Anda di halaman 1dari 10

CERITA PENDEK

A. Pengertian dan Karakteristik Cerpen


Sebagaimana yang telah kita pahami bahwa certia pendek (cerpen) meruakan
cerita yang menurut wujud atau strutur fisiknya berbentuk pendek. Ukuran pangjang
pendeknya suatu cerita memang relatif. Namun, pada umumnya cerita pendek
merupakan cerita yang habis dibaca sekitar sepuluh menit atau setengah jam. Jumlah
katanya sekitar 500 5.000 kata. Olek karena itu, cerita pendek sering diungkapkan
dengan cerita yang dapat dibaca dalam sekali duduk.
Adalah benar bahwa struktur suatu cerita secara umum dibentuk oleh (1)
bagian pengenalan cerita, (2) penanjakan menuju konflik, (3) puncak konflik, (4)
penurunan, dan (5) penyelesaian. Namun, untuk cerpen karena keterbatasanya itu,
beberapa tahapannya tidak semua dilalaui. Alur atau strktur cerpen lebih sering
langsung tertuju pada penanjakan, puncak, dan penyelesaian.
Puncak konflik

Penurunan konflik

Penanjakan
menuju konflik

Leraian
Pengenalan cerita
Struktur Umum Cerita

Seperti dalam cerpen di atas, pembaca langsung dihadapkan pada tahap (2), yakni
penanjakan. Tanpa mengenalkan terlebih dahulu dengan sosok Haji Saleh ataupun latar
belakangnya, pengarang tiba-tiba menunjukkan ketercengangan tokoh tersebut ketika
melihat keadaan di neraka.
Kesederhanaan cerpen tidak hanya dinyatakan dalam strukturnya, tetapi juga
pada tema, penokohan, dan latar.
1. Tema cerpen lebih terfokus, langsung menuju pada masalah tertentu; tidak
beranak cabang seperti halnya dalam novel.
2. Tokoh dalam cerpen melibatkan 2-3 sosok.
3. Latar juga terbatas yang mencakup 1-2 tempat dan waktu beberapa saat saja.
Sementara itu, bahasa yang berlaku dalam cerpen pada umumnya
menggunakan ragam tidak baku atau tidak formal. Hal demikian bisa dipahami karena
cerpen lebih banyak memotret atau menghisahkan gambaran kehidupan sehari-hari.
Sebagai contoh, perhatikan cuplikan cerpen berikut.
Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.
Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat itu?
Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami. Negeri yang lama diperbudak orang lain
itu? Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah penjajah itu, Tuhanku.
Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya dan diangkutnya ke
negerinya, bukan?
Benar Tuhanku, hingga kami tidak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat
mereka itu.
Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi,
sedang hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?
Dalam cuplikan di atas banak dijumpai kalimat yang tidak lengkap strukturnya;
bagian-bagiannya mengalami pelesapan. Dalam cupkikan itu dijumpai pula ragam
bahasa perecakapan dan bentuk-bentuk kata yang tidak formal, seperti ya, bukan,
kamu, melarat.
Susunan kalimat dan pilihan kata seperti itu dengan sengaja memperoleh
penataan; direkayasa pengarang sehingga bisa menggambarkan kehidupan sekaligus
watak dari tokoh yang ia ceritakan. Dengan cara demikian, cerita itu bisa terkesan lebih
nyata, seola-olah benar-benar terjadi.

