Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PRAKTIKUM

KIMIA KLINIK III

PERCOBAAN I

PEMERIKSAAN SPERMA

NAMA :CHIKA PRATIWI

NIM :A201401004

KELOMPOK :I (SATU)

DOSEN :TITI PURNAMA, S.SI., M.SI

PROGRAM STUDI D-IV ANALIS KESEHATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

MANDALA WALUYA

KENDARI

2017
BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Pemeriksaan analisa sperma pada semen pria merupakan suatu analisa lengkap yang
penting untuk pasangan yang berkonsultasi masalah infertilitas. Infertilitas yang
diperkirakan 10% hingga 15% dari seluruh jumlah pasangan yang ada, bila ditelusuri
setengah dari kasus-kasusnya, penyebabnya dari pihak pria. Adanya semen memungkinkan
pemeriksaan langsung dari sel benih pria, memberikan informasi berharga yang tidak dapat
diperoleh pada wanita. Sperma analisa meliputi pemeriksaan spermatozoa, elemen selular
non sperma dan cairan seminal. Ketiganya memberi petunjuk tentang fungsi testikular dan
kondisi saluran reproduksi pria. Penghitungan jumlah leukosit pada sperma analisa
merupakan salah satu pemeriksaan kualitas sperma yang klasik. Keberadaan lekosit pada
semen ditenggarai bisa memberikan informasi yang cukup bermakna dalam pemeriksaan
sperma analisa.
Kontroversi mengenai lekosit dan kualitas sperma mengkerucut menjadi suatu
permasalahan yang utama, yaitu definisi dari lekositospermia yang patologis dan hubungan
antara jumlah lekosit dengan stress oksidatif seminal masih belum jelas. Definisi dari World
Health Organization (WHO) adalah lebih dari 1 x 106 leukosit /mL semen. Namun, jumlah
minimum leukosit yang dapat menyebabkan infertilitas bisa lebih tinggi atau lebih rendah.
World Health Organization (WHO) telah mempublikasikan petunjuk laboratorium
analisis sperma sejak 1980. Kemudian dilakukan perbaikan edisi pada 1987 dan 1992. Edisi
terbaru adalah edisi keempat tahun 1999. Pada edisi terakhir ini diperkenalkan prosedur
laboratorium analis sperma standar untuk menetapkan diagnosis pria infertil, pengembangan
pelayanan inseminasi buatan, pengembangan penelitian dan kemungkinan kontrasepsi pria,
kemungkinan efek samping dari toksin maupun polutan lain, serta kedokteran forensik.

1.2.Tujuan Praktikum
Untuk mengetahui cara pemeriksaan cairan semen secara makroskopik dan
mikroskopik
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Spermatozoa
Spermatozoid atau sel sperma atau spermatozoa yang berarti benih dan makhluk
hidup adalah sel dari sistem reproduksi laki-laki. Sel sperma akan membuahi ovum untuk
membentuk zigot. Zigot adalah sebuah sel dengan kromosom lengkap yang akan
berkembang menjadi embrio (Kimball, 1996).
Sel-sel sperma sebenarnya hanya merupakan inti yang berflagelum. Sperma
dihasilkan dalam testis oleh sel-sel khusus yang disebut spermatogonia. Spermatogonia
yang bersifat diploid ini dapat membelah diri secara mitosis membentuk spermatogonia atau
dapat berubah menjadi spermatosit. Meiosis dari setiap spermatosit menghasilkan empat sel
haploid ialah, spermatid. Spermatid ini dalam proses tersebut, kemudian kehilangan banyak
sitoplasma dan berkembang menjadi sperma (Kimball, 1996).

2.2. Spermatogenesis
Proses pembentukannya disebut spermatogenesis. Spermatogonium yang terletak di
paling luar tubulus seminifirus dan yang melekat pada membrane basalis, mengalami
mitosis berulang-ulang. Ini tumbuh menjadi spermatosit. Spermatosit mengalami meiosis
menjadi spermatid. Spermatid mengalami spermiogenesis menjadi sperma yang dipelihara
oleh sel Sertoli. Satu sel Sertoli memelihara berpuluh spermatid, terletak di daerah
puncaknya (Kimball, 1996).
Spermatogenesis atau produksi sel-sel sperma dewasa adalah proses yang terus-
menerus dan prolific pada jantan dewasa. Setiap ejakulasi laki-laki mengandung 100 sampai
650 juta sel sperma dan seorang laki-laki dapat mengalami ejakulasi setiap hari dengan
kemampuan untuk membuahi yang hanya berkurang sedikit (Campbell, 2004).
Spermatogenesis merupakan peralihan dari bakal sel kelamin yang aktif membelah
ke sperma yang masak serta menyangkut berbagai macam perubahan struktur yang
berlangsung secara berurutan. Spermatogenesis berlangsung pada tubulus seminiferus dan
diatur oleh hormone gonadtotropin dan testosterone.
Menurut (Campbell, 2004), tahap pembentukan spermatozoa dibagi atas tiga tahap
yaitu :
1. Spermatocytogenesis
Merupakan spermatogonia yang mengalami mitosis berkali-kali yang akan menjadi
spermatosit primer (Campbell, 2004).
a. Spermatogonia
Spermatogonia merupakan struktur primitif dan dapat melakukan reproduksi
(membelah) dengan cara mitosis. Spermatogonia ini mendapatkan nutrisi dari sel-sel
sertoli dan berkembang menjadi spermatosit primer (Campbell, 2004).
b. Spermatosit Primer
Spermatosit primer mengandung kromosom diploid (2n) pada inti selnya dan
mengalami meiosis. Satu spermatosit akan menghasilkan dua sel anak, yaitu
spermatosit sekunder (Campbell, 2004).
2. Tahapan Meiois
Spermatosit I (primer) menjauh dari lamina basalis, sitoplasma makin banyak dan
segera mengalami meiosis I yang kemudian diikuti dengan meiosis II (Campbell, 2004).
Sitokenesis pada meiosis I dan II ternyata tidak membagi sel benih yang lengkap
terpisah, tapi masih berhubungan sesame lewat suatu jembatan (Interceluler bridge).
Dibandingkan dengan spermatosit I, spermatosit II memiliki inti yang gelap (Campbell,
2004).
3. Tahapan Spermiogenesis
Merupakan transformasