Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sistem imun terbentuk dari sel-sel darah putih, sumsum tulang dan jaringan
limfoid yang mencakup kelenjar timus, kelenjar limfe, lien, tonsil serta adenoid. Diantara
sel-sel darah putih yang terlibat dalam imunitas terdapat limfotik B (sel B) dan limfosit
limfosit T (sel T). Kedua sel ini berasal dari limfoblast yang dibuat dalam sumsum tulang.
Limfosit B mencapai maturitasnya dalam sumsum tulang dan kemudian memasuki
sirkulasi darah, limfosit T bergerak dari sumsum tulang ke kelenjar timus tempat sel-sel
tersebut mencapai maturitasnya menjadi beberapa jenis sel yang dapat melaksanakan
berbagai fungsi yang berbeda.
Struktur yang signifikan lainya adalah kelenjar limfe, lien, tonsil dan adenoid.
Kelenjar limfe yang tersebar diseluruh tubuh menyingkirkan benda asing dari sistem limfe
sebelum benda asing tersebut memasuki aliran darah dan juga berfungsi sebagai pusat
poliferasi sel imun. Lien yang tersusun dari pulpa rubra dan alba bekerja sebagai jaringan.
Pulpa rubra merupakan lokasi tempat sel-sel darah merah yang tua dan mengalami cedera
dihancurkan. Pulpa alba mengandung kumpulan limfosit. Limfosit lainnya, seperti tonsil
dan adenoid serta jaringan limfatik mukoid, mempetahankan tubuh terhadap serangan
mikroorganisme.
Imunitas mengacu pada respon protektif tubuh yang spesifik terhadap benda asing
atau mikroorganisme yang menginvasinya. Kelainan pada sistem imun dapat berasal dari
kelebihan atau kekurangan sel-sel imunokompeten, serangan imunoligik terhadap antigen
sendiri, atau respon yang yang tidaktepat atau yang berlebihan terhadap antigen spesifi.
Kelainan yang berhubungan dengan autoimunitas adalah penyakit dimana respon imun
protektif yang normal secara paradoksal berbalik melawan atau menyerang tubuh sendiri
sehingga terjadi kerusakan jaringan.

1
B. Tujuan Penulisan
Adapun tuuan pembuatan makalah ini adalah sbagai berikut :
1. Untuk meningkatkan pengetahuan mengenai asuhan keperawatan pada klien dengan
gangguan sistem imunologi secara konsep.
2. Untuk meningkatkan pengetahuan tentang Asuhan Keperawatan pada pasien yang
mengalami ganguan system imunologi.
3. Memenuhu tugas mata ajar Keperawatan Medikal Bedah.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar Sistem Imun


1. Pengertian Imunitas
Sistem imun membentuk sistem pertahanan badan terhadap bahan asing seperti
mikroorganisma (bakteria, kulat, protozoa, virus dan parasit), molekul-molekul
berpotensi toksik, atau sel-sel tidak normal (sel terinfeksi virus atau malignan). Sistem
ini menyerang bahan asing atau antigen dan juga mewujudkan peringatan tentang
kejadian tersebut supaya pendedahan yang berkali-kali terhadap bahan yang sama
akan mencetuskan gerak balas yang lebih cepat dan tertingkat. Keimunan merujuk
kepada keupayaan sesuatu individu yang telah sembuh dari sesuatu penyakit untuk
kekal sihat apabila terdedah kepada penyakit yang sama untuk kali kedua dan
seterusnya.
Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang
melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan
membunuh patogen serta sel tumor. Sistem ini mendeteksi berbagai macam pengaruh
biologis luar yang luas, organisme akan melindungi tubuh dari infeksi, bakteri, virus
sampai cacing parasit, serta menghancurkan zat-zat asing lain dan memusnahkan
mereka dari sel organisme yang sehat dan jaringan agar tetap dapat berfungsi seperti
biasa. Deteksi sistem ini sulit karena adaptasi patogen dan memiliki cara baru agar
dapat menginfeksi organisme.
Suatu ciri sistem imun ialah keupayaan untuk membedakan bahan-bahan yang
wujud secara semula jadi atau normal (diri) dari bahan-bahan atau agen-agen yang
masuk ke dalam tubuh dari luar (bukan diri) dan menghasilkan gerak balas terhadap
bahan bukan diri saja. Ketidakwujudan khusus suatu gerak balas terhadap diri dikenali
sebagai toleransi. Pentingnya keupayaan untuk membedakan (mendiskriminasi) antara
diri dan bukan diri, serta toleransi diri, ditunjukkan dalam penyakit-penyakit
autoimun, apabila fungsi-fungsi tersebut gagal. Penyakit-penyakit ini berhasil apabila
bahan normal tubuh dicam sebagai asing dan gerak balas imun dihasilkan terhadap

3
bahan-bahan tersebut. Walau bagaimananpun, sistem imun lazimnya amat berkesan
membezakan antara diri dan bukan diri.

