Anda di halaman 1dari 3

Waktu Lembur dan Upah Lembur

Pada dasarnya pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja wajib membayar
upah kerja lembur.[1] Akan tetapi, ketentuan waktu kerja lembur ini tidak berlaku bagi sektor usaha
atau pekerjaan tertentu.[2]

Ketentuan mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja lembur ini kemudian diatur lebih lanjut dalam
Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP-102/MEN/VI/2004
Tahun 2004 tentang Waktu Kerja Lembur Dan Upah Kerja Lembur (Kepmen 102/2004).

Dalam Kepmen 102/2004, dijelaskan mengenai definisi dari waktu kerja lembur. Waktu kerja lembur
adalah waktu kerja yang melebihi 7 (tujuh) jam sehari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6
(enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 8 (delapan) jam sehari, dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu)
minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau waktu kerja pada hari istirahat mingguan
dan atau pada hari libur resmi yang ditetapkan Pemerintah.[3]

Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja, wajib membayar upah lembur.[4]
Akan tetapi, bagi pekerja/buruh yang termasuk dalam golongan jabatan tertentu, tidak berhak atas upah
kerja lembur, dengan ketentuan mendapat upah yang lebih tinggi.[5] Kepmen 102/2004 tidak
menyebutkan secara eksplisit apa saja jabatan yang tidak mendapatkan uang lembur.

Dalam Kepmen 102/2004 hanya disebutkan secara umum bahwa yang termasuk dalam golongan
jabatan tertentu adalah mereka yang memiliki tanggung jawab sebagai pemikir, perencana, pelaksana
dan pengendali jalannya perusahaan yang waktu kerjanya tidak dapat dibatasi menurut waktu kerja
yang ditetapkan perusahaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[6]
Jadi harus dilihat kembali uraian pekerjaan dari Wakil Kepala Seksi sampai dengan Kepala Divisi. Jika
uraian pekerjaan Wakil Kepala Seksi sampai dengan Kepala Divisi memang sesuai dengan kriteria
memiliki tanggung jawab sebagai pemikir, perencana, pelaksana dan pengendali jalannya perusahaan
yang waktu kerjanya tidak dapat dibatasi, maka sah saja perusahaan membuat peraturan bahwa
jabatan-jabatan tersebut tidak mendapat upah lembur.

Jika peraturan mengenai jabatan yang tidak mendapatkan upah lembur ini dituangkan dalam bentuk
peraturan perusahaan, maka harus diperhatikan bahwa peraturan perusahaan disusun dengan
memperhatikan saran dan pertimbangan dari wakil pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.[7]
Yang dimaksud dengan wakil pekerja/buruh adalah:

1. Pengurus serikat pekerja/serikat buruh jika di perusahaan tersebut ada serikat pekerja/serikat
buruh.[8]

2. Pekerja/buruh yang dipilih secara demokratis untuk mewakili kepentingan para pekerja/buruh di
perusahaan yang bersangkutan, jika di perusahaan tersebut belum terbentuk serikat pekerja/serikat
buruh.[9]

Ini berarti dalam membuat peraturan perusahaan pun, pengusaha tidak bisa langsung membuat
peraturan perusahaan sesuai kehendaknya, tetapi harus mempertimbangkan saran dari pekerja.

Jika sebelumnya telah ada peraturan perusahaan dan perusahaan ingin mengubahnya untuk
mencantumkan peraturan mengenai jabatan tertentu yang tidak lagi mendapatkan upah lembur, harus
diingat bahwa perubahan peraturan perusahaan sebelum berakhir jangka waktu berlakunya pun hanya
dapat dilakukan atas dasar kesepakatan antara pengusaha dan wakil pekerja/buruh.[10] Masa berlaku
peraturan perusahaan paling lama 2 (dua) tahun.[11]
Hal serupa dijelaskan oleh Moh. Mustaqim, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia sekaligus
Konsultan Human Resources Development. Mustaqim menjelaskan bahwa pada dasarnya secara
normatif memang demikian adanya yang diatur dalam Kepmen 102/2004 mengenai pekerja-pekerja
yang tidak mendapatkan upah lembur dan tidak ada penjabaran lebih lanjut mengenai apa yang
dimaksud dengan pemikir, perencana, pelaksana dan pengendali jalannya perusahaan. Oleh karena
itu, perusahaan yang nantinya akan memberikan definisi sendiri mengenai hal tersebut. Ini akan
dituangkan dalam Peraturan Perusahaan. Tentu pekerja akan melakukan negosiasi mengenai
pengaturan jabatan mana saja yang tidak mendapatkan uang lembur lagi. Negosiasi ini dapat dilakukan
pada saat pembuatan Peraturan Perusahaan yang memang memperhatikan saran dan pertimbangan
dari pekerja.

Melihat pada ketentuan di atas, jelas bahwa perusahaan memang mempunyai kewenangan untuk
menentukan jabatan-jabatan apa saja yang tidak lagi mendapatkan uang lembur dengan tetap merujuk
pada ketentuan kriteria pekerjaan dalam Kepmen 102/2004 yang tidak mendapatkan uang lembur lagi.
Akan tetapi, penentuan tersebut perlu disosialisasikan untuk mendengar pendapat dari para pekerja.

Anda mungkin juga menyukai