Tema dan latar berfokus


pada masalah/wilayah
yang terbatas

Karaktreristik Cerpen

B. Struktur dan Ciri Kebahaan Cerpen


Sebagaimana yang telah kita baca dan kita analisis pada pelajaran sebelumnya
bahwa cerpen memiliki struktur atau bagian-bagian tertentu. Bahasan tentang struktur
cerpen berkaitan langsung dengan salah satu unsur cerpen, yakni alur. Stuktur cerpen
merupakan rangkaian cerita yang membentuk suatu cerpen utuh. Dengan demikian,
struktur cerpen tidak lain berupa unsur yang berupa alur, yakni berupa jalinan cerita
yang terbentuk oleh hubungan sebab akibat atapun secara kronologis. Secara umum
jalan cerita terbagi ke dalam bagian-bagian berikut.
a. Pengenalan situasi cerita (orientasi)
Dalam bagian ini, pengarang memperkenalkan para tokoh, menata adegan dan
hubungan antartokoh. Dalam bagian ini juga disajikan peristiwa awal yang
menimbulkan berbagai masalah, pertentangan, ataupun kesukaran-kesukaran bagi
para tokohnya.
b. Komplikasi
Pada bagian ini terjadi masalah-masalah yang dialami tokoh utama yang berupa suatu
konflik, entah itu konflik dengan diri sendiri, dengan orang lain, mungkin pula
berupa konflik dengan lingkungan sekitarnya. Dalam bagian ini mungkin pula
terdapat evaluasi, yang berupa komentar pengarang atas peristiwa puncak yang
telah diceritakannya. Komentar yang dimaksud dapat dinyatakan langsung oleh
pengarang atau diwakili oleh tokoh tertentu. Pada bagian ini alur ataupun konflik
cerita agak mengendur, tetapi pembaca tetap menunggu implikasi ataupun konflik
selanjutnya, sebagai akhir dari ceritanya.
c. Penyelesaian (resolusi)
Sebagai akhir cerita, pada bagian ini berisi penjelasan tentang sikap ataupun nasib-
nasib yang dialami tokohnya setelah mengalami konflik tertentu. Namun ada pula,
cerpen yang penyelesaian akhir ceritanya itu diserahkan kepada imajinasi pembaca.
Jadi, akhir ceritanya itu dibiarkan menggantung, tanpa ada penyelesaian.
Di samping kedua bagian utamanya itu, suatu cerpen mungkin pula dilengkapi
dengan bagian-bagian lainnya. Pada bagian awal, mungkin dihadirkan abstrak, sebagai
gambaran umum tentang keseluruhan cerita yang akan disampaikan. Pada bagian akhir,
mungkin pula pengarangnya menyajikan koda, sebagai ungkapan penutup yang menandai
berakhirnya suatu cerita. Abstrak dan koda bersifat opsional; merupakan suatu pilihan
yang mungkin ada dan mungkin pula tidak tersaji di dalamnya.

Koda

Resolusi

Komplikasi/
evaluasi

Orentasi

Absrak

Unsur lain yang memerlukan perhatian kita secara khusus adalah kadiah atau ciri
bebahasaan yang biasa digunakan di dalam cerpen. Sebagaimana yang kita maklumi
bahwa cerpen merupakan genre fiksi naratif. Dengan demikian, terdapat pihak yang
berperan sebagai tukang cerita (pengarang). Terdapat beberapa kemungkinan posisi
pengarang di dalam menyampaikan ceritanya, yakni sebagai berikut.
a) Berperan langsung sebagai orang pertama, sebagai tokoh yang terlibat dalam cerita
yang bersangkutan. Dalam cerpen dengan sudut pandang ini akan ditemukan kata
ganti orang pertama, seperti aku, saya, kami. Kata-kata itu merupakan pengganti
pengarang sebagai tokoh cerita, mungkin sebagai tokoh utama ataupun sebagai
tokoh sampingan.
b) Berperan sebagai orang ketiga, berperan sebagai pengamat. Ia tidak terlibat di dalam
cerita. Pengarang menggunakan kata dia untuk tokoh-tokohnya.
Selain itu, cerpen memiliki ciri-ciri kebahasaan sebagai berikut.
1) Banyak menggunakan kalimat bermakna lampau, yang ditandai oleh fungsi-fungsi
keterangan yang bermakna kelampauan, seperti ketika itu, beberapa tahun yang lalu,
telah terjadi.
2) Banyak menggunakan kata yang menyatakan urutan waktu (konjungsi kronologis).
Contoh: sejak saat itu, setelah itu, mula-mula, kemudian.
3) Banyak menggunakan kata kerja yang menggambarkan suatu peristiwa yang terjadi,
seperti menyuruh, membersihkan, menawari, melompat, menghindar.
4) Banyak menggunakan kata kerja yang menunjukkan kalimat tak langsung sebagai
cara menceritakan tuturan seorang tokoh oleh pengarang. Contoh: mengatakan
bahwa, menceritakan tentang, mengungkapkan, menanyakan, menyatakan, menuturkan.
5) Banyak menggunakan kata kerja yang menyatakan sesuatu yang dipikirkan atau
dirasakan oleh tokoh. Contoh: merasakan, menginginkan, mengarapkan,
mendambakan, mengalami
6) Menggunakan kata-kata sifat untuk menggabarkan tokoh, tempat, atau suasana.
7) Menggunakan banyak dialog. Hal ini ditunjukkan oleh tanda petik ganda (.) dan
kata kerja yang menunjukkan tuturan langsung. Di dalamnya kalimat-kalimat itu bisa
berupa kalimat berita, tanya, perintah, ataupun kalimat seru.