2. Fungsi Sistem Imun


Sistem imun adalah perlu untuk kemandirian karena ia membekalkan
keupayaan untuk sembuh dari penyakit serta keimunan yang melindungi untuk masa
yang lama. Dalam keadaan biasa apabila sistem imun terdedah kepada organisma
asing ia bertindak-balas dengan menghasilkan antibody dan rangsangan limfosit
spesifik-antigen, adapun peran dari antibody yaitu :
a. Antibodi merupakan senjata yang tersusun dari protein dan dibentuk untuk
melawan sel-sel asing yang masuk ke tubuh manusia.
b. Senjata ini diproduksi oleh sel-sel B, sekelompok prajurit pejuang dalam sistem
kekebalan.
c. Antibodi akan menghancurkan musuh-musuh penyerbu. Antibodi mempunyai dua
fungsi, pertama untuk mengikatkan diri kepada sel-sel musuh, yaitu antigen.
Fungsi kedua adalah membusukkan struktur biologi antigen tersebut lalu
menghancurkannya.,yang membawa kepada pemusnahan mikroorganisma dan
peneutralan produk-produk toksik (toksin).
d. Suatu fungsi penting sistem imun ialah mengawasi sel-sel tubuh supaya ia tidak
abnormal. Sel-sel terinfeksi virus, sel-sel malignan atau sel-sel individu lain dari
spesies yang sama, mempunyai penanda- penanda protein pada permukaan luar
yang memberi isyarat kepada sistem imun supaya memusnahkannya. Protein-
protein ini tergolong dalam sistem yang dipanggil kompleks kehistoserasian
utama. (Major histocompatibility complex; MHC)

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Fungsi Sistem Imun


Seperti halnya system tubuh yang lain, sistem imun akan berfungsi pada taraf
yang dikehendaki menurut fungsi sistem tubuh yang lain, factor-faktor yang ada
hubungannya sebagai berikut :

4
a. Usia
Frekuensi dan intensitas infeksi akan meningkat pada orang yang berusia
lanjut dan peningkatan ini disebabkan oleh penurunan untuk bereaksi secara
memadai terhadap mikroorganisme yang menginveksinya. Produksi dan fungsi
limfosit Tdan B dapat terganggu kemungkinan penyabab lain adalah akibat
penurunan antibody untuk membedakan diri sendiri dan bukan diri sendiri.
Penurunan fungsi system organ yang berkaitan dengan pertambahan usia juga
turut menimbulkan gangguan imunitas. Penurunan sekresi serta motilitas lambung
memungkinkan flora normal intestinal untuk berploriferasi dan menimbulkan
infeksi sehingga terjadfi gastroenteritis dan diare.
b. Gender
Kemampuan hormone-hormon seks untuk memodulasi imunitas telah
diketahui dengan baik. Ada bukti yang menunjukan bahwa esterogen memodulasi
aktifitas limfosit T (khususnya sel-sel supresor) sementara androgen berfungsi
untuk mempertahankan produksi interleukin dan aktifitas sel supresor. Efek
hormon seks tidak begitu menonjol, esterogen akan memgaktifkan populasi sel B
yang berkaitan dengan autoimun yang mengekspresikan marker CD5 (marker
antigenic pada sel B). Esterogen cenderung menggalakkan imunitas sementara
androgen bersifat imunosupresif. Umumnya penyakit autoimun lebih sering
ditemui pada wanita ketimbang pad pria.
c. Nutrisi
Nutrisi yang adekuat sangat esensial untuk mencapai fungsi imun yang
optimal. Gangguan imun dikarenakan oleh defisiensi protein kalori dapat terjadi
akibat kekurangan vitamin yang diperlukan untuk mensintesis DNA dan protein.
Vitamin juga membantu dalam pengaturan poliferasi sel dan maturasi sel-sel imun.
Kelebihan atau kekurangan unsur-unsur renik (tembaga, besi, mangan, selenium
atau zink) dalam makanan umumnya akan mensupresi fungsi imun Asam-asam
lemam merupakan unsure pembangun (building blocks) yang membentuk
komponen structural membrane sel. Lipid merupakan precursor vitamin A,D,E,
dan K disamping prekursir kolesterol. Bak kelebihan maupun kekurangan asam
lemak ternyata akan mensupresi fungsi imun.

5
Deplesi simpanan protein tubuh akan mengakibatkan atrofi jaringan limfoid,
depresi respon anti body, penurunan jumlah sel T yang beredar dan gangguan
fungsi fagositosik sebagai akibatnya, kerentanan terhadap infeksi sangat
meningkat. Selama periode infeksi dan sakit yang serius, terjadi peningkatan
kebutuhan nutrisi yang potensialuntuk menimbulkan deplesi protein, asam lemak,
vitamin, serta unsure unsure renik dan bahkan menyebabkan resiko
terganggunya respon imun serta terjadinya sepsis yang lebih besar.
d. Faktor -Faktor Psikoneuro Imunologik
Limfosit dan makrofag memiliki reseptor yang dapat bereaksi terhadap
neurotransmitter serta hormon-hormon endokrin. Limfosit dapat memproduksi dan
mengsekresikan ACTH serta senyawa-senyawa yang mirip endofrin. Neuron
dalam otak, khususnya khusunya dalam hipotalamus, dapat mengenali
prostaglandin, interferon dan interleukin di samping histamine dan serotininyang
dilepaskan selama proses inflamasi. Sebagaimana sisitem biologic lainnya yang
berfungsi untuk kepentingan homoestasis, system imun di integrasikan dengan
berbagai proses psikofisiologic lainnya dan diatur serta dimodulasikan oleh otak.
Di lain pihak, proses imun ternyata dapat mempengaruhi fungsi neural dan
endokrin termasuk prilaku. Jadi, interaksi sitem saraf dan system imun tampaknya
bersifat dua arah.
e. Kelainan Organ yang Lain
Keadaan seperti luka bakar atau cedera lain, infeksi dan kanker dapat turut
mengubah fungsi system imun. Luka bakar yang luas atau faktor-faktor lainnya
menyebabkan gangguan integritas kulit dan akan mengganggu garis pertama
pertahanan tubuh ilangnya serum dalam jumlah yang besar pada luka bakar akan
menimbulkan deplesi protein tubuh yang esensial, trmasuk immunoglobulin.
Stresor fisiologi dan psilkologik yang disertai dengan stress karena pembedahan
atau cidera kan menstimulasi pelepasan kortisol saerum juga turut menyebabkan
supresi respon imun yang normal.
Keadaan sakit yang kronis dapat turut mengganggu system imun melalui
sejumlah cara. Kegagalan ginjal berkaitan dengan defisiensi limfosit yang beredar.
Fungsi imun untuk pertahanan tubuh dapat berubah karena asidosis dan toksin

