Anda di halaman 1dari 31

TEMPE

Ditulis Untuk Memenuhi Penilaian Praktikum Semester Ganjil Matakuliah Teknik


Fermentasi
Dosen : Dr. Ir. Hartatik Kartikaningsih, M.Si
oleh:
1. Imam Peramana Rasyid (115080300111086)
2. Chintiasari C (145080300111020)
3. Jefri Nurman Faizi (155080300111001)
4. Kholifatul Zahro (155080300111003)
5. Abdi Nugroho (155080300111008)
6. Melynda Dwi Puspita (155080300111009)
7. Nurul Burhanul Fitroh (155080300111013)
8. Tifany Octavia (155080300111018)
9. Habibati Wirdaningsih (155080300111021)
10. Arwin Adiwinata (155080300111027)
11. Faizatus Sholihah (155080300111031)
12. Arif Yusuf Julionarta (155080300111039)
13. Muhammad Awwaluddin Hakim (155080300111042)
14. Arief Pandu Wahyuadi (155080300111043)
Kelompok 1
Kelas T01

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN


JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah memberi rahmat, karunia, serta kasih sayang terbesar-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Tempe.
Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi penilaian praktikum
mata kuliah Teknik Fermentasi pada semester ganjil tahun 2017. Selain itu
sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan dan memotivasi mahasiswa
dalam memahami materi Tempe.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam
penulisan makalah ini. Oleh karena itu penulis dengan tangan terbuka menerima
saran dan kritik dari pembaca sekalian demi memperbaiki penulisan lain di
kemudian hari.
Akhirnya semoga makalah ini dapat mendatangkan manfaat bagi semua
pihak.
Sekian dan terimakasih.

Malang, 10 Oktober 2017

Penulis

i
DAFTAR ISI

halaman
KATA PENGANTAR...........................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR............................................................................................iii
DAFTAR LAMPIRAN.........................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1
1.1 Latar Belakang.........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...................................................................................2
1.3 Tujuan......................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................3
2.1 Pengertian Mineral...................................................................................3
2.2 Klasifikasi Mineral....................................................................................3
2.2.1 Mineral Makro..................................................................................3
2.2.2. Mineral Mikro...................................................................................4
2.3 Pengertian Magnesium............................................................................6
2.4 Karakteristik ............................................................................................6
2.5 Sumber Pangan.......................................................................................8
2.6 Cara Memperoleh....................................................................................9
2.7 Pemanfaatan ..........................................................................................10
2.7.1 Tepung Tulang Ikan..........................................................................10
2.7.2 Biskuit Kaya Kalsium........................................................................10
2.7.3 Tahu Susu........................................................................................11
2.8 Kebutuhan Kalsium..................................................................................11
2.9 Efek Kekurangan Kalsium........................................................................12
2.10 Peran.....................................................................................................13
2.10.1 Peran Magnesium dalam Cairan Tubuh.........................................14
2.10.2 Peran Magnesium Untuk Tubuh Manusia.......................................14
2.10.3 Fungsi Magnesium Bagi Tubuh......................................................14
2.11 Dampak..................................................................................................15
BAB III PENUTUP.............................................................................................16
3.1 Kesimpulan..............................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................18

ii
DAFTAR GAMBAR

halaman
Gambar 1. Sifat-sifat fisika dan kimia kalsium karbonat (CaCO3).......................7
Gambar 2. Diagram alir ekstraksi kalsium dari tulang ikan nila...........................9

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Produksi kedelai di Indonesia pernah mencapai puncaknya pada tahun
1992, yaitu sebanyak 1,87 juta ton. Namun setelah itu, produksi terus mengalami
penurunan hingga hanya 0,672 juta ton pada tahun 2003. Artinya, dalam 11
tahun produksi kedelai merosot mencapai 64 persen. Sebaliknya, konsumsi
kedelai cenderung meningkat sehingga impor kedelai juga mengalami
peningkatan mencapai 1,307 juta ton pada tahun 2004 (hampir dua kali produksi
nasional) (Tabel 1). Impor ini berdampak menghabiskan devisa negara sekitar
Rp.3 triliun per tahun. Selain itu, impor bungkil kedelai telah mencapai 1,3 juta
ton per tahun yang menghabiskan devisa negara sekitar Rp. 2 triliun per tahun
(Atman, 2006a; Alimoeso, 2006 dalam Atman, 2009).
Makanan merupakan kebutuhan pokok bagi kehidupan manusia karena di
dalamnya terkandung senyawa-senyawa yang diperlukan oleh tubuh, antara lain
untuk pertumbuhan, memelihara dan memperbaiki jaringan tubuh yang telah
rusak, dan menghasilkan energi untuk kepentingan kegiatan sehari-hari
(Nurmala, 2003 dalam Atun, 2009). Pengolahan makanan secara tradisional
yang sering dijumpai adalah makanan fermentasi (Arief, 1994 dalam Atun, 2009).
Fermentasi makanan bertujuan untuk menambah zat gizi penting dalam suatu
bahan makanan dan meminimalisasi zat gizi yang kurang bermanfaat. Salah satu
makanan fermentasi yang paling dikenal adalah tempe (Atun, 2009).
Kedelai sebagai bahan makanan mempunyai nilai gizi cukup tinggi. Di
antara jenis kacang-kacangan, kedelai merupakan sumber protein, lemak,
vitamin, mineral dan serat yang paling baik. Dalam lemak kedelai terkandung
beberapa fosfolipida penting, yaitu lesitin, sepalin dan lipositol. Kedelai sudah
diyakini banyak orang untuk penyembuhan penyakit, seperti diabetes, ginjal,
anemia, rematik, diare, hepatitis, dan hipertensi. Kandungan zat dalam kedelai
diyakini cukup berkhasiat untuk menyembuhkan berbagai penyakit tersebut.
Isoflavon tergolong kelompok senyawa flavonoid, yang banyak ditemukan dalam
buahbuahan, sayur-sayuran, dan biji-bijian. Beberapa bahan pangan yang telah
dianalisis, diketahui kedelai menempati urutan pertama, mengandung senyawa
isoflavon dan derivatnya. Isoflavon dan derivatnya merupakan senyawa yang

4
diketahui berfungsi sebagai antioksidan, antitumor, antiosteroklerosis (Dixon,
Steele, 1999; Yuan, 2008 dalam Atun, 2009). Kandungan isoflavon pada kedelai
berkisar 2-4 mg/g kedelai. Senyawa isoflavon ini pada umumnya berupa
senyawa kompleks atau konjugasi dengan senyawa gula melalui ikatan
glukosida. Jenis senyawa isoflavon ini terutama adalah genistin, daidzin, dan
glisitin. Bentuk senyawa demikian ini mempunyai aktivitas fisiologis kecil. Selama
proses pengolahan, baik melalui proses fermentasi maupun proses non-
fermentasi, senyawa isoflavon dapat mengalami transformasi, terutama melalui
proses hidrolisa sehingga dapat diperoleh senyawa isoflavon bebas yang disebut
aglikon yang lebih tinggi aktivitasnya. Senyawa aglikon tersebut adalah genistein,
glisitein, dan daidzein (Atun, 2009).
Salah satu masalah gizi yang utama di Indonesia adalah Kurang Energi
Protein (KEP). KEP merupakan suatu keadaan seseorang yang kurang gizi
disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan
seharihari. Pada umumnya penderita KEP berasal dari keluarga yang
berpenghasilan rendah. Kurangnya energi protein dapat mengakibatkan
terganggunya pertumbuhan dan gangguan perkembangan mental anak. Anak
balita dengan KEP tingkat berat akan menunjukkan tanda klinis
kwashiorkor/marasmus (Supariasa, 2002 dalam Sitoresmi, 2012).
Sumber utama protein biasanya berasal dari protein hewani tetapi harga
daging relatif mahal. Salah satu produk protein nabati yang dapat menggantikan
sumber protein hewani adalah tempe karena mutu protein tempe mendekati
mutu protein daging ayam dan sapi (Winarno, 1993 dalam Sitoresmi, 2012).
Tempe berbahan dasar kedelai yang merupakan sumber gizi yang baik
bagi manusia. Kedelai utuh mengandung 35 sampai 38% protein tertinggi dari
kacangkacangan lainnya dan yang paling tinggi proteinnya adalah kedelai
kuning. Hasil olahan kedelai kuning salah satunya adalah tempe (Winarno, 1993
dalam Sitoresmi, 2012).
Kedelai setelah mengalami fermentasi dikonsumsi oleh masyarakat dalam
bentuk tempe. Pada proses fermentasi menjadi tempe, nilai gizi hasil olah
kacang kedelai bertambah baik. Fermentasi merupakan tahap terpenting dalam
proses pembuatan tempe. Menurut Karmini (2003) dalam Sitoresmi (2012), pada
tahap fermentasi terjadi penguraian karbohidrat, lemak, protein dan senyawa-
senyawa lain dalam kedelai menjadi molekul-molekul yang lebih kecil sehingga
mudah di manfaatkan tubuh.