Konjungsi: Bahasa sehari- Langsung, tidak


Pilihan kata

Ragam bahasa

kausalitas, hari langsung Jenis kalimat


kronologis Ragam bahasa Berita, tanya,
Kata kerja lisan perintah, seru
(tindakan,
menta)
Kata sifat:
tokoh,
suasana)

Kaidah Kebahasaan Teks Cerpen

C. Nilai-nilai Kehidupan di dalam Cerpen


1. Pengertian Nilai
Nilai adalah sesuatu yang penting, berguna, atau bermanfaat bagi manusia.
Semakin tinggi kegunaan suatu benda, maka semakin tinggi pula nilai dari benda itu.
Sebaliknya, rendah kegunaan suatu benda, maka semakin rendah pula nilai benda itu.
Misalnya, emas dikatakan sebagai benda yang bernilai karena emas memiliki banyak
kegunaan: perhiasan, tabungan kekayaan, pengganti uang, Adapun limbah diangap
sebagai benda tidak bernilai karena benda itu tidak memiliki manfaat apapun.
Bernilai tidaknya suatu benda atau yang lainnya ditentukan oleh sudut pandang
tertentu. Misalnya, emas itu dikatakan bernilai ditinjau dari sudut pandang ekonomi.
Karena itu, milikilah emas sebanyak-banyaknya kalau ingin hidup kita berkecukupan.
Tidaklah demikian dari sudut pandang moral, emas bukanlah hal yang penting;
yang harus dimililiki manusia menurutnya adalah perbuatan yang baik kepada sesama.
Bahkan, emas dan harta lainnya bisa dianggap tidak berguna apabila diperoleh secara
tidak benar. Pemiliknya juga dianggap tidak bermoral apabila emas itu hanya digunakan
untuk pamer sementara masyarakat sekitarnya berada dalam kenestapaan.
Di masyarakat, kriteria untuk mengukur arti pentingnya suatu benda, perbuatan,
sikap, dan yang lainnya itu banyak sekali. Beberapa di antaranya adalah budaya, moral,
agama, dan politik.
1. Nilai-nilai budaya berkaitan dengan pemikiran, kebiasaan, dan hasil karya cipta
manusia.
2. Nilai-nilai moral berkaitan dengan perbuatan baik dan buruk yang menjadi dasar
kehidupan manusia dan masyarakatnya
3. Nilai agama berkaitan dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan Allah dan
utusan-utusan-Nya.
4. Nilai politik berkaitan dengan cara manusia dalam meraih kekuasaan.

