Penurunan konflik
Penanjakan
menuju konflik
Leraian
Pengenalan cerita
Struktur Umum Cerita
Seperti dalam cerpen di atas, pembaca langsung dihadapkan pada tahap (2), yakni
penanjakan. Tanpa mengenalkan terlebih dahulu dengan sosok Haji Saleh ataupun latar
belakangnya, pengarang tiba-tiba menunjukkan ketercengangan tokoh tersebut ketika
melihat keadaan di neraka.
Kesederhanaan cerpen tidak hanya dinyatakan dalam strukturnya, tetapi juga
pada tema, penokohan, dan latar.
1. Tema cerpen lebih terfokus, langsung menuju pada masalah tertentu; tidak
beranak cabang seperti halnya dalam novel.
2. Tokoh dalam cerpen melibatkan 2-3 sosok.
3. Latar juga terbatas yang mencakup 1-2 tempat dan waktu beberapa saat saja.
Sementara itu, bahasa yang berlaku dalam cerpen pada umumnya
menggunakan ragam tidak baku atau tidak formal. Hal demikian bisa dipahami karena
cerpen lebih banyak memotret atau menghisahkan gambaran kehidupan sehari-hari.
Sebagai contoh, perhatikan cuplikan cerpen berikut.
Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.
Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat itu?
Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami. Negeri yang lama diperbudak orang lain
itu? Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah penjajah itu, Tuhanku.
Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya dan diangkutnya ke
negerinya, bukan?
Benar Tuhanku, hingga kami tidak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat
mereka itu.
Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi,
sedang hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?
Dalam cuplikan di atas banak dijumpai kalimat yang tidak lengkap strukturnya;
bagian-bagiannya mengalami pelesapan. Dalam cupkikan itu dijumpai pula ragam
bahasa perecakapan dan bentuk-bentuk kata yang tidak formal, seperti ya, bukan,
kamu, melarat.
Susunan kalimat dan pilihan kata seperti itu dengan sengaja memperoleh
penataan; direkayasa pengarang sehingga bisa menggambarkan kehidupan sekaligus
watak dari tokoh yang ia ceritakan. Dengan cara demikian, cerita itu bisa terkesan lebih
nyata, seola-olah benar-benar terjadi.
Karaktreristik Cerpen
Koda
Resolusi
Komplikasi/
evaluasi
Orentasi
Absrak
Unsur lain yang memerlukan perhatian kita secara khusus adalah kadiah atau ciri
bebahasaan yang biasa digunakan di dalam cerpen. Sebagaimana yang kita maklumi
bahwa cerpen merupakan genre fiksi naratif. Dengan demikian, terdapat pihak yang
berperan sebagai tukang cerita (pengarang). Terdapat beberapa kemungkinan posisi
pengarang di dalam menyampaikan ceritanya, yakni sebagai berikut.
a) Berperan langsung sebagai orang pertama, sebagai tokoh yang terlibat dalam cerita
yang bersangkutan. Dalam cerpen dengan sudut pandang ini akan ditemukan kata
ganti orang pertama, seperti aku, saya, kami. Kata-kata itu merupakan pengganti
pengarang sebagai tokoh cerita, mungkin sebagai tokoh utama ataupun sebagai
tokoh sampingan.
b) Berperan sebagai orang ketiga, berperan sebagai pengamat. Ia tidak terlibat di dalam
cerita. Pengarang menggunakan kata dia untuk tokoh-tokohnya.
Selain itu, cerpen memiliki ciri-ciri kebahasaan sebagai berikut.
1) Banyak menggunakan kalimat bermakna lampau, yang ditandai oleh fungsi-fungsi
keterangan yang bermakna kelampauan, seperti ketika itu, beberapa tahun yang lalu,
telah terjadi.
2) Banyak menggunakan kata yang menyatakan urutan waktu (konjungsi kronologis).
Contoh: sejak saat itu, setelah itu, mula-mula, kemudian.
3) Banyak menggunakan kata kerja yang menggambarkan suatu peristiwa yang terjadi,
seperti menyuruh, membersihkan, menawari, melompat, menghindar.
4) Banyak menggunakan kata kerja yang menunjukkan kalimat tak langsung sebagai
cara menceritakan tuturan seorang tokoh oleh pengarang. Contoh: mengatakan
bahwa, menceritakan tentang, mengungkapkan, menanyakan, menyatakan, menuturkan.
5) Banyak menggunakan kata kerja yang menyatakan sesuatu yang dipikirkan atau
dirasakan oleh tokoh. Contoh: merasakan, menginginkan, mengarapkan,
mendambakan, mengalami
6) Menggunakan kata-kata sifat untuk menggabarkan tokoh, tempat, atau suasana.
