Anda di halaman 1dari 8

Etika dalam Perpajakan

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Etika adalah prinsip moral yang memberikan pegangan bagi tingkah laku
seseorang. Seseorang bertindak secara etis bila memperhatikan dampak dari tindakannya
terhadap lingkungan sosialnya.
Etika merupakan sebuah nilai luhur yang wajib dimiliki oleh setiap individu.Berbicara
perihal etika, apapun bentuknya pastilah berkaitan dengan nilai .Etika adalah yang
tak kasat mata, namun memiliki pengaruh yang luar biasa dalam segala segi kehidupan.
Beberapa prinsip etika:
Menghindari penyimpangan etika yang kecil-kecil
Berfokus pada reputasi jangka panjang
Mau menerima konsekuensi pribadi demi mempertahankan etika

Ketika etika itu dikaitkan dengan perpajakan, maka akan banyak sekali pihak yang terlibat
di dalamnya. Bahkan bisa dikatakan semua pihak ada di dalamnya. Secara subyektif
seluruh warga Negara adalah wajib pajak. Dengan demikian artinya etika perpajakan
ini wajib dimiliki, dimengerti dan diamalkan oleh setiap individu seperti halnya etika
berpakaian dan sebagainya. Pendapatan terbesar Negara ini didapatkan dari sektor pajak,
pajak inilah yang digunakan untuk pembangunan baik sektor infrastukrtur maupun
pembangunan dibidang lainnya. Alangkah kecewanya begitu mendengar adanya
sebuah penyimpangan yang melibatkan antar institusi dinegeri ini berkaitan dengan
pengelolaan pendapatan tersebut. Bagaimana pembangunan dinegara ini akan akan maju
jika pendapatan untuk membangun disalahgunakan untuk kepentingan pribadi. Apalagi
penyimpangan ini sudah dianggap menjadi sebuah tradisi. Namun sangatlah tidak bijak ketika
kita membicarakan etika perpajakan, kita hanya menunjuk satu pihak saja, misalnya
pemerintah yang bertindak sebagai fiskus.T i d a k d a p a t d i p u n g k i r i b a h w a f i s k u s
m e r u p a k a n s a l a h s a t u a c t o r u t a m a d a l a m perpajakan. Namun ada dua actor
utama lainnya, yaitu konsultan pajak dan wajib pajak itu sendiri. Mari kita menengok kasus
yang baru-baru ini memerahkan telinga Dirjend Pajak.

Tertangkapnya Gayus di Singapura bukan berarti mematikan jalur penyelewangan pajak,


justru dengan ditangkapnya Gayus yang diharapkanmembongkar sindikat tradisi yang
melembaga dinegeri ini. Betapa tidak Gayus yang baru bergabung dengan institusinya selama
5 tahun memiliki harta melebihi kekayaan seorang menteri, jangan heran jika ada atasan
Gayus yang memiliki harta berlimpah, tanah berhektar-hektar dan sejumlah rumah mewah
diberbagai wilayah dan alangkah lebih mengagetkan lagi jika mereka melaporkan kekayaan
tersebut didapat dari hasil hibah sebab seorang Gayus saja bisa terbebas dari jeratan hukum
apa lagi atasanya. Begitu luasnya mata rantai sindikat pengelapan pajak ini membuat
pemerintah dalam hal ini aparat penegak hukum harus bekerja lebih ekstra keras
untuk mengungkap.

Berdasarkan pernyataan di atas, maka kode etik profesi perlu diterapkan dalam setiap
jenis profesi. Kode etik ini menetapkan prinsip dasar dan aturan etika profesi yang harus
diterapkan oleh setiap individu.
Dalam etika profesi, sebuah profesi memiliki komitmen moral yang tinggi yang biasanya
dituangkan dalam bentuk aturan khusus yang menjadi pegangan bagi setiap orang yang
mengembangkan profesi yang bersangkutan. Aturan ini merupakan aturan main dalam
menjalankan atau mengemban profesi tersebut yang biasanya disebut sebagai kode etik yang
harus dipenuhi dan ditaati oleh setiap profesi. Menurut Chua dkk (1994) menyatakan bahwa
etika professional juga berkaitan dengan perilaku moral yang lebih terbatas pada kekhasan
pola etika yang diharapkan untuk profesi tertentu.
Setiap profesi yang memberikan pelayanan jasa pada masyarakat harus memiliki kode
etik yang merupakan seperangkat moral-moral dan mengatur tentang etika profesional.
Di dalam kode etik terdapat muatan-muatan etika yang pada dasarnya untuk melindungi
kepentingan masyarakat yang menggunakan jasa profesi. Terdapat dua sasaran pokok dalam
dua kode etik ini yaitu Pertama, kode etik bermaksud melindungi masyarakat dari
kemungkinan dirugikan oleh kelalaian baik secara disengaja maupun tidak disengaja oleh
kaum profesional. Kedua, kode etik bertujuan melindungi keseluruhan profesi tersebut dari
perilaku-perilaku buruk orang tertentu yang mengaku dirinya profesional.
Menurut Hunt & Vitell [1986, dalam Khomsiyah & Nur Indriantoro (1998)], bahwa
kemampuan seorang profesional untuk dapat mengerti dan peka akan adanya masalah etika
dalam profesinya, sangat dipengaruhi oleh lingkungan budaya atau masyarakat dimana
profesi itu berada, lingkungan profesinya, lingkungan organisasi atau tempat ia bekerja serta
pengalaman pribadinya.
Kepatuhan terhadap Kode Etik, seperti juga dengan semua standar dalam masyarakat
terbuka, tergantung terutama sekali pada pemahaman dan tindakan sukarela anggota. Di
samping itu, kepatuhan anggota juga ditentukan oleh adanya pemaksaan oleh sesama
anggota dan oleh opini publik, dan pada akhirnya oleh adanya mekanisme pemrosesan
pelanggaran Kode Etik oleh organisasi, apabila diperlukan, terhadap anggota yang tidak
menaatinya.

KODE ETIK PEGAWAI DIRJEND PAJAK

Kode Etik Pegawai Direktorat Jenderal Pajak (Kode Etik) adalah pedoman sikap,tingkah
laku, dan perbuatan, yang mengikat Pegawai Direktorat Jenderal Pajak(Pegawai) dalam
melaksanakan tugas pokok dan fungsinya serta dalam pergaulan hidup sehari-hari.
Dengan Kode Etik, segenap jajaran Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dituntut untuk
mengetahui, memahami, menghayati, dan melaksanakan tugas sesuai prinsip-prinsip tata
pemerintahan yang baik (good governance).Keberhasilan pelaksanaan Kode Etik tidak hanya
bergantung pada badan atau unit yang berwenang mengawasi Kode Etik, tetapi juga
ditentukan oleh faktor-faktor seperti pengawasan melekat dan keteladanan dari atasan dan
tanggung jawab seluruhPegawai DJP. Oleh karena itu Pegawai diharapkan memiliki
inisiatif untuk menjaga a g a r K o d e E t i k d a p a t d i p a t u h i a n t a r a l a i n d e n g a n
s a l i n g m e n g i n g a t k a n s e s a m a Pegawai, berkonsultasi dengan atasan, atau melaporkan
apabila terjadi pelanggaran Kode Etik di lingkungan kerja masing-masing.

Setiap pegawai pajak wajib:


1. Menghormati agama, kepercayaan, budaya, dan adapt istiadat orang lain.
2. Bekerja secara profesional, transparan, dan akuntabel.Bekerja secara profesional meliputi:
Integritas, yaitu ukuran kualitas moral Pegawai yang diwujudkan dalam sikap jujur, bersih dari
tindakan tercela, dan senantiasa mengutamakan kepentingannegara;
Disiplin, yaitu pencerminan ketaatan Pegawai terhadap setiap ketentuan yangberlaku;
Kompetensi, yaitu ukuran tingkat pengetahuan, kemampuan dan penguasaanatas
bidang tugas Pegawai sehingga mampu melaksanakan tugas secara efektif dan
efisien.
Bekerja secara transparan, yaitu setiap Pegawai bersikap terbuka
dalammelaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan ketentuan yangb e r l a k u .
N a m u n d e m i k i a n , k e r a h a s i a a n j a b a t a n s e s u a i d e n g a n p e r a t u r a n perundang-
undangan yang berlaku, tetap harus diterapkan.- B e k e r j a s e c a r a a k u n t a b e l a r t i n ya
P e g a w a i h a r u s b e r t a n g g u n g j a w a b d a n bersedia untuk diperiksa oleh pihak
yang berwenang atas setiap keputusan atau tindakan yang diambil dalam rangka
pelaksanaan tugas.
3. Mengamankan data dan atau informasi yang dimiliki Direktorat Jenderal Pajak.
4. Memberikan pelayanan kepada wajib pajak, sesama pegawai, atau pihak laindalam pelaksanaan
tugas dengan sebaik-baiknya.
5. Mentaati perintah kedinasan.P e r i n t a h kedinasan adalah perintah yang
d i b e r i k a n o l e h a t a s a n y a n g berwenang mengenai atau yang ada hubungannya dengan
kedinasan
6. B e r t a n g g u n g jawab dalam penggunaan barang inventaris
m i l i k Direktorat Jenderal Pajak.
7. Mentaati ketentuan jam kerja dan tata tertib kantor.
8. M e n j a d i panutan ya n g baik bagi m a s ya r a k a t dalam memenuhi
k e w a j i b a n perpajakan.
9. Bersikap, berpenampilan, dan bertutur kata secara sopan. .

Dalam buku kode etik pegawai Dirjed Pajak di atas jelas disebutkan
bahwa pegawai harus bekerja dengan jujur, bersih dari tindakan tercela, dan
senantiasa m e n g u t a m a k a n k e p e n t i n g a n N e g a r a . N a m u n l a g i - l a g i a p a l a h
a r t i b u k u k o d e e t i k tersebut tanpa adanya moral yang baik dari pelaksananya.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dalam makalah ini dibahas mengenai:
1.Tanggung Jawab Akuntan Pajak
2.Etika Akuntan Pajak
3.Kompleksitas Aturan Perpajakan Vs Tuntutan Klien

C. Tujuan
Tujuan dari makalah ini ialah untuk menunjukkan bagaimana menjalankan profesi yang
baik sesuai dengan kode etik profesi masing masing. Secara khusus pada profesi praktisi
pajak yang berhubungan langsung dengan masyarakat agar dapat melayani masyarakat dan
negara sesuai dengan etika yang berlaku untuk para praktisi pajak.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Tanggung Jawab Akuntan Pajak


Tanggung jawab utama praktisi pajak adalah sistem pajak. Suatu sistem pajak yang baik
dan kuat harus terdiri dari entitas administrasi pajak, kongres, administrasi dan komunitas
praktisi. Selain itu ketika secara umum menyetujui bahwa praktisi pajak mempunyai
kewajiban atas kemampuan, loyalitas dan kerahasiaan klien, hal ini disebut juga tanggung
jawab praktisi atas sistem pajak yang baik.
Tanggung jawab praktisi pajak yangg terakhir adalah
pentingnya pervasive(peresapan). Dalam hubungan antara praktisi dan klien yang normal,
kedua tanggung jawab dikenali dan dilaksanakan. Namun, situasi ini sulit. Dalam beberapa
situasi praktisi diperlukan untuk memutuskan kewajiban yang berlaku dan dalam
pelaksanaannya dapat disimpulkan bahwa kewajiban atas sistem pajak yang tertinggi. Praktisi
pajak membantu dalam mengatur hukum pajak dengan jujur dan adil dalam pelayanan dan
pengembangan kepercayaan klien dalam integritas dan kepatuhan terhadap sistem pajak.
Praktisi lebih baik melayani publik dengan mengadopsi suatu sikap. Aturan etika yang
fundamental dalam praktik perpajakan pada tingkat etika personal adalah praktisi pajak harus
mengijinkan klien untuk membuat keputusan final. Disamping itu praktisi harus bertanggung
jawab tidak menyediakan informasi yang salah untuk pemerintah.
B. Etika Akuntan Pajak
Dalam kaitannya dengan etika akuntan pajak, AICPA mengeluarkan Statemet on
Responsibilities in Tax Practice (SRTP). Adapun isinya adalah sebagai berikut:
SRTP (Revisi 1988) No.1: Posisi Pengembalian Pajak
SRTP (Revisi 1988) No.2: Jawaban Pertanyaan atas Pengembalian
SRTP (Revisi 1988) No.3: Aspek prosedur tertentu dalam menyiapkan Pengembalian
SRTP (Revisi 1988) No.4: Penggunaan Estimasi
SRTP (Revisi 1988) No.5: Keberangkatan dari suatu posisi yang sebelumnya
disampaikan di dalam suatu kelanjutan administrative atau keputusan pengadilan
SRTP (Revisi 1988) No.6: Pengetahuan Kesalahan: Persiapan Kembalian
SRTP (Revisi 1988) No.7: Pengetahuan Kesalahan: Cara kerja administrasi
SRTP (Revisi 1988) No.8: Format dan isi nasihat pada klien