6
uremik. Peningkatan insidensi infeksi pada diabetes uga berkaitan dengan
isufisiensi vaskuler, neuropati dan pengendalian kadar glukosa darah yang buruk.
Infeksi saluran nafas yang rekuren berkaitan dengan penyakit paru obstruksi
menahun sebagai akibat dari berubahnya fungsi inspirasi dan ekspirasi dan tidak
efektifnya pembersihan saluran nafas.
f. Penyakit Kanker
Imunosekresi turut menyebabkan terjadinya penyakit kanker. Namun,
penyakit kanker sendiri bersifat imunosupresif. Tumor yang besar dapat
melepaskan antigen ke dalam darah, antigen ini akan mengikat antibody yang
beredar dan mencegah antibody tersebut agar tidak menyerang sel-sel tumor.
Lebih lanjut, sel-sel tumor dapat memiliki factor penghambat yang khusus yang
menyalut sel-sel tumor dan mencegah pengahancurannya oleh limposit T killer.
Dalam stadium awal pertumbuhan tumor, tubuh tidak mampu mengenali antigen
tumor sebagai unsure yang asing dan selanjutnya tidak mampu memulai distruksi
sel-sel yang maligna tersebut.kanker darah seperti leukemia dan limpoma
berkaitan dengan berubahnya produksi serta fungsi sel darah putih dan limposit.
g. Obat-obatan
Obat-obatan tertentu dapat menyebabkan perubahan yang dikehendaki
maupun yang tidak dikehendaki pada fungsi system imun. Ada empat klasifikasi
obat utama yang memiliki potensi untuk menyebabkan imunosupresi: antibiotic,
kortikostreoid, obat-obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID; Nonsteroidal anti
inflamatori drugs) dan preparat sitotoksik. Penggunaan preparat ini bagi keperluan
terapeutik memerlukan upaya untuk mencari kesinambungan yang sangat tipis
antara manfaat terapi dan supresi system pertahanan tubuh resipien yang
berbahaya.
h. Radiasi
Terapi radiasi dapat digunakan dalam pengobatan penyakit kanker atau
pencegahan rejeksi allograft. Radiasi akan menghancurkan limposit dan
menurunkan populasi sel yang diperlukan untuk menggantikannya. Ukuran atau
luas daerah yang akan disinari menetukan taraf imunosupresi. Radiasi seluruh

7
tubuh dan dapat mengakibatkan imunosupresi total pada orang yang
menerimannya.
i. Genetic
Interaksi antara sel-sel sistem imun dipengaruhi oleh variabilitas genetik.
Secara genetik respons imun manusia dapat dibagi atas responder baik, cukup, dan
rendah terhadap antigen tertentu.
Ia dapat memberikan respons rendah terhadap antigen tertentu, tetapi terhadap
antigen lain tinggi sehingga mungkin ditemukan keberhasilan vaksinasi yang tidak
100%. Faktor genetik dalam respons imun dapat berperan melalui gen yang berada
pada kompleks MHC dengan non MHC.

B. Pengkajian Umum Gangguan Sistem Imun


Penilaian fungsi imun dimulai dari hasil anamnesis riwayat kesehatan pasien dan
pemeriksaan fisik. Riwayat kesehatan pasien harus mengandung informasi yang rinci
mengenai factor factor dimasa lalu serta sekarang dan berbagai kejadian yang
menunjukan status system imun disamping factor factor dan kejadian yang dapat
mengetahui fungsi sistem imun. Faktor faktor dan kejadian ini mencakup infeksi,
kelainan alergi, kelainan autonium, penyakit neoplasma, keadaan sakit yang kronis,
riwayat pembedahan, imunisasi, dan penggunaan obat obatan, transfuse darah, faktor
faktor lain yang mempengaruhi fungsi imun dan hasil pemeriksaan laboratorium serta tes
diagnostic lainnya. Pengkajian fisik pasien palpasi nodus limfatikus dan pemeriksaan
kulit, membrane mukosa dan sistem respiratorius, gastrointestinal, urogenital,
kardiovaskuler serta neurosensorik.
Pada pemeriksaan jasmani, kondisi kulit dan membrane mukosa pasien harus di
nilai untuk menemukan lesi, dermatitis, purpura (pendarahan sub kutan), urtikaria,
inflamasi, ataupun pengeluaran secret. Selain itu, tanda-tanda infeksi perlu di perhatikan.
Suhu tubuh pasien di catat dan observasi di lakukan untuk mengamati gejala mengigil
serta perspirasi.kelenjar limpe servikal anterior serta posterior,aksilaris dan ingminalis
harus di palpasi untuk menemukan pembesaran; jika kelenjar limpe atau nodus limpatikus
teraba, maka lokasi, ukuran, konsistensi, dan keluhan nyeri tekan saat palpasi harus di
catat. Pemeriksaan sendi-sendi di lakukan untuk menilai nyeri tekan serta pembengkakan

