Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pemerintahan pada masa sekarang memiliki fungsi diantaranya


memberikan pelayanan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan
memberikan pelayanan publik yang baik dan optimal (Rieseneder, 2008).
Optimasi proses dan pelayanan (service and process optimization) merupakan
salah satu komponen untuk mewujudkan pemerintah yang baik (good
government) (Michigan Lean Consortium, 2013). Pelayanan publik yang optimal
menjadi salah satu faktor yang menentukan kepuasan pelayanan bagi
masyarakat. Seringkali pelayanan yang optimal kepada masyarakat tidak dapat
dipenuhi dikarenakan beberapa hal, salah satunya ialah kondisi dan lokasi pusat
pemerintahan yang tidak kondusif akibat adanya tekanan perkotaan terhadap
lokasi asal dan letak kantor-kantor pemerintahan yang tidak berada pada satu
kawasan yang terpadu akibat minimnya lahan di lokasi awal. Untuk mengatasi
hal tersebut munculah sebuah kebijakan pemindahan pusat pemerintahan ke
wilayah lain yang dirasakan lebih kondusif.
Pemindahan pusat pemerintahan dalam konteks ini bukan diartikan
sebagai pemindahan Ibukota, namun diartikan sebagai pemindahan salah satu
fungsi ibukota yang sangat kompleks, yang salah satunya ialah fungsi
pemerintahan. Pusat pemerintahan sendiri diartikan sebagai fungsi wilayah yang
didalamnya mencakup perkantoran pemerintahan dan berbagai fasilitas
penunjang lainnya untuk menjalankan kegiatan kepemerintahan (PSPPR,2002).
Dalam pemindahan pusat pemerintahan, tidak hanya memindahkan pusat
perkantoran, namun juga memindahkan serangkaian fasilitas dan utilitas
penunjang kegiatan pemerintah, memindahkan sistem, dan memindahkan
aktivitas, serta mobilitas pemerintahan. Meskipun pada awalnya pemindahan ini
sering ditandai dengan pemindahan pusat perkantoran pemerintahan.

1
Kebijakan pemindahan pusat pemerintahan dari satu wilayah ke
wilayah yang lain menjadi sebuah keputusan yang besar, karena membutuhkan
kesiapan institusi, masyarakat, dan dana yang cukup banyak. Memindahkan
fungsi pemerintahan ke lokasi yang baru merupakan sebuah upaya pemerintah
untuk membantu mengurangi tekanan di kota utama akibat berbagai
permasalahan perkotaan dan memberikan ruang lebih seiring dengan
meningkatnya kebutuhan akan lahan perkantoran (Siong, 2006). Dengan adanya
pusat pemerintahan yang baru akan memungkinkan pemerintah membangun
pusat perkotaan yang terencana dengan baik yang dilengkapi dengan berbagai
fasilitas dan teknologi penunjang untuk meningkatkan efisiensi dan produktifitas
pemerintah (Siong, 2006).
Pemindahan pusat pemerintahan saat ini menjadi salah satu fenomena
baru dalam perencanaan perkotaan dunia, meskipun di berbagai negara tema ini
bukan lagi menjadi fenomena yang baru. Tahun 2005 pemerintah Myanmar
mengumumkan keputusan untuk memindahkan pusat pemerintahan dari Kota
Yangon ke Naypyitaw, sebuah kota yang berjarak 240 mil utara Kota Yangon
(Myoe, 2006). Alasan pemindahan ini dikarenakan beberapa faktor, yakni faktor
strategi militer, informasi keamanan negara, Naypyitaw merupakan daerah yang
lebih mudah dikontrol, faktor dekolonisasi, upaya untuk mengisolasikan pusat
pemerintahan dari jumlah penduduk yang besar, dan untuk mengikuti
kepercayaan trandisional Myanmar (Myoe, 2006).
Malaysia juga menjadi salah satu negara di Asia Tenggara yang
memindahkan pusat pemerintahannya dari Kuala Lumpur ke wilayah yang
dikenal dengan nama Putrajaya yang terletak 25 km dari Kuala Lumpur.
Kebijakan ini diambil untuk mengurangi tekanan perkotaan di Kuala Lumpur
dan seiring dengan kebutuhan ruang perkantoran pemerintahan yang meningkat
(Siong, 2006). Kebijakan untuk memindahkan pusat pemerintahan dari Kuala
Lumpur menuju Putrajaya telah dimulai sejak 1993 dan mulai dibangun pada
tahun 1996, serta pada tahun 2012 sebagian besar kantor-kantor pemerintahan
Malaysia telah menempati Putrajaya (Putrajaya Corporation, 2012). Kebijakan
ini juga diikuti oleh pemerintah Korea Selatan yang pada tahun 2005

2
mengumumkan kebijakan untuk memindahkan kantor-kantor pemerintahan dari
Seoul menuju Yeongi Gongju, sebagai upaya untuk menyeimbangkan
desentralisasi dan pembangunan nasional, dan pada tahun 2012 sebanyak 20
kantor pemerintah dan 16 pusat riset Korea Selatan telah resmi berada di Sejong
(United Nation of Experts on Geographical Names, 2014).
Kemunculan kebijakan pemindahan pusat pemerintahan di Indonesia tak
lepas dari Undang-undang No 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah yang
pertama kali mengemukakan adanya kebijakan desentralisasi, dimana
pemerintah daerah mendapatkan wewenang dalam mengatur urusan
kepemerintahannya. Undang-undang tersebut kemudian diamandemen menjadi
Undang-undang No 32 Tahun 2004 dan Undang-undang 23 Tahun 2014 tentang
pemerintah daerah, yang menyatakan bahwa dalam menyelenggarakan
pemerintahannya, pemerintah daerah berkewajiban dalam memberikan
palayanan yang optimal. Optimalisasi pelayanan pemerintah inilah yang menjadi
dasar banyak pemerintah daerah di Indonesia membuat kebijakan untuk
memisahkan fungsi pemerintahan dari kompleksitas fungsi ibukota, dengan
harapan agar pelayanan dan sistem pemerintahan dapat berjalan lebih optimal.
Alternatif pemindahan pusat pemerintahan tidak hanya dapat
menciptakan optimalisasi pelayanan dan kinerja pemerintah, namun kebijakan
ini dapat menjadi strategi dan awal kemunculan kota baru (new town) di daerah
tujuan. Permasalahan perkotaan seperti ukuran kota yang tidak seimbang dengan
pertumbuhan populasinya, ketidakmampuan pemerintah untuk mengatur
populasi dan perkembangan kota yang menyebabkan kemacetan, polusi,
kriminalitas, serta banyaknya migrasi dari kota menuju pinggiran kota nyatanya
memicu untuk membuat alternatif pengembangan kota baru (Golany, 1976).
Salah satu yang dapat memicu perkembangan kota baru ialah dengan membuat
pusat-pusat pertumbuhan baru, salah satunya dengan melakukan pemindahan
pusat pemerintahan.
Pemindahan pusat pemerintahan juga terjadi di Provinsi Kalimantan
Selatan. Ibukota provinsi secara yuridis tetap berada di Kota Banjarmasin,
namun salah satu fungsinya, fungsi pemerintahan berpindah ke Kota Banjarbaru,

3
yakni sebuah Kota yang berjarak 35 Km2 dari Kota Banjarmasin. Hal ini
dikarenakan meningkatnya kebutuhan ruang perkantoran yang tidak diiringi oleh
lahan perkantoran yang cukup di Kota Banjarmasin, upaya mewujudkan kantor
pemerintahan yang berada pada satu kawasan yang terpadu, upaya untuk
menyediakan berbagai fasilitas kepemerintahan yang belum dapat disediakan
pada kota awal, serta upaya untuk peningkatan pelayanan pemerintah. Hasil
analisis yang dilakukan oleh Balitbangda Provinsi Kalimantan Selatan dan
Unlam (2006) menyatakan bahwa indeks kepuasan masyarakat terhadap
pelayanan di kantor Gubernur Provinsi Kalimantan Selatan sebesar 66,563.
Angka tersebut termasuk pada kategori baik, namun dilihat dari intervalnya,
hampir mendekati posisi kurang baik, sehingga perlu dilakukan berbagai
alternatif untuk meningkatkan mutu pelayanan Pemerintahan Provinsi
Kalimantan Selatan. Pemindahan pusat pemerintahan ini telah melalui proses
yang panjang dan mempertimbangkan banyak faktor. Kebijakan ini telah
direncanakan sejak tahun 2006 dan pada tahun 2012 pemindahan fungsi
pemerintahan ini diawali dengan memindahkan kantor-kantor pemerintahan
Provinsi Kalimantan Selatan yang telah resmi dipindahkan ke Kota Banjarbaru.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa alasan yang menentukan
kebijakan pemindahan ibukota maupun pusat pemeritahan satu daerah dengan
daerah lain berbeda-beda. Ada yang dikarenakan oleh faktor meningkatnya
kebutuhan lahan kantor pemerintahan, ada yang disebabkan oleh faktor untuk
menyeimbangkan pembangunan nasional, dan ada pula yang dikarenakan faktor
politik, keamanan dan stabilitas nasional. Faktor pemilihan lokasi nya pun
beragam, ada yang mempertimbangkan aksesibilitas, letak geografis, kondisi
fisik, maupun sosial dan ekonomi. Proses implementasi kebijakan pemindahan
pusat pemerintahan yang terjadi pun beragam, ada yang melalui intervensi
politik dan konflik internal, namun ada pula yang dapat dilakukan dengan
baikmelalui pertisipasi publik dan tinjauan lainnya. Untuk itulah penelitian ini
perlu untuk dilakukan agar diketahui bagaimana proses kebijakan ini diambil
dan diimplementasikan serta faktor-faktor yang menjadi alasan pemindahan
pusat pemeritahan di Provinsi Kalimantan Selatan di Kota Banjarbaru.

4
1.2 Rumusan Masalah

Fenomena kebijakan pemindahan pusat pemerintahan di berbagai negara


di dunia telah terjadi sejak lama. Pemindahan ibukota maupun pusat
pemerintahan di berbagai daerah melalui proses yang panjang dan seringkali
dalam proses pemindahan tersebut terjadi ketidak sepemahaman yang dapat
menjadi kendala implementasi kebijakan. Salah hal yang penting dalam
pemindahan pusat pemerintahan ialah alasan pemilihan lokasi yang ditentukan
oleh berbagai faktor. Faktor yang menjadi alasan pemindahan itupun beragam
dan berbeda satu sama lain, mulai alasan untuk mengurangi beban kota utama,
untuk memenuhi peningkatan kebutuhan ruang perkantoran, untuk
menyeimbangkan pembangunan nasional, dan lain lain. Alasan pemilihan lokasi
yang akan direncanakan pun memiliki alasan tertentu, mulai dari faktor fisik,
lokasi geografis, aksesibilitas, fasilitas, historis dan politik. Pemindahan ini ada
yang berjalan sukses, namun ada juga yang masih terkendala. Setiap fenomena
pemindahan di sebuh tempat memiliki karakteristik yang berbeda, untuk itulah
muncul beberapa rumusan permasalahan dalam penelitian ini, yakni :

1. Mengapa pusat pemerintahan Provinsi Kalimantan Selatan dipindah ke


Kota Banjarbaru ?
2. Bagaimana proses implementasi pemindahan pusat pemerintahan Provinsi
Kalimantan Selatan ke Kota Banjarbaru ?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Menganalisis faktor-faktor yang menjadi alasan pemindahan pusat


pemerintahan Provinsi Kalimantan Selatan di Kota Banjarbaru.
2. Menganalisis proses implementasi pemindahan pusat pemerintahan
Provinsi Kalimantan Selatan dari Kota Banjarmasin ke Kota Banjarbaru.

5
1.4 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini merupakan syarat akademik untuk menyelesaikan program


strata-2 di program sudi S2 Geografi, Fakultas Geografi Universitas Gadjah
Mada, yang diharapkan akan memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan di bidang kebijakan publik dari sudut pandang ilmu geografi,
khususnya dalam pembangunan wilayah. Karena pengkajian kebijakan-
kebijakan publik selama ini masih didominasi oleh pengkajian ilmu sosial dan
ekonomi, sehingga kemunculan sudut pandang ilmu lain perlu dilakukan sebagai
bentuk variasi penilaian dari sebuah kebijakan publik. Selain itu, penelitian ini
juga diharapkan menjadi referensi bagi penelitian-penelitian sejenis di masa
yang akan datang, maupun daerah-daerah lain yang berencana akan
memindahkan ibukota maupun pusat pemerintahannya sebagai sebuah upaya
yang dilakukan untuk mengembangkan daerah.

