Anda di halaman 1dari 33

Makalah

GIGITAN ULAR BERBISA

Oleh :
Zenny Wijaya (120 100 187)

Pembimbing :
dr. Asan Petrus, M.Ked (For), Sp.F

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK
DAN MEDIKOLEGAL
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan berkat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul Gigitan Ular
Berbisa.
Penulisan makalah ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan
Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Ilmu Kedokteran Forensik
dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada pembimbing,
dr. Asan Petrus, M.Ked (For), Sp.F, yang telah meluangkan waktunya dan memberikan
banyak masukan dalam penyusunan makalah ini sehingga penulis dapat menyelesaikan tepat
pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik
isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari
pembaca sebagai koreksi dalam penulisan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini
bermanfaat, akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, Juli 2017

Penulis

i
TUJUAN INSTRUKSIONAL

Tujuan Instruksional Umum (TIU)


Adapun tujuan instruksional umum dari penulisan makalah ini adalah agar pembaca:
1. Memahami tentang gigitan ular berbisa

Tujuan Instruksional Khusus (TIK)


Sedangkan, tujuan instruksional khusus dari penulisan makalah ini adalah agar
pembaca dapat:
1. Menjelaskan tentang anatomi dan nomenklatur ular
2. Menjelaskan tentang jenis-jenis ular berbisa
3. Menjelaskan tentang komposisi, sifat, mekanisme kerja, serta dosis letal bisa ular
4. Menjelaskan tentang gejala klinis gigitan ular berbisa
5. Menjelaskan tentang pemeriksaan penunjang pada gigitan ular berbisa
6. Menjelaskan tentang pemeriksaan khusus pada gigitan ular berbisa
7. Menjelaskan tentang komplikasi gigitan ular berbisa
8. Menjelaskan tentang penatalaksanaan pada gigitan ular berbisa
9. Menjelaskan tentang prognosis pada gigitan ular berbisa
10. Menjelaskan tentang gejala post mortem gigitan ular berbisa dimulai dari pemeriksaan
luar, pemeriksaan dalam, aspek medikolegal, dan kesimpulan pemeriksaan forensik

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................ i


TUJUAN INSTRUKSIONAL ................................................................................... ii
Tujuan Instruksional Umum (TIU) .................................................................... ii
Tujuan Instruksional Khusus (TIK).................................................................... ii
DAFTAR ISI............................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ...................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................. v
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................................. vi
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
BAB II.A. TINJAUAN PUSTAKA SECARA KLINIS .......................................... 3
2.A.1. Anatomi dan nomenklatur ular ............................................................... 3
2.A.2. Jenis-jenis ular berbisa............................................................................. 3
2.A.3. Komposisi, sifat, mekanisme kerja, serta dosis letal bisa ular ................ 9
2.A.4. Gejala klinis gigitan ular berbisa ............................................................ 11
2.A.5. Pemeriksaan penunjang paa gigitan ular berbisa ..................................... 16
2.A.6. Pemeriksaan khusus pada gigitan ular berbisa ........................................ 16
2.A.7. Komplikasi gigitan ular berbisa ............................................................... 16
2.A.8. Penatalaksanaan pada gigitan ular berbisa .............................................. 17
2.A.9. Prognosis pada gigitan ular berbisa ......................................................... 22
BAB II.B. TINJAUAN PUSTAKA ILMU FORENSIK ......................................... 22
2.B.1. Gejala Post Mortem ............................................................................. 22
2.B.1.1. Pemeriksaan Luar ................................................................................. 22
2.B.1.2. Pemeriksaan Dalam ............................................................................. 23
2.B.1.3. Aspek Medikolegal ............................................................................... 24
2.B.1.4. Kesimpulan Pemeriksaan Forensik ....................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 26
LAMPIRAN

iii
DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 2.1 Klasifikasi Gigitan Ular Menurut Schwartz 12

Tabel 2.2 Tanda dan Gejala Gigitan Pit Viper 15

Tabel 2.3 Tanda dan Gejala Gigitan Coral Snake 15

Tabel 2.4 Pedoman Terapi SABU Menurut Luck 20

iv
DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman


Gambar 2.1 Nomenklatur Ular 3
Gambar 2.2 Famili Ular yang Penting Secara Klinis 4
Gambar 2.3 Ciri-ciri Ular Berbisa yang Sering Dijumpai 5
Gambar 2.4 (a) Common Cobra; (b) Banded Krait 5
Gambar 2.5 (a) Common Krait Head; (b) Common Krait 6
Gambar 2.6 (a) Saw Scaled Viper; (b)Rusells Viper 6
Gambar 2.7 Perbedaan Ular Berbisa & Ular Tidak Berbisa 6
Gambar 2.8 Head Scales Ular Berbisa & Ular Tidak Berbisa 7
Gambar 2.9 Head Scales Cobra & Krait 7
Gambar 2.10 Belly Scales Ular Berbisa & Ular Tidak Berbisa 7
Gambar 2.11 Scales Distal to Anal Plate Ular Berbisa & Ular Tidak Berbisa 7
Gambar 2.12 Perbedaan Anatomis Ular Berbisa & Ular Tidak Berbisa 8
Gambar 2.13 Dosis Letal & Jumlah Bisa yang Diinjeksikan Tiap Gigitan 11
Gambar 2.14 Area Gigitan Elapid 13
Gambar 2.15 Ciri Lokasi Gigitan Viperid 14
Gambar 2.16 Reaksi Antivenom 17
Gambar 2.17 Pertolongan Pertama Pada Gigitan Ular 18
Gambar 2.18 Indikasi Pemberian Antivenom 19
Gambar 2.19 Penilaian Keparahan Gigitan Ular Berbisa 20
Gambar 2.20 Morbiditas dari Gigitan Ular Berbisa 22
Gambar 2.21 Ciri Eksternal dari Gigitan Ular (a) Berbisa; (b) Tidak Berbisa 23