8
dan keterbatasan kisaran gerak. Status respiratorius pasien di evaluasi dengan memantau
frekuensi pernapasan dan menilai adanya gejala batuk(kering/produktif) serta setiap suara
paru yang abnormal (mengi, krepitasi, ronchi). Pasien juga di kaji untuk menemukan
rhinitis, hiperventilasi dan bronkospasme.
Status kardiovaskuler
Sensitivitas Bagian Tangan

Bagian tangan yang dipakai Hal Yang Dapat Dirasakan

Jari-jari (ujung jari) Adanya gerakan halus jaringan atau pulsasi

Permukaan tangan Getaran yang mungkin terjadi (i.e., thrills, fremitus)

Punggung tangan Suhu kulit

Palpasi

Jenis Tujuan Teknik

Palpasi Ringan Digunakan untuk ada tidaknya Tekan kulit hingga inci dengan
abnomalitas permukaan (contoh, ujung jari
tekstur, suhu, kelembaban,
elastisitas, pulsasi, organ-oran
superfisial, dll)

Palpasi Dalam Digunakan untuk meraba organ Tekan kulit sedalam 1 hingga 2
dalam dan masa untuk melihat inci dengan tekanan yang mantap.
ukuran, bentuk, simetris atau Mungkin diperlukan juga tangan
mobiltasnya lainnya untuk membantu penekanan

Palpasi Bimanual Digunakan untuk mengkaji organ Gunakan dua tangan, satu tangan

(gunakan teknik inidalam di rongga abdomen. pada sisi masing-masing bagian

dengan hati-hati tubuh atau organ yang diperiksa

karena mungkin Tangan yang di bagian atas


akan merangsang digunakan untuk memberikan

9
nyeri atau tekanan ketika tangan yang di
mengganggu organ bawah digunakan untuk memeriksa
internal tubuh) jaringan yang dalam

Gunakan satu tangan untuk


menekan secara dalam dinding
perut abdominal untuk
menggerakkan jaringan dalam arah
tangan yang lainnya, dan gunakan
tangan tersebut untuk merasakan
jaringan yang diperiksa

Pemeriksaan Labolatorium
Untuk memastikan diagnosis harus ditunjang dengan pemeriksaan labolatorium dan
pemeriksaan spesifik. Pemeriksan yang dapat dilakukan ialah :
1. Pemeriksaan darah rutin feses dan kemih, serta kimia dara
2. Pemeriksaan sediaan apus basah seperti pemeriksaan terhadap hiva ( dengan KOH
10% ) trikomonas ( NaCI 0,9% )
3. Periksaan sekret/ bahan-bahan dari kulit dengan pewarnaan kusus, seperti gram (
untuk bakteri ), Ziehl Nielsen untuk hasil tahan asam, gentian violet untuk virus,
microscop lapangan gelap untuk spiroketa, pemeriksaan cairan gelembung( untuk
menghitung eosinofil ) dan pemriksaan sel tzanck.
4. Pemeriksaan serologik untuk sefilis, frambusia.
5. Pemeriksaan dengan sinar wood terhadap infeksi jamur kulit.
6. Pemeriksaan terhadap alergi: uji gores, tetes, tempel, tusuk, dan uji suntik
7. Pemeriksaan Lab yang berhubungan dengan hematologi adalah sebagai berikut :
Pemeriksaan Hemaglobin, Jumlah Leokosit, Eritrosit, Trombosit, Hemaorit,
Retikulosit, Fibrinogen, Gol. Darah dan Rh-faktor.
8. Pemeriksaan Lab yang berhubungan dengan imunolgi adalah sebagai berikut: Widal,
ASTO, Rheumatoid, C-Reactive Protein, Seramoeba, V.D.R.L, T.P.H.A, R.P.R, Anti-
HIV, HbsAG, Anti-HbeAG, Anti-HBc totall, IgM Anti-HBc dan IgM Anti-HAV.

