Anda di halaman 1dari 25

PRAKTIKUM FARMAKOGNOSI FITOKIMIA

STUDI PUSTAKA

Akar Kelembak (Rheum officinale)

Oleh :
Ahmad Jatikudus
(17/411891/FA/11320)

LABORATORIUM FARMAKOGNOSI-FITOKIMIA
FAKULTAS FARMASI UGM
2019
STUDI PUSTAKA

A. KLASIFIKASI

(Claus, E.P., 1961)


Klasifikasi Rheum officinale L
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Bangsa : Polygonales
Suku : Polygonaceae
Marga : Rheum
Jenis : Rheum officinale L.
(Backer and Bakhuizen, 1965)
Pemerian
Kelembak mempunyai khasiat memperlancar buang air besar (laxative). Akar Kelembak
bertekstur padat, keras, berat, bentuknya hampir silindris, pipih dan tidak beraturan. Kadang
berlubang dengan panjang 5-15 cm, lebar 3-10 cm. Berbau aromatik, rasa pahit khas dan
khelat, bila dikunyah terasa berpasir dan air ludah menjadi kuning (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 1995)

2
B. TINJAUAN MAKROSKOPIS, MIKROSKOPIS DAN MIKROKIMIAWI

a. Makroskopis

1. Padat, keras, bentuk hampir silindris


2. Planokonveks ( tidak beraturan )
3. Berlubang- lubang kecil
4. Berbentuk kubus
5. Permukaan luar halus
6. Berkerut longitudinal atau cekung
7. Warna coklat kekuningan
8. Patahan tidak rata dan berbutir- butir
9. Permukaan berwarna merah coklat.
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995).

b. Mikroskopis

1 2 3

4 5 6

(Upton, Roy, et al, 2011)

Keterangan :

1. Bagian melintang akar menunjukkan xilem sekunder dan banyak kristal


kluster kalsium oksalat
2. Pembuluh, parenkim, dan sinar meduler dalam sistem sekunder akar
3. Pembuluh reticulate
4. Kristal kluster kalsium oksalat
5. Sinar meduler dan kristal kluster kalsium okslate dalam xilem akar sekunder
6. Gores butiran dengan hilus tengah
3
c. Makrokimia
Akar kelembak mengandung dua tipe glycosida, yaitu (1) astringent principles
(glucogallin dan tetrarin) yang menghasilkan glukosa, gallic acid dan produk lain
melalui hidrolisis, (2) anthraquinone derivatives yang menghasilkan glukosan dan
hydroxymethylanthraquinones melalui hidrolisis. Rhubarb mengandung pula emodin
dan chrysophanie acid, sedikit rhein dan aloe-emodin.

Salah satu cara untuk mengidentifikasi senyawa pada Rheum officinale adalah
meneteskan KOH pada preparat yang diamati pada mikroskop, preparat akan berubah
warna menjadi merah apabila mengandung antraquinone.

(Claus, E.P., 1961)

C. KANDUNGAN KIMIA

Aloe-imodin gallotanin Glikosida antrakinon

4
katekin physcion prosianidin

A. Senyawa Golongan Antrakinon (senyawa utama)


Golongan ini aglikonnya adalah sekerabat dengan antrasena yang memiliki
gugus karbonil pada kedua atom C yang berseberangan (atom C9 dan C10) atau
hanya C9 (antron) dan Cg ada gugus hidroksil (antranol). Adapun strukturnya
adalah sebagai berikut:

(Gambar 1. Struktur dasar antrakinon)


B. Sifat Fisika dan Kimia Senyawa Golongan Antrakinon
Senyawa antrakinon dan turunannya seringkali bewarna kuning sampai
merah sindur (orange), larut dalam air panas atau alkohol encer. Untuk
identifikasi digunakan reaksi Borntraeger. Antrakinon yang mengandung gugus
karboksilat (rein) dapat diekstraksi dengan penambahan basa, misalnya dengan
natrium bikarbonat. Hasil reduksi antrakinon adalah antron dan antranol, terdapat
bebas di alam atau sebagai glikosida. Antron bewarna kuning pucat, tidak
menunjukkan fluoresensi dan tidak larut dalam alkali, sedangkan isomernya,
yaitu antranol bewarna kuning kecoklatan dan dengan alkali membentuk larutan
berpendar (berf1uoresensi) kuat. Oksantron merupakan zantara (intermediate)
antara antrakinon dan antranof. Reaksi Borntraeger modifikasi Fairbairn, yaitu
dengan menambahkan hidrogen peroksida akan menujuk-kan reaksi positif.
Senyawa ml terdapat dalam Frangulae cortex. Diantron adalah senyawa dimer
tunggal atau campuran dan molekul antron, hasil oksidasi antron (misalnya
larutan dalam aseton yang diaerasi dengan udara). Diantron merupakan aglikon
penting dalam Cassia, Rheum, dan Rhamnus; dalam golongan ini misalnya
senidin, aglikon senosida. Reidin A, B, dan C yang terdapat dalam sena dan
kelembak merupakan heterodiantron.
C. Cara Mengidentifikasi Senyawa Golongan Antrakinon

5
Rheum officinale L. mengandung antrakinon maka seharusnya uji
jalur poliketida menunjukkan hasil +

D. KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS KUALITATIF

Hildebert Wagner, dalam bukunya “Plant Drug Analysis : A Thin Layer


Chromatography Atlas”, menyebutkan bahwa senyawa metabolit sekunder dalam Rhei
Radix diekstraksi dalam dua tahap, yaitu ekstraksi dengan etil asetat-metanol-air (100 :
13,5 : 10) untuk senyawa glikosida dan dengan petroleum-etil asetat-asam formiat (75 : 25
: 1) untuk senyawa aglikonnya. Pendeteksiannya dilakukan dengan 4 cara, yaitu :

a. Tanpa penambahan bahan kimia : UV-365 nm.


b. Reagen asam fosfomolibdat/H2SO4 : vis.
c. Tanpa penambahan bahan kimia : UV-254 nm.
d. Tanpa penambahan bahan kimia : UV 365 nm.
• Glikosida.

