Anda di halaman 1dari 81

Bab I

Sumberdaya Alam dan Konservasi Sumberdaya Alam

1.1 Sumberdaya Alam dan Pemanfaatan Sumberdaya Alam


Sumberdaya adalah sesuatu yang memiliki nilai guna. Sumberdaya alam
adalah keseluruhan faktor fisik, kimia, biologi dan sosial yang membentuk
lingkungan sekitar kita. Hunker (1964 dalam Cutter, dkk, 2004) menyatakan
bahwa sumberdaya alam adalah semua yang berasal dari bumi, biosfer, dan
atmosfer, yang keberadaannya tergantung pada aktivitas manusia. Semua bagian
lingkungan alam kita (biji-bijian, pepohonan, tanah, air, udara, matahari, sungai)
adalah sumberdaya alam. Bagaimana keberadaan sumberdaya alam tersebut
sangat tergantung pada pilihan-pilihan bentuk pengelolaan yang dilakukan oleh
umat manusia. Biji, benih, pohon, air, udara, matahari, sungai, dikatakan
sumberdaya ketika kita mengetahui nilai gunanya. They are the neutral stuff that
makes up the world, but they become resources when we find utility in them
(Hunker, 1964).
Nilai guna atau manfaat suatu sumberdaya tergantung pada berbagai
konteks ekonomi, politik, dan budaya. Mari kita pahami bagaimana sumberdaya
ada/muncul, digunakan/dimanfaatkan, bahkan diperebutkan pada akhirnya. Cara
manusia memanfaatkan sumberdaya alam terus berkembang dari waktu ke waktu.
Diawali dengan cara berburu dan meramu sampai dengan pemanfaatan berbagai
teknologi terkini yang terus berkembang. Dari sekedar mencukupi kebutuhan
dasar pada periode waktu tertentu sampai dengan pemenuhan kebutuhan
melampaui kebutuhan dasar manusia, berikut penumpukan sumberdaya alam
untuk waktu yang tak terbatas. Lalu bagaimanakah manusia memandang alam
sebagai sumberdaya yang penting bagi kehidupannya?
Cara pandang manusia terhadap sumberdaya alam sangat mempengaruhi
kesadaran lingkungan dan cara kelola umberdaya alam yang dilakukannya.
Kesadaran lingkungan merupakan suatu proses mental yang membentuk
pengertian tertentu atas sumberdaya alam dan lingkungan sekitar kita. Setidaknya

1
ada lima faktor yang mempengaruhi penggunaan sumberdaya alam oleh manusia.
Kelima faktor tersebut adalah kondisi atau latar belakang budaya, cara pandang
terhadap sumberdaya alam, kondisi sosial, kelangkaan, serta faktor ekonomi dan
teknologi.
a. Latar belakang budaya
Dunia ini terdiri dari berbagai budaya, dan masing-masing memiliki sistem
nilai yang berbeda. Demikian pula pada budaya yang berbeda terdapat cara
menilai sumberdaya alam yangg berbeda pula. Kebiasaan dan tradisi pemanfaatan
sumberdaya alam oleh suatu masyarakat dengan budaya tertentu berbeda denan
kebiasaan dan tradisi masyarakat lainnya. Masing-masing memiliki pilihannya.
b. Cara pandang terhadap sumberdaya alam
Perbedaan paradigma atau ideologi dalam memandang sumberdaya alam
melahirkan perbedaan dalam pemanfaatan sumberdaya alam, pemikiran-
pemikiran tentang masa depan sumberdaya alam, dan pemanfaatan sumberdaya
alam oleh generasi yang akan datang. Setidaknya ada dua teori sosial tentang alam
(nature) atau lingkungan (environment) yaitu pendekatan naturalis (naturalist)
dan konstruksi sosial (social construstionist). Pendekatan pertama teori sosial
naturalis secara umum mengambil pandangan bahwa alam dan lingkungan
merupakan dunia eksternal dari masyarakat dan keberadaannya sebagai suatu
tatanan yang independen di luar masyarakat. Sementara itu pendekatan kedua,
teori konstruksi sosial melihat lingkungan dan alam sebagai konstruksi dari
masyarakat dan oleh karena itu analisis difokuskan pada hubungan internal dalam
masyarakat (Barry, 1999, dalam Awang, 2005). Masing-masing teori melahirkan
cara pandang yang berbeda dan pada akhirnya mempengaruhi pola pemanfaatan
sumberdaya alam yang dilakukan.
c. Kondisi sosial
Kondisi sosial mempengaruhi nilai dan pemanfaatan sumberdaya alam. Sistem
sosial (struktur sosial dan proses sosial di dalamnya) senantiasa berubah seiring
perjalanan waktu. Umur manusia bertambah, komposisi penduduk berubah,
kesejahteraan masyarakat terus berkembang, semua itu berkontribusi pada

2
dinamika kultural dalam masyarakat yang pada akhirnya mempengaruhi sistem
nilai dan pemanfaatan sumberdaya alam.
d. Kelangkaan sumberdaya alam
Semakin langka suatu sumberdaya, maka nilainya akan semakin bertambah. Ada
dua jenis kelangkaan sumberdaya alam yaitu kelangkaan absolut dan kelangkaan
relatif. Kelangkaan absolut (absolute scarcity) yaitu keberadaan sumberdaya alam
tertentu yang memang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sampai masa yang
akan datang. Kelangkaan relatif (relative scarcity) yaitu kelangkaan yang
disebabkan oleh distribusi ketersediaan sumberdaya alam yang tidak merata,
langka di suatu tempat namun berlimpah di tempat lain (fluktusi iklim, banjir,
kekeringan).
e. Faktor ekonomi dan teknologi
Faktor ekonomi dan teknologi mempunyai kolerasi dengan pengetahuan
dan kemampuan dalam mengeksploitasi sumberdaya alam. Teknologi
berhubungan dengan pengetahuan dan keterampilan dalam pemanfaatan
sumberdaya alam, ementara faktor ekonomi merujuk pada konsep pemberian nilai
(price) untuk sumberdaya tertentu, komersialisasi, dan komodifikasi sumberdaya
alam. Kesemua faktor tersebut pada akhirnya saling berhubungan dan saling
mempengarusi dalam dinamika pemaanfaatan sumberdaya alam oleh manusia.

3
Cara
pandang thd
SDA
Latar
Kondisi sosial belakang
budaya
Manusia/
pengguna
SDA
Teknologi & Kelangkaan
ekonomi SDA

Alam sumberdaya
(memiliki nilai guna)

Gambar 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan sumberdaya alam


oleh manusia

1.2 Klasifikasi Sumberdaya Alam


Ada berbagai cara mengklasifikasi sumberdaya alam. Diantaranya adalah
dengan berdasar pada bagaimana sumberdaya alam tersebut dapat terbarukan dan
siapa yang mendapatkan manfaat dari sumberdaya alam tersebut.

a. Perpetual resources : sumberdaya yang tersedia secara terus menerus.


Sumberdaya yang selalu tersedia tersebut adalah matahari

b. Renewable or flow resources : sumberdaya yang terbarukan. Misalnya :


hutan, air, sumberdaya perikanan.
c. Nonrenewable or stock resources : sumberdaya yang tidak terbarukan.
Misalnya : sumberdaya mineral
d. Potential resources : pada saat sekarang bukan merupakan sumberdaya,
namun di masa yang akan datang sangat memungkinkan menjadi
sumberdaya, tergantung pada perkembangan paradigma, faktor teknologi,
dan faktor ekonomi.
Tentu saja masing-masing sumberdaya alam tersebut menuntut bentuk
pemanfaatan yang berbeda. Bagi sumberdaya alam yang tak dapat diperbaharui,

4
misalnya minyak bumi, batu kapur, batu bara, emas dan sebagainya, cepat atau
lambat akan mengalami kepunahan/habis. Dalam kondisi seperti ini, tentunya
upaya konservasi yang dapat dilakukan adalah tindakan penghematan, agar
sumberdaya tersebut tidak habis dan dalam waktu yang sangat cepat, atau harus
selalu dipikirkan untuk mencari alternatif penggantinya (substitusinya). Sedang
bagi sumberdaya alam yang dapat diperbaharui, misalnya hutan, tanaman
pertanian, ikan, terhak dan sebagainya, kesinambungan pemanfaatannya dapat
dipertahankan, sepanjang kegiatan usahanya dilakukan secara bijaksana, yaitu
dengan cara melakukan kegiatan eksploitasi dengan kuantitas yang tidak pernah
melebihi batas kemampuan sumberdaya tersebut untuk pulih kembali (reversible).

1.3 Kerusakan Sumberdaya Alam


Upaya manusia beradaptasi dengan alam untuk survive serta keterbatasan
sumberdaya alam yang tersedia di antara besarnya kebutuhan manusia yang tak
terbatas pada akhirnya mendatangkan kerusakan dan penurunan kualitas
lingkungan. Hutan adalah salah satu contohnya. Sejak kebutuhan kayu oleh
manusia meningkat, pada saat itulah terjadi pengurasan hutan . Sebagai gambaran,
duapuluh tahun yang lalu, pengurasan hutan di dunia mencapai 200.000 250.000
km2 hutan tropika basah setiap tahunnya. Sementara itu, berkembangnya era
industrialisasi dan urbanisasi telah banyak merubah bentang alam, sehingga
menyebabkan semakin terdesaknya kawasan hutan karena digantikan oleh
tumbuhnya gedung ataupun konversi ke bentuk budidaya yang lain. Akibatnya,
semakin hari, semakin bertambah terjadinya krisis-krisis lingkungan yang pada
akhirnya akan memberikan efek negatif kepada manusia dan lingkungan hidup.
Krisis-krisis lingkungan, sebagai akibat tidak seimbangnya pemanfaatan
sumberdaya alam dengan pembangunan atau rehabilitasi pada akhirnya
melahirkan pemikiran untuk mengkonservasi sumberdaya alam. Banyak upaya
dilakukan antara lain dengan prinsip-prinsip mengurangi eksplorasi (reduce),
menggunakan kembali (reuse), mendaur ulang (recycle) memulihkan kembali
(recovery), serta memperbaiki kembali (reserve).

5
1.4 Konservasi Sumberdaya Alam
Pemikiran tentang konservasi, muncul ketika manusia merasakan
timbulnya krisis-krisis lingkungan, sebagai akibat tidak seimbangnya pemanfaatan
sumberdaya alam dengan pembangunan atau rehabilitasi. Kalau ditelusur sejarah
masa lalu, yaitu awal mula pemikiran dan komitmen untuk melakukan tindakan
konservasi, nampak bahwa sebetulnya di dalam corak budaya masyarakat sejak
masa lalu telah tertanam kearifan yang sebenarnya dapat diangkat menjadi modal
pengembangan konsep konservasi dari waktu ke waktu.
Salah satu pemahaman tentang konservasi sumberdaya alam adalah
penggunaan sumberdaya alam untuk kebaikan secara optimal, dalam jumlah yang
terbanyak dan untuk jangka waktu yang paling lama (Gifford Pinchot).
Konservasi sumberdaya alam bukanlah memelihara persediaan secara permanen,
tanpa pengurangan dan perusakan (tingkat penggunaan nol), namun diartikan
sebagai pengurangan atau peniadaan penggunaan karena lebih mengutamakan
bentuk penggunaan lain dalam hal sumberdaya alam itu memiliki penggunaan
yang bermacam-macam (multiple use resource) (Profesor Wantrup).
Konservasi dilandasi oleh suatu filosofi, bahwa sumberdaya alam hayati
dan ekosistemnya disediakan untuk mencukupi keperluan manusia di bumi, tidak
hanya manusia generasi sekarang namun juga generasi yang akan datang.
Konservasi juga dilandasi pemikiran teknis ilmiah, bahwa unsur-unsur
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya terdapat saling ketergantungan dan
saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya, sehingga kerusakan dan
kepunahan salah satu unsur akan berakibat terganggunya ekosistem yang
bersangkutan. Konservasi sumberdaya alam, secara umum diartikan sebagai
pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana (wise use).

1.5 Perkembangan Upaya Konservasi Sumberdaya Alam


Pada tahun 252 S.M. Raja Asoka dari India secara resmi mengumumkan
perlindungan satwa, ikan dan hutan. Peristiwa ini mungkin merupakan contoh
terawal yang tercatat dari apa yang sekarang disebut kawasan yang dilindungi.
Akan tetapi penetapan tempat suci sebagai daerah perlindungan keagamaan atau

6
taman baru yang eksklusif, belum lama berlangsung. Tradisi semacam ini sampai
sekarang masih berlangsung terus pada berbagai kebudayaan. Pada tahun 1084
Masehi misalnya, Raja William I dari Inggris memerintahkan penyiapan The
Domesday Book yaitu suatu inventarisasi tanah, hutan daerah penangkapan ikan,
areal pertanian, taman buru dan sumberdaya produktif milik kerajaan yang
digunakan sebagai dasar untuk membuat perencanaan rasional bagi pengelolaan
dan pembangunan negaranya.
Di Indonesia, pada jaman kolonial Belanda, onservasi sumberdaya alam
biasanya berhubungan dengan hal-hal mistis, misalnya larangan mengambil jenis
pohon tertentu atau batu tertentu, larangan memasuki kawasan tertentu seperti
gunung, rawa dan hutan tutupan. Selain itu terdapat prasasti yang menyebutkan
adanya pengaturan pengambilan hasil alam berupa kayu dan lain-lain, sehingga
alam tetap terkondisi dengan baik.
Sejarah mencatat, pada tahun 1714, Chastelein mewariskan dua bidang
tanah persil seluas 6 Ha di Depok kepada para pengikutnya guna sebagai cagar
alam, dimana tanah tersebut diharapkan tidak digunakan sebagai lahan pertanian
sebab keaslian dan kealamiannya tidak dapat digantikan dengan areal manapun.
Pada tahun 1889, didasarkan atas usulan direktur kebun raya (saat itu) Bogor,
kawasan hutan alam cibodas seluas 280 ha yang ditetapkan untuk penelitian flora
hutan pegunungan. Pada tahun 1912 didirikan perhimpunan perlindungan alam
hindia belanda oleh Dr. S.H. Koorders dkk, dimana melindungi beberapa kawasan
lindung di jawa, ambon, bengkulu, dan aceh. Pada tahun 1925 didirikan komisi
perlindungan alam internasional, dimana dalam komisi tersebut didesak untuk
membentuk cagar alam lebih besar dan luas lagi. Hingga pada saat itu kawasan-
kawasan perlindungan margasatwa yang cukup besar belum ditunjuk terutama di
Sumatra dan Kalimantan. Pada tahun 1931, peraturan perlindungan binatang-
binatang liar diundangkan dan berlaku di seluruh Indonesia. Sebagai tindak lanjut
dari ordonansi beberapa daerah di Sumatra ditetapkan sebagai suaka margasatwa,
berupa ekosistem rawa gambut, pegunungan tinggi, perbukitan dataran rendah. Di
Kalimantan juga di tetapkan sebagai suaka margasatwa, daerah lain yaitu: NTT
dan NTB.

7
Selama pendudukan jepang, kondisi perlindungan alam di Indonesia
terlantar. Setelah kemerdekaan upaya-upaya perlindungan alam dimulai kembali
sejak tahun 1947, yakni penunjukan Bali Barat sebagai suaka alam baru atas
prakarsa dari raja-raja Bali sendiri. Tahun 1950 jawatan kehutanan RI menunjuk
seorang pegawai yang khusus diserahi tugas untuk menyusun kembali urusan-
urusan perlindungan alam. Pada tahun 1952, di kebun raya bogor terbentuk suatu
badan yakni Lembaga Pengawetan Alam (LPA) yang merupakan bagian dari
pusat penyelidikan alam kebun raya Bogor. Sedangkan di Djawatan kehutanan,
urusan perlindungan alam berubah menjadi badan perlindungan alam (BPA) pada
tahun 1956. Pada tahun 1962 Menteri Pertanian dan Agraria menyerahkan LPPA
di kebun raya Kepada Djawatan Kehutanan dan digabungkan dengan BPA yang
kemudian berubah menjadi BPPA.
Pada tahun 1967 organisasi kehutanan berubah kembali setelah kementrian
kehutanan dihapus dan Ditjen kehutanan dibentuk, sehingga pengurusan
perlindungan dan pengawetan alam (BPPA) berada dibawah urusan Direktorat
Pembinaan Hutan. Pada tahun 1971 Direktorat PPA dibentuk, dimana tugas
pokoknya adalah membantu teknis untuk pembinaan cagar alam, suaka
margasatwa, taman wisata, taman buru, kebun binatang dan pengembangan
pariwisata. Sampai tahun 1980 pengelolaan taman nasional masih berada dibawah
Deptan, akan tetapi sejak tahun 1983 taman nasional dikelola dibawah Direktorat
Taman Nasional dan Hutan Wisata, akan tetapi tahun 1993 kembali dikelola
dibawah SubDirektorat Taman Nasional, lalu terakhir pada tahun 2000 dilakukan
oleh Balai Taman Nasional (BTN).

8
Bab II
Perkembangan Pemikiran Konservasi Sumberdaya Hutan

2.1 Konservasi dalam Wujud Aktifitas dan Konservasi dalam Wujud


Kawasan
Hutan merupakan salah satu sumberdaya hutan yang keberadaannya
sangat tergantung pada bagaimana manusia mengelolanya. Mengelola hutan
mengandung arti mengkonservasinya. Secara sederhana konservasi sumberdaya
hutan diartikan sebagai pemanfaatan sumberdaya hutan secara bijaksana (wise
use). Pemikiran konservasi diawali dengan diperkenalkannya prinsip kelestarian
hasil (sustainad yield principle), abad 19, oleh forester Jerman. Hal ini dilandasi
pemikiran bahwa sumberdaya alam yang telah dimanfaatkan oleh manusia dalam
kehidupannya perlu dihemat. Konservasi berasal dari kata to conserve yang
artinya memperlakukan sesuatu untuk tujuan pemanfaatan dalam jangka panjang.
The greatest good for the greatest number for the long time (Gifford Pinchot).
Konservasi sumberdaya alam dimaknai sebagai penggunaan sumberdaya alam
untuk kebaikan secara optimal, dalam jumlah yang terbanyak dan untuk jangka
waktu yang paling lama (Gifford Pinchot-forester Amerika). Aplikasi dari
pemikiran tersebut adalah pemanenen kayu yang tidak boleh melebihi riap.
Pada pemikiran tersebut, Gifford Pinchot menyatakan bahwa sesuatu baru
dianggap penting jika mempunyai nilai kegunaan (utility), sehingga dapat dinilai
harganya. Paham tersebut sering dikenal sebagai paham utilitarian conservation,
sedangkan para penganut paham ini disebut conservationist. Salah satu
sumberdaya alam yanng menjadi perhatian adalah hutan. Hutan dianggap berguna
semata-mata karena hutan dapat menghasilkan kayu yang mempunyai nilai
ekonomi pasar.
Pada perkembangan lebih lanjut, ternyata menilai manfaat hutan hanya
berdasar jenis/komoditas yang mempunyai nilai kegunaan saja membawa
konsekuensi kepunahan pada jenis-jenis yang yang belum diketahui manfaatnya.
Karena itulah kemudian berkembang filsafat konservasi yang bersumber pada

9
kesadaran moral manusia manusia untuk melindungi jenis-jenis yang belum
diketahui manfaatnya bagi manusia. Mereka yang memiliki pemikiran tersebut
dipahami sebagai penganut paham romantic transendental conservation. Selaras
dengan pemahaman tersebut, Islam juga mengamahkan kepada manusia bahwa
manusia adalah khalifattul fil ardh yang wajib berbuat adil kepada seluru
makhluk. Perkembangan paham ini membuat kepentingan pengetahuan,
pendidikan, keindahan, menjadi perhatian. Mereka yang menganut paham ini
disebut preservationist. Aliran ini mendorong munculnya kawasan-kawasan yang
sengaja disisihkan untuk dilindungi demi kepentingan diluar pemanfaatan secara
langsung.
Hutan ditata, dikelola untuk mengakomodasi kedua pemikiran. Hutan
dibedakan menjadi dua kawasan dengan fungsinya masing-masing yaitu kawasan
hutan produksi dan kawasan hutan konservasi. Kawasan hutan produksi dikelola
dengan prinsip-prinsip konservasi sementara kawasan hutan konservasi dikelola
dengan prinsip-prinsip preservasi.
Pada akhirnya prinsip utilitarian conservation dan romantic trancendental
conservastion/preservation semakin melebur. Terminologi conservation dapat
digunakan untuk mewakili keduanya. Konservasi diberlakukan di hutan produksi
maupun hutan konservasi dengan kaidah masing-masing sehingga konservasi
diwujudkan dalam dua bentuk yaitu konservasi yang berwujud aktifitas maupun
konservasi yang berwujud dalam perlindungan kawasan tertentu.
a. Konservasi sebagai aktifitas adalah wujud dari paham utilitarian
conservation, yang meliputi aktifitas :
- Sustained yield timber production
- Water conservation
- Soil conservation
- Genetic conservation, spesies conservation, dan lain sebagainya.
b. Konservasi sebagai kawasan adalah wujud dari paham preservationist,
yang meliputi perlindungan kawasan :
- Nature reserves
- Wildlife sanctuary

10
- National park
- Nature monument, dan lain sebagainya.