5
Kedelai adalah salah satu komoditi pangan utama setelah padi dan jagung.
Kedelai merupakan bahan pangan yang mengandung protein nabati yang sangat
tinggi nilai gizinya, mengandung zat anti oksidan yang tinggi sehingga sangat
bermanfaat bagi kesehatan dan banyak dikonsumsi oleh penduduk Indonesia.
Konsumsi penduduk Indonesia terhadap kedelai berupa hasil olahan (seperti
tempe, tahu, kecap, tauco, susu kedelai, oncom, yogurt, mentega, minyak,
keripik), dan bahan baku pakan ternak (Isnowati, 2014).

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat ditentukan rumusan
masalah dalam makalah ini seperti berikut.
1. Apakah ada kultur starter untuk produk?
2. Apakah ada bakteri endogen dalam produk?
3. Apakah ada bakteri tambahan untuk produk?
4. Bagaimana cara pemeliharaan bakteri pada produk?
5. Apa jenis mikroba yang ada pada produk?
6. Bagaimana cara memperpendek fase lag?
7. Bagaimana persiapan media agar siap difermentasi?
8. Apa indikator proses fermentasi berakhir?
9. Kapan terjadinya produk akhir (pemanenan)?
10. Berapa lama proses fermentasi?
11. Bagaimana menghentikan proses fermentasi?

1.3 Tujuan
Berdasarkan uraian rumusan masalah di atas maka dapat ditentukan tujuan
dalam makalah ini seperti berikut.
1. Mengetahui kultur starter untuk produk.
2. Apakah ada bakteri endogen dalam produk?
3. Apakah ada bakteri tambahan untuk produk?
4. Bagaimana cara pemeliharaan bakteri pada produk?
5. Apa jenis mikroba yang ada pada produk?
6. Bagaimana cara memperpendek fase lag?
7. Bagaimana persiapan media agar siap difermentasi?
8. Apa indikator proses fermentasi berakhir?
9. Kapan terjadinya produk akhir (pemanenan)?
10. Berapa lama proses fermentasi?
11. Bagaimana menghentikan proses fermentasi

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Kedelai


Kedelai (Glycine max) adalah salah satu tanaman polong-polongan yang
menjadi bahan dasar banyak makanan dari Asia Timur seperti kecap, tahu, dan
tempe. Kedelai merupakan sumber utama protein nabati dan minyak nabati
dunia. Penghasil kedelai utama dunia adalah Amerika Serikat, meskipun kedelai
baru dibudidayakan masyarakat di luar Asia setelah tahun 1910. Konsumsi
kedelai di Indonesia mencapai 2.2 juta ton per tahun, dari jumlah itu sekitar 1.6
juta ton harus diimpor (75 persen). Kacang kedelai bagi industri pangan di
Indonesia banyak digunakan sebagai bahan baku pembuatan tahu, tempe dan
kecap. Jenis industri yang tergolong skala kecil-menengah ini membutuhkan
kedelai lebih dari 2.24 juta setiap tahunnya. Padahal kapasitas produksi nasional
tahun 2011 hanya mampu menghasilkan 851 ribu ton dari areal pertanaman
kedelai seluas 622 ribu hektar. Pada tahun 2011, Indonesia mengimpor kedelai
segar sebanyak 2.09 juta ton. Lonjakan impor kedelai disebabkan peningkatan
konsumsi produk industri rumahan tahu dan tempe sebagai substitusi untuk
produk hewani (Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, 2013 dalam Maskar,
2015).

2.2 Kandungan Gizi Kedelai


Kedelai sebagai bahan makanan mempunyai nilai gizi cukup tinggi. Di
antara jenis kacang-kacangan, kedelai merupakan sumber protein, lemak,
vitamin, mineral dan serat yang paling baik. Dalam lemak kedelai terkandung
beberapa fosfolipida penting, yaitu lesitin, sepalin dan lipositol. Kedelai sudah
diyakini banyak orang untuk penyembuhan penyakit, seperti diabetes, ginjal,
anemia, rematik, diare, hepatitis, dan hipertensi. Kandungan zat dalam kedelai
diyakini cukup berkhasiat untuk menyembuhkan berbagai penyakit tersebut.
Dengan berbagai manfaat dan khasiatnya itu, sangat disayangkan sampai saat
ini negara kita masih belum dapat memenuhi sendiri kebutuhan akan kedelai.
Kedelai yang di buat tempe mempunyai kandungan genestein, suatu anti oksidan
flavonoid paling tinggi di banding produk olahan lainnya seperti tahu. Antioksidan

7
flavonoid berfungsi sebagai anti tumor atau anti kanker. Isoflavon tergolong
kelompok flavonoid, senyawa polifenolik yang banyak ditemukan dalam buah-
buahan, sayur-sayuran, dan biji-bijian. Yang termasuk isoflavon di antaranya
adalah genistin, daidzin, genistein, dan daidzein, dengan struktur seperti pada
gambar 1 (Yuan, 2008 dalam Atun, 2009).

Gambar 1. Beberapa senyawa isoflavon dan derivatnya dari kedelai


(Sumber: Atun, 2009)

2.3 Pengertian Tempe


Muchtadi (2012) dalam Purwaningtyas (2016) memaparkan bahwa tempe
adalah pangan tradisional khas Indonesia yang umumnya terbuat dari kacang
kedelai melalui proses fermentasi menggunakan kapang khususnya Rhizopus
sp.. Proses fermentasi membutuhkan oksigen untuk metabolisme kapang dan
pembentukan miselia yang yang menghubungkan biji-biji kedelai membentuk
tekstur kompak pada tempe yang secara umum berwarna putih. Senyawa-
senyawa kompleks yang terdapat pada kedelai akan dihidrolisis menjadi
senyawa yang lebih mudah dicerna selama proses fermentasi.
Tempe merupakan produk fermentasi kapang golongan Rhizopus yang
dikenal oleh masyarakat Indonesia. Tempe dapat dibuat dari berbagai bahan,
tetapi yang lazim dikenal oleh masyarakat adalah tempe kedelai (Ghozali, 2008).
Tempe memiliki manfaat bagi tubuh manusia, antara lain berperan dalam
mencegah penyakit jantung, melindungi usus, dan meningkatkan daya tahan
tubuh (Sarwono, 2010). Melihat berbagai manfaat tempe untuk kesehatan,

8
sangat disayangkan bahwa sampai saat ini ternyata negara kita belum dapat
memenuhi sendiri kebutuhan kedelai secara optimal. Berdasarkan data dari
Badan Pusat Statistik (2011), produksi kedelai nasional dari tahun 2010 sampai
2011 mengalami penurunan hingga 9,66%. Hal ini juga didukung dari data
Departemen Pertanian (2012), yang mengemukakan bahwa harga impor kedelai
pada tahun 2010 mencapai 1,7 juta ton.
Tempe adalah makanan fermentasi yang dibuat dari kedelai atau bahan
lain yang menggunakan beberapa jenis kapang Rhizopus, seperti: Rhizopus
oligosporus, R. oryzae, R. stoloniferus, atau R. arrhizus. Jenis kapang ini secara
umum dikenal sebagai ragi tempe. Struktur padatan kompak dan warna putih
pada tempe disebabkan adanya miselia jamur yang tumbuh pada permukaan biji
kedelai. Kapang yang tumbuh pada kedelai tersebut menghasilkan enzim-enzim
yang mampu mengubah protein menjadi asam amino sehingga senyawa tersebut
dengan cepat dapat dipergunakan oleh tubuh manusia (Agus, 2011 dalam
Irdawati dan Fifendy, 2012).