6
Rhei Radix dikarakterisasi pada UV-365 nm dengan memberikan fluorosensi kuning
mencolok pada daerah aglikon antrakuinon (emodin, aloe-emodin, physcion,
krisfanol). 8-O-monoglukosida bermigrasi sebagai pita berwarna coklat kemerahan
pada Rf 0,45-0,55. Diglikosida yang terkandung di dalamnya berada dalam jumlah
sangat sedikit pada range Rf 0,1-0,3. Aglikon polar, Rhein, pada Rf ~0,4 tertutup oleh
zona fluoresensi wana biru (Wagner, 1996).
• Aglikon.
Campuran aglikon yang diperoleh dengan hidrolisis ekstrak Rheum menggunakan
HCl dipindahkan ke pelarut lipofilik dan dievaluasi pada UV-254 nm dan UV-365
nm. Semua aglikon menunjukkan fluoresensi pemadaman pada UV-254 nm dan
berfluoresensi kuning atau jingga kecoklatan pada UV-365 nm. Aloe-emodin dan
rhein (Rf 0,15-0,25), emodin (Rf ~0,3), krisofanol dan physcion (Rf 0,6-0,7)
merupakan aglikon yang paling umum terkarakterisasi (Wagner, 1996).

Kromatografi Lapis Tipis

Kromatografi lapis tipis (KLT) adalah salah satu metode pemisahan komponen
kimia berdasarkan prinsip partisi dan adsorpsi antara fase diam (adsorben) dan fase gerak
(eluen) dimana komponen kimia bergerak naik mengikuti cairan pengembang karena daya
serap adsorben (silika gel) terhadap komponen-komponen kimia tidak sama, sehingga
komponen dapat bergerak dengan kecepatan yang berbeda-beda, berdasarkan tingkat
kepolarannya yang dapat menyebabkan terjadinya pemisahan. Kromatografi lapis tipis
menggunakan plat tipis yang dilapisi dengan adsorben seperti silika gel, aluminium oksida
(alumina) maupun selulosa. Adsorben tersebut berperan sebagai fase diam, sedangkan fase
gerak yang digunakan disebut dengan eluen. Pemilihan eluen didasarkan pada polaritas
senyawa dan biasanya campuran dari beberapa cairan yang berbeda polaritas, sehingga
didapatkan perbandingan tertentu. Kepolaran eluen sangat berpengaruh terhadap Rf
(faktor retensi) yang diperoleh. Faktor retensi (Rf) adalah jarak yang ditempuh oleh
komponen dibagi dengan jarak yang ditempuh oleh eluen. Rumusnya adalah :

𝐣𝐚𝐫𝐚𝐤 𝐭𝐞𝐦𝐩𝐮𝐡 𝐤𝐨𝐦𝐩𝐨𝐧𝐞𝐧


𝑹𝒇=
𝐣𝐚𝐫𝐚𝐤 𝐭𝐞𝐦𝐩𝐮𝐡 𝐞𝐥𝐮𝐞𝐧

Nilai Rf sangat karakteristik untuk senyawa terntentu pada eluen tertentu. Hal
tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya perbedaan senyawa dalam
sampel. Senyawa yang mempunyai Rf lebih besar berarti mempunyai kepolaran yang
rendah, begitu juga sebaliknya. Hal tersebut dikarenakan fase diam bersifat polar.
Senyawa yang lebih polar akan tertahan kuat pada fasa diam, sehingga menghasilkan nilai
Rf yang rendah.

7
• Kromatografi lapis tipis dari rhein.
Satu tetes larutan rhein (dalam kloroform) ditutulkan pada plat lapis tipis (silica gel
GF254) dan dikembangkan dengan etil asetat-7ethanol-air 8:1:1.
• Deteksi dengan UV-254 (setelah diuapkan dengan amoniak).
Deteksi menunjukkan rhein sebagai bercak warna merah-lembayung, R f 0,32, dan
UV356 sebagai bercak jingga muda.
• Spectrum UV dari rhein.
Panjang gelombang maksimal MeOH 230 mµ (log Ɛ 3,7); 260 (3,3); 430 (3,2)
menunjukkan bahwa senyawa memiliki inti antrakuinon yang absorpsinya pada 252
mµ (logƐ 3,26) dan 410 mµ (logƐ 1,78), merubah pita terakhir ke panjang gelombang
yang lebih besar.
• Penyiapan rhein di asetat.
Larutan yang terdiri dari 100 mg rhei dan 150 mg natrium asetat kering dalam 30 ml
asetat anhidrat direfluks selama 15 menit dan dituang ke dalam 175 ml air es. Zat
berwarna kuning muda disaring dan dikristalisasi dari asam asetat. Titik leleh
250251ºC; rendemen 80 mg.
(Ikan, 1991)

8
Disiapkan Larutan Uji dan

Hidrolisis (yang membutuhkan hidrolisi). Diuapkan sisa pelarut hingga tinggal ± 0,5dimasukkan
mL, ke tabung reaksi ditutup lubang
tabung dengan kapas basah,
ditambahkan HCl 0,5 N sebanyak 4,5 mL hidrolisis selama 30 menit di tangas air. Partisi hasil dengan etil

Disiapkan fase gerak (sesuai ukuran bejana dan pelat


KLT) kedalam bejana KLT dandidiamkan selama 10 menit untuk
dijenuhi bejana
denganuap fase gerak.

Senyawa Jalur Sikimat-> Senyawa Alkaloid -> Kinolin,


Senyawa Jalur Asetat -Malonat Senyawa Jalur Asetat
Skopoletin,Gliserol, Xantin, Indol (Strichnin dan
(asam-asam lemakdan Mevalonat (Terpenoid)->
Kurkuminoid, dan Reserpin), Tropan, dan
poliketida)-> Aloin dan Emodin Thymol dan Menthol, Sineol,
Geraniol danSitronella, dan
Keteranganselengkapnya ada

Ditotolkan volume tertentu larutan uji dan


larutan pembanding sampel uji dengan jarak

Ditetapkan jarak rambat 5 cm dari titik penotolan


dan ditandailah dengan pensil garis pendek disamping

Dimasukkan lempeng KLT pada bejana yang sudah dijenuhi fase


gerak dengan hati-

Dibiarkan fase gerak bergerak keatas pada permukaan lempeng


hingga mencapai batas jarak rambat.
Dikeluarkan lempeng dan

Dideteksi di sinar tampak, UV (254 nm), dan UV (366 nm).