v
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul

Lampiran 1 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam

Lampiran 2 Medscape Snakebite

Lampiran 3 Principles of Forensic Medicine & Toxicology

Lampiran 4 Review of Forensic Medicine and Toxicology

Lampiran 5 Nelson Textbook of Pediatrics

Lampiran 6 Hurst Reviews Pathophysiology Review

Lampiran 7 Emergency Medicine

Lampiran 8 Textbook of Forensic Medicine and Toxicology

vi
BAB I
PENDAHULUAN

Luka akibat gigitan ular dapat berasal dari gigitan ular tidak berbisa
maupun gigitan ular berbisa. Umumnya ular menggigit pada saat ia aktif, yaitu
pada pagi dan sore hari, apabila ia merasa terancam atau diganggu. Di seluruh
dunia setiap tahunnya ditemukan ribuan orang yang meninggal dunia akibat
gigitan ular berbisa. Di Amerika Serikat ditemukan 8000 kasus gigitan ular
berbisa per tahunnya dengan 98% gigitan terjadi di daerah ekstremitas dan 70%
disebabkan oleh Rattlesnake. Di bagian emergensi RS.Hasan Sadikin Bandung
dalam kurun waktu 1996-1998 dilaporkan sejumlah 180 kasus gigitan ular
berbisa. Sementara di RSUD dr.Saiful Anwar Malang dalam kurun waktu satu
tahun (2004) dilaporkan sejumlah 36 kasus gigitan ular berbisa. Kepada semua
kasus gigitan ular tersebut diberikan terapi antivenom dan menunjukkan hasil
yang baik kecuali pada satu kasus yang dibawa ke rumah sakit sudah dalam
keadaan koma dan apnoe. Hal ini sejalan dengan laporan Auerbach (2005) bahwa
angka kematian ditemukan kurang dari 1% pada kasus gigitan ular berbisa yang
diberi terapi antivenom. Estimasi global menunjukkan sekitar 30.000-40.000
kematian akibat gigitan ular berbisa.1
Gigitan ular sering tidak dilaporkan. Sekitar 8000 gigitan dilaporkan di
Amerika Serikat setiap tahunnya, dengan sekitar 2000 disebabkan oleh ular
berbisa. Carolina Utara memiliki frekuensi tertinggi, dengan 19 gigitan per
100.000 orang. Rata-rata nasional sekitar 4 gigitan per 100.000 orang. Kematian
akibat gigitan ular jarang, tidak lebih dari 12 kasus kematian akibat gigitan ular
berbisa tiap tahunnya yang dilaporkan antara tahun 1960-1990.2
Umumnya hanya pelaporan data internasional yang tersedia. Sebagian
besar gigitan ular dan kematian akibat gigitan ular tidak dilaporkan, terutama di
negara berkembang. Diperkirakan 1,8-2,5 juta gigitan ular berbisa terjadi di
seluruh dunia setiap tahunnya, menghasilkan kira-kira 100.000 sampai 125.000
kematian tahunan, namun ini mungkin tidak dilaporkan. Di seluruh dunia, gigitan
ular secara tidak proporsional mempengaruhi populasi sosioekonomi rendah lebih

1
banyak di lokasi pedesaan. Gigitan terutama di ekstremitas bawah pada petani
atau pekerja yang menginjak atau mengganggu seekor ular di lading atau sawah,
atau mereka dapat hadir sebagai gigitan di kepala atau badan pada orang yang
tidur di tanah. 2
Sebanyak 76% korban merupakan laki-laki kulit putih. Studi University of
Tennessee Medical Center at Knoxville melaporkan 9:1 rasio laki-laki:perempuan.
Studi juga melaporkan 50% pasien berusia 18-28 tahun. 96% gigitan berlokasi
pada ekstremitas, dimana 56% di tangan. Kejadian musiman 100% dari bulan
April sampai Oktober. Pada populasi anak-anak, kebanyakan gigitan ular terjadi
usia anak sekolahan dan remaja saat sore hari di musim panas. Lokasi luka paling
sering di ekstremitas bawah.2
Sebagian besar gigitan ular tidak berbisa dan disebabkan oleh spesies yang
tidak berbahaya. Amerika Utara merupakan rumah bagi 25 spesies ular berbisa.
Di seluruh dunia, hanya sekitar 15% dari lebih dari 3000 spesies ular yang
dianggap berbahaya bagi manusia. Famili Viperidae merupakan famili ular
berbisa terbesar, yang anggotanya dapat ditemukan di Afrika, Eropa, Asia dan
Amerika. Famili Elapidae merupakan famili ular berbisa terbesar berikutnya. Di
Amerika Utara, spesies berbisa merupakan anggota famili Viperidae dan Elapidae,
subfamili Crotalidae. Subfamili Crotalidae (pit vipers) meliputi rattlesnakes
(Crotalus dan Sistrurus), cottonmouths (Agkistrodon), dan copperheads
(Agkistrodon). Kepala berbentuk segitiga, nostril pits (organ penginderaan panas),
pupil elips, lempeng subkaudal disusun dalam satu baris merupakan ciri khas
Crotalidae. Mereka dapat ditemukan di semua wilayah negara, dan habitatnya
bervariasi berdasarkan spesies. Cottonmouths ditemukan di dekat rawa atau
sungai. Copperheads di lingkungan perairan dan kering, dan rattlesnakes lebih
memilih padang rumput kering dan lereng bukit berbatu. Cobra, mambas, dan
kraits juga merupakan anggota famili Elapidae tetapi bukan berasal dari
Amerika.2

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.A. Secara Klinis
2.A.1 Anatomi dan Nomenklatur Ular
Ular berbentuk silindris, panjang, tidak beranggota gerak, reptil berdarah
dingin. Badan ular dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:3
1. Kepala
2. Badan
3. Ekor
Nomenklatur 4
Filum : Chordata
Kelas : Reptilia
Ordo : Squamota
Subordo : Serpentes

