Anda di halaman 1dari 16

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bunga Rosela (Hibiscus sabdariffa L.)

2.1.1 Klasifikasi Tanaman

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Sub Kelas : Dilleniidae

Ordo : Malvales

Famili : Malvaceae

Genus : Hibiscus

Spesies : Hibiscus sabdariffa L.

(Cronquist, 1981).

2.1.2 Deskripsi Tanaman

Rosela merupakan tumbuhan semak umur satu tahun, tinggi tumbuhan

mencapai 2,4 m. Batang berwarna merah, berbentuk bulat dan berbulu. Bunga

tunggal, kuncup bunga tumbuh dari bagian ketiak daun, berbentuk lonceng;

mahkota bunga berlepasan, mahkota bunga berbentuk bulat telur terbalik (Backer

and Bakhuizen, 1963). Tanaman bunga Rosela ditunjukkan pada gambar 2.1.

5
6

Gambar 2.1. Bunga Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) (Sukwattanasinit, 2008).

2.1.3 Kandungan Kimia Tanaman

Kandungan kimia tanaman ini adalah alohidroksi asam sitrat lakton, asam

malat dan asam tartrat. Antosianin yang menyebabkan warna merah pada tanaman

ini mengandung delfinidin-3-siloglukosida, delfinidin-3-glukosida, sianidin-3-

siloglukosida, sedangkan flavonoidnya mengandung gosipetin dan mucilage

(rhamnogalakturonan, arabinogalaktan, arabinan) (Gruenwald et al., 2004).

Bunga Rosela adalah seluruh perhiasan bunga Hibiscus sabdariffa L. suku

Malvaceae, mengandung antosianin tidak kurang dari 0,02% dihitung sebagai

sianidin-3-O-glukosida. Senyawa identitas pada bunga rosela adalah sianidin-3-O-

glukosida. Ekstrak kental bunga rosela berwarna merah hati dan rasa asam

(Depkes RI, 2011). Struktur kimia dari sianidin-3-O-glukosida dapat dilihat pada

gambar 2.2.
7

Gambar 2.2. Struktur Kimia Sianidin-3-O-Glukosida (Depkes RI, 2011)

2.1.4 Khasiat Tanaman

Tanaman Rosela tumbuh berkembang di seluruh dunia, terutama di daerah

tropis. Tanaman ini banyak dibudidayakan di Eropa (Jones and Luchsinger, 1986).

Secara tradisional, setiap bagian tanaman ini memiliki beberapa manfaat. Serat

batang rosela secara tradisional digunakan sebagai bahan pembuatan karung goni,

daun digunakan untuk kosmetik dan makanan, sedangkan bijinya untuk peluruh

air seni, gangguan pencernaan dan makanan (Kasahara and Hemmi, 1995).

Kelopak bunga rosela berkhasiat sebagai obat mual, memperlancar buang air

besar, mengurangi nafsu makan, gangguan pernafasan yang disebabkan flu, dan

rasa tidak enak di perut (Syamsuhidayat dan Hutapea, 2000; Cronquist, 1981;

Gruenwald et al, 2004).

Penelitian yang telah dilakukan oleh Alaga et al. (2014) menunjukkan bahwa

ekstrak rosela memiliki aktivitas antimikroba yang ditunjukkan dengan

aktivitasnya terhadap beberapa patogen uji seperti pada penyakit diare, disentri,

serta infeksi mulut dan gigi. Selain itu, efek farmakologi dari rosela antara lain

sebagai antimikroba, antihipertensi, antikanker, Hypocholesterolemic dan


8

antioksidan (Alaga et al. 2014; Arellano et al., 2007; Hirunpanich et al., 2006;

Garca et al., 2008).

2.2 Antosianin

Antosianin termasuk ke dalam golongan flavonoid dan merupakan salah satu

dari kelompok pigmen utama pada tanaman. Pigmen antosianin sebagian besar

terdapat pada tanaman yang berbunga dan menghasilkan warna merah tua, ungu

dan biru pada bunga, buah dan daun (Harborne and Grayer, 1988). Molekul

antosianin disusun dari sebuah aglikon (antosianidin) yang teresterifikasi dengan

satu atau lebih gula (glikon). Antosianin memiliki warna yang kuat dan relatif

stabil dalam air pada pH asam. Stabilitas antosianin biasanya antara pH 2 - 4,

terutama dalam keadaan tanpa oksigen (Markakis, 1982). Rumus struktur

antosianin ditunjukkan pada gambar 2.3.

Gambar 2.3. Rumus Struktur Antosianin (Jordheim, 2007).

Antosianin terdapat dalam enam bentuk yaitu pelargonidin, sianidin,

peonidin, delfinidin, petunidin dan malvidin. Gugus gula pada antosianin

bervariasi namun kebanyakan dalam bentuk glukosa, ramnosa, galaktosa atau

arabinosa. Gugus gula ini bisa dalam bentuk mono atau disakarida dan dapat
9

diasilasi dengan asam fenolat atau asam alifatis (Cretu et al., 2013). Rantai

samping penyusun senyawa golongan antosianin ditampilkan pada tabel 2.1.

Tabel 2.1. Rantai Samping Penyusun Senyawa Golongan Antosianin (Jordheim,


2007).

Jenis Antosianin R1 R2
Delfinidin -OH -OH
Petunidin -OH -OCH3
Malvidin -OCH3 -OCH3
Sianidin -OH -H
Peonidin -OCH3 -H
Pelargonidin -H -H

Antosianin merupakan senyawa yang tidak stabil dalam suasana netral atau

basa. Oleh karena itu, prosedur ekstraksi biasanya dilakukan dengan

menggunakan pelarut asam yang dapat merusak jaringan tanaman (Andersen dan

Markham, 2006).

Laleh et al. (2006) dalam penelitiannya tentang stabilitas antosianin

menyebutkan bahwa peningkatan paparan cahaya, pH, dan suhu dapat merusak

molekul antosianin. Paparan cahaya dapat memperbesar degradasi yang terjadi

pada molekul antosianin. Penyebab utama kehilangan pigmen warna berhubungan

dengan hidrolisis antosianin (Ozela et al., 2007).

Selain mempengaruhi degradasinya, pH juga mempengaruhi warna

antosianin, dimana dalam suasana asam akan berwarna merah dan suasana basa

berwarna biru. Antosianin lebih stabil dalam suasana asam daripada dalam

suasana basa ataupun netral (Rein, 2005).

Analisis senyawa antosianin dapat dilakukan dengan mengidentifikasi

spektrum serapan UV-Vis dari senyawa terebut. Spektrum serapan UV-Vis


10

antosianin dapat diperoleh dengan menggunakan metode KLT-

spektrofotodensitometri. Pada pengukuran spektrum dengan rentang 190-600 nm,

antosianin memiliki panjang gelombang maksimum 520-540 nm (Escribano et al.,

2004).

Untuk dapat mengidentifikasi adanya flavonoid pada suatu sampel dapat

dilakukan dengan menggunakan KLT-pereaksi semprot atau analisis spektroskopi

UV. Identifikasi senyawa flavonoid dapat dilihat pada tabel 2.2.

Tabel 2.2. Reaksi Flavonoid (Markham, 1988; Depkes RI, 1995)

Flavonoid yang
No. Pereaksi Hasil Reaksi
mungkin
1. Uap Amonia Bercak jingga hingga Antosianin
(NH3) lembayung menjadi biru
Sinar UV366 : bercak merah Antosianin 3-
jingga redup atau merah glikosida
menjadi biru
Sinar UV366nm : bercak Sebagian besar
merah jambu atau flouresensi antosianidin 3,5-
kuning menjadi biru diglikosida
2. Pereaksi semprot Sinar UV366nm : bercak 5-hidroksi flavonoid
AlCl3 5% berflouresensi kuning
Terjadi pergeseran Antosianin
bathokromik pada spektrum
Pereaksi Sinar UV366nm : Flavonoid
3.
Sitroborat berflouresensi kuning intensif