Bila perlu gunakan pereaksi penampak
bercak. Dihitung harga Rf.

Jika senyawa belum terdeteksi atau belum diperoleh pemisahan yang baik,
dilakukan analisis KLTdiulang dengan fase gerak
yang berbeda. Dipisahkan komponen-komonen senyawa dalamsampel secara KLT,dihitung harga Rf dan amati visualisasi

Kandunga
Bahan yang Fase Fase
Golongan n yang Deteksi Larutan percobaan
diperiksa diam gerak
diperiksa
1. UV365 nm satu gram serbuk simplisia diekstraksi
Etil 2. KOH etanolik 10% visibel dan dengan 10 mL metanol dan dipanasi
asetat – UV365 nm, aloin di waterbath selama 5 menit, saring.
Getah Aloe
Silica metanol berfluoresensi kuning Bagi dua filtrat. Satu bagian diuapkan
Aloin vera atau Aloin.
gel F254. – air kecoklatan di Rf ~0,5 hingga tinggal ½ volume (SA). Satu
jadam arab.
(100:17:1 sedangkan antron berada di bagian dihidrolisis dengan cara
3) atas. seperti di cara kerja KLT no 2 (SB).

9
Pembanding antron 5 mg dilarutkan
dalam 5mL etanol (P). Masing-masing
ditotolkan 5 μL.

1. UV365 nm satu gram serbuk simplisia


berwarna kuning diekstraksi dengan 10 mL metanol
terang dan dipanasi di waterbath selama 5
Toluen – menit, saring. Bagi dua filtrat. Satu
Silica
etil 2. uap amonia bagian diuapkan hingga tinggal ½
asetat – berwarna merah volume (SA). Satu bagian dihidrolisis
Emodin Rhei radix. Emodin. gel
metanol dengan cara seperti di cara kerja KLT
F254. 3. KOH etanolik
(5:1,5:3, no 2 (SB). Pembanding antron 5 mg
5 v/v). 10% visibel dan UV365
dilarutkan dalam 5mL etanol.
nm
ditotolkan 5 μL (P).
Emodin muncul di Rf ~0,7.
1 gram serbuk simplisia herba thymi
Herba thymi dimaserasi dengan 5 mL diklorometan
(Thymus selama 5 menit, ditotolkan 10 μL (SA)
vulgaris),
vanilin – asam sulfat dan 1 gram serbuk simplisia daun mint
daun toluen –
dipanaskan 110°C selama 5 dimaserasi dengan 5 mL diklorometan
Thymol dan oregano Timol dan Silica etil
menit; mentol berwarna biru Rf selama 5 menit, ditotolkan 10 μL (SB)
mentol (Origanum mentol. gel. asetat
~0,2; timol berwarna merah
vulgare) dan (93:7 v/v)
violet Rf ~0,5. 5 mg mentol dan 5 mg timol masing-
Daun mint masing dilarutkan dalam 5 mL toluen.
(Mentha
Totolkan masing-masing 2 μL pada
piperita).
titik yang sama (P).

vanilin – asam sulfat dan Dua gram serbuk simplisia dimaserasi


dipanaskan 110°C selama 5
Minyak kayu toluen – dengan 5 mL nheksan, penotolan 10
menit; mentol berwarna biru Rf
putih, daun etil
Silica ~0,2; timol berwarna merah μL
Sineol kayu putih, Sineol. asetat
gel. violet Rf ~0,5; sineol diantara
bunga (93:7 50 μL sineol dilarutkan dalam 5 mL
kedua pembanding Rf ~0,4
cepliksari. v/v). toluen. Penotolan 2 μL.
warna biru orange.

anisaldehid – asam sulfat dan Dua gram serbuk simplisia dimaserasi


dipanaskan 110°C selama 5
dengan 5 mL n heksan totolkan 10
menit;
n- μL. (SA)
Minyak
heksana geraniol berwarna biru-violet Rf
sereh dan Geraniol
Geraniol dan Silica – etil ~0,1; sitronelal berwarna violet 50 μL minyak sereh dilarutkan dalam
ekstrak dan
sitronellal gel. asetat Rf ~0,5. 3 mL toluen. Totolkan 2 μL. (SB)
nheksan sitronellal.
(93:7
sereh.
v/v). Pembanding geraniol dan sitronelal
ditotolkan sebanyak 2 μL pada titik
yang sama. (P).

Rhizoma anisaldehid – asam sulfat dan Dua gram serbuk simplisia dimaserasi
Pacing dipanaskan 110°C selama 5
n- dengan 5 mL nheksan atau 10 μL
(Costus menit; stigmasterol terdeteksi di
heksana
specious), Stigmaster Silica pertengahan dengan warna 5 mg mentol dan 10 mL toluen.
Steroid – etil
Purwoceng ol. gel. ungu.
asetat
(Pimpinella (4:1 v/v). Penotolan 2 μL.
pruatjan).

10
Larutan uji: 100 mg serbuk kering
Diklorom buah mengkudu diekstrak dengan 5
Buah Skopoletin dibawah UV 365nm di
Skopoletin Skopoletin etan – mL metanol, totolkan 5 mikroliter
Rf sekitar 0,7 berpendar biru
mengkudu Silica
(Fenilpropan (turunan metanol terang; deteksi di UV 254nm dan
(Morinda gel F254. pembanding: skopoletin 5 mg
oid) kumarin). (19:1 pereaksi KOH etanolik (sinar
citrifolia L.). dilarutkan dalam 5 mL
v/v). tampak).
metanol. Ditotolkan 2 μL.

11
- UV λ 254 & Sampel: Satu gram rimpang jahe
365nm, Zingiber officinale diekstrak dengan
Gingerol kloroform 25 mL. Ekstrak ditepatkan
(jalur n- - vanilin-asam volumenya 25 mL. Totolkan 10 μL di
Gingerol
kombinasi Rimpang Silica heksan- sulfat bercak gingerol pelat KLT.
dan
fenilpropan jahe. gel F254. eter(40:6 muncul sebagai bercak Gingerol (campuran) 5 mg/mL dan
shogaol.
dengan 0). ganda di Rf ~0,38 vanilin 5 mg/5mL masing-masing
poliketida) sedangkan vanilin penotolan 5 μL.
muncul bercak di Rf
~0,5.
- Sinar tampak berwarna kuning

- UV 254,

Curcuma klorofor - UV365 kuning menyala


xanthorizza m: 2 μL larutan isolat dalam metanol
Kurkumino Silica
Kurkuminoid atau metanol Bercak kurkumin, dan larutan pembanding
id. gel F254.
Curcuma (98:2 demetoksikurkumin dan kurkuminoid 1%.
domestica. v/v).
bisdemetoksi kurkumin berurutan
di Rf sekitar

0,8; 0,6 dan 0,5.