2. Keberadaan Nilai dalam Cerpen


Nilai dari sebuah cerpen tidak hanya berkaitan dengan keindahan bahasa dan
komplesiitas jalinan cerita. Nilai atau sesuatu yang beharga dalam cerpen juga berupa
pesan atau amanat. Wujudnya seperti yang dikemukakan di atas: ada yang berkenaan
dengan masalah budaya, moral, agama, ataun politik. Realitas pesan-pesan itu mungkin
berupa pentingnya menghargai tetangga, perlunya kesetiaan pada kekasih, ketawakalan
kepada Tuhan, dan sebagainya. Hanya saja kadang-kadang kita tidak mudah untuk
merasakan kehadiran pesan-pesan itu. Karya-karya semacam itu perlu kita hayati
benar-benar.
Untuk menemukan keberadaan suatu nilai dalam cerpen, kamu dapat
menegajukan sejumlah pertanyaan, misalnya, sebagai berikut.
1) Mengapa tokoh A mengatakan hal itu berkali-kali?
2) Mengapa latar cerita itu sekolah dan pada sore hari?
3) Mengapa pengarang membuat jalan cerita seperti itu?
4) Mengapa seorang tokoh dimatikan sementara sementara yang lain tidak?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti itu akan membawa kita kepada kesimpulan
tentang nilai tertentu yang disajikan pengarang
Perhatikan penggalan cerpen berikut.
Pak, pohon pepaya di pekaranganku telah dirobohkan dengan tak semena-mena,
tidaklah sepatutnya hal itu kulaporkan? Itu benar, tapi jangan melebih-lebihkan.
Ingat, yang harus diutamakan ialah kerukunan kampung. Soal kecil yang dibesar-
besarkan bisa mengakibatkan kericuhan dalam kampung. Setiap soal mesti
diselesaikan dengan sebaik-baiknya. Tidak boleh main seruduk. Masih ingatkah kau
pada peristiwa Dullah dan Bidin tempo hari? Hanya karena soal dua kilo beras,
seorang kehilangan nyawa dan yang lain meringkuk di penjara.
(Cerpen Gerhana, Muhammad Ali)

Penggalan cerpen tersebut mengungkapkan perlunya menjaga diri, yakni untuk


tidak melebih-lebihkan persoalan sepele karena hal tersebut bisa berakibat fatal. Dalam
unsur-unsur intrinsik karya sastra, pernyataan tersebut dinamakan dengan amanat.
Pernyataan seperti itulah yang dianggap bernilai atau sesuatu yang berguna, sebagai
obor atau petunjuk jalan bagi seseorang dalam berperilaku. Karena berkaitan dengan
baik-buruknya perilaku dalam bermasyarakat, makan hal itu dinamakan dengan nilai
moral.

D. Daya Tarik Cerpen


Daya tarik sebuah cerpen bisa dilantarankan pada berbagai hal. Seperti halnya
ketertarikanmu pada seseorang yang bisa disebabkan oleh penampilan, tutur kataa,
kepintaran, keluarga, atau kekayaannya. Mungkin karena hal itu disebabkan oleh hal
sepele, misalnya karena ia memiliki tahi lalat yang mirip dengan yang dipunyai ibumu.
Demikian halnya ketertarikanmu pada cerpen; hal itu dapat disebabkan oleh hal-hal
berikut:
a. temanya yang langka atau sedang teralami,
b. alurnya yang mendebarkan,
c. cara penyelesaian cerita yang penuh kejutan,
d. tokoh-tokohnya yang penuh simpatik dan heroik,
e. latarnya yang penuh pesona, atau
f. rangkaian katanya yang memikat.
Untuk lebih jelasnya, perhatikan kembali cerpen Matahari Tak Terbit Pagi Ini!
Cerpen itu menjadi menarik, misalnya, karena temanya sesuai dengan kondisimu yang
sedang ditinggal jauh oleh seorang yang kamu cintai. Cerpen itu seakan-akan mewakili
dirimu yang kesepian.
Daya tarik cerpen itu juga terletak pada karakter tokoh-tokohnya yang bersikap
mesra, setia, dan penyabar. Karakter seperti itu memang sangat mengangumkan dan
bisa menjadi inspirasi bagi seseorang yang mendambakannya.
Yang tidak kalah menariknya, cerpen itu menggunakan rangkaian kata yang
memikat. Bahasanya begitu puitis mengandung makna yang begitu mendalam. Kamu
perhatikan saja kata-kata berikut.
a. Kita butuh sejuta tangan dan cakar untuk menaklukkan segenap awan dan matahari
itu.
b. Tak bolehkah kita mereguk kebahagiaan di sisa waktu yang masih tersedia meski
semua jalan yang terbuka di depan bagai tak berujung jua.
c. Garis panjang waktu itu mendedahkan kemungkinan-kemungkinan yang sulit diraba.
d. Ya, kesetiaan tak kasat-mata. Hanya ada di bilik hati.
e. Ingin aku menjenguk bilik hatimu setiap saat, tapi tak bisa. Pintu hati itu tak setiap
waktu bisa terbuka.
Kata-kata di atas memiliki arti yang begitu mendalam dan bisa menjadi pelajaran
hidup, bukan? Karena itu, tidak berlebihan apabila kamu memajangnya di dinding
kamarmu atau menyelipkannya dalam buku catatan sebagai bahan renungan. Mungkin
pula kamu mengutip dan mengirimkannnya pada seseorang sebagai pesan dan gambaran
isi hatimu untuknya.
E. Menulis Resensi Buku Kumpulan Cerpen
Buku kumpulan cerpen lazim disebut dengan antologi cerpen. Isinya merupakan
cerpen-cerpen pilihan dari seorang atau beberapa orang penulis. Cerpen itu pada
umumnya dihimpun berdasarkan kesamaan temanya.
Resensi merupakan karangan yang berisi ulasan sebuah karya, baik itu berupa
buku, film, ataupun album lagu. Resensi dapat pula didefinisikan sebagai suatu karangan
yang berisi penilaian terhadap suatu buku atau karya seni. Resensi ditulis untuk
memperkenalkan buku atau karya seni itu kepada masyarakat pembaca dan membantu
masyarakat pembaca untuk memilih buku atau karya seni yang benar
Berikut hal-hal yang perlu diungkapkan dalam resensi buku kumpulan cerpen:
1. identitas buku, yang meliputi
a. judul,
b. nama pengarang,
c. kota dan nama penerbit,
d. tahun atau edisi penerbitan, serta
e. tebal buku.
2. ringkasan cerpen yang dianggap penting ataumenarik,
3. kepengarangan, seperti:
a. latar belakang,
b. karier kepenulisan,
c. karya-karyanya,
d. gaya pengarang,
4. keunggulan dan kelemahan, berkenaan dengan:
a. tema,
b. amanat
c. alur,
d. penokohan, dan unsur-unsur cerita lainnya.
5. kesimpulan dan saran-saran.
Ada yang berbeda ketika menulis resensi kumpulan cerpen dengan resensi
novel ataupun buku-buku lainnya. Ketika menulis resensi kumpulan cerpen kita
dihadapkan pada banyak cerita yang berbed-beda dan boleh jadi satu sama lain tidak
saling berhubungan. Cerita-cerita itu harus kita tarik dalam nilai dalam satu kesatuan
bahasan, baik itu berdasarkan sudut pandang tema, karakter tokoh, latar, ataupun
kepengarangannya.
Untuk lebih jelasnya, perhatikanlah model resensi di bawah ini.
JEJAK PAKAR KOMUNIKASI DALAM CERPEN
oleh Ahmad Fatoni