Sumber: Review of Forensic Medicine and Toxicology (Biswas, 2015)


Gambar 2.1 Nomenklatur Ular

2.A.2 Jenis jenis Ular Berbisa


Di seluruh dunia dikenal lebih dari 2000 spesies ular, namun jenis yang
berbisa hanya sekitar 250 spesies. Berdasarkan morfologi gigi taringnya, ular
dapat diklasifikasikan ke dalam 4 famili utama yaitu:1
1. Famili Elapidae misalnya ular weling, ular welang, ular sendok, ular
anang dan ular cabai, ular cobra, krait, coral snake

3
2. Famili Crotalidae/Viperidae misalnya ular tanah, ular hijau ular
bandotan puspo, russells viper, saw-scaled viper
3. Famili Hydrophidae misalnya ular laut
4. Famili Colubridae misalnya ular pohon, African boomslanag snake

Sumber: Nelson Textbook of Pediatrics (Stanton, 2011)


Gambar 2.2 Famili Ular yang Penting Secara Medis

Jenis ular berbisa berdasarkan dampak yang ditimbulkannya yang banyak


dijumpai di Indonesia adalah jenis ular:1
1. Hematotoksik, seperti: Trimeresurus albolaris (ular hijau), Ankistrodon
rhodostoma (ular tanah). Aktivitas hemoragik pada bisa ular Viperidae
menyebabkan perdarahan spontan dan kerusakan endotel (racun
prokoagulan memicu kaskade pembekuan).
2. Neurotoksik, seperti Bungarusfasciatus (ular welang), Naya sputatrix
(ular sendok), ular kobra, ular laut. Neurotoksin pascasinaps seperti a-
bungarotoxin dan cobrotoxin terikat pada reseptor asetilkolin pada
motor end-plate sedangkan neurotoksin prasinaps seperti b-
bungarotoxin, crotoxin, taipoxin, dan notexin, merupakan fosfolipase-
A2 yang mencegah pelepasan asetilkolin pada neuromuscular junction.

4
Beberapa spesies Viperidae, hydrophiidae memproduksi rabdomiolisin
sistemik sementara spesies yang lain menimbulkan mionekrosis pada tempat
gigitan.1
Untuk menduga jenis ular yang menggigit adalah ular berbisa atau ular
tidak berbisa dapat dipakai rambu-rambu bertolak dari bentuk kepala ular dan luka
bekas gigitan sebagai berikut:1
Ciri-ciri ular berbisa:
1. Bentuk kepala segi empat panjang
2. Gigi taring kecil
3. Bekas gigitan: luka halus berbentuk lengkungan
Ciri-ciri ular tidak berbisa:
1. Kepala segitiga
2. Dua gigi taring besar di rahang atas
3. Dua luka gigitan utama akibat gigi taring

Sumber: Review of Forensic Medicine and Toxicology (Biswas, 2015)


Gambar 2.3 Ciri-ciri Ular Berbisa yang Sering Dijumpai

Sumber: Principles of Forensic Medicine & Toxicology (Bardale, 2011)


Gambar 2.4 (a) Common Cobra; (b) Banded Krait

5
Sumber: Principles of Forensic Medicine & Toxicology (Bardale, 2011)
Gambar 2.5 (a) Common Krait Head; (b) Common Krait

Sumber: Principles of Forensic Medicine & Toxicology (Bardale, 2011)


Gambar 2.6 (a) Saw Scaled Viper; (b) Rusells Viper

Sumber: Review of Forensic Medicine and Toxicology (Biswas, 2015)


Gambar 2.7 Perbedaan Ular Berbisa & Ular Tidak Berbisa

6
Sumber: Review of Forensic Medicine and Toxicology (Biswas, 2015)
Gambar 2.8 Head Scales Ular Berbisa & Ular Tidak Berbisa

Sumber: Review of Forensic Medicine and Toxicology (Biswas, 2015)


Gambar 2.9 Head Scales Cobra & Krait

Sumber: Review of Forensic Medicine and Toxicology (Biswas, 2015)


Gambar 2.10 Belly Scales Ular Berbisa & Ular Tidak Berbisa

Sumber: Review of Forensic Medicine and Toxicology (Biswas, 2015)