Etil sinar tampak, UV 254, UV 365
asetat : semprot dengan sitroborat 0,5 g serbuk simplisia diekstraksi
asam amati dibawah sinar tampak dan dengan 5 mL metanol
formiat : UV 365 rutin muncul di Rf ~0,8.
80% selama 5 menit di tangas air
asam
Daun ketela Silica diaduk-aduk.
Flavonoid Rutin. asetat
pohon. gel F254.
glasial : 2 mg rutin dilarutkan dalam 10 mL
air metanol. Penotolan 2

(100:11:1 μL.
1:22 v/v).
UV 254 & 365 sebelum penyemprotan. 500 mg serbuk dibasahi
dengan 5 tetes ammonia
Setelah pengembangan selesai, panaskan 25% kemudian disari dengan
lempeng KLT 100°C selam 10 menit untuk 3 ml metanol selama 10
kinina,
diklorom menghilangkan sisa amina. menit dengan menggojok.
kinidina,
etan- Filtratnya dipekatkan.
Chinae sinkonina, Silica
Kinolin dietilami Setelah itu disemprot dengan asam sulfat
Cortex dan gel F254.
na (90:10 5% etanolik, panaskan 105°C selama 5 Pembanding 5 mg kinidin
sinkonidin
v/v). menit dilihat di bawah UV- 365nm dalam 5 mL metanol.
a.
nampak bercak biru gelap Rf ~0,7; bercak Totolkan 5-10 μL.
biru terang sinkonidin (0,65); kinidin (0,50);
dan sinkonin (0,4).

a. UV-254 nm (pemadaman 1 g serbuk diekstraksi dengan 10


Klorofor fluoresensi), UV365 nm. metanol dengan bantuan pemanasan
Theae waterbad selama 5 menit, saring
Kafeina m-
Folium, Silica pekatkan hingga tinggal separuh,
Xantin dan aseton b. Uapi dengan iod, akan timbul
Cacao gel F254. totolkan 10 μL.
teobromin. (50:50 bercak barwarna coklat gelap.
Semen.
v/v). Masukkan kromatogram ke dalam
wadah berisi sedikit
kristal I2, diamkan hingga bercak 5 mg kofeina, 3 mg teobromina,
kafein berubah warna. Bercak dilarutkan dalam 5 mL kloroform
kafein muncul di Rf sekitar 0,5. metanol (60:40 v/v). Totolkan 10μL.

12
Diamati di bawah sinar 500 mg serbuk dicampur dengan 1 ml
UV 254 nm dan 365 nm. larutan ammonia 10% atau larutan Na2CO3
Toluena-etil 10%
Strychni
Stri asetat- Disemprot dengan kemudian disari dengan metanol selama 5
semen, Silica
chni Strichnin. dietilamina pereaksi Dragendorff, menit pada susu 60°C (diatas penangas air)
Rauwolfia gel F254.
n (70:20:10 dilanjutkan dengan sambil digojog. Setelah dingin disari
radix.
v/v). NaNO2. kemudian dipekatkan.
Indol

1. UV 1 gram diekstraksi dengan 5 mL metanol


365 nm warna dan dipanasi di tangas air selama 5 menit.
res Diklorometa
Rauwolfia Silica biru turki.
erpi Reserpin. n – metanol
radix. gel F254. Reserpin 1 mg/5mL metanol.
n (8:2 v/v).
2. Drag
endorff. Masing-masing ditotolkan 2 μL.
Diamati di bawah sinar 200 mg serbuk dicampur dengan 1 ml
UV 254 nm dan 365 nm. larutan ammonia 10% atau larutan Na2CO3
Atropa Toluena-etil 10%
Atropin
belladona, asetat- Disemprot dengan kemudian disari dengan metanol selama 5
dan Silica
Tropan Hyoscyamus dietilamina pereaksi Dragendorff, menit pada susu 60°C ( diatas penangas
Skopolami gel F254.
niger, Datura (70:20:10 dilanjutkan dengan
n. NaNO2.
stramonium. v/v). 19 air) sambil digojog. Setelah dingin disari
kemudian dipekatkan.

etil asetat - Cara ekstraksi: 1 g serbuk simplisia dicampur


metanol – dengan
ammonia 1 mL ammonia 10% kemudian diekstraksi dengan 5
pekat - air 1. UV254 nm. mL methanol di dalam waterbath selama 5 menit.
mbakau
Silica (80:25:0,2:1 Saring dan pekatkan hingga separuhnya.
Piridin (Nicotiana Nikotin.
gel F254. 2.
tabacum). 5,8 v/v/v/v).
Dragendorff. 5 mg asam nikotinat dilarutkan dalam etil asetat 5
mL.

Penotolan 5μL.

E. PEMISAHAN, ANALISIS KUALITATIF DAN KUANTITATIF


MARKER

PEMISAHAN BAHAN ALAM

13
1. Kromatografi Lapis Tipis Kualitatif 2. Pengertian Kromatografi cair
vakum

Kromatografi Suction Column atau vacuum liquid chromatography (VLC)


atau kromatografi cair vakum (KCV) adalah bentuk kromatografi kolom
khususnya berguna untuk fraksinasi kasar yang cepat terhadap suatu ekstrak.
Kondisi vakum adalah alternatif untuk mempercepat aliran fase gerak dari atas ke
bawah. Metode ini sering digunakan untuk fraksinasi awal dari suatu ekstrak non
polar atau ekstrak semipolar.

Kromatografi kolom cair dapat dilakukan pada tekanan atmosfer atau pada
tekanan lebih besar dari atmosfer dengan menggunakan bantuan tekanan luar
misalnya gas nitrogen. Untuk keberhasilan praktikan di dalam bekerja dengan
menggunakan kromatografi kolom vakum cair, oleh karena itu syarat utama
adalah mengetahui gambaran pemisahan cuplikan pada kromatografi lapis tipis
(Harris, 1982).