2.2 Perkembangan Paham Etika Lingkungan

Diskusi tentang konservasi sumberdaya alam, selalu berhubungan dengan


berbagai paham yang menjadi dasar berpijak sebagaimana telah disampaikan
sebelumnya. Banyak kasus lingkungan bersumber pada perilaku manusia yang
berarti bahwa krisis lingkungan dapat diselesaikan dengan perubahan perilaku
manusia. Perubahan perilaku manusia semestinya diawali dari individu dan
meluas ke masyarakat. Mengembangkan etika lingkungan menjadi bagian penting
dalam mengembangkan perilaku positif manusia terhadap lingkungannya.
Etika lingkungan perlu dipahami untuk mengembangkan perilaku baiik
individual maupun sosial yang ramah terhadap lingkungan. Selain itu juga untuk
mengembangkan sistem sosial dan politik yang ramah lingkungan untuk
mengambil kebijakan yang ramah lingkungan pula. Membahas masalah-masalah
di bidang pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan dari perspektif etika
terkait dengan pertimbangan-pertimbangan tentang apa yang harus kita lakukan
serta bagaimana kita mesti bertindak dalam kontek pengelolaan sumberdaya alam.
Etika sering dikaitkan dengan moral. Secara etimologis etika berasal dari
Bahasa Yunani yaitu dari kata ethos (jamak : ta etha) yang artinya adat istiadat
atau kebiasaan. Demikian juga moral yang berasal dari Bahasa Latin yaitu dari
kata mos (jamak : Mores) yang artinya adat istiadat atau kebiasaan.
Etika/moral dapat diartikan sebagai kebiasaan hidup yang baik, tata cara hidup
yang baik, baik pada diri seseorang atau masyarakat.
Proses/kebiasaan hidup yang baik ini dianut dan diwariskan dari satu
generasi ke generasi yang lain. Kebiasaan yang baik ini dilakukan dalam bentuk
kaidah , aturan atau norma yang disebar luaskan , dikenal, dan diajarkan secara
lisan dalam masyarakat. Kaidah ,aturan atau norma berisi aturan tentang yang baik
dan yang buruk. Sesuatu yang baik harus dijalankan dan yang buruk harus
ditinggalkan. Kaidah, aturan atau norma bertujuan untuk menjaga dan

11
melestarikan nilai nilai tertentu yang terdapat dimasyarakat untuk dicapai dalam
hidup ini.
Dalam pengertian yang berbeda, etika memiliki arti lebih luas dari moral.
Etika adalah refleksi kritis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak
dalam situasi kongkret, situasi khusus tertentu. Moral berkaitan dengan kajian
filsafat tentang benar dan salah, tentang bagaimana bertindak dalam situasi
kongkret, sementara situasi kongkret tersebut terkadang merupakan sesuatu yang
dilematis. Mempertimbangkan benar dan salah saja tidak cukup untuk
menentukan pilihan. Memilih salah satu terkadang melanggar yang lain. Dalam
kondisi demikian etika dan moral dalam pengertian sama tidak lagi memadai.
Oleh sebab itu etika dimaknai sebagai refleksi kritis untuk menentukan pilihan,
menentukan sikap dan bertindak secara benar sebagai manusia. Refleksi kritis
tersebut mencakup refleksi kritis tentang norma dan nilai (yang kita anut),
refleksi kritis tentang situasi khusus yang kita hadapi dengan segala keunikan dan
kompleksitasnya, refleksi kritis tentang berbagai paham yang dianut oleh manusia
atau kelompok masyarakat tentang apa saja (tuhan, alam, sistem sosial, sistem
politik, dan lain sebagainya). Ada tiga teori dalam memahami konsep etika yaitu
Etika deontologi, Etika teleontologi, dan Etika keutamaan.
a. Etika Deontologi
Teori ini berasal dari kata Deon (Bahasa Yunani ) yang artinya kewajiban
dan Logos yang berarti ilmu. Deontologi artinya ilmu yang membahas tentang
bagaimana kita melaksanakan kewajiban kewajiban yang harus dilaksanakan
dalam kehidupan ini. Kita wajib berbuat adil , tolong menolong sesama, jangan
mencurangi sesama. Etika deontologi tidak memikirkan akibat dari suatu tindakan
karena yang lebih penting adalah melaksanakan kewajiban. Menurut teori Kant
ada 3 (tiga) prinsip dalam melaksanakan tindakan ini ,yaitu universalitas, sikap
hormat kepada orang lain, serta tindakannya otonomi.
b. Etika Teleontologi
Teori ini berasal dari kata Telos (Bahasa Yunani) yang berarti tujuan dan
Logos yang berarti ilmu atau teori. Etika teleontologi ini enyatakan bahwa
manusia dalam melaksanakan suatu tindakan perlu mempertimbangkan akibat

12
atau tujuan dari tindakan tersebut. Etika teleologi merupakan suatu teori yang
mempelajari tentang tujuan apa saja yang mungkin timbul sebagai akibat dari
suatu tindakan.Dasar obyektif dari suatu tindakan mempunyai kriteria manfaat
yang lebih banyak dibanding dengan tindakan lain serta memiliki manfaat paling
besar dibanding dengan tindakan tindakan yang lainnya. Manfaat ini utamanya
adalah manfaat bagi manusia. Etika teleologi menghasilkan paham utilitarisme.
Keunggulan paham utilitarirsme adalah: rasional, menghargai kebebasan
individu, dan mengutamakan orang banyak.
c. Etika Keutamaan
Teori etika ini tidak mempersoalkan akibat suatu tindakan ,dan tidak mendasarkan
penilaian moral /kewajiban. Suatu tindakan dianggap baik jika tujuannya baik.
Menurut etika keutamaan ini tindakan bermoral tidak dinilai hanya sesaat , tetapi
kenyataan seluruh hidupnya.
Perkembangan etika lingkungan ditandai oleh tiga paham etika lingkungan
yang paling mendasar yaitu shallow environmental ethics atau antroposentrisme ,
intermediate environmental ethic atau biosentrisme, serta deep ecology atau
ekosentrisme. Perilaku manusia yang memandang bahwa kepentingan manusia
merupakan pertimbangan utama dalam memanfaatkan alam atau lingkungan
disebut dengan shallow environmental ethics atau antroposentrisme. Perilaku
manusia yang menempatkan makhluk hidup sebagai pertimbangan utama dalam
memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan disebut dengan intermediate
environmental ethic atau biosentrisme. Perilaku manusia yang memandang
seluruh unsur lingkungan (abiotic,biotic dan culture) harus mendapatkan
pertimbangan disebut deep ecology atau ekosentrisme. Perkembangan paham
etika lingkungan tersebut melalui tahap sebagai berikut:
a. Tahap I
Pada mulanya, etika hanya berlaku bagi manusia khususnya kulit putih bahkan
hanya laki-laki. Pada tahap ini ditandai dengan perbudakan, penindassan
perempuan, bahkan etika tidak diberlakukan pada manusia kulit berwarna. Pada
tahap ini rasisme atau androsentrisme berkembang.

13
b. Tahap II
Pada tahap ini, manusia mulai disadarkan untuk memkberlakuan etika
kepada semua manusia yang ditandai dengan adanya deklarasi universal hak asasi
manusia (HAM). Tahap 1 dan 2 disebut sebagai antroposentrisme, spesiesisme,
mengunggulkan manusia saja. Anthroposentrisme adalah teori etika lingkungan
yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Manusia dan
kepentingannya yang paling menentukan dalam tatanan dan dalam kebijakan yang
diambil. Pandangan ini menghadirkan argumen :
- Manusia diberi hak untuk memanfaatkan sumberdaya alam dan
lingkungan
- Didalam rantai makanan manusia berada pada puncak yang paling tinggi .
Didalam ekologi dikenal adanya konsumer primer ,sekunder dan
seterusnya. Manusia merupakan konsumer tertinggi
- Instrumentalistik etika antroposentris : Kesejahteraan manusia tergantung
dari lingkungannya.Meskipun manusia boleh memanfaatkan lingkungan
tetapi harus melestarikannya.
- Karena manusia berakal maka makluk hidup lainnya yang tidak berakal
dapat dimanfaatkannya.
Posisi dan argumen moral dari paham ini meliputi :
- Prudential arguments : yang menekankan pada , bahwa manusia
kelangsungan hidup dan kesejahteraannya tergantung pada kelestarian dan
kualitas lingkungan . Meskipun teori antroposentris memisahkan manusia
dari alam tetapi tidak bisa mengingkari kenyataan ekologis bahwa ada
keterkaitan dengan alam. Dengan demikian manusia memiliki kepentingan
untuk melestarikan lingkungan dalam rangka mempertahankan hidupnya
sendiri.
- Theological arguments: manusia di dalam ajaran agama memang
diperintah untuk memanfaatkan alam tetap sebatas tidak merusak alam itu.

14
- Conservation arguments: manusia mempunyai tanggung jawab dan
kewajiban moral untuk melayani, menjaga, dan melindungi semua makluk
yang ada dalam kekuasaaannya
Pemikiran Anthroposentris melahirkan perdebatan dan pertanyaan atas dasar
apakah hanya manusia yang pantas diperlakukan secara moral? Para pembela
paham ini menyatakan bahwa hanya manusia yang mempunyai kemampuan akal
budi dan kehendak bebas untuk melakukan pilihan moral, sementara spesies lain
tidak. Namun dibantah dengann pendapat : Jika manusia adalah pelaku moral
mengapa hanya manusia yang pantas menjadi subjek moral dan diperlakukan
secara moral? Perdebata ini memunculkan pemikiran baru yang memandang
bahwa tidak hanya manusia yanng patut diperlakukan secara moral, namun juga
makhluk hidup lain di bumi ini.

c. Tahap III
Pada tahap ini tuntutan pentingnya komunitas biotis dan ekologis juga
diperlakukan sebagai komunitas moral semakin kuat dan lahirlah Etika
Biosentrisme serta Ekosentrisme. Biosentrisme merupakan teori yang
menempatkan makhluk hidup selain manusia juga memiliki nilai.
Nilai ini sangat berharga bagi diri makhluk hidup yang bersangkutan. Nilai ini
lepas dari kepentingan manusia. Yang dibela dalam teori ini adalah kehidupan.
Teori ini mendasarkan moralitas pada kehidupan entah pada manusia atau mahluk
didup yang lainnya. Maka etika berfungsi untuk menuntun manusia untuk
bertindak secara baik demi menjaga dan melindungi kehidupan tersebut.
Ekosentrisme merupakan kelanjutan dari biosentrisme. Etika ekosentrisme
,memusatkan etika pada seluruh komponen ekologis ( baik yang hidup maupun
mati ). Teori etika lingkungan ekosentrisme saat ini dikenal dengan teori Deep
Ecology. Arnes Naess (1973) seorang ahli filsuf Norwegia
memperkenalkanpertama kali istilah Deep Ecology. Gerakan yang dilakukan
kemudian Deep Ecology X Shallow Ecology. Pusat perhatian dalam etika deep
ecology adalah seluruh makhluk hidup yang ada bukan terpusat pada manusia.
Deep Ecology merupakan suatu filsafat yang disebut ecosophy. Arti filsafat

15
Ecosophy : Eco artinya rumah tangga, sophy artinya ilmu yang menghadirkan
kearifan. Di dalam lingkungan hidup sophy tidak hanya sekedar sebuah ilmu
tetapi sebuah kearifan , cara hidup yang menghadirkan perilaku yang arif
sehingga tidak merusak lingkungan. Naes mengembangkan deep ecology sebagai
gerakan dan membentuk Ekologisme. Deep ecology suatu teori normatif /teori
kebijakan atau teori gaya hidup. Deep ecology sebagai teori normatif karena
mempunyai cara pandang normatif yang melihat bahwa alam semesta dan semua
isinya bernilai pada dirinya sendiri.
Deep ecology menjadi suatu gerakan untuk medorong orang orang agar
mempunyai sikap dan keyakinan yang sama untuk hidup selaras dengan alam.
Deep ecology sebagai gerakan internasional bermula dari Rachel Carson (1962)
melalui buku yang ditulisnya dengan judul : Silent spring. Sebagai suatu gerakan
maka ada 3 aspek meliputi : Platform aksi Deep Ecology, Prinsip prinsip
perjuangan etika lingkungan, serta bagaimana Deep ecology menyikapi issue
utama di bidang lingkungan.
Platform Deep Ecology meliputi :
1. Kesejahteraan manusia dan makhluk hidup yang lain tergantung pada
nilainya masing masing
2. Kekayaan dan keanekaan bentuk bentuk kehidupan mempunyai
sumbangsih bagi mewujudkan nilai
3. Manusia tidak mempunyai hak untuk mereduksi kekayaan dan
keanekaragaman alam
4. Perkembangan kehidupan manusia dan makhluk hidup lain berjalan
seiring
5. Campur tangan manusia terhadap alam sudah terlalu buruk perlu dikurangi
atau dihentikan
6. Perlu perubahan kebijakan
7. Perubahan idealogigis menyangkut penghargaan terhadap kualitas
kehidupan

16
8. Orang orang yang telah menerima pemikiran deep ecology mempunyai
kewajibana secara langsung untuk ikut ambil bagian dalam
memperjuangkan perubahan ini.

17
Bab III
Kepemilikan Sumberdaya Alam

Pada Desember 1968, sebuah artikel berjudul The Tragedy of Commons


yang ditulis olleh Garret Hardin memberikan pemikiran baru dalam konsep
pengelolaan sumberdaya alam. Artikel tersebut disampaikan dalam materi ini.
Artikel tersebut menyampaikan sebuah tragedi atau kemunduran kualitas
dan makna sumber daya yang menjadi milik umum, seperti ruang di sepanjang
jalan, sungai, danau, jalur hijau, pantai laut, padang rumput, dan sebagainya.
Tidak seorang pun sendirian memilikinya (milik umum) siapa saja yang
memerlukan akan mengambilnya tanpa bertanggung jawab dalam mengelola,
menata atau mengaturnya dengan baik. Kerusakan sumber daya alam karena tidak
adanya kepemilikan, sehingga hampir semua orang menjadi penumpang gratis
yg merasa memiliki dan boleh menggunakan sumberdaya tersebut. Akibatnya,
semua orang benjadi penyebab rusaknya sumberdaya tersebut.
Sumberdaya alam tersedia untuk kebutuhan bersama. Kerusakan alam
berdampak bagi semua manusia dan juga makhluk lainnya. Artikel tersebut
menyampaikan bahwa engambil keuntungan pribadi dapat merugikan orang lain.
Lalu siapa yang menjamin bahwa sumberdaya yang ada dapat memberikan
keuntungan bagi semua? Pada akhirnya diperlukan suatu konsep kepemilikan
yang mampu memberikan tanggung jawab atas keberlanjutan suatu sumberdaya
alam. Pertanyaan lebih lanjut, siapakah yang mestinya bertanggung jawab?
Pribadi atau negara? Dalam setiap manfaat yang kita ambil dari suatu sumberdaya
alam, ada harga yang harus kita bayar. Namun bagaimana dengan yang tidak
mampu? Siapa yang mensubsidi? Pertanyaan-pertanyaan tersebut melahirkan
perlunya aturan tentang akses terhadap sumberdaya alam, apa saja yang dapat
dilakukan pada sumberdaya tersebut, serta siapa saja yang harus dilibatkan?
Sebagai dasar untuk membangun sistem pengelolaan sumberdaya alam,
maka sumberdaya alam dikategorikan menjadi tiga kepemilikan yaitu milik

18
negara (state property), milik komunal (communal property), dan milik pribadi
(private property) (Usman, 2004:14 ). Dalam konsep pemilikan negara, semua
sumberdaya alam dikontrol oleh pemerintah dan diatur melalui peraturan dan
perundang-undangan yang dikeluarkan berdasar otoritas yang dimiliki.
Kepemilikan komunal, sumberdaya alam dikontrol oleh kelompok etnik tertentu
atas dasar hukum adat yang berlaku dalam masyarakat. Dalam kategori milik
pribadi, sumberdaya alam dikontrol oleh perorangan atau korporasi. Rujukan
formal penguasaan sumberdaya alam di indonesia berdasar pada Pasal 33 ayat (3)
UUD 1945 meskipun rujukan konstitusional ini mengundang berbagai tafsir dan
pemahaman. Pesan implisit dari konstitusi ini adalah bahwa sumberdaya alam
termasuk hutan merupakan barang publik.

19
Bab IV
Perspektif Ekologi dan Ekonomi Konservasi Sumberdaya Hutan

Perspektif ekonomi dan ekologi selalu menjadi kajian menarik ketika


keduanya dihadapkan pada persoalan pentingnya konservasi sumberdaya hutan.
Kegiatan konservasi sering dianggap sebagai beban pembangunan, karena lebih menuntut
biaya daripada pendapatan. Kondisi seperti ini menyebabkan kegiatan konservasi menjadi
terabaikan, dan akibatnya perjuangan untuk melindungi ekosistem bumi dan plasma
nutfah menjadi semakin terancam. Sementara di kawasan tropis, yang menjadi andalan
penyeimbang sistem kehidupan di muka bumi ini , masih dihadapkan pada kurangnya
SDM yang tangguh serta terdesaknya kawasan untuk kepentingan pembangunan
ekonomi. Memahami perspektif ekonomi dan ekologi secara terintegrasi diperlukan untuk
mencari keseimbangan kepentingan antara keduanya.

4.1 Fokus Pembahasan dan Prinsip Dasar

Perspektif ekologi memfokuskan pembahasannya pada proses-proses


alami yang menyokong/menopang aktivitas/kehidupan manusia sementara
perspektif ekonomi memfokuskan pembahasannya pada karakteristik ekonomi
sumberdaya alam termasuk nilai (ekonomi) sumberdaya alam, serta bagaimana
kekuatan-kekuatan ekonomi mempengaruhi pengelolaan sumberdaya alam
tersebut. Prinsip dasar perspektif ekologi antara lain bahwa :
- nilai sumberdaya alam yang tidak bisa dipisahkan
- alam menyediakan sebagian besar bahkan semua sumberdaya yang kita
butuhkan
- menjadi kewajiban kita mewariskan sumberdaya alam yang dapat
dimanfaatkan kepada generasi yang akan datang)
sementara itu prinsip dasar perspektif ekonomi adalah bahwa :

- Manusia adalah bagian dari alam (tergantung pada alam)


- Pentingnya mmperhitungkan biaya lingkungan (environmental cost) dalam
setiap aktifitas ekonomi/produksi

20
- Prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan

4.2 Perspektif Ekologi Konservasi Sumberdaya Hutan

Dalam perspektif ekologi, proses alamiah merupakan dasar dari


penggunaan sumber daya, bagaimana menggunakan sumber daya tersebut
sedemikian rupa sehingga struktur dasar dari sistem alamiah tak berubah.
Perspektif ekologi menyatakan perlunya menguraikan proses-proses ekologi yang
ada di alam sebagai dasar pengelolaan sumberdaya alam, serta memahami
berbagai konsekuensi ekologis dari sekian banyak beban yang diberikan manusia
pada sistem alam (dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang dilakukan).