Gambar 2.11 Scales Distal to Anal Plate Ular Berbisa & Ular Tidak Berbisa

7
Sumber: Nelson Textbook of Pediatrics (Stanton, 2011)
Gambar 2.12 Perbedaan Anatomis Ular Berbisa & Ular Tidak Berbisa

8
2.A.3 Komposisi, Sifat, Mekanisme Kerja, Serta Dosis Letal Bisa Ular
Bisa ular (venom) terdiri dari 20 atau lebih komponen sehingga
pengaruhnya tidak dapat diinterpretasikan sebagai akibat dari satu jenis toksin
saja. Venom yang sebagian besar (90%) adalah protein, terdiri dari berbagai
macam enzim, polipeptida non-enzimatik dan protein non-toksik. Berbagai logam
seperti zink berhubungan dengan beberapa enzim seperti ecarin (suatu enzim
prokoagulan dari E.carinatus venom yang mengaktivasi protrombin). Karbohidrat
dalam bentuk glikoprotein seperti serine protease ancrod merupakan prokoagulan
dari C.rhodostoma venom (menekan fibrinopeptida-A dari fibrinogen dan dipakai
untuk mengobati kelainan thrombosis). Amin biogenik seperti histamin dan 5-
hidroksitriptamin yang ditemukan dalam jumlah dan variasi yang besar pada
Viperidae, mungkin bertanggung jawab terhadap timbulnya rasa nyeri pada
gigitan ular. Sebagian besar bisa ular mengandung fosfolipase A yang
bertanggung jawab pada aktivitas neurotoksik presinaptik, rabdomiolisis dan
kerusakan endotel vaskular. Enzim venom lain seperti fosfoesterase,
hialuronidase, ATP-ase, 5-nuklotidase, kolinesterase, protease, RNA-ase dan
DNA-ase perannya belum jelas.1
Racun crotalid diproduksi dan disimpan di dalam sepasang kelenjar bawah
mata. Racun dilepas dari taring berongga yang terletak di rahang atas. Taring
mampu tumbuh sampai besarnya 20 mm pada rattlesnakes. Dosis racun tiap
gigitan bergantung pada waktu yang telah berlalu sejak gigitan terakhir, tingkat
ancaman yang dirasakan ular dan ukuran mangsa. Lubang hidung berespons
terhadap emisi panas mangsa, yang memungkinkan ular memvariasikan jumlah
racun yang dikeluarkan.2
Ular karang memiliki taring yang lebih pendek dan mulut yang lebih kecil.
Hal ini memungkinkan kesempatan yang lebih kecil untuk mengeluarkan bisa
dibandingkan crotalid, dan gigitan ular karang lebih mirip mengunyah daripada
serangan yang mana pit vipers terkenal. Kedua metode tersebut menginjeksikan
racun pada korban untuk melumpuhkannya dengan cepat dan mulai
2
mencernanya.

9
Bukti menunjukkan bahwa perbedaan antara komponen racun spesies ular
yang berbeda dihasilkan dari evolusi pola makanan yang terjadi dari waktu ke
waktu. Bisa kebanyakan adalah air. Protein enzimatik dalam bisa memberikan
sifat destruktif. Protease, kolagenase, dan arginin ester hidrolase telah
diidentifikasi dalam racun pit viper. Neurotoksin terdiri dari sebagian besar bisa
ular karang. Rincian spesifik beberapa enzim yang diketahui yaitu: (1)
hyaluronidase memungkinkan penyebaran cepat bisa melalui jaringan subkutan
dengan mengganggu mukopolisakarida; (2) fosfolipase A2 memainkan peran
utama dalam hemolisis sekunder akibat efek esterolitik membran sel darah merah
dan meningkatkan nekrosis otot; (3) enzim trombogenik mempromosikan
pembekuan fibrin yang lemah, yang pada gilirannya mengaktifkan plasmin dan
menghasilkan koagulopati konsumtif dan konsekuensi hemoragiknya.2
Konsentrasi enzim bervariasi antar spesies, sehingga menyebabkan
pembentukan bisa yang berbeda. Gigitan cooperhead umumnya terbatas pada
kerusakan jaringan setempat. Rattlesnakes dapat meninggalkan luka yang parah
dan menyebabkan keracunan sistemik. Coral snakes meninggalkan luka kecil
yang kemudian menyebabkan gagal nafas akibat blokade neuromuskular
sistemik.2
Efek racun lokal berfungsi sebagai pengingat potensi gangguan sistemik
dari fungsi sistem organ. Salah satu efek adalah pendarahan lokal; koagulopati
tidak jarang. Efek lain edema lokal, meningkatkan kebocoran kapiler dan cairan
interstisial di paru-paru. Mekanika paru dapat berubah secara signifikan. Efek
akhir, kematian sel lokal, meningkatkan konsentrasi asam laktat sekunder
terhadap perubahan status volume dan membutuhkan peningkatan ventilasi per
menit. Efek blokade neuromuskular menyebabkan kerja diafragma yang buruk.
Gagal jantung bisa terjadi akibat hipotensi dan asidosis. Mionekrosis
meningkatkan kekhawatiran tentang mioglobinuria dan kerusakan ginjal. 2

10
Sumber: Review of Forensic Medicine and Toxicology (Biswas, 2015)
Gambar 2.13 Dosis Lethal & Jumlah Bisa yang Diinjeksikan Tiap Gigitan

2.A.4 Gejala Klinis


Diagnosis gigitan ular berbisa tergantung pada keadaan bekas gigitan atau
luka yang terjadi dan memberikan gejala lokal dan sistemik sebagai berikut
(Dreisbach, 1987):1
1. Gejala lokal: edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (dalam 30
menit-24 jam).
2. Gejala sistemik: hipotensi, kelemahan otot, berkeringat, mengigil, mual,
hipersalivasi, muntah, nyeri kepala dan pandangan kabur.
3. Gejala khusus gigitan ular berbisa:
i. Hematotoksik: pendarahan di tempat gigitan, paru, jantung, ginjal,
peritoneum, otak, gusi, hematemesis dan melena, perdarahan kulit
(petekie, ekimosis), hemoptoe, hematuria, koagulasi intravascular
diseminata (KID)
ii. Neurotoksik: hipertonik, fasikulasi, paresis, paralisis pernapasan,
ptosis, oftalmoplegi, paralisis otot laring, refleks abnormal, kejang
dan koma
iii. Sindrom kompartemen: edema tungkai dengan tanda-tanda 5P (pain,
pallor, parestesia, paralisis, pulselesness)
Menurut Schwarts (Depkes, 2001), gigitan ular dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:

11
Tabel 2.1. Klasifikasi Gigitan Ular Menurut Schwartz

Derajat Venerasi Luka Nyeri Edema/ Eritema Sistemik


0 0 + +/- <3cm/ 12 jam 0
3-12 cm/ 12
I +/- + - 0
jam
+
>12-25 cm/ 12
II + + +++ neurotoksik, mual, pusing,
jam
syok
++
III + + +++ >25 cm/ 12 jam
Petekie, syok, ekimosis
++
IV +++ + +++ >ekstremitas Gagal ginjal akut, koma,
pendarahan
Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2009)

Kepada setiap kasus gigitan ular perlu dilakukan:


