Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

MILIARIA

Dosen Pembimbing:

dr. Ratna Ika Susanti, Sp. KK

Oleh:

Thaharah Izmi Saputri Jati

201910401011172

KSM ILMU KULIT DAN KELAMIN

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DOKTER SOEDOMO

KABUPATEN TRENGGALEK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2020
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya, shalawat serta
salam terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya.
Syukur Alhamdulillah, penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul
“Miliaria”.
Dalam penyelesaian laporan kasus ini penulis ingin mengucapkan terima
kasih yang tak terhingga kepada :
1. dr. Ratna Ika Susanti, Sp. KK

2. Seluruh tenaga medis maupun non-medis RSUD DR Soedomo Kabupaten


Trenggalek
3. Seluruh teman-teman dokter muda di RSUD DR Soedomo Kabupaten
Trenggalek, atas dukungan serta doanya.
Laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan. Dengan kerendahan hati
penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya dan mengharapkan saran dan kritik
yang membangun. Semoga referat ini dapat menambah wawasan dan bermanfaat
bagi semua pihak.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Fakfak, 24 Desember 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................. Error! Bookmark not defined.

DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ iv

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

2.1 Latar Belakang ................................................................................................ 1


2.2 Tujuan ............................................................................................................. 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 2

2.1 Anatomi dan Fisiologi Kelenjar Keringat ...................................................... 2


2.2 Definisi ............................................................................................................ 6
2.3 Epidemiologi .................................................................................................. 7
2.4 Etiologi dan Patogenesis ................................................................................ 7
2.5 Klasifikasi & Klinis...................................................................................... 10
2.6 Diagnosis ...................................................................................................... 12
2.7 Komplikasi ................................................................................................... 14
2.8 Tatalaksana ................................................................................................... 15

BAB 3 KESIMPULAN ....................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 18

iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Diagram struktur kulit dan panikulus ..............................................8
Gambar 2.2 Gambaran ultrastruktur saluran ekrin dan koil sekretori .................9
Gambar 2.3 Miliaria Crystallina .........................................................................14
Gambar 2.4 Miliaria Rubra .................................................................................15
Gambar 2.5 Miliaria Pustulosa............................................................................16
Gambar 2.6 Perbandingan klinis Miliaria ...........................................................18
Gambar 2.7 Algoritma Diagnosis .......................................................................18

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kulit merupakan organ tubuh yang terletak paling luar dari tubuh. Kulit terbagi
menjadi tiga lapisan utama yakni lapisan epidermis, dermis, dan subkutis (hipdermis).
Pada lapisan dermis terdapat kelenjar keringat dan kelenjar minyak, kelenjar keringat
memiliki kendali dalam memproduksi keringat.10 Miliaria merupakan suatu kondisi
kulit akut dan subakut yang muncul pada saat suhu udara panas disebabkan oleh oklusi
atau gengguan pada ductus dari kelenjar ekrin sehingga menyebabkan keringat mengisi
lapisan epidermis (miliaria kristalina dan rubra) atau dermis (miliaria profunda).
1,4
,Aliran balik ini menghasilkan ruam yang terdiri dari pembentukan vesikel berisi
keringat di bawah kulit. Nama lain untuk kondisi kulit ini termasuk "ruam panas",
"biang keringat", atau "ruam keringat".2,3,4

Miliaria merupakan salah satu masalah kulit yang sering dijumpai pada bayi
dan anak yang sedang beradaptasi dengan lingkungan. Insidensi miliaria kristalina
tertinggi pada bayi usia <2 minggu dan dapat ditemukan pada 4,5-9% neonatus. Sebuah
penelitian retrospektif di Jepang kejadian miliaria kristalina paling banyak pada bayi
usia 6-7 hari. Miliaria rubra adalah jenis miliaria yang paling banyak ditemukan
terutama di bayi usia 1-3 minggu , namun pada beberapa individu yang baru saja pindah
dari iklim lembab ke panas, atau daerah tropis sekitar 30% orang dewasa mengalami
kondisi tersebut. Miliaria profunda adalah bentuk miliaria yang paling jarang
ditemukan, biasnya ditemukan pada pasien yang mengalami miliaria rubra rekuren atau
pada orang yang pindah dari daerah yang dingin ke daerah yang panas. 1-5

1.2 Tujuan

Tujuan dari penulisan referat ini untuk mengetahui lebih banyak tentang
definisi, epidemiologi, etiologi, klasifikasi, patogenesis, penegakan diagnosis,
penatalaksanaan dari Miliaria.