4.3 Perspektif Ekonomi Konservasi Sumberdaya Hutan

Dalam perspektif ekologi, proses alamiah merupakan dasar dari


penggunaan sumber daya, bagaimana menggunakan sumber daya tersebut
sedemikian rupa sehingga struktur dasar dari sistem alamiah tak berubah.
Perspektif ekologi menyatakan perlunya menguraikan proses-proses ekologi yang
ada di alam sebagai dasar pengelolaan sumberdaya alam, serta memahami
berbagai konsekuensi ekologis dari sekian banyak beban yang diberikan manusia
pada sistem alam (dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang dilakukan).
Dalam perspektif ekonomi, sumberdaya alam adalah bahan baku dalam
sistem produksi sehingga berlaku sistem penawaran (Supply) dan permintaan
(demand). Inti dari studi ekonomi adalah memahami karakteristik ekonomi
sumberdaya alam, nilai ekonomi sumberdaya alam, serta bagaimana sistem
ekonomi mempengaruhi pengelolaan (pemanfaatan) sumberdaya alam. Jadi
memahami sistem ekonomi adalah hal mendasar dalam konservasi sumberdaya
alam. Perspektif ekonomi memerlukan pemahaman tentang konsep-konsep
Pricing system, Economic system, Supply & Demand, Market Imperfections.
Pricing system : Sumberdaya alam adalah komoditas, kita memberinya nilai atas
apa yang disediakannya untuk kebutuhan kita (makanan, pakaian, tempat tinggal,
dll), cara kita menilai sumberdaya alam berpengaruh pada cara kita mengelolanya.

21
Economic system : sistem ekonomi dalam pemanfaatan sumberdaya alam
(Subsisten, komersial, Centrally planed); motif profit mendasari sistem komersial
sementara pada sistem subsisten tidak; pada sistem Centrally planed pemerintah
menjadi pengaturnya. Supply & Demand adalah faktor yang menentukan harga
sebuah komoditas. Market imperfections : persaingan pasar yang tidak sempurna
menjadikan harga tidak dilahirkan dari keseimbangan supply & demand;
monopoli, oligopoli ( penjual tunggal/beberapa mendominasi pasar).
Perspektif ekonomi dalam konservasi sumberdaya hutan memerlukan penilaian
secara ekonomi sumberdaya hutan. Menghitung harga dari sumberdaya hutan
khususnya yang memiliki sifat intangible bukanlah hal yang mudah. Tidak semua
sumberdaya alam dapat dihargai dengan nilai uang seperti udara bersih, air
bersih, habitat flora fauna. Setidaknya ada beberapa pendekatan yang dapat
dilakukan yaitu Cost effectiveness analysis dan benefit-cost analysis. Sementara
itu untuk menghitung nilai ekonomi suatu sumberdaya alam dapat dilakukan
dengan metode Willingness to pay (menanyakan berapa pengguna mau
membayar) , proxy value (menggunakan sumberdaya yang similar sebagai
pembanding), replacement cost (harga mengembalikan ke dalam bentuk semula).

4.4 Keterkaitan Perspektif Ekologi dan Perspektif Ekonomi dalam


Konservasi Sumberdaya Hutan

Sebelum kerusakan sumberdaya alam dapat dikendalikan, maka penyebab


dasarnya harus dipahami terlebih dahulu. Biasanya degradasi lingkungan dan
hilangnya spesies terjadi sebagai akibat dari kegiatan perekonomian manusia.
Spesies diburu, limbah dibuang ke sungai, dal lain sebagainya merupakan aktifitas
manusia yang menguntungkan secara ekonomi namun merugikan secara ekologi.
Oleh karena itu agar semua biaya transaksi ekonomi dapat diperhitungkan dengan
benar, termasuk biaya-biaya lingkungan, dikembangkan suatu disiplin ilmu
ekonomi ekologi. Ekonomi ekologi memadukan ilmu ekonomi, ilmu lingkungan,
ekologi, kebijakan publik, termasuk penilaian keanekaragaman hayati dalam
analisa ekonomi.

22
Banyak sumberdaya alam seperti udara bersih, air bersih, kualitas tanah,
spesies langka, keindahan alam, dianggap sebagai sumberdaya kolektif, milik
bersama bagi masyarakat umum. Akses seumberdaya alam seringkali dianggap
terbuka bagi siapapun sehingga seringkali tidak dihargai dengan nilai keuangan
yang sesuai . Biaya lingkungan ditekan seminimal mungkin bahkan tidak dibayar
sedikitpun. Persoalan-persoalan tersebut sebagaimana telah dibahas dalam artike
the tragedy of commons. Pemanfaatan tidak terkendali dan bersama-sama pada
akhirnya akan mendorong terkurasnya sumberdaya alam.

23
Bab V
Stretegi Konservasi Sumberdaya Hutan

5.1 Strategi Konservasi Global

Konservasi sumberdaya alam adalah tanggung jawab semua umat di muka


bumi karena pengaruh ekologis dari berbagai upaya pembangunan tidak terbatas
oleh wilayah negara atau administratif. Upaya konservasi adalah bagian integral
dari pembangunan. Pembangunan yang dilakukan di negara manapun terkait
dengan kepentingan negara lain maupun kepentingan internasional.
Sebagai gambaran lain adalah adanya fenomena migrasi spesies yang
melampaui batas-batas wilayah administrasi negara dan berkembangnya
perdagangan produk hayati tingkat internasional. Ancaman terhadap ekosistem
mempunyai ruang lingkup internasional dan membutuhkan kerjasama
internasional dalam menghadapinya.
Konservasi sumberdaya alam menjadi tanggung jawab bersama dari
seluruh umat di muka bumi. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan terjalinnya
jaringan kelembagaan baik secara regioonal, nasional bahkan internasional.
Taman nasional, merupakan salah satu bentuk kawasan konservasi yang telah
memiliki kelembagaan cukup kuat di berbagai negara. Berbagai bentuk kerjasama
internasional diakui sangat berarti bagi negara-negara yang kurang mampu dalam
mengangani sendiri kawasan konservasi yang dimilikinya. Hal ini
mengimplementasikan suatu mekanisme untuk memikul biaya secara bersama-
sama, melalui pembagian yang adil antara biaya dan manfaat dari pengelolaan
kawasan konservasi , baik diantara bangsa dan kawasan yang dilindungi serta
masyarakat sekitar.
Pada tahun 1972 dilakukan pertemuan yang merupakan tonggak penting
dalam pengembangan strategi konservasi global. Pertemuan tersebut dikenal
dengan Stockholm Conference on the Human Environment. Hasil dari pertemuan
tersebut antara lain pembentukan UNEP (The United Nations Environment

24
Program) untuk menghadapi tantangan permasalahan lingkungan hidup dunia, yg
masih terfokus pada kerusakan dan konservasi sumberdaya alam.
Pada tahun 1992, Earth Summit di Rio de Janeiro,Brazil, atau yang dikenal
sebagai United Nations Conference on Environmental and Development; dikenal
juga dalam istilah KTT Bumi membahas berbagai cara untuk melindungi
lingkungan dengan perhatian pada pembangunan ekonomi yang lebih
berkelanjutan pada negara yang kurang sejahtera. Pertemuan tersebut juga
berhasil meningkatkan perhatian dan keseriusan dunia dalam menghadapi
berbagai krisis lingkungan, membangun pemahaman yang jelas antara upaya
perlindungan lingkungan dan kebutuhan untuk mengentaskan kemiskinan di
negara berkembang dengan bantuan dana dari negara maju.
Perkembangan kesadaran dan strategi konservasi dunia disajikan pada tabel
berikut :
Tabel 1. Perkembangan Strategi Konservasi Global
Tahun Tonggak Penting bagi konservasi sda Hasil Utama yang Dicapai
1972 Konferensi Stockholm ttg Lingkungan Pembentukan UNEP utk menghadapi
Manusia tantangan permasalahan LH dunia, yg
masih terfokus pada kerusakan &
konservasi sumberdaya alam
1983 Laporan Brundtland Masa Depan Kita Penetapan konsep Pemb.
Bersama Berkelanjutan: Pembangunan yg
(Our Common Future) memenuhi kebutuhan generasi kini
tanpa mengorbankan pemenuhan
kebutuhan generasi yad
1992 Konferensi ttg Lingkungan Hidup dan Deklarasi Rio & Agenda 21,
Pembangunan / KTT Bumi (Earth Summit) Konvensi Perubahan Iklim, Konvensi
Keaneka-ragaman Hayati, Prinsip-2
Pengelolaan Hutan Berkelanjutan,
Pembentukan Komisi Pemb.
Berkelanjutan (UNCSD)
1997 KTT Bumi + 5 (Earth Summit + 5) Program Implementasi Lanjutan
Agenda 21
2000 KTT Milenium Dekl. Milenium (Mill. Declaration) &
(Millennium Summit) Tujuan Pemb. Milenium (MDGs)
2002 KTT Bumi ttg Pembangunan Berkelanjutan Deklarasi Politik & Rencana
(World Summit on Sustainable Implementasi, yg mengakui keterkaitan
Development / Earth Summit + 10) Pemb. Berkelanjutan dgn kemiskinan
& masalah-2 pembangunan lain
melalui MDGs.

Organisasi internasional yang menaruh perhatian terhadap masalah


lingkungan adalah tiga badan PBB , yaitu FAO, Unesco dan UNEP. Sedang

25
lembaga swadaya masyarakat yang paling aktif dalam menyokong program
pengelolaan kawasan konservasi adalah IUCN dan WWF.
Pelestarian kawasan konservasi merupakan bagian integral dari
pembangunan. Pokok bahasan ini menguraiakan berbagai bentuk kerjasama dan
perjanjian internasional sebagai upaya untuk menjawab tantangan konservasi baik
secara global, nasional maupun regional

5.1.1 Kerjasama Regional


Mempertimbangkan kemungkinan untuk membina hubungan kelembagaan
jangka panjang antara dinas taman nasional di negara maju dan rekannya di
negara berkembang sangat bermanfaat, seperti halnya keterlibatan Dinas Taman
Selandia Baru di Taman Nasional Sagarmatha di Nepal. Hubungan semacam itu
dapat memberi kesempatan bagi latihan, tukar-menukar personil dan terjalinnya
hubungan yang erat secara bertahap antara kedua organisasi yang dapat mengarah
kepada sifat saling menguntungkan. Dibandingkan dengan proyek jangka pendek
dengan masukan intensif berupa tenaga ahli dan perlengkapan selama dua atau
tiga tahun dan kemudian berhenti sama sekali, maka tipe kerjasama ini
memungkinkan berhentinya dukungan dan keterlibatan yang berkelanjutan secara
bertahap. Dukungan semacam ini dapat dibiayai melalui program bantuan
bilateral dan tidak menyebabkan menipisnya dana terbatas yang dimiliki taman
yang bersangkutan.
Kerjasama regional antar negara sangat berharga dan perlu digalakkan.
Sebagai contoh, hal ini dapat mengambil bentuk pertukaran personil, dikaitkan
untuk bekerja pada departemen taman, karya wisata, kunjungan timbal-balik oleh
personil tingkat pengelola, serta seminar berpindah secara periodik yang
melibatkan kunjungan ke taman dan cagar yang penyelenggaranya diatur secara
bergiliran di antara negara yang bersangkutan. Kegiatan itu dapat dibiayai oleh
program PBB untuk Kerja sama Tehnik antara Negara Berkembang (TCDC).
Salah satu jalan yang paling efektif agar negara yang bertetangga dapat
membantu satu sama lain dalam program kawasan dilindungi adalah
mengembangkan cagar lintas-batas yang melintasi perbatasan bersama: suatu hal

26
yang bermanfaat karena totalitas kawasan dilindungi akan lebih luas, namun
setiap negara hanya perlu melindungi sebagian dari padanya. Persetujuan
dalam cagar semacam itu dapat meliputi kerjasama teknik, tukar-menukar
pengetahuan dan data, di samping juga persetujuan resmi untuk tidak menampung
pemburu gelap.

5.1.2 Kerjasama Internasional


Partisipasi nasional dalam perjanjian bilateral atau internasional yang
berkaitan dengan kawasan dilindungi dalam proses yang sah. Perjanjian atau
persetujuan internasional di mana suatu negara ikut mengambil bagian, mungkin
mengharuskan negara tersebut menyusun kembali dan mengimplementasikan
peraturan peraturan di negaranya mengenai kawasan dilindungi.
Lingkup dan fokus perjanjian internasional dapat bermacam-macam.
Beberapa sifatnya universal tanpa batas geografi (CITES). Ini terbuka untuk
diterima oleh semua bangsa. Konvensi lain lingkupnya mungkin regional atau
terbatas dalam beberapa hal, sehingga hanya beberapa negara yang memenuhi
kualifikasinya. Sebagai tambahan, fokus bidang substansi dapat bervariasi.
Beberapa konvensi berfokus kawasan dilindungi, sedangkan lainnya memusatkan
perhatian pada spesies yang dilindungi.
Pengelola taman harus mengenal perjanjian yang relevan, yang mengikat
negaranya. Implementasi di dalam negeri dari perjanjian ini mungkin memaksa
adanya pembatasan dalam pengelolaan kawasan dilindungi atau spesies yang ada
di dalamnya, atau kemungkinan lain menyerahkan sepenuhnya kepada negara
yang bersangkutan untuk melakukan tindakan yang sangat membantu untuk
menarik sumberdaya kerangan, teknik dan hikum bagi kawasan tersebut.
Kepatuhan pada perjanjian internasional menunjukkan suatu dasar
dukungan hukum dan moral bagi pengelola, karena:
- Kewajiban memasuki suatu perjanjian internasional menjadi kewajiban
hukum yang serius, yang dapat mendasari implementasi perundang-
undangan nasional yang memadai. Ini mungkin penting terutama bagi
negara serikat tertentu di mana hal seperti margasatwa dan pelestarian

27
berada di bawah hukum tiap-tiap negara bagian atau propinsi. Dalam kasus
semacam ini, kesimpulan dari perjanjian internasional dapat secara
otomatis memberikan wewenang kepada otoritas pemerintah pusat bagi
penerapannya, yang mengakibatkan terjadinya koordinasi menyeluruh dari
tindakan pelestarian
- Suatu perjanjian menetapkan kewajiban yang sama bagi semua
anggotanya. Sebab itu propinsi akan lebih siap menerima pembatasan dan
pengeluaran tertentu apabila mereka tahu bahwa propinsi lain menerima
hal yang sama
- Kawasan dilindungi yang dimasukkan ke dalam suatu jaringan
internasional diwajibkan untuk melestarikan habitat spesies migran atau
sumberdaya alam bersama lainnya. Ini jelas merupakan dimensi
internasional
- Perjanjian dapat menghasilkan kerjasama internasional yang lebih baik
melalui perbaikan sistem informasi yang saling menguntungkan dengan
cara terbaik untuk mencapai tujuan bersama.
Konvensi utama mengenai kawasan teritorial yang dilindungi diuraikan secara
singkat berikut ini.

5.1.3 Konvensi Global Kawasan yang Dilindungi


Konvensi mengenai Perlindungan dari Budaya Dunia dan Warisan Alam
Konvensi ini disetujui pada tahun 1972 oleh Konverensi Umum Unesvo,
dan diberlakukan pada tahun 1975. Tujuan Konvensi ini adalah untuk menjamin
dukungan masyarakat internasional bagi situs warisan dunia (alamiah atau buatan
manusia), yang diakui sebagai yang dititipkan pada suatu bangsa untuk
kemanusiaan. Situs alam atau budaya yang diidentifikasi oleh negara dan dicatat
dalam Daftar Warisan Dunia melalui keputusan yang dibuat suatu komite,
mendapat perlindungan khusus dengan kemungkinan mendapatkan bantuan
keuangan dan teknik melalui Dana Warisan Dunia.
Sampai Desember 1985, terdapat 88 negara yang menjadi peserta
Konvensi, dan Daftar Warisan Dunia mencantumkan 61 harta kekayaan alam di

28
29 negara. Situs Warisan Dunia merupakan suatu penunjukan tambahan yang
hanya diberikan kepada sejumlah kawasan dilindungi terpilih yang paling
menonjol.
Negara yang situs budaya atau alamnya tercantum dalam Daftar Warisan
Dunia harus melaksanakan tindakan khusus bagi pelestariannya. Kewajiban yang
ada dalam konvensi juga mencakup pembayaran iuran wajib sejumlah satu
persen dari iuran tahunan kepada Unesco. Sekretariat Konvensi disediakan oleh
Unesco. Nasihat teknis mengenai situs alam diberikan oleh IUCN, dan nasehat
teknis untuk situs budaya diberikan oleh Dewan Internasional untuk Monumen
dan Situs (ICOMOS). Negara anggota dari Unesco dapat menjadi peserta dengan
menyerahkan instrumen pengesahan atau penerimaan, sedang negara-negara
lainnya dengan menyerahkan suatu instrumen tambahan, kepada Unesco.

Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Flora dan Fauna Terancam


(CITES)
Konvensi ini disepakati pada tahun 1973 oleh suatu konverensi diplomatik yang
diselenggarakan di Washington D.C., Amerika Serikat. Konvensi ini diberlakukan
tahun 1975 dan sekarang telah mempunyai pengikut sejumlah 90 negara. Tujuan
konvensi ini adalah menetapkan pengawasan di seluruh dunia terhadap
perdagangan margasatwa terancam dan produk margasatwa, mengingat kenyataan
behwa eksploitasi komersial yang tidak terbatas adalah salah satu dari ancaman
utama terhadap kelangsungan hidup spesies. Lebih dari 2.000 spesies satwa dan
tumbuhan liar terdaftar dalam tiga Lampiran dari Konvensi ini. Masing-masing
peserta Konvensi telah menetapkan otorita pengelola nasional dan otorita ilmiah
yang bertugas mengatur sistem lisensi, bekerjasama langsung dengan rekan
imbangan di luar negeri. CITES menyediakan bagi negara0negara informasi
mutakhir, dan suatu jaringan komunikasi langsung yang menghubungkan badan-
badan nasional penegak hukum. Bantuan teknis disediakan untuk latihan personil,
dan identifikasi bantuan dan materi lain tersedia untuk memudahkan implementasi
Konvensi.

29
Konvensi mengenai Pelestarian Spesies Satwa Liar Migran
Konvensi ini disetujui tahun 1979 pada konverensi diplomatik yang
diselenggarakan di Bonn, Republik Federal Jerman. Konvensi berlaku tahun 1983
dan pada tahun 1985 terdapat 19 peserta. Tujuan Konvensi ini adalah memberikan
meanisme kerangka kerja untuk kerjasama internasional bagi pelestarian dan
pengelolaan spesies migran, serta untuk mengidentifikasi spesies migran yang
terancam yang memerlukan tindakan pelestarian di tingkat nasional.
Konvensi ini membantu melancarkan bantuan keuangan, teknik dan latihan untuk
mendukung upaya pelestarian yang dilakukan oleh negara berkembang, dan
mendesak organisasi internasional dan nasionalnya agar memberi prioritas dalam
program bentuan mereka bagi pengelolaan dan pelestarian spesies migran dan
habitatnya di negara berkembang, agar memungkinkan negara tersebut
mengimplementasikan Konvensi.

Konvensi mengenai Lahan Basah untuk Kepentingan Internasional, terutama


sebagai Habitat Unggas Air (RAMSAR)
Konvensi ini kadang-kadang dikenal juga sebagai Konvensi RAMSAR, yang
disepakati 1971. Tujuannya adalah untuk menghindarkan hilangnya lahan basah
dan menjamin pelestariannya, mengingat kepentingannya dalam proses ekologi,
selain juga kekayaan akan spesies flora dan fauna. Agar dapat mencapai
tujuannya, Konvensi ini memberikan kepada Pengikut Konvensi kewajiban umum
yang berkaitan dengan pelestarian lahanbasah di seluruh teritorinya, serta
kewajiban khusus yang bertalian dengan lahan basah yang termasuk dalam Daftar
Lahan Basah yang memiliki kepentingan internasional.
Sampai tahun 1985, sejumlah 300 lokasi yang luasnya lebih dari 200 juta
ha telah ditetapkan masuk ke dalam daftar yang memiliki manfaat secara
internasional dalam hal ekologi, botano, zoologi, limnologi atau hidrologi.
Penempatan suatu kawasan di dalam daftar RAMSAR telah menimbulkan
dampak penting dalam hal pelestarian kawasan tersebut, serta pada penghargaan
masyarakat akan kepentingan global tempat tersebut.

30
5.1.4 Konvensi Regional Kawasan Yang Dilindungi
Afrika
Konvensi Afrika mengenai Pelestarian Alam dan Sumber Daya Alam disetujui
pada tahun 1968. Konvensi yang disempurnakan diharapkan untuk pertemuan
Organisasi Kesatuan Afrika (OAU) pada tahun 1986. Pengakuan diberikan bagi
keperluan untuk:
pengawasan perdagangan spesies dan produknya, sebagaimana juga peraturan
berburu dan pelestarian habitat;
pendirian badan pelestarian nasional untuk melakukan implementasi konvensi;
pendidikan pelestarian.

