Anda di halaman 1dari 13

PEDOMAN PRAKTIK KLINIS

Fraktur Basis Crani

Tim Neurotrauma
RSU Dr.Soetomo Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya

Asus
[Email address]
DAFTAR ISI

HALAMAN
DAFTAR ISI ...................................................................................................................................0
BAB I. PENDAHULUAN...............................................................................................................2
I.1. Latar Belakang ..........................................................................................................................2
I.2. Permasalahan .............................................................................................................................2
I.3. Tujuan ........................................................................................................................................2
I.4. Sasaran.......................................................................................................................................3
BAB II. METODOLOGI .................................................................................................................4
II.1. Penelusuran Kepustakaan ........................................................................................................4
II.2. Penilaian Telaah Kritis Kepustakaan .......................................................................................4
II.3. Peringkat Bukti (Level Evidence) ............................................................................................4
II.4. Derajat Rekomendasi ...............................................................................................................5
BAB III. Fraktur Basisi Cranii.........................................................................................................6
III.1. Definisi ...................................................................................................................................6
III.2. Etiologi ...................................................................................................................................6
III.3. Klasifikasi ...............................................................................................................................6
III.4. Pemeriksaan Klinis .................................................................................................................6
III.5. Pemeriksaan Penunjang ..........................................................................................................7
III.6. Tatalaksana .............................................................................................................................7
III.7. Alogaritma Diagnosis dan Tatalaksana ..................................................................................9
Daftar Pustaka................................................................................................................................11

1
BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Cedera otak adalah suatu gangguan pada fungsi otak, atau gangguan lain pada otak yang
disebabkan oleh tekanan atau benturan dari luar kepala. Gangguan fungsi otak ini diketahui dari
beberapa tanda klinis seperti adanya periode hilang kesadaran, hilang ingatan sesaat sebelum
kejadian (retrograde amnesia) atau sesaat setelah kejadian (post traumatic amnesia), deficit
neurologis, dan perubahan status mental ketika kejadian seperti bingung atau disorientasi.1,2,3
Penyebab utama dari cedera otak adalah trauma kepala. Salah satu bentuk trauma kepala adalah
Fraktur Basis Cranii, yaitu fraktur linear pada basis cranii, yang dapat merupakan penjalaran dari
fraktur ditempat lain, atau merupakan fraktur tunggal. Fraktur basis cranii terjadi sebagai akibat
dari benturan langsung, atau akibat benturan di bagian lain dari yang menjalarkan energi
benturan ke basis cranii. Biasanya diikuti dengan robekan dura, dan menyebabkan kebocoran
CSF, sehingga mengakibatkan bloody rinorea, dan bloody othorea. Angka kejadian FBC di dunia
antara 7% dan 15,8% dari seluruh fraktur tulang kepala. Dengan kebocoran CSF antara 2%
sampai 20.8% pasien.[4].[2] tanda klinis yang mengindikasikan adanya FBC dapat diketahui dari
bagian mana yang fraktur. Jika fraktur pada bagian anterior basis cranii, dapat menimbulkan
adanya CSF pada rhinorrhea, rhinorrhagia, periorbital ecchymosis dan anosmia. Jika fraktur pada
fossa crania media dapat menimbulkan otorrhea, otorrhagia, parese otot wajah, hemotympanum,
dengan tampak darah pada kanalis auditori eksternal, jejas pada retromastoid (Battles Sign)
kehilangan pendengaran, dan gangguan vestibuler. Fraktur pada fossa cranialis posterior dapat
menimbulkan koma, kesulitan bicara, aspirasi, dan parese ipsilateral pita suara.

I.2 Permasalahan

Trauma kepala merupakan masalah kesehatan dan sosioekonomi yang besar, karena merupakan
penyebab utama mortalitas dan kecacatan pada dewasa muda di negara maju. Angka kejadian
trauma kepala secara global meningkat tajam, terutama disebabkan oleh peningkatan kendaraan
bermotor pada negara negara berkembang. WHO memproyeksikan bahwa pada 2020 kecelakaan
lalu lintas akan menduduki peringkat ketiga terbesar penyumbang penyakit dan kecatatan
diseluruh dunia.(2)(3) Angka kematian di RSUD,Dr.soetomo tahun 2002 s/d 2006 berkisar antara
6 % sampai 12 % keadaan ini lebih tinggi dibanding dibeberapa senter di luar negeri yaitu antara
3-8 %. Hal yang mengembirakan angka mortalitas ini terus menurun dari tahun ke tahun dan pada
tahun 2013 sebesar 7,1 %. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah, trauma kepala banyak terjadi
pada usia produktif yang tentu akan sangat mempengaruhi produktfitas dan kemajuan bangsa.(3)

I.3 Tujuan

1. Menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien-pasien FBC di RS Dokter Soetomo Surabaya.

2
2. Membuat alur penatalaksanaan berdasarkan evidence based medicine untuk membantu tenaga
medis dalam diagnsis dan tatalaksana FBC
3. Meningkatkan usaha pengobatan, pencatatan, dan pelaporan yang konsisten.