Gambar 1. Tempe kedelai


(Sumber: Djasfar, 2012 dalam Irdawati dan Fifendy, 2012)

2.4 Jenis-Jenis Tempe


Kacang buncis putih memiliki kandungan zat aktif utama berupa
phaseolamin atau phaseolin yang mampu menetralkan zat tepung yang terdapat
dalam makanan sehingga mencegah meningkatnya kadar gula darah secara
cepat setelah makan (Marshall dan Lauda, 1975 dalam Irdawati dan Fifendy,
2012). Kacang buncis putih juga mengandung protein dan karbohidrat yang
dibutuhkan untuk pertumbuhan ragi tempe (Rhizopus oligosporus dan R.
oryzae), sehingga kacang buncis putih dapat dijadikan sebagai alternatif

9
pengganti kacang kedelai dalam memproduksi tempe yang berkualitas
(Cahyono, 2003 dalam Irdawati dan Fifendy, 2012).
Tempe bukan kedelai yang berbahan dasar legum mencakup tempe koro
benguk (dari biji koro benguk, Mucuna purpuriens L. var. utilis), tempe gude (dari
kacang gude, Cajanus cajan), tempe kacang hijau (dari kacang hijau), tempe
kacang kecipir (dari kecipir, Psophocarpus tetragonolobus), tempe kara pedang
(dari biji kara pedang Canavalia ensiformis), tempe lupin (dari lupin, Lupinus
angustifolius), tempe kacang merah (dari kacang merah), dan tempe menjes
(dari kacang tanah) (Irdawati dan Fifendy, 2012).
Tempe merupakan makanan yang digemari oleh masyarakat Indonesia
sampai saat ini. Tempe yang dikenal saat ini umumnya dibuat dari kedelai,
namun keterbatasan jumlah kedelai di dalam negeri menyebabkan tingginya
harga kedelai, sehingga di beberapa daerah sudah dikenal berbagai macam
tempe yang dibuat dari jenis kacang-kacangan selain kedelai. Indonesia memiliki
berbagai jenis kacang-kacangan, namun ada beberapa jenis kacang-kacangan
yang belum dikenal luas dan hanya ditanam sebagai tanaman tumpang sari,
salah satunya adalah kacang gude (Cajanus cajan (L) Millsp). Tanaman ini
mempunyai nama yang berbeda-beda di tiap daerah, seperti gude (Jawa), puwe
jai (Maluku) dan labui (NTB). Menurut Karsono dan Sumarno (1989), sifat fisik
kacang gude mirip dengan kedelai, sehingga kacang gude diharapkan dapat
dijadikan sebagai bahan pengganti /substitusi beberapa produk yang berasal dari
kedelai seperti tempe, kecap, dan beberapa bahan pangan campuran yang lain.
Salah satu sifat kacang gude yang baik adalah cocok untuk pertumbuhan kapang
dalam proses fermentasi (Sofiyatin et al., 2012).

2.5 Cara Pembuatan Tempe


Ragi tempe digunakan dalam pembuatan tempe. Ragi tempe berbeda
dengan ragi tape dan ragi roti. Ragi tempe berbentuk bubuk, sedangkan ragi
tape berbentuk pipih bulat dan ragi roti berbentuk butiran. Ragi mengandung
mikroorganisme yang melakukan fermentasi dan media biakan bagi
mikroorganisme tersebut. Media biakan ini dapat berbentuk butiran-butiran kecil
atau cairan nutrien (Irdawati dan Fifendy, 2012).
Ragi umumnya digunakan dalam industri makanan untuk membuat
makanan dan minuman hasil fermentasi seperti acar, tempe, roti dan bir.

10
Mikroorganisme yang digunakan di dalam ragi terdiri atas kapang golongan
Rhizopus (Rahman et al., 2011 dalam Irdawati dan Fifendy, 2012).
Secara tradisional masyarakat Indonesia membuat ragi tempe dengan
menggunakan tempe yang sudah jadi. Tempe tersebut diiris tipis-tipis,
dikeringkan dengan oven pada suhu 40oC-45oC atau dijemur sampai kering,
digiling menjadi bubuk halus dan hasilnya digunakan sebagai ragi bubuk. Ragi
tempe memegang peranan penting dalam pembuatan tempe karena dapat
mempengaruhi kualitas tempe yang dihasilkan. Jenis kapang yang memegang
peranan utama dalam pembuatan tempe adalah Rhizopus oligosporus dan R.
oryzae, sedangkan jenis kapang lain yang juga terdapat adalah R. stoloniferus
dan R. arrhizus (Suprapti, 2003 dalam Irdawati dan Fifendy, 2012).
Tempe kedelai merupakan salah satu makanan yang populer di Indonesia.
Selain murah harganya dan enak rasanya, kandungan protein di dalam tempe
cukup tinggi dan banyak mengandung asam ammolisin. Tempe dapat dibuat dan
bahan dasar kedelai ataupun jenis tanaman kacang-kacangan yang lain melalui
proses fermentasi menggunakan Rhizopus oligosporus dan Rhizopm oryzae.
Kedua jenis jamur ini berkemampuan untuk mengubah kedelai menjadi
asam amino dan protein lain yang cepat larut bila dikonsumsi, sehingga
kandungan protein yang dapat diserap oleh tubuh akan lebih tinggi dibandingkan
bila hanya dikonsumsi dalam bentuk kedelai (Wood, B.J.B., 1985: 230).
Istilah fermentasi dalam biokimia diartikan sebagai pembentukan energi
melalui katabolisme senyawa organik, sedangkan dalam bidang industri,
fermentasi diartikan sebagai proses pemanfaatan mikroba untuk menghasilkan
suatu produk (Stanburry, P.P. dan Whitaker, A., 1984).
Kedelai dapat diolah menjadi tempe melalui proses fermentasi dengan
menambahkan ragi tempe. Ragi tempe adalah bahan yang mengandung biakan
jamur tempe dan digunakan sebagai agensia pengubah bahan baku menjadi
tempe akibat tumbuhnya jamur tempe dan melakukan kegiatan fermentasi yang
menyebabkan berubahnya sifat karakteristik menjadi tempe (Kasmidjo, Rb.,
1990: 38).
Di dalam proses pembuatan tempe, tercatat 2 (dua) jenis jamur yang
berperan yaitu jamur Rhizophus oligosporus dan Rhizopus oryzae. Kedua jenis
jamur ini mempunyai kemampuan untuk mengubah kedelai menjadi asam amino
dan protein lain yang cepat larut bila di konsumsi (Imam dan Sukamto, 1999: 4).
Menurut Rachman A. (1989: 12l) Rhizophus oligosporus mensintesis enzim

11
proteaze lebih banyak sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan nilai gizi
protein kedelai. Kemampuannya dalam mengubah kedelai menjadi tempe
meliputi: aktivitas enzimatik, perkecambahan spora dan penetrasi miselia jamur
tempe ke dalam jaringan biji kedelai.
Tempe mempunyai ciri-ciri warna putih, tekstur kompak dan flavor spesifik.
Warna putih disebabkan adanya miselia jamur yang tumbuh pada permukaan biji
kedelai dan tekstur kompak juga disebabkan oleh miseliamiselia jamur yang
menghubungkan antara biji-biji kedelai tersebut Terjadinya degradasi komponen-
komponen dalam kedelai dapat menyebabkan terbentuknya flavor spesifik
setelah fermentasi (Rahayu, K. dan Sudarmaji, S., 1989: 271).
Pada dasarnya cara pembuatan tempe meliputi tahapan sortasi,
pembersihan biji, perendaman, penghilangan kulit, perebusan, penirisan,
pendinginan, inokulasi dengan jamur tempe, pengemasan, inkubasi atau proses
fermentasi (Rahayu, K. dan Sudarmaji, S., 1989: 271). Proses fermentasi tempe
dibagi menjadi tiga tahap, yaitu:
a. Tahap pertumbuhan cepat (0-30 jam fermentasi), terjadi kenaikan jumlah
asam lemak bebas, kenaikan suhu, pertumbuhan jamur cepat, dengan
terlihat terbentuknya miselia pada permukaan biji makin lama makin lebat,
sehingga menunjukkan masa yang lebih kompak.
b. Tahap transisi (30-50 jam fermentasi), merupakan tahap optimal fermentasi
dan siap dipasarkan. Pada tahap ini terjadi penurunan suhu, jumlah asam
lemak yang dibebaskan dan pertumbuhan jamur hampir tetap atau
bertambah sedikit, flavor spesifik tempe optimal dan tekstur lebih kompak.
c. Tahap pembusukan atau fermentsi lanjut (50-90 jam fermentasi), terjadi
kenaikan jumlah bakteri dan jumlah asam lemak bebas, pertumbuhan jamur
menurun dan pada kadar air tertentu pertumbuhan jamur terhenti, terjadi
perubahan flavor karena degradasi protein lanjut sehingga terbentuk amonia.

Dalam proses fermentasi terjadi perubahan-perubahan yang meliputi


perubahan komponen lemak, karbohidrat, protein, vitamin dan komponen lain.
(Rahayu, K. dan Sudarmaji, S., 1989: 281). Menurut Wood, BJ.B. (1985: 230-
231). Tempe bersifat lebih mudah dicerna karena selama proses fermentasi
terjadi perubahan senyawa komplek menjadi senyawa sederhana yang sifatnya
lebih mudah larut. Tempe juga banyak mengandung vitamin B12; mineral seperti

12
Ca, Fe, tidak mengandung kolesterol; dan relatif bebas dari racun kimia.
Komposisi zat gizi dalam tempe kedelai disajikan pada Tabel 3.