C. Kompleksitas Aturan Perpajakan Vs Tuntutan Klien


Pajak secara klasik memiliki dua fungsi. Pertama, fungsi budgetair. Kedua,fungsi
reguleren. Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 23 ayat 2, disebutkan bahwa
segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang. Dari hal tersebut dapat
disimpulkan bahwa pajak memiliki fungsi yang luas antara lain sebagai sumber pendapatan
negara yang utama, pengatur kegiatan ekonomi, pemerataan pendapatan masyarakat, dan
sebagai sarana stabilisasi ekonomi. Kalau kita lihat APBN, pajak selalu dituntut untuk
bertambah dan bertambah.
Pemerintah harus memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke kas negara. Dalam struktur
anggaran negara, seperti halnya negara kita bisa mencapai 75% diperoleh dari pajak. Kondisi
inilah yang memicu pemerintah untuk membuat aturan-aturan perpajakan. Aturan perpajakan
merupakan masalah yang sebaiknya menjadi prioritas bagi pemerintah supaya tidak terjadi
tax avoidance.
Berikut ini beberapa kasus yang mencerminkan kompleksitas aturan perpajakan vs
tuntutan klien :
Pajak Ganda pada Dividen
Secara teori Indonesia menganut klasikal sistem. Artinya, ada pembedaan subyek
pajak yaitu subyek pajak badan dan subjek pajak perseorangan. Yang bermasalah dalam
pajak dividen adalah terjadi economic double taxation yang artinya ialah bahwa sebelum
dividen dibagi kepada pengusaha, laba tersebut merupakan laba perusahaan yang dikenakan
pajak, atau disebut Pajak Korporat. Namun, ketika dibagi lagi kepada pemegang saham di
korporat, pemegang saham itu harus dikenakan pajak lagi. Inilah yang disebut sebagai pajak
ganda.
Sebagai perbandingan,Malaysia dan Singapura tidak lagi menggunakan pajak atas dividen.
Mereka menggunakan kredit sistem yakni pajak yang bisa dikreditkan kepada para
pemegang saham di korporat. Sehingga, korporat hanya dimaknai sebagai sarana. Subyek
pajak tetap melekat pada pribadi. Tak ada lagi pajak ganda yang membebani.
Sengketa Pajak
Kalau terjadi DISPUTE, yakni hitungan wajib pajak (WP) dengan petugas pajak berbeda.
Pada UU KUP 2000 kewenangan aparat fiscus terlalu luas. Jika terjadi sengketa SPT, maka
apapun yang akan dipakai adalah hitungan aparat pajak, dan hitungan itu harus dibayar lebih
dahulu oleh WP sebesar 50 persen dari hitungan petugas pajak sebelum bisa dibawa kepada
pengadilan pajak. Kalau hitungan WP yang dinyatakan pengadilan benar maka WP berhak
menerima restitusi. Namun, uang restitusi itu kenyataannya tidak segera dibayarkan oleh
fiscus.
Jika uang restitusi jumlahnya milyaran, jelas saja mengganggu cash flow para pengusaha.
Inilah persoalan dalam dispute antara WP dengan aparat pajak. Untungnya, dalam UU KUP
28/2007 perhitungan SPT ditentukan secara bersama-sama. Jika ada perbedaan klaim angka,
maka yang lebih dahulu dipakai adalah klaim WP. Sebelum masuk ke pengadilan pajak, WP
hanya cukup membayar sebesar 50 persen dari klaim hitungan WP sendiri.
Tarif Pajak Yang Tinggi
Ketua Tax Centre UI, Tafsir Nurchamid dan pengusaha Anton J Supit mengatakan bahwa
tarif yang tinggi kalau diturunkan punya dampak pada seretnya penerimaan negara. Padahal
disaat yang sama pendapatan negara itu sebagian besar ditujukan untuk membayar hutang
dan obligasi rekap. Meskipun semestinya menurut Anton J Supit penerimaan dari pajak itu
digunakan untuk membangun infrastruktur.
Banyak kalangan perpajakan seperti Permana Agung, Gunadi, dan Haula Rusdiana
mengatakan sebaiknya ada kebijakan untuk membuat tarif menjadi lebih rendah.