I.4 Sasaran
1. Tenaga medis, peserta didik, dan seluruh jajaran tenaga kesehatan yang terlibat dalam
pengelolaan FBC di RS Dokter Soetomo Surabaya.
2. Pembuat kebijakan di lingkungan rumah sakit, institusi jamianan kesehatan nasional, serta
kelompok profesi terkait.

DAFTAR PUSTAKA

1. Friedland DP. Improving the Classification of Traumatic Brain Injury: The Mayo
Classification System for Traumatic Brain Injury Severity. J Spine [Internet]. 2013;
Available from: http://www.omicsgroup.org/journals/improving-the-classification-of-
traumatic-brain-injury-the-mayo-classification-system-for-traumatic-brain-injury-severity-
2165-7939.S4-005.php?aid=20164

2. Maas AI, Stocchetti N, Bullock R. Moderate and severe traumatic brain injury in adults.
Lancet Neurol. 2008;7(8):72841.

3. Rosenfeld J V., Maas AI, Bragge P, Morganti-Kossmann MC, Manley GT, Gruen RL. Early
management of severe traumatic brain injury. Lancet. 2012;380(9847):108898.

3
BAB II METODOLOGI

II. 1 Penelusuran Kepustakaan

Acuan dasar untuk penyusunan Pedoman Praktik Klinis (PPK) ini adalah buku
Pedoman
Tatalaksana Cedera Otak dan buku Cedera Otak : Seri Perdarahan Intra Kranial dan
Manajemen Operasi yang telah di susun tim neurotrauma yang terdiri dari para ahli
bedah saraf, anestesi, peserta didik spesialis bedah saraf dan anestesi serta paramedis
di Instalasi Rawat Darurat dan Instalasi Rawat Inap Bedah. Tim neurotrauma
melakukan pengumpulan data, identifikasi masalah, opini, pengalaman praktis dan
studi literatur serta penelitian yang berkaitan dengan cedera otak.

II. 2 Penilaian Telaah Kritis Kepustakaan

Sistematika penulisan dan isi dari pedoman adalah sedemikian rupa sehingga sesuai
dengan kondisi di RSUD Dr. Soetomo sebagai rumah sakit tersier tipe A pendidikan.
Diharapkan secara mudah para klinisi, konsultan, peserta didik program dokter
spesialis dan mahasiswa kedokteran serta paramedis dapat menggunakannya. Acuan
dan rekomendasi yang disarankan, diperoleh dari penelitian klinis dan laboratorium
serta eksplorasi jurnal atau referensi, sehingga sangat mungkin berubah sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan.

II. 3 Peringkat Bukti (level of evidence)

Pembuatan pedoman ini berdasarkan evidence based medicine dengan membagi tingkat
terapi maupun intervensi menjadi tiga kategori rekomendasi yaitu A, B dan C (Adelson
2003; Mod. SIGN / Scottish Intercollegiate Guideline Network 2011) :

A. Didapat dari level pembuktian klas I, adalah metode terapi atau intervensi /
pembedahan yang diperoleh dari penelitian yang bersifat prospektif randomized
controlled trial (RCT) atau meta analisis dari penelitian yang bersifat RCT. Metode ini
merupakan gold standard atau standard (high degree of clinical certainty).
B. Didapat dari level pembuktian klas II, adalah metode terapi atau intervensi /
pembedahan yang diperoleh dari penelitian yang bersifat analisis baik prospektif
maupun retrospektif (studi observasional, kohort, kasus-kontrol, dan studi prevalensi).
Metode ini merupakan guideline (moderate clinical certainty).
C. Didapat dari level pembuktian klas III, adalah metode terapi atau intervensi /
pembedahan yang diperoleh dari penelitian retrospektif, serial case, dari data registrasi

4
pasien, laporan kasus, review kasus, dan pendapat ahli (level pembuktian IV). Metode
ini merupakan option (unclear clinical certainty).

II. 4 Derajat Rekomendasi

1. Gold Standard (High degree of clinical certainty) > ( I-a, I-B ) Rekomendasi : A
2. Guideline (Moderate clinical certainty) > ( II-a, II-b) Rekomendasi : B
3. Option (Unclear clinical certainty) > ( III- IV ) Rekomendasi : C

5
BAB III Cedera Otak Sedang dan Cedera Otak Berat

III. 1 Definisi
Fraktur basis cranii (FBC) adalah patah tulang kepala yang meliputi salah satu dari tulang dasar
kepala: lamina cribiformis dari Os Ethmoid, Pars orbita dari Os Frontal, pars Petrosus dan
skuamus Os Temporalis, Os Sphenoid dan Os Occipital. FBC diikuti dengan adanya robekan
dura, dan menyebabkan keluarnya CSF melalui hidung dan, atau telinga. FBC dapat merupakan
hasil dari benturan langsung, atau efek penjalaran energi benturan dibagian kepala yang lain.
FBC juga dapat terjadi pada trauma tulang wajah.