Belahan Bumi Barat


Konvensi tahun 1940 mengenai Perlindungan Alam dan Pelestarian
Margasatwa di Belahan Bumi Barat menetapkan agar peserta perjanjian segera
mengeksplorasi kemungkinan didirikannya taman nasional, cagar nasional,
monumen alam dan kawasan suaka mutlak di wilayah mereka. Konvensi tersebut
juga menetapkan bagi pemerintah di benua Amerika yang terikat perjanjian untuk
bekerjasama di antara mereka sendiri untuk mempromosikan tujuan, memberikan
bantuan dan bersepakat untuk meningkatkan keefektifan kerjasama ini.
Berdasarkan perjanjian ini, sebagian besar negara di wilayah ini telah melakukan
langkah pelestarian yang penting, termasuk pendirian dan pengelolaan kawasan
yang dilindungi.

Pasifik Selatan
Konvensi mengenai Pelestarian Alam di Pasifik Selatan disepakati tahun
1976 dan akan diberlakukan tahun 1986. Konvensi ini menggalakkan
pembentukan taman dan cagar nasional yang dimaksudkan untuk menyelamatkan
contoh-contoh ekosistem alam yang mewakili, selain juga pemandangan yang
mengagumkan, formasi geologi yang menonjol, serta wilayah atau obyek yang
bernilai estetika, sejarah, budaya atau ilmiah.

31
Pelestarian Vicuma
Konvensi tahun 1969 untuk Pelestarian Vicuma yang disepakati oleh
negara yang berada dalam kisaran spesies ini: Argentina, Bolivia, Chili, Ecuador
dan Peru, dibuat setelah populasi liar vicuna berkurang banyak. Tindakan
pelestarian yang dilakukan, termasuk penetapan kawasan dilindungi,
menyebabkan jumlah vicuna terus meningkat. Populasi vicuna terbanyak sekarang
dapat dijumpai di Cagar Vicuna Pampa Galeras di Peru.

5.1.5 Peranan IUCN dan CNPPA


Perserikatan Internasional bagi Pelestarian Alam dan Sumberdaya Alam
(IUCN) merupakan perserikatan kelompok peminat pekestarian, lingkungan dn
margasatwa terbesar dan paling mewakili di dunia. IUCN didirikan tahun 1948
dan memiliki anggota 58 negara, 123 kementerian atau badan pemerintah lain
serta 350 organisasi besar Lembaga Swadaya Masyarakat dan kelompok
masyrakat nasional maupun internasional, sehingga seluruhnya meliputi 537
anggota di 116 negara. Campuran yan gunik dari para pembuat keputusan,
administrator dan aktifis ini membantu memecahkan masalah umum pelestarian.
Badan ini juga menyediakan forum yang mandiri untuk memperdebatkan
pelestarian.
Perserikatan ini bekerja erat dengan Program Lingkungan Perserikatan
Bangsa-Bangsa (UNEP) dan Unesco dan memberi nasihat kepada Dana
Margasatwa Dunia (WWF) mengenai prioritas pelestarian, menyiapkan program
dan mengelola lebih dari 300 proyek lapangan di bidang pelestarian di 70 negara.
WWF sendiri didirikan tahun 1961 untuk memobilisasikan dukungan moral dan
finansial bagi penyelamatan kehidupan serta merupakan salah satu sekutu IUCN
yang terdekat di bidang pelestarian.
Terutama melalui Komisi Taman Nasional dan Kawasan dilindungi
(CNPPA), IUCN sejak awalnya terlibat dalam masalah taman nasional sejak
permulaan sekali. Keterlibatan tersebut meliputi:
Menetapkan Komisi Taman Nasional pada tahun 1960, yang sekarang
diperluas menjadi Komisi Taman Nasional dan Kawasan dilindungi (CNPPA).

32
Badan ini sekarang beranggotakan 316 tenaga profesional taman senior dari
124 negara.
Menetapkan suatu sistem propinsi biogeografi dunia (Udvardy, 1975), yang
sekarang banyak digunakan untuk menilai pencakupan kawasan dilindungi
serta menyarankan wilayah yang perlu mendapat prioritas perhatian.
Menerbitkan daftar dan direktori kawasan dilindungi. Unit Data Kawasan
dilindungi (PADU) didirikan tahun 1981 untuk mengkomputerkan data yang
dimiliki IUCN dan mempromosikan penggunaan data secara lebih banyak.
Mempublikasikan kertas kerja konsep dasar yang berkenaan dengan masalah
kawasan dilindungi seperti pengkajian sestem regional, petunjuk perundang-
undangan, dan ancaman terhadap kawasan-kawasan yang dilindungi di dunia
(lihat Contoh 1).
Mempublikasikan majalah parks dengan artikel dari kawasan konservasi dan
informasi masalah dan strategi pengelolaan.
Kerjasama erat dengan badan-badan PBB yang terkait dengan masalah
kawasan yang dilindungi (FAO, UNEP, Unesco), baik di tingkat perencanaan
maupun lapangan. Ini termasuk memberikan evaluasi tehnik dari situs alam
yang dicalonkan untuk Daftar Warisan Dunia kepada Komite Warisan Dunia
Unesco, serta bertindak sebagai sekretariat bagi Konvensi mengenai
pelestarian lahan basah yang kepentingannya internasional, terutama sebagai
habitat unggas air.
Menyelenggarakan pertemuan di berbagai bagian dunia untuk
mempromosikan kawasan dilindungi. CNPPA menyelenggarakan dua seksi
kerja setahun, yang berpindah-pindah di antara kawasan biogeografi. IUCN
telah mengorganisasikan pertemuan internasional mengenai kawasan
dilindungi, termasuk Konverensi se-Dunia ke dua mengenai Taman Nasional
di Grand Teton, Wyoming, 1972, Konverensi Internasional mengenai Taman
dan Cagar Laut di Tokyo, 1975, dan Kongres se-Dunia mengenai Taman
Nasional di Bali, pada bulan Oktober 1982.
Menyokong proyek lapangan, terutama di negara berkembang, yang bertujuan
untuk mendirikan dan mengelola taman nasional serta kawasan dilindungi.

33
Dengan dana yang terutama berasal dari WWF, sampai tahun 1983 telah
diimplementasikan sekitar 1.500 proyek yang melibatkan pembiayaan lebih
dari US$40 juta telah guna mendukung kawasan dilindungi.

Contoh 1. Pengumuman mengenai ancaman terhadap kawasan yang


dilindungi: Daftar IUCN daro lawasam dilindungi yang
paling terancam di dunia (1948)
Dengan mempublikasikan daftar ini, IUCN memusatkan perhatiannya kepada ancaman terhadap
sebelas kawasan dilindungi, delapan di antaranya berada di daerah tropik. Publisitas ini membantu
otorita kawasan untuk waspada terhadap ancaman bagi kawasannya dan untuk mencari dukungan
masyarakat untuk melakukan tindakan-tindakan perbaikan.
Tempat Negara Ancaman
Taman Nasional Brasil Konstruksi jalan sepanjang 60 km melintasi tengah-
Araguaia tengah taman. Pada musim kemarau taman diserbu
oleh penyerobot dengan 30.000 ternak piaraan.
Hewan introduksi (piaraan dan liar) menyebabkan
erosi yang serius, tumbuhan asing menyaingi
Taman Nasional Juan Chili spesies asli, pembalakan.
Fernandez Pencemaran hujan asam, mempengaruhi setengah
luas hutan taman, 1.000 ha telah binasa.
Kebakaran hutan yang luas, pembalakan, eksploitasi
Taman Nasional Cekoslo-wakia minyak dan mineral dan pembangunan jalan
Krkonose pemukiman penduduk.
Indonesia Pemukiman ilegal, penambangan, perburuan,
Taman Nasional Kutai sumberdaya pengelolaan yang tidak mencukupi.
Jalan, pemukiman, konstruksi kanal

Taman Nasional Tai Pantai Gading Pemukiman penduduk, pembalakan, pembukaan


vegetasi. Deklasifikasi 32.000 ha bagi
Taman Nasional Manu Peru pengembangan pertanian.
Taman Nasional Perburuan badak hitam. Kebakaran. Penggembalaan
Gunung Apo Filipina berlebihan oleh hewan piaraan, sumberdaya
pengelolaan tidak mencukupi.
Kawasan Pelestarian Pencemaran air karena pengerukan, pengendapan
Ngorongoro Tanzania dan saluran buangan, kerusakan oleh kapal, nelayan
dan kolektor siput. Pembangunan kawasan.
Taman Negara
Terumbu Karang John
Pennekamp dan Suaka Amerika Serikat Usulan dam hidro, pencemaran dari industri
Laut Nasional Key pengolah timbal.
Largo Perburuan badak putih utara terakhir di dunia (15
Taman Nasional ekor) terancam punah. Populasi gajah berkurang
Durmitor dua-pertiganya dalam 7 tahun terakhir.
Yugoslavia
Taman Nasional
Garamba
Zaire
Sumber: IUCN, 1985a.

34
5.1.6 Mengenal IUCN
IUCN (the World Conservation Union, Persatuan Pelestarian Dunia; d/h
International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources)
adalah suatu organisasi antar bangsa yang beranggotakan negara-negara,
organisasi non pemerintah, lembaga - lembaga penelitian dan badan-badan
pelestarian alam di 120 negara di seluruh dunia. Organisasi ini yang pada awalnya
bernama IUPN (International Union for the Protection of Nature) didirikan pada
5 Oktober 1948 di Fontainebleau, Prancis pada suatu konferensi internasional
yang dihadiri oleh 130 delegasi yang mewakili 18 pemerintahan/negara, 108
lembaga dan asosiasi dan 7 organisasi antar bangsa.
IUCN yang bertujuan untuk memasyarakatkan dan menggalamng upaya-
upaya perlindungn sumberdaya alam hayati dan pemanfaatannya secara lestari ini
memiliki enam komisi yang masin masing menangani satu isu kelestarian
sumberdaya alam hayati, yang meliputi: (1) spesies yang terancam punah; (2)
kawasan yang dilindungi; (3) ekologi; (4) pembangunan yang berkelanjutan; (5)
hukum lingkungan; dan (6) pendidikan dan pelatihan lingkungan. Secara tematis,
kegiatan-kegiatannya meliputi topik hutan tropika; lahan basah (wetlands);
ekosistem bahari; tetumbuhan; Antartika; penduduk dan pembangunan
berkelanjutan; serta peranan wanita dalam pelestarian.
Komisi yang menangani upaya pelestarian spesies, terutama spesies yang
terancam punah adalah Species Survival Comission of IUCN (IUCN/SSC). Komisi
ini beranggotakan pakar-pakar hidupan liar dari seluruh dunia, yang selain
bertugas menangani dan memimpin upaya-upaya pelestarian hidupan liar juga
dapat dimintai bantuan konseling segi-segi teknis dan keilmuan bagi proyek-
proyek pelestarian keanekaragaman hayati di seluruh dunia. Total anggota
IUCN/SSC kini mencapai 4.000 orang.
Struktur komisi ini terdiri dari panitia pengarah (SC) dan grup spesialis,
yang masing-masingnya mengkhususkan diri pada setiap kelompok hidupan liar
atau disiplin ilmu. Sebagai contoh, grup spesialis yang berkait dengan pelestarian
mamalia di antaranya adalah Grup Spesialis Gajah Afrika; Grup Spesialis Gajah
Asia; Grup Spesialis Primata dll. Sedangkan yang menyangkut disiplin ilmu di

35
antaranya Grup Spesialis Penangkaran; Grup Spesialis Re-Introduksi; Grup
Spesialis Perdagangan (hidupan liar); dan Grup Spesialis Pemanfaatan
Berkelandutan Spesies-Spesies (hidupan) Liar.
Masing-masing grup spesialis bertugas di bidangnya, dan memberikan
masukan yang diperlukan UCN atau IUCN/SSC dalam program-programnya di
seluruh dunia.
Untuk mengefektifkan fungsinya, setiap grup merancang Rencana Aksi
(Action Plans) untuk mengintegrasikan program-programnya serta
menyelaraskannya dengan program IUCN/SSC yang lain. Grup Spesialis
Perdagangan sebagai contoh_ bertugas menggerakkan dan memfasilitasi jaringan
kerja IUCN/SSC untuk menilai status jenis-jenis flora dan fauna liar yang
diperdagangkan, serta untuk mempromosikan upaya pelestariannya. Dalam
kapasitasnya, grup spesialis ini juga ditugasi untuk menyiapkan masukan-
masukan teknis yang harus diberikan IUCN/SSC kepada CITES, khususnya
menyangkut usulan-usulan perubahan status perdagangan hidupan liar yang biasa
diajukan negara-negara pengekspor. Grup juga bertugas mendampingi TRAFFIC
dalam mengevaluasi dan mengontrol perdagangan yan gdapat mengancam
kelestarian spesies.
Grup-grup spesialis adakalanya bergabung membentuk satu jaringan kerja
yang lebih luas. Grup-grup spesialis butung, misalnya, bergabung dalam ICBP
(International Comission on Bird Preservation) dan IWRB. IUCN mengeluarkan
berbagai publikasi yang bertalian dengan kegiatan-kegiatan, program dan mosi
yang diembannya, satu yang paling populer adalah The Red Data Books of IUCN
yang berisikan informasi mengenai spesies hidupan liar yang terancam kepunahan
dari seluruh tempat di muka bumi. Hingga kini, telah lebih dari 5000 taksa fauna
yang diidentifikasi IUCN sebagai taksa yang terancam kepunahan pada berbagai
tingkatnyap; terdiri dari 698 taksa hewan menyusui, 1047 burung, 191 reptil, 63
amfibi, 762 ikan dan 2250 taksa hewan tak bertulang belakang. Data ini
(terkecuali data burung, yang berdasarkan apa yang diketahui IUCN selama ini.
Pada kenyataannya, jauh lebih banyak lagi taksa yang terancam kepunahan,
namun tidak diketahui IUCN (dan kita) karena keterbatasan pengetahuan yang

36
dimiliki. Seri buku ini dilengkapi dengan buku daftar taksa yang terancam
kepunahan (umpamanya, The IUCN Red List of Threatened Animals). Publikasi
yang akhir ini disiapkan oleh The World Conservation Monitoring Centre
(WCMC) dengan bantuan ICBP, dan diterbitkan secara periodik.
Catatan:

Taksa mencakup pengertian jenis atau kelompok jenis makhluk hidup. Taksa
bisa merujuk ke spesies, marga (genus), suku (familia) dan seterusnya.
The World Conservation Monitoring Centre (WCMC) merupakan organisasi
kerjasama antar tiga badan dunia dalam kerangka Strategi Pelestarian Dunia
(WCS, World Conservation Strategy); yakni IUCN, Dana Alam Sedunia (WWF,
The World Widw Fund for Nature) dan Program Lingkungan PBB (UNEP, United
Nations Environmental Programme). Misinya adalah mengumpulkan dan
menganalisis data pelestarian global, untuk mendukung program-program
pelestarian dan pembangunan berkelanjutan; agar setiap keputusan yang berkait
dengan keberadaan sumberdaya alam hayati memiliki dasar informasi yang dapat
dipertanggung jawabkan.

5.2 Strategi Konservasi Nasional

Indonesia adalah negara yang kaya dan mempunyai ragam sumberdaya


alam yang sangat tinggi (skala jenis maupun kesatuan ekosistem) sehingga
dikenal sebagai negara Mega-biodiversitas. Indonesia memiliki bagian terbesar
hutan hujan hujan tropika dunia (suatu sumberdaya yang menghilang dengan
kecepatan yang mengkhawatirkan).
Dengan luas daratan hanya 1,3 % dari permukaan daratan bumi memiliki
kekayaan jenis terbesar nomor tiga di dunia, memiliki 10 % jenis tumbuhan
berbunga di dunia ( 25.000 jenis), 12 % jenis satwa menyusui ( 500 jenis), 16
% jumlah jenis reptil dan amphibia ( 3.000 jenis), 17 % jumlah jenis burung (
1.600 jenis) dan lebih dari 25 % jenis ikan ( 8.500 jenis), 663 jenis fauna
endemik, 199 jenis mamalia. Di dunia kehutanan terdapat 500 jenis
Dipterocarpaceae dan 3.000 4.000 jenis Orchidaceae.
Konservasi sumberdaya alam hayati di Indonesia meliputi tiga tingkatan
yaitu genetik, jenis, dan ekosistem, dilakukan dalam tiga prinsip yaitu :
perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam, serta

37
diwujudkan dalam dua bentuk program yaitu : eks situ dan in situ, dan dilakukan
dalam tiga tahap yang berkesinambungan yaitu : save it, study it, dan use it.
Konservasi menjamin keterlanjutan nilai sumberdaya alam di muka bumi
ini. Hal tersebut telah menjadi kesepakatan dunia, demikian pula halnya dengan
negara Indonesia . Dalam hal ini, pemerintah melahirkan kebijakan dalam bentuk
Undang-undang Nomer 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam
Hayati dan Ekosistemnya. Undang-undang ini mengacu pada program dan strategi
konservasi dunia yang uraiannya telah disampaikan pada pokok bahasan
sebelumnya.
Menyadari pentingnya tindakan konservasi di negara Indonesia,
pemerintah melahirkan kebijaksanaan dalam bentuk Undang-undang Nomer 5
Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya
(dokumen terlampir). Dalam undang-undang tersebut konservasi sumberdaya
alam hayati diartikan sebagai pengelolaan sumberdaya alam hayati yang
pemanfataannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan
persediaannya dengan tetap memlihara dan meningkatkan kualitas
keanekaragaman hayati dan nilainya.
Konservasi sumberdaya alam hayati diwujudkan dalam prinsip-prinsip :
a. Perlindungan sistem penyangga kehidupan, dengan sasaran utama untuk
menjamin terpeliharanya proses ekologis yang menunjang sistem
penyangga kehidupan bagi kelangsungan pembangunan dan kesejahteraan
manusia
b. Pengawetan keanekaragaman satwa dan tumbuhan beserta ekosistemnya,
dengan sasaran utama untuk menjamin terpeliharanya keanekaragaman
sumber genetik (plasma nutfah) dan tipe-tipe ekosistemnya, sehingga
mampu menunjang pembangunan, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang
memungkinkan pemenuhan kebutuhan manusia yang menggunakan
sumberdaya alam hayati bagi kesejahteraan masyarakat.
c. Pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya,
dengan sasaran utama untuk menjamin kelestarian manfaat sumberdaya

38
alam hayati dan ekisistemnya, sehingga mampu mendukung kelangsungan
pembangunan yang berkesinambungan.