10
C. Pengkajian Diagnostik
1. Diagnostik pada penyakit AIDS.
Kriteria diagnostiknya mencakup penurunan berat yang tidak dikehendaki yang
melampaui 10% dari berat badan dasar, diare yang kronis selama lebih 30 hari atau
kelemahan yang kronis, dan demam yang kambuhan atau menetap tanpa adanya
penyakit lain yang menjelaskan gejala ini. Malnutrisi protein energy yang terjadi
bersifat multifactor pada sebagian keadaan sakit yang berkaitan dengan AIDS,
pesiennya akan mengalami keadaan hipermetabolik dimana terjadi pembakaran kalori
yang berlebihan dan kehilangan leanbodymass keadaan ini serupa dengan keadaan
stress seperti sepsis serta trauma dan dapat menimbulkan kegagalan organ.
Pembedaan anatra keadaan kakeksia ( pelisutan) adan malnutrisi atau antara
kakeksia dan penurunan berat badan yang biasa terjadi sangat penting mengingat
ganaguan metabolik pada sindrom pelisutan tidak dapat diubah dengan dukungan
nutrisi saja.
Evaluasi diagnostic
a. Tes laboratorium.
Sejak ditemukannya HIV pada tahun 1983, para ilmuan telah belajar banyak
tentang karakteristik dan patogenisita virus tersebut. Berdasarkan pengetahuan ini
telah dikembangakan sejumlah tes diagnostik yang sebagian masih bersifat
penelitian tes atau pemeriksaan laboratorium kini digunakan untuk
mengdiagnostik HIV dan memantau perkembangan penyakit serta responnya
terhadap terapi pada orang terinfeksi HIV.
b. Tes antibody HIV.
Kalau seseorang terinfeksi virus HIV, system imunnya akan beraksi dengan
memproduksi antibody terhadap virus. Antibody umumnya terbentuk dalam waktu
3-12 minggu setelah terkena infeksi,kendati pembentukan antibody ini dapat
memerlukan waktu sampai 6-14 bulan; kenyataan ini menjelaskan mengapa
seseorang dapat terinfeksi tetapi pada mulanya tidak memperlihatkan hasil test
yang positif. Sayangnya, antibody untuk hiv tidak efektif dan tidak dapat
menghentikan perkembangan infeksi hiv. Kemampuan untuk mendeteksi antibody
hiv dalam darah telah memungkinkan pemeriksaan skring produk darah dan

11
memudahkan evaluasi diagnostic pada pasien-pasien terinfeksi hiv. Pada 1985,
food and drug administration(fda) mengeluarkan lisensi untuk uji kadar antibody
hiv bagi semua pendonoran darah dan plasma. Ada 3 buah test untuk memastikan
danya antibody terhadap hiv dan membantu mendiagnostik infeksi hiv.
1) Test enzyme linket immunosorbent assay(elisa) mengidentifikasi antibody
secara spesifik yang di tujukan pada virus hiv.
2) Pemeriksaan westernblot assay : merupakan test yg dapat mengenali antibody
hiv dan digunakan untuk memastikan seropositifitas seperti yang
teridentifikasi lewat prosedur elisa.
3) Indirect immonofluorescene assay (IFA) yang saat ini sering digunakan dokter
sebagai pengganti pemeriksaan western blot untuk seropositifitas.
4) Radioimmunoprecipitation assay (RIFA) tes ini lebih mendeteksi protein HIV
ketimbang antibbodi.
2. Pemeriksaan diagnostic pada system hematologi
a. Pemeriksaan Fungsi Hemostasis
Kelainan hemostasis dengan perdarahan abnormal dapat merupakan kelainan
pembuluh darah, trombositopenia atau gangguan fungsi trombosit, dan kelainan
koagulasi. Sejumlah pemeriksaan sederhana dapat dikerjakan untuk menilai fungsi
trombosit, pembuluh darah, serta komponen koagulasi dalam hemostasis.
Pemeriksaan penyaring ini meliputi pemeriksaan darah lengkap (Complete
Blood Count/CBC), evaluasi darah apus, waktu perdarahan (Bleeding Time/ BT),
waktu protrombin (Prothrombin Time/PT), activated partial thromboplastin time
(aPTT), dan agregasi trombosit.
b. CBC Dan Evaluasi Darah Apus
Pasien dengan kelainan perdarahan pertama kali harus menjalani pemeriksaan
CBC dan pemeriksaan apusan darah perifer. Selain memastikan adanya
trombositopenia, dari darah apus dapat menunjukkan kemungkinan penyebab yang
jelas seperti misalnya leukemia.
c. Pemeriksaan penyaring sistem koagulasi
Meliputi penilaian jalur intrinsik dan ekstrinsik dari sistem koagulasi dan
perubahan dari fibrinogen menjadi fibrin. PT (Prothrombin Time) mengukur

12
faktor VII, X, V, protrombin, dan fibrinogen. aPTT (activated Partial
Prothrombin Time) mengukur faktor VIII, IX, XI, dan XII. TT (Thrombin Time)
cukup sensitif untuk menilai defisiensi fibrinogen atau hambatan terhadap
trombin.
d. Pemeriksaan Faktor Koagulasi Khusus
Pemeriksaan fibrinogen, faktor vW, dan faktor VIII.
e. Waktu perdarahan (Bleeding Time/BT).
Memeriksa fungsi trombosit abrnormal misalnya pada defisiensi faktor Von
Willebrand (VWf). Pada trombositopenia, waktu perdarahan juga akan
memanjang, namun pada perdarahan abnormal akibat kelainan pembuluh darah,
waktu perdarahan biasanya normal.
f. Pemeriksaan Fungsi Trombosit
Tes agregasi trombosit mengukur penurunan penyerapan sinar pada plasma
kaya trombosit sebagai agregat trombosit.
g. Pemeriksaan fibrinolisis.
Peningkatan aktivator plasminogen dalam sirkulasi dapat dideteksi dengan
memendeknya euglobulin clot lysis time. (Suharti, 2007).