Kromatografi vakum cair dilakukan untuk memisahkan golongan senyawa


metabolit sekunder secara kasar dengan menggunakan silika gel sebagai absorben
dan berbagai perbandingan pelarut n-heksana : etil asetat : metanol (elusi gradien)
dan menggunakan pompa vakum untuk memudahkan penarikan eluen (Helfman,
1983).

14
3. Prinsip KCV

Prinsipnya yaitu adsorpsi dan partisi yang dipercepatbantuan pompa vakum.


Keuntungan dari metode ini adalah prosesnya cepat dan senyawa tertarik secara
sempurna. Kerugiannya adalah pemisahanya tidak sempurna karena senyawa
yang ditampungbercampur dalam suatu penampungan tidak seperti pada kolom
konvensional yang dipisahkan berdasarkan warna, sehingga pemisahannya lebih
maksimal. (Helfman, 1983).

4. Peralatan KCV

Alat yang digunakan terdiri dari corong G-3, sumbat karet, pengisap yang
dihubungkan dengan pompa vakum serta wadah penampung fraksi. Walaupun
KCV memerlukan jumlah sampel yang lebih banyak dari pada kromatografi lapis
tipis (KLT), KCV tetap ekonomis dalam sisi biaya. (Stahl,E.1985)

5. Cara kerja Kromatografi cair vakum

Adapun cara kerja kromatografi cair vakum yaitu kolom kromatografi dikemas
kering (biasanya dengan penjerap mutu KLT 10-40 μm) dalam keadaan vakum
agar diperoleh kerapatan kemasan maksimum. Vakum dihentikan, pelarut yang
kepolarannya rendah dituangkan ke permukaan penjerap lalu divakumkan lagi.
Kolom dipisah sampai kering dan sekarang siap dipakai (Hostettman, 1986).

Kromatografi vakum cair merupakan salah satu jenis dari kromatografi kolom.
Kromatografi kolom merupakan suatu metode pemisahan campuran larutan
dengan perbandingan pelarut dan kerapatan dengan menggunakan bahan kolom.
Kromatografi kolom lazim digunakan untuk pemisahan dan pemurnian senyawa
(Schill, 1978).

Fasa diam yang digunakan dikemas dalam kolom yang digunakan dalam KCV.
Proses penyiapan fasa diam dalam kolom terbagi menjadi dua macam, yaitu:

a. Cara Basah
Preparasi fasa diam dengan cara basah dilakukan dengan melarutkan
fasa diam dalam fase gerak yang akan digunakan. Campuran kemudian
dimasukkan ke dalam kolom dan dibuat merata. Fase gerak dibiarkan
mengalir hingga terbentuk lapisan fase diam yang tetap dan rata, kemudian
aliran dihentikan (Sarker et al., 2006).
b. Cara kering

15
Preparasi fasa diam dengan cara kering dilakukan dengan cara
memasukkan fase diam yang digunakan ke dalam kolom kromatografi. Fase
diam tersebut selanjutnya dibasahi dengan pelarut yang akan digunakan
(Sarker et al., 2006).

Preparasi sampel saat akan dielusi dengan KCV juga memiliki


berbagai metode seperti preparasi fasa diam. Metode tersebut yaitu cara basah
dan cara kering (Canell, 1998). Preparasi sampel cara basah dilakukan dengan
melarutkan sampel dalam pelarut yang akan digunakan sebagai fasa gerak
dalam KCV. Larutan dimasukkan dalam kolom kromatografi yang telah terisi
fasa diam. Bagian atas dari sampel ditutupi kembali dengan fasa diam yang
sama. Sedangkan cara kering dilakukan dengan mencampurkan sampel
dengan sebagian kecil fase diam yang akan digunakan hingga terbentuk
serbuk. Campuran tersebut diletakkan dalam kolom yang telah terisi dengan
fasa diam dan ditutup kembali dengan fase diam yang sama (Canell, 1998;
Sarker et al., 2006).

6. Faktor Retensi

Faktor retensi (Rf) adalah jarak yang ditempuh oleh komponen dibagi
dengan jarak yangditempuh oleh eluen. Rumus faktor retensi adalah: Nilai Rf
sangat karakterisitik untuk senyawa tertentu pada eluen tertentu. Hal tersebut
dapatdigunakan untuk mengidentifikasi adanya perbedaan senyawa dalam
sampel. Senyawa yangmempunyai Rf lebih besar berarti mempunyai
kepolaran yang rendah, begitu juga sebaliknya.Hal tersebut dikarenakan fasa
diam bersifat polar. Senyawa yang lebih polar akan tertahan kuat pada fasa
diam, sehingga menghasilkan nilai Rf yang rendah.Rf KLT yang bagus
berkisar antara 0,2 - 0,8. Jika Rf terlalu tinggi, yang harus dilakukan
adalahmengurangi kepolaran eluen, dan sebaliknya. (Sarker et al., 2006).

7. Cara Menggunakan KLT

KLT sangat berguna untuk mengetahui jumlah komponen dalam


sampel. Peralatan yang digunakan untuk KLT adalah chamber (wadah untuk
proses KLT) , pinset, plat KLT, dan eluen.Inilah langkah-langkah memakai
KLT:1.Potong plat sesuai ukuran. Biasanya, untuk satu spot menggunakan
plat selebar 1 cm.Berarti jika menguji 3 sampel (3 spot) berarti menggunakan
plat selebar 3 cm.Buat garis dasar (base line) di bagian bawah, sekitar 0,5 cm
dari ujung bawah plat, dangaris akhir di bagian atas.Menggunakan pipa

16
kapiler, totolkan sampel cairan yang telah disiapkan sejajar, tepat diatas base
line. Jika sampel padat, larutkan pada pelarut tertentu. Keringkan totolan.
Dengan pipet yang berbeda, masukkan masing-masing eluen ke dalam
chamber dan campurkan. Tempatkan plat pada chamber berisi eluen. Base line
jangan sampai tercelup oleh ulen.Tutuplah chamber .Tunggu eluen mengelusi
sampel sampai mencapai garis akhir, di sana pemisahan akan terlihat. Setelah
mencapai garis akhir, angkat plat dengan pinset, keringkan dan ukur jarak
spot.Jika spot tidak kelihatan, amati pada lampu UV. Jika masih tak terlihat,
semprot dengan pewarna tertentu seperti kalium kromat atau ninhidrin.Untuk
lebih jelasnya, perhatikan gambar di bawah ini. (Sarker et al., 2006).