III. 2 Etiologi
Basis dari tulang tengkorak memiliki beberapa titik lemah, yang rawan patah. Yaitu pada sinus
sphenoid, foramen magnum, petrous temporal ridge, dan bagian dalam dari sphenoid. Fossa
cranialis medial merupakan titik terlemah dengan tulang uang tipis dan banyak foramen. Dura
menempel pada basis cranii, dan ini menjadikan dura mudah robek saat terjadi patahan pada
basis cranii. Komplikasi yang sering terjadi pada pasien degan FBC adalah meningitis.

III. 3 Klasifikasi
Cedera otak dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat keparahan, pathoanatomic, mekanisme
benturan, dan patofisiologi. Pada umumnya, klasifikasi yang dipakai adalah berdasarkan derajat
keparahan dengan menggunakan skor GCS. Pada Cedera Otak Sedang, skor GCS nya 9 13.
Pada Cedera Otak Berat skor GCS nya 3 8.(3)(4)

III. 4 Pemeriksaan Klinis


Pasien dengan Fraktur Basis Cranii datang dengan penurunan kesadaran. Pada tahap awal,
dilakukan primary survey mulai dari Airway, Breathing, Circulation, Disability, dan Exposure.
Pada airway dievaluasi adakah sumbatan jalur nafas, baik parsial maupun total. Sumbatan parsial
ditandai adanya suara nafas tambahan seperti snoring (sumbatan benda padat seperti pangkal
lidah yang terjatuh atau benda padat lain), atau gargling (sumbatan cairan). Membebaskan
sumbatan jalan nafas dengan maneuver Head tilit-chin lift atau jaw thrust. Jika ada sumbatan
cairan, dilakukan suction. Pada breathing dinilai apakah oksigenasi nya efektif atau tidak, tipe
pernafasan pasien, RR pasien meningkat atau tidak, adakah gerakan dada tambahan. Pada
circulation dinilai tekanan darah, Capillary Refill Time, Heart Rate, dan adakah sianosis (diukur
saturasi oksigen perifer). Pada disability, dinilai status neurologis pasien, mulai dari kesadaran
dengan skor GCS, pupil (besar, bentuk, reflek cahaya, bandingkan kanan-kiri), dan reflex
cahaya. Terakhir Exposure, dilepas seluruh pakaian pasien untuk melihat adakah cedera di organ
lain.
Berikutnya Secondary survey, Pemeriksaan status generalis dengan inspeksi, palpasi, perkusi,
dan auskultasi, serta pemeriksaan khusus untuk menentukan kelainan patologis, dengan metode
Head to Toe atau per organ B1 B6 (Breath, Blood, Brain, Bowel, Bladder, Bone).(4)
Pemeriksaan fisik yang berkaitan erat dengan Fraktur Basis Cranii adalah:

6
Retro aurikular/Mastoid Ecchymosis (Battle sign)
Periorbital Ecchymosis (Raccoon eyes)
Clear Rhinorea
Clear Otorhea
Hemotimpanum
Pemeriksaan neurologis yang perllu dilakukan yaitu GCS, Lesi N III, IV, VI, VII, dan VIII

III. 5 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang radiologis untuk kasus Fraktur Basis Cranii yaitu CT Scan Kepala, X
Foto Kepala, X Foto Servikal, X Foto Thorax, Lab Beta 2 Transferrin, dan CT Scan Whole body.

CT-Scan Bone Window untuk melihat gambar tulang kalvaria dan CT-Scan Brain Window
untuk melihat lesi parenkim otak atau perdarahan otak. Fraktur pada dasar tengkorak dapat
menggunakan irisan tipis potongan axial bone window dasar tengkorak. Rinorea dan ottorhea
merupakan indikasi untuk dilakukan tindakan CT Scan
Pada X Foto Kepala, bila jejas cukup besar, cari garis fraktur, aerokel, darah dalam sinus
paranasalis, shift glandula pinealis, fragmen tulang dan korpus alienum. X Foto kepala Tidak
untuk mencari fraktur basis. Penderita yang memerlukan CT-scan kepala tidak perlu dibuat X-
foto kepala
X Foto vertebra servikal untuk mencari cedera penyerta terutama bila jejas juga didapatkan di
bahu, leher, dan dicurigai adanya cedera leher dari pemeriksaan klinis.
X Foto Thorax untuk mencari cedera penyerta, Lab beta 2 transferin untuk mencari bukti
kebocoran CSF, dan CT Scan Whole body dapat digunakan pada pasien multiple trauma untuk
mengurangi waktu diagnosis, terutama pada pasien dengan hemodinamika tidak stabil.