D. Trend Dan Issu Sistem Imun Tentang HIV/AIDS


1. Pengertian HIV/AIDS
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang melemahkan
sistem kekebalan tubuh atau perlindungan tubuh manusia. Virus inilah yang
menyebabkan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) (Brooks, 2004).
2. Pengertian AIDS
Pada 18 Desember 1992, CDC (Centers for Disease Control and Prevention)
telah menerbitkan suatu sistem klasifikasi untuk infeksi HIV dan mengembangkan
definisi AIDS di kalangan remaja dan dewasa di Amerika Syarikat. Mengikut standar
klinis untuk pemantauan secara immunologis pada pasien yang terinfeksi dengan HIV,
sistem klasifikasi tersebut meliputi pengukuran limfosit T CD4+ dalam kategorisasi
kondisi klinis yang berhubungan dengan HIV dan ini telah menggantikan sistem
klasifikasi HIV yang diterbitkan pada tahun 1986. Semua pengidap AIDS mempunyai

13
limfosit T CD4+/uL kurang dari 200 atau kurang 14 persen limfosit T CD4+ dari
jumlah limfosit, atau yang didiagnosa dengan tuberkulosis pulmoner, kanker servikal
invasif, atau pneumonia rekuren. Objektif dari pengembangan definisi AIDS ini
adalah untuk menunjukkan jumlah morbiditi pengidap AIDS dan pasien yang
imunosupresi, dan juga untuk memudahkan proses pelaporan kasus. Bermula dari
tahun 1993, definisi AIDS ini telah digunakan oleh semua negara untuk pelaporan
kasus AIDS (CDC, 1993).
3. Perbedaan Antara HIV dengan AIDS
Seorang yang terinfeksi HIV dapat tetap sehat bertahun-tahun tanpa ada tanda
fisik atau gejala infeksi. Orang yang terinfeksi virus tersebut tetapi tanpa gejala adalah
HIV-positif atau mempunyai penyakit HIV tanpa gejala. Apabila gej5ala mulai
muncul, orang disebut mempunyai infeksi HIV bergejala ataupenyakit HIV
lanjutan. Pada stadium ini seseorang kemungkinan besar akan mengembangkan
infeksi oportunistik. AIDS merupakan definisi yang diberikan kepada orang
terinfeksi HIV yang masuk pada stadium infeksi berat.
AIDS didefinisi sebagai jumlah sel CD4 di bawah 200; dan/atau terjadinya satu
atau lebih infeksi oportunistik tertentu. Istilah AIDS terutama dipakai untuk
kepentingan kesehatan masyarakat, sebagai patokan untuk laporan kasus. Sekali kita
dianggap AIDS, berdasarkan gejala dan/atau status kekebalan, kita dimasukkan pada
statistik sebagai kasus, dan status ini tidak diubah walau kita menjadi sehat kembali.
Oleh karena itu, istilah AIDS tidak penting buat kita sebagai individu. Orang
terinfeksi HIV yang mempunyai semakin banyak informasi, dukungan dan perawatan
medis yang baik dari tahap awal penyakitnya akan lebih berhasil menangani
infeksinya. Terapi antiretroviral (ART) yang sekarang semakin terjangkau dapat
memperlambat kecepatan penggandaan HIV; obat lain dapat mencegah atau
mengobati infeksi yang disebabkan HIV (Kannabus, 2008).
4. Perkembangan Kasus AIDS Tahun 2000-2009
Masalah HIV dan AIDS adalah masalah kesehatan masyarakat yang
memerlukan perhatian yang sangat serius. Ini terlihat dari apabila dilihat jumlah kasus
AIDS yang dilaporkan setiap tahunnya sangat meningkat secara signifikan. Di Papua
epidemi HIV sudah masuk ke dalam masyarakat (generalized epidemic) dengan

14
prevalensi HIV di populasi dewasa sebesar 2,4%. Sedangkan di banyak tempat
lainnya dalam kategori terkonsentrasi, dengan prevalensi HIV >5% pada populasi
kunci. Namun, saat ini sudah diwaspadai telah terjadi penularan HIV yang meningkat
melalui jalur parental (ibu kepada anaknya), terutama di beberapa ibu kota provinsi.
Tren Kasus AIDS di 33 Provinsi dari Tahun 2000-2009 Apabila dilihat
berdasarkan jenis kelamin, kasus AIDS dilaporkan banyak ditemukan pada laki-laki
yaitu 74,5%, sedangkan pada perempuan 25% (Depkes, 2009).
5. Tren HIV dan AIDS dimasa yang akan datang
Dengan memperhitungkan faktor-faktor pemicu dalam penularan HIV, maka
dapat dilakukanproyeksi perkembangan HIV pada masa yang akan datang. Berikut ini
adalah proyeksi situasi HIV yang dihasilkan melalui Asian Epidemic Modeling
(AEM) (Depkes RI, 2009).
6. Gambaran dan Manajemen dari HIV pada klinik Sehari-hari
Dampak epidemi HIV-AIDS tidak mudah ditanggulangi, adanya masalah
koinfeksi pada orang-orang yang terkena HIV dengan HCV, HBV, TB, serta penyakit
infeksi lainnya mendorong penanganan yang lebih komprehrensif. Koinfeksi tidak
saja dapat memperburuk status kesehatan orang dengan HIV, juga HIV itu sendiri
mempercepat situasi dampak buruk infeksi lainnya.
Trend HIV meningkat karena waktu terinfeksi dan progresi menjadi AIDS
menjadi dapat diprediksi. Saat ini telah dikembangkan algoritme uji terbaru HIV
seroconversi (STARHS) yang merupakan cara untuk menganalisa sampel HIV positif
untuk menentukan apakah infeksinya baru terjadi atau sudah berjalan. Umumnya
tenaga profesi kesehatan di Indonesia belum siap menghadapi epidemi HIV dengan
problema koinfeksinya, sehingga diperlukan peningkatan kompetensi dokter Indonesia
dalam mengenali dan menangani koinfeksi HIV dengan pathogen lainnya. Selain itu
penularan HIV semakin meluas ke pasangan seksnya (isteri) dan anaknya.
7. Tren Pengidap HIV/AIDS Usia Produktif Terus Meningkat
Tren pengidap HIV AIDS pada populasi usia produktif 15-59 tahun, dari tahun-
tahunnya mengalami peningkatan. Pada tahun 2008 ODHA dengan usia 15-49 tahun
sebanyak 277.700 orang, dan pada tahun 2014 jumlah tersebut diperkirakan akan
meningkat sampai 501.400 orang. Demikian dikatakan Dyah Erti Mustikawati,