1.5 Keaslian Penelitian

Penelitian- penelitian yang berkaitan dengan pemindahan pusat pemerintahan,


pemindahan ibukota, dan pengembangan kota baru (new town) telah banyak
dilakukan, baik di Indonesia maupun di berbagai negara di dunia, seperti yang
dapat dilihat pada Tabel 1.1. Penelitian mengenai tema ini di beberapa negara
telah sejak lama dilakukan. Beberapa penelitian yang merujuk pada Tabel 1.1
menunjukan adanya perbedaan antara penelitian satu dengan penelitian lainnya,
baik dari segi spasial dan temporal atau dari metode dan teknik analisis data yang
disesuaikan dengan tujuan.

Evaluasi lokasi dan faktor-faktor yang menentukan menjadi salah satu tujuan
penelitian yang banyak dilakukan.Hal ini menunjukan bahwa saat ini banyak
ditemukan fenomena yang merujuk pada pengembangan kota baru, pemindahan
pusat pemerintahan maupun ibukota sebagai salah satu kebijakan perkotaan.
Fenomena ini menarik untuk dikaji lebih lanjut karena setiap daerah memiliki ciri
dan karakteristik perkotaan yang berbeda, sehingga akan menghasilkan fenomena
yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya.

6
Tabel 1.1 Perbandingan Keaslian Penelitian dengan Penelitian Sebelumnya
Jenis
Nama Penelitian
Judul Tujuan Metode Analisis Hasil
Peneliti dan
Tahun
Ho Chin Jurnal Putrajaya- 1. Menjelaskan perencanaan, Studi Analisis Faktor-faktor yang menentukan
Siong (2006) Administrative konsep, dan implementasi Literatur deskriptif putrajaya dipilih sebagai pusat
center of Malaysia: putrajaya. pemerintahan yang baru ialah harga
Planning, Concept, 2. Menjelaskan faktor yang lahan, biaya pembangunan
and Implementation mempengaruhi putrajaya dipilih infrastruktur, Lokasi strategis,
sebagai lokasi pusat transportasi dan aksesibilitas, bentuk
pemerintahan yang baru. lahan,vegetasi, lokasi yang potensial,
dan minimalisasi terhadap konflik
komunitas lokal.
Maung Aung Jurnal The Road to 1. Menjelaskan faktor yang Studi Analisis Faktor-faktor yang penyebab
Myoe (2006) Naypyitaw: Making menjadi penentu keputusan Literatur deskriptif Naypyitaw menjadi pusat pemerintahan
Sense of The pemerintan Myanmar untuk ialah Informasi keamanan negara, faktor
Myanmar memindahkan Pusat strategi militer, lebih mudah diawasi,
Governments pemerintahan. faktor dekolonisasi, faktor isolasi pusat
Decision to Move pemerintahan, dan faktor kepercayaan
Its tradisional.
CapitalGovernment
Anne Jurnal 1. Menjelaskan alasan pemidahan Studi Analisis Karachi memliki permasalahan yang
Prentice (1966) Islamabad : A New ibukota Pakistan Literatur Deskriptif kompleks, dan Islamabad dipilih
Capital City 2. Menjelaskan perencaan sebagai ibukota baru Pakistan
Islamabad sebagai ibukota baru dikarenakan faktor fisik dan lokasi yang
Pakistan strategis.
Deborah Jurnal Capital Relocation 1. Menjelaskan isu strategis dalam Metode Analisis Zomba memiliki berbagai permasalahan
Potts (1985) in Africa: The Case pemindahan ibukota Malawi kualitatif deskriptif yang sangat kompleks, sehingga ibukota
of Lilongwe in dari Zomba ke Lilongwe kualitatif Malawi harus dipindahkan. Namun,
Malawi 2. Menjelaskankeadaan Lilongwe pemindahan ini justru menimbulkan

7
sebagai ibukota baru Malawi banyak permasalahan di Lilongwe.
Venni Tesis Penetapan Pulau 1. Mengetahui kelayakan Pulau Metode Deskriptif Faktor utama penetapan Pulau Dompak
Meitaria (2008) Dompak sebagai Dompak dan faktor-faktor yang kualitatif kualitatif sebagai pusat perkantoran ialah faktor
Detiawati lokasi pusat menjadi alasan pemilihan Pulau geografis, pemanfaatan lahan, dan
perkantoran Dompak sebagai lokasi pusat ketersediaan lahan kosong. Lokasi
pemerintah Provinsi perkantoran di Provinsi perkantoraan saat ini sangat strategis
Kepulauan Riau Kepulauan Riau dan mudah dijangkau. Stakeholder
2. Mengetahui kelayakan menilai hal ini akan membuka
perbandingan lokasi yang keterisolasian kawasan.
dipilih berdasarkan studi
kelayakan dengan lokasi yang
telah ditetapkan di Pulau
Dompak
3. Mengetahui persepsi
stakeholder terhadap Pulau
Dompak sebagai lokasi pusat
perkantoran pemerintahan
Provinsi Kepulauan Riau
Moh. Fitra Tesis Evaluasi lokasi pusat 1. Mengevaluasi apakah situasi Metode Deskriptif Faktor-faktor yang mempengaruhi Kota
U.Ali (2010) pemerintahan dan kondisi Kota Weda sudah deduktif deduktif Weda sebagai pusat pemerintahan ialah
Kabupaten memenuhi syarat dipilih sebagai kualitatif kualitatif faktor geografis, pemanfaatan lahan,
Halmahera Tengah lokasi pusat pemerintahan ketersediaan sumber air, dan
Kabupaten Halmahera Tengah. aksesibilitas. Namun Kota Weda rentan
terhadap bencana banjir dan ekonomi
masyarakat yang masih didominasi
sektor pertanian.
A. Malik Tesis Evaluasi Penetapan 1. Mengkaji kebijakan penetapan Kualitatif Analisis Berdasarkan hasil komparasi
Ibrahim (2001) Lokasi Ibukota Sofifi sebagai ibukota untuk rasionalistik deskriptif merekomendasikan Sofifi sebagai
Provinsi Maluku memperoleh pertimbangan kualitatif ibukota Provinsi Maluku Utara, namun
Utara akademis bagi penetapan diperlukan strategi pemantapan untuk
ibukota provinsi. fungsi pusat pemerintahan.
2. Mengkaji tingkat kesesuaian

8
lokasi terpilih dalam rangka
mencari alternatif lokasi lain
untuk memenuhi kriteria sebuah
lokasi untuk pengembangan
kota berkelanjutan
Muslihin Tesis Pemindahan Ibukota 1. Mengetahui faktor-faktor yang Kualitatif Analisis Faktor yang mempengaruhi
(2008) Definitif Provinsi menjadi keterlambatan eksploratif deskriptif keterlambatan pemindahan karena
Maluku Utara : Studi pemindahan ibukota Maluku eksploratif dalam pengambilan keputusan tidak
tentang masalah- Utara melibatkan masyarakat dan beberapa
masalah yang faktor lain seperti ekonomi, sosio
muncul dalam proses kultural dan historis, serta faktor politik.
pemindahan ibukota
dari Ternate ke
Sofifi.
Arry Ronny Tesis Evaluasi Penetapan 1. Melakukan evaluasi penetapan Kualitatif Analisis Ada kesamaan kriteria secara teoritik
Danny Deda (2002) Lokasi Ibukota lokasi ibukota Kabupaten rasionalistik deskriptif dan normatif dalam penetapan lokasi
Kabupaten Jayapura Jayapura dan menemukenali kualitatif ibukota Kabupaten Jayapura, namun
di wilayah Sentani konsep dan norma perencanaan ada perbedaan kriteria teoritik dalam
yang dipakai sehingga penetapan lokasi yang ada dengan
Kecamatan Sentani ditetapkan konsep pemerintah, serta ada perbedaan
sebagai ibukota Kabupaten normatif dalam penetapan lokasi
Jayapura ibukota Kabupaten Jayapura dengan
pemerintah daerah.
Syafruddin Tesis Evaluasi Konsep 1. Mengetahui apakah pemilihan Kualitatif Analisis Secara konsep, tidak ada perbedaan
(2001) Rencana Lokasi lokasi ibukota Kabupaten Buton deskriptif yang kontradiktif antara konsep yang
Ibukota Kabupaten: pada kawasan La Ompo dan kualitatif diterapkan oleh pemerintah dengan
Rencana sekitarnya di Kecamatan konsep perencanaan ibukota kabupaten,
Pemindahan Ibukota Batauga sudah sesuai dengan namun ada beberapa kekurangan pada
Kabupaten Button. teori, konsep, dan norma-norma lokasi ini yang perlu diperhatikan
perencanaan ibukota kabupaten. pemerintah.

9
Yuke Nori Tesis Pemindahan Pusat 1. Menganalisis faktor-faktoryang
Aurumbita (2014) Pemerintahan menjadi alasan pemindahan
Provinsi Kalimantan pusat pemerintahan Kalimantan
Selatan di Kota Selatan di Kota Banjarbaru.
Banjarbaru 2. Menganalisis proses
implementasi pemindahan pusat
pemerintahan Provinsi
Kalimantan Selatan ke Kota
Banjarbaru

10
Pada Tabel 1.1 berbagai penelitian sebelumnya yang telah dilakukan baik
didalam maupun luar negeri yang menunjukan berbagai temuan yang berbeda. Ho
Chin Siong pada jurnalnya tahun 2006 meneliti mengenai perencanaan, konsep,
dan implementasi lokasi Putra Jaya sebagai pusat pemerintahan baru Malaysia,
serta faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan lokasi tersebut. Berdasarkan
penelitiannya, diketahui bahwa keputusan untuk merelokasi pusat pemerintahan
Malaysia telah diambil sejak tahun 1993, dan pembangunan dimulai pada tahun
1996, sedangkan pada tahun 2012 pusat pemerintahan Malaysia resmi
dipindahkan ke Putrajaya. Kebijakan ini diambil untuk mengurangi kemacetan di
Kuala Lumpur sebagai pusat pemerintahan Malaysia yang semakin hari semakin
bertambah.

Putrajaya dirancang dengan konsep garden city dan intelligent city dengan
dilengkapi infrastruktur modern dan smart yang memudahkan bagi para
penghuninya. Hal ini juga dimaksudkan untuk mengoptimalkan kinerja
pemerintahan. Putrajaya terletak 25 km dari Kuala lumpur. Faktor-faktor
Putrajaya dipilih sebagai pusat pemerintahan yang baru ialah karena harga lahan
yang masih minim dan kalkulasi biaya pembangunan infrastruktur yang tidak
besar, lokasi Putrajaya sangat strategis karena berada pada wilayah pertumbuhan,
Putrajaya sudah memiliki transportasi dan aksesibilitas yang baik, bentuk lahan
dan jenis vegetasi yang memungkinkan dalam pembangunan, Putrajaya
merupakan lokasi potensial untuk pengembangan wilayah sekitar, serta lokasi
yang paling memiliki dampak konflik komunitas lokal yang paling minim.

Tak berbeda jauh dengan Ho Chin Siong, Maung Aung Myoe


memaparkan hasil penelitiannya pada jurnal tahun 2006 mengenai faktor-faktor
yang menjadi penentu pemerintah Myanmar memindahkan pusat pemerintahan
dari Yangon menuju Naypyitaw yang berjarak 240 mill utara Yangon. Keputusan
pemindahan pusat pemerintahan ini telah diumumkan sejak tahun 2005. Alasan
pemindahan ini dikarenakan 6 faktor, yakni faktor untuk melindungi informasi
kemanan negara Myanmar, faktor strategi militer yang lebih menguntungkan
apabila pusat pemerintahan berada di Naypyitaw, lokasi Naypyitaw yang lebih

11
mudah diawasi, faktor dekoloniasi, untuk mengisolasi pusat pemerintahan dari
lokasi yang memiliki populasi yang banyak sehingga kinerja pemerintah dapat
optimal dan mengurangi konflik sosial, serta untuk mengikuti kepercayaan
trandisional Myanmar bahwa lokasi yang tenang dan lebih tinggi akan membuat
kondisi pemerintahan lebih baik.