8. Keutungan dan kerugian KCV

- Keuntungan pada KCV yang utama dibandingkan kolom konvensional


yaitu (12) :1. Konsumsi fase gerak KCV hanya 80% atau lebih kecil di
banding dengan kolom konvensional karena pada kolom mikrobor
kecepatan alir fase gerak lebih lambat (10-100μl/menit)2. Adanya aliran
fase gerak lebih lambat membuat kolom mikrobor lebih ideal jika
digabung dengan spectrometer massa3. Sensitivitas kolom mikrobor
ditingkatkan karena solut lebih pekat karenanya jenis kolom ini sangat
bermanfaat jika jumlah sampelterbatas missal sampel klinis
- Kerugian KCV (Kromatogravi Vakum Cair) yaitu (12) :1. Membutuhkan
waktu yang cukup lama2. Sampel yang dapat digunakan terbatas. (Sarker
et al., 2006).

Kromatografi Lapis Tipis Preparatif (KLTP)

Kromatografi lapis tipis preparatif merupakan salah satu metode pemisahan


yang memerlukan pembiayaan paling murah dan memakai peralatan paling
dasar (Hostettmann et al., 1995). Ukuran pelat kromatografi biasanya 20 x 20
cm. Ketebalan lapisan dan ukuran pelat mempengaruhi jumlah bahan yang
akan dipisahkan dengan KLTP (Stahl, 1969).

Cuplikan dilarutkan dalam sedikit pelarut sebelum ditotolkan pada pelat


KLTP. Konsentrasi cuplikan harus sekitar 5-10 %. Cuplikan ditotolkan berupa
pita yang harus sesempit mungkin karena pemisahan bergantung pada lebar
pita.
Penotolan dapat dilakukan dengan tangan (pipet) tetapi lebih baik dengan
penotol otomatis (Stahl, 1967).
17
Pita yang kedudukannya telah diketahui dikerok dari pelat dengan spatula atau
pengerok berbentuk tabung. Senyawa harus diekstraksi dari penjerap dengan

pelarut yang paling kurang polar yang mungkin (sekitar 5 ml pelarut untuk 1 g
penjerap) (Hostettmann et al., 1995).

KLT preparatif adalah cara yang ideal untuk pemisahan cuplikan kecil (50 mg
sampai 1 g) dari senyawa yang kurang atsiri. Walaupun KLTP dapat
memisahkan bahan dalam jumlah gram, sebagian besar pemakaian hanya
dalam jumlah miligram (Hostettmann et al., 1995).

KLTP berguna untuk memisahkan campuran reaksi sehingga diperoleh


senyawa murni untuk telaah pendahuluan, untuk menyiapkan cuplikan
analisis, untuk meneliti bahan alam yang lazimnya berjumlah kecil dan
campurannya rumit, dan untuk memperoleh cuplikan yang murni untuk
mengalibrasi KLT kuantitatif (Gritter et al., 1991). Beberapa keuntungan
KLTP dari kromatografi kolom adalah pemisahan yang lebih baik karena
pemisahan yang dihasilkan berupa bercak yang tidak bergerak, mudah
mengambil senyawa-senyawa yang terpisah secara individu dengan jalan
mengeroknya dan mengumpulkan tiaptiap lapisan, dan peralatannya yang
sederhana.

Pemurnian Fraksi

Pemurnian fraksi dilakukan dengan cara KLT Preparatif. Eluen yang


digunakan diganti menjadi n-heksan : etil asetat dengan perbandingan 10 : 1.
Sebelum dilakukan KLT preparatif, fraksi yang diduga mempunyai
kandungan rhein digabung dan diuapkan, lalu dilakukan KLT uji coba dan
nheksan:etil asetat 10:1 digunakan sebagai pengembang. Fraksi yang sudah
kering dilarutkan dalam metanol dan ditutulkan pada pelat lalu diletakkan di
dalam kolom berisi pengembang yang sudah dijenuhkan hingga fase gerak
mencapai batas akhir pelat. Kemudian bercak diamati di bawah sinar UV 24
dan 366 nm dan disemprot dengan larutan KOH 5% agar mengetahui pola
bercak. Setelah dihitung Rf dan ternyata mendekati Rf literatur, barulah
dilakukan KLT Preparatif. Pertama, pelat silika gel pada penyangga kaca
dibuat dengan cara kaca dibersihkan terlebih dahulu dengan aseton hingga
tidak ada lagi lemak pada kaca. Kemudian bubur silika gel dibuat dengan
cara melarutkan silika gel sebanyak 25 gram dalam 50 mL akuades
18
kemudian dikocok kuat dalam erlenmeyer. Bubur silika dituang dan
diratakan pada kedua sisi kaca. Kemudian dibiarkan mengering pada suhu
kamar selama 20 menit, dan dikeringkan dalam oven bersuhu 110-1200C
selama 1-2 jam. Setelah itu, kolom disiapkan dan dijenuhkan dengan
pengembang yaitu nheksan:etil asetat dengan perbandingan 10:1 dan volume
total 50 mililiter. Ekstrak yang telah dilarutkan dengan metanol ditutulkan
secara berderet pada pelat kaca yang telah disiapkan hingga membentuk pita
sebagai garis awal, lalu dikeringkan beberapa saat. Kemudian pelat
dimasukkan ke dalam chamber yang telah jenuh dengan larutan pengembang
dan proses kromatografi dilakukan hingga mencapai tanda batas pada pelat.
Pita yang terbentuk diamati secara visual dan secara pengamatan di bawah
sinar UV 254 dan 366 nm dengan cara mengerok salah satu pita yang
terbentuk dan disaring hasil kerokan pita tersebut dengan eluen yang
digunakan. Setelah itu, diuji lagi kemurnian pada pita 1 dan pita 2 dengan
KLT dengan pengembang nheksan:etil asetat menggunakan perbandingan
10:1.