1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Kelenjar Keringat


Manusia memiliki sekitar 2-4 juta kelenjar keringat. Kelenjar keringat
ditemukan di hampir seluruh permukaan tubuh, dan terutama padat di telapak
tangan, telapak kaki, dahi, dan tungkai atas. Analgen kelenjar keringat ekrin
pertama kali muncul pada janin berusia 3,5 bulan di telapak tangan dan telapak
kaki, kemudian berkembang di kulit ketiak pada bulan janin kelima, dan akhirnya
berkembang ke seluruh tubuh pada bulan janin keenam. Analog dari kelenjar
keringat ekrin, yang berkembang dari punggungan epidermis, berlapis ganda, dan
mengembangkan lumen di antara lapisan antara bulan janin keempat dan
kedelapan. Pada bulan kedelapan, sel-sel sekretori ekrin janin menyerupai orang
dewasa; pada bulan kesembilan janin terbentuk sel mioepitel. 1,4,6
Kelenjar keringat manusia secara umum terbagi menjadi dua, yakni kelenjar
ekrin dan apokrin. Pada manusia, unit keringat ekrin ditemukan di hampir semua
tempat kulit. Kelenjar keringat ekrin memiliki peran untuk mengontrol suhu
internal tubuh sebagai respons terhadap adanya stress termal. Kelenjar apokrin
dapat ditemui pada axila, saluran pendengaran eksterna, kelopak mata, mons-
pubis, serta areola, kelenjar ini memproduksi sedikit minyak dan tidak berbau,
fungsi utama dari kelenjar apokrin belum diketahui secara jelas tetapi
kemungkinan termasuk produksi feromon. 1,4,6,
Kelenjar ekrin, merupakan suatu saluran spiral intraepidermal, yang membuka
langsung ke permukaan kulit, disebut acrosyringium. Ini berasal dari sel saluran
dermal melalui mitosis dan migrasi ke atas. Acrosyringium terdiri dari sel
poligonal kecil dengan inti bulat pusat yang dikelilingi oleh sitoplasma merah
muda. Bagian duktus dermal lurus terdiri dari lapisan ganda sel epitel kuboid dan
dilapisi oleh kutikula eosinofilik di sisi luminalnya. Bagian sekretori asinar yang
melingkar dari kelenjar keringat ekrin dapat ditemukan di dalam panniculus
superfisial. 1,4,6

2
Gambar 2.1 diagram penampang kulit dan panikulus3
2.1. 1 Kelenjar Ekrin1,6
Kelenjar ekrin terbentuk dari dua segmen, yakni secretory coil dan ductus,
di mana secretory coil ini berperan dalam sekresi keringat isotonis sementara
ductus akan mereabsorbsi Na+ dan Cl- sebagai proses produksi keringat.
Kumparan sekretori (secretory coil) mengandung tiga jenis sel yang berbeda:
(1) bening (sekretori) : berbatasan langsung dengan membrane basal atau
sel mioepitel, sehingga dapat akses langsung dengan lumen dan
membentuk kanalikuli intraselular.Sel bening mengandung banyak
mitokondria dan badan autofluoresen, yang disebut butiran lipofuscin, di
dalam sitoplasma. Membran plasma sel bening membentuk banyak vili.
Sel bening mengeluarkan air dan elektrolit.
(2) gelap (mukoid) : berbatasan dengan permukaan apical (luminal)
(3) mioepitel: merupakan sel kontraktil dengan bentuk gelendong, terletak
pada memban basal dan berbatasan langsung dengan sel bening /
sekretori. Sel mioepitel mengandung filamen aktin dan bersifat kontraktil,
menghasilkan keringat pulsatif

3
Saluran keringat ekrin terdiri dari cincin luar sel perifer atau basal dan cincin
dalam sel luminal atau kutikuler. Saluran proksimal (melingkar) secara fungsional
lebih aktif daripada bagian lurus distal dalam memompa Na + untuk reabsorpsi Na +
duktal, karena aktivitas Na +, K + -adenosine triphosphatase (ATPase) dan jumlah
mitokondria lebih tinggi di bagian proksimal. Sebaliknya, sel duktus luminal memiliki
lebih sedikit mitokondria, lebih sedikit aktivitas Na +, K + -ATPase, dan lapisan padat
tonofilamen di dekat membran luminal, yang sering disebut sebagai batas kutikula.
Perbatasan kutikula memberikan ketahanan struktural ke lumen duktus, yang dapat
melebar setiap kali aliran duktal keringat terhalang. Seluruh struktur struktur saluran
dirancang dengan baik untuk fungsi absorpsi Na + yang paling efisien. Membran
luminal berfungsi sebagai permukaan absorpsi dengan menampung baik saluran Na +
dan Cl −, dan sel duktus basal berfungsi dalam pemompaan Na + dengan menyediakan
tempat pompa Na + yang diperluas secara maksimal dan metabolisme energi yang
efisien. Lumen dan duktus mengandung β-defensin, antimikroba, sisteinich, peptida
dengan berat molekul rendah.