III. 6 Tatalaksana
Indikasi pembedahan pada pasien dengan FBC adalah:
Kebocoran LCS post trauma yang disertai dengan meningitis
Fraktur transversal Os petrosus yang melibatkan optic capsule
Fraktur tulang temporal yang mengakibatkan lesi total otot wajah
Trauma balistik pada temoral yang mengakibatkan kerusakan vaskular
Defek luas dengan herniasi otak kedalam sinus paranasal, Pneumocephalus , atau
kebocoran LCS lebih dari lima hari
Tindakan bedah :
Craniotomy
Duraplasty
Cranioplasty

Perawatan konservatif di ruangan meliputi


Observasi GCS, pupil, lateralisasi, dan faal vital
Optimalisasi, stabilisasi faal vital, menjaga optimalnya suplai O2 ke otak

7
Airway: menghisap secret / darah / muntahan bila diperlukan, trakheostomi. Penderita
COB dengan lesi yang tidak memerlukan evakuasi dan penderita dengan gangguan
analisa gas darah dirawat dalam respirator
Mempertahankan perfusi otak, memposisikan kepala head up sekitar 30 derajat dengan
menghindari fleksi leher Kateter buli-buli diperlukan untuk mencatat produksi urine,
mencegah retensi urine, mencegah tempat tidur basah (dengan demikian mengurangi
risiko dekubitus)
Head Up 30o (2B)
Berikan cairan secukupnya (normalsaline) untuk resusitasi korban agar tetap
normovolemia, atasi hipotensi yang terjadi dan berikan transfuse darah jika Hb kurang
dari 10 gr/dl. (1B)
Periksa tanda vital, adanya cedera sistemik di bagian anggota tubuh lain, GCS dan
pemeriksaan batang otak secara periodik.
Berikan obat-obatan analgetik (misal: acetaminophen, ibuprofen untuk nyeri ringan dan
sedang) bila didapatkan keluhan nyeri pada penderita (2B)
Berikan obat-obatan anti muntah (misal: metoclopramide atau ondansentron) dan anti
ulkus gastritis H2 bloker (misal: ranitidin atau omeprazole) jika penderita muntah (2B)
Berikan Cairan hipertonik (mannitol 20%), bila tampak edema atau cedera yang tidak
operable pada CT Scan. Manitol dapat diberikan sebagai bolus 0,5 1 g/kg. BB pada
keadaan tertentu, atau dosis kecil berulang, misalnya (4-6) x 100cc manitol 20% dalam
24 jam.
Berikan Phenytoin (PHT) profilaksis pada pasien dengan resiko tinggi kejang dengan
dosis 300 mg/hari atau 5-10 mg kg BB/hari selama 10 hari. Bila telah terjadi kejang, PHT
diberikan sebagai terapi. (1B)
Antibiotik Profilaksis

Penjelasan kepada pasien dan keluarganya:


Gejala dari fraktur basis Cranii
Komplikasi yang bisaterjadi (Perdarahan intra cranial, edema cerebri, infeksi, bengkak)
Terapi dan tindakan yang akan diberikan beserta keuntungan dan kerugian
Tata cara perawatan dan dokter yang merawat

8
III. 7 Alogaritma Diagnosis dan Tatalaksana

9
10
Daftar Pustaka

Cooper PR, (ed), 1993, Head Injury, 3rd Ed, William & Wilkins Baltimore,
Maryland, USA.
2. Wilkins RH and Rengachary SS (eds), Neurosurgery Vol. II, 2nd ed. MC Graw Hill
Co. New York.
3. Narayan RK, Wilberger JE Jr, Povlishock JT (eds) 1996. Neurotrauma, MC Graw Hill
Co. New York.
4. Patil PG, Radtke RA, Friedman AH, 2002 Contemp. Neurosurgery 24 (22): 1-6.
5. Mayer S, Rowland L. Head injury. In: Merritt's Neurology, Rowland L. (Ed),
Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia 2000. p.401.
6. Golfinos JG, Cooper PR. Skull fracture and post-traumatic cerebrospinal fluid
fistula. In: Head Injury, 4th, Cooper PR, Golfinos JG. (Eds), McGraw-Hill, New York
2000. p.155
7. Chan KH, Mann KS, Yue CP, et al. The significance of skull fracture in acute
traumatic intracranial hematomas in adolescents: a prospective study. J
Neurosurg 1990; 72:189.

11
12

Anda mungkin juga menyukai