1. Anamnesa lengkap: identitas, waktu dan tempat kejadian, jenis dan ukuran
ular, riwayat penyakit sebelumnya.
2. Pemeriksaan fisik: status umum dan lokal serta perkembangannya setiap
12 jam
Gambaran klinis gigitan beberapa jenis ular:
1. Gigitan Elapidae:
i. Efek lokal (kraits, mambas, coral snakes dan beberapa kobra)
timbul berupa sakit ringan, sedikit atau tanpa pembengkakan, atau
kerusakan kulit dekat gigitan. Gigitan ular dari Afrika dan
beberapa kobra Asia memberikan gambaran sakit yang berat,
melepuh dan kulit yang rusak dekat gigitan melebar.
ii. Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang
berdenyut, kaku pada kelopak mata, bengkak di sekitar mulut dan
kerusakan pada lapisan luar mata.
iii. Gejala sistemik muncul 15 menit setelah digigit ular atau muncu
setelah 10 jam kemudian dalam bentuk paralisis dari urat-urat

12
wajah, bibir, lidah dan tenggorokan sehingga menyebabkan sukar
bicara, kelopak mata menurun, susah menelan, otot lemas, sakit
kepala, kulit dingin, muntah, pandangan kabur, dan mati rasa di
sekitar mulut. Selanjutnya dapat terjadi paralisis otot leher dan
anggota badan, paralisis otot pernapasan sehingga lambat dan
sukar bernapas, tekanan darah menurun, denyut nadi lambat dan
tidak sadarkan diri. Nyeri abdomen sering kali terjadi dan
berlangsung hebat. Pada keracunan berat dalam waktu satu jam
dapat timbul gejala-gejala neurotoksik. Kematian dapat terjadi
dalam 24 jam.

Sumber: Principles of Forensic Medicine & Toxicology (Bardale, 2011)


Gambar 2.14 Area Gigitan Elapid

2. Gigitan Viperidae
i. Efek lokal timbul dalam 15 menit atau setelah beberapa jam berupa
bengkak dekat gigitan untuk selanjutnya cepat menyebar ke
seluruh anggota badan, rasa sakit dekat gigitan.
ii. Efek sistemik muncul dalam 5 menit atau setelah beberapa jam
berupa muntah, berkeringat, kolik, diare, perdarahan pada bekas
gigitan (lubang dan luka yang dibuat taring ular, hidung berdarah,
darah dalam muntah, urin dan tinja. Perdarahan terjadi akibat
kegagalan faal pembekuan darah. Beberapa hari berikutnya akan
timbul memar, melepuh dan kerusakan jaringan, kerusakan ginjal,
edema paru, kadang-kadang tekanan darah rendah dan denyut nadi

13
cepat. Keracunan berat ditandai dengan pembengkakan di atas siku
dan lutut dalam waktu 2 jam atau ditandai dengan pendarahan
hebat.

Sumber: Principles of Forensic Medicine & Toxicology (Bardale, 2011)


Gambar 2.15 Ciri Lokal Gigitan Viperid

3. Gigitan Hydropiidae:
i. Gejala yang segera muncul berupa sakit kepala, lidah terasa tebal,
berkeringat dan muntah
ii. Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan
nyeri menyeluruh, spasme pada otot rahang, paralisis otot,
kelemahan otot ekstraokular, dilatasi pupil dan ptosis,
mioglobulinuria yang ditandai dengan urin warna cokelat gelap
(gejala ini penting untuk diagnostik), ginjal rusak, henti jantung.
4. Gigitan Rattlesnake dan Crotalidae:
i. Efek lokal berupa tanda gigitan taring, pembengkakan, ekimosis
dan nyeri pada daerah gigitan merupakan indikasi minimal yang
perlu dipertimbangkan untuk pemberian polivalen crotalide
antivenin
ii. Anemia, hipotensi dan trombositopenia merupakan tanda penting
5. Gigitan Coral snake:
i. Jika terdapat toksisitas neurologis dan koagulasi, diberikan
antivenin (Micrurus fulvius antivenin)

14
Tabel 2.2. Tanda dan Gejala Gigitan Pit Viper

Tanda dan Gejala (Pit Viper) Patofisiologi


Efek-efek Lokal
Satu atau lebih luka-luka gigitan (mungkin Tanda-tanda gigi taring; abrasi dari gesekan
tampak seperti garukan tetapi sebenarnya taring melewati kulit
adalah luka gigitan)
Nyeri yang tidak sesuai dengan ukuran luka Efek bisa pada reseptor nyeri
Kemerahan, bengkak, lepuhan Bisa meningkatkan permeabilitas kapiler di
dalam dermis
Limfangitis, nyeri kelenjar getah bening Bisa melukai pembuluh limfe, nodus menjadi
nyeri seiring respon imunitas bekerja
Efek-efek Sistemik
Rasa rubbery, minty atau metallic di Bisa memasuki sirkulasi sistemik, merangsang
dalam mulut reseptor pengecapan
Paresthesia perioral (geli, mati rasa sekitar Efek bisa pada sistem vaskular
mulut)
Mual, muntah Efek bisa pada sistem gastrointestinal
Perubahan status mental Efek bisa pada sistem saraf
Gangguan koagulasi (pendarahan gusi, Bisa menyebabkan trombositopenia dan
pendarahan di tinja, urin atau muntahan) mengganggu mekanisme pembekuan
Hipotensi, syok Cairan bocor dari ruang intravaskular karena
integritas membran terganggu
Sumber: Hurst Reviews Pathophysiology Review, (Hurst, 2008)

Tabel 2.3. Tanda dan Gejala Gigitan Coral Snake

Tanda dan Gejala (Coral Snake) Patofisiologi


Tanda-tanda Awal Bisa mulai menyebar secara sistemik
Sakit kepala
Mual/ muntah
Nyeri Perut