2.6 Kandungan Gizi Tempe


Tempe memiliki nilai gizi yang tinggi dan dapat diperhitungkan sebagai
sumber makanan yang baik gizinya karena memiliki kandungan protein,
karbohidrat, asam lemak esensial, vitamin, dan mineral. Nutrisi utama yang akan
dimanfaatkan dari tempe adalah kandungan proteinnya (Anggraini, 2007 dalam
Irdawati dan Fifendy, 2012).
Dibandingkan kedelai, kadar zat antigizi pada tempe lebih rendah. Fitat
yang dapat menghambat penyerapan beberapa mineral akan diuraikan menjadi
inositol dan fosfat oleh enzim fitase yang dihasilkan selama fermentasi. Selain
itu, bioavailabilitas beberapa zat gizi pada tempe seperti protein, beberapa
vitamin B, dan isoflavon lebih mudah dicerna dibandingkan pada kedelai. Tempe
merupakan pangan nabati dengan protein berkualitas tinggi dengan nilai PER
hampir setara dengan beberapa pangan hewani (Muchtadi, 2012 dalam
Purwaningtyas, 2016).
Kadar protein tempe dan kedelai hampir sama. Namun, dari kedelai
menjadi tempe terdapat peningkatan jumlah asam amino bebas. Hal tersebut
terjadi karena kapang tempe menghasilkan enzim protease yang menghidrolisis
ikatan peptide pada protein menjadi asam amino bebas (Koswara, 1992 dalam
Purwaningtyas, 2016). Asam-asam amino yang mengalami peningkatan adalah
arginine (Ghozali et al., 2010 dalam Purwaningtyas, 2016), treonin, metionin,
leusin, dan lisin (Zamora dan Veum, 1998 dalam Purwaningtyas, 2016). Hasil
penelitian Utari (2011) menunjukkan bahwa arginin merupakan asam amino yang
dominan pada tempe. Tempe juga mengandung asam-asam amino rantai
bercabang (branched chain amino acids-BCAAs). Minuman berbasis tempe
mengandung 180.9 mg BCAA/g protein dengan rincian: 83.6 mg leusin, 48.3 mg
isoleusin, dan 49 mg valin (Jauhari, 2014 dalam Purwaningtyas, 2016).
Meskipun pengolahan kedelai menjadi tempe akan menurunkan
kandungan total isoflavon. Namun, senyawa isoflavon yang terdapat pada
kedelai akan lebih mudah diserap setelah diolah menjadi tempe. Sebagian besar
isoflavon pada kedelai tersedia dalam bentuk glikosida (terikat pada molekul
glukosa), yaitu: genistin, daidzin, dan glycetin. Selama fermentasi terjadi
hidrolisis enzimatis yang akan melepaskan molekul glukosa dari isoflavon dan

13
dihasilkan isoflavon dalam bentuk aglikon (tidak terikat), yaitu: genistein,
daidzein, dan glycitein. Bentuk aglikon tersebut lebih mudah diserap di dalam
usus dibandingkan bentuk glukosida (Astawan, 2008 dalam Purwaningtyas,
2016). Dalam 100 g tempe kukus mengandung 24.8 mg isoflavon. Sementara itu,
menurut Surya (2011) dalam Purwaningtyas (2016), 300 ml sari tempe
mengandung 4.7 mg daidzein, 2.3 daidzin, 4.8 mg genistein, dan 3.5 mg genistin
dengan jumlah total isoflavon sebesar 15.3 mg.

2.7 Faktor Penentu Kualitas Tempe


Menurut Suprapti (2003) dalam Irdawati dan Fifendy (2012), faktor-faktor
penentu kualitas tempe:
A. Cita rasa
Cita rasa tempe baru dapat diketahui setelah tempe diolah. Cita rasa ini
ditentukan antara lain oleh jenis dan tingkat ketuaan kedelai, bahan campuran
yang digunakan dan tingkat kebersihan saat pengolahan.
B. Kelunakan/ tingkat kelapukan kedelai
Tempe yang lunak umumnya lebih disenangi konsumen. Proses pelunakan
kedelai terjadi pada saat proses peragian (fermentasi). Semakin sempurna
proses fermentasi yang terjadi, semakin tinggi tingkat kelunakan tempe.
C. Kebersihan
Sebelum diproses, kedelai harus dibersihkan terlebih dahulu dari kotoran dan
benda-benda asing yang tercampur. Benda-benda tersebut selain akan
menimbulkan gangguan pada saat tempe dikonsumsi, mengganggu
fermentasi, juga mempengaruhi kualitas tempe yang dihasilkan.
D. Kesuburan kapang
Kapang yang tumbuh lebat dan berwarna putih menunjukkan bahwa tempe
tersebut berkualitas baik.

14
Gambar. Syarat mutu tempe kedelai menurut Badan Standarisasi Nasional
Indonesia
(Sumber: SNI 3144:2009 dalam Irdawati dan Fifendy, 2012)

Pemeraman atau fermentasi adalah satu langkah yang penting dalam


proses pembuatan tempe karena pada proses inilah keberhasilan pertumbuhan
kapang tempe ditentukan serta penggunaan laru yang tepat sangat penting untuk
menghasilkan tempe yang bermutu baik (Sarwono, 1996 dalam Sofiyatin et al.,
2012). Mutu tempe juga dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya ; mutu
bahan baku, proses, jenis dan jumlah mikroorganisme yang digunakan serta
suhu dan waktu proses fermentasi . Waktu fermentasi dapat divariasikan dari 18
sampai 36 jam. Aktivitas enzim amilase oleh Rizopus oryzae terjadi pada periode
fermentasi 0-12 jam dan tertinggi pada saat 12 jam. Kecepatan hidrolisis protein
oleh Rizopus oligosporus berlangsung tertinggi pada periode fermentasi 12-24
jam, sedangkan kecepatan hidrolisis protein tertinggi dari Rizopus oryzae
berlangsung pada periode fermentasi 24-36 jam. (Hermana dan Karmini, 1996
dalam Sofiyatin et al., 2012). Berdasarkan hasil penelitian Intan (2010) dalam
Sofiyatin et al. (2012), pada pembuatan tempe kacang gude dan kacang
tunggak, penambahan inokulum 2 % dengan waktu fermentasi yang berbeda
menunjukkan peningkatan kadar air, kadar abu dan kadar protein serta aktivitas
antioksidan dan total fennol. Penggunaan inokulum dengan jumlah yang banyak
menyebabkan waktu fermentasi menjadi terlalu kritis, sedangkan pemakaian
inokulum dengan jumlah yang kurang menyebabkan mikroba kontaminan dapat
tumbuh . Penambahan atau pengurangan jumlah inokulum akan mempersingkat
atau memperpanjang waktu fermentasi (Sofiyatin et al., 2012).

2.8 Pemanfaatan Tempe


Tempe tidak hanya dijadikan sebagai lauk. Seperti halnya kedelai,
pengolahan tempe juga dapat divariasikan menjadi minuman seperti minuman
sari tempe atau yang biasa masyarakat awal menyebutnya dengan susu tempe.
Pembuatan minuman sari tempe cukup mudah, yaitu meliputi pemotongan,
perebusan tempe, penggilingan, penyaringan, penambahan bahan tambahan
pangan jika diperlukan, perebusan sari tempe misalnya dengan metode
pasteurisasi, dan pengemasan (Purwaningtyas, 2016).

15
Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu baik pada manusia atau hewan
percobaan, kedelai; tempe; maupun minuman yang terbuat dari kedelai atau
tempe memiliki manfaat positif terhadap kadar glukosa darah. Pemberian pakan
berbasis tempe dengan arginin 1.4 persen dan 1.6 persen dapat menurunkan
kadar glukosa darah pada tikus diabetes (Ghozali et al,. 2010 dalam
Purwaningtyas, 2016). Hasil penelitian Simmons (2011) dalam Purwaningtyas
(2016), menunjukkan bahwa kedelai dapat dijadikan bahan untuk suplementasi
snack dalam jumlah yang cukup banyak untuk menurunkan kadar glukosa darah
post-prandial. (Gunnerud et al., 2012 dalam Purwaningtyas, 2016) menuturkan
bahwa pemberian minuman berbasis kedelai sebanyak 9 g protein dapat
menurunkan kadar glukosa darah post-prandial secara signifikan. Pemberian
susu kedelai dengan dosis 90 ml/kg BB pada tikus yang diinduksi DM tipe 2
mampu menurunkan kadar glukosa darah dan insulin plasma secara signifikan
(Handayani et al., 2009 dalam Purwaningtyas, 2016). Sinaga dan Wirawanni
(2012) dalam Purwaningtyas (2016), menuturkan bahwa pemberian 280 ml susu
kedelai selama 14 hari pada wanita prediabetes dapat menurunkan kadar
glukosa darah puasa sebesar 26.3 mg/dl meskipun variabel aktifitas fisik,
perubahan IMT, dan perubahan asupan serat turut berkontribusi 56.1 persen
terhadap penurunan kadar glukosa darah puasa tersebut.
Tempe biasa diolah dengan cara perebusan (osengoseng tempe),
dibusukkan (tempe busuk), dikeringkan (tempe kering), direbus dengan
penambahan gula merah yaitu tempe bacem. Selain itu tempe juga dapat di olah
dengan cara di panggang (Astawan, 2004 dalam Sofiyatin et al., 2012).