Gambar 2.2 Gambaran ultrastruktur saluran ekrin dan koil sekretori6

4
Akumulasi panas menghasilkan kelenjar dan saluran keringat yang lebih besar,
dan dimensinya, pada gilirannya, berkorelasi dengan peningkatan keluaran
keringat. Keringat memiliki komposisi yang mirip dengan plasma, mengandung
elektrolit yang sama, tetapi dalam konsentrasi yang lebih encer. Pengondisian fisik
dalam lingkungan yang panas menghasilkan produksi keringat hipotonik dalam
jumlah yang lebih besar sebagai respons terhadap rangsangan termal. Respon
adaptif ini memungkinkan pendinginan yang lebih baik dengan konservasi
natrium. Akumulasi panas menghasilkan kelenjar dan saluran keringat yang lebih
besar, dan dimensinya, pada gilirannya, berkorelasi dengan peningkatan keluaran
keringat.
Sekresi fisiologis dari keringat terjadi sebagai hasil dari banyak faktor dan
dimediasi oleh persarafan kolinergik. Panas adalah rangsangan utama untuk
meningkatkan keringat, tetapi rangsangan fisiologis lainnya, termasuk stres
emosional, juga penting. Selama perkembangan awal, terjadi peralihan antara
persarafan adrenergik dan kolinergik dari kelenjar keringat. Beberapa respon
terhadap rangsangan kolinergik dan adrenergik tetap ada. Keringat kolinergik
melibatkan respons bifasik, dengan hiperpolarisasi awal dan depolarisasi sekunder
yang dimediasi oleh aktivasi konduktansi ion kalsium dan klorida. Sekresi
adrenergik melibatkan depolarisasi monofasik dan bergantung pada regulator
konduktansi transmembran fibrosis kistik GCl. Sel dari pasien dengan fibrosis
kistik tidak menunjukkan sekresi adrenergik. Polipeptida usus vasoaktif juga dapat
berperan dalam merangsang sekresi ekrin1,4,6
1.2.1 Kelenjar Apokrin1,4,6
Kelenjar apokrin melingkar dan terlokalisasi di lemak subkutan dekat
dermis. Kelenjar ini terdiri dari satu lapisan sel kuboid atau kolumnar. Sel-sel
sekretori ini bertumpu pada lapisan sel mioepitel. Duktus ini terdiri dari lapisan
ganda sel kuboid, dan bermuara di infundibulum folikel rambut. Seperti kelenjar
eccrine, myoepithelium memenuhi fungsi ganda dalam memberikan dukungan
struktural dan memompa keluar keringat yang telah dibentuk sebelumnya.
Reseptor β-adrenergik dan reseptor purinergik telah diidentifikasi pada kelenjar

5
apokrin. Namun, serabut saraf dan reseptor muskarinik belum diidentifikasi,
menunjukkan bahwa setiap stimulasi kolinergik bertindak secara humoral.
Sejumlah fungsi telah dikaitkan dengan kelenjar apokrin, termasuk peran
sebagai penarik seksual berbau, penanda teritorial, dan sinyal peringatan. Kelenjar
ini berperan dalam meningkatkan ketahanan terhadap gesekan dan sensibilitas
sentuhan serta meningkatkan kehilangan panas penguapan pada beberapa spesies.
Produksi feromon oleh kelenjar apokrin dari banyak spesies sudah mapan.
Kelenjar apokrin manusia tidak mulai berfungsi sampai pubertas dan
menghasilkan bau, menarik untuk berspekulasi bahwa mereka memiliki beberapa
fungsi seksual, yang mungkin sekarang sisa.
2.2 Definisi
Miliaria adalah kelainan kulit akibat adanya retensi keringat yang ditandai
dengan adanya vesikel milier, berupa erupsi papulovesikular multiple nonfolikular
1-3 mm yang disebabkan oleh keluarnya keringat ekrin ke epidermis atau dermis
akibat pecahnya duktus kelenjar ekrin yang tersumbat.1,2,3,5,10

Miliaria merupakan suatu gangguan integritas duktus keringat yang


mengakibatkan sekresi keringat ke dalam lapisan epidermis. Paparan sinar
ultraviolet, organisme alami kulit, dan episode berkeringat yang berulang
merupakan faktor resiko terjadinya miliaria. Anhidrosis fokal dapat terjadi dan
bertahan selama beberapa minggu, lebih lama dari miliaria di daerah kulit yang
terkena. Berdasarkan temuan klinis dan histopatologi, miliaria dibagi lagi menjadi
empat kelompok: (1) miliaria crystallina; (2) miliaria rubra; (3) miliaria pustulosa;
dan (4) miliaria profunda.2,11