Judul : Senja di San Francisco


Pengarang : Deddy Mulyana
Penerbit : Rosda Karya, Bandung
Tebal : 245 hlm. + x
Prof. Dr. Deddy Mulyana kita kenal sebagai pakar komunikasi. Namun, jauh
sebelum menghasilkan belasan buku komunikasi, termasuk Ilmu Komunikasi: Sebuah
Pengantar (2000) yang best seller, Deddy telah menulis banyak cerpen, meskipun hanya
sebatas hobi untuk mengisi waktu sepi. Dalam rentang masa hampir 20 tahun, tak
kurang dari 80 cerpen (beberapa di antaranya adalah terjemahan) telah dimuat di
berbagai media lokal maupun nasional. Tak heran, bila kali ini ia menghadirkan sebuah
parade cerpen dengan label Senja di San Fransisco.
Meskipun sebagai karya fiksi, sebagian besar cerpen dalam buku ini terilhami
oleh pengalaman Deddy sendiri selama studi di Amerika Serikat (1984-1986), jejak
perjalanannya ke berbagai pelosok negeri itu. Nyaris semua kota yang melatarbelakangi
keduapuluh cerpen dalam buku ini pernah penulis kunjungi. Tentu saja tokoh-tokoh
yang ditampilkan semuanya sekadar imajiner, sekalipun peran ketokohannya itu
mengandung kemiripan dalam derajat yang berlainan- dengan apa yang ia lihat, dengar
dan baca.
Lewat berbagai kisah yang dipersembahkan, pembaca akan menyelami
sekelumit nuansa Islami dan kehidupan kaum muslim Amerika, serta berbagai aspek
budaya negara adidaya itu. Misalnya, bagaimana kisah seorang pemuda Indonesia yang
melacak kakak perempuannya yang sempat terperosok dalam kehidupan glamour,
seperti terluis dalam cerpen "Senja di San Fransisco." Dengan paparan secara naratif,
alur tema cerpen ini sebetulnya kurang menggoda, kurang membangkitkan penasaran
untuk bertanya-tanya, meskipun tetap ada poin perenungan pada diri tokohnya. Dan
harus dicatat bahwa Deddy Mulyana adalah seorang pakar komunikasi, sehingga rata-
rata cerpennya menarik disimak. Suasana yang diceritakan saling mendukung dengan
gaya bahasa yagn bersahaja, mengalir, ringan namun tidak berarti gampangan.
Cerpen-cerpen naratif lainnya, misalnya; kisah sedih seorang berkulit hitam
yang akan berpisah jauh dari ayahnya dalam cerpen "Keberangkatan", tentang seorang
Amerika keturunan Yahudi yang menghabiskan hari Idul Fitri-nya yang pertama dalam
"Lebaran di Marion", juga cerita mengenai keteguhan seorang siswi berdarah Pakistan di
sebuah sekolah menengah di tengah-tengah tradisi Barat modern dalam cerpen "Nishat
Khan."
Tema lain yang cukup menonjol dalam kumpulan cerpen ini adalah konversi
agama nonmuslim dan muslim, yang dalam kenyataan dialami banyak orang Amerika
selama beberapa dekade terakhir ini. Kontak langsung penulis dengan pengakuan "santri
bule" menjadikan setting sebagian cerpennya mengungkap data menarik tentang
perubahan dalam konsep diri manusia secara alami.
Pengalaman seorang ahli komunikasi sekaliber Prof. Dr. Deddy Mulyana dalam
menelusuri pelbagai budaya dan sudut tempat di negeri Paman Sam, lalu
menuangkannya dalam bentuk karya sastra berupa cerpen, terlihat jelas dari
pengalaman tersebut sisi-sisi emosional sekaligus kecerdasan intelektual di baliknya.
Struktur berpikir dalam cerpen-cerpennya tidak mengada-ada sebab tema-tema yang
diusung berdasarkan pengalaman langsung dari dunia empirik. Benar kata orang,
pengalaman (bacaan) adalah ilham yang terbaik (untuk menulis cerpen).
Dengan menulis kumpulan cerpen ini, Deddy tidak serta merta menganggap
dirinya sebagai seorang cerpenis atau sastrawan. Ia juga tak peduli apakah buku ini akan
dianggap sebagai karya sastra atau bukan. Menurutnya, terlalu simplistik dan bahkan
menyesatkan untuk mengkatagorikan seseorang sebagai sastrawan dan bukan
sastrawan, sebagaimana juga menggolong-golongkan karya fiksi ke dalam sastra dan
bukan sastra. (Ahmad Fatoni, staf pengajar AIK pada Universitas Muhammadiyah Malang
(Sumber: http://rosda.co.id).