Analisis Kuantitatif Marker

Spektrofotometri UV-Vis

a. Pendahuluan
Spektrofotometri Sinar Tampak (UV-Vis) adalah pengukuran energi cahaya oleh
suatu sistem kimia pada panjang gelombang tertentu (Day, 2002). Sinar ultraviolet
(UV) mempunyai panjang gelombang antara 200-400 nm, dan sinar tampak (visible)
mempunyai panjang gelombang 400-750 nm. Pengukuran spektrofotometri
menggunakan alat spektrofotometer yang melibatkan energi elektronik yang cukup
besar pada molekul yang dianalisis, sehingga spektrofotometer UV-Vis lebih banyak
dipakai untuk analisis kuantitatif dibandingkan kualitatif. Spektrum UV-Vis sangat
berguna untuk pengukuran secara kuantitatif. Konsentrasi dari analit di dalam larutan
bisa ditentukan dengan mengukur absorban pada panjang gelombang tertentu dengan
menggunakan hukum Lambert-Beer (Rohman, 2007).

Analisis kualitatif flavonoid dapat dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer


UV-Vis. Spektrum serapan ultra violet dan serapan tampak merupakan cara tunggal
yang paling bermanfaat untuk mengidentifikasi struktur flavonoid (Markham, 1988).
Flavonoid mengandung sistem aromatis yang terkonjugasi dan dapat menunjukkan
pita serapan kuat pada daerah UV-Vis (Harborne, 1987). Metode tersebut juga
dapat digunakan untuk melakukan uji secara kuantitatif untuk menentukan jumlah
flavonoid yang terdapat dalam ekstrak metanol juga dilakukan dengan
spetrofotometer UV-Vis yaitu dengan mengukur nilai absorbansinya (Carbonaro et.
al., 2005).

19
b. Analisis Kuantitatif
Absorbansi sebagai analisa kuantitatif dilakukan berdasarkan Hukum Lambert-Beer
sebagai berikut:

𝐴 = 𝜀𝑏𝑐

A = Absorbansi

Ε = Absorbtivitas molar

b = Tebal kuvet

c = Konsentrasi

(Ratnawulan, 2013).

Kadar flavonoid dalam sampel herbal dapat ditentukan dengan berbagai metode.
Metode yang diakui oleh Departemen Kesehatan RI adalah spektrofotometri UV yang
berdasar pada prinsip kolorimetri (Carbonaro et. al., 2005). Absorbansi dari warna
yang terbentuk diukur dengan spektrometer UV. Perhitungan ini berdasarkan pada
hukum Lambert-Beer yang menunjukkan hubungan lurus antara absorbans dan kadar
analit. Untuk menentukan kadar flavonoid pada berbagai jenis zat berdasarkan nilai
absorbansi digunakan data larutan standar. Data larutan standar ini digunakan untuk
membuat persamaan regresi yaitu persamaan yang digunakan untuk menghitung
kadar flavonoid :

𝑦 = 𝑎𝑥 + 𝑏

y = nilai absorbansi

x = kadar flavonoid

a, b = konstanta

(Neldawati, 2013)

KLT-Densitometri

a. Pendahuluan
Kromatografi Lapis Tipis Kinerja Tinggi (KLTKT) merupakan suatu istrumen
pengukur densitas bercak hasil pemisahan yang dilengkapi dengan suatu perangkat
optik, sumber cahaya dan detektor seperti halnya dengan spektrofotometer (Hayun et
al, 2007).

Densitometri merupakan metode analisis instrumental yang didasarkan pada interaksi


radiasi elektromagnetik dengan analit yang merupakan bercak pada Kromatografi
Lapis Tipis (KLT). Densitometri dimaksudkan untuk analisis kuantitatif analit dengan
kadar kecil, yang sebelumnya dilakukan pemisahan dengan Kromatografi Lapis Tipis
(KLT) (Rohman, 2009).

b. Analisis Kuantitatif
Analisis kuantitatif hampir sama dengan spektrofotometri, penentuan kadar analit
dikorelasikan dengan area bercak pada pelat KLT.
20
Cara penetapan kadar dapat dilakukan dengan :

1. Membandingkan area bercak analit dengan area bercak baku pembanding yang
diketahui konsentrasinya.
𝐴𝑥
𝐶𝑥 = . 𝐶𝑝
𝐴𝑝

Cx = konsentrasi analit

Ax = area analit

Ap = area baku pembanding

Cp = konsentrasi baku pembanding

(Mulja,1985).

2. Kurva Kalibrasi
Kurva kalibrasi dibuat dengan cara memplot area bercak terhadap konsentrasi dari
satu seri larutan baku pembanding. Kurva yang tebentuk harus linear, kemudian
dengan persamaan garis regresi dapat ditentukan kadar analit.
Penentuan kadar analit yang dikorelasikan dengan area noda plat KLT akan lebih
terjamin kesahihannya dibanding metode KCKT atau KGC, sebab area noda
kromatogram diukur pada posisi diam atau “zig-zag” menyeluruh. Korelasi kadar
analit pada noda kromatogram yang dirajah terhadap area tidak menunjukkan
garis lurus, akan tetapi merupakan garis lengkung mendekati parabola
(Mulja,1985).

HPLC

a. Pendahuluan
HPLC (High Performance Liquid Chromatography) atau biasa juga disebut
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) mulai dikembangkan pada akhir
tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an. HPLC adalah salah satu metode
yang dapat digunakan untuk analisis senyawa dengan cara membandingkan
dengan data standar golongan senyawa yang diduga terkandung di dalam
sampel dengan syarat kondisi pemisahan yang dilakukan sama dengan kondisi
pemisahan data standar. HPLC termasuk metode analisis terbaru yaitu suatu
teknik kromatografi dengan fase gerak cairan dan fase diamnya cairan atau
padat. HPLC memiliki banyak kelebihan dibanding teknik
kromatografi yang lain, diantaranya mampu memisahkan molekul
dalam campuran, mudah melaksanakannya, kecepatan analisis dan
kepekaan tinggi, dapat dihindari terjadinya dekomposisi bahan yang dianalisis,
resolusi yang baik, dapat digunakan bermacam-macam detektor (menurut
kebutuhan), kolom dapat digunakan kembali, serta dapat dilakukan sample
recovery. HPLC merupakan metode yang tidak destruktif dan dapat digunakan
baik untuk analisis kualitatif maupun kuantitatif (Snyder and Kirkland, 1979).