15
Perubahan Neurologis Neurotoksin dan myotoksin menginvasi ke
Mati rasa tubuh
Pergerakan tidak terkoordinasi
Kelemahan
Kesulitan menelan dan bernafas
Kelumpuhan
Ptosis
Diplopia
Berkeringat
Sumber: Hurst Reviews Pathophysiology Review, (Hurst, 2008)

2.A.5 Pemeriksaan Penunjang 1


1. Pemeriksaan darah: Hb, leukosit, trombosit, kreatinin, urea, elektrolit,
waktu pendarahan, waktu pembekuan, waktu protrombin, fibrinogen,
aPTT, D-dimer, uji faal hepar, gas darah (level laktat), golongan darah,
dan uji cocok silang.
2. Pemeriksaan urin: hematuria, glikosuria, proteinuria (mioglobulinuria)
3. EKG
4. Foto dada pada pasien dengan edema pulmo
5. Foto polos untuk menyingkirkan taring yang masih tertanam atau benda
asing
2.A.6 Pemeriksaan Khusus
Tekanan kompartemen mungkin perlu diukur. Perangkat yang tersedia
secara komersial ada yang steril, mudah dirakit dan dibaca, dan dapat
dipergunakan (misalnya monitor tekanan Stryker). Pengukuran tekanan
kompartemen ditujukan saat terjadi pembengkakan yang signifikan, nyeri tidak
sesuai dengan pemeriksaan, dan jika parestesi ada pada anggota tubuh yang
terkena. 2
2.A.7 Komplikasi
Komplikasi kardiovaskular, komplikasi hematologi, dan kolaps paru dapat
terjadi. Neurotoksisitas dengan miokimia dari otot pernapasan dapat

16
menyebabkan kegagalan pernafasan dan ventilasi mekanis. Sindrom kompartemen
sejati adalah komplikasi yang jarang. Kematian jarang terjadi. 2
Blokade neuromuskular yang berkepanjangan dapat terjadi akibat bisa ular
karang. Komplikasi terkait antivenin meliputi reaksi hipersensitivitas langsung
(anafilaksis,tipe I) dan reaksi hipersensitivitas yang tertunda (serum sickness, tipe
III). Anafilaksis adalah suatu peristiwa yang dimediasi oleh immunoglobulin E
(IgE), meliputi degranulasi dari mast sel yang dapat menyebabkan laringospasme,
vasodilatasi, dan kebocoran kapiler. Kematian biasa terjadi tanpa intervensi
farmakologis. Serum sickness terjadi 1-2 minggu setelah pemberian antivenin.
Pengendapan kompleks antigen-imunoglobulin G (IgG) di kulit, sendi dan ginjal
bertanggung jawab atas atralgia, urtikaria, dan glomerulonefritis (jarang).
Biasanya lebih dari 8 vial antivenin harus di berikan untuk menghasilkan sindrom
ini. Perawatan suportif terdiri dari antihistamin dan steroid. Studi yang lebih baru
sekarang melaporkan insiden yang lebih rendah (5,4%) dari reaksi akut
hipersensitivitas.2

Sumber: Review of Forensic Medicine and Toxicology (Biswas, 2015)


Gambar 2.16 Reaksi Antivenom

2.A.8 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan pada kasus gigitan ular berbisa adalah:
1. Menghalangi/ memperlambat absorpsi bisa ular
2. Menetralkan bisa ular yang sudah masuk ke dalam sirkulasi darah
3. Mengatasi efek lokal dan sistemik

17
Tindakan penatalaksanaan1
A. Sebelum penderita dibawa ke pusat pengobatan, beberapa hal yang perlu
diperhatikan adalah:
i. Penderita diistirahatkan dalam posisi horizontal terhadap luka gigitan
untuk mencegah peningkatan jumlah bisa yang kembali ke jantung dan
memasuki sirkulasi sistemik. Lepaskan perhiasan dan pakaian yang ketat
dari sekitar ekstremitas.
ii. Jangan memanipulasi daerah gigitan
iii. Bersihkan menyeluruh dengan sabun dan air
iv. Penderita dilarang berjalan dan dilarang minum minuman yang
mengandung alkohol atau kafein, yang berefek menstimulasi
peningkatan absorpsi bisa
v. Apabila gejala timbul secara cepat sementara belum tersedia antibisa,
ikat daerah proksimal dan distal dari gigitan. Tindakan mengikat ini
kurang berguna jika dilakukan lebih dari 30 menit paska gigitan. Tujuan
ikatan adalah untuk menahan aliran limfe, bukan menahan aliran vena
atau arteri.

Sumber: Principles of Forensic Medicine & Toxicology (Bardale, 2011)


Gambar 2.17 Pertolongan Pertama Pada Gigitan Ular

B. Setelah penderita tiba di pusat pengobatan diberikan terapi suportif sebagai


berikut:
i. Penatalaksanaan jalan nafas

18
ii. Penatalaksanaan fungsi pernafasan
iii. Penatalaksanaan sirkulasi: beri infus cairan kristaloid
iv. Beri pertolongan pertama pada luka gigitan: verban ketat dan luas di atas
luka, imobilisasi (dengan bidai)
v. Ambil 5-10 ml darah untuk pemeriksaan: waktu protrombin, aPTT,
D-dimer, fibrinogen dan Hb, leukosit, trombosit, kreatinin, urea, elektrolit
(terutama K), CK. Periksa waktu pembekuan, jika >10 menit,
menunjukkan kemungkinan adanya koagulopati
vi. Apus tempat gigitan dengan venom detection
vii. Beri SABU (Serum Anti Bisa Ular, serum kuda yang dikebalkan)
polivalen 1 ml berisi:
10-50 LD50 bisa Ankystrodon
25-50 LD50 bisa Bungarus
25-50 LD50 bisa Naya Sputarix
Fenol 0.25% v/v
Teknik pemberian: 2 vial @ 5 ml intra vena dalam 500 ml NaCl 0,9%
atau Dextrose 5% dengan kecepatan 40-80 tetes/ menit. Maksimal 100 ml (20
vial). Infiltrasi lokal pada luka tidak dianjurkan. 1
Indikasi SABU (Serum Anti Bisa Ular) adalah adanya gejala venerasi
sistemik dan edema hebat pada bagian luka.