39
Bab VI
Konservasi dalam Berbagai Tingkatan

6.1 Keannekaragaman Hayati

Keanekaragaman hayati atau biodiversity merupakan ungkapan pernyataan


terdapatnya berbagai macam variasi bentuk, penampilan, jumlah dan sifat yang
terlihat pada berbagai tingkatan persekutuan makhluk, yaitu tingkatan ekosistem,
tingkatan jenis dan tingkatan genetika. Pada dasarnya keragaman ekosistem di
alam terbagi dalam beberapa tipe, yaitu ekosistem padang rumput, ekosistem
hutan, ekosistem lahan basah dan ekosistem laut. Kanekaragaman tipe-tipe
ekosistem tersebut pada umumnya dikenali dari ciri-ciri komunitasnya yang
paling menonjol, dimana untuk ekosistem daratan digunakan ciri komunitas
tumbuhan atau vegetasinya karena wujud vegetasi merupakan pencerminan
fisiognomi atau penampakan luar interaksi antara tumbuhan, hewan dan
lingkungannya.
Dalam menilai potensi keanekaragaman hayati , seringkali yang lebih
banyak menjadi pusat perhatian adalah keanekaragaman jenis, karena paling
mudah teramati. Sementara keragaman genetik yang merupakan penyusunan
jenis-jenis tersebut secara umum lebih sulit dikenali. Sekitar 10 % dari semua
jenis makhluk hidup yang pada saat imi hidup dan menghuni bumi ini terkandung
pada kawasan negara Indonesia, yang luas daratannya tidak sampai
sepertujuhpuluhlima dari luas daratan muka bumi. Secara rinci dapat diuraikan
bahwa Indonesia dengan 17.058 pulau-pulaunya mengandung 10 % dari total jenis
tumbuhan berbunga di dunia, 12 % dari total mamalia di dunia, 16 % dari total
reptil dan ampibia di dunia, 17 % dari total jenis burung di dunia dan 25 % atau
lebih dari total jenis ikan di dunia.
Dokumen Biodiversity Action Plan for Indonesia (Bappenas, 1991)
menuliskan bahwa hutan tropika Indonesia adalah merupakan sumber terbesar
keanekaragaman jenis jenis palm, mengandung lebih dari 400 species meranti-

40
merantian dari Famili Dipterocarpaceae (yang merupakan jenis kayu pertukangan
paling komersil di Asia Tenggara); dan diperkirakan menyimpan 25.000 species
tumbuhan berbunga. Tingkatan Indonesia untuk keragaman jenis mamalia adalah
tertinggi di dunia ( 515 species, di antaranya 36 species endemis ), terkaya
untuk keragaman jenis kupu-kupu ekor walet dari famili Papilionidae (121
species, 44 % endemis), terbesar ketiga utuk keragaman jenis reptilia (lebih dari
600 species), terbesar keempat untuk jenis burung (1519 species, 28 % endemis),
terbesar kelima untuk jenis amphibi (270 species) dan ke tujuh di dunia untuk
tumbuhan berbunga. Selain itu luasnya kawasan perairan teritorial Indonesia yang
merupakan kawasan laut terkaya di wilayah Indo-Pasifik juga mendukung
kekayaan habitat laut dan terumbu karang. Kawasan terumbu karang di Sulawesi
dan Maluku adalah salah satu bagian dari sistem terumbu dunia yang kaya akan
species karang, ikan dan organisme karang lainnya.
Negara Indonesia sebagai salah satu pusat biodiversity dunia menyimpan
potensi keanekaragaman hayati yang tidak ternilai harganya. Selama ini lebih dari
6000 species tanaman dan binatang telah dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup
sehati-hari masyarakat, dan lebih dari 7000 jenis ikan laut dan tawar selama ini
mendukung kebutuhan masyarakat.
Keragaman hayati dikategorikan menjadi tiga tingkatan yaitu :

- Keragaman Genetik
Genetik adalah berbagai variasi aspek biokimia, struktur dan sifat organisme
yang diturunkan secara fisik dari induknya (orang tuanya). Genetik ini
dibentuk dari AND (Asam Deoksiribo Nukleat) yang berbentuk molekul-
molekul yang terdapat pada hampir semua sel.

- Keragaman Spesies
Spesies adalah kelompok organisme yang mampu saling berbiak satu dengan
yang lain secara bebas, dan menghasilkan keturunan, namun umumnya tidak
berbiak dengan anggota dari jenis lain.

41
- Keragaman Ekosistem
Ekosistem adalah suatu unit ekologis yang mempunyai komponen biotik dan
abiotik yang saling berinteraksi dan antara komponen-komponen tersebut
terjadi pengambilan dan perpindahan energi, daur materi dan produktivitas.
Manfaat keragaman hayati antara lain :
- Merupakan sumber kehidupan, penghidupan dan kelangsungan hidup bagi
umat manusia, karena potensial sebagai sumber pangan, papan, sandang,
obat-obatan serta kebutuhan hidup yang lain
- Merupakan sumber ilmu pengetahuan dan tehnologi
- Mengembangkan sosial budaya umat manusia
- Membangkitkan nuansa keindahan yang merefleksikan penciptanya.
Konservasi keanekaragaman hayati diperlukan karena pemanfaatan sumber daya
hayati untuk berbagai keperluan secara tidak seimbang akan menyebabkan makin
langkanya beberapa jenis flora dan fauna karena kehilangan habitatnya, kerusakan
ekosisitem dan menipisnya plasma nutfah. Hal ini harus dicegah agar kekayaan
hayati di Indonesia masih dapat menopang kehidupan.

6.2 Konservasi Tingkat Genetik

Dalam satu spesies tumbuhan atau hewan bisa terdapat variasi genetik,
sehingga menimbulkan perbedaan yang jelas. Manusia meskipun satu spesies
(Homo sapiens), tapi ada orang kulit putih, Negro, Melayu, Mandarin, dan
lainnya. Macan Tutul dan Kumbang sama-sama spesies Panthera pardus. Bahkan
sering kakak beradik yang satu tutul yang lain hitam. Variasi genetik misalnya
terlihat pada jagung. Ada berbagai bentuk, ukuran dan warna jagung: jagung
Metro, jagung Kuning, jagung Merah. Contoh lain adalah padi. Kita mengenal
ribuan varietas padi, walaupun padi itu hanya satu spesies (Oriza sativa). Variasi
genetika merupakan sumber daya pokok yang penting untuk menciptakan varietas
unggul tanaman pertanian baru. Karena itu istilahnya sumberdaya genetika
tanaman. Indonesia menawarkan berbagai sumberdaya genetika tanaman dan
binatang yang sangat berharga guna pemanfaatan saat ini atau di masa mendatang.

42
Sedikitnya 6.000 spesies flora dan fauna asli Indonesia dimanfaatkan sehari-hari
oleh orang Indonesia untuk makanan, obat, pewarna, dll.
Pembentukan genetik suatu individu tidak statis. Selalu berubah akibat
faktor internal dan eksternal. Keragaman materi genetik memungkinkan terjadi
seleksi alam. Umumnya, kian besar populasi suatu spesies kian besar
keanekaragaman genetiknya, sehingga makin kecil kemungkinannya punah.

6.3 Konservasi Tingkat Spesies

Sangat mengherankan, para cendikiawan lebih tahu berapa banyak bintang


di galaksi daripada jumlah spesies makhluk hidup di bumi. Hingga kini baru 1,7
juata spesies teridentifikasi, dari jumlah seluruh spesies yang diperkirakan 5-100
juta. Kelompok makhluk hidup yang memiliki jumlah spesies terbanyak adalah
serangga dan mikroorganisme. Sekalipun demikian masih saja ada anggapan,
bahwa hanya organisme besar seperti tanaman berbunga, mamalia dan vertebrata
lain, yang mempengaruhi kehidupan manusia secara langsung. Padahal
mikroorganisme, termasuk alga, bakteri, jamur, protozoa dan virus, vital perannya
bagi kehidupan di bumi. Contohnya, tak akan ada terumbu karang jika tak ada
alga. Terganggunya keseimbangan mikroorganisme tanah, dapat menyebabkan
kualitas kehidupan di tanah merosot, hingga mengakibatkan perubahan besar pada
ekosistem.

Suatu wilayah yang memiliki banyak spesies satwa dan tumbuhan,


keragaman spesiesnya lebi besar, dibandingkan wilayah yang hanya memiliki
sedikit spesies yang menonjol. Pulau dengan 2 spesies burung dan 1 spesies kadal,
lebih besar keragamannya daripada pulau dengan 3 spesies burung tanpa kadal.
Indonesia sangat kaya spesies. Walau luasnya Cuma 1,3% luas daratan dunia,
Indonesia memiliki sekitar 17% jumlah spesies di dunia. Paling tidak negara
kita memiliki 11% spesies tumbuhan berbunga, 12% spesies mamalia, 15%
spesies amphibi dan reptilia, 17% spesies burung, dan 37% spesies ikan dunia.
Kekayaan dunia serangga kita terwakili oleh 666 spesies capung dan 122 spesies
kupu-kupu.

43
Spesies didefinisikan secara biologis dan morfologis. Secara biologis,
spesies adalah Sekelompok individu yang berpotensi untuk ber-reproduksi diantara mereka,
dan tidak mampu ber-reproduksi dengan kelompok lain. Sedangkan secara
morfologis, spesies adalah Sekelompok individu yang mempunyai karakter morfologi,
fisiologi atau biokimia berbeda dengan kelompok lain. Ancaman bagi spesies
adalah kepunahan. Suatu spesies dikatakan punah ketika tidak ada satu pun
individu dari spesies itu yang masih hidup di dunia. Terdapat berbagai tingkatan
kepunahan, yaitu :
- Punah dalam skala global : jika beberapa individu hanya dijumpai di
dalam kurungan atau pada situasi yang diatur oleh manusia, dikatakan
telah punah di alam
- Punah dalam skala lokal (extirpated) : jika tidak ditemukan di tempat
mereka dulu berada tetapi masih ditemukan di tempat lain di alam
- Punah secara ekologi : jika terdapat dalam jumlah yang sedemikian sedikit
sehingga efeknya pada spesies lain di dalam komunitas dapat diabaikan
- Kepunahan yang terutang (extinction debt) : hilangnya spesies di masa
depan akibat kegiatan manusia pada saat ini
Diperkirakan pada masa lampau telah terjadi 5 kali episode kepunahan
massal. Kepunahan massal terbesar diperkirakan terjadi pada akhir jaman
permian, 250 juta tahun lalu. Diperkirakan 77%-96% dari seluruh biota laut punah
ketika ada gangguan besar seperti letusan vulkanik serentak atau tabrakan dengan
asteroid yang menimulkan prubahan dramatik pada iklim bumi sehingga banyak
spesies mengalami kepunahan. Kepunahan sesungguhnya merupakan fenomena
alamiah, namun mengapa hilangnya spesies menjadi masalah? Pengurangan atau
penambahan spesies secara efektif ditentukan oleh laju kepunahan dan laju
spesiasi. Spesiasi adalah proses yang lambat. Selama laju spesiasi sama atau leih
cepat daripada laju kepunahan maka keanekaragaman hayati akan tetap konstan
atau bertambah. Pada periode geologi yang lalu hilangnya spesies diimbangi atau
dilampaui oleh evolusi dan pembentukan spesies baru. Saat ini tingkat kepunahan
mencapai 100-1000 kali dari tingkat kepunahan. Disebabkan oleh aktivitas
manusia. Kepunahan saat ini disebut kepunahan keenam.

44
Secara konseptual, biologis, dan hukum, spesies merupakan fokus utama
dalam konservasi. Sebagian besar masyarakat telah memahami konsepsi spesies
dan mengetahui bahwa dunia memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi tetapi
sebagian di antaranya sedang menuju kepunahan. Ahli biologi telah memfokuskan
pada spesies selama berabad abad dan telah mengembangkan sistem penamaan,
pengkatalogan, dan perbandingan antar spesies. Berbagai upaya konservasi telah
dilakukan, mulai dari pendanaan sampai program recovery difokuskan pada
spesies. Peraturan perundangan tentang konservasi juga memfokuskan pada
spesies. Misalnya: US Endangered Species Act, Convention on International
Trade in Endangered Species, Perlindungan Floran dan Fauna di Indonesia.

Faktor-faktor yang mendorong semakin meningkatnya kepunahan antara lain :


Kerusakan hutan tropis, Kehilangan berbagai spesies, Kerusakan habitat,
fragmentasi habitat, Kerusakan ekosistem, Polusi, Perubahan iklim global,
Perburuan, eksploitasi berlebihan, Spesies asing/pengganggu, dan Penyakit.
Masing-masing faktor saling mempengaruhi satu sama lain.

a. Hilangnya habitat
Ancaman terbesar bagi keanekaragaman hayati adalah penghancuran
habitat oleh manusia. Pertambahan penduduk dan peningkatan konsumsi
sumberdaya alam, menyusutkan luasan ekosistem secara dramatis. Pembangunan
bendungan, pengurugan danau, merusak banyak habitat perairan. Pembangunan
pesisir menyapu bersih karang dan komunitas pantai. Hilangnya hutan tropis
sering disebabkan perluasan lahan pertanian dan pemungutan hasil hutan secara
besar-besaran. Sekitar 17 juta hektar hutan hujan tropis dibabat habis tiap tahun,
sehingga sekitar 5-10 % species dari hutan hujan tropis akan punah dalam 30
tahun mendatang.
b. Species pendatang
Dalam ekosistem yang terisolasi, seperti pada pulau kecil yang jauh dari
pulau lain, kedatangan species pemangsa , pesaing atau penyakit baru akan cepat
membahayakan species asli. Di Indonesia, kedatangan padi-padi varietas unggul
secara perlahan dan sistematis menggususr varietas padi lokal. Kini kita sulit

45
menemukan padi lokal seperti rojo lele, jong bebe, dll. Yang rasanya jauh lebih
enak dari jenis pendatang. Menurut catatan, 1500 jenis padi lokal Indonesia punah
dalam 15 tahun terakhir.
c. Eksploitasi berlebihan
Banyak sumberdaya hutan, perikanan dan satwa liar dieksploitasi secara
berlebihan. Banyak kelangkaan disebabkan oleh perburuan, untuk mendapatkan
gading gajah, cula badak, burung nuri, cenderawasih, dll. Pengambilan gaharu
yang berlebihan mengurangi populasi alami, hingga para pemburu gaharu harus
mencari lebih jauh ke dalam hutan.
d. Pencemaran
Pencemaran mengancam, bahkan melenyapkan species yang peka.
Pestisida ilegal yang digunakan untuk mengendalikan udang karang
sepanjang perbatasan Taman Nasional Coto Donana di Spanyol, telah membunuh
30.000 ekor burung. Pertambakan udang yang intensif di sepanjang pantai utara
pulau Jawa telah merusakkan sebagian besar terumbu karang dan hutan mangrove,
karena sisa makanan udang dan pemupukan tambak merangsang pertumbuhan
alga yang menghancurkan terumbu karang.
e. Perubahan iklim global
Di masa mendatang efek samping pencemaran udara yang menimbulkan
pemanasan global, mengancam keragaman hayati. Efek rumah kaca menaikkan
suhu bumi 1-3 o C, sehingga permukaan laut naik 1-2 meter. Banyak species flora
dan fauna tidak akan mampu menyesuaikan diri.
f. Monokulturisasi
Industri pertanian dan kehutanan yang memprioritaskan ekonomi
terbukti memberi andil besar bagi hilangnya keragaman hayati. Pertanian dan
kehutanan modern cenderung monokultur, menggunakan pupuk dan pestisida
untuk mendapat hasil sebesar-besarnya. Hutan tanaman industri (HTI)
memprioritaskan tanaman-tanaman eksotik (dari luar) yang dapat dipanen
dengan cepat, seperti acaccia mangium, eucalyptus sp, sehingga menggususr
jenis lokal dan mengubah ekosistem hutan secara drastis.

46
Berbagai uraian tentang keanekaragaman hayati, mulai dari berbagai
kriteria keragaman hayati, species terancam punah beserta kategorisasinya,
serta berbagai ancaman yang dapat menyebabkan hilangnya keanekaragaman
hayati, melengkapi pemahaman mahasiswa mengenai pentingnya melakukan
kegiatan konservasi sumberdaya alam hayati bagi kepentingan umat manusia
dan keselamatan bumi.

Polu-
si
Kerusakan
hutan Kerusakan
tropis habitat
Manu-sia

Kehilangan Perubahan
berbagai iklim global
spesies

Perbu-
ruan

Gambar 2.
Saling keterkaitan antara faktor-faktor penyebab kepunahan spesies

Fokus konservasi tingkat spesies dilakukan pada tingkat populasi.


Populasi suatu spesies dapat lestari sehingga dapat dimanfaatkan oleh generasi
sekarang dan generasi yang akan datang. Kunci menyelamatkan spesies adalah
dengan melindungi populasi yang ada.

47
Perubahan landuse
Tingkat Perubahan iklim
lansekap Perubahan pada tingkat
Suksesi lansekap terutama pada
Kerusakan ketersediaan habitat
yang bersifat
menentukan sampai
sejauh mana suatu
Tingkat
Laju kelahiran habitat sesuai bagi
Populasi Laju kematian suatu spesies.
Imigrasi Ketersediaan habitat
Emigrasi yang sesuai, perilaku,
dan physiologi suatu
individu organisme
saling berinteraksi
mempengaruhi dinamika
Tingkat
Laju konsumsi suatu populasi.
individu Laju pertumbuhan
Seleksi habitat
Penghindaran dari
predator

Spesies yang rentan terhadap kepunahan adalah spesies yang:

- Sebaran geografi yang sempit


- Terdiri atas satu atau beberapa (tidak banyak) populasi
- Populasinya sedikit
- Ukuran populasinya menurun
- Kepadatan populasi rendah
- Memerlukan daerah jelajah yang luas
- Hewan dengan ukuran tubuh besar
- Kemampuan menyebar yang lemah
- Bermigrasi musiman (tergantung pada 2 atau lebih haitat yang berlainan)
- Variasi genetik rendah
- Memerlukan habitat khusus
- Hanya dijumpai pada lingkungan utuh stabil
- Membentuk kelompok, permanen atau sementara
- Terisolasi atau belum pernah kontak dengan manusia
- Diburu atau dipanen manusia
- Berkerabat dekat dengan spesies yang telah punah

48
Kategori IUCN untuk Spesies-spesies Yang Terancam Kepunahan

Saat menerbitkan edisi pertama Red Data Booksnya, IUCN telah


memperkenalkan pengkatagorian spesies yang terancam kepunahan berdasarkan
status ekologis dan besarnya ancaman yang diterima spesies tersebut.
Pengkatagorian tersebut kemudian dikritik Georgina Mace dan Russel Lande, dua
peneliti yang tergabung dalam Panitia Pengarah IUCN/SSC karena dinilai amat
subyektif sifatnya. Kedua peneliti tersebut mengajukan usulan untuk memperbaiki
pengkatagorian dan mendefinisikan ulang katagori-katagori tertentu agar lebih
obyektif dan kuantitatif. Hingga sekarang, usulan Mace dan Lande itu masih
dalam tahap pembahasan dan penilaian kemungkinan penerapannya, karena
penggunaan sistem katagori baru secara meluas sudah tentu akan menyangkut
berbagai level sumberdaya yang tersedia.

Katagori yang lama adalah:

- Extinct (Punah), yakni apabila selama 50 tahun terakhir tidak ada lagi data
yang menunjukkan secara jelas keberadaan spesies tersebut (kriteria menurut
CITES).
- Endangered (Terbahayakan), yakni spesies yang berada dalam bahaya
kepunahan dan tidak mungkin bertahan lestari tanpa menghentikan sumber-
sumber penyebab kepunahannya.
Termasuk ke dalam katagori ini spesies-spesies yang populasinya di
alam terus menurun menuju titik kritis, atau yan ghabitatnya menyusut drastis
hingga membahayakan kelestariannya. Juga spesies yang diperkirakan punah,
namun dalam jangka 50 tahun terakhir keberadaannya sempat tercatat secara
akurat.

- Vulnerable (Rawan), yakni spesies-spesies yang diperkirakan tengah menuju


ke dalam katagori terbahayakan di saat-saat mendatang, apabila sumber-
sumber yang mengancamnya tidak dihentikan atau ditanggulangi
Termasuk ke dalamnya adalah spesies-spesies yang sebagian besar
atau seluruh populasinya tengah menyusut karena permanenan yang berlebihan
(overeksploitasi), kerusakan habitat yang meluas ataupun gangguan lingkungan

49
yang lain; spesies-spesies yang populasinya menyusut dengan gawat,
sementara upaya pengamanan yang (tengah) dilakukan tidap dapat
mengantisipasinya; dan spesies-spesies yang walaupun masih terdapat dalam
jumlah yang cukup, namun terancam oleh faktor-faktor yang dapat
merugikannya yang berada di lingkungannya.

- Rare (Langka), yakni spesies-spesies yang total populasinya kecil, yang


walaupun tidak termasuk ke dalam katagori-katagori di atas namun berada
pada kondisi yang riskan. Mungkin penyebarannya terbatas secara geografis
atau pada habitat-habitat tertentu; atau menyebar luas namun dalam populasi-
populasi yang kecil saja.
- Indeterminate, spesies-spesies yang diketahui terbahayakan, rawan atau
langka, namun tidak cukup informasi untuk menyatakan secara tepat
termasuk jyang mana dari tiga katagori tersebut.
- Insufficiently Known, ialah spesies-spesies yang disangka kuat namun belum
dapat secara tegas masuk ke dalam katagori-katagori di atas karena
informasinya masih kurang.
Di samping itu masih ada katagori tambahan, yakni terancam komersial yang
menunjukkan bahwa spesies-spesies tersebut belum terancam kepunahan, namun
sebagian besar atau keseluruhan populasinya tak kan dapat bertahan sebagai
sumberdaya komersial yang berkelanjutan tanpa adanya pengaturan terhadap
eksploitasinya. Umumnya katagori terakhir ini diterapkan pada spesies-spesies
yang memiliki ukuran populasi yang besar, seperti halnya spesies-spesies ikan
komersial di laut.