15
Kasubdit AIDSPMS Departemen Kesehatan, di Jakarta, Kamis (9/7). Peningkatan
tersebut diakibatkan karena remaja saat ini semakin banyak yang melakukan perilaku
berisiko, seperti seks bebas. Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada siswa kelas 2
SMU di Jakarta dan Surabaya, 14, 6 persen dari 1000 siswa yang diteliti pernah
melakukan hubungan seksual. Remaja laki-laki lebih banyak ketimbang remaja
perempuan, dan jumlahnya juga lebih banyak di Surabaya, ujarnya. Tak hanya
perilaku seks bebas, meningkatnya pengguna narkoba terutama yang menggunakan
jarum suntik, ternyata juga berpengaruh pada peningkatan jumlah ODHA diusia
produktif.
Dari data yang dipunyai Depkes 50 persen pecandu narkoba yang
menggunakan jarum suntik dia pasti terinfeksi HIV. Meningkatnya jumlah tersebut,
kata Dyah, merupakan kondisi yang memprihatinkan dan tidak dapat didiamkan. Jika
pada umur 15 orang sudah mengidap AIDS, berarti sejak umur 10 tahun penderita
tersebut sudah menyimpan virus HIV di dalam tubuhnya. Pasalnya perlu waktu 5
tahun bagi virus HIV berkembang menjadi AIDS. Itu berarti semenjak kecil mereka
telah terinfeksi virus mematikan itu, ujarnya.
Jika tren tersebut terus berkembang, Dyah mengkhawatirkan akan terjadi
missing link dan kualitas moral generasi penerus semakin menurun. Agar angka
tersebut tidak terus meningkat, maka kelompok muda sekarang harus menjadi
perhatian. Kesadaran akan bahaya HIV AIDS di lingkungan masyarakat juga harus
digalakan melalui berbagai penyuluhan, sarannya.
8. Peran Perawat
Peran seorang perawat dalam mengurangi beban psikis seorang penderita AIDS
sangatlah besar. Lakukan pendampingan dan pertahankan hubungan yang sering
dengan pasien sehinggan pasien tidak merasa sendiri dan ditelantarkan. Tunjukkan
rasa menghargai dan menerima orang tersebut.
Hal ini dapat meningkatkan rasa percaya diri klien. Perawat juga dapat
melakukan tindakan kolaborasi dengan member rujukan untuk konseling psikiatri.
Konseling yang dapat diberikan adalah konseling pra-nikah, konseling pre dan
pascates HIV, konseling KB dan perubahan prilaku. Konseling sebelum tes HIV
penting untuk mengurangi beban psikis. Pada konseling dibahas mengenai risiko

16
penularan HIV, cara tes, interpretasi tes, perjalanan penyakit HIV serta dukungan
yang dapat diperoleh pasien. Konsekuensi dari hasil tes postif maupun negative
disampaikan dalam sesi konseling. Dengan demikian orang yang akan menjalani
testing telah dipersiapkan untuk menerima hasil apakah hasil tersebut positif atau
negatif.
Mengingat beban psikososial yang dirasakan penderita AIDS akibat stigma
negatif dan diskriminasi masyarakat adakalanya sangat berat, perawat perlu
mengidentifikasi adakah sistem pendukung yang tersedia bagi pasien. Perawat juga
perlu mendorong kunjungan terbuka (jika memungkinkan), hubungan telepon dan
aktivitas sosial dalam tingkat yang memungkinkan bagi pasien. Partisipasi orang lain,
batuan dari orang terdekat dapat mengurangi perasaan kesepian dan ditolak yang
dirasakan oleh pasien. Perawat juga perlu melakukan pendampingan pada keluarga
serta memberikan pendidikan kesehatan dan pemahaman yang benar mengenai AIDS,
sehingga keluarga dapat berespons dan memberi dukungan bagi penderita.
Aspek spiritual juga merupakan salah satu aspek yang tidak boleh dilupakan
perawat. Bagi penderita yang terinfeksi akibat penyalahgunaan narkoba dan seksual
bebas harus disadarkan agar segera bertaubat dan tidak menyebarkannya kepada orang
lain dengan menjaga perilakunya serta meningkatkan kualitas hidupnya. Bagi seluruh
penderita AIDS didorong untuk mendekatkan diri pada Tuhan, jangan berputus asa
atau bahkan berkeinginan untuk bunuh diri dan beri penguatan bahwa mereka masih
dapat hidup dan berguna bagi sesama antara lain dengan membantu upaya pencegahan
penularan HIV/AIDS.
9. Komentar Kelompok
Menurut pendapat kami penyakit HIV/AIDS ini sudah tidak asing lagi
dikalangan masyarakat. Hal ini sangat memprihatinkan terutama bagi kalangan
remaja. Banyak sekali penyakit ini ditimbulkan karena pergaulan bebas misal : seks
bebas, pecandu narkoba yang penggunaannya melalui intravena/penggunaan jarum
suntik secara bergantian. Tetapi ada juga yang terjangkit penyakit ini bukan karena
kesalahannya sendiri,tetapi karena tertular dengan tidak sengaja dan tanpa
sepengetahuan si penderita itu misal : transfusi darah yang tercemar oleh virus HIV.
Tetapi dari berbagai sumber, diketahui bahwa peyimpangan seks telah banyak