Oktadesil silika (ODS atau C18) merupakan fase diam yang paling banyak
digunakan karena mampu memisahkan senyawa-senyawa dengan
21
kepolaran rendah, sedang, maupun tinggi. Fase gerak yang paling sering
digunakan untuk pemisahan dengan fase terbalik adalah campuran larutan
buffer dengan metanol atau campuran air dengan asetonitril. (Rohman, 2007).

b. Analisis kuantitatif
Senyawa yang dianalisis merupakan marker isolat dari praktikum sebelumnya.
Terdapat 2 metode analisis kuantitatif menggunakan HPLC, diantaranya:

1. Metoda Persentase Tinggi / Lebar Puncak


Metoda ini disebut juga Metoda Normalisasi Internal. Untuk analisis
kuantitatif diasumsikan bahwa lebar atau tinggi Puncak (Peak) sebanding
(proportional) dengan kadar / konsentrasi zat yang menghasil puncak.
Dalam metoda yang paling sederhana diukur lebar atau tinggi puncak, yang
kemudian dinormalisasi (ini berarti bahwa setiap lebar atau tinggi puncak
diekspresikan sebagai suatu persentase dari total). Hasil normalisasi dari
lebar atau tinggi puncak memberikan komposisi dari campuran yang
dianalisis.

2. Metoda Baku Luar (External Standard Method)


Pada metoda ini dibuat suatu Baku/Standard yang mengandung senyawa
yang akan ditetapkan kadarnya dengan membandingkan kromatogram
baku dengan kromatogram sampel.
Dari kromatogram baku dapat dihitung suatu respons faktor untuk setiap
puncak yang diinginkan. Respons faktor memberi intormasi tentang
konsentrasi komponen yang dihasilkan oleh satuan respons detektor (unit
detector respons)
𝑘𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑘𝑜𝑚𝑝𝑜𝑛𝑒𝑛
𝑅𝑒𝑠𝑝𝑜𝑛𝑠 𝑓𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 =
𝑙𝑒𝑏𝑎𝑟 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝑝𝑢𝑛𝑐𝑎𝑘
Kemudian untuk kromatogram sampel kita dapat menghitung konsentrasi dari
setiap komponen yang diinginkan dengan cara mengalikan (multiplikasi)
tinggi atau lebar puncak dengan respons faktor.
3. Metoda Baku Dalam (Internal Standard Method)
Metode ini dilakukan dengan menambahkan ke dalam sampel sejumlah
tertentu (diketahui) zat standar (baku dalam). Kromatogram yang
diperoleh dibandingkan dengan kromatogram sampel atau campuran
senyawa dalam sampel. Dari kromatogram standar dapat dihitung respons
faktor relatif sebagai berikut :
𝐶/𝐴
𝑟= 𝐶𝑠/𝐴𝑠
r = respons faktor relatif
C = Konsentrasi Komponen Sampel
A = Lebar atau Tinggi Puncak Komponen Sampel
Cs = Konsentrasi Baku Dalam
As = Lebar atau Tinggi Baku Dalam

Di dalam campuran sampel digunakan rumus berikut :


𝐶′𝑠
𝐶𝑢 = 𝐴𝑢 . 𝑟.
22
𝐴′𝑠
Cu = Konsentrasi komponen sampel Au
= Lebar atau Tinggi Puncak
C’s = Konsentrasi Baku Dalam
A’s = Lebar atau Tinggi Puncak Baku Dalam
(Putra, 2004).

23
II. DAFTAR PUSTAKA

Backer, C.A. and Bakhuizen van den Brink, Jr., R.C., 1965, Flora of Java,
Volume II, N.V.P Noordhoff – Groningen, the Netherlands.
Carbonaro, M., et.al. 2005. Absorption of Quercetin and Rutin in Rat Small
Intestine. Annals Nutrition and Metabolism.
Claus, Edward P. 1965. Pharmacognosy. The University of Michigan.
Michigan.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi
IV, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
Harborne JB. 1987. Metode Fitok imia. Padmawinata K. dan Soediro I,
penerjemah. Bandung: Penerbit ITB. Terjemahan dari: Phytochemical
Methods .
Harris, et.al. 1982. AN INTRODUCTION TO CHEMICAL ANALYSIS,
Savders College Publishing Philadelpia : Holt-Savders Japan.

Heftmann, E. 1983. STEROIDS DALAM KROMATOGRAFI, Fundamentals


and Aplication, Amsterdam.

Hostettmenn, K, dkk. 1986. CARA KROMATOGRAFI PREPARATIF. ITB:


Bandung
Ikan, Raphael. 1991. Natural Produk : A Laboratory Guide. Academic Press.
United Kingdom.

Gritter, R. J., Bobbitt, J. M., Schwarting, A.E., 1991, Pengantar Kromatografi,


Edisi Kedua, Penerbit ITB, Bandung.
Markham KR. 1988. Techniques of Flavonoid Identification. London:
Academic Pr.
Mulja M., Suharman. 1995. Analis Instrumental. Surabaya: Airlangga
University Press.
Neldawati et. al, 2013. Analisis Nilai Absorbansi dalam Penentuan Kadar
Flavonoid untuk Berbagai Jenis Daun Tanaman Obat. Padang:
Universitas Negeri Padang.
Putra, D.L. Effendy. 2004. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi dalam
Bidang
Farmasi. USU Digital Library. Diakses pada 3 Maret 2019 Pukul
22.24 WIB.
Rohman, Abdul. 2007. Kimia Farmasi Analisis. PustakaPelajar. Yogyakarta.

24
Rohman, Abdul. (2009). Kromatografi Untuk Analisis Obat. Ed I, Graha
Ilmu, Yogyakarta.
Sarker,SD., Latif,Z and Gray .Al.2006. Natural Product Isolation. Humana
Press inc . Totowa New jersey.
Schill, Goran. 1978. SEPARATION METHODS, Swedish Phasma Centrical
Press, Stockholm.
Snyder,L.R.,and Kirkland,J.J. 1979. Introduction to Modern Liquid
Chromatography. 2nded.New York: J Wiley and Sons.
Stahl, E., 1985, Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi, Penerbit
ITB : Bandung.
Wagner, Hildebert, Sabine Bladt, dan V. Rickl. 1996. Plant Drug Analysis : A Thin
Layer Chromtography Atlas. Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
New York.

25

Anda mungkin juga menyukai