Sumber: Review of Forensic Medicine and Toxicology (Biswas, 2015)


Gambar 2.18 Indikasi Pemberian Antivenom

19
Pedoman terapi SABU (Serum Anti Bisa Ular) mengacu pada Schwartz
dan Way (Depkes, 2001): Derajat 0 dan I: tidak diperlukan SABU, dilakukan
evaluasi dalam 12 jam, jika derajat meningkat maka diberikan SABU1
i. Derajat II : 3-4 vial SABU
ii. Derajat III : 5-15 vial SABU
iii. Derajat IV : berikan penambahan 6-8 vial SABU
Tabel 2.4. Pedoman Terapi SABU Menurut Luck

Derajat Beratnya Taring Ukuran Zona Gejala Jumlah Vial


Evenomasi atau Edema/ Eritemato Sistemik Venom
Gigi Kulit (cm)
0 Tidak ada + <2 - 0
I Minimal + 2-15 - 5
II Sedang + 15-30 + 10
III Berat + >30 ++ 15
IV Berat + <2 +++ 15
Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2009)

Sumber: Review of Forensic Medicine and Toxicology (Biswas, 2015)


Gambar 2.19 Penilaian Keparahan Gigitan Bisa Ular

Pedoman terapi SABU (Serum Anti Bisa Ular) menurut Luck 1


1. Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit
2. Ulangi pemeriksaan darah pada 3 jam setelah pemberian antivenom

20
a. Jika koagulopati tidak membaik (fibrinogen tidak meningkat,
waktu pembekuan darah tetap memanjang), ulangi pemberian
SABU. Ulangi pemeriksaan darah pada 1 dan 3 jam berikutnya dst.
b. Jika koagulopati membaik (fibrinogen meningkat, waktu
pembekuan menurun) maka monitor ketat diteruskan dan ulangi
pemeriksaan darah untuk memonitor perbaikannya. Monitor
dilanjutkan hinga 2x24 jam untuk mendeteksi kemungkinan
koagulopati berulang. Perhatian untuk penderita gigitan Viperidae
untuk tidak menjalani operasi minimal 2 minggu setelah gigitan.
3. Terapi suportif lainnya pada keadaan:
a. Gangguan koagulasi berat: beri plasma fresh-frozen (dan
antivenin)
b. Perdarahan: beri transfuse darah segar atau komponen darah,
fibrinogen, vitamin K, transfusi trombosit
c. Hipotensi: beri infuse cairan kristaloid
d. Rabdomiolisis: beri cairan dan natrium bikarbonat
e. Monitor pembengkakan lokal setiap jam dengan ukuran lilitan
lengan atau anggota badan
f. Sindrom kompartemen: lakukan fasiotomi
g. Gangguan neurotoksik: beri neostigmin (asetilkolinesterase),
diawali dengan sulfas atropin
h. Beri tetanus profilaksis bila dibutuhkan
i. Untuk mengurangi rasa nyeri berikan aspirin atau kodein, hindari
penggunaan obat-obatan narkotik depresan
4. Terapi profilaksis:
a. Pemberian antibiotika spectrum luas. Kuman terbanyak yang
dijumpai adalah P.aeroginosa, Proteus sp., Clostridium sp.,
B.fragilis
b. Beri toksoid tetanus
c. Pemberian serum anti tetanus: sesuai indikasi

21
2.A.9 Prognosis
Pemulihan penuh adalah peraturannya, meski komplikasi lokal dari bisa
mungkin terjadi. Kematian terjadi kurang dari 1 gigitan per 5000. Kematian akibat
gigitan ular jarang terjadi. Dengan penggunaan antivenin yang tepat, kematian
menjadi lebih jarang.7
Angka kematian yang dilaporkan berkisar 1.4%. Angka ini termasuk
tinggi karena banyak gigitan tidak signifikan yang tidak dilaporkan. Kebanyakan
sekuele terjadi sebagai hasil dari luka pada ekstremitas atas atau wajah dan terdiri
dari: berkurangnya ruang gerak, kelemahan, hipesthesia, paresthesia, anesthesia,
kulit yang memucat warnanya, serta jarang amputasi.7

Sumber: Emergency Medicine.United States of America (Henderson, 2006)


Gambar 2.20 Morbiditas dari Gigitan Ular Berbisa

2.B. Ilmu Forensik


2.B.1 Gejala Post Mortem
2.B.1.1 Pemeriksaan Luar 3,4,8
i. Ular yang berbisa meninggalkan dua tanda taring (kadang-kadang satu)
yang sedikit terpisah satu dari lainnya dan juga tanda kecil dari gigi yang
lain.
ii. Ular yang tidak berbisa meninggalkan serangkaian tanda gigi yang
semisirkular.
iii. Tanda dalamnya gigitan 1-1.5 cm pada colubrine dan 2.5 cm pada viper.
Ini seharusnya diteliti dengan lensa pembesar jika tidak terlihat dengan
mata telanjang.

22
Sumber: Review of Forensic Medicine and Toxicology (Biswas, 2015)
Gambar 2.21 Ciri Eksternal dari Gigitan Ular (a) Berbisa (b) Tidak Berbisa

iv. Pada gigitan viper, terdapat warna yang memucat, bengkak dan selulitis di
sekitar luka, dan pendarahan terjadi dari tempat punksi dan mukosa.
Kelenjar limfa regional membengkak dan pendarahan.
v. Pada gigitan elapidae, tempat gigitan mengandung cairan dan darah
hemolisis menyebabkan pembuluh darah ternoda, dan tidak ada
penampilan yang khas yang mengindikasikan penyebab kematian, kecuali
tanda asfiksia.