Pemindahan ibukota juga terjadi di Pakistan sejak lama. Anne Prentice


dalam jurnalnya pada tahun 1966 mengungkapkan bahwa ibukota Pakistan semula
berada di Karachi. Namun, Karachi memiliki berbagai permasalahan yang
kompleks, seperti minimnya fasilitas dan bangunan yang memadai, pertumbuhan
penduduk yang tinggi akibat banyaknya pengungsi dari India, kepadatan
penduduk, serta permasalahan sulitnya komunikasi yang terjalin. Hal ini lah yang
membuat ibukota Pakistan kemudian dipindahkan ke lokasi lain. Islamabad dipilih
sebagai lokasi ibukota yang baru dikarenakan kondisi fisiknya yang terletak di
dataran tinggi, dan berada pada lokasi strategis yang terletak dengan beberapa
kota penting di Pakistan. Dalam perencanaan nya, Islamabad dirancang sebagai
kota yang modern dan terintegrasi dengan pusat-pusat kota di Pakistan.

Pemindahan ibukota juga terjadi di Malawi. Deborah Potts dalam


jurnalnya pada tahun 1985 mengungkapkan bahwa pemerintah Malawi
memindahkan ibukota Malawi dari Zomba menuju Linglowe pada tahun 1965.
Pemindahan ini disebabkan karena berbagai permasalahan yang ada di Zomba,
seperti kemacetan, permukiman yang tidak layak, dan banyaknya bangunan yang
hancur pada masa kolonial. Alasan pemindahan ke lokasi yang lebih kondusif ini
terkait pula dengan beberapa elemen yang ingin dicapai pemerintahan Malawi
baik dari sisi regional maupun politik. Namun, pemindahan ibukota di Lilongwe
justru menimbulkan berbagai permasalahan di kota Lilongwe, seperti
permasalahan keuangan, pertumbuhan penduduk, pelayanan dan penyediaan
permukiman, dan pengangguran. Banyaknya permasalahan di lokasi ibukota yang
baru dikarenakan lemahnya komitmen pemerintah dalam membangun kebijakan
yang dapat mendukung Lilongwe sebagai ibukota pemerintahan yang baru.

12
Beberapa kasus mengenai pemindahan ibukota maupun pusat
pemerintahan juga terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Venni Meitaria
Detiawati dalam penelitian tesis tahun 2008 mengemukakan faktor-faktor yang
menjadikan pulau Dompak sebagai pusat perkantoran pemerintahan baru di
Provinsi Kepulauan Riau, serta persepsi stakeholder terhadap pemindahan
tersebut. Faktor-faktor yang menentukan Pulau Dompak dipilih ialah karena letak
geografis yang tidak berhimpitan dengan kota yang telah tumbuh dan
berkembang, pemanfaatan lahan, dan ketersediaan lahan kosong yang masih luas,
sehingga mempermudah proses pembangunan. Para stakeholder menilai bahwa
lokasi pusat perkantoran yang baru sangat strategis dan mudah dijangkau dari
kabupaten/kota sekitar. Selain itu stakeholder juga menilai bahwa pusat
perkantoran ini akan membuka keterisolasian dan menjadi stimulus
perkembangan kawasan dan pemerataan pembangunan.

Moh.Fitra U. Ali pada penelitian tesis pada tahun 2010 melakukan studi
mengenai evalusai lokasi pusat pemerintahan Kabupaten Halmahera Tengah di
Kota Weda. Berdasarkan penelitiannya diketahui bahwa faktor-faktor yang
menentukan Kota Weda dipilih sebagai pusat pemerintahan Kabupaten Halmahera
Tengah ialah karena latak geografis yang tidak berhimpit dengan kota lain yang
telah berkembang, pemanfaatan lahan, ketersediaan sumber air, dan aksesibilitas
jaringan jalan yang baik. Namun, indikator yang membuat Kota Weda masih
belum layak untuk dijadikan pusat pemerintahan ialah kerentanan terhadap
bencana banjir dan perekonomian masyarakat yang masih didominasi oleh sektor
pertanian.

Penelitian mengenai evaluasi lokasi juga dilakukan A.Malik Ibrahim pada


penelitian tesis tahun 2001 yang melakukan evaluasi terhadap lokasi ibukota
Provinsi Kabupaten Maluku Utara, yakni Sofifi. Dalam penelitiannya, Malik
membandingkan tiga wilayah untuk mengentahui kelayakannya, yakni Kabupaten
Sofifi, KotaTernate, dan Kabupaten Sidangdoli. Berdasarkan komparasi ketiga
wilayah itu, maka Malik merekomendasikan Kabupaten Sofifi sebagai ibukota
Kabupaten Maluku Utara, seperti yang dilakukan oleh pemerintah. Hal ini

13
dikarenakan Kabupaten Sofifi memiliki lahan kosong yang masih luas, kabupaten
ini terhindar dari jalur bencana gempa bumi,terletak pada lokasi yang strategis
karena berada pada posisi yang sentral secara regional. Namun diperlukan strategi
pemantapan fungsi dan peran kota sebagai pusat pemerintahan yang baru.

Pada penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Muslihin pada tahun 2008
diketahui bahwa implementasi pemindahan ibukota Provinsi Maluku Utara
mengalami keterlambatan. Hal ini dikarenakan beberapa faktor, yakno sosio-
kultural dan historis yakni tidak dilibatkannya kelompok masyarakat yang
bepengaruh dan perebuatan daerah kekuasaan dua kesultanan, serta fenomena
konflik sosial yang terjadi di Maluku Utara. Faktor ekonomi yang meliputi
minimnya pembangunan fasilitas yang menunjang pemindahan, serta faktor
politik yang meliputi konflik-konflik politik akibat ketidak setujuan sebagian
perangkat pemerintahan terhadap pemindahan ibukota.

Arry Ronny Dnny Deda pada tahun 2001 juga melakukan evaluasi
penetapan lokasi ibukota Kabupaten Jayapura di wilayah Sentani untuk melihat
konsep dan norma yang digunakan dalam penetapan lokasi tersebut. Berdasarkan
hasil penelitian didapatkan bahwa ada hubungan yang signifikan antar teori dan
norma yang digunakan dalam menentukan kriteria lokasi ibukota kabupaten,
yakni kriteria ketersediaan lahan yang mencukupi dan aksesibilitas intra maupun
inter regional. Namun, ada perbedaan yang kontradiktif antara kriteria penetapan
lokasi ibukota yang ada dalam penelitian dengan yang dilakukan oleh pemerintah,
yakni berkaitan dengan kesesuain kondisi fisik dan ketersediaan lahan datar pada
lokasi terpilih, serta adanya perbedaan kontradiktif antara norma dan konsep
pemerintah kabupaten dalam penetapan lokasi ibukota, yakni berkaitan dengan
aspek fisik, lokasi strategis, keadaan ekonomi, dan aspek pembiayaan.

Evaluasi lokasi juga dilakukan oleh Syafruddin pada tahun 2001, yang
melakukan evaluasi lokasi terhadap rencana pemindahan ibukota Kabupaten
Buton. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui lokasi ibukota Kabupaten Buton
sudah sesuai dengan teori, konsep, dan norma-norma perencaan ibukota yang

14
tertera dalam penelitian. Hasil penelitian menunjukan bahwa kriteria yang
dikembangkan oleh pemerintah daerah dalam menentukan lokasi ibukota meliputi
luas lahan, daya dukung, jarak lokasi dengan sumber air minum, penggunaan
lahan eksisting, luas lahan kosong, laju pertumbuhan wilayah, jarak terhadap
kawasan lindung,dan aksesibilitas dari ibukota kecamatan sekitar. Kriteria-kriteria
ini secama umum tidak memiliki perbedaan yang kontradiktif dengan konsep
yang digunakan dalam penelitian, yang meliputi kondisi fisik, keberadaan sumber
air, kerentanan bencana, penggunaan lahan perkotaan, aglomerasi penduduk,
keadaan ekonomi, ketersediaan fasilitas pelayanan, dan aksesibilitas wilayah.
Namun, rencana lokasi ibukota Kabupaten buton yang berada di La Ompo
memiliki beebrapa kekurangan, yakni salah satunya minimnya fasilitas pelayanan
yang ada di lokasi tersebut, sehingga pemerintah harus mengeluarkan dana yang
cukup banyak untuk menyediakan fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan.

15
1.6 Tinjauan Pustaka

1.6.1. Definisi dan Konsep Kebijakan Perkotaan

Kebijakan merupakan sebuah konsep yang dapat mewadahi beberapa


dimensi yang berbeda (Torjman, 2005). Lebih lanjut Torjman (2005) menjelaskan
bahwa kebijakan publik perkotaan merupakan sebuah keputusan yang diambil
secara sengaja sebagai pedoman bagi kehidupan masyarakat perkotaan. Sebagai
sebuah hal yang dapat mewadahi berbagai dimensi, kebijakan diharapkan dapat
dapat diterima oleh seluruh penduduk perkotaan. Winarno (2002) mencoba
menjelaskan berbagai definisi kebijakan publik dari beberapa ilmuan, yakni
diantaranya ialah Dye (1975) yang mengatakan bahwa kebijakan publik adalah
semua semua yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan,
Friederich yang mengatakan kebijakan sebagai suatu tindakan yang diusulkan
oleh seseorang, kelompok, ataupun pemerintah yang dapat digunakan untuk
mencapai tujuan dan sasaran tertentu. Selain itu, Winarno (2002) juga
menjelaskan bahwa definisi kebijakan juga muncul dari Anderson yang
mendefinisikan kebijakan sebagai sebuah tindakan yang mempunyai maksud
tertentu yang ditentukan oleh seorang atau sejumlah aktor untuk mengatasi suatu
masalah tertentu.
Nagel (1984) mencoba mendefinisikan kebijakan publik sebagai
keputusan pemerintah yang didesain dari berbagai macam hal untuk melindungi
lingkungan, kriminalitas, pengangguran, dan mengatasi berbagai permasalahan
sosial lainnya. Santoso (1993 dalam Winarno 2002) menjelaskan bahwa terdapat
dikotomi pemahaman terhadap kebijakan, pernyataan yang pertama menyebutkan
bahwa kebijakan publik adalah sebuah instruksi dari para pembuat keputusan
yang memuat tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut, sedangkan
pendapat lain mengatakan bahwa kebijakan publik juga mengandung serangkaian
keputusan dan tindakan. Berdasarkan berbagai definisi yang telah diungakapkan,
diketahui bahwa kebijakan dirumuskan dalam rangka penyelesaian permasalahan.

16
Secara umum, dibentuknya sebuah kebijakan perkotaan ialah untuk
membuat kota berjalan lebih efektif dan efisien, serta membuat keadaan yang
lebih baik bagi masyarakat perkotaan (Linn, 1983). Tujuan lain dibuatnya
kebijakan perkotaan ialah untuk mencegah agar kekayaan kota tidak hilang dan
meningkatkan kualitas hidup kota, serta sebagai usaha untuk merancang,
mengawasi, menata, mengatur pembangunan dan pengembangan kota
(Heryanto,2011). Kebijakan perkotaan umumnya dibuat berdasarkan diagnosis
permasalahan perkotaan yang terjadi (Linn, 1983). Pembuatan kebijakan sebagai
sebuah solusi dari permasalahan ialah mencari alternatif yang terbaik atau solusi
yang paling efektif dari berbagai pilihan yang ada (Simeon, 1976). Kebijakan
perkotaan dibuat dan diimplementasikan oleh pemimpin yang memiliki
kekuasaan, kemampuan, dan pengaruh yang besar terhadap kelompok masyarakat
(Northam, 1979). Dalam hal ini, pemimpin mempunyai peran yang sangat penting
dalam menentukan sebuah kebijakan perkotaan. Kebijakan yang dibuat akan
diimplementasikan pada satu wilayah atau satu lokasi yang memiliki
permasalahan yang sama (Northam,1979). Adanya konsep penerapan/adaptasi
tersebut, negara-negara berkembang cenderung melihat dari pengalaman negara-
negara yang lebih maju dan sukses menerapkan kebijakan perkotaan sebelumnya.
Namun tidak semua kebijakan di negara maju dapat diaplikasikan di negara
berkembang, sehingga dalam pemilihan kebijakan harus melihat latar belakang,
karakteristik, potensi, dan permasalahan wilayah.
Secara konseptual, domain dari suatu kebijakan sangatlah luas, dan
meliputi berbagai proses tahapan didalamnya, diantaranya yang dikemukakan
oleh Dunn (1998 dalam Winarno 2002) yang membagi tahapan-tahapan kebijakan
yang meliputi penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adobsi kebijakan,
implementasi kebijakan, dan evaluasi kebijakan. Lebih lanjut Winarno (2002) jug
menjelaskan bahwa dalam kebijakan publik terdapat tiga pokok yang perlu untuk
diperhatikan, yakni penjelasan kebijakan itu sendiri, sebab dan konsekuensi dari
kebijakan yang diketahui bersarakan metodologi ilmiah, serta analisis
pengembangan teori kebijakan, sehingga dapat diaplikasikan pada lingkungan
yang berbeda.