F. Menulis Cerpen
1. Menentukan Topik yang Baik
Penulis cerpen yang baik adalah orang yang dapat menjadikan topik yang
sederhana, yang tidak begitu berarti, menjadi suatu karya yang menarik dan bermanfaat
bagi pembacanya. Ide-ide penulisannya, cukup digali dari peristiwa-peristiwa yang terjadi
pada kesehariannya. Selain mudah diperoleh, ide-ide semacam itu begitu diakrabi
sehingga mudah pula untuk dikembangkan.
Pengalaman pribadi ataupun pengalaman orang lain merupakan bahan dasar
suatu cerita. Hanya saja memang pengalaman itu masih berserakan, berada di sana-sini,
tidak sedikit pula yang berupa peristiwa-peristiwa yang sepotong-potong. Oleh akrena
itu, peristiwa-peristiwa itu harus direkayasa kembali sehingga menjadi unik, baru, dan
tentu saja tidak ada duannya. Kedengarannya sulit sekali. Memang betul, tida ada yang
baru lagi di atas dunia ini. Akan tetapi bukankah senantiasa ada perbedaan? Serupa, tapi
tak sama! Buktinya, sejak dulu hingga kini orang banyak menulis kisah tentang cinta.
Namun selalu ada saja hal manarik dari dalamnya untuk dibaca.
Dari satu topik yang sama, pasti ada sudut-sudut yang unik yang dapat kita
tulis. Kita dapat membumbui kisah-kisah itu dengan fantasi dan pengalaman pribadi kita
yang tentunya tidak akan sama dengan pengalaman yang dimiliki orang lain.
3. Menulislah dengan Emosi
Tugas seorang penulis cerpen adalah memperlakukan topik yang akan ditulis
sesuai dengan emosi dan nuraninya sendiri. Unsur emosi memang penting dalam
menulis cerpen. Kata-kata yang tidak mampu membangkitkan suasana "emosi", sering
membuat karangan itu terasa hambar dan tidak menarik. Namun demikian, kata-kata
tersebut tidak harus dibuat-buat. Kata-kata atau ungkapan yang kita pilih adalah kata-
kata yang mempribadi. Kata-kata itu dibiarkan mengalir apa adanya. Dengan cara
demikian, akan terciptalah sebuah karya yang segar, menarik, dan alamiah.
Memilih kata-kata memerlukan detail yang apik dan kreatif. Pemilihan kata-kata
yang biasa-biasa saja, tanpa ada sentuhan emosi, tidak akan begitu menarik bagi
pembaca. Jika penulis melukiskan keadaan Kota Jakarta, misalnya, tentang gedung-
jedung yang tinggi, kesemerawutan lalu lintas, dan keramaian kotanya, berarti dalam
karangan itu tidak ada yang baru. Akan tetapi, ketika seorang penulis melukiskan
keadaan Kota Jakarta dengan mengaitkannya dengan suasana hati tokoh ceritanya, maka
penggambaran itu menjadi begitu berasa.
Perhatikan contoh berikut!
"Lampu-lampu yang berkilau terasa menusuk-nusuk matanya, sedangkan
kebisingan kota menyayat-nyayat hatinya. Samar-samar dia sadari bahwa dia telah
kehilangan adiknya: Paijo tercinta!
Pak Pong yang malang menatap kota dengan dendam di dalam hati. Jakarta,
kesibukannya, Bina Graha, gedung-gedung itu...."
(Sumber: "Jakarta", Totilawati Tj.)
Perhatikan pula cuplikan berikut!
Lelaki berkaca mata itu membuka kancing baju kemejanya bagian atas. Ia
kelihatan gelisah, berkeringat, meski ia sedang berada di dalam ruangan yang
berpendingin. Akan tetapi, ketika seorang perempuan cantik muncul dari balik
koridor menuju tempat lelaki berkacamata itu menunggu, wajahnya berubah
menjadi berseri-seri. Seakan lelaki itu begitu pandai menyimpan kegelisahannya.
"Sudah lama?" tanya perempuan cantik itu sambil melempar senyum.
"Baru setengah jam," jawabnya setengah bergurau.
Gerak-gerik tokoh, identitasnya (berkacamata), serta situasi kejiwaannya jelas
tergambar dalam cuplikan di atas. Karakter tokoh benar-benar hidup sesuai dengan
kondisi dan keadaan cerita yang dialaminya. Penulis mewakilkan situasi kejiwaan tokoh
yang gelisah melalui kata-kata membuka kancing baju kemejanya, berkeringat, berubah
menjadi berseri-seri.

Anda mungkin juga menyukai