2.9 Manfaat Mengkonsumsi Tempe


Hasil penelitian menunjukkan kedelai yang terfermentasi jamur Rhizopus
oligosporus, seperti tempe menunjukkan kandungan isoflavon dan derivatnya
yang lebih tinggi dari pada dalam biji kedelai (Ralston, 2005 dalam Atun, 2009).
Kandungan isoflavon yang lebih tinggi tersebut diakibatkan oleh reaksi
metabolisme secara anaerob jamur Rhizopus oligosporus yang dapat mengubah
senyawa flavonoid menjadi isoflavonoid (Atun, 2009).
Dari penelitian tersebut dapat diketahui bahwa isoflavon merupakan zat
aktif dari kedelai yang memiliki berbagai aktivitas biologi yang berguna. Oleh
karena itu para ahli berupaya untuk meningkatkan kandungan isoflavon dari
kedelai melalui teknik fermentasi. Penelitian yang dilakukan oleh Ralston (2005)

16
dalam Atun (2009), menunjukkan bahwa enzim-enzim yang dihasilkan oleh
bakteri Rhizopus oligosporus yang terdapat dalam ragi tempe dapat mengubah
senyawa flavanon menjadi isoflavon selama proses fermentasi, melalui reaksi
yang terdapat pada Gambar 2.

Gambar 2. Reaksi metabolisme pembentukan isoflavon dalam kedelai


(Sumber: Atun, 2009)

Proses ferrmentasi juga dapat menghidrolisis senyawa-senyawa flavon


glikosida menjadi aglikonnya, yang menunjukkan aktivitas antioksidan yang lebih
tinggi. Senyawa isoflavon merupakan salah satu komponen yang juga
mengalami metabolisme. Senyawa isoflavon ini pada kedelai berbentuk senyawa
konjugat dengan senyawa gula melalui ikatan -O- glikosidik. Selama proses
fermentasi, ikatan -0- glikosidik terhidrolisa, sehingga dibebaskan senyawa gula
dan isoflavon aglikon yang bebas. Senyawa isoflavon aglikon ini dapat
mengalami transformasi lebih lanjut membentuk senyawa transforman baru.
Hasil transformasi lebih lanjut dari senyawa aglikon ini justru menghasilkan
senyawa-senyawa yang mempunyai aktivitas biologi lebih tinggi. Hal ini
ditunjukkan oleh Murata (1985) dalam Atun (2009), yang membuktikan bahwa
Faktor-II (6,7,4' tri-hidroksi isoflavon) mempunyai aktivitas antioksidan dan
antihemolisis lebih baik dari daidzein dan genistein. Selain itu, Jha (1985) dalam

17
Atun (2009), menemukan bahwa senyawa isoflavon lebih aktif 10 kali dari
senyawa karboksikroman. Dalam penelitian tersebut digunakan kedelai dari Cina
dan Amerika, serta belum diteliti pengaruh waktu fermentasi yang optimal untuk
menghasilkan kandungan senyawa isoflavon dan derivatnya yang tinggi.

2.10 Dampak Mengkonsumsi Tempe


Namun demikian, di dalam kedelai juga terkandung senyawa antigizi yang
dapat mengurangi manfaat kedelai sebagai sumber protein. Salah satu senyawa
antigizi yang terdapat dalam kacang-kacangan adalah senyawa antitripsin.
Senyawa antitripsin adalah senyawa yang menghambat kerja tripsin yang
dihasilkan oleh pankreas, sehingga protein makanan tidak dapat diuraikan atau
dicerna oleh enzim di dalam tubuh. Dengan demikian tidak terbentuk asam-asam
amino yang di perlukan untuk pembentukan/sintesis jaringan tubuh (Sutrisno,
1995: 19). Senyawa antitripsin mempunyai efek menghambat pertumbuhan
badan yang penghambatannya dapat mencapai 40% dari normal (Winarno, F.G.,
1983: 46). Senyawa antitripsin dapat berupa protein atau non protein. Menurut
Hafez dan Mohamed (1983), senyawa anti tripsin yang terdapat dalam kedelai
ada yang berupa senyawa anti tripsin non protein atau NPTI (Non Protein
Trypsin Inhibitor) yang besarnya antara 27- 55% dari aktivitas total antitripsin.
Jumlah ini besarnya tergantung pada jenis kedelai.

BAB III
METODE

3.1 Metode Pelaksanaan


Praktikum ini menggunakan metode partisipasi aktif. Partisipasi aktif adalah
teknik pengumpulan data yang mengharuskan peneliti melibatkan diri dalam
kehidupan dari masyarakat yang diteliti untuk dapat melihat dan memahami
gejala-gejala yang ada sesuai maknanya. Partisipasi aktif dalam praktikum ini
dilakukan dengan ikut serta dalam kegiatan yang dilakukan oleh Pembuat Tempe
di Jalan Bauksit No. 48A Purwantoro, Blimbing, Kota Malang .

18
3.2 Jenis dan Sumber Data
3.2.1 Data Primer
Praktikum ini dilaksanakan dengan menggunakan teknik pengambilan data
primer. Data didapatkan dengan menggunakan cara observasi, partisipasi aktif,
wawancara dan dokumentasi di lapang.

3.2.1.1 Observasi
Menurut Djaelani (2013), Metode observasi dilakukan dengan cara
mengamati perilaku, kejadian atau kegiatan orang atau sekelompok orang yang
diteliti. Kemudian mencatat hasil pengamatan tersebut untuk mengetahui apa
yang sebenarnya terjadi. Dengan pengamatan peneliti dapat melihat kejadian
sebagaimana subyek yang diamati mengalaminya, menangkap, merasakan
fenomena sesuai pengertian subyek dan obyek yang diteliti. Kegiatan observasi
pada praktikum pembuatan tempe dilakukan dengan cara melakukan
pengamatan terhadap fasilitas penunjang kegiatan pembuatan tempe yang
meliputi :
1. Kondisi tempat budidaya Udang Vannamei di Tambak Udang Vannamei
Tuban.
2. Proses dan tahapan budidaya Udang Vannamei di Tambak Udang Vannamei
Tuban.
3. Jumlah karyawan di Tambak Udang Vannamei Tuban.

3.2.1.2 Partisipasi Aktif


Kegiatan partisipasi aktif adalah teknik pengumpulan data dimana peneliti
terlibat aktif dalam kegiatan yang diteliti. Dengan ini peneliti bisa mengetahui
secara mendalam mengenai objek yang akan diteliti (Djaelani, 2013). Metode
partisipasi aktif yang digunakan dalam praktek Kerja Magang adalah dengan
cara mengikuti langsung kegiatan rutin budidaya udang vannamei di Tambak
Udang Vannamei Tuban.

3.2.1.3 Wawancara
Menurut Sari dan Afrianti (2012), wawancara merupakan metode
pengumpulan data dengan mengadakan tanya jawab secara langsung terhadap
responden untuk memperoleh keterangan mengenai gambaran umum lokasi
penelitian serta keterangan mengenai data atau dokumen yang dibuat atau
diterbitkan oleh kantor. Metode wawancara yang digunakan dalam praktek kerja
magang dilakukan dengan cara wawancara langsung dengan menyiapkan daftar
pertanyaan terhadap pihak-pihak yang berkaitan dengan kegiatan sistem

19
pencatatan data dan informasi mengenai kegiatan budidaya udang vannamei di
Tambak Udang Vannamei Tuban.

3.2.1.4 Dokumentasi
Menurut Sari dan Afrianti (2012), dokumentasi merupakan teknik
pengumpulan data yang dilakukan melalui pengumpulan dokumen-dokumen
kebutuhan penelitian, dan untuk menunjang kegiatan yang dilakukan. Metode
dokumentasi yang digunakan dalam praktek kerja magang yaitu
mendokumentasikan proses budidaya Udang Vannamei dan fasilitas tempat di
Tambak Udang Vannamei Tuban.