Selain lebih kompetitif bagi dunia usaha, pajak yang rendah dianggap justru akan
meningkatkan penerimaan negara karena semakin banyaknya potensi pajak yang terjaring.
Satu triliun dari seratus orang jauh lebih baik ketimbang satu triliun hanya dari sepuluh
pembayar pajak. Tarif yang tinggi membuat yang bayar menjadi sedikit. Sehingga membuat
banyak orang yang lain lebih sering menghindar dan kucing-kucingan dengan petugas pajak.
Dalam pikiran mereka, sekali Anda punya NPWP sampai mati Anda akan dikejar oleh aparat
pajak. Prinsip ini membuat mereka kalau bisa selalu main belakang dengan fiscus.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setiap profesi yang memberikan pelayanan jasa pada masyarakat harus memiliki kode etik
yang mengatur tentang etika profesional.
Dalam menjalankan profesi apapun itu sangat diperlukan ketaatan terhadap etika dan
prinsip prinsip yang sudah diatur dalam setiap profesi agar tugas pokok dan fungsi dari
profesi itu sendiri dapat terlaksana sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan agar semua
pihak yang terkait dengan profesi itu sendiri baik masyarakat maupun para penyedia layanan
tidak ada yang dirugikan sebagai akibat dari ketidaktaatan para penyedia layanan pada kode
etik profesi mereka sendiri.
Adapun profesi sebagai praktisi pajak yang secara langsung melayani masyarakat di
bidang perpajakan memiliki tanggung jawab untuk menjalankan sistem pajak yang baik dan
kuat yang terdiri dari entitas administrasi pajak, kongres, administrasi dan komunitas praktisi.
Selain itu juga praktisi pajak memiliki tanggung jawab untuk melayani publik dengan penuh
loyalitas dan tetap menjaga kerahasiaan kliennya, serta tidak menyajikan informasi yang
salah pada pemerintah.
Etika akuntan pajak menurut AICPA di atur dalam Statemet on Responsibilities in Tax
Practice (SRTP).
B. Saran
Diharapkan kepada pemerintah untuk lebih memperhatikan lagi masalah masalah yang
terkait dengan Kompleksitas Aturan Perpajakan agar tidak menyebabkan kerugian terhadap
pihak pihak yang terkait.
Selain itu juga diharapkan kepada Dirjend Pajak, Badan Pengawas Keuangan, para
penegak hukum, beserta seluruh pihak yang berwenang agar mengawasi dengan sebaik
baiknya jalannya pelaksanaan pembayaran pajak agar tidak terjadi pelanggaran pelanggaran
yang tentunya akan sangat merugikan negara dan masyarakat, dan juga agar bersikap tegas
terhadap para penggelap penggelap pajak yang memakan uang rakyat tersebut, dan
jalankanlah hukum sesuai dengan aturan dan Undang undang yang berlaku tanpa pandang
bulu.
Para praktisi pajak juga diharapkan untuk dapat menjalankan profesi dan tanggung
jawabnya dengan tetap mengacu pada Kode Etik Pegawai Dirjend Pajak.

Anda mungkin juga menyukai