Anda di halaman 1dari 4

IA_ASSEL_TOPIK 1_PUTU MIA_071511233021

Enam Prinsip Kebijakan Luar Negeri Kautilya

Hubungan Internasional sebagai disiplin ilmu tentu memiliki berbagai macam pandangan dalam
melihat fenomena dunia yang sedang terjadi. Kawasan Asia Selatan memiliki pandangannya
tersendiri dalam memandang bagaimana seharusnya kebijakan luar negeri terbentuk pada saat era
kuno yang bertujuan menguasai dunia. Karya sastra milik Kautilya yang merupakan seorang
menteri dan penasehat politik dari Chandragupta Maurya yang mampu menyatukan India dan sub-
kontinennya menjadi imperium sekitar 300 SM dimana doktrinnya terkait kebijakan luar negeri
saat itu telah sejalan dengan keinginan dan ambisi raja untuk menjadi penguasa dunia. Kautilya
dalam karyanya memaparkan wisdom India kedalam bentuk praktis yang bisa dijalankan oleh para
raja pada saat itu. Pandangannya dalam melihat entitas saat itu cenderung bersifat realis dimana
dunia perpolitikan dianggap brutal, tidak bermoral dan kejam dalam mencapai kesejahteraan
subjeknya. Arthasastra sendiri dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa: (1) keberlangsungan
negara berarti berasal dari keamanan internal dan kesejahteraan umum subjek berdasarkan pada
hukum dan tatanan pemerintahan yang baik; dan (2) perluasan akuisisi teritori negara dari yang
lainnya melalui kode dari kebijakan luar negeri (Karad 2015, 323). Pada pembahasan kali ini,
penulis akan menjelaskan enam prinsip kebijakan luar negeri menurut Kautilya dalam bukunya
Arthasastra.

Lingkaran dari suatu negara berasal dari enam kebijakan negara atau shadguna sidhanta yang
terdiri dari perdamaian atau sadhi, perang atau vigraha, menjadi netral atau asana, bergerak maju
atau yana, beraliansi atau samsraya, serta bertindak untuk berdamai atau melancarkan perang
(Kautilya t.t, 370). Keenam kebijakan luar negeri ini merupakan rumusan dari suatu kepentingan
nasional dan tujuan entitas dalam lingkup internasional berdasarkan pada realitas politiknya yang
bertujuan untuk menguasai dunia. Bentuk dari kebijakan tersebut seperti persetujuan berdasarkan
perjanjian adalah perdamaian, operasi yang ofensif adalah pemicu perang, ketidaksamaan adalah
netralitas, membuat persiapan adalah maju kedepan, mencari perlindungan dari yang lainnya
adalah aliansi, membuat perdamaian dengan yang lain sekaligus melancarkan perang merupakan
dua kebijakan atau dvaidhibhawa. Seorang pemimpin atau raja harus bisa membaca situasi dimana
ia harus mundur, menjadi stagnan, serta berprogres melalui pengadopsian dari keenam kebijakan
tersebut. Ketika prediksi hasil dari keputusan dalam memilih damai dan berperang itu berkarakter
sama, maka dianjurkan untuk memilih berdamai karena jika memilih untuk berperang maka
IA_ASSEL_TOPIK 1_PUTU MIA_071511233021

kerugiannya cukup banyak seperti kehilangan kekuatan dan kekayaan, tidak ada tempat tinggal
tetap, serta dosa (Kautilya t.t, 374).

Pertama, sandhi atau kebijakan untuk membuat perjanjian yang berdasar pada kondisi dan syarat
tertentu. Prinsip umumnya adalah ketika ia lebih lemah dari oponennya, maka yang ditawarkan
adalah berdamai. Saat berdamai, kebijakan ini menyarankan ia yang lemah berusaha untuk
mencari momentum agar memperkuat diri dalam melawan oponen yang kuat kedepannya. Kedua,
vigraha atau kebijakan oposisi yang mana beranggapan bahwa jika ia lebih kuat dari oponen, maka
kebijakan ini bisa digunakan. Terdiri dari dua bagian, yakni defensif dan ofensif. Ketiga, asana
atau kebijakan untuk tetap diam dan tidak berusaha untuk maju kedepan. Kebijakan ini berada
dalam keadaan menunggu dan berharap bahwa oponennya bisa berubah menjadi lebih lemah atau
menemukan dirinya dalam kesulitan. Secara alami kebijakan ini beriringan dengan kebijakan
sandhi, tapi bisa berkolaborasi dengan kebijakan vigraha (Karad 2015, 329).

Keempat, yana atau kebijakan untuk bergerak maju yang mana kebijakan ini lebih eksplisit dari
kebijakan-kebijakan sebelumnya karena ia berkekuatan lebih kuat dari oponennya. Kebijakan ini
menawarkan untuk bekerjasama ekspedisi yang berdasar pada pembagian keuntungan. Kelima,
sansraya atau kebijakan untuk mencari perlindungan dengan raja lainnya. Kebijakan ini
direkomendasikan untuk ia yang lemah dan sedang diserang atau diancam akan diserang oleh
oponen yang kuat. Hal yang bisa dilakukan adalah mencari perlindungan dibawah raja atau
benteng, jika tidak, maka ia yang lemah harus mengaku kalah serta waspada untuk mencari
momentum dalam memberikan serangan balik. Terakhir, dvaidhibhava atau double policy yang
dilakukan pada satu raja serta vigraha dengan raja lainnya sekaligus. Kebijakan ini memiliki tujuan
ganda yang mengacu pada raja yang kekuatannya setara dengan oponennya dan ia tidak bisa
memenangkan perang tanpa ada bantuan dari aliansinya (Karad 2015, 330).