Species terancam menurut Daftar Merah


Suatu spesies dikatakan terancam jika diperkirakan mengalami kepunahan dalam
masa yang tak lama lagi. Persatuan Konservasi Dunia (The World Conservation
Union, IUCN) menerbitkan sebuah buku dengan nama Dartar Merah ini terancam
satu demi satu. Daftar Merah ini direvisi setiap 2 tahun sejak 1986 oleh Pusat
Monitor Konservasi Dunia (World Conservation Monitoring Centre), bersama

50
jaringan kelompok khusus dari Komisi Ketahanan Spesies (Spesies Survival
Commission Spesial Groups) IUCN.
Menurut Daftar Merah IUCN edisi 1990, terdapat 4.452 spesies satwa
yang terancam punah. Kelas satwa dengan jumlah spesies terbesar yang terancam
adalah serangga (1.083 spesies) dan burung (1.029). disusul ikan (713), mamalia
(507), kerang-kerangan (409), reptillia (169), karang (154), cacing anelida (139),
krustasea (126), dan amfibia (57).
Demikian juga dengan tumbuhan, kondisinya tak kalah memprihatinkan.
Tumbuhan yang terancam di Asia mencapai 6.608 spesies, eropa tanpa Jerman
2.677, Amerika Tengah dan utara 5.747, Amerika Selatan 2.061, Oceania 2.673
dan Afrika 3.308. jumlah yang sebenarnya di lapangan bahkan bisa lebih banyak
dari itu. Selanjutnya setiap spesies di dalam Daftar Merah tersebut dikategorikan
terancam dengan melihat berbagai faktor yang mempengaruhinya sebagaimana
tingkatan/status yang telah diungkapkan di atas.
Pada waktu selanjutnya, IUCN melakukan revisi dalam
pengkategorisasian species terancam punah ke dalam berbagai kategori sebagai
berikut :
PUNAH Extinc (EX) Suatu taxon dikatakan punah jika tidak ada keraguan
lagi bahwa individu terakhir telah mati.
PUNAH DI ALAM Extinct in the wild (EW) Suatu taxon dikatakan punah
di alam jika dengan pasti diketahui bahwa taxon tersebut hanya hidup di
penangkaran, atau hidup di alam sebagai hasil pelepasan kembali di luar daerah
sebaran aslinya. Suatu taxon dianggap punah di alam jika telah dilakukan survai
menyeluruh di daerah sebarannya atau di daerah yang memiliki potensi sebagai
daerah sebarannya di alam, survai dilakukan pada waktu yang tepat, dan survai
tersebut gagal menemukan individu taxon tersebut. Survai harus dilakukan
sepanjang siklus hidup taxon tersebut.
KRITIS Critically Endangered (CR) Suatu taxon dikatakan kritis jika
taxon tersebut menghadapi resiko kepunahan sangat tinggi di alam

51
GENTING Endangered (EN) Suatu taxon dikatakan genting jika taxon
tersebut tidak termasuk kategori kritis saat menghadapi resiko kepunahan sangat
tinggi di alam dalam waktu dekat
RENTAN Vulnerable (VU) Suatu taxon dikatakan rentan jika taxon
tersebut tidak termasuk kategori kritis atau genting tetapi menghadapi resiko
kepunahan tinggi di alam
KEBERADAANNYA TERGANTUNG AKSI KONSERVASI
Conservation Dependent (CD) Untuk dianggap sebagai CD suatu taxon harus
merupakan fokus dari program konservasi jenis atau habitat yang secara langsung
mempengaruhi taxon dimaksud.
RESIKO RENDAH Low Risk (LR) Suatu taxon dikatakan beresiko rendah
jika setelah dievaluasi ternyata taxon tersebut tidak layak dikategorikan dalam
kritis, genting, rentan, Conservation Dependent atau Data Deficient. Kategori ini
masih dapat di bagi lagi menjadi tiga, yaitu: (i) taxon yang nyaris memenuhi
syarat untuk dikatakan terancam punah (Near-Threatened), (ii) taxon yang tidak
begitu menjadi perhatian, (iii) taxon yang saat ini jumlahnya besar tetapi memiliki
peluang yang sangat kecil untuk punah di masa depan.
KURANG DATA Data Deficient (DD) Suatu taxon dikatakan kekurangan
data jika informasi yang diperlukan, baik sifatnya langsung maupun tidak
langsung, untuk menelaah resiko kepunahan taxon dimaksud berdasarkan
distribusi atau status tidak memadai. Taxon dalam kategori ini mungkin telah
banyak dipelajari aspek biologinya, tetapi data kelimpahan dan atau distribusinya
masih kurang. Berdasarkan hal tersebut DD tidak dapat dimasukkan ke dalam
kategori terancam punah atau beresiko kecil. Dengan memasukkan taxon ke
dalam kategori ini menunjukkan bahwa informasi tentang taxon tersebut sangat
diperlukan.
TIDAK DIEVALUASI Not Evaluated (NE) Suatu taxon dikatakan tidak
dievaluasi jika taxon tersebut tidak dinilai berdasarkan kriteria di atas. Gambar 3,
berikut menjelaskan hubungan kategori keterancaman dan proses dalam
penentuan kategori keterancamannya.

52
Punah
Punah
Punah di Alam

Kritis
Terancam Punah Genting
Rentan

Tergantung Aksi Konservasi

Tidak Terancam Mendekati Terancam Punah


Punah Resiko Rendah Bukan Jenis yang Diperhatikan
Melimpah

SEMUA JENIS Mendekati Terancam Punah


Kurang Data
Bukan Jenis yang Diperhatikan
Tidak Dievaluasi

Melimpah

Gambar 3. Hubungan antar kategori keterancaman menurut IUCN. Diagram di atas


menunjukkan proses/jalan yang ditempuh oleh suatu jenis bagi penentuan kategori
status keterancaman.

53
Kategori kritis, genting, dan rentan, sebagai kategori yang perlu mendapatkan
perhatian utama berdasarkan penjelasan yang diuraikan dalam masing-masing kategori
tersebut di atas, maka peluang keterancamannya lebih lanjut digambarkan sebagai
berikut :

KRITIS GENTING RENTAN

Memiliki peluang Memiliki peluang Memiliki peluang


untuk punah >50% untuk punah >20% untuk punah >16%
dalam kurun waktu dalam kurun waktu dalam waktu kurun
100
5 tahun 20 tahun waktu 100 tahun

0
Waktu (tahun) 100

Gambar 4. Besarnya peluang suatu jenis untuk punah berdasarkan


kategori ancaman menurut IUCN.

Selanjutnya kriteria kritis, genting dan rentan tersebut di atas masing-masing


diidentifikasi berdasarkan batasan penjabaran dalam tabel berikut :

Tabel 2. Batasan Kategori Terancam Punah Dari IUCN


Kriteria Kriteria Genting Rentan
A. Penurunan Tajam >80% selama 10 tahun atau 3 >50% selama 10 tahun atau 3 >50% selama 20 tahun atau 5
generasi generasi generasi

B. Daerah Sebaran yang Luas daerah sebaran <100 Luas daerah sebaran <5.000 Luas daerah sebaran <20.000
sempit km2. km2. km2.
Luas daerah yang ditempati Luas daerah yang ditempati Luas daerah yang ditempati
<10 km2. <500 km2. <2.000km2.

C. Populasi Kecil <250 individu dewasa. <2.500 individu dewasa. <10.000 individu dewasa.

<50 individu dewasa. <250 individu dewasa. <1.000 individu dewasa.


D1. Populasi Sangat Kecil
- <100 km2 atau 5 lokasi
D2. Daerah Sebaran Sangat -
Kecil
Memiliki peluang untuk Memiliki peluang untuk punah
E. Kemungkinan Punah Memiliki peluang untuk punah >20% dalam kurun 10% dalam kurun waktu 100
punah <50% dalam kurun waktu 20 tahun tahun
waktu 5 tahun

54
6.4 Konservasi Tingkat Ekosistem

Dunia yang beraneka ragam ini dapat dikelompokkan menjadi berbagai


tipe ekosistem. Mulai dari puncak pegunungan hingga dasar lautan, dari kutub
hingga daerah tropis. Ekosistem yang paling kaya keragaman hayatinya adalah
hutan hujan tropis. Walau hutan hujan tropis hanya meliputi 7% permukaan bumi,
namun daerah ini mengandung paling sedikit 50% hingga 90% dari semua spesies
tumbuhan dan satwa.

Negeri kita Indonesia memiliki 47 jenis ekosistem alam khas, mulai


padang salju di Irian Jaya hingga hutan hujan dataran rendah, dari danau dalam
hingga rawa dangkal, dan dari terumbu karang hingga taman rumput laut dan
mangrove. Keanekaragaman hayati yang tinggi di Indonesia disebabkan karena
letaknya pada persilangan pengaruh antara benua Asia dan Australia. Pencetus
gagasan pemisahan biogeografi kedua benua itu adalah Alfred Russel Wallace,
pakar biologi yang hidup sezaman dengan Charles Darwin. Garis itu berawal dari
sebelah selatan Pulau Mindanao (Filipina) menyusuri Selat Makasar, Selat
Lombok hingga ujung barat Australia. Kawasan biogeografi Asia dan bagian-
bagiannya disebut Orientalis. Wilayah Indonesia yang termasuk kawasan ini
adalah Sumatra, Kalimantan dan Jawa. Seluruh Pulau Irian, Australia dan
Tasmania termasuk kawasan Australis. Sedangkan Sulawesi, Nusa Tenggara dan
Maluku peralihan antara keduanya. Pemisahan ini terutama belaku bagi jenis-jenis
mamalia. Untuk satwa yang bisa terbang, garis pemisahan lebih rumit. Pada
umumnya, semakin ke timur jenis-jenis burung Indo-Malaya semakin berkurang,
demikian pula sebaliknya. Beberapa hewan khas kawasan Wallacea adalah Nuri,
Kesuari, Cendrawasih, Maleo, Babirusa, Anoa, Komodo, Kuskus.

a. Ekosistem Padang Rumput


Padang rumput adalah kawasan yang didominasi oleh rumput dan spesies
lain sejenisnya dengan beberapa pohon (kurang dari 10-15 pohon/ha), akibat
kekeringan yang periodik. Mereka dikenal dengan berbagai nama di berbagai

55
belahan dunia: savanah di Afrika, rangeland di Australia, steppe di Eurasia,
prairie di Amerika Utara, cerrados atau pampas di Amerika Selatan.
Padang rumput ini terjadi secara alami, semi alami, atau diolah. Padang
rumput yang diolah biasanya ditanami dan dirawat secara intensif, seperti padang
rumput gandum di Eropa Barat. Tipe padang rumput ini hanya mempunyai andil
kecil bagi pemeliharaan keanekaragaman hayati. Sedangkan padang rumput semi
alami, walaupun tidak ditanami tapi mereka berkembang secara luas akibat
penggembalaan ternak domestik. Mereka penting bagi keragaman hayati karena
sejumlah spesies di padang rumput tergantung padanya.
Tingkat keanekaragaman flora di padang rumput alami dan semi alami
tinggi, namun kekayaan spesies satwanya rendah. Kurang dari 5% spesies burung
dunia dan 6% spesies mamalia dunia beradaptasi atau hidupnya tergantung pada
padang rumput.

b. Ekosistem Hutan
Hutan menyediakan bahan makanan, sandang, bahan bakar, bahan
bangunan dan bahan-bahan lain bagi kehidupan manusia. Jutaan orang
menggantungkan hidup pada sumber daya hutan, bagi hajat mereka di bidang
ekonomi, sosial budaya, lingkungan dan religi.
Berdasarkan faktor iklim, hutan dibagi menjadi dua: hutan hujan dan hutan
musim. Hutan hujan ada yang terletak pada daerah tropis, ada yang di daerah
beriklim sedang. Hutan hujan tropis sangat kaya akan spesies. Walaupun luas
seluruh hutan hujan tropis hanya 0,2 persen (292.000 km2) dari luas permukaan
bumi, mengandung tak kurang dari 34.400 spesies tanaman endemik. Sekitar 13
persen spesies tumbuhan dunia hidup di hutan hujan tropis.
Kawasan tropika juga punya jenis hutan ranggas musiman, yaitu di tempat
yang curah hujan pada musim keringnya di bawah 100 mm. Pada musim itu
pepohonan menggugurkan daun. Tapi juga ada beberapa tumbuhan yang justru
berbunga pada masa itu. Jadi berbeda dengan hutan ranggas di daerah beriklim
sedang, yang pada musim dingin tampak seolah mati sama sekali.

56
c. Ekosistem Lahan Basah
Lahan basah mencakup berbagai jenis habitat dan komunitas, yang sangat
dipengaruhi uleh kehadiran perairan di sekitarnya. Hampir lahan basah dunia
terdapat di Kanada, yaitu lebih dari 1,2 juta km2. Daerah lahan basah utama yang
lain terdapat di Afrika Tengah, Asia (khususnya Cina dan Indonesia), Amerika
Selatan dan bekas Uni Soviet. Lahan basah di Indonesia mencapai 4,34% dari luas
daratan.
Lahan basah dapat dibagi menjadi dua:
- Lahan basah pesisir. Meliputi pesisir yang tergenang air, umumnya payau,
permanen atau musiman. Umumnya dipengaruhi pasang surut air laut.
Termasuk dalam kelompok ini ekosistem hutan mangrove, dataran lumpur dan
pasir, muara sungai, padang lamun, dan rawa-rawa pesisir.
- Lahan basah daratan. Meliputi daerah yang tergenang air permanen maupun
musiman, di darat atau dikelilingi daratan, tapi tidak terkena pengaruh air laut.
Kelompok ini meliputi ekosistem danau, telaga, sungai, rawa air tawar, kolam
dan danau musiman.
Ciri ekosistem lahan basah antara lain:
- Paling tidak secara periodik ditumbuhi tumbuhan air;
- Kondisi substratnya jenuh air atau tertutup air dangkal, paling tidak secara
periodik yaitu pada musim tumbuh.

Mengacu pada sistem klasifikasi lahan basah utama menurut konvensi


Ramsar, Indonesia memiliki jenis-jenis ekosistem lahan basah sbb.:
1. Kawasan laut (marin) meliputi kelompok lahan basah pesisir yang berair asin,
termasuk pantai berbatu, terumbu karang dan padang lumut.
2. Kawasan muara (estuarin) meliputi muara sungai, delta, rawa pasang surut,
yang berair payau dan hutan bakau (hutan mangrove).
3. Kawasan rawa (palustrin) meliputi tempat-tempat yang bersifat merawa
(berair tergenang atau lembab), misalnya hutan rawa air tawar, hutan rawa
gambut, dan rawa rumput.

57
4. Kawasan danau (lakustrin) meliputi semua lahan basah yang berhubungan
dengan danau dan rawa rumput.
5. Kawasan sungai (riverin) meliputi lahan basah yang terdapat sepanjang sungai
atau perairan yang mengalir.
Hutan Mangrove
Salah satu lahan basah utama adalah kawasan mangrove. Areal mangrove
terluas terdapat di Indonesia (lebih dari 4 juta ha) dan Asia lainnya, Afrika,
Australia, Karibia, Amerika Tengah dan Selatan.

d. Ekosistem Laut
Laut merupakan habitat terbesar di bumi, tapi sisi bioliginya paling
sedikit diketahui dan diteliti. Ekosistem laut dimulai dari perbatasan ekosistem
lahan basah pesisir, yaitu daerah pantai pasang surut, terumbu karang, laut
dangkal, hingga pakung-palung laut dalam yang tidak pernah terkena cahaya
matahari.
Walaupun saling berhubungan, namun semua eksistem di laut memiliki
batas wilayah. Masing-masing merupakan tempat hidup dan mencari makan dari
satwa laut yang berbeda.
Ekosistem terumbu kkarang adalah satu ekosistem alami dunia yang
paling beragam, sehingga serign desebut hutan hujan tropiknya laut. Secara global
terdapat sekutar 600.000 km2 terumbu karang; lebih dari setengahnya terdapat di
Samudra Hindia (termasuk Laut Merah dan teluk Persia). Sisanya dibagi rata
antara Kepulauan Karibia, Pasifik Selatan (termasuk Australia) dan Pasifik Utara.
Luas terumbu karang di Indonesia 0,38% dari seluruh wilayah. Namun sayang,
data terakhir menunjukkan hanya 7% terumbu karang Indonesia yang masih baik
kondisinya. Selebihnya telah rusak, terganggu atau agak rusak.
Ekosistem laut dalam adalah bagian laut dengan kedalaman lebih dari
200 m, sehingga hampir berada dalam suasana gelap abadi. Bagian terdalam, yaitu
600 meter lebih, disebut zona afotik, yang tidak mendapat cahaya sama sekali.
Sedangkan zona eufotik masih mendapat cahaya, sehingga di sinilah berlangsung
semua produksi primer.

58
Pernah ada anggapan, laut dalam adalah gurun biologis, karena
rendahnya populasi organisme. Tapi sejak awal tahun 1960-an tabir tersingkap,
keragaman komunitas laut dalam cukup tinggi.
Kondisi hidup memaksa penghuni laut dalam melakukan adaptasi besar-
besaran. Contoh yang paling jelas adalah dalam hal warna, yang cenderung abu-
abu keperakan atau hitam kelam. Bahkan banyak biota laut dalam yang tubuhnya
transparan saja.

59
Bab VII
Strategi Konservasi Kawasan

7.1 Dasar Penetapan Kawasan Konservasi

Berbagai latar belakang mengenai pentingnya konservasi sumberdaya


hutan dalam skala global sampai lokal, menuntut penjelasan lebih lanjut tentang
berbagai pertimbangan yang perlu diketahui sebagai dasar penetapan kawasan
konservasi. Bab ini menyajikan pertimbangan-pertimbangan biologis yang
mendasari identifikasi kawasan konservasi, dengan maksud agar dapat memberi
petunjuk bagi para perencana, baik di dalam kalangan petugas konservasi maupun
pihak-pihak lain yang berkepentingan ataupun terlibat dengan penetapan kawasan
konservasi tersebut.
Dalam bab ini diuraikan beberapa pertimbangan biologis, fisik dan
ekonomi yang mendasari penetapan kawasan konservasi, meliputi (1)
pertimbangan habitat; (2) keendemisan dan keanekaan jenis; (3) pertimbangan
biogeografi; (4) pertimbangan wilayah dan luas kawasan yang dikonservasi; (5)
faktor fisik dan manusia, serta (6) pertimbangan ekonomi. Keenam dasar
pertimbangan tersebut merupakan perwujudan dari upaya pengitegrasian berbagai
kepentingan, serta menjelaskan bahwa konservasi tidak harus mengesampingkan
nilai ekonomi, lintas sektoral serta tetap mempertimbangan kepentingan
masyarakat.
Kawasan konservasi, mempunyai peran yang sangat penting dalam
melindungi sumberdaya alam serta melestarikan keanekaragaman hayati.
Berbagai bentuk kawasan secara umum telah diuraikan dalam bab sebelumnya.
Pada dasarnya. Setiap bentuk kawasan konservasi mempunyai tujuan pengelolaan
dan pelestarian tertentu, sehingga dalam hal penetapan kawasan diperlukan
persyaratan-persyaratan tertentu.

60
Bab ini akan membahas beberapa pertimbangan yang mendasari penetapan
suatu kawasan konservasi menyangkut :
a. Habitat
b. Keendimisan dan keanekaan jenis
c. Biogeografi
d. Wilayah dan Luas kawasan
e. Faktor fisik dan manusia
f. Nilai Ekonomi.
Keenam hal ini akan diuraikan satu persatu dan dilengkapi dengan berbagai
ilustrasi untuk memperjelas bahasan.
Uraian yang disajikan dalam bab ini merupakan dasar informasi yang
penting guna mempelajari bab-bab selanjutnya, diharapkan, dengan menerapkan
kriteria yang benar bagi penetapan setiap kawasan konservasi, maka tujuan
perlindungan, pelestarian dan pengawetan sumberdaya alam dapat kita wujudkan.