2.3 Epidemiologi
Secara global, miliaria paling banyak dijumpai pada neonatus dan orang-
orang yang tinggal di daerah yang panas dan lembap serta banyak berkeringat.
Insidensi miliaria kristalina tertinggi pada bayi usia <2 minggu dan dapat
ditemukan pada 4,5-9% neonatus. Sebuah penelitian retrospektif di Jepang
terhadap 5387 bayi baru lahir, menemukan kejadian miliaria kristalina paling

6
banyak pada bayi usia 6-7 hari. Miliaria kristalina juga dapat dijumpai pada anak
yang lebih besar dan orang dewasa yang mengalami demam tinggi atau baru saja
pindah k e daerah yang suhu lingkungannya lebih tinggi dan lembap.1-5

Miliaria cystallina merupakan suatu kondisi yang umum terjadi pada


neonatus di Amerika Serikat, dengan puncak usia 1 minggu. Miliaria rubra adalah
jenis miliaria yang paling banyak ditemukan terutama di bayi usia 1-3 minggu ,
namun pada beberapa individu yang baru saja pindah dari iklim lembab ke panas,
atau daerah tropis sekitar 30% orang dewasa mengalami kondisi tersebut. Miliaria
profunda adalah bentuk miliaria yang paling jarang ditemukan, biasnya ditemukan
pada pasien yang mengalami miliaria rubra rekuren atau pada orang yang pindah
dari daerah yang dingin ke daerah yang panas.1,3,11,14

2.4 Etiologi & Patogenesis


Etiologi miliaria adalah gangguan aliran keringat duktus kelenjar keringat
ekrin (acrosyringium) oleh karena overhidrasi stratum korneum, imaturitas duktus,
biofilm yang dibentuk oleh bakteri kulit, debris kulit, dan plug hiperkeratosis.1-5

Telah diakui oleh banyak peneliti bahwa blok mekanik oleh keratotik-plug
dari maserasi stratum korneum akibat keringat yang berlebihan, sebagai
patofisiologi primer10. Berkeringat adalah faktor risiko paling umum untuk
miliaria. Oleh karena itu, kondisi panas atau lembab dan demam tinggi
berhubungan dengan miliaria yaitu penutupan kulit patch obat transdermal dan
pakaian ketat telah dikaitkan dengan miliaria, Pseudohypoaldosteronisme tipe I
dikarenakan Resistensi mineralokortikoid menyebabkan hilangnya natrium
melalui kelenjar ekrin dan telah dikaitkan dengan pustular miliaria rubra. Aktivitas
fisik yang berat Adanya diproduksi keringat lebih banyak. Akibat adanya
sumbatan pada duktus, keringat yang seharusnya keluar ke permukaan kulit
mengalir balik. Tekanan dari aliran balik keringat menyebabkan duktus ruptur dan
terjadi kebocoran keringat yang masuk ke epidermis atau dermis sehingga timbul
overhidrasi dan pembengkakan sel yang semakin menyumbat aliran kelenjar
keringat.1,2,6,7

7
Adapun hubungan dengan sindrom Morvan yaitu Penyakit resesif autosomal
langka yang menyebabkan hiperhidrosis, di antara kelainan lain, yang menjadi
predisposisi miliaria.2 Selain itu obat yang menyebabkan berkeringat seperti
bethanechol, clonidine, dan neostigmine telah dikaitkan dengan miliaria. Selain
itu, beberapa kasus miliaria yang diinduksi isotretinoin telah dilaporkan.2,7

Patofisiologi miliaria didasari oleh obstruksi pada duktus kelenjar keringat


ekrin. Obstruksi dapat disebabkan oleh duktus yang belum terbentuk sempurna,
debris kulit, atau lapisan biofilm yang dibentuk oleh bakteri Staphylococcus
epidermidis. Penggunaan pakaian yang ketat, bahan oklusif seperti kasa perban
atau transdermal patch juga dapat menyebabkan terkumpulnya keringat di
permukaan kulit sehingga timbul overhidrasi stratum korneum. Overhidrasi
stratum korneum dapat mengganggu sementara aliran keringat melalui duktus.1-3

Pada kondisi lanjut miliaria, dapat terbentuk plug hiperkeratosis yang


menyumbat duktus kelenjar keringat ekrin. Keringat yang tidak dapat keluar ke
permukaan kulit menimbulkan gejala anhidrosis relatif. Pengeluaran keringat
memiliki peran penting dalam termoregulasi tubuh. Berolahraga dan udara panas
dapat menimbulkan peningkatan suhu tubuh yang akan memicu tubuh
mengeluarkan keringat lebih banyak agar suhu tubuh dapat turun. Apabila proses
pengeluaran keringat terganggu, tubuh tidak dapat menurunkan suhunya dan bisa
timbul heat exhaustion hingga heat stroke.1,4,10,11,14

2.5 Klasifikasi & Klinis1-5,11


a. Miliaria crystallina (sudamina)1,8,10,11,12 :
Umum terjadi pada bayi di lingkungan yang hangat, termasuk di unit
perawatan intensif di mana obat-obatan yang digunakan (agen kolinergik dan
adrenergik) dapat merangsang keringat dan memperburuk masalah.