17
Salah satu kajian penting dalam melihat kebijakan perkotaan saat ini ialah
melihat unsur politik yang ada didalamnya. Geografi politik menjadi salah satu
usur politik yang kerkait terhadap pembuatan kebijakan perkotaan. Menurut
Barlow (1981) mengatakan bahwa kota menjadi ekspresi spasial dalam sistem
geografi politik, yang didalamnya sangat berasosiasi terhadap pola-pola
keruangan bentukan politik dan dengan area pemerintahan serta batas-batasnya.
Pada tahun 1960an, Issard (dalam Barlow 1981) memperluas teori lokasi
klasik dengan memasukan pembuatan keputusan yang dilakukan oleh pemerintah,
dan menjadi bagian yang penting didalamnya. Murphy (1966 dalam Barlow 1981)
juga menekankan bahwa ada elemen politik yang signifikan terhadap
pembentukan struktur ruang perkotaan setelah dirinya melakukan sikusi dan
melihat proses dalam administrasi politik. Lebih lanjut Barlow (1981)
menjelaskan bahwa pada akhir tahun 1960 an politik menjadi bagian yang penting
dalam pengambilan keputusan. Salah satunya terjadi di Kota Chicago yang
menetapkan lokasi fasilitas publik berdasarkan unsur politik.

1.6.2. Teori dan Konsep Implementasi Kebijakan

Proses kebijakan publik terdiri dari tiga tahapan penting, yakni Proses
formulasi kebijakan, proses implementasi kebijakan, dan proses evaluasi
kebijakan (Nakamura dan Smallwood,1980). Konsep implementasi sudah banyak
dikaji oleh para ilmuan di dunia. Diantaranya ialah Rein dan Rabinovitz (1978
dalam Nakamura dan Smallwood 1980) yang menyatakan bahwa implementasi
merupakan deklarasi dari berbagai pilihan pemerintah, dilakukan oleh beberapa
aktor yang berperan, membuat proses sirkular yang dicirikan oleh negosiasi dan
hubungan kekuatan kekuasaan. Pressman dan Wildavsky (1973 dalam Nakamura
dan Smallwood 1980) yang mengungkapkan bahwa implementasi digunakan
untuk menjelaskan fenomena kegagalan, dan memiliki empat kata kunci utama,
yakni untuk menjalankan kebijakan (to carry out), untuk menghasilkan output (to
produce), untuk memenuhi janji-janji (to fulfill), dan untuk memenuhi misi yang

18
yang diwujudkan dalam sebuah kebijakan (to complete). Lester dan Steward
(2000 dalam Winarno 2002) menyatakan bahwa implementasi kebijakan
merupakan alat administrasi hukum dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur,
dan teknik bekerjasama untuk mecapai tujuan tertentu. Secara sederhana,
implementasi kebijakan dapat diartikan sebagai sebuah cara agar kebijakan dapat
mencapai tujuan dan sasaran yang diinginkan, sedangkan Adamolekun (1983
dalam Makinde 2005) mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai sebuah
kegiatan yang dilakukan pada sebuah kebijakan yang telah ditentukan.
Implementasi kebijakan ini hanya merupakan salah satu proses tahapan kebijakan
publik yang menjadi salah satu variabel dalam keberhasilan memecahkan
permasalahan publik (Winarno,2002).

Proses Implementasi sebuah kebijakan dapat dipengaruhi dan ditentukan oleh


berbagai faktor penentu. Beberapa ilmuan mengemukakan berbagai faktor
penentu implementasi kebijakan, seperti McLaughling (1975 dalam Nakamura
dan Smallwood 1980) yang menyebutkan bahwa hubungan interpersonal antara
pembuat kebijakan dan pelaku implementasi kebijakan sebagi faktor kunci sukses
tidaknya sebuah proses implementasi selain faktor lain seperti ketertarikan
terhadap kebijakan, komitmen, serta dukungan masyarakat dan aktor-aktor
penting yang berpengaruh dalam kebijakan tersebut. Selain McLaughling,
Edward dan George (1980 dalam Makinde 2005) menjelaskan ada empat aspek
yang dapat menentukan proses implementasi kebijakan, yakni (1) komunikasi (2)
sumberdaya, (3) disposisi, (4) struktur birokrasi. Komunikasi menjadi bagian yang
penting untuk dapat mengimplementasikan kebijakan secara efisien. Melalui
komunikasi yang baik, maka informasi dari kebijakan dapat ditransmisikan secara
benar kepada sasaran kebijakan. Komunikasi yang tidak baik akan menghambat
penyampaian informasi yang pada akhirnya akan membuat ketidaksepahaman
antara pelaksana dengan sasaran kebijakan. Ketika informasi dapat tersampaikan
kepada sasaran kebijakan, ketersediaan sumberdaya (manusia, material, dan
finansial) menjadi salah satu aspek yang mendukung dalam implementasi
kebijakan. Disposisi atau perilaku pembuat kebijakan menjadi faktor kunci yang

19
mempengaruhi implementasi kebijakan. Pelaksana kebijakan akan membuat
kebijaksanaan dalam mengimplementasikan kebijakan. Tingkat keberhasilan
implementasi kebijakan sangat tergantung dari bagaimana pelaksana melihat
kebijakan mempengaruhi kepentingan pribadi dan organisasi. Pelaksana yang
memiliki komitmen yang kuat untuk mengimplementasikan kebijakan akan
berpengaruh terhadap kesuksesan implementasi. Komunikasi, sumberdaya, dan
disposisi yang dimiliki tidak akan berjalan baik tanpa struktur birokrasi yang
efisien. Tanpa adanya struktur birokrasi yang efisien, maka permasalahan dalam
implementasi selalu akan muncul. Perpecahan dalam organisasi akan menghambat
koordinasi antar pelaksana kebijakan. Hal ini akan membuat kelangkaan
sumberdaya, kebingungan, tujuan yang berbeda, dan pada akhirnya hasil akhir
yang ingin dicapai akan terabaikan.

Grindle (dalam Herman, dkk 2014) menjelaskan bahwa ada dua variabel
besar yang mempengaruhi berjalannya implementasi kebijakan, yakni isi dari
kebijakan dan cakupan kebijakan. Sedangkan Meter dan Horn (1975 dalam
Nakamura dan Smallwood 1980) menjelaskan bahwa proses implementasi
didasari atas enam variabel, yakni: (1) standar dan tujuan kebijakan, (2)
sumberdaya yang dimiliki, (3) hubungan dan komunikasi antar organisasi, (4)
karakteristik pelaksana implementasi, (5) kondisi lingkungan ekonomi, sosial, dan
politik, serta (6) disposisi pelaksana implementasi terhadap elemen-elemen
kebijakan. Bhuyan (2010 dalam Mthethwa 2012) menjelaskan tujuh dimensi yang
dapat mempengaruhi implementasi kebijakan, yakni (1) kebijakan, formula, dan
diseminasi, (2) cakupan sosial, politik, dan ekonomi, (3) kepemimpinan untuk
implementasi kebijakan, (4) stakeholder yang terkait dengan kebijakan, (5)
perencanaan implementasi dan mobilisasi sumberdaya, (6) pelaksanaan dan
pelayanan, (7) feedback dan hasil implementasi. Beberapa faktor ini akan sangat
menentukan keberhasilan suatu kebijakan yang akan diimplementasikan.

20
1.6.3. Kebijakan Perkotaan Sebagai Solusi Permasalahan Perkotaan

Kebijakan perkotaan muncul umumnya didasarkan atas permasalahan


sebuah kota. Namun, tidak semua permasalahan mendapatkan tanggapan oleh
pembuatan kebijakan, malainkan hanya permasalahan tertentu saja yang mendapat
tanggapan. Menurut Jones (1984 dalam Winarno 2002) permasalahan yang
biasanya menarik perhatian pembuat kebijakan ialah permasalahan yang tidak
dapat diselesaikan secara individu maupun kelompok, sehinnga menjadi
permasalahan publik, dan permasalahan yang menarik perhatian kelompok dan
warga kota yang terorganisasi untuk melakukan tidakan tertentu. Pada dasarnya,
permasalahan dapat dibagi menjadi beberapa kategori, yakni permasalahan
prosedural yang berkaitan dengan kegiatan kepemerintahan dan substansif yang
berakibat dari kegiatan manusia, serta permasalahan yang datang dari dalam negri
seperti pendidikan, kriminal, perpajakan, transportasi dan kejahatan dari luar negri
yang meliputi perjanjian ekstradisi (Winarno, 2002). Setiap negara di dunia
memiliki pengalaman dan tantangan yang berbeda dalam merumuskan dan
menjalankan kebijakan untuk menanggulangi permasalahan wilayahnya, salah
satu contohnya yang terjadi di Amerika Serikat dan Jepang.

Salah satu permasalahan Amerika Serikat yang terjadi hampir disetiap


kota ialah keberadaan masyarakat kulit hitam yang miskin dan terbelakang (urban
black poor). Komunitas masyarakat ini sering diidentikan dengan tindak kriminal
dan kemiskinan. Menurut Howard (1978) munculnya urban black poor terjadi
atas sejarah yang panjang mengenai permasalahan rasis di Amerika Serikat antara
masyarakat kulit putih dan kulit hitam, dimana masyarakat kulit hitam dianggap
memiliki struktur yang rendah dalam kelompok sosial, dan hal ini membuat
masyarakat kulit hitam memiliki kesempatan yang minim dalam mengakses
materi dan status sosial.

Untuk mengatasi permasalahan ini perlu diketahui apa yang dibutuhkan


oleh masyarakat tersebut, seperti meningkatkan kualitas kehidupan, pendidikan,
transportasi publik, perumahan, kesehatan, dan kesempatan kerja, serta komitmen

21
dalam membangun kemudahan masyarakat dalam mendapatkan servis sosial
dalam sebuah negara. Howard (1978) menyatakan bahwa permasalahan urban
black poor yang dianggap menjadi permasalahan disetiap kota-kota di Amerika
membuat pemerintah Amerika Serikat merumuskan empat kebijakan strategis
perkotaan untuk menanggulangi permasalahan ini, yakni kebijakan mengenai
fiskal/keuangan, kebijakan sosial, kebijakan dalam kesempatan kerja yang
diciptakan oleh pemerintah, serta kebijakan mengenai diskriminasi rasis di
Amerika Serikat.

Selain kebijakan mengenai urban black poor, salah satu kebijakan


perkotaan Amerika Serikat yang masih dilakukan hingga saat ini ialah kebijakan
perkotaan yang komprehensif dan memiliki konsep partnership, yang pertama
kali dikemukakan oleh Jimmy Carter tahun 1978. Konsep kebijakan partnership
dinilai lebih kooperatif dan dapat meningkatkan hubungan kerja antara
pemerintah dan swasta dalam sebuah program atau proyek, serta dapat
meningkatkan keinginan masyarakat dalam membantu program yang ditujukan
untuk mereka (Hartshorn, 1980). Lebih lanjut Hartshorn (1980) menjelaskan
bahwa kebijakan yang dikemukakan oleh Carters ini disebuat juga dengan
program kemandirian lingkungan dalam hal permukiman, sosial, kesehatan,
transportasi, kriminal, taman, dan rekreasi. Untuk mejalankan kebijakan
partnership ini, pemerintah Amerika Serikat membuat sembilan program yang
akan dilaksakan secara bersama, yakni : 1) meningkatkan perencanaan lokal dan
menejemen kapasitas, 2) meningkatkan kapasitas negara sebagai partner kota-kota
di Amerika, 3) meningkatkan keterlibatan masyarakat dan organisasi secara suka
rela, 4) menyediakan layanan keringanan permasalahan keuangan kepada
masyarakat kelas bawah, 5) mendorong investasi swasta dalam pembangunan
masyarakat, 6) menyediakan kesempatan kerja kepada pengangguran dan
masyarakat kelas bawah, 7) meningkatkan akses untuk memberi kesempatan
kepada masyarakat korban diskriminasi sosial, 8) meningkatkan pelayanan sosial
dan kesehatan, serta 9) meningkatkan kondisi lingkungan perkotaan, budaya,
keindahan kehidupan perkotaan dan mengurangi urban sprawl (Hartshorn, 1980).

22
Lain halnya dengan Amerika Serikat, Jepang mengalami tantangn
perkotaan dalam hal urbanisasi. Jepang dapat mengatasi permasalahan urbanisasi
lebih sukses dibandingkan negara lainnya yang memiliki permasalahan yang
sama. Permasalahan perkotaan di Jepang dapat diatasi dengan adanya inisiatif dari
berbagai stakeholder yang berpartisipasi dalam proses pembangunan perkotaan
dan perumusan kebijakan perkotaan (Zetter, 1986). Zetter (1986) terdapat
beberapa tantangan kebijakan perkotaan di Jepang, yakni kebijakan mengenai
perumahan, kebijakan dalam penyedian infrastruktur, kebijakan mengenai
kerentanan terhadap bencana, kebijakan mengenai harga lahan, kebijakan
mengenai urban sprawl, kebijakan renovasi permukiman, partisipasi publik, dan
urban decline.

1.6.4. Pemindahan Ibukota dan Pusat Pemerintahan sebagai Kebijakan


Perkotaan

Seringkali masyarakat banyak mengartikan bahwa ibukota dan pusat


pemerintahan adalah dua hal yang sama. Hingga saat ini, masih banyak
perdebatan diantara keduanya. Banyak ilmuan mencoba untuk mendefinisikan
pengertian ibukota. Claval (2000) menyatakan bahwa ibukota dapat diartikan
sebagai refleksi dari sifat dan organisasi sebuah wilayah yang mana fungsi
kehidupan nya lebih tinggi dibandingkan wilayah lain disekitarnya dengan sistem
terpusat yang dalam penentuannya menggunakan hukum kontinental dan berada
pada pengawasan sistem kekuasaan. Fungsi-fungsi yang berada dalam sebuah
ibukota mencakup fungsi ekonomi, fungsi sosial, dan fungsi pemerintahan. Claval
(2000) mengungkapkan pula bahwa kajian mengenai ibukota juga banyak dikaji
oleh geograf, dimana pada ilmu geografi ibukota difokuskan pada pengertian
sebuah tempat yang memiliki jumlah individu yang tinggi, tradisi yang kuat,
wilayah dengan peninggalan historis dan monumen yang mencolok, serta wilayah
tersebut terkadang memiliki nilai yang tinggi.

23
Sejalan dengan pengertian yang diutarakan oleh Claval, Wusten (2000)
juga mengungkapkan bahwa ibukota diartikan sebagai pusat administrasi dan
politik yang menjadi simbol kekuasaan yang didalamnya terdapat banyak fungsi
dan hierarki yang berbeda, seperti fungsi pelayanan, fungsi agama, fungsi
pemerintahan, dan fungsi militer. Dalam hal ini Wusten (2000) juga
menambahkan bahwa ibukota adalah sebuah simbol sebuah pusat wilayah. Qi
(2008) juga mendefinisikan bahwa pada mulanya ibukota dibangun sebagai
sebuah simbol dari lahirnya atau berdirinya sebuah wilayah dan juga sebagai
sebuah simbol peradaban.

Berbeda dengan Claval dan Wusten, Dashcer (2000) mengungkapkan


bahwa ibukota biasa diinterpretasikan sebagai seperangkat pemerintahan yang
keberadaannya adalah hasil dari aktivitas politik. Dalam hal ini Dashcer (2000)
juga mengungkapkan ada dua tipe ibukota di dunia yakni ibukota yang terletak
pada kota terbesar utama, dan ibukota yang terletak tidak di kota terbesar utama.
Sejalan dengan Dasher, Traugott (1995) juga mendefinisikan ibukota sebagai
seperangkat sistem kepemerintahan yang mengontrol wilayah secara langsung
yang memiliki aturan tertentu. Spate (1942) juga mendefinisikan ibukota sebagai
tempat dimana kekuasaan politik terkonsentrasi. Sedangkan Dijkink (2000)
mendefinisikan ibukota adalah sebuah pusat dari berdirinya wilayah yang akan
menjadi pusat kehidupan individu dalam mendefinisikan ruang perkotaan dan
memiliki fungsi pemerintahan, sosial, dan dianggap pula sebagai sebuah simbol
lingkungan wilayah utama.

Berdasarkan definisi-definisi diatas, dapat diketahui bahwa keberadaan


ibukota dipandang berbeda, yakni sebagai ibukota dipandang sebagai pusat
kekuasaan pemerintah, ibukota dipandang sebagai sebuah wilayah yang memiliki
fungsi yang kompleks dan syarat akan historis, serta ibukota dipandang sebagai
sebuah simbol pusat wilayah, historis dan lingkungan wilayah. Di Indonesia
sendiri ibukota lahir seiring dengan lahirnya sebuah daerah secara administratif
yang dilegalkan oleh perundangan dan bersifat tetap. Dalam hal ini, secara yuridis
Ibukota memiliki teritorial dan fungsional wilayah sebagai pusat wilayah. Dengan

24
penetapan secara perundangan juga, Ibukota dipandnag sebagai sebuah simbol
dari berdirinya sebuah daerah administratif. Namun, hingga saat ini definisi dan
fungsi ibukota secara umum belum dirincikan secara jelas dalam perundangan.
Berdasarkan berbagai definisi diatas terdapat definisi yang dirasa sesuai dengan
fenomena daerah kajian, yakni ibukota didefinisikan sebagai simbol berupa pusat
kegiatan wilayah dengan hierarki yang lebih tinggi, dan memiliki fungsi sebagai
pusat kegiatan ekonomi, pusat kegiatan sosial, pusat kegiatan lingkungan, dan
juga pusat kegiatan politik dan kepemerintahan yang mendapatkan legalitas
hukum secara perundangan dan bersifat tetap.

Pusat pemerintahan didefinisikan sebagai tempat yang menjadi


kedudukan utama pemerintahan (KBBI, 1994). Pusat pemerintahan juga
didefinisikan sebagai satu fungsi wilayah yang digunakan untuk kegiatan
pelayanan kepemerintahan yang didalamnya terdapat kantor-kantor pemerintah
dan berbagai fasilitas yang menunjang untuk menjalankan fungsi dan tugas
pemerintah yang memiliki posisi sangat central (PSPPR, 2002). Tidak seperti
ibukota, penetapan pusat pemerintahan tidak lahir seiring dnegan lahirnya daerah
secara administratif, dan tidak dilegalkan secara perundangan Nasional, namun
istilah pusat pemerintahan ini lahir seiring dengan lahirnya Undang-undang
otonomi daerah dan pemerintah daerah sebagai acuan banyak daerah untuk
memindahkan salah satu fungsi, yakni fungsi kepemerintahan pada wilayah lain.
Dalam fenomena ini, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud pusat
pemerintahan ialah salah satu fungsi wilayah yang terdapat pada sebuah ibukota.
Secara sederhana, pusat pemerintahan didefinisikan sebagai wilayah sebagai
sebuah fungsi, bukan sebuah teritorial yang bersifat tetap secara yuridis.
Sayangnya, pemisahan pengertian pusat pemerintahan dan ibukota memang tidak
diatur secara jelas pada perundangan di Indonesia, sehingga cukup
membingungkan dalam melakukan pembatasan pengertian.

Mengesampingkan perbedaan definisi dan pengertian ibukota maupun


pusat pemerintahan, fenomena pemindahan ibukota maupun pemindahan pusat
pemerintahan telah banyak terjadi didunia. Fawcett dan Litt (1918) menyatakan

25
bahwa pemindahan ibukota dipengaruhi oleh beberapa hal, dan politik merupakan
salah satu faktor yang mendominasinya. Wusten (2000) juga mengungkapkan hal
yang sama, bahwa pembentukan sebuah ibukota berkaitan dengan kekuasaan
politik dan kekuasaan sistem peemrintahan. Dibeberapa kasus seperti di Amerika
Serikat, Kanada, dan Australia, pemindahan ibukota ke lokasi baru dikarenakan
untuk meletakkan ibukota pada lokasi strategis yang dapat diakses secara mudah
oleh semua daerah federasi, dan untuk menghindari memberikan keuntungan yang
lebih kepada salah satu daerah federasi terhadap posisi ibukota yang lama
(Fawcett dan Litt 1918). Sedangkan Spate (1942) mengungkapkan di beberapa
kasus di dunia faktor-faktor yang membentuk ibukota lebih dikarenakan oleh
faktor pertimbangan politik dibandingkan oleh faktor pertimbangan ekonomi dan
lokasi yang strategis, sehingga seiring dengan perkembangan wilayah kota,
kompleksitas fungsi dalam ibukota mendesak pemerintah untuk memindahkan
ibukota pada lokasi lainnya. Pendapat tersebut juga diperkuat oleh Dijkink (2000)
bahwa dalam sejarah pembentukan ibukota di Benua Eropa merupakan bentuk
intervensi dan bentuk batas politik.

Pemindahan ibukota dan pembentukan ibukota baru memang syarat


dengan faktor politik, demikian pun di Indonesia. Lokasi ibukota ditetapkan oleh
peraturan kepala daerah dan peraturan DPRD, namun dalam Peraturan Pemerintah
No 78 Tahun 2007 mengatur pembentukan ibukota harus memperhatikan berbagai
faktor, yakni tata ruang, ketersediaan fasilitas, aksesibilitas, kondisi dan letak
geografis, kependudukan, sosial ekonomi, politik, dan budaya. Seiring dengan
pemekaran wilayah, baik penggabungan wilayah maupaun pemisahan wilayah,
oembentukan ibukota baru menjadi hal yang penting sebagai pelengkap
administrasi dalam legalitas kebijakan pemekaran wilayah. Untuk itulah
pemerintah membuat aturan dalam kajian pembentukan ibukota.

Seiring dengan undang-undang otonomi daerah No 22 Tahun 1999,


undang-undang pemerintah daerah No 32 Tahun 2004 dan undang-undang No 23
Tahun 2014 dimana pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengatur
pemerintahannya sendiri membuat pemerintah daerah kemudian memisahkan satu

26
fungsi dari ibukota, yakni fungsi pemerintahan untuk dapat berdiri sendiri. Hal ini
lah yang kemudian menjadi cikal bakal pembentukan kawasan pusat
pemerintahan baru di Indonesia. Munculnya pemindahan ibukota maupun pusat
pemerintahan baru sebagai sebuah kebijakan perkotaan menjadi salah satu cikal
bakal pembentukan kota baru (new town). Sebagai sebuah kebijakan perkotaan,
pemindahan pusat pemerintahan daerah menjadi salah satu upaya untuk
menyelesaikan permasalahan di daerah asal maupun daerah tujuan.

Secara teoritik, manusia akan mengatasi permasalahan keruangan dengan


dengan menerapkan efisiensi keruangan, seperti memaksimalkan fungsi dan
produktivitas wilayah melalui hal yang minimal, memaksimalkan interaksi
keruangan dengan usaha dan biaya yang minimum, serta mendekatan berbagai
kegiatan ekonomi sejenis yang tidak saling bersaing (Morril 1974 dalam Rijanta
2006). Salah satu solusi penerapan efisiensi keruangan yang dilakukan oleh
manusia ialah dengan memindahkan pusat pelayanan pada ruang yang optimal
agar dapat berfungsi secara optimal pula. Dalam konteks pemekaran wilayah,
terdapat sebuah fenomena zero sum game dimana sekelopok orang akan
beruntung karena lebih dekat dan lebih murah dalam mengakses pelayanan,
namun sebagian lainnya harus berjalan lebih jauh dan lebih mahal dari semula
dalam mengakses pelayanan (Rijanta, 2006). Hal inilah yang juga terjadi pada
kebijakan pemindahan ibukota, maupun pemindahan pusat pemerintahan ke lokasi
baru, dimana sebagian masyarakat akan merasa beruntung dengan pemindahan ini
karena tidak perlu menempuh jarak yang jauh, namun sebagian lainnya merasa
merugi dengan adanya kebijakan ini karena pertambahan jarak dari lokasi asal.
Beberapa negara di dunia telah menerapkan kebijakan pemindahan pusat
pemerintahan ini, seperti Malaysia, Myanmar, Korea Selatan, dan beberapa daerah
di Indonesia, seperti Kepulauan Riau, Halmahera Tengah, dan Kalimantan
Selatan.

27
1.6.5. Faktor-Faktor Pemilihan Lokasi Ibukota dan Pusat Pemerintahan

Untuk menentukan lokasi pembangunan kota baru, ibukota baru maupun


pusat pemerintahan yang baru, diperlukan beberapa faktor yang menjadi
pertimbangan. Kriteria penentuan sebuah lokasi akan menentukan sukses tidaknya
pembangunan kotabaru, sehingga semua kriteria harus diidentifikasi secara jelas
untuk keberlanjutan pembangunan kota baru dimasa yang akan datang (Golany,
1976). Beberapa literatur telah banyak menjelaskan faktor yang mempengaruhi
pemilihan lokasi ibukota/pusat pemerintahan. Secara yuridis, tertuang pada pasal
12 Peraturan Pemerintah No 78 Tahun 2007 tentang pembentukan, penghapusan,
dan penggabungan daerah menyebutkan bahwa lokasi pemilihan ibukota baru
harus ditentukan sesuai dengan keputusan gubernur dan DPRD provinsi untuk
ibukota baru dalam lingkup provinsi, dan keputusan bupati serta DPRD kabupaten
untuk ibukota baru kabupaten. Dalam peraturan tersebut juga dijelaskan bahwa
dalam pemilihan lokasi ibukota harus memperhatikan beberapa faktor, yakni
faktor tata ruang, ketersediaan fasilitas, aksesibilitas, kondisi dan letak
geografis,kependudukan, sosial ekonomi, sosial politik, dan sosial budaya.

Budiharjo dan Sujarto (1999 dalam Syafruddin 2001) mengatakan bahwa


jenis kota baru yang difungsikan sebagai pusat pemerintahan sebaiknya
dikembangkan pada lahan yang masih perawan (belum termanfaatkan) dan
dikembangkan pada kota kecil yang telah ada sebelumnya. Menurut Budiharjo
dan Sujarto (1999 dalam Syafruddin 2001) bahwa kota baru yang memiliki fungsi
pemerintahan harus diletakan dengan jarak > 60 km dari kota besar utama, agar
perencanaan dan perkembangannya dapat disesuaikan dengan fungsi
pemerintahan.

Golany (1976) menyatakan ada lima kriteria dalam menentukan lokasi


sebuah kota baru, yakni (1) kriteria fisik, (2) kriteria sosial dan ekonomi, (3)
kriteria potensi sumberdaya lokal, (4) kriteria lingkungan, dan (5) kriteria politik.
Perencanaan harus memperhatikan kriteria fisik seperti topografi, tanah,
penggunaan lahan, serta kerentanan bencana. Topografi sebuah wilayah dapat

28
menentukan pola penggunaan lahan, bentuk kota, dan intensitas pembangunan.
Jenis tanah dapat berpengaruh terhadap penggunaan lahan dan kerentanan
bencana, seperti kepekaan terhadap erosi, ketahanan terhadap konstruksi, dan
manajemen jalan. Penggunaan lahan suatu wilayah dapat mempengaruhi luasan
lahan yang dapat dimanfaatkan dalam pembangunan kota baru.
Kriteria sosial ekonomi berkaitan dengan fasilitas-fasilitas penting yang
ada disekitar lokasi perencaan, seperti fasilitas pendidikan, fasilitas olahraga,
fasilitas ekonomi, serta jarak terhadap fasilitas tersebut. Kedekatan terhadap
fasilitas yang dibutuhkan oleh masyarakat dapat menjadi nilai lebih. Lokasi yang
memiliki sumberdaya lokal yang melimpah, dapat menjadi lokasi kotabaru yang
potensial dan dapat meminimalisir ketergantungan terhadap wilayah sekitar.
Perencanaan kota baru harus mempertimbangkan lingkungan lokasi dan
kerusakan yang mungkin ditimbulkan. Lingkungan yang masih alami dan kaya
akan keanekaragaman hayati, serta merupakan kawasan lindung tidak tepat dipilih
sebagai lokasi kota baru. Hal ini dikarenakan pembangunan kota baru justru akan
merusak sistem lingkungan yang ada. Isu politik dalam sebuah wilayah menjadi
konsentrasi yang penting bagi para perencana. Perencana harus menginvestigasi
kekuatan politik di lokasi dan disekitar lokasi. Perencana juga harus
menginvestigasi struktur politik yang ada di lokasi yang direncanakan, hal ini
akan berkaitan dengan kemampuan wilayah untuk menyediakan pelayanan kepada
masyarakat.

Menurut Siong (2006), Putra jaya dipilih sebagai lokasi pusat


pemerintahan Malaysia yang baru dikarenakan beberapa faktor, yakni: (1)
ketersediaan lahan yang masih cukup dan kalkulasi biaya infrastruktur yang lebih
rasional, (2) lokasi strategis yang berada pada koridor pertumbuhan, (3)
aksesibilitas yang baik dan jaringan transportasi, (4) jenis dan kerapatan vegetasi
yang dapat mendukung kebijakan, (5) bentuk lahan, dan (6) dampak minimum
terhadap masyarakat lokal. Syarief (2013) menjelaskan bahwa terdapat beberapa
faktor yang dapat mempengaruhi pemilihan lokasi dan perkembangan sebuah
kota, yakni faktor geografis, jenis tanah, ketersediaan air, spekulasi tanah,

29
keberadaan fasilitas, aksesibilitas, jumlah dan kepadatan penduduk, kebijakan
perkotaan, pendapatan penduduk, dan keberadaan industri. PSPPR (2002)
menentukan kriteria lokasi pusat pemerintahan Kepulauan Riau yang tepat, yakni:
(1) lokasi tersebut merupakan lokasi strategis, (2) memiliki nilai ekonomi yang
berada pada titik simpul interaksi kegiatan regional, (3) memiliki alokasi ruang
yang cukup, (4) memiliki sumberdaya alam yang cukup dan stabil (tanah, air,
listrik), (5) lokasi harus memiliki kemananan dan kenyamanan, (6) kesesuaian
lahan dan daya dukung lingkungan, (7) memiliki ciri budaya, dapat melayani
wilayah belakang, dan dapat menjadi kebanggan masyarakat.

Beberapa faktor prasyarat dalam pembentukan daerah baru sesuai dengan


Peraturan pemerintah No. 78 Tahun 2007 diantaranya ialah kemampuan ekonomi,
potensi daerah, keadaan sosial budaya, kependudukan, luas daerah, pertahanan,
keamanan, kemampuan keuangan, dan tingkat kesejahteraan masyarakat (PSPPR,
2010). Ricks (1970) menjelaskan bahwa dalam memilih lokasi kota baru
diperlukan beberapa pertimbangan, yakni harga lahan, aksesibilitas, dan tenaga
kerja yang dimiliki. Ali (2010) mengemukakan beberapa faktor yang
mempengaruhi pemilihan lokasi pusat pemerintahan, yakni : (1) letak geografis
yang strategis dan berada pada dataran rendah (< 3%), (2) ketersediaan lahan yang
cukup, (3) penggunaan lahan yang bukan lahan pertanian, (4) status lahan, (5)
bukan daerah rawan bencana, (6) ketersediaan sumberdaya air yang memadai, (7)
aksesibilitas yang baik, (8) jumlah penduduk, (9) kepadatan penduduk, (10)
heterogenitas masyarakat (ekonomi, agama, etnis), dan (11) ketersediaan fasilitas
ekonomi dan sosial (rumah sakit, air bersih, jaringan telepon, jaringan listrik).

Sujarto (2004 dalam Detiawati 2008) menyebutkan beberapa faktor yang


dapat mempengaruhi pemilihan lokasi pusat pemerintahan, yakni : (1) faktor
geografis yang mudah dijangkau dari kota-kota sekitar, (2) faktor topografi (< 20
%), (3) pertanahan (harga tanah dan status tanah), (4) aksesibilitas (harga tanah
dan status tanah), (5) sistem telekomunikasi, (6) fasilitas sosial dan ekonomi, (7)
ketersediaan air, dan (8) ketenagakerjaan (komposisi pertanian dan non pertanian).
Selain itu, Direktorat Jendral Penataan Ruang Kementrian Pekerjaan Umum

30
(Tidak ada tahun) juga menyebutkan syarat-syarat lokasi yang dapat dipilih sebagi
sebuah ibukota baru, yakni : (1) aspek ruang yang didalamnya mencakup secara
fisik tidak berdekatan dengan ibukota lain, mempunyai sumberdaya air yang baik,
memiliki luas wilayah yang memadai, mampu memberikan wilayah seluruh
masyarakat, (2) luas daerah yang mencakup luas keseluruhan dan luas wilayah
yang dapat dimanfaatkan, (3) jumlah penduduk yang mencakup jumlah penduduk,
mata pencaharian, tingkat pertumbuhan penduduk, dan ketenagakerjaan, (4)
potensi daerah mencakup sarana dan prasarana transportasi, perumahan, sarana
dan prasarana ekonomi, pendidikan, kesehatan, olahraga, peribadatan, jaringan
komunikasi, penerangan,limbah, persampahan, (5) sosial budaya yang mencakup
organisasi kemasyarakatan, kemananan, dan kenyamanan.

1.6.6. Pembentukan wilayah baru, pemindahan ibukota, maupun pusat


pemerintahan baru di Indonesia : Proses dan Konflik.

Pembentukan wilayah baru (pemekaran wilayah), pemindahan ibukota,


maupun pemindahan pusat pemerintahan bukan menjadi fenomena perkotaan
yang baru di Indonesia. Undang-undang No 22 Tahun 1999 tentang otonomi
daerah yang direvisi pada Undang-undang No 32 Tahun 2004 yang kemudian
direvisi lagi menjadi Undang-undang No 23 Tahun 2014 tentang pemerintah
daerah membuat daerah memiliki hak dan wewenang untuk mengatur dan
menyelenggarakan kepemerintahan dan kepentingan masyarakat secara mandiri.
Adanya perundangan ini menjadi dasar bagi beberapa daerah di Indonesia untuk
memindahkan ibukota maupun pusat pemerintahannya ke daerah lain yang lebih
dengan alasan untuk efektifitas dan efisiensi kinerja pemerintah. Peraturan
Pemerintah No 78 Tahun 2007 tentang pembentukan, penghapusan, dan
penggabungan daerah juga menguatkan fenomena pembentukan kota baru di
Indonesia.

31
Rijanta (2006) menyebutkan bahwa sebagain besar justifikasi dalam
pembentukan wilayah baru ialah percepatan pembangunan di daerah dengan
menyediakan pelayanan yang lebih baik, meskipun diantara justifikasi tersebut
terdapat kekecawaan dan ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah.
Ketidakpuasan tersebut terkait dengan seringnya keputusan ditumpangi dengan
ambisi sesorang atau sekelompok, ditambah isu-isu yang berkaitan dengan
permasalahan SARA (Suku Agama Ras dan Antar golongan), bahkan
permasalahan pembentukan wilayah baru di Indonesia setelah tahun 1998 juga
semakin rumit seiring dengan semangat demokratisasi dan kebebasan berpendapat
setiap masyarakat (Rijanta, 2006). Lebih lanjut Rijanta (2006) juga menjelaskan
bahwa dalam proses pembentukan wilayah baru sering kali muncul konflik antar
pemerintah dan masyarakat atau antar masyarakat yang diwarnai kekerasan
maupun tidak yang disebabkan oleh kompleksitas permasalahan dan juga
ketidaksepahaman birokrasi dan normatif perencanaan diantara keduanya.

Beberapa kasus dalam pembentukan daerah baru, pemindahan ibukota


maupun pusat pemerintahan di Indonesia juga melalui proses yang berbeda,
dengan konflik maupun tanpa konflik, dan melalui intervensi politik maupun
kajian akademis. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Gottman (1969
dalam Barlow 1981) yang menyebutkan bahwa ekspansi perkotaan merupakan
sebuah proses politik, sedangkan Eyre (1969 dalam Barlow 1981) menjelaskan
bahwa dalam setiap proses politik yang terjadi, akan terdapat konflik batasan antar
elemen di pemerintahan. Rein dan Rabinovits (1978 dalam Nakamura dan
Smalwoods 1980) mengatakan bahwa dalam sebuah proses implementasi tidak
hanya memiliki satu dimensi saja, melainkan proses transisi pada berbagai level
yang membentuk sebuah sistem sirkular tertentu, yang didalamnya saling
mengintervensi bagian satu sama lain. Intervensi ini seringkali menimbulkan
konflik dalam proses implementasi kebijakan.

Beberapa kasus pembentukan wilayah baru di Indonesia diantaranya


Kabupaten Kutai dan Kabupaten Kolaka Timur. Pembentukan wilayah baru pada
Kabupaten Kutai disebabkan oleh bebrapa hal, diantaranya ukuran luas wilayah

32
dan kendala alamiah, kesenjangan antar masyarakat dan antar wilayah, rendahnya
partisipasi masyarakat, pemanfaatan sumberdaya yang kurang optimal,
terbatasnnya rentang kendali pemerintah yang disebabkan oleh luasan wilayah,
dan menyebabkan sebagian masyarakat merasakan pelayanan yang mahal
(Rijanta, 2006). Lebih lanjut Rijanta (2006) juga menjelaskan bahwa pemekaran
Kabupaten Kutai berjalan dua tahun lebih cepat dari yang direncanakan,karena
pada tahun 1998 pemerintah memberika kemudahan dalam pemekaran wilayah,
sehingga pada tahun 2000 Kabupaten Kutai terbagi menjadi Kabupaten Kutai
Timur, Kutai Barat, Kutai Kartanegara, dan Kota Bontang. Secara umum,
pemekaran wilayah ini tidak menimbulkan konflik, karena didukung situasi
pemerinatahan orde baru yang tidak banyak memberikan ruang kebebasan
berpendapat kepada masyarakat, terlebih dipengaruhi oleh homogenitas penduduk
yang memudahkan dalam proses komunikasi dan implementasinya. Dalam proses
pemekaran ini diketahui bahwa pertimbangan batas-batas wilayah dilakukan
melalui kajian akademik, dan disetujui oleh masyarakat serta perangkat
pemerintahan berdasarkan kriteria-kriteria tertentu, dan dapat diterima oleh
masyarakat, meskipun dalam proses nya dibantu oleh intervensi politik
pemerintah.

Kasus pemekaran wilayah di Indonesia lainnya ialah pembentukan


Kabupaten Kolaka Timur di Provinsi Sulawesi Tenggara. Darmawan (2014)
dalam penelitian tesisnya menyebutkan bahwa pembentukan Kabupaten Kolaka
Timur ditengarai banyak dipengaruhi oleh kepentingan politik lokal dan pusat
yang memiliki tujuan tertentu, meskipun juga didorong oleh keinginan dari
masyarakat untuk menjadi kabupaten mandiri. Kepentingan politik ini memiliki
peran yang besar dalam pembentukan kabupaten, dimana para elit politik menjadi
katalisator melalui hubungan relasi yang dimiliki dan bantuan dana yang
diberikan. Namun, intervensi politik yang cukup besar dalam pembentukan
kabupaten baru ini menimbulkan berbagai permasalahan di Kabupaten Kolaka
Timur, salah satunya ialah permasalahan ekonomi wilayah, dimana pendapatan
asli daerah masih rendah dan tidak berimbang dengan dana yang dikeluarkan.

33
Sebenarnya, Kabupaten Kolaka Timur telah memenuhi beberapa aspek prasyarat
dalam pemekaran wilayah, seperti faktor kependudukan, lokasi geografis, luas
daerah, sosial budaya, sosial politik, dan potemsi daerah. Namun, dalam sektor
kemampuan keuangan wilayah masih cukup rendah.

Salah satu kasus pemindahan pusat pemerintahan di Indonesia ialah


pemindahan pusat pemerintahan Kabupaten Pariaman, Provinsi Sumatra Barat.
Revid (2010) mengungkapkan bahwa kebijakan otonomi daerah di Indonesia
berdampak pada pemisahan Kota Pariaman menjadi sebuah kota administratif
sendiri. Lepasnya Kota Pariaman dari Kabupaten Pariaman membawa dampak
bagi Kabupaten Pariaman untuk merelokasi ibukota kabupaten yang semula
berada di Kota Pariaman. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Revid
(2010) menjelaskan bahwa proses pemindahan ibukota ini dilakukan sesuai
dengan prosedur yang ada dan melibatkan peran akademis dalam menentukan
lokasi yang tepat sebagai ibukota baru. Berdasarkan kajian akademis terhadap
studi kelayakan lokasi-lokasi yang memungkinkan, maka Nagari Palit Malintang
dipilih sebagai lokasi ibukota Kabupaten Pariaman yang baru. Kajian ini menjadi
pertimbangan bagi pemerintah, yang kemudian resmi memindahkan pusat
pemerintahannya ke Nagari Palit Malintang. Proses pemindahan ibukota ini tidak
diwarnai oleh konflik dan berbagai permasalahan, bahkan mendapat dukungan
oleh masyarakat sekitar lokasi pemindahan.

Contoh lain dalam relokasi ibukota ialah pemindahan ibukota administrasi


Maluku Utara dari Kota Ternate ke Sofifi yang telah tercantum pada Undang-
undang No 46 Tahun 1999. Namun sayangnya pemindahan ibukota tersebut
mengalami keterlambatan. Berdasarkan hasil penelitian yang dikemukakan oleh
Muslihin (2008) menjelaskan bahwa keterlambatan pemindahan ibukota Provinsi
Maluku Utara disebabkan oleh berbagai faktor penghambat, yakni faktor sosio
kulural dan historis, ekonomi, dan faktor politik yang menimbulkan berbagai
permasalahan dalam proses implementasinya.

34
Dilihat dari segi sosio kultural dan historis, pada proses penetapan Sofifi
sebagai ibukota Provinsi Maluku Utara tidak melibatkan masyarakat dan
komunitas lokal serta berkaitan dengan sejarah perkembangan berdirinya empat
kasultanan yang masing-masing memiliki batas teritorial kekuasaan tertentu,
sehingga menimbulkan perebutan wilayah kekuasaan antara kasultanan Tidore
dan Ternate. Konflik sosial yang terjadi yang melibatkan suku dan agama
menglihkan perhatian pemerintah terhadap fokus pemindahan ibukota. Secara
ekonomi, keterlambatan ini ketidaksiapan infrastruktur penunjang di Sofifi,seperti
transportasi, jaringan listrik, komunikasi, air, dan berbagai fasilitas penunjang
lainnya. Sedangkan faktor politik yang mempengaruhi keterlambatan
implementasi pemindahan ini ialah intervensi yang cukup besar bagi para elit
politik, sehingga mengesankan pemindahan ibukota ke Sofifi dipengaruhi oleh
faktor politik saja, sehingga tidak dapat memuaskan semua pihak. Kondisi ini
diperparah dengan adanya konflik politik internal beberapa aparat birokrasi yang
tidak menginginkan pemindahan ibukota ini, demi mempertahanka status quo.

Berdasarkan berbagai kasus diatas, intervensi politik masih menjadi kendali


yang besar dalam perumusan dan proses implementasi kebijakan sebuah kota.
Para elit politik masih memaksakan kehendak masing-masing demi mencapai
tujuan tertentu dengan mengatas namakan pembangunan dan kesejahteraan rakyat.
Meskipun demikian beberapa daerah juga telah mempertimbangkan aspek-aspek
akademis dan mengikutsertakan akademisi dalam perumusan dan implementasi
kebijakan wilayah.

1.7 Landasan Penelitian

Sebelum menjabarkan lebih jauh mengenai landasan penelitian yang


digunakan dalam penlitian ini, hal yang penting untuk dipahami bersama ialah
batasan definisi dan pemahaman mengenai pusat pemerintahan. Hal ini penting
untuk dilakukan agar tidak terjadi kesalahpaham mengenai konteks pembahasan
dalam penelitian. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, definisi Ibukota

35
belum terdefinisi secara jelas dan masih banyak perbedaan dalam
pendefinisiannya. Begitupula dengan definisi pusat pemerintahan yang masih
sangat minim dalam pendefinisiannya, seperti yang terlihat pada Tabel 1.2. Secara
umum, pusat pemerintahan dalam kajian ini didefinisikan sebagai salah satu
fungsi yang dimiliki oleh Ibukota. Secara umum, pusat pemerintahan lebih
melihat wilayah secara fungsional, bukan teritorial. Jadi, pemindahan pusat
pemerintahan dapat didefinisikan sebagai pemindahan salah satu fungsi Ibukota,
dan bukan pemindahan secara teritorial.

Tabel 1.2 Definisi Ibukota, Pusat Pemerintahan, dan Adopsi Pengertian


dalam Daerah Penelitian

Ibukota Pusat Pemerintahan Pusat Pemerintahan dalam


Daerah Penelitian
1. Ibukota didefinisikan sebagai 1. Pusat Pemerintahan ialah Pusat pemerintahan dalam
seperangkat pemerintahan yang tempat kedudukan utama konteks daerah penelitian
merupakan hasil dari aktivitas pemerintah (KBBI, didefinisikan sebagai salah
politik (Dascher, 2000). 1994) satu fungsi yang dimiliki
2. Ibukota sebagai sistem 2. Pusat pemerintahan ialah oleh ibukota, yakni fungsi
kepemerintahan yang mengontrol fungsi wilayah yang pemerintahan, yang
wilayah (Traugott, 1995). digunakan untuk didalamnya memuat pusat
3. Ibukota adalah pusat wilayah dan pelayanan pemerintah, kantor-kantor pemerintah
pusat individu dalam yang memuat pusat yang dibangun secara
mendefinisikan ruang perkotaan perkantoran pemerintah terpadu, berbagai fasilitas
yang memiliki fungsi untuk menjalankan dan utilitas penunjang, dan
pemerintahan, sosial, dan simbol fungsi dan tugas juga sistem, kegiatan, serta
lingkungan. pemerintah yang mobilitas yang berkaitan
4. Ibukota adalah simbol pusat sebuah memiliki posisi central dengan aktivitas
wilayah (Wusten,2000) (PSPPRD, 2002) kepemerintahan.
5. Ibukota adalah simbol berdirinya
sebuah wilayah dan peradaban
(Qi,2008)
6. Ibukota adalah pusat administrasi
yang memiliki banyak fungsi,
fungsi pelayanan, agama,
pemerintahan, dan militer (Wusten,
2000).
7. Ibukota adalah wilayah yang
memiliki fungsi yang lebih tinggi,
yakni fungsi ekonomi, sosial, dan
pemerintahan yang penentuannya
menggunakan hukum kontinental

36
(Calaval, 2000).
8. Di Indonesia ibukota ditetakan
seiring dengan pembentukan
daerah otonom dan ditetapkan
secara yuridis.

Berdasarkan kajian-kajian terhadap penetuan pemilihan lokasi kota baru


(new town)/ibukota baru/ pusat pemerintahan baru yang telah dilakukan
sebelumnya, terdapat sebuah dasar hukum yang telah ditetapkan di Indonesia
yang menyinggung mengenai lokasi ibukota baru.Berdasarkan Peraturan
Pemerintah No 78 Tahun 2007 tentang tata cara pembentukan, penghapusan, dan
penggabungan daerah pasal 12 ayat 3, disebutkan bahwa
Penetapan lokasi ibukota sebagaimana dimaksud pada ayat 2
dilakukan setelah adanya kajian daerah terhadap aspek tata ruang,
ketersediaan fasilitas, aksesibilitas, kondisi dan letak geografis,
kependudukan, sosial ekonomi, sosial politik, dan sosial budaya.

Berdasarkan dasar hukum tersebut, dan hasil kajian terhadap beberapa


penelitian dan literatur yang berkaitan dengan fakor penentuan lokasi, dapat
ditentukan faktor apa yang dapat diadaptasi dalam penelitian ini. Beberapa faktor
yang menentukan terhadap pemilihan lokasi ibukota/pusat pemerintahan yang
diadaptasi dalam penelitian ini ialah faktor letak geografis, faktor kondisi fisik,
faktor aksesibilitas, faktor kependudukan, faktor ketersediaan fasilitas, dan faktor
kebijakan pemerintah, faktor politik, dan faktor historis, seperti pada Tabel 1.2
berikut.

Tabel 1.3. Faktor-faktor penentuan lokasi pusat pemerintahan/ ibukota


baru yang diadaptasi dalam penelitian
Faktor Keterangan
Jarak terhadap pusat pemerintahan lama
Letak geografis
Jarak terhadap kota sekitar
Kemiringan lereng
Kondisi Fisik Penggunaan lahan
Status lahan

37
Luas lahan
Ketersediaan air
Kerentanan bencana
Sarana dan prasarana transportasi
Aksesibilitas
Jaringan jalan
Jumlah penduduk
Tingkat pertumbuhan penduduk
Kependudukan Angkatan kerja
Mata pencaharian penduduk
Heterogenitas suku, agama, dan etnis
Fasilitas kesehatan
Fasilitas ekonomi
Ketersediaan fasilitas
Fasilitas sosial
Jaringan utilitas
RPJMD dan RPJPD
Kebijakan Zonasi tata ruang
Praktek perizinan
Politik Visi misi kepala daerah
Sejarah pembentukan kota
Historis
Sejarah karisidenan/kasultanan/kerajaan
Sumber : Berbagai kajian literatur.

Faktor letak geografis dapat menggambarkan jarak lokasi pusat


pemerintahan yang baru dengan pusat pemerintahan yang lama, serta jarak dengan
kota-kota yang ada disekitar. Hal ini nantinya akan sangat menentukan interaksi
wilayah. Lokasi pusat pemerintahan yang baru sebaiknya tidak berhimpit dengan
lokasi pusat pemerintahan yang lama, karena dengan jarak yang dekat hanya akan
mempersulit pengembangan pembangunan di lokasi baru. Kondisi fisik
merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan pemilihan sebuah lokasi.
Dalam menentukan sebuah lokasi harus memperhatikan kemiringan lereng, jenis
tanah, penggunaan lahan, luasan lahan yang tersedia, status lahan yang akan

38
dibangun, ketersediaan air, dan kerentanan lokasi terhadap bencana. Lokasi ideal
sebaiknya berada di lereng yang landai ataupun datar, tidak berada pada kawasan
lindung maupun kawasan lahan pertanian, memiliki akses terhadap air yang baik,
memiliki status lahan yang jelas, memiliki luasan yang cukup untuk dapat
dikembangkan, serta tidak berada pada kawasan rawan bencana.
Aksesibilitas merupakan faktor yang menentukan lokasi, semakin baik
aksesibilitas yang tersedia pada lokasi baru yang akan direncanakan, maka akan
menunjang interkasi wilayah, baik intra maupun inter-regional. Hal ini juga dapat
mengehemat biaya pembangunan infrastruktur transportasi. Aksesibilitas memuat
ketersediaan transportasi, baik darat, udara, maupun laut dan jaringan jalan yang
menghubungkan antar wilayah. Kondisi kependudukan suatu lokasi juga menjadi
penentu, yakni yang mencakup jumlah penduduk yang ada di lokasi baru dan
kota-kota sekitar untuk mengetahui potensi interaksi yang akan terjadi, mata
pencaharian penduduk di lokasi baru, heterogenitas penduduk dari segi suku.
agama, dan etnis, tingkat pertumbuhan penduduk, dan angkatan kerja yang
mencakup jumlah angkatan kerja dan jumlah pengangguran yang ada di lokasi
baru.
Ketersediaan fasilitas menjadi salah satu penentu pemilihan sebuah lokasi
baru. lokasi yang telah memiliki berbagai fasilitas akan lebih efisien dipilih
sebagai sebuah lokasi pusat pemerintahan, karena tidak perlu membangun
berbagai fasilitas yang akan meningkatkan anggaran pemerintah. Ketersedian
fasilitas yang dimaksud mencakup fasilitas kesehatan, ekonomi, sosial, dan
jaringan utilitas. Kebijakan pemerintah merupakan salah satu faktor penentu
pemilihan lokasi, hal ini berkaitan dengan prakter perizinan yang lebih mudah,
RPJP, RPJM, dan zonasi tata ruang yang mendukung memungkinkannya
kebijakan pemindahan pusat pemerintahan di lokasi tersebut. Apabila kebijakan
pemerintah disebuah kota mendukung adanya kebijakan pemindahan pusat
pemerintahan, maka implementasinya akan lebih mudah.
Faktor politik dan faktor historis merupakan salah satu faktor yang dapat
menentukan pemilihan sebuah lokasi. Kadang kala, dua faktor ini menjadi faktor
yang paling utama dalam pemilihan lokasi. Beberapa kasus contoh di Indonesia

39
menyiratkan bahwa kontribusi elit politik dalam mencapai visi misi tertentu,
kepentingan politik suatu golongan, dan wilayah yang memiliki historis kerjaan
dapat menjadi penyebab utama pemilihan lokasi tersebut.
Proses implementasi atau dalam kajian kebijakan disebut dengan state
implementation menjadi salah satu bagian dalam penelitian. Proses implementasi
secara general dapat diimplementasikan secara langsung maupun bertahap,
melalui proses yang panjang maupun tidak. Goggin,dkk (1990) menyatakan
bahwa terdapat beberapa model dalam proses implementasi, yakni dapat
dilaksanakan secara defiance, delay, strategic delay, dan compliance. Model
implementasi secara defiance diartikan sebagai proses yang dilakukan secara
bertahap dan didalamnya terdapat modifikasi kebijakan yang justru menyulitkan
pemerintah dalam mencapai tujuan. Model delay diartikan sebagai implementasi
yang dilakukan bertahap yang sesuai dengan kebijakan awal yang ditetapkan.
Model strategic delay merupakan model implementasi secara bertahap yang
didalamnya terdapat modifikasi kebijakan yang justru membantu pemerintah
dalam mencapai tujuan. Sedangkan model compliance merupakan model
implementasi secara serentak dan cepat dengan atau tidak ada modifikasi
kebijakan yang dapat membantu pemerintah dalam mencapai tujuan.
Goggin,dkk (1990) juga menjelaskan bahwa proses implementasi dapat
dibedakan menjadi dua, yakni proses secara spasial, maupun proses secara
temporal. Proses secara spasial dimaknai bahwa sebuah kebijakan yang akan
diimplementasikan pada suatu wilayah tidak dilakukan secara langsung pada
seluruh bagian dalam wilayah itu, namun secara bertahap. Sedangkan proses
secara temporal dimaknai sebagai sebuah dimenasi waktu dari proses
implementasi kebijakan yang dilaksanakan. Dalam penelitian ini, nantinya akan
membatasi proses penelitian pada proses implementasi secara temporal.
Goggin,dkk (1990) menyebutkan bahwa dalam proses implementasi terdapat
tahapan-tahapan yang biasa dilakukan dalam proses implementasi, yakni meliputi
komunikasi antar aktor dan lembaga terkait meliputi kebijakan yang akan
diimplementasikan, persiapan sumberdaya yang meliputi dana dan aktor yang
akan berperan dalam implementasi, sosialisasi dan komunikasi terhadap sasaran

40
kebijakan, desain/model implementasi yang digunakan apakah bertahap maupun
secara langsung, serta aktifitas final implementasi kebijakan.
Model dalam proses implementasi tidak serta merta terjadi begitu saja,
namun sangat ditentukan oleh beberapa variabel. George C Edwards III (dalam
winarno, 2002) menyatakan bahwa dalam sebuah implementasi sangat ditentukan
oleh komunikasi, sumberdaya, disposisi, dan struktur birokrasi. Komunikasi
menyangkut penyampaian informasi antar pembuatan kebijakan dengan
masyarakat, sasaran kebijakan, maupun pihak lainnya yang terkait agar informasi
dapat ditransmisikan dengan baik dan tidak terdapat distorsi informasi.
Sumberdaya mencakup sumberdaya manusia dan sumberdaya finansial yang
dapat mendukung kebijakan yang akan diimplementasikan. Disposisi memiliki
arti tindakan yang dilakukan atasan untuk mensukseskan implementasi kebijakan
yang dibuat, yang mencakup komitmen, kejujuran, dan sifat demokratis yang
dimiliki pemimpin. Struktur birokrasi diartikan sebagai prosedur atau standar
dalam melakukan setiap tindakan dalam implementasi kebijakan, yang dalam hal
ini menyangkut prosedur pemindahan pusat pemerintahan. Pada penelitian ini,
akan membahas proses implementasi pemindahan pusat pemerintahan secara
umum melalui model state implementation, apakah dilakukan secara cepat dan
serentak, atau dilakukan dengan bertahap dan modifikasi-modifikasi didalamnya.
Proses implementasi yang dilakukan akan dilihat secara temporal dari
disahkannya kebijakan menjadi dasar hukum hingga akktifitas final pemindahan
pusat pemerintahan kalimantan selatan di Kota Banjarbaru, yang didalamnya
memuat berbagai tahapan yang telah dijelaskan sebelumnya. Untuk melihat proses
ini, maka penelitian ini akan menggunakan variabel-variabel implementasi yang
dikemukakan oleh George C Edwards III.
Pemindahan pusat pemerintahan Provinsi Kalimantan Selatan di Kota
Banjarbaru tentunya menjadi sebuah isu yang akan menimbulkan banyak
pertanyaan, diantaranya latar belakang kebijakan, faktor yang menjadi alasan
pemilihan lokasi dan proses implementasi kebijakannya. Hubungan antara latar
belakang, permasalahan, tujuan, serta pencapaian akhir dari penelitian ini dapat
tercermin dalam Gambar 1.3.

41
1.8 Kerangka Penelitian

Latar Belakang

Good government: Service/ Optimalisasi Minimnya


process Pelayanan lahan
Performance management
optimization Pemerintah perkantoran
Service optimization
Employee engagement
Change management Usulan pemindahan
lokasi pemerintahan
yang lebih optimal

Issue
Tujuan 2 Tujuan 1

Pemindahan LokasiPusat
Pemerintahan Provinsi Faktor Lokasi
Kalimantan Selatan ke Kota Geografis
Komunikasi Banjarbaru
Faktor Fisik

Faktor
Aksesibilitas
Sumberdaya
Proses implementasi Faktor-faktor utama yang
Faktor
pemindahan pusat pemerintahan menjadi alasanpemindahan
Kebijakan
Provinsi Kalimantan Selatan pusat pemerintahan Provinsi
dari Kota Banjarmasin ke Kota Kalimantan Selatan di Kota
Faktor
Banjarbaru Banjarbaru Kependudukan
Disposisi
Faktor Fasilitas

Rekomendasi pengembangan Faktor Politik


kota baru untuk layanan
Struktur pemerintahan
birokrasi Faktor Historis

Gambar 1.1. Kerangka Penelitian


42
1.9 Batasan Oprasional

Penelitian ini membatasi konsep pada faktor-faktor yang menjadi alasan


kebijakan pemindahan pusat pemerintahan dan proses implementasi
kebijakannya dalm konteks terhadap kebijakan publik. Batasan-batasan
yang penting dipahami dalam penelitian ini mencakup :
1. Kebijakan perkotaan ialah keputusan yang diambil secara sengaja
sebagai pedoman bagi kehidupan masyarakat perkotaan (Torjman,
2005) yang bertujuan agar kota dapat berjalan efektif dan efisien,
serta membuat keadaan yang lebih baik bagi masyarakat perkotaan
(Linn,1983).
2. Pusat pemerintahan ialah fungsi wilayah yang digunakan untuk
kegiatan pelayanan pemerintahan yang didalamnya memuat pusat
perkantoran pemerintah, berbagai fasilitas, dan utilitas untuk
menjalankan fungsi dan tugas kepemerintahan.
3. Proses implementasi merupakan bagian dari konsep implementasi
kebijakan, yang ditentukan setelah kebijakan ditetapkan kedalam
sebuah peraturan dan dan yang dibutuhkan tersedia, didalamnya
memuat serangkaian aksi yang dilakukan untuk mewujudkan
output dari kebijakan yang telah ditetapkan (Nakamura dan
Smallwood 1980).

43

Anda mungkin juga menyukai