3.2.2 Data Sekunder


Data sekunder merupakan data yang sudah ada. Data tersebut sudah
dikumpulkan sebelumnya untuk tujuan-tujuan yang tidak mendesak. Keuntungan
data sekunder adalah sudah tersedia, ekonomis dan cepat didapat. Kelemahan
data sekunder adalah tidak dapat menjawab secara keseluruhan masalah yang
sedang diteliti (Soegoto, 2006). Dalam kegiatan praktek kerja magang ini
pengambilan data sekunder yang dibutuhkan meliputi :
1. Data jumlah hasil budidaya di Tambak Udang Vannamei Tuban.
2. Data teknik budidaya di Tambak Udang Vannamei Tuban.
Data teknik perawatan tambak di Tambak Udang Vannamei Tuban.

1. METODE PEMBUATAN TEMPE

a. Persiapan Bahan

Bahan yang digunakan dalam pembuatan tempe adalah kedelai. Jenis


kedelai yang digunakan adalah kedelai impor. Kapasitas untuk sekali
produksi tempe adalah 85 kilogram atau sesuai dengan kapasitas wadah
yang digunakan.
Bahan baku utama produksi tempe ialah kedelai (Glycine max (L)
Merr). Menurut Ketaren (1986), secara fisik setiap kedelai berbeda dalam
hal warna, ukuran dan komposisi kimianya. Perbedaan secara fisik dan
kimia tersebut dipengaruhi oleh varietas dan kondisi dimana kedelai
tersebut dibudidayakan.
Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan.
UI-Press. Jakarta.

20
b. Pembersihan

Bahan baku yakni kedelai dilakukan pembersihan menggunakan air


bersih untuk menghilangkan kotoran baik dalam bentuk debu, kerikil
maupun material asing yang lain.
Air yang digunakan dalam pengolahan harus terbebas dari mikroba
patogen maupun mikroba penyebab kebusukan makanan. Umumnya air
yang memenuhi persyaratan standar air minum, cukup baik memenuhi
persyaratan untuk industri (Camus, 2008).
Camus, A. 2008. Penyiapan SSOP dan SOP Proses Produksi
Minuman Ready to Drink (RTD) Berasam Tinggi Skala Industri. Tesis
Sekolah Pascasarjana. IPB. Bogor.
c. Perebusan

Proses perebusan dilakukan sebanyak dua kali. Pertama, perebusan


kedelai selama 1,5 jam guna mempermudah dalam proses pemisahkan
antara biji dan kulit yang selanjutnya dilakukan perendaman
menggunakan air rebusan yang telah dipakai sebelumnya. Kedua,
dilakukan perebusan selama 4 jam dan perendaman selama 1 hari.
Perebusan bertujuan untuk melunakkan biji kedelai dan memudahkan
dalam pengupasan kulit serta bertujuan untuk menonaktifkan tripsin
inhibitor yang ada dalam biji kedelai. Selain itu perebusan I ini bertujuan
untuk mengurangi bau langu dari kedelai dan dengan perebusan akan
membunuh bakteri yang kemungkinan tumbuh.Perebusan dilakukan
selama 30 menit atau ditandai dengan mudah terkelupasnya kulit kedelai
jika ditekan dengan jari tangan (Hidayat, 2009).
Hidayat, N. 2009. Tahapan Proses Pembuatan Tempe.
http://www.nurhidayat.tip.wordpress.com. Diakses tanggal 23
Desember 2010.
d. Pendinginan

Setelah direbus, dilakukan penirisan biji kedelai sampai suhu menurun.


derajat suhu tidak ditentukan, hanya dilakukan perkiraan bahwa kedelai
siap untuk dilakukan proses selanjutnya.
Tahapan ini bertujuan untuk mengurangi kandungan air dalam biji,
mengeringkan permukaan biji dan menurunkan suhu biji sampai sesuai
dengan kondisi pertumbuhan jamur, air yang berlebihan dalam biji dapat
menyebabkan penghambatan pertumbuhan jamur dan menstimulasi
pertumbuhan bakteri-bakteri kontaminan, sehingga menyebabkan
pembusukan (Hidayat, 2009).

21
Hidayat, N. 2009. Tahapan Proses Pembuatan Tempe.
http://www.nurhidayat.tip.wordpress.com. Diakses tanggal 23
Desember 2010.
e. Peragian

Ragi yang digunakan adalah ragi alami yang berasal dari tempe busuk
yang sudah dikeringkan. Keunggulan dari penggunaan ragi alami adalah
murah, menghasilkan rasa yang gurih dan tidak lembek.
Menurut Fauzan (2005), inokulasi dilakukan dengan penambahan
inokulum, yaitu ragi tempe atau laru. Inokulasi dapat dilakukan dengan
dua cara, yaitu (1) penebaran inokulum pada permukaan kacang kedelai
yang sudah dingin dan dikeringkan, lalu dicampur merata sebelum
pembungkusan; atau (2) inokulum dapat dicampurkan langsung pada saat
perendaman, dibiarkan beberapa lama, lalu dikeringkan.
Fauzan, F. 2005. Formulasi Flakes Komposit dari Tepung Talas
(Colocasia esculenta (L.) Schott), Tepung Tempe, dan Tapioka.
(Skripsi). Institut Pertanian Bogor. Bogor. 78 hlm.

f. Pencetakkan

Kedelai yang sudah diberikan ragi, dilakukan pencetakkan di tempat


yang telah disediakan. Tempat pencetakkan berasal dari tumpukan kayu
yang disusun dengan bentuk persegi panjang dengan ukuran 800x50 cm .
kedelai dimasukkan kedalam wadah cetak dan diratakan guna
menghasilkan bentuk tempe yang sempurna. Selanjutnya dilakukan
penutupan menggunakan plastik yang telah dilubangi guna memberikan
oksigen.
Berbagai bahan pembungkus atau wadah dapat digunakan (misalnya
daun pisang, daun waru, daun jati, dan plastik), asalkan memungkinkan
masuknya udara karena kapang tempe membutuhkan oksigen untuk
tumbuh. Bahan pembungkus dari daun atau plastik biasanya diberi
lubang-lubang dengan cara ditusuk-tusuk (Hermana dan Karmini, M.,
1999).
Hermana dan Karmini, M. The Development of Tempe Technology. Di
dalam Agranoff, J, The Complete Handbook of Tempe: The Unique
Fermented Soyfood of Indonesia, Singapura: The American Soybean
Association,1999.

BAB IV

22
HASIL DAN PEMBAHASAN
Apakah ada kultur starter untuk produk?

Ada. Tempe yang selama ini beredar di pasaran masih dibuat melalui proses
fermentasi dengan menggunakan bibit atau starter yang dapat diperoleh di pasar.
Kultur (biakan) starter atau biasa disebut laru ini dibuat secara tradisional
sehingga kemurnian dan komposisi kultur yang dihasilkan tidak konsisten
dan tempe yang dihasilkan pun memiliki mutu organoleptik yang tidak
seragam. Kurang konsistennya kultur ini akan sangat menghambat
komersialisasi tempe karena produk yang diproduksi pada skala
komersial/skala besar diharapkan memiliki mutu organoleptik terutama rasa,
aroma, dan penampakan tempe yang konsisten dan seragam (Karsono et al.,
2009).

1. Apakah ada bakteri endogen dalam produk?


TIDAK ADA.
KURANG PENGERTIAN ENDOGENUS

Pada fermentasi tempe dibutuhkan


inokulum tempe. Tanpa inokulum tempe,
kedelai yang difermentasi akan menjadi
busuk (Sarwono, 2004). Inokulum tempe
disebut juga sebagai starter tempe dan
banyak pula yang menyebut dengan ragi
tempe. Inokulum tempe merupakan
kumpulan spora kapang dan jamur yang
digunakan untuk bahan pembibitan dalam
pembuatan tempe.
Inokulum tempe yang telah dikenal
masyarakat saat ini adalah usar (biasanya
menempel di daun waru) dan inokulum
bubuk buatan LIPI. Usar banyak
mengandung bakteri kontaminan karena
pada pembuatannya kurang
memperhatikan kondisi yang aseptis dan
jenis kapang pada usar juga bervariasi
seperti Rhizopus sp dan mikroorganisme
lain. Inokulum bubuk yang telah ada
sebelumnya dibuat dari kapang R. oligosporus yang dibiakkan pada media
beras yang telah masak, kemudian
dikeringkan lalu digiling (Kasmidjo,
1990).
2. Apakah ada bakteri tambahan untuk produk?