8
Gambar 2.3 Miliaria Crystallina3
Klinis berupa vesikula superfisial berukuran 1-2 mm, subcorneal,
noninflamasi, vesikel bergerombol dengan predileksi badan, mudah pecah jika
digosok dengan jari. Umumnya tidak terdapat keluhan, namun sembuh dengan
sisik yang halus. Pada gambaran histopatologi akan Nampak gelumbung
intra/subkorneal.12,14
b. Milaria rubra (prickly heat)2,3,10,14 :
Kondisi lebih buruk dari krstalina, jenis ini sumbatannya terjadi di lapisan
epidermis, keringatnya bermigrasi ke lapisan epidermis atau dermis sehingga
menimbulkan reaksi inflamasi. Lesi ditandai dengan macula atau papul
eritematosa (1-4 mm) dengan vesikel punktata di atasnya, dan ekstrafolikuler.
Pada kasus yang lebih luas dan kronis, lesi dapat menjadi pustule. Milaria rubra
disertai keluhan rasa panas atau perih dan gatal

9
Gambar 2.4 Miliaria Rubra4
Miliaria rubra (biang keringat) terjadi ketika keringat yang terhambat
bermigrasi ke epidermis serta dermis atas, menyebabkan papula inflamasi pruritik
di sekitar pori-pori keringat . Gangguan ini umum terjadi pada bayi, tetapi juga
terjadi pada anak-anak dan orang dewasa setelah berulang kali berkeringat di
lingkungan yang panas dan lembab. Gejala biasanya mereda dalam sehari setelah
penderita berpindah ke lingkungan yang sejuk. Namun, pada kondisi anhidrosis
yang terkait dengan miliaria membutuhkan waktu 2 minggu (waktu yang
dibutuhkan untuk memperbaiki unit saluran keringat epidermal yang terkena oleh
pergantian epidermal) untuk pulih sepenuhnya. Beberapa dari miliaria rubra yang
pecah akan menjadi pustular, mengakibatkan miliaria pustulosa. 1,2,3,7,11,14
c. Miliaria pustulosa 1,4,5,11,:
Kondisi ini biasanya di dahului miliaria rubra atau dermatitis lain yang
menyebabkan cedera, kerusakan (vesikel menjadi pustule), atau penyumbatan
saluran keringat. Kondisi ini disebabkan adanya reaksi inflamasi dan infeksi
bakteri. Pustula berbeda, dangkal, dan tidak tergantung pada folikel rambut.

10
Pustula gatal paling sering terjadi pada area intertriginous, permukaan fleksur
ekstremitas, skrotum, dan punggung pasien yang terbaring di tempat tidur.

Gambar 2.5 Miliaria Pustulosa5


Dermatitis kontak, lichen simpleks kronik, dan intertrigo adalah beberapa
penyakit terkait, meskipun miliaria pustular dapat terjadi beberapa minggu setelah
penyakit ini mereda. Episode berulang mungkin merupakan tanda
pseudohypoaldosteronisme tipe I, karena krisis kehilangan garam dapat memicu
miliaria pustulosa atau rubra, dengan resolusi setelah stabilisasi. 1,4,5,11
Lesi superfisial berupa vesikel subkorneal yang jernih, mudah pecah dan
asimtomatik karena letak kebocorannya di stratum korneum. Dapat berkoalesensi
dan tidak terjadi proses inflamasi. Biasanya terjadi pada neonates (usia 4 minggu)
walaupun pernah dilaporkan 3 kasus dengan kongenital milaria kristalina. Cairan
vesikel yang menjadi turbid disebut milaria pustulosa. 1,2,3,5,11
d. Profunda 10,11,13,14:
Sumbatan terletak dalam sehingga kebocoran keringat terjadi di papia
dermis. Akibatnya, timbul lesi papul yang “flesh-colored” mirip goose-flesh (kulit
belibis). Lesi terdapat di daerah badan, leher dan daerah lipatan. Biasanya, terjadi
pada bayi usia 1 tahun, walaupun juga dapat terjadi pada orang dewasa setelah
mengalami keringat berlebihan di lingkungan yang panas dan lembap.