Dasar-dasar penetapan kawasan konservasi


a. Habitat
Habitat merupakan tempat atau adres dimana suatu jenis tumbuhan atau
hewan biasa terdapat (Smiet, 1986). Kehidupan binatang dan tumbuhan yang
beraneka ragam di alam meliputi rangkaian habitat yang beraneka ragam pula.
Ada jenis yang tempatnya di dartah yang paling rendah di atas muka laut sampai
ke daerah pegunungan yang paling tinggi. Sebagian jenis mempunyai habitat
(tempat tinggal) yang luas, namun ada sebagian jenis yang lain menempati bagian
yang sempit. Misalnya tikus bandicoot (Microperocyctes murina) tempat
tinggalnya terbatas pada wilayah hutan lumut dataran tinggi (seperti dijumpai di
Peg. Arfak dan Weyland), sedang jenis burung biasanya dapat ditemukan pada
wilayah yang lebar di perbagai ketinggian tempat (Petocz, 1987). Kebanyakan
dari burung sesap madu (Meliphogidae) dapat meliputi wilayah dengan perbedaan
ketinggian 1.000,1.500 atau bahkan lebih dari 2.000 m, dengan memanfaatkan
pohon-pohonan berbunga untuk diambil nectar atau serangganya. Beberapa jenis
burung bahkan mau mengunjungi pohon buah-buahan musiman di wilayah yang

61
lebih rendah, kalau tempat tinggal di pegunungan sudah kurang produktif. Tetapi
jenis-jenis yang luas wilayahnya inipun memerlukan keseluruhan tempat tinggal
yang terbatas, untuk bertahan. Misalnya sejumlah jenis burung yang
memanfaatkan kemakmuran tempat di daera yang tinggi tetapi kemudian kembali
lagi ke tempat tinggal semula yang teduh dan sepi di hutan bakau untuk bersarang
dan berkembang biak. Karena itu penting sekali untuk memahami perilaku
tumbuhan maupun binatang, agar penetapan desain kawasan konservasi bagi
suatu/kelompok jenis dapat dipertimbangkan luas habitatnya.
Pengenalan habitat untuk setiap/sekelompok jenis hidupan perlu dilakukan
supaya dapat diketahui dengan pasti apakah suatu/sekelompok jenis merupakan
jenis spesifik yang hanya bisa tinggal di satu tempat tertentu atau bahkan
sebaliknya suatu/sekelompok jenis tidak memiliki kekhususan tempat tinggal atau
dapat tinggal di sembarang tempat sehingga keberadaannya tidak perlu perhatian
khusus.
Bagi jenis-jenis yang sangat terbatas habitatnya memiliki skala kerawanan
yang lebih tinggi karena kalau terjadi kerusakan terhadap habitatny secara
langsung akan menurunkan atau bahkan memusnahkan populasinya. Oleh karena
itu perhatian dalam penetapan jenis yang dikonservasi di titik beratkan pada jenis
yang memiliki habitat sempit tersebut. Namun demikian bukan berarti bahwa
terhadap jenis yang memiliki habitat cukup luas lalu tidak mendapat perhatian,
seperti misalnya burung yang dalam mencari makan dapat mencapai jarak yang
sangat jauh dari tempat tinggalnyapun juga perlu mendapat perhatian, kalau
memang populasinya sudah rawan atau menuju ke ambang kepunahan. Untuk
kasus yang seperti ini berarti desain penetapan batas kawasan lindung apa boleh
buat harus mencakup kawasan yang luas, sesuai dengan kisaran home range-nya.
Kecuali faktor ketinggian (vertikal), faktor horizontal juga menjadi
pertimbangan habitat yang penting, karena ada kalanya sebaran floristik tidak
sama. Wilayah dataran yang sama. Itu berarti bahwa faktor floristik juga
mempengaruhi penyebaran menyeluruh dari jenis binatang baik tipenya maupun
jumlahnya yang dapat didukung dalam setiap wilayah. Karena penyebaran habitat

62
secara mendatar juga sama pentingnya untuk dipertimbangkan bersama dengan
perubahan yang timbul karena perbedaan tinggi tempat di atas muka laut.

b. Keendemisan dan keanekaan jenis


Penyebaran jenis, khususnya jenis-jenis yang endemis atau unik bagi suatu
tempat juga merupakan unsur kunci dalam pemilihan awal kawasan konservasi.
Di Indonesia, keunikan jenis ini sangat menonjol misalnya Badak bercula satu di
Ujung Kulon , Banteng di Baluran, Orang Utan di Tanjung Puting, burung
Cendrawasih di Irian, Komodo di pulau Komodo, bunga Raflesia di Bengkulu dan
sebagainya. Sangat disayangkan bahwa kekayaan biota kita yang melimpah ruah
itu belum didukung dengan ilmu pengetahuan yang memadai, sehingga ancaman
kepunahan dapat terjadi terhadap biota tersebut.
Keendemisan dan keanekaan jenis dipengaruhi oleh faktor tinggi tempat
(Petocz, 1987). Semakin tinggi letak suatu tempat di atas muka laut keanekaan
jenis biota semakin menurun, namun sebaliknya keendemisan justru naik.
Keadaan yang sangat mencolok ketika kita menuju bagian yang paling sederhana
dari ekosistem zone alpin yang tertinggi. Pada zona tersebut biasanya memiliki
lapisan tanah yang tipis, vegetasinya miskin sekali, ditandai oleh ketiadaan pohon-
pohonan, flora yang terdapat berupa tanaman yang tumbuh rendah dan merupakan
jenis yang terdapat berupa tanaman yang tumbuh rendah dan merupakan jenis
yang telah menyesuaikan diri dengan bagian yang paling dingin. Tetapi
sebalinknya di tempat yang tinggi tersebut satwa endemis makin banyak (Hasil
Survey Petocz di Irian ditemukan data 74 % burung endemis di daratan Irian Jaya
terbatas di pegunungan dan 50 % marsupalis endemis merupakan jenis
pegunungan). Terdapatnya sifat spesifik yang seperti ini, maka keendemisan dan
keanekaan jenis menjadi dasar pertimbangan yang juga harus diperhatikan dalam
membuat desain kawasan konservasi.

c. Biogeografi
Sebaran geografis flora dan fauna berkaitan sangat erat terhadap sejarah
geologi dunia. Penggabungan dan pemisahan daratan benua dan kepulauan

63
menggambarkan pola sebaran fauna & flora. Batas-batas alam seperti gunung
yang tinggi, selat, laut/samodra dapat membatasi sebaran spesies dapat juga
dipengaruhi oleh sebaran spesies yang lainnya, yaitu mangsa (prey).
Zoogeografi di Asia Tenggara dihasilkan oleh gerakan tektonis dan
perubahan tinggi muka laut (Lavieren, 1987). Dalam hal ini dikenal dua wilayah
plat (plate), yaitu Asian Plate yang terdapat di dalam kawasan plat Sunda (sunda
shelf), dan Australian New Guinea plate yang terdapat di dalam kawasan plat
Sahal (sahal shelf). Pada jaman Pleistocene, dimana tinggi muka laut masih
rendah, kepulauan di dalam plat Sunda bergabung dengan daratan Asia dan plat
Sahul bergabung dengan Australia. Apabila kita lihat pada peta Asia Tenggara
dapat kita ketahui bahwa sebaran flora dan fauna saat ini merupakan hasil migrasi
secara bertahap dari species dari dua arah yaitu dari timur laut (Benua Asia) dan
dari barat daya (Benua Australia). Situasi di kepulauan Indonesia menjadi
kompleks, karena merupakan daerah peralihan antara benua Asia Australia.
Australia, Irian Jaya dan pulau Aru termasuk di dalam kawasan plat Sahul
dan hanya dipisahkan oleh laut dangkal Arafura. Kepulauan Sunda meliputi pulau
Kalimantan, Sumatera, Jawa dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Daratan antara
Sulawesi, Nusa Tenggara dan Maluku terbentuk dari ledakan vulkanik dari laut
ataupun dari perpecahan daratan benua. Daratan ini merupakan tempat dimana
plat Sunda dan plat Sahul bertemu, dan biasanya daerah ini di tandai oleh
terjadinya gempa bumi secara kontinyu, ledakan - ledakan vulkanik dan
seringkali dibarengi dengan munculnya pulau-pulau baru. Sejumlah spesies
binatang yang mampu terbang dapat melintasi satu pulau ke pulau lain dan
tersebar ke dalam ke dua plat tersebut. Beberapa spesies mamalia juga berusaha
untuk mencapai pulau-pulau lain, dengan cara berenang atau terhanyut di atas
vegetasi. Keadaan ini dapat menjelaskan tentang system zoogeografi di dunia
yang diduga oleh Wallace didasarkan pada sebaran burung dan mamalia. Di Asia
tenggara dapat dijumpai dua bagian yaitu Oriental dan Australian. Bagian oriental
mencakup Himalaya Selatan, Srilanka, Assam, Birma, China, Taiwan,Thailand,
Indo China, Semenanjung Malaka, Malaysia Timur, Philipina dan kepulauan
kepulauan Indonesia kecuali Aru, Kai, Irian Jaya dan kepulauan kecil di

64
sekitarnya. Bagian Australian mencakup Australia, Aru, kepulauan Kai, Papua
Nugini, Irian Jaya dan pulau-pulau di sekitarnya termasuk kepulauan Bismarck
dan New Zealand.
Fauna oriental ditemukan sampai jauh ke timur (Sulawesi, Maluku yaitu
kera, rusa) di mana species fauna Australian menyusul ke barat (kuskus di
Sulawesi dan Timor, burung Cendrawasih di Maluku). Jadi semakin ke timur dari
kepulauan Indonesia jumlah species fauna oriental berangsur-angsur menurun dan
jumlah species fauna Australian meningkat.
Garis Wallace (yang didasarkan pada sebaran species burung)
menunjukkan batas barat dari sebaran tipe species fauna Australian. Garis ini
bergerak antara Kalimantan dan Sulawesi serta antara Bali dan Lombok. Garis
Liddeker dan garis Weber (Lihat peta 1) yang didasarkan pada sebaran mamalia
dan molluska menunjukkan batas timur dari spesies fauna oriental. Garis ini
bergerak antara Irian Jaya dan Maluku dan melintasi bagian barat kepulauan Aru.
Area diantara keduanya, termasuk Philipina, Sulawesi, Maluku dan sebagian kecil
kepulauan Sunda sebelah timur Bali merupakan zona transisi antara fauna oriental
dan Australian dan dinamakan sub bagian Wallacea.
Informasi geografis seperti ini penting sekali artinya dalam penetapan
kawasan konservasi, melalui pembagian unit-unit geografi sebagai satuan unit
pengelolaan berdasarkan keunikan masing-masing, misalnya daerah pegunungan,
daerah dataran rendah, pulau-pulau lepas pantai dan sebagainya.

d. Pertimbangan wilayah dan luas kawasan konservasi


Keperluan akan ruangan (lingkungan) hidup dari berbagai unsur flora dan
fauna itu berbeda-beda, sebanyak perbedaan tinggi letak di atas muka air laut, dan
perbedaan kesukaan akan tempat tinggal. Misalnya seekor katak pohon kesil dapat
mengalami seluruh daur hidupnya di wilayah kecil dari atap kumpulan cabang
yang tinggi dari tajuk satu batang pohon saja dalam hutan. Nyata sekali bahwa
keperluan tiap-tiap jenis akan wilayah minimum, tingkah laku teritorial mereka
atau ketiadaan tingkah laku mereka, bersama dengan kebiasaan sosial atau

65
kesendirian mereka akan menentukan jumlah pasangan yang dapat hidup bersama
dalam satu wilayah khusus bagi daerah penjelajahan mereka.
Agar dapat bermakna, setiap wilayah konservasi harus cukup luas untuk
dapat melindungi populasi semua unsur yang mampu hidup terus dengan mencari
makan sendiri dalam wilayah yang sudah dipilih secara cermat. Karena itu penting
sekali diketahui adanya apresiasi kebutuhan wilayah minimum dari jenis-jenis
kunci dalam setiap lokasi perlindungan sebelum dapat mengusulkan batas-batas
kawasan yang masuk akal. Dalam hal ini perhatian perlu dicurahkan terhadap
jenis-jenis dengan wilayah penjelajahan yang paling luas dan kebutuhan tempat
tinggal dari jenis-jenis dengan kebutuhan khusus. Penyediaan tempat yang cukup
bagi jenis ? itu akan menjamin bahwa sebagian besar unsur fauna yang lain
dengan sendirinya juga ikut dipertimbangkan. Tidak pelak lagi sebuah kawasan
konservasi yang lebih besar akan lebih banyak mengandung jenis, tempat tinggal
yang beraneka ragam, dan dapat memelihara jenis yang memerlukan wilayah luas
dan jenis yang terbatas di tempat tinggal yang khusus.
Tetapi kawasan konservasi itu sendiri (tidak soal berapa luasnya) biasanya
hanya mewakili suatu fragmen atau beberapa dari kisaran keseluruhan tiap unsur
fauna tertentu. Adalah mustahil untuk meliput keseluruhan kisaran geografi dari
tiap fauna di suatu tempat yang beraneka ragam dalam satu kawasan tunggal
ataupun ganda. Seandainya tiap jenis mengalami penurunan atau perguncangan
populasi kiranya satu bentuk kawasan konservasi perlu didukung lagi dengan
suatu penghalang yang dapat berupa tanah atau hutan untuk membiarkan gerakan
jenis yang sedang memulihkan kembali populasinya. Dalam hal ini sistem hutan
lindung dapat memegang peranan dasar yang sangat perlu dalam penyediaan
hubungan genetik yang penting antar wilayah konservasi. Karena itu desain dan
lokasi sistem hutan lindung harus dikoordinasikan dan diserasikan dengan system
wilayah konservasi. Sebagai unit tersendiri kawasan konservasi merupakan
semacam pulau perlindungan yang makin menjadi rawan apabila tidak ada
koordinasi dalam (dan hubungan dengan) konsesi tanah di luarnya. Makin kecil
ukuran kawasan konservasi, makin rawanlah ia.

66
e. Faktor fisik dan manusia
Penetapan suatu kawasan konservasi itu perlu sekali mendapat dukungan
dari masyarakat setempat, sehingga pengembangan kawasan itu memperoleh
komitmen bersama. Pada prinsipnya penetapan kawasan konservasi diusahakan
untuk menghindari tempat-tempat penduduk , kecuali dalam keadaan tertentu,
misalnya menghadapi kantung-kantung satwa yang melampaui kawasan penduduk
terpaksa memasukkan kawasan pemukiman penduduk ke dalam kawasan tersebut
untuk mempertahankan kesinambungan ekologi. Batas wilayah sedapat mungkin
mengikuti liku-liku fisiografi yang tampak dan dalam pelaksanaannya dapat
dibantu lewat interpretasi foto udara.

f. Nilai ekonomi
Pengembangan suatu kawasan konservasi, mengacu pada konsep modern
(Mackinnon, 1993) perlu dianalisir pula nilai ekonominya. Dalam hal ini sajian
yang terdapat di dalam kawasan konservasi tersebut berkaitan erat dengan aspek
kelangkaan. Secara ekonomi barang yang melimpah, mudah didapat nilai
ekonominya rendah, namun sebaliknya barang yang langka tak mudah didapat
nilai ekonominya tinggi. Kawasan konservasi erat kaitannya dengan barang yang
langka ini, sehingga sebagai aset wisata memberi peluang pendapatan yang perlu
diperhitungkan.
Bagi negara Indonesia, sistem kawasan konservasi merupakan tempat
sebagian hutan tropis dan sumberdaya keanekaragaman hayati paling penting di
dunia. Sumberdaya tersebut memberi manfaat-manfaat pada tingkatan lokal,
nasional dan global. Namun, sumberdaya tersebut berada dalam tekanan serius
seiring dengan pertumbuhan penduduk lokal dan permintaan nasional terhadap
penghasilan devisa. Guna menyempurnakan pengelolaan sumberdaya alam
tersebut, para pengambil kebijakan dapat menggunakan metodologi penilaian
ekonomi sumberdaya untuk mendapatkan penilaian akurat terhadap nilai ekonomi
sumbedaya alam yang sesungguhnya, terutama dari kawasan konservasi.
Istilah penilaian ekonomi sumberdaya merupakan suatu peralatan ekonomi
yang menggunakan teknik penilaian sumberdaya untuk mengestimasi nilai uang

67
dari barang dan jasa yang diberikan oleh kawasan konservasi. Pemahaman tentang
konsep ini memungkinkan para pengambil kebijakan untuk menentukan
penggunaan yang paling efektif dan efisien terhadap sumberdaya laut dan darat
serta mampu mendistribusikan secara adil manfaat dan biaya konservasi.
Mengingat penilaian ekonomi sumberdaya dapat digunakan untuk menunjukkan
keterkaitan antara konservasi dan pembangunan ekonomi regional,, maka ia dapat
menjadi suatu peralatan penting dalam peningkatan apresiasi dan kesadaran
masyarakat terhadap kawasan konservasi.
Penilaian ekonomi sumberdaya dapat menjelaskan secara lebih baik kaitan
antara pembangunan dan pengelolaan kawasan konservasi. Dengan demikian
penilaian ekonomi tersebut dapat menghindari kesalahpahaman yang selama ini
terjadi, bahwa kawasan konservasi bukan merupakan sumberdaya yang hilang
dalam mendukung kepentingan pembangunan ekonomi. Kesah pahaman tersebut
dapat terjadi karena penunjukan kawasan konservasi kemudian diikuti dengan
pembatasan kegiatan manusia dalam kawasan tersebut, sehingga masyarakat
berpendapat bahwa kawasan konservasi tersebut hanya sedikit saja memberi
manfaat uang yang mengalir kepada masyarakat lokal atau negara. Sementara
pemahaman terhadap manfaat ekonomi bukan uang dari kawasan konservasi
tersosialisasi dengan baik.
Manfaat kawasan konservasi terdiri dari nilai guna langsung (direct use
values)yang dapat dihitung dengan menggunakan metode-metode perhitungan
tradisional, nilai guna tidak langsung (indirect use values), nilai masa depan
(future values), dan nilai manfaat non konsumtif (non use values). Nilai guna
langsung merupakan makanan yang dihasilkan dari kawasan, produk-produk
lautatau hutan dan manfaat rekreasi. Manfaat - manfaat ini mudah dihitung
sebagai manfaat yang diperoleh dari kawasan konservasi (seperti tiket masuk,
produk hutan dan hutan yang dipanen) dan biaya kehilangan kesempatan (seperti
hilangnya hak atas sumberdaya pertambangan atau dalam ilmu ekonomi sering
disebut dengan istilah opportunity cost.
Sebetulnya masih ada lagi manfaat-manfaat dai kawasan konservasi lainnya
yang tidak dapat dihitung dengan menggunakan metode-metode tradisional,

68
Manfaat tersebut adalah nilai guna tak langsung yang terdiri dari manfaat-manfaat
fungsional dari proses ekologi yang secara terus menerus memberikan peranannya
kepada masyarakat dan ekosistem. Sebagai contoh hutan dataran tinggi yang utuh
secara terus menerus memberikan perlindungan pengendalian banjir, begitu pula
dengan peranan hutan bakau pesisir yang mempertahankan keberlanjutan
sumberdaya perikanan. Proses-proses ekologi juga memberikan manfaat global,
karena hutan tropis dapat menyerap karbon dan mengendalikan perubahan iklim.
Mekanisme pasar tidak merefleksikan nilai-nilai guna non konsumtif ini. Namun
nilai guna non konsumtif ini memperlihatkan secara nyata bahwa terdapat suatu
keterkaitan yang jelas antara kawasan konservasi dan pembangunan ekonomi.
Nilai guna pilihan (option values) meliputi manfaat-manfaat sumberdaya
alam yang disimpan atau dipertahankanuntuk kepentingan yang akan datang
(seperti sumberdaya hutan yang disisihkan untuk pemanenan masa akan datang)
dan produk-produk spekulatif lainnya seperti sumberdaya genetik dari hutan tropis
untuk kepentingan masa depan. Umumnya produk-produk yang belum diketahui
tersebut tidak memiliki niali pasar pada saat ini. Nilai guna non konsumtif
meliputi nilai keberadaan (exsistence values) dan nilai warisan (bequest values)
Nilai keberadaan adalah nilai yang diberikan oleh masyarakat kepada kawasan
konservasi atas dasar manfaat spiritual, estetika dan kultural. Nilai warisan adalah
nilai yang diberikan masyarakat yang jidup saat ini terhadap suatu daerah tertentu
agar tetap utuh untuk diberikan kepada generasi akan datang . Nilai-nilai ini juga
tidak terefleksikan dalam harga pasar.
Dixon et. al. (dalam NRMP, 1999), berargumentasi bahwa nilai guna dari
kawasan konservasi mendorong tambahan manfaat langsung melalui suatu proses
efek ganda (multiplier effect). Sebagai contoh, uang yang dikeluarkan oleh
seorang pengunjung pada suatu penginapan ekowisata mendorong penambahan
pengeluaran di suatu wilayah tertentu, karena pengecer makanan lokal dan petani
bekerjasama untuk memasok bahan-bahan makanan untuk keperluan bisnis
penginapan tersebut. Namun, bisnis penginapan tersebut juga mendorong biaya ,
seperti meningkatnya limbah air, yang secara substansial sebetulnya telah

69
mengurangi keuntungan bersih yang diperolehnya. Keadaan inilah yang
mendasari perlunya dilihat manfaat dan biaya ekonomi dari kawasan konservasi.
Pengukuhan dan pengelolaan kawasan konservasi membutuhkan biaya
langsung dan biaya oportunitas (biaya dalam bentuk kerugian akibat kehilangan
kesempatan dalam pemanfaatan sumberdaya) yang signifikan. Biaya langsung
meliputi keseluruhan komponen biaya yang terdapat dalam anggaran pemerintah,
peralatan, pemeliharaan, transportasi, administrasi, penelitian, penyuluhan
masyarakat, pengembangan masyarakat di daerah penyangga, tata batas,
pemantauan dan penegakan hukum.
Kawasan konservasi juga mengandung biaya dalam bentuk kerugian
masyarakat atau negara akibat kehilangan akses pemanfaatan terhadap
sumberdaya yang berada di dalam kawasannya (biaya oportunitas). Umumnya,
biaya ini seperti kehilangan hak pemanfaatan aau kayu, hasil hutan non kayu,
pertambangan, lahan pertanian, pemukiman penduduk, lahan industri,
pembuangan limbah, perikanan, komoditas ekspor dan pariwisata. Pada umumnya
para pengambil kebijakan hanya memiliki data yang menyangkut manfaat-
manfaat langsung dari kawasan konservasi, seperti tiket masuk, biaya langsung
administrasi taman nasional, dan biaya oportunitas. Sebetulnya, metode-metode
yang digunakan untuk melakukan penilaian ekonomi sumberdaya tidak hanya
terbatas pada metode-metode perhitungan tradisional, yang hanya dapat
digunakan untuk menghitung manfaat-manfaat langsung saja, tapi kita perlu juga
menghitung manfaat-manfaat ekonomi tidak lamngsung yang diberikan oleh suatu
kawasan konservasi guna membantu para pengambil kebijakan untuk memahami
nilai ekonominya. Penilaian ekonomi sumberdaya merupakan peralatan teknis
yang dapat digunakan untuk menghitung manfaat-manfaat ekonomi tidak
langsung tersebut.