2.B.1.2 Pemeriksaan Dalam 3,4,8


i. Temuan pada gigitan ular viperine:
a. Tanda gigitan taring dengan kedalaman 2.5 sentimeter dengan
pembengkakan, ekstravasasi darah, inflamasi, selulitis dan perubahan
warna disekitarnya
b. Darah seperti warna serum keluar dari tempat bekas gigitan
c. Darah encer dengan warna keunguan
d. Bukti pendarahan dari saluran cerna, saluran pernafasan, saluran
kencing
e. Pendarahan peteki pada pleura, pericardium, kandung kemih, lambung,
usus
f. Pendarahan pada endokardium dari ventrikel kiri, septum
interventrikular dan otot papilari
g. Organ-organ internal mengalami kongesti seperti ginjal, hati, paru-
paru dan otak
h. Ginjal mengalami inflamasi, dan mungkin menunjukkan pendarahan
medula, nekrosis tubula, nekrosis korteks dan interstisial nefritis
i. Limfadenopati regional ditemukan

23
ii. Pada gigitan elapidae, tempat gigitan mengandung cairan dan darah
hemolisis menyebabkan pembuluh darah ternoda, dan tidak ada
penampilan yang khas yang mengindikasikan penyebab kematian, kecuali
tanda asfiksia.
iii. Temuan pada gigitan ular colubrine:
a. Tanda taring yang kedalamannya umumnya 1.2 sentimeter dan
tampak dengan lensa pembesar, terdapat lepuhan dan nekrosis pada
tempat gigitan
b. Darah tetap encer menunjukkan hemolisis
c. Busa di dalam mulut dan lubang hidung
d. Tanda asfiksia menonjol
e. Secara mikroskopis, jaringan saraf akan menunjukkan perubahan pada
Nissls granules, fragmentasi dari retikulum sel saraf, opasitas,
fragmentasi dan pembengkakan dari nucleus. Sel-sel medulla
menunjukkan degenerasi granular akut.

2.B.1.3 Aspek medikolegal 3,4,8


i. Baik antivenom diberikan atau tidak, beberapa pasien dengan tanda-tanda
keracunan bisa seharusnya diobservasi di rumah sakit sekurang-kurangnya
24 jam.
ii. Tuduhan kelalaian dokter dalam mengidentifikasi ular dapat terjadi (ketika
ular yang terbunuh dibawa bersama dengan pasien) dengan perkembangan
berikutnya pasien meninggal akibat bisa, terutama awalnya dokter
menyatakan ular tidak berbisa.
iii. Kebanyakan kematian tidak disengaja melainkan secara alamiah.
iv. Sangat jarang digunakan untuk bunuh diri. Ratu Cleopatra dikatakan
melakukan bunuh diri setelah tentaranya dikalahkan dalam perang. Dia
memilih untuk digigit seekor asp (jenis eksotik dari viper), dibanding
dipermalukan oleh musuhnya.

24
v. Kadang-kadang, pembunuhan dilakukan dengan melemparkan ular ke
tempat musuh atau orang yang ditinggalkan di dalam ruangan yang
dipenuhi ular tetapi hal ini tidak dapat dibuktikan tanpa bukti terperinci.
vi. Tubuh binatang yang dibunuh oleh ular yang berbisa mungkin dapat
dimakan tanpa memberikan efek sakit, tetapi darah mereka beracun dan
fatal, jika terinjeksi ke dalam tubuh manusia.
vii. Hewan ternak terkadang diracuni dengan bisa ular dengan meletakkan ular
dan pisang di dalam pot tanah dan mengusik ular dengan membakarnya.
Kobra menggigit pisang memasukkan bisa ke dalamnya. Buah-buahan
diambil keluar dan diolesi kain dimasukkan ke dalam rektum binatang
dengan batang bambu.
viii. Karena gigitan ular dapat kehilangan fungsi permanen pada anggota gerak
yang digigit. Walaupun demikian, insidensi yang tepat belum diketahui
tetapi kehilangan seperti itu dapat dikarenakan luka pada otot, saraf atau
pembuluh darah atau karena bekas luka kontraktur.

2.B.1.4 Kesimpulan Pemeriksaan Forensik


Pada pemeriksaan luar, apabila gigitan ular tidak berbisa akan
meninggalkan tanda gigi yang semisirkular, namun bila berbisa meninggalkan
tanda taring. Kulit sekitar gigitan juga akan tampak memudar, membengkak, dan
tampak pendarahan.
Pada pemeriksaan dalam dapat ditemukan tanda gigitan, pembengkakan
lokal, perubahan warna, lepuhan, pendarahan, busa pada mulut dan lubang
hidung, edema paru, serta kongesti organ.

25
Daftar Pustaka

1. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2009. Buku Ajar


Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I Edisi V. Jakarta: Interna Publishing, 280-283.
2. Medscape, 2017. Snakebite. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article [Accessed 19 Juli 2017].
3. Bardale, Rajesh. 2011. Principles of Forensic Medicine & Toxicology. New
Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers LTD, 477-484.
4. Biswas, Gutam. 2015. Review of Forensic Medicine and Toxicology. 3rd ed.
New Delhi: The Health Sciences Publisher,.524-533.
5. Stanton, B.F., et al. 2011. Nelson Textbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia:
Elsevier Saunders, 2460-2462.
6. Hurst, Marlene. 2008. Hurst Reviews Pathophysiology Review. United States:
Mc Graw Hill Medical, 727-732.
7. Henderson, S.O. 2006. Emergency Medicine.United States of America: Landes
Bioscience, 348-350.
8. Dikshit, P.C. 2007. Textbook of Forensic Medicine and Toxicology. New Delhi:
Peepee Publishers and Distributors (P) Ltd, 506-507.

26

Anda mungkin juga menyukai