11
Papula nonpruritik, berwarna daging, duduk dalam, keputihan menjadi ciri
miliaria profunda. Erupsi dapat menghilang atau berkurang setelah penderita
berada kembali di lingkungan yang sejuk. Erupsi milaria profunda lebih transien
daripada milaria rubra. Biasanya, bertahan kurang dari 1 jam setelah keadaan
panas yang berlebihan berakhir. Milaria profunda cenderung terbatas di anggota
badan, ekstremitas, dan berhubungan dengan local hipohidrosis atau anhidrosis.

Miliaria profunda terjadi ketika keringat merembes ke dalam dermis yang


lebih dalam. Selama paparan panas yang hebat atau setelah injeksi lokal agen
kolinergik, kulit yang terkena dapat ditutupi secara seragam dengan banyak papula
berwarna daging yang menyerupai daging angsa. Blokade duktus di berbagai
tingkatan adalah penyebab langsung miliaria. Namun, para peneliti tidak setuju
mengapa keringat keluar dari saluran pada tingkat yang berbeda (menyebabkan
subkelompok miliaria yang berbeda) atau pada apa yang menyebabkan
penyumbatan duktus dan / atau kebocoran saluran pada tingkat yang berbeda.2-
5,10,11

2.6 Diagnosis
Miliaria adalah suatu diagnosis klinis, diagnosis milaria ditegakan
berdasarkan cukup dengan manifestasi atau gambaran klinis2,10. Tes laboratorium
seringkali tidak meyakinkan dan tidak membantu. Dermoskopi dapat dilakukn,
pemeriksaan ini dapat memperlihatkan gumpalan putih besar dengan lingkaran
lingkaran gelap di sekelilingnya (titik sasaran putih)2,3,4,10. Apabila dilakukan
pemeriksaan Tzanck, hasil negatif untuk sel raksasa berinti banyak, hal ini
menyingkirkan HSV dan uji KOH negatif menghilangkan etiologi ragi atau jamur.
Jika ragu, biopsi pukulan kulit akan berguna untuk membantu diagnosis. Silakan
merujuk di atas ke bagian histopatologi mengenai temuan. Tomografi koherensi
optik definisi tinggi telah membantu menemukan obstruksi duktus ekrin4,7,10,14,.

12
Gambar 2.6 Perbandingan Klinis Miliaria4

Diagnosis banding milaria kristalina adalah impetigo vesikobulosa.


Diagnosis banding milaria rubra adalah eritema toksikum neonatorum. Diagnosis
banding milaria profunda adalah popular musinosis9,10

Gambar 2.7 Algortima Diagnosis (Perdoski, 2017)

2.7 Komplikasi
Komplikasi dari miliaria bergantung terhadap ada atau tidaknya infeksi
sekunder dan heat intolerance atau regulasi dari panas. Infeksi sekunder sebagai
impetigo atau abses multiple yang diskret 1. Umumnya heat intolerance
berkembang pada pasien dengan miliaria profunda dan dalam bentuk berat yang
dikenal sebagai tropical anhidrotic asthenia.10 Astenia anhidrotik tropis adalah

13
bentuk langka miliaria dengan oklusi poral yang berlangsung lama, yang
menghasilkan anhidrosis dan retensi panas.1,2,3,11

Miliaria crystalline umumnya asimptomatik dan dapat sembuh tanpa


komplikasi, namun tidak menutup kemungkinan untuk terjadinya rekurensi atau
kekambuhan pada suasana lingkungan yang panas dan lembab. Pada miliaria rubra
cenderung sembuh spontan namun kondisi ini dapat menyebabkan anhidrosis
berkembang hingga berminggu-minggu, yang memungkinkan terjadinya infeksi
sekunder seperti impetigo atau abses berupa perporitis stphylogenes. 1,2,11,14

Miliaria profunda merupakan suatu keadaan komplikasi atau lanjutan dari


episode berulang miliaria rubra. Pada kondisi ini dapat terjadi kompensasi
hyperhidrosis dari wajah dan ketiak, di mana ketidakmampuan berkeringat ini
sebagai akibat dari pecahnya kelenjar ekrin, yang di kenal dengan Astenia
anhidrotik tropis.3,5,11

Hipohidrosis postmiliaria terjadi akibat penyumbatan saluran keringat dan


pori-pori, dan mungkin cukup parah hingga mengganggu kemampuan individu
untuk melakukan pekerjaan berkelanjutan di lingkungan yang panas. Orang yang
terkena mungkin menunjukkan penurunan efisiensi, iritabilitas, anoreksia,
mengantuk, vertigo, dan sakit kepala; mereka mungkin mengembara dengan
linglung. Telah dibuktikan bahwa hipohidrosis selalu mengikuti miliaria, dan
durasi serta keparahan hipohidrosis terkait dengan keparahan miliaria. Berkeringat
dapat ditekan hingga setengah dari jumlah normal selama 3 minggu.3,4,5

