah ternoda, dan tidak ada
penampilan yang khas yang mengindikasikan penyebab kematian, kecuali
tanda asfiksia.
iii. Temuan pada gigitan ular colubrine:
a. Tanda taring yang kedalamannya umumnya 1.2 sentimeter dan
tampak dengan lensa pembesar, terdapat lepuhan dan nekrosis pada
tempat gigitan
b. Darah tetap encer menunjukkan hemolisis
c. Busa di dalam mulut dan lubang hidung
d. Tanda asfiksia menonjol
e. Secara mikroskopis, jaringan saraf akan menunjukkan perubahan pada
Nissls granules, fragmentasi dari retikulum sel saraf, opasitas,
fragmentasi dan pembengkakan dari nucleus. Sel-sel medulla
menunjukkan degenerasi granular akut.
24
v. Kadang-kadang, pembunuhan dilakukan dengan melemparkan ular ke
tempat musuh atau orang yang ditinggalkan di dalam ruangan yang
dipenuhi ular tetapi hal ini tidak dapat dibuktikan tanpa bukti terperinci.
vi. Tubuh binatang yang dibunuh oleh ular yang berbisa mungkin dapat
dimakan tanpa memberikan efek sakit, tetapi darah mereka beracun dan
fatal, jika terinjeksi ke dalam tubuh manusia.
vii. Hewan ternak terkadang diracuni dengan bisa ular dengan meletakkan ular
dan pisang di dalam pot tanah dan mengusik ular dengan membakarnya.
Kobra menggigit pisang memasukkan bisa ke dalamnya. Buah-buahan
diambil keluar dan diolesi kain dimasukkan ke dalam rektum binatang
dengan batang bambu.
viii. Karena gigitan ular dapat kehilangan fungsi permanen pada anggota gerak
yang digigit. Walaupun demikian, insidensi yang tepat belum diketahui
tetapi kehilangan seperti itu dapat dikarenakan luka pada otot, saraf atau
pembuluh darah atau karena bekas luka kontraktur.
25
Daftar Pustaka
26