Anda di halaman 1dari 8

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN FEBRUARI 2012


UNIVERSITAS HASANUDDIN

KUSTA

DISUSUN OLEH:

NONI EKA SETYA SUAEBO C11107067

PEMBIMBING:
dr. Sukma Anjayani

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2012

1
KUSTA

Pendahuluan

Kusta dikenal juga dengan nama Leprosy atau Morbus Hansen (MH). Kusta
merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah Mycobacterium leprae (M.
leprae) yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan
mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf
pusat.(1) Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A.Hansen
pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dapat dibiakkan dalam
media artifisial. Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran klinis, bakterioskopis, dan
histopatologis.(1) Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spektrum determinate pada
penyakit kusta yang terdiri atas berbagai tipe atau bentuk, yaitu Tuberculoid polar, Borderline
tuberculoid, Mid Borderline, Borderline lepromatous, Lepromatosa indefinite, Lepromatous
polar. Menurut WHO, kusta dibagi mejadi tipe multibasilar dan pausibasilar. Yang termasuk
dalam multibasilar adalah tipe LL, BL dan BB. Sedangkan tipe pausibasiler adalah tipe I, TT
dan BT. Banyak penyakit yang menjadi diagnosis banding dari kusta. Untuk diagnosis
banding tersebut di nilai dari bentuk kesamaan lesi. Untuk lesi makula hipopigmentasi
vitiligo, pityriasis alba, dan pityriasis versikolor dapat menjadi diagnosis banding. Granuloma
multiformis, sarkoidosis dan tuberkulosis kutaneus merupakan diferensial diagnosis untuk lesi
(2)
berbentuk plak. Untuk lesi berbentuk papul dan nodul dermatofibroma, limfoma, dan
sarkoidosis. (3) Saat ini penatalaksanaan kusta diberikan berdasarkan tipe kusta menurut WHO
dengan menggunakan MDT (multi drug therapy). Untuk pengobatan tipe PB Dapat diberikan
rifampisin 600 mg/hari dan dapson 100 mg/hari selama 12 bulan.3 Untuk tipe MB dapat
diberikan dapson 100 mg/hari, klofazamine 50 mg/hari dan rifampisin 600 mg/hari selama 2
sampai 3 tahun. Apabila dalam waktu 2 sampai 3 tahun bakterioskopik belum negatif maka
pengobatan dilanjutkan hingga bakterioskopik negatif.1 Untuk penanganan reaksi kusta
dilakukan berdasarkan tipe reaksi dan berat ringannya reaksi yang dialami.

2
Definisi

Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya adalah M.leprae
yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama. Lalu kulit kemudian
mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf
pusat. (1)

Etiologi

Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A.Hansen


pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dapat dibiakkan dalam
media artifisial. Mycobacterium leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8 Um x 0,5 Um,
tahan asam dan alkohol serta Gram-positif. (1) Mycobacterium leprae dapat hidup pada suhu
30-33oC, dan dalam 12 hari dapat berlipat ganda. (2)

Patogenesis

M. leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab penderita yang
mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih berat, bahkan
dapat sebaliknya. Ketidak seimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit, tidak
lain disebabkan oleh respons imun yang berbeda, yang menggugah timbulnya reaksi
granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena
itu, penyakit ini dapat disebut sebagai penyakit imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding
dengan tingkat reaksi selularnya daripada intensitas infeksinya. (1)

Gejala Klinis

Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran klinis, bakterioskopis, dan


histopatologis. (1)

Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spektrum determinate pada penyakit kusta
yang terdiri atas berbagai tipe atau bentuk, yaitu:
3
Tuberculoid polar. Tipe ini merupakan tipe yag stabil. Lesi awal dapat berupa plak dan
pembesaran saraf tidak selamanya terjadi. Lesi dapat berupa lesi hipopigmentasi maupun
eritematosa dengan permukaan yang kering, berskuama dan tidak memiliki rambut.(2,3,4)

Borderline tuberculoid. Pada tipe ini mirip dengan lesi tuberkuloid namun lebih kecil dan
banyak. Karekteristik dari tipe ini adalah lesi satelit disekitar papul atau makula. (2,3,4)

Mid Borderline. Pada tipe ini lesi ditemukan banya namun masih dapat dihitung . lesi berupa
plak eritem ireguler. Dapat pula ditemukan lesi satelit. Lesi tidak berbatas tegas dan dapat
ditemukan pembesaran saraf, dan hipoanestesi. (2,3,4)

Borderline lepromatous. Pada tipe ini lesi ditemukan simetris dan banyak dapat disertai
papul, plak dan nodul. Dapat ditemukan pembesaran saraf namun pembesaran saraf terjadi
belakangan. Pasien biasanya tidak menunjukkan madarosis, keratitis, dan nasal ulserasi. (2,3,4)

Lepromatosa indefinite. Pada tipe ini ditemukan makula hipopigmentasi dapat disertai
gangguan fungsi saraf. (2,3)

Lepromatous polar. Tipe ini merupakan lepromatosa 100% yang juga merupakan bentuk
yang stabil. Pada tipe ini ditemukan lesi makular yang penyebarannya secara simetris dan
menyebar ke seluruh tubuh. Infiltrasi lepromatisa dapat dibedakan menjadi difus, plak dan
nodul. Karakterisitik difus menyerang pada daerah wajah terutama bagian dahi , madarosis,
permukaan kulit yang mengkilat yang kadang digambarkan sebagai varnished appeareance
(2,3)

Menurut WHO, kusta dibagi mejadi tipe multibasilar dan pausibasilar. Yang termasuk
dalam multibasilar (MB) adalah tipe LL,BL dan BB. Sedangkan tipe pausibasiler (PB) adalah
tipe I,TT dan BT. Digolongkan sebagai tipe PB apabila bercak kusta 1-5 dengan hanya 1
penebalan saraf yang disertai gangguan fungsi serta pada pemeriksaan BTA hasil BTA (-).
Untuk tipe MB ditemukan bercak putih lebih dari 5, penebalan saraf yang disertai gangguan
fungsi lebih dari satu. Pada pemeriksaan BTA ditemukan hasil BTA (+).(1)

Pada penderita kusta dapat mengalami reaksi kusta. Reaksi kusta adalah suatu episode
dalam perjalanan kronis penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan atau reaksi
antigen-antibodi dengan akibat yang dapat merugikan penderita. Terdapat 2 jenis reaksi kusta
yaitu reaksi tipe 1 dan tipe 2. Reaksi tipe 1 (reaksi reversal) reaksi tipe ini terjadi pada tipe
borderline yang disebabkan meningkatnya respon kekebalan seluler secara cepat. Pada reaksi
4
1 ringan gejalanya dapat berupa lesi kulit tambah aktif, menebal, eritem, panas (+), nyeri
tekan (+) namun tidak terdapat nyeri tekan saraf dan gangguan fungsi. Gejala klinis tipe 1
berat berupa lesi membengkak, eritem, panas (+), nyeri tekan (+), ada lesi kulit , tangan dan
kaki membengkak, arthtritis. Reaksi tipe 2 (reaksi ENL) terjadi pada penderita tipe MB dan
merupakan reaksi humoral. Gejala klinis tipe 2 ringan berupa nodul dengan nyeri tekan,
jumlahnya sedikit dan biasanya menghilang sendiri dalam 2-3 hari.tidak ada nyeri tekan dan
gangguan fungsi pada saraf. Pada tipe 2 berat memiliki gejala klinis nodul nyeri tekan,
ulserasi, jumlah banyak, berlangsung lama, ada nyeri tekan dan gangguan fungsi pada saraf,
dapat ditemukan peradangan pada organ lain seperti iridocyclitis, epididymoorchitis,
nephritis, arthritis, dan limphadenitis. (5)

Diagnosis

Diagnosis dapat didasakan berdasarkan pada gambaran klinik, bakterioskopis,


histopatologi. Klinis yang terpenting dan paling sederhana untuk dilakukan. Terdapat 3
cardinal sign pada penyakit kusta, yaitu:

1. Lesi kulit yang hipostesi atau anastesi. Lesi dapat berupa hipopigmentasi maupun
eritematous
2. Penebalan saraf yang disertai gangguan fungsi. Saraf yang sering terlibat adalah n.
Facialis, n. Auricularis magnus, n. Radialis, n. Ulnaris, n. Medianus, n. Cutaneus
radialis, n. Peroneus communis, n. tibialis posterior
3. Basil Tahan Asam (+)
Apabila ditemukan salah satu dari cardinal sign tersebut, maka penyakit kusta dapat
ditegakkan.(5)

5
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan berupa pemeriksaan bakterioskopik,
histopatologik dan serologik. Pada pemeriksaan bakterioskopik sediaan dibuat dari kerokan
kulit yang diwarnai dengan pewanaan basil tahan asam. Bakterioskopik negatif pada seorang
penderita, bukan berarti orang tersebut tidak menderita kusta.(1)
Histopatologik. Apabila kuman M. leprae masuk kedalam tubuh makan makrofag
bertugas untuk memakan kuman tersebut. Apabila seseorang memiliki Sistem Imunitas
Selular (SIS) tinggi maka makrofag mampu memfagosit M. leprae. Pada penderita yang
memiliki SIS rendah, makrofag tidak dapat memfagosit M.leprae yang sudah ada didalamnya,
bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sel Virchow atau sel lepra atau sel
busa. (1)
Gambaran histopatologik untuk tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf
yang lebh nyata, tidal ada basil atau hanya sedikit dan nonsolid. Pada tipe lepromatosa
terdapat subepidermal clear zone, yaitu suatu daerah dibawah epidermis yang jaringannya
tidak patologik. Didapati sel Virchow dengan banyak basil. (1)
Serologik. Pemeriksaan didasarkanpada pembentukn antibodi spesifik tubuh terhadap
M.lerprae yaitu anti phenolic glicolipid-1 (GPL-1). Kegunaan pemeriksaan ini untuk
membantu diagnosis kusta yang meragukan jika tanda klinis dan bakterioslogik tidak jelas.(1)

Diagnosis banding
Banyak penyakit yang menjadi diagnosis banding dari kusta. Untuk diagnosis banding
tersebut di nilai dari bentuk kesamaan lesi. Untuk lesi makula hipopigmentasi vitiligo,
pityriasis alba, dan pityriasis versikolor dapat menjadi diagnosis banding. Granuloma
multiformis, sarkoidosis dan tuberkulosis kutaneus merupakan diferensial diagnosis untuk lesi
berbentuk plak.2 Untuk lesi berbentuk papul dan nodul dermatofibroma, limfoma, dan
sarkoidosis.3

Penatalaksanaan
Saat ini penatalaksanaan kusta diberikan berdasarkan tipe kusta menurut WHO dengan
menggunakan MDT (multi drug therapy). Untuk pengobatan tipe PB Dapat diberikan
rifampisin 600 mg/hari dan dapson 100 mg/hari selama 12 bulan.(referensi) Untuk tipe MB
dapat diberikan dapson 100 mg/hari, klofazamine 50 mg/hari dan rifampisin 600 mg/hari

6
selama 2 sampai 3 tahun. Apabila dalam waktu 2 sampai 3 tahun bakterioskopik belum
negatif maka pengobatan dilanjutkan hingga bakterioskopik negatif. (1,2)
Pada penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat MDT memiliki
resiko tinggi untuk terjadinya kerusakan saraf. Cara terbaik untuk melakukan pencegahan
cacat atau prevention of disabilities (POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta,
pemberian MDT yang cepat dan tepat. (1,2)
Penatalaksanaan untuk reaksi kusta dibedakan berdasarkan reaksi. Pada reaksi tipe 1
yang terutama harus dilakukan adalah istirahat. Dapat diberikan analgetik, antipiretik dan
sedatif, atasi faktor pencetus. Pada reaksi tipe 2 penanganan sama dengan reaksi 1 namun
pada reaksi berat diberikan prednison dengan dosis awal 40-60 mg/hari. Apabila reaksi dapat
dikontrol maka dosis prednison diturunkan perlahan-lahan. Dapat diberikan analgetik dan
sedatif, hindari faktor pencetus.(5,6)
Pasien dengan penyakit kusta dapat mengalami komplikasi neurologik sehingga dapat
dilakukan latihan fisioterapi dan operasi. Meskipun hasilnya tidak sempurna kembali seperti
semula, namun secara fungsi dan kosmetik dapat diperbaiki. Beberapa alat bantu dapat
digunakan. (1)

7
Daftar Pustaka

1. Budimulja U. Mikosis. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S editors. Ilmu Penyakit


Kulit Dan Kelamin.5th Ed.Jakarta: Balai Penerbit FKUI. p. 89-105.

2. Lockwood DNJ. Leprosy, In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C editors.


Rooks Textbook of Dermatology. 8th Ed.Willey-Blackwell;2010. p. 32.1-32.19

3. Rea TH., Modlin RL. Leprosy, In: Wolff K, Goldsmith AL, Katz IS, Gilchrest AB,
Paller SA, Leffel JD editors. Fitzpatricks Dermatology In General Medecine. 7th Ed.
New York: Mc Grew Hill Medical;2008.p. 1786-96

4. Bryceson A., Pfaltzgraff RE.editors. Leprosy. 3rd edition. New York. Churchill
livingstone; 1990.

5. Bali S., Kasim M., Kesumaningsih I., Muhasirah, Mustaman, Setiawati AD. Modul
Program Pengendalian Penyakit Kusta Untuk Coass;Makassar. Instalasi Penyakit
Kusta Dan Penyakit Infeksi Endemik Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sulianti
Saroso; 2011

6. James DW, Berger GT, Elston MD. Hansens Disease. In: Andrews Disease of The
Skin. 3rd Ed. Elsvier Saunders;2006. p. 343-352.

Anda mungkin juga menyukai