2.8 Tatalaksana
Dengan kondisi panas dan berkeringat menjadi faktor risiko utama
miliaria, tindakan umum untuk mengurangi keringat, dan penyumbatan saluran
ekrin diperlukan dalam pengelolaan miliaria. Ini termasuk lingkungan yang lebih
dingin, mengenakan pakaian yang dapat bernapas, pengelupasan kulit,
menghilangkan benda-benda yang menghalangi kulit seperti pembalut atau
tambalan, serta mengobati penyakit demam.2,10

14
Modalitas khusus untuk pengobatan miliaria unik tergantung pada
jenisnya. Penanganan seperti obat topikal dapat digunakan sebagai upaya
mempercepat resolusi dari miliaria dengan memberikan efek lubrikasi
epidermal.4,5,6 Miliaria crystallina biasanya tidak diobati karena sembuh sendiri
dan biasanya hilang dalam waktu 24 jam, cukup dengan menghindari faktor
pencetus, mengusahakan ventilasi yang baik.8,10,12
Milaria rubra, dapat diberikan krim atau losio klorheksin dengan atau tanpa
asidum salisikum 1% 3 x sehari. Untuk kasus dengan gatal berat, diberikan topical
kortikosteroid (betametason 0,1% 2x sehari selama 3 hari), atau krim
triamcinolone 0,1% dapat dioleskan selama satu hingga dua minggu disertari
dengan cold packs, dan antihistamin. Kasus dengan infeksi dapat diberikan
antibiotic topical atau sistemik untuk stafilokokus1-4,10. Perawatan miliaria rubra
ditujukan untuk mengurangi peradangan. Jika miliaria pustulosa berkembang,
antibiotik topikal seperti klindamisin diindikasikan untuk mengobati infeksi
bakteri yang tumpang tindih. 1-4,10
Sangat sedikit informasi yang tersedia mengenai pengobatan miliaria
profunda kecuali tindakan umum yang tercantum di atas. Namun, hasil dalam satu
penelitian menunjukkan peningkatan pada 1 pasien dengan miliaria profunda
dengan kombinasi penggunaan isotretinoin oral 40 mg per hari selama 2 bulan dan
lanolin anhidrat topical. Pada tipe ini, dapat diberikan losio calamin dengan atau
tanpa mentol 0,25% , dapat pula menggunakan resorsin 8% dalam alcohol. 1-4,10
Tujuan pengobatan pada milaria adalah menghilangkan gejala dan
mencegah terjadinya hiperpireksia dan gejala heat exhaustion. Dengan demikian,
harus menghindari hal-hal yang menyebabkan tersumbatnya muara kelenjar
keringat ekrin. Misalnya, mengontrol panas dan kelembapan serta pembatasan
aktivitas terutama pada keadaan panas sehingga tidak merangsang keluarnya
keringat, regular showering, memakai pakaian longgar atau pakaian tipis yang
menyerap keringat, berada di lingkungan dingin agar tidak timbul keringat yang
berlebihan, dan hindari pemakaian obat topical dengan heavy cream atau powder.
Dapat diberi losio yang mengandung kalamin, asam borat, atau mentol. Pada

15
neonates, dianjurkan memakai superabsorbent disposable diaper yang
mengandung gel absorben. 1-4,10,11,14
Pengobatan paling efektif untuk miliaria adalah dengan menempatkan
pasien di lingkungan yang sejuk. Bahkan satu malam di kamar ber-AC membantu
meringankan rasa tidak nyaman. Kipas udara yang bersirkulasi juga dapat
digunakan untuk mendinginkan kulit. Lanolin anhidrat dapat diberikan guna
mengatasi penyumbatan pori-pori dan dapat membantu memulihkan sekresi
keringat yang normal. Salep hidrofilik juga membantu melarutkan sumbatan
keratin dan memperlancar aliran keringat secara normal. Mandi air dingin yang
menenangkan yang mengandung oatmeal koloid atau tepung maizena bermanfaat
jika digunakan dalam jumlah sedang. Pasien dengan kasus ringan mungkin
merespons bubuk debu, seperti tepung jagung atau bedak bayi. 1-4,10,11,14