Ada. Pada tempe terjadi sintesis vitamin B12 dan antioksidan trihidroksi-isoflavon
atau
Faktor-2 (1,2). Kedua komponen tempe tersebut terbentuk oleh kapang Rhizopus Sp
dan bakteri.
Pada penelitian Bioteknologi Indonesia - Jerman (BTIG) di Universitas Munster
(3), ditemukan dua jenis bakteri yang mempunyai kemampuan mensintesis vitamin
B12 yaitu Citrobacter freundii dan Klebsiella pneumoniae. Selain itu dapat

23
diidentifikasi pula dua jenis bakteri yang berpotensi dalam pembentukan antioksidan
Faktor-2 yaitu bakteri Corynebacterium Sp dan Micrococcus luteus.
Keempat bakteri tersebut tidak sengaja ditambahkan pada proses pembuatan tempe,
namun terikutkan pada proses perendaman kedelai.
Tidak semua contoh tempe atau air perendam yang diambil dari berbagai daerah di
Indonesia mengandung keempat bakteri tersebut.
Sebagian besar perajin tempe di Indonesia menggunakan inokulum tempe berupa
bubuk kering sebagai pembawa spora kapang Rhizopus Sp, sebagian perajin lainnya
menggunakan inokulum daun waru.
Dalam kedua jeuis inokulum tersebut, yang diambil sebagai contoh pada
penelitian BTIG tidak ditemukan keempat bakteri berpotensi tersebut di atas.
Apabila bakteri Citrobakter freundii atau Klebsiella pneumoniae ditambahkan
pada proses pembuatan inokulum tempe, mungkin semua tempe yang diproduksi
dapat mengandung vitamin B12 dalam jumlah optimum. Demikian pula apabila
Corynebacterium Sp atau Micrococcus luteus ditambahkan dalam pembuatan
inokulum, maka setiap tempe yang diproduksi dapat mengandung Faktor-
3. Bagaimana cara pemeliharaan bakteri pada produk?

Pada penelitian ini digunakan kapang Rhizopus otigosporus yang diisolasikan


dari
Contoh contoh tempe. Bakteri Citrobacter freundii Klebsiella pneumoniae,
Corynebacterium
Sp dan Micrococcus luteus diperoleh dari Universitas Munster. Bakteri
diisolasikan
dari contoh air perendam kedelai yang diperoleh dari beberapa perajin tempe di
Indonesia.
Setiap mikroorganisme dibiakkan pada media baku yang spesifik untuk bakteri
yang bersangkutan. Suspensi bakteri dan kapang dibuat setelah masing-masing
mikroorganisme berumur 20 hari. Setiap mikroorganisme disuspensikan dalam
lamtan 0.9% NaCI. Sebelum dinakan untuk inokulasi, suspensi ditambah
'tween-80', dikocok dan dihitung jumlah koloninya

4. Apa jenis mikroba yang ada pada produk?

Di dalam proses pembuatan tempe, tercatat 2 (dua) jenis jamur yang


berperan yaitu jamur Rhizophus oligosporus dan Rhizopus oryzae.
Kedua jenis
jamur ini mempunyai kemampuan untuk mengubah kedelai menjadi asam
amino dan protein lain yang cepat larut bila di konsumsi (Imam dan Sukamto,
1999: 4). Menurut Rachman A. (1989: 12l) Rhizophus oligosporus
mensintesis
enzim proteaze lebih banyak sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan
nilai gizi protein kedelai. Kemampuannya dalam mengubah kedelai menjadi
tempe meliputi: aktivitas enzimatik, perkecambahan spora dan penetrasi
miselia jamur tempe ke dalam jaringan biji kedelai.

Pada proses pembuatan tempe. sedikitn>a terdapat empat jenis kopong Rhizopus ?-ang
dapat digunakan. Rhizoplrs oligosporus mempakan genus utama yang digunakan &lam
proses pembuatan tempe di Indonesia. genus yang lainnya adalah Rhizopirs onzap.
Tcmpe yang &buat dengan usar tra&sional sering mengandung mikroorganisme lain

24
selain Rhizopirs Sp Saono dkk (1976) menemukan 69 jenis kapang. 78 jcnis bakteri dan
150 jenis khamir terdapat pada temp dari behgai daemh di Jaw Barat. Pada penelitian ini
dipelajari akti~itas cnzim-enzim ekstn selular a-ami

5. Bagaimana cara memperpendek fase lag?


hubungan antara jumlah koloni jamur Rhizopus sp. (sel/mL) dengan waktu fermentasi
(jam) pada pengenceran 10-2 memperlihatkan beberapa fase, yaitu (1) fase lag dengan
waktu fermentasi 0 (nol) sampai 12 jam belum ada pertumbuhan, (2) fase akselerasi
dengan waktu fermentasi 12 sampai 24 jam terdapat 1,0 x 103 sampai 7,0 x 103 koloni/g,
(3) fase eksponensial dengan waktu fermentasi 24 sampai 36 jam diperoleh 7,0 x 103
sampai 6,9 x 104 koloni/g, merupakan fase pertumbuhan optimum, (4) fase deselarasi
dengan waktu fermentasi 36 sampai 48 jam pertumbuhan menurun sampai 4,0 x 104
koloni/g, (5) fase stasioner dengan waktu fermentasi 48 sampai 60 jam pertumbuhan
jamur relatif statis dari 4,0 x 104 ke 3,5 x 104 koloni/g dan (6) fase kematian
pertumbuhan jamur semakin menurun pada waktu fermentasi 60 sampai 72 jam dari 3,5
x 104 koloni/g sampai tidak ada pertumbuhan.

Trace element merupakan nutrient esensial. Kekurangan trace element akan


memperpanjang fase lag (adaptasi mikroba) dan dapat menurunkan laju spesifik
pertumbuhan dan yield. Micronutrient dapat diklasifikasikan dalam tiga katagori.
Trace element yang dibutuhkan secara umum seperti Fe, Zn dan Mn. Fe berada dalam
ferredoxin dan cytochrome, merupakan kofaktor yang penting. Fe merupakan
pengendali pada berbagai proses fermentasi. Konsentrasi Fe mengatur produksi
penicillin oleh Penicillium chrysogenum, pembatasan konsentrasi Fe dibutuhkan untuk
memicu ekresi riboflavin oleh Ashbya gosypii. Zinc (Zn) adalah kofaktor beberapa enzim
dan pengendali proses fermentasi seperti penicillin. Mangan (Mn) adalah kofaktor enzim
dan pengendali pembentukan metabolit sekunder dan ekresi metabolit pimer Trace
element yang dibutuhkan untuk kondisi pertumbuhan yang spesifik seperti Cu, Co, Mo,
Ca, Na, Cl, Ni dan Se Trace element yang kadang-kadang dibutuhkan seperti B, Al, Si, Cr,
Sn, Be dsb. Elemen tersebut dibutuhkan pada konsentrasi kurang dari 10-6 M dan
bersifat toksik pada konsentrasi lebih tinggi seperti 10-4 (Stanbury and Whitaker, 1984).

6. Bagaimana persiapan media agar siap difermentasi?

Proses pembuatan tempe melibatkan tiga faktor pendukung, yaitu bahan baku yang
dipakai (kedelai), mikroorganisme (kapang tempe), dan keadaan lingkungan tumbuh
(suhu, pH, dan kelembaban). Dalam proses fermentasi tempe kedelai, substrat yang

25
digunakan adalah biji kedelai yang telah direbus dan mikroorganisme yang digunakan
berupa kapang antara lain Rhizopus olygosporus, Rhizopus oryzae, Rhizopus
stolonifer (dapat terdiri atas kombinasi dua spesies atau ketiganya) dan lingkungan
pendukung yang terdiri dari suhu 30C, pH awal 6.8, kelembaban nisbi 70-80%.
Selain menggunakan kapang murni, laru juga dapat digunakan sebagai starter dalam
pembuatan tempe (Ferlina, 2009 dalam Dwinaningsih, 2010).

Perebusan bertujuan untuk melunakkan biji kedelai dan memudahkan


dalam pengupasan kulit serta bertujuan untuk menonaktifkan tripsin
inhibitor yang ada dalam biji kedelai. Selain itu perebusan I ini
bertujuan untuk mengurangi bau langu dari kedelai dan dengan
perebusan akan membunuh bakteri yang yang kemungkinan tumbuh
selama perendaman.Perebusan dilakukan selama 30 menit atau
ditandai dengan mudah terkelupasnya kulit kedelai jika ditekan dengan
jari tangan (Ali, 2008).
Perendaman bertujuan untuk melunakkan biji dan mencegah
pertumbuhan bakteri pembusuk selama fermentasi. Ketika
perendaman, pada kulit biji kedelai telah berlangsung proses
fermentasi oleh bakteri yang terdapat di air terutama oleh bakteri asam
laktat. Perendaman juga betujuan untuk memberikan kesempatan
kepada keping-keping kedelai menyerap air sehingga menjamin
pertumbuhan kapang menjadi optimum. Keadaan ini tidak
mempengaruhi pertumbuhan kapang tetapi mencegah
berkembangnya bakteri yang tidak diinginkan. Perendaman ini dapat
menggunakan air biasa atau air yang ditambah asam asetat sehingga
pH larutan mencapai 4-5. Perendaman dilakukan selama 12-16 jam
pada suhu kamar (25-30C) (Ali, 2008 dalam Dwinaningsih, 2010).