17
menjerumuskan seseorang pada jaman sekarang apalagi di kota-kota besar.
Seharusnya pendidikan seks bebas di sosialisasikan sejak dini melalui penyuluhan-
penyuluhan agar seseorang mengetahui akibat yang terjadi bila mereka melakukannya.
Hal tersebut dilakukan supaya mereka tidak salah mendapatkan informasi.
Namun kita tidak perlu mengucilkan atau menghindari oang-orang yang telah
mengidap penyakit ini,karena sebenarnya penyakit ini tidak dapat ditularkan lewat
bersalaman,berpelukan,penggunaan alat-alat rumah tangga, dan lain-lain. Namun
penyakit ini hanya bisa hidup di 4 tempat yaitu:darah,cairan vagina,semen, dan air
susu ibu. Jadi masyarakat tidak perlu khawatir jika bergaul dengan si pengidap HIV.
Oleh karena itu, menurut kami penting sekali diberikan sosialisasi berbagai bentuk
informasi tentang virus HIV/AIDS ini kepada para penerus bangsa khususnya anak-
anak muda Indonesia.

18
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Setelaah meleaah materi diatas dapat kami simpulkan bahwa banyak trend isu
keperawatan gangguan imunologi pada orang dewasa yang muncul saat ini misanya HIV
Seorang yang terinfeksi HIV dapat tetap sehat bertahun-tahun tanpa ada tanda fisik atau
gejala infeksi. Orang yang terinfeksi virus tersebut tetapi tanpa gejala adalah HIV-positif
atau mempunyai penyakit HIV tanpa gejala. Apabila gejala mulai muncul, orang disebut
mempunyai infeksi HIV bergejala ataupenyakit HIV lanjutan.
Ada pula yang gangguan imunologi lainnya yaitu Sekali kita dianggap AIDS,
berdasarkan gejala dan/atau status kekebalan, kita dimasukkan pada statistik sebagai
kasus, dan status ini tidak diubah walau kita menjadi sehat kembali. Oleh karena itu,
istilah AIDS tidak penting buat kita sebagai individu. Sekali kita dianggap AIDS,
berdasarkan gejala dan/atau status kekebalan, kita dimasukkan pada statistik sebagai
kasus, dan status ini tidak diubah walau kita menjadi sehat kembali. Oleh karena itu,
istilah AIDS tidak penting buat kita sebagai individu. Tren Kasus AIDS di 33 Provinsi
dari Tahiun 2000-2009.Apabila dilihat berdasarkan jenis kelamin, kasus AIDS dilaporkan
banyak ditemukan pada laki-laki yaitu 74,5%, sedangkan pada perempuan 25% (Depkes,
2009).

B. Saran
Mengingat begitu kompleksnya masalah yang ditemukan akibat dari penyakit
system imun , maka diharapkan kepada seluruh pihak-pihak medis terkait dapat
memperhatikan kondisi atau gejala-gejala dari penyakit ini serta dapat segera melakukan
pembangunan yang tepat dalam memberikan terapi dan pengobatan yang bagi pasien yang
terserang penyakit tersebut. Kepada pihak rumah sakit diharapkan untuk lebih
meningkatkan mutu dan kualitas dari pelayanan kesehatan yang telah ada untuk
memudahkan dalam penanganan kasus tersebut.

19
DAFTAR PUSTAKA

Bobak, K. Jensen, 2005, Perawatan Maternitas. Jakarta. EGC

Elly, Nurrachmah, 2001, Nutrisi dalam keperawatan, CV Sagung Seto, Jakarta.

Depkes RI. 2000. Keperawatan Dasar Ruangan Jakarta.

Engenderhealt. 2000. Infection Prevention, New York.

JHPIEGO, 2003. Panduan Pengajaran Asuhan Kebidanan, Buku 5 Asuhan Bayi Baru Lahir
Jakarta. Pusdiknakes.

JNPK_KR.2004. Panduan Pencegahan Infeksi Untuk Fasilitas Pelayanan Kesehatan Dengan


Sumber Daya Terbatas. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo.

Johnson, Ruth, Taylor. 2005. Buku Ajar Praktek Kebidanan. Jakarta. EGC.

Kozier, Barbara, 2000, Fundamental of Nursing : Concepts, Prosess and Practice : Sixth
edition, Menlo Park, Calofornia.

Potter, 2000, Perry Guide to Basic Skill and Prosedur Dasar, Edisi III, Alih bahasa Ester
Monica, Penerbit buku kedokteran EGC.

http://dokumen.tips/documents/tren-isu-sistem-imun-pada-dewasa.html

20

Anda mungkin juga menyukai