16
BAB 3
KESIMPULAN

Miliaria merupakan penyakit erupsi kulit yang terjadi akibat oklusi ductus
kelenjar ekrin. Staphylococcus epidermis merupakan organisme yang berperan dalam
patogenesis penyakit ini, karena substasi polisakarida ekstrseluler yang diproduksi oleh
bakteri tersebut menyebabkan sumbatan pada ductus kelenjar ekrin sehingga terjadi
retensi keringat yang berakibat peningkatan tekanan dalam kelenjar, akibatnya terjadi
rupture kelenjar dan kebocoran cairan keringat ke jaringan sekitar. Faktor pencetus
utama adalah cuaca panas dan kelembabab yang meningkat.
Diagnosis miliaria dapat ditegakkan melalui anamnesis dan hasil pemeriksaan
fisik. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah apabila gejala yang muncul
tidak khas dilakukan pemeriksaan Tzanck, hasil negatif untuk sel raksasa berinti
banyak, hal ini menyingkirkan HSV dan uji KOH negatif menghilangkan etiologi ragi
atau jamur. Biopsi pukulan kulit akan berguna untuk membantu diagnosis. Silakan
merujuk di atas ke bagian histopatologi mengenai temuan. Tomografi koherensi optik
definisi tinggi telah membantu menemukan obstruksi duktus ekrin.
Terapi yang diberikan pada miliaria dapat berupa farmakologi dan non-
farmakologi. Lini pertama untuk tatalaksana miliaria adalah modifikasi lingkungan
menjadi lebih sejuk dan menurunkan suh tubuh melalui penggunaan baju yang tipis
dan longgar, kompres dingin dan showering regularly. Terapi farmakologis yang
diberikan hanya untuk simptomatis saja, diantaranya salicyl talk 3%, antihistamin,
topikal steroid (apabila gatal sangat parah) dan antibiotik (apabila muncul infeksi
sekunder).

17
DAFTAR PUSTAKA
1. Coulson, I. H., & Wilson, N. J. (2016). Disorders of the Sweat Glands. In C. E.
Griffiths, J.Barker, T. Bleiker, R. Chalmers, & D. Creamer, Rook’s Textbook of
Dermatology Ninth Edition.United Kigdom : Willey Blackwel. pp.94.1-13
2. Guerra KC, Toncar A, Krishnamurthy K. Miliaria. [Updated 2020 Aug 13]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-
. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK537176/
3. James, W. D., Elston., et al. 2016. Dermatoses Resulting From Physical
Factors. In Andrew's Disease of The Skin Clinical Dermatology (pp. 1-5; 29-
30). Elsevier. ISBN : 978-0-323-31967-6
4. Jami L. Miller.2018. Diseases of the Eccrine and Apocrine Sweat Glands,
Dermatology , 4th ed.Elsevier . pp.643-644 ISBN: 978-0-7020-6275-9
5. Kay Shou-Mei Kane, et al.2015. Basic of Skin and Neonatal Dematoses.Color
Atlas and Synopsis of Pediatric Dermatology Thrid Edition. McGraw Hill Edu.
Jaypee. ISBN: 978-93-5152-632-2.

6. Mauor, T.M.20120.Biology of Eccrine and Aporcrine Glands. In Fitzpatrick’s


Dermatology Ninth Edition .Elsevier. pp. 929-936

7. Moozhiyil S, Thomas J. A study on various shades and grades of miliaria


rubra. International Journal of Scientific Research. 2019;8(9):42-43. DOI :
10.36106/ijsr
8. Peng C, et al. 2019. Miliaria crystallina secondary to herbal remedies-induced
toxicepidermal necrolysis: A case report. Dermatologic Therapy Wiley,
Dermatologic Therapy. 2019;e12995. 2019 Wiley Periodicals, Inc. 1 of 3 doi :
10.1111/dth.12995
9. Perdoski. 2017. Miliaria. ISBN : 978-602-98468-9-8 pp.26-28
10. Pusponegoro, E. H. (2015). Miliaria. In S. L. Menaldi, Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelmain Edisi ke Tujuh (pp. 325-327). Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Univesitas Indonesia.

18
11. Robert D. Fealey & Adelaide A. Hebert. 2012. Disorders of the Eccrine Sweat
Glands and Sweating, Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, 8th ed
vol one. The McGraw-Hill Companies. pp: 946. ISBN: 978-0-07-171755-7
12. Sahin A, et al. 2020. Sprinkled water drops on the skin in newborns: congenital
miliaria crystalline. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed
2020;0:F1.doi:10.1136/fetalneonatal-2020-319008
13. Tey HL, Tay EY, Cao T. In vivo imaging of miliaria profunda using high-
definition optical coherence tomography: diagnosis, pathogenesis, and
treatment. JAMA Dermatol. 2015 Mar;151(3):346-8. Doi :
10.1001/jamadermatol.2014.3612
14. Victoria Garcia-Albea. 2015. Pediatrics, Dermatology for Advanced Practice
Clinicians, 1st ed, wolters Kluwer Pp.73. ISBN : 978-1-4511-9197-4

19

Anda mungkin juga menyukai