Membuat aliansi sendiri harus memilih raja yang sekiranya lebih kuat dari raja oponen, harus bisa
mengambil hati anggota oponen melalui pemberian dana atau tenaga militer, atau juga
memberikan sebagian wilayah teritorinya yang dijaga dari jauh. Sehingga tidak ada kekuatan yang
mendominasi dari aliansi yang terdiri dari raja yang berkonsiderasi penuh dalam memiliki
kekuatan, kecuali jika salah satu diantaranya mulai bergerak untuk menyerang. Raja yang kurang
memiliki kekuatan seharusnya bergerak seolah-olah ia adalah raja yang ditaklukkan, dan jika ia
menemukan momentum didekat musuhnya, ia bisa membunuhnya ketika ada kesempatan. Raja
IA_ASSEL_TOPIK 1_PUTU MIA_071511233021

yang berada dalam dua raja yang kuat, seharusnya meminta perlindungan dari salah satu yang
paling kuat, lalu ia bisa mengadu domba kedua raja yang bisa memicu pertikaian yang berujung
pada keruntuhan kedua raja ini (Kautilya t.t, 376). Keadaan asimetris sering muncul dalam
peperangan dimana ukurannya dapat dilihat dari segi kekuatan negara itu sendiri, dimana
pembagiannya biasanya berupa negara dengan kekuatan sama atau superior, serta negara inferior.
Perjanjian untuk berdamai seharusnya dibuat dengan raja yang memiliki kekuatan sama atau
diatasnya, sedangkan raja inferior seharusnya diserang saja (Kautilya t.t, 377). Jika raja superior
menolak keinginan raja inferior untuk berdamai, maka yang terakhir harus mengambil sikap dari
raja yang ditaklukkan, atau memiliki peran secukupnya untuk raja inferior. Akan tetapi, jika raja
inferior tersebut selalu tunduk terhadap raja superior, maka tidak seharusnya diserang.

Netralitas atau asana atau bergerak kedepan setelah memutuskan untuk berperang atau berdamai
yang memiliki arti sama dengan sthana atau diam atau berusaha untuk mempertahankan suatu
kebijakan tertentu, asana atau menyerah dari permusuhan demi mempertahankan suatu
kepentingan tertentu, serta uphekshana atau tidak melakukan apapun terhadap oponen (Kautilya
t.t, 382). Saat kebijakan untuk tetap diam setelah melakukan perang dirasa produktif, maka ia
seharusnya tetap diam setelah menyatakan berdamai. Mereka yang sudah mempersiapkan diri
untuk diam setelah menyatakan perang, seharusnya ia secepatnya untuk menyerang oponennya
jika ia memiliki aliansi yang kuat atau akranda serta subjek yang loyal. Ketika ada keuntungan
yang memungkinkan, maka mereka harus maju dengan keuntungan yang dibagi, tetapi jika tidak
pasti, maka tidak ada pembagian yang pasti. Porsi dari pembagian keuntungan berdasar pada usaha
yang telah dibuat, pembagian dialokasikan kepada pemberi modal terbanyak. Taktik dalam
menjalankan keenam kebijakan dan merespon oponen adalah saman atau koalisi, dama atau
pemberian hadiah, bheda atau pertikaian, serta danda atau paksaan (Karad 2015, 330).

Berdasarkan pemaparan diatas dapat penulis simpulkan bahwa kawasan Asia Selatan terutama
India telah sedikit banyak berkontribusi dalam perjalanan studi Hubungan Internasional, salah
satunya dalam penjabaran atas rumusan kebijakan luar negeri suatu negara. Rumusan kebijakan
luar negeri milik Kautilya dengan shadguna sidhanta yang terdiri dari perdamaian atau sadhi,
perang atau vigraha, menjadi netral atau asana, bergerak maju atau yana, beraliansi atau samsraya,
serta bertindak untuk berdamai sekaligus melancarkan perang atau dvaidhibhava. Paparan yang
disampaikan Kautilya sendiri berawal dari wisdom asli India yang penulis lihat dalam buku
IA_ASSEL_TOPIK 1_PUTU MIA_071511233021

Arthasastra ini cukup filosofis untuk menjelaskan tindakan yang akan dilakukan negara. Penulis
berpendapat bahwa rumusan kebijakan luar negeri Kautilya yang dibuat saat era kuno saat itu
masih relevan sampai saat ini karena dalam penjelasan diatas dapat dilihat bahwa terdapat asumsi-
asumsi yang masih ada sampai sekarang, seperti struggle for power, kepentingan nasional, usaha
untuk mencari aliansi, serta pertikaian level internasional.

Referensi:

Karad, S. 2015. Perspectives of Kautilyas Foreign Policy: An Ideal of State Affairs. International
Journal of Humanities and Social Sciences. 2 (2), pp. 322-332.
Kautilya. t.t. Arthashastra. Diterjemahkan oleh: R. Shamasastry.

Anda mungkin juga menyukai