Media ialah suatu bahan yang terdiri atas campuran nutrisi yang dipakai untuk
menumbuhkan mikroba. Selain untuk menumbuhkan mikroba, media dapat pula
digunakan untuk isolasi, memperbanyak, pengujian sifat-sifat fisiologi dan
perhitungan
jumlah mikroba. Supaya mikroba dapat tumbuh baik dalam suatu media, perlu
dipenuhi syarat-syarat berikut (Kumalaningsih et al., 1995 dalam Santi, 2008) :

- Media harus mengandung semua nutrisi


yang mudah digunakan oleh mikroba.
- Media harus mempunyai tekanan osmose,
tegangan permukaan, dan pH yang sesuai.
- Media harus steril.
- Media tidak mengandung penghambat.

Apa indikator proses fermentasi berakhir?


Tempe mempunyai ciri-ciri warna putih, tekstur kompak dan flavor spesifik.
Warna putih disebabkan adanya miselia jamur yang tumbuh pada permukaan biji
kedelai dan tekstur kompak juga disebabkan oleh miselia-miselia jamur yang
menghubungkan antara biji-biji kedelai tersebut Terjadinya degradasi komponen-

26
komponen dalam kedelai dapat menyebabkan terbentuknya flavor spesifik
setelah fermentasi (Rahayu, K. dan Sudarmaji, S.,1989:271 dalam sulistyowati,
arianingrum, salirawati., 2004))

7. Kapan terjadinya produk akhir (pemanenan)?


Tempe yang difermentasi selama 24 jam diselimuti sedikit miselium dengan total kapang
sekitar 3.5log CFU/g. Sedangkan tempe yang difermentasi selama 48 jam telah diselimuti
miselium tebal dengan total kapang sekitar 4.5log CFU/g. Jalinan miselium yang tebal
menandakan berakhirnya proses fermentasi, sehingga tempe yang difermentasi selama
48 jam siap untuk dipanen (Emilia, 2015)

8. Berapa lama proses fermentasi?

Fermentasi kedelai dilakukan sctiap 12 jam. Suhu inkubasi ditentukan 30' C


karcna pada umumnya perajin tempe melakukan fementasi pada suhu ruang.
Tempe yang diamati pada penelitian ini dibuat melalui proses pcrebusan.
perendama~ pengupasan kulil dan pencucian; tempe yang dibuat dengan biakan
murni sebelum diinokulasi Wlai disterilkan pada suhu 12 1" C sclama 15 menit.
kemudian didingnkan dan diino lasi dengan suspensi kapang sebnyak 4% (VW,
secara aseptik_dikemas pada caw i" n pctri. Tcmpe yang mbuat dengan Ian1
kedelai tidak melalui proses sterilisasi tetapi setelah dicuci dikupas. dimus
selama ?O menit. didinginkan dandiinokulasi dengan lam sebanyak 0.025.
Ekstrakci cmim &lakukan sebagai berikut : setiap pctri tempe yang berasal d

Proses fermentasi tempe dibagi menjadi tiga tahap, yaitu:


a. Tahap pertumbuhan cepat (0 30 jam fermentasi), terjadi kenaikan jumlah
asam lemak bebas, kenaikan suhu, pertumbuhan jamur cepat, dengan terlihat
terbentuknya miselia pada permukaan biji makin lama makin lebat,
sehingga menunjukkan masa yang lebih kompak.
b. Tahap transisi (30 50 jam fermentasi), merupakan tahap optimal
fermentasi dan siap dipasarkan. Pada tahap ini terjadi penurunan suhu,
jumlah asam lemak yang dibebaskan dan pertumbuhan jamur hampir tetap
atau bertambah sedikit, flavor spesifik tempe optimal dan tekstur lebih
kompak.
c.Tahap pembusukan atau fermentsi lanjut (50 90 jam fermentasi), terjadi
kenaikan jumlah bakteri dan jumlah asam lemak bebas, pertumbuhan
jamur menurun dan pada kadar air tertentu pertumbuhan jamur terhenti,
terjadi perubahan flavor karena degradasi protein lanjut sehingga terbentuk
amonia.

1. Bagaimana menghentikan proses fermentasi?


Fermentasi hari ke-12 menunjukkan hasil bahwa serat kasar naik menjadi 26,37%,
karena Rhizopus oryzae berada pada fase stasioner yaitu seluruh sel berhent
membelah diri atau saat jumlah sel yang mati sama banyaknya dengan sel yang
tumbuh sehingga populasi menjadi stabil serta terjadinya penurunan kandungan
protein kasar. Zat makanan yang ada berkurang sehingga kekuatan fermentasi kapang
menurun. Penurunan ini disebabkan laju pertumbuhan Rhizopus oryzae yang menurun

27
akibat persediaan zat makanan pada media berkurang dan terbentuk zat - zat hasil
metabolisme yang menghambat pertumbuhan. Penambahan kandungan serat kasar
selain dari serat kasar pada bahan tersebut juga dari miselium yang terbentuk dari
Rhizopus itu sendiri.

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
Unsur-unsur mineral adalah unsur kimia selain karbon, hidrogen, oksigen,
dan nitrogen yang dibutuhkan oleh tubuh.
Mineral diklasifikasikan menjadi mineral makro dan mikro. Unsur mineral
makro merupakan unsur mineral yang terdapat dalam jumlah yang cukup
besar. Kelompok mineral makro terdiri dari kalium, kalsium, magnesium,
natrium, sulfur, klor, dan fosfor. Mineral mikro merupakan mineral yang
terdapat di dalam tubuh dalam jumlah yang kecil dan secara tetap terdapat
dalam sistem biologis. Mineral mikro terdiri dari besi, iodium, seng, mangan,
kobalt, fluor, dan tembaga.
Kalsium merupakan mineral yang penting untuk manusia, 99 persen kalsium
di dalam tubuh manusia terdapat di tulang.
Kalsium dibutuhkan untuk proses pembentukan dan perawatan jaringan
rangka tubuh serta beberapa kegiatan penting dalam tubuh.
Sumber kalsium terbagi menjadi dua, yaitu hewani dan nabati. Sumber
kalsium dari hewani antara lain; ikan, udang, susu dan produk olahan susu
(dairy) seperti yogurt, keju dan ice cream, kuning telur, ikan teri, udang
rebon, dan daging sapi. Sumber makanan yang mengandung kalsium nabati
terdapat di sayuran hijau seperti sawi, bayam, brokoli, daun papaya, daun
singkong, peterseli.
Untuk memperoleh kalsium murni dilakukan ekstraksi.
Pemanfaatan kalsium diantaranya tepung tulang ikan, aneka olahan pangan
seperi biskuit dan tahu susu.

28
Jumlah asupan kalsium per hari yang dianjurkan untuk orang dewasa sekitar
400-500 mg tetapi bila konsumsi proteinnya tinggi dianjurkan mengkonsumsi
700-800 mg. Untuk anak-anak dan remaja lebih tinggi asupannya dan untuk
wanita hamil/menyusui dianjurkan mengkonsumsi 1200 mg.
Kekurangan kalsium pada manusia dapat mengakibatkan osteomalasis,
yaitu tulang menjadi lunak karena matriksnya kekurangan kalsium.
Penyebab utama osteomalasia adalah kekurangan vitamin D. Selain itu, bila
keseimbangan kalsium negatif maka osteoporosis atau penurunan massa
tulang dapat terjadi.
Kalsium mempunyai banyak fungsi vital di dalam tubuh. Manfaat kalsium
adalah berperan dalam proses pertumbuhan tulang dan gigi, proses
koagulasi atau pembekuan darah, fungsi kerja otot-otot termasuk otot
jantung, metabolisme tingkat sel, sistem pernafasan dan sebagainya.
Kelebihan kalsium pada manusia dapat menimbulkan batu ginjal atau
gangguan ginjal dan konstipasi.

5.2 Saran

29
DAFTAR PUSTAKA

Anggraini, A. S. 2016. Preparasi dan Karakterisasi Limbah Biomaterial Cangkang


Kerang Darah (Anadara granosa) dari Pantai Muara Gading Mas sebagai
Bahan Dasar Biokeramik. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Lampung Bandar Lampung.

30

Anda mungkin juga menyukai