7) Menggunakan banyak dialog. Hal ini ditunjukkan oleh tanda petik ganda (.) dan
kata kerja yang menunjukkan tuturan langsung. Di dalamnya kalimat-kalimat itu bisa
berupa kalimat berita, tanya, perintah, ataupun kalimat seru.
Ragam bahasa
F. Menulis Cerpen
1. Menentukan Topik yang Baik
Penulis cerpen yang baik adalah orang yang dapat menjadikan topik yang
sederhana, yang tidak begitu berarti, menjadi suatu karya yang menarik dan bermanfaat
bagi pembacanya. Ide-ide penulisannya, cukup digali dari peristiwa-peristiwa yang terjadi
pada kesehariannya. Selain mudah diperoleh, ide-ide semacam itu begitu diakrabi
sehingga mudah pula untuk dikembangkan.
Pengalaman pribadi ataupun pengalaman orang lain merupakan bahan dasar
suatu cerita. Hanya saja memang pengalaman itu masih berserakan, berada di sana-sini,
tidak sedikit pula yang berupa peristiwa-peristiwa yang sepotong-potong. Oleh akrena
itu, peristiwa-peristiwa itu harus direkayasa kembali sehingga menjadi unik, baru, dan
tentu saja tidak ada duannya. Kedengarannya sulit sekali. Memang betul, tida ada yang
baru lagi di atas dunia ini. Akan tetapi bukankah senantiasa ada perbedaan? Serupa, tapi
tak sama! Buktinya, sejak dulu hingga kini orang banyak menulis kisah tentang cinta.
Namun selalu ada saja hal manarik dari dalamnya untuk dibaca.
Dari satu topik yang sama, pasti ada sudut-sudut yang unik yang dapat kita
tulis. Kita dapat membumbui kisah-kisah itu dengan fantasi dan pengalaman pribadi kita
yang tentunya tidak akan sama dengan pengalaman yang dimiliki orang lain.
3. Menulislah dengan Emosi
Tugas seorang penulis cerpen adalah memperlakukan topik yang akan ditulis
sesuai dengan emosi dan nuraninya sendiri. Unsur emosi memang penting dalam
menulis cerpen. Kata-kata yang tidak mampu membangkitkan suasana "emosi", sering
membuat karangan itu terasa hambar dan tidak menarik. Namun demikian, kata-kata
tersebut tidak harus dibuat-buat. Kata-kata atau ungkapan yang kita pilih adalah kata-
kata yang mempribadi. Kata-kata itu dibiarkan mengalir apa adanya. Dengan cara
demikian, akan terciptalah sebuah karya yang segar, menarik, dan alamiah.
Memilih kata-kata memerlukan detail yang apik dan kreatif. Pemilihan kata-kata
yang biasa-biasa saja, tanpa ada sentuhan emosi, tidak akan begitu menarik bagi
pembaca. Jika penulis melukiskan keadaan Kota Jakarta, misalnya, tentang gedung-
jedung yang tinggi, kesemerawutan lalu lintas, dan keramaian kotanya, berarti dalam
karangan itu tidak ada yang baru. Akan tetapi, ketika seorang penulis melukiskan
keadaan Kota Jakarta dengan mengaitkannya dengan suasana hati tokoh ceritanya, maka
penggambaran itu menjadi begitu berasa.
Perhatikan contoh berikut!
"Lampu-lampu yang berkilau terasa menusuk-nusuk matanya, sedangkan
kebisingan kota menyayat-nyayat hatinya. Samar-samar dia sadari bahwa dia telah
kehilangan adiknya: Paijo tercinta!
Pak Pong yang malang menatap kota dengan dendam di dalam hati. Jakarta,
kesibukannya, Bina Graha, gedung-gedung itu...."
(Sumber: "Jakarta", Totilawati Tj.)
Perhatikan pula cuplikan berikut!
Lelaki berkaca mata itu membuka kancing baju kemejanya bagian atas. Ia
kelihatan gelisah, berkeringat, meski ia sedang berada di dalam ruangan yang
berpendingin. Akan tetapi, ketika seorang perempuan cantik muncul dari balik
koridor menuju tempat lelaki berkacamata itu menunggu, wajahnya berubah
menjadi berseri-seri. Seakan lelaki itu begitu pandai menyimpan kegelisahannya.
"Sudah lama?" tanya perempuan cantik itu sambil melempar senyum.
"Baru setengah jam," jawabnya setengah bergurau.
Gerak-gerik tokoh, identitasnya (berkacamata), serta situasi kejiwaannya jelas
tergambar dalam cuplikan di atas. Karakter tokoh benar-benar hidup sesuai dengan
kondisi dan keadaan cerita yang dialaminya. Penulis mewakilkan situasi kejiwaan tokoh
yang gelisah melalui kata-kata membuka kancing baju kemejanya, berkeringat, berubah
menjadi berseri-seri.