2.3 KLT-Spektrofotodensitometri

2.3.1 Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan metode yang paling sederhana

dari banyak metode kromatografi lainnya. Dengan teknik optimasi, tersedianya

bahan dan instrumen maka pemisahan yang sangat efisien dan kuantifikasi akurat

dan tepat dapat tercapai (Sherma dan Fried, 2005). Prinsip umum KLT yaitu
11

pemisahan campuran karena adanya pergerakan solven melewati permukaan

datar, komponenkomponen tersebut akan bermigrasi dengan kecepatan yang

berbedabeda tergantung dari kelarutannya, adsorpsi, ukuran molekul, muatan dan

elusi (Fifield dan Kealey, 2000).

Fase diam yang paling sering digunakan pada KLT adalah silika gel dan

serbuk selulosa, sementara mekanisme sorpsi-desorpsi (suatu mekanisme

perpindahan solut dari fase diam ke fase gerak atau sebaliknya) yang utama pada

Kromatografi Lapis Tipis adalah partisi dan adsorbsi (Rohman, 2009). Jarak

migrasi senyawa pada plat silika gel tergantung pada polaritasnya. Senyawa yang

paling polar bergerak naik dengan jarak paling dekat dari titik awal penotolan,

sedangkan senyawa dengan polaritas paling kecil bergerak paling jauh dari titik

awal penotolan tersebut. Silika gel merupakan fase diam polar yang paling sering

digunakan, meskipun demikian silika gel juga banyak dijumpai dalam bentuk

yang termodifikasi (Watson, 2009).

Fase gerak pada KLT dipilih dari pustaka, sistem yang paling sederhana

adalah dengan menggunakan campuran 2 pelarut organik sehingga pemisahan

dapat terjadi secara optimal. Pada saat pemilihan fase gerak, fase gerak harus

mempunyai kemurnian yang sangat tinggi karena Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

merupakan teknik pemisahan yang sangat sensitif. Daya elusi dari fase gerak yang

dipilih harus dapat memberikan harga Rf analit diantara 0,2-0,8 untuk

memaksimalkan pemisahan. Polaritas fase gerak untuk menentukan nilai Rf analit

pada pemisahan menggunakan KLT (Rohman, 2009).


12

Pengembangan pelarut biasanya dilakukan dengan cara menaik (ascending),

yang mana ujung lempeng dicelupkan ke dalam pelarut pengembang. Untuk

menghasilkan reprodusibilitas kromatografi yang baik, wadah fase gerak harus

dijenuhkan dengan uap fase gerak (Rohman, 2009). Plat dicelupkan dalam fase

gerak kira kira 0,5 cm. Untuk meyakinkan bahwa bejana kromatografi telah

jenuh, maka dinding dalam bejana dapat dilapisi dengan lembaran kertas saring

yang ujungnya direndam dalam fase gerak (Sastrohamidjojo, 1985).

Reprodusibilitas Rf puncak-puncak kromatogram dipengaruhi oleh berbagai

faktor, seperti plat KLT yang digunakan, kadar analit yang ditotolkan, jarak

pengembangan, derajat kejenuhan chamber, suhu lingkungan, dan senyawa ikutan

pada ekstraksi (coextracting substance). Metode KLT merupakan metode analisis

yang praktis, sederhana, efektif, cepat, tervalidasi dan sensitif (Flanagan et al.,

2007).

2.3.2 Spektrofotodensitometri

Spektrofotodensitometri merupakan metode yang umum digunakan untuk

mendapatkan infomasi pada setiap bercak pada KLT. Spektrofotodensitometer

digunakan dengan menghubungkan pada suatu perangkat komputer (PC) yang

dikendalikan dengan suatu program evaluasi. PC akan menampilkan hasil

kalkulasi, protokol pendukung, menyediakan data dari semua parameter dari

peralatan dan program evaluasi serta data hasil yang berupa angka dan grafik

(Deinstrop, 2007).

Prinsip kerja spektrofotodensitometri berdasarkan interaksi antara radiasi

elektromagnetik dari sinar UV-Vis dengan analit yang merupakan noda pada plat.
13

Radiasi elektromagnetik yang datang pada plat diabsorpsi oleh analit, ditransmisi

atau diteruskan jika plat yang digunakan transparan. Radiasi elektromagnetik yang

diabsorpsi oleh analit atau indikator plat dapat diemisikan berupa flouresensi dan

fosforesensi (Sherma dan Fried, 2005). Detektor akan memberikan respon

terhadap konsentrasi analit dalam bercak-bercak dari plat setelah pemisahan.

Sinyal yang didapat kemudian diplotkan sebagai sebuah fungsi dari jarak yang

ditempuh analit dan konsentrasi analit dalam bercak, sehingga didapatkan suatu

rangkaian puncak-puncak yang disebut kromatogram (Skoog dan West, 2004).

Beberapa faktor yang dapat menjadi parameter baik atau tidaknya suatu

kromatogram pada umumnya adalah daya pisah atau resolusi (Rs) dan faktor

asimetri atau tailling factor (Tf).

a. Resolusi (Rs)

Tingkat pemisahan komponen dalam suatu campuran dengan metode

kromatografi direfleksikan dalam kromatogram yang dihasilkan. Untuk hasil

pemisahan yang baik, puncak-puncak dalam kromatogram harus terpisah secara

sempurna dari puncak lainnya dengan sedikit tumpang tindih (overlapping) atau

tidak ada tumpang tindih sama sekali. Tingkat pemisahan antara puncak-puncak

kromatografi yang bersebelahan merupakan fungsi jarak antara puncak maksima

dan lebar puncak yang berhubungan. Untuk puncak Gaussian, hal ini cukup

digambarkan dengan resolusi atau daya pisah puncak (Gandjar dan Rohman,

2008). Nilai resolusi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan 1.


14

Sebagaimana ditunjukkan oleh persamaan di atas, resolusi komponen-

komponen dalam kromatografi tergantung pada waktu retensi relatif (tR) pada

sistem kromatografi tertentu dan tergantung pada lebar puncak (Wb). Untuk

mengoptimalisasi parameter-parameter ini agar diperoleh resolusi yang maksimal,

maka diperlukan suatu pemahaman terhadap sifat faktor-faktor yang

mempengaruhinya (Gandjar dan Rohman, 2008). Harga Rs yang baik adalah > 1,5

(Ahuja dan Dong, 2005).

b. Faktor Asimetri atau Tailling Factor (Tf)

Suatu situasi yang menunjukkan kinerja kromatografi yang kurang baik adalah

ketika ditemukan suatu puncak yang mengalami pengekoran (tailing) sehingga

menyebabkan puncak tidak simetris. Jika puncak yang akan dikuantifikasi tidak

simetris (asimetri), maka suatu perhitungan asimetrisitas merupakan cara yang

berguna untuk mengontrol atau mengkarakterisasi sistem kromatografi. Puncak

asimetri muncul karena berbagai faktor. Peningkatan puncak yang asimetri akan

menyebabkan penurunan resolusi, batas deteksi, dan presisi. Contoh puncak

asimetri dapat dilihat pada gambar 2.4.


15

Gambar 2.4. Perhitungan Tailling Factor (Tf) (Ahuja and Dong, 2005).

Berdasarkan gambar tersebut, nilai Tailling Factor (Tf) dapat dihitung dengan

persamaan 2.

Tf = W0,05/2f = AC/2AB .................................................................................... (2)

Dalam kondisi ideal, puncak kromatografi akan memiliki bentuk puncak

Gaussian yaitu puncak simetri sempurna. Pada kenyataannya, sebagian besar

puncak dapat mengalami tailing. Seperti ditunjukkan dalam Gambar 2.4, Tailling

factor (Tf) adalah ukuran dari puncak asimetri. Dalam perhitungan ini digunakan

lebar puncak pada ketinggian puncak 5% (W0,05). Tailling factor untuk sebagian

besar puncak harus jatuh antara 0,9 dan 1,4, dengan nilai 1,0 mengindikasikan

puncak simetris sempurna. Puncak tailing biasanya disebabkan oleh adsorpsi atau

interaksi kuat lain dari analit dengan fase diam sementara puncak sepertinya dapat

disebabkan oleh kolom overloading, reaksi kimia atau isomerisasi selama proses

kromatografi (Ahuja dan Dong, 2005).


16

2.4 Chromatographic Fingerprint (CFP)

Chromatographic Fingerprint (CFP) merupakan metode yang digunakan

untuk standardisasi produk herbal di negara maju dalam upaya kontrol kualitas

(Palanisamy dan Natesan, 2012). Beberapa informasi penting tentang produk

herbal yang diperoleh dari CFP seperti: integritas, kejelasan, dan kualitas dari

produk herbal yang diteliti (MacLennan, 2002). Jumlah konstituen aktif dalam

suatu tanaman umumnya banyak sehingga sulit untuk menjamin keamanan,

kendali mutu dan konsistensi dari suatu produk herbal (Liang et al., 2004). CFP

dapat menggambarkan persamaan dan perbedaan yang ada pada suatu ekstrak

tanaman dari variasi tanaman dan identifikasi keaslian dari suatu tanaman dapat

dilakukan secara akurat. Syarat-syarat suatu fingerprint adalah kompak,

reprodusible, serta repeatable (Giri et al., 2010).

Teknik kimia dan kromatografi dapat digunakan untuk membantu dalam

identifikasi dari suatu bahan herbal atau ekstrak. Teknik kromatografi seperti High

Performance Liquid Chromatography (HPLC), Thin Layer Chromatography

(TLC) atau Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dan Gas Chromatography (GC) serta

metode spektroskopi seperti IR, NMR, dan UV juga dapat digunakan untuk

fingerprint (Gautam et al., 2010). KLT merupakan metode yang paling banyak

digunakan untuk analisis fingerprint karena mempunyai beberapa kelebihan

yaitu mudah dalam preparasi sampel, sederhana dalam prosedur kerja,

volume pelarut yang digunakan sedikit, selektif dan sensitif, serta

kromatogramnya dapat diamati secara visual (Ciesla dan Hajnos, 2009).


17

2.4.1 Pemanfaatan KLT-Spektrofotodensitometri dalam Chromatographic

Fingerprint

Penggunaan KLT dapat dibantu dengan menggunakan

spektrofotodensitometer untuk memperoleh informasi kualitatif dan kuantitatif

dari plat KLT tersebut (Liang et al. 2004). Data CFP yang dapat direkam

menggunakan KLT-spektrofotodensitometer adalah kromatogram, nilai-nilai Rf,

spektrum, panjang gelombang maksimum dan noda dengan penampak bercak. Hal

tersebut merupakan profil sidik jari (fingerprint) sampel dalam KLT (Liang et al.,

2004).

Pola puncak kromatogram yang diperoleh dari analisis dengan

KLTSpektrofotodensitometri dapat digunakan sebagai fingerprint untuk

menentukan tingkat kesamaan sampel herbal yang dianalisis. Setiap puncak pada

kromatogram memiliki rasio luas puncak yang berperan penting dalam fingerprint

(Feng dan Runyi, 2006). Selain kromatogram, spektrum UV-Vis suatu senyawa

juga merupakan komponen CFP dengan KLT-spektrofotodensitometri. Setiap

senyawa memiliki spektrum UV-Vis yang spesifik. Spektrum dapat memberikan

informasi mengenai identitas suatu senyawa maupun data stabilitas senyawa

tersebut. Karakteristik spektrum suatu senyawa meliputi panjang gelombang

maksimum, rasio absorbansi dan jumlah puncak yang muncul (Feng dan Runyi,

2006).
18

2.4.2 Pemanfaatan Cross Correlation Function dalam Chromatographic

Fingerprint (CFP)

Untuk membandingkan bentuk spektrum senyawa penanda sampel satu

dengan sampel lainnya digunakan analisis fungsi korelasi silang cross

correlation function. Nilai koefisien korelasi (r) dihitung dengan:

............................................................................................ (3)

Dimana xi dan yi adalah harga absorban unit dari dua spektrum yang

dibandingkan pada suatu panjang gelombang, penjumlahan dilakukan pada

rentang panjang gelombang yang sesuai dengan analit (Harmita, 2004).

2.4.3 Pemanfaatan Cosine Function dalam Chromatographic Fingerprint

(CFP)

Cosine function (fungsi kosinus) ditentukan untuk menyatakan hubungan

kedekatan antara dua vektor dalam hal ini adalah hubungan kedekatan antara dua

buah sampel. Fungsi kosinus ini diterapkan dalam kromatografi fingerprint untuk

menentukan hubungan kedekatan sampel yang satu dengan sampel yang lainnya

(Esseiva et al., 2003). Chromatographic Fingerprint mencirikan pola kimia yang

terdiri dari puncak-puncak yang menyajikan komposisi yang unik dari suatu

sampel dalam kromatogram dengan memanfaatkan semua komponen kimia yang

terdeteksi oleh instrumen untuk dianalisis. Hal ini juga ditetapkan bahwa sampel

dengan pola kimia yang sama mungkin memiliki sifat yang mirip. Pengukuran

kesamaan tersebut antar kromatogram (vektor) dapat direpresentasikan dalam


19

tetapan Euclidean, koefisien korelasi Pearson, atau kosinus sudut dan rasio

kesamaan untuk perbandingan yang objektif (Luo, 2003).

Puncak-puncak kromatogram dan luas area di bawah puncak adalah

karakteristik untuk setiap senyawa penyusun sampel. Korelasi antar sampel dapat

dihitung dengan memanfaatkan data tersebut dan memasukkan ke dalam fungsi

kosinus. Hubungan antar sampel ditentukan oleh koefisien korelasi antar sampel

(Esseiva et al., 2003). Hubungan tersebut dapat digambarkan sebagai sudut pada

suatu vektor yang dapat dilihat pada gambar 2.5.

Gambar 2.5. Sketsa Sudut Diantara Dua Vektor (Esseiva el al., 2003).

Gambar 2.5 menggambarkan dua vektor dan dengan sudut . Untuk

menentukan kedekatan antara dua vektor tersebut, dilakukan penghitungan sudut

yang terdapat di antara dua vektor tersebut. Perhitungan fungsi kosinus dilakukan

dengan aturan vektor untuk memperkirakan kedekatan antara dua vektor, sudut

yang ada di antara kedua vektor tersebut dihitung. Dengan mengikuti aturan

vektor, nilai korelasi antara dua kromatogram dapat dihitung dengan persamaan 4.

................................. (4)

Dimana a1, a2, a3, , an menyatakan besaran atau nilai dari variabel 1-n

untuk kromatogram a, dan b1, b2, , bn menyatakan besaran variabel 1-n untuk
20

kromatogram b. Nilai korelasi adalah angka tanpa dimensi, auto normalized, dan

mandiri dari panjang vektor yang menunjukkan aturan dari sampel (Esseiva et al.,

2003). Dari data kromatogram beberapa sampel kemudian dibangun hubungan

antar sampel dengan memanfaatkan korelasi fungsi kosinus (C). Sampel yang

memiliki hubungan kedekatan yang baik adalah yang memberikan nilai korelasi C

mendekati 100 (Dufey et al., 2006). Fungsi kosinus memiliki keuntungan yaitu

mudah memproses hasil dari perhitungan dan memberikan nilai data tunggal

dibandingkan nilai hasil grafik. Hasil perhitungan fungsi kosinus ini secara

langsung akan menunjukkan hubungan antara suatu sampel dengan sampel yang

lainnya (Esseiva et al., 2003).

Anda mungkin juga menyukai