7.2 Kategori Kawasan Konservasi

Kawasan konservasi di Indonesia sepenuhnya dikelola oleh Departemen


Kehutanan Pusat dalam hal ini Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan

70
Konservasi Alam (PHKA). Kawasan konservasi dipahami sebagai rumah / habitat
alami bagi berbagai spesies endemik dan dipandang sebagai benteng terakhir
eksistensi keterwakilan ekosistem hutan alam di Indonesia. Menurut Departemen
Kehutanan dalam hal ini Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi
Alam (PHKA), prinsip konservasi secara umum adalah konservasi sumberdaya
alam hayati yang mencakup ekosistem, jenis, dan genetik. Konsep konservasi
memiliki tiga pilar yaitu pengawetan, perlindungan, dan pemanfaatan secara
lestari, yang pada saat ini konsep ini mulai ditambah dengan pemikiran tentang
benefit sharing.
Konsep konservasi di Indonesia sebenarnya berasal dari ide konservasi
global yang diusung oleh IUCN (International Union for Conservation of Nature
and Natural Resouces) dan berbagai kesepakatan internasional tentang konservasi.
Berbagai strategi konservasi yang ditetapkan pemerintah Indonesia tidak lepas
dari strategi konservasi yang ditetapkan oleh IUCN yang tertuang dalam
Guidelines for protected area management categories.
IUCN menggunakan istilah protected area sebagaimana dikenal sebagai
kawasan konservasi di indonesia. Menurut IUCN protected area didefinisikan
sebagai :
an area of land and/or sea especially dedicated to the protection and
maintenance of biological diversity, and of natural and associated cultural
resources and managed through legal or other effective means.

71
IUCN membuat kategori kawasan lindung pada tahun 1978 yang

kemudian dievaluasi dan diperbaharui pada tahun 1994. Klasifikasi yang dibuat

IUCN meliputi 6 kategori seperti yang tersaji dalam tabel 6 berikut.

Tabel 3. Klasifikasi Kawasan Lindung (Protected area) menurut IUCN

Kategori Status kawasan Definisi


I Strict Nature Reserve Kawasan lindung yang dikelola untuk tujuan
ilmu pengetahuan
Wilderness Area Kawasan lindung yang dikelola dengan
tujuan melindungi belantara
II National Park Kawasan lindung yang dikelola untuk tujuan
perlindungan ekosistem dan rekreasi
III Natural Monument Kawasan lindung yang dikelola untuk tujuan
konservasi ciri khas alami
IV Habitat/Species Kawasan lindung yang dikelola untuk tujuan
Management Area konservasi melalui intervensi pengelolaan
V Protected Kawasan lindung yang dikelola untuk tujuan
Landscape/Seascape konservasi dan rekreasi bentang
alam/bentang laut
VI Managed Resource Kawasan lindung yang dikelola untuk tujuan
Protected Area pemanfaatan ekosistem alami secara
berkelanjutan

Langkah awal dari pengelolaan kawasan konservasi harus didahului


dengan identifikasi aspek-aspek biologi-fisik dan sosekbud untuk memberi
petunjuk bagi arahan pengelolaan yang paling tepat untuk suatu kawasan
konservasi tertentu. Kawasan konservasi, apapun bentuknya, harus memiliki
atribut keunikan, kekhasan, kelangkaan, ataupun keterancaman. Atribut inilah
yang mendasari pertimbangan dalam penetapan desain kawasan konservasi
tertentu (Petocz, 1987).
Kategori kawasan konservasi yang dikembangkan di Indonesia tersaji pada
tebel berikut.
Tabel 4. Kategorisasi kawasan konservasi di Indonesia
Kawasan Suaka Alam Cagar Alam
Suaka Margasatwa
Kawasan Konservasi Kawasan Pelestarian Alam Taman Nasional
Taman Hutan Raya
Taman Wisata Alam
Taman Buru
Hutan Lindung

72
Pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia dilakukan dalam koridor prinsip-
prinsip dalam strategi konservasi. Gambaran berikut memperlihatkan bagaimana
prinsip-prinsip tersebut diterapkan.

Perlindungan (protection)

Pengawetan (preservasi)
Kawasan Suaka Alam

1. Kawasan Cagar ALAM


2. Kawasan SUAKA
Margasatwa

utilization)
(sustainable
lestari
Permanfaatan
Kawasan Pelestarian Alam
1. Kawasan Taman Nasional
2. Kawasan Taman Hutan Raya
3. Kawasan Taman Wisata Alam

Katagorisasi berdsr UU 5/1990

a. Cagar Alam

Kawasan Suaka Alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan


tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi
dan perkembangannya berlangsung secara alami. Cagar alam merupakan
representasi proses suksesi alami. Pengelolaan yang dilakukan berupa Zero
management dengan mengutamakan kegiatan pengamanan dan penelitian (save
and study).
b. Suaka Margasatwa

Suaka margasatwa adalah Kawasan Suaka Alam yang mempunyai ciri khas
berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan
hidupnya dapatdilakukan pembinaan habitat, proteksi dan pengawetan species
satwa. Pada Suaka Margasatwa dapat dilakukan pembinaan habitat, pembuatan
waterhole, Restocking, Depopulasi, Introduksi species.

73
c. Taman Nasional

Kawasan Pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan


sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk keperluan penelitian, ilmu
pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi.
d. Taman Hutan Raya

Kawasan hutan raya Kawasan Pelestarian Alam dengan tujuan untuk koleksi
tumbuhan dan atau satwa yang alami dan buatan, jenis asli atau bukan asli,
yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan,
pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi
e. Taman Wisata Alam

Taman wisata alam adalah Kawasan Pelestarian alam dengan tujuan utama
bagi kepentingan pariwisata dan rekreasi alam.

74
Bab VIII
Komunikasi Konservasi dan Partisipasi Masyarakat

Secara naluri antara masyarakat dengan kawasan hutan memiliki interaksi


yang sangat kuat. Bagi masyarakat hutan merupakan tempat berlindung,
penyimpan cadangan makan, serta memenuhi kebutuhan yang lain, dan sebaliknya
hutan berkat dukungan moral manusia sehingga selalu mampu memberikan
materi yang dibutuhkan oleh manusia. Demikian pula halnya dengan kawasan
hutan yang diangkat menjadi kawasan konservasi.
Kebijakan yang mengarah pada upaya pemisahan kawasan hutan dari
masyarakat, menyebabkan tidak adanya jaminan untuk kelangsungan dalam
jangka panjang. Pada hakekatnya pengelolaan sumberdaya alam adalah untuk
rakyat dan harus dilakukan dalam suatu kerangka sosial. Bagi kawasan
konservasipun, kelangsungan eksistensinya sangat bergantung pada sikap
penduduk setempat, dan dukungan masyarakat pada tingkat lokal maupun
nasional merupakan komponen penting dari pengelolaan.
Komunikasi merupakan media yang sangat efektif untuk melakukan
pendekatan konservasi. Lewat komunikasi pesan-pesan konservasi dapat
disampaikan sesuai dengan situasi dan kondisi, sehingga secara sukarela
masyarakat bersedia memberikan pengahargaan terhadap nilai-nilai konservasi,
yang diujudkan dalam bentuk partisipasi.

8.1 Komunikasi konservasi


Komunikasi merupakan suatu kegiatan pernyataan antar manusia yang
bersifat umum dan mengggunakan lambang-lambang yang penuh arti
(Sastropoetro (1988). Sedang berkomunikasi berarti mengadakan kesamaan
pengertian antara komunikator dengan komunikan. Kakau antara dua orang yang
berkomunikasi itu terdapat kesamaan pengertian, artinya tidak ada perbedaan
terhadap pengertian tentang sesuatu, maka terjadilah situasi yang disebut in tune.
Fungsi komunikasi (menurut Harol Losswe (dalam Sastropoetro, 1988) adalah :

75
a. Melakukan pengumpulan dan distribusi informasi berbagai peristiwa di
dalam lingkungan
b. Kegiatan korelasi, meliputi interpretasi informasi tentang lingkungan dan
menyarankan jalan keluarnya (istilah ini biasa disebut dengan
editorial.propaganda)
c. Pemindahan atau pengalihan warisan sosial dipusatkan pada
pengkomunikasian pengetahuan , nilai-nilai dan norma sosial serta
berlangsung dari generasi yang satu kepada yang lain atau berlangsung
dari anggota kelompok yang lama kepada pendatang-pendatang baru.
Kegiatan demikian diidentifikasikan sebagai pendidikan.

Istilah konservasi, sejak awal diartikan sebagai pemanfaatan sumberdaya


alam secara bijaksana. Dengan demikian makna dari komunikasi konservasi
adalah suatu proses penyebaran informasi, menggali persepsi masyarakat dengan
melakukan pengalaman dan pemberian contoh-contoh nyata, serta suatu proses
estafet pemahaman mengenai kebenaran norma antar generasi.
Bagi kawasan konservasi, konsep komunikasi ini sangat penting untuk
memperoleh dukungan luas dari seluruh lapisan masyarakat termasuk sektor
kelembagaannya. Bahasa, tingkat kerincian , fokus dan saluran komunikasi dapat
berbeda menururt latar belakang komunikannya. Dalam hal ini, kawasan
konservasi dapat menyediakan berbagai potensi komunikasi untuk memenuhi
berbagai fungsi komunikasi massa, diantaranya (J. MacKinnon dan K.
MackKinnon, 1996):
- Kawasan konservasi sebagai penyedia jasa informasi dan interpretasi bagi
pengunjung
- Kawasan konservasi sebagai pusat rujukan/koleksi sehingga dapat
berperan sebagai perpustakaan alam
- Kawasan konservasi sebagai sekolah dan pelayanan pendidikan
- Kawasan konservasi sebagai penyedia jasa penyuluhan di pedesaan
setempat

76
- Kawasan konservasi sebagai sumber penyedia bahan publikasi massa yang
sangat penting untuk menumbuhkan dan memelihara minat konservasi
sumberdaya alam hayati dan ekosistem. Peran ini dapat dimainkan lewat
media radi, televisi, sirat kabar, penyajian fenomena unik/mnarik di dalam
kawasan konservasi, penerbitan majalah berkala, dan sebagainya.

8.2 Peran serta masyarakat, sebuah kerangka teoritis


Secara terminologi Peran Serta Masyarakat dapat diartikan sebagai suatu
cara melakukan interaksi antara dua kelompok-kelompok yang selama ini tidak
diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan (non elite) dengan yang
selama ini melakukan pengambilan keputusan (elite). Bahasan yang lebih khusus
lagi, peran serta sesungguhnya merupakan insentif moral yang memampukan
kelompok non elite tadi untuk merundingkan paket-paket baru intensif material
yang mereka butuhkan (Goulet, dalam Aliadi, 1996). Dengan perkataan lain,
insentif moral tersebut berfungsi selaku paspor mereka untuk mempengaruhi
lingkup-lingkup makro, yang lebih tinggi, tempat dibuatnya keputusan-keputusan
yang sangkat menentukan kesejahteraan mereka.
Apabila kita melihat definisi diatas, peran serta masyarakat jelas
merupakan sarana (instrument) untuk mencapai suatu tujuan tertentu (a means to
an end). Tujuan tersebut biasanya dikaitkan dengan keputusan atau tindakan yang
lebih baik yang menetukan kesejahteraan mereka yang berperan serta. Akan
tetapi di dalam praktek kehidupan bermasyarakat dan berpolitik sehari-hari. Kita
memandang peran serta secara berbeda-beda, tergantung dari faktor-faktor
lingkungan yang mempengaruhi diri kita, seperti hanya posisi atau status kita.
Dalam konteks perencanaan proyek atau kegiatan misalnya, masih banyak
yang memandang peran serta masyarakat melulu sebagai public information
(penyampaian informasi), edukasi, bahkan hanya sekedar alat public relation
agar proyek tertentu dapat berjalan tanpa hambatan(getting a project through).
Oleh karenanya peran derta masyarakat tidak saja digunakan sebagai sarana untuk
mencapai tujuan, tetapi peran serta juga digunakan sebagai tujuan (participation is
an end itsell).

77
Di samping persepsi seperti yang dikemukakan Goulet (1989) yaitu peran
serta masyarakat sebagai insentif moral guna mewujudkan insentif moral,
Wengert (1979) merinci persepsi tentang peran serta masyarakat sebagai berikut:
1. Peran serta masyarakat sebagai suatu Kebijaksanaan.
Penganut paham ini berpendapat bahwa peran seta masyarakat merupakan
suatu kebijaksanaan yang tepat dan baik untuk dilaksanakan. Paham ini
dilandasi oleh suatu pemahaman bahwa masyarakat yang potensial
dikorbankan atau terkorbankan oleh suatu proyek pembangunan memiliki
untuk dikonsultasi (rigt to be consulted).
2. Peran serta masyarakat sebagai Strategi.
Menurut paham ini mendalilkan bahwa peran seta masyarakat merupakan
strategi untuk mendapatkan dukungan masyarakat (public support). Pendapat
ini didasarkan kepada suatu paham bahwa apabila masyarakat pada tiap
tingkatan pengambilan keputusan didokumentasikan dengan baik, maka
kredibilitas dari keputusan tersebut akan dengan sendirinya timbul.
3. Peran serta masyarakat sebagai Alat Komunikasi.
Peran serta masyarakat didayagunakan sebagai alat untuk mendapatkan
masukan berupa informasi dalam proses pengambilan keputusan. Persepsi ini
dilandasi oleh suatu pemikiran bahwa pemerintah diransang untuk melayani
masyarakat, sehingga pandangan dan preferensi dari masyarakat tersebut
adalah input yang bernilai guna mewujudkan keputusan yang responsif.
4. Peran serta masyarakat sebagai Alat Penyelesaian Sengketa.
Dalam konteks ini peran seta masyarakat didayagunakan sebagai suatu
caar untuk mengurangi atau meredakan ketegangan/konflik melalui usaha
pencapaian konsensus pendapat. Asumsi yang melandasi persepsi ini adalah
berbagi dan bertukar pikiran serta pandangan akan dapat meningkatkan
pengertian dan toleransi serta meredakan/mengurangi rasa ketidakpercayaan
(mistrust) dan kerancuan (biases).
5. Peran seta masyarakat sebagai Terapi
Peran seta masyarakat menurut persepsi ini dilakukan sebagai upaya untuk
mengobati masalah-masalah psiko;ogis masyarakat seperti halnya perasaan

78
ketidak berdayaan, tidak percaya diri dfan perasaan bahwa diri mereka bukan
sebagai komponen penting dalam masyarakat. Dari sudut kemampuan
masyarakat untuk mempengaruhi proses pengambilam keputusan , tentu saja
berbagai bentuk partisipasi di atas memiliki gradasi dan tingkatannya masing-
masing Arnstein (dalam Aliadi, 1996) dalam tipologinya yang dikenal sebagai
Delapan Tangga Partisipasi masyarakat menjabarkan bahwa terdapat
perbedaan yang sangat hakiki antara peran serta yang dia sebut sebagai empty
ritual dengan peran serta yang real. Ke delapan tangga-nya yang semakin lama
semakin tinggi itu adalah :
1. Manipulasi (manipulation)
2. Terapi (therapy)
3. Menyampaikan informasi (informing)
4. Konsultasi (consultation)
5. Menenagkan.meredam kemarahan (Placation)
6. Kemitraan (partnership)
7. Pendelegasian kekuasaan (delegated power)
8. Pengawasan masyarakat (Citizen control)

Dua tangga terbawah dikatakan non participation, dengan menempatkan


bentuk-bentuk partisipasi yang dinamakan (1) manipulation dan (2) therapy.
Sasaran yang sesungguhnya dari kedua bentuk pendekatan ini adalah
mendidik dan mengobati partisipasi.
Tangga ketiga, keempat dan kelima dikatagorikan sebagai tingkat tokenisme,
yaitu suatu tingkat partisipasi dimana masyarakat didengar dan diperkenankan
berpendapat, tetapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan
jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan oleh pemegang
keputusan. Apabila partisipasi hanya dibatasi pada tingkatan ini maka upaya
perubahan masyarakat menuju keadaan yang lebih baik kecil kemungkinan
akan terjadi. Dalam tingkat tokenisme termasuk di dalamnya (3) informing,
(4) consultation dan (5) placation. Arnstein mengkategorikan tangga teratas
ke dalam tingkat kekuasaan masyarakat. Masyarakat dalam tingkatan ini

79
memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan. Pada tingkat ini
masyarakat dapat menjalankan (6) partnership, dengan memiliki kemampuan
tawar menawar bersama-sama penguasa atau pada tingkatan yang lebih tinggi,
(7) delegated power dan (8) citizen control. Pada tingkat ketujuh dan
kedelapan, masyarakat (non elite) memiliki mayoritas suara dalam proses
pengambilan keputusan bahkan sangat mungkin memiliki kewenangan penuh
mengelola suatu obyek kebijaksanaan tertentu.
Partisipasi massa menjadi syarat mutlak bagi tercapainya keberhasilan
kegiatan konservasi. Berbagai pemahaman yang di uraikan dalam pokok
bahasan ini memperkaya wahana sosiologis dan psikologis mahasiswa dan
mempelajari ilmu konservasi yang integratif.

80
Daftar Pustaka

Awang, San Afri, 2005. Negara, Masyarakat, dan Deforestasi, Konstruksi Sosial
atas Pengetahuan dan Perlawanan Petani terhadap Kebijakan Pemerintah,
Ringkasan Disertasi Program Pasca Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Gadjah Mada.

Cutter, Susan L; Renwick, William H, 2004. Exploitation, Conservation,


Preservation, A Geographic Perspective on Natural Resource Use. Fourth
edition. John Wiley & Sons, Inc.

Dietz, Ton (1996), Pengakuan Hak atas Sumberdaya Alam. Diterjemahkan Roem
Topatimasang, Kata Pengantar Mansour Fakih. Penerbit kerjasama
Pustaka Pelajar, INSIST Press dan REMDEC, cetakan pertama.

Eckersley, Robiyn. 1992. Environmentalism and Political Theory, Toward an


Ecocentric Approach. UCL Press

Keraff, A.S. 2002. Etika Lingkungan. Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

Mackinnon, J. dan K. Mackinnon, 1993. Pengelolaan Kawasan Yang Dilindungi


di daerah Tropika. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Primack, Richard B; Supriyatna, Jatna; Indrawan, Mochammad; dan


Kramadibrata, Padi. 1998. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia.

81

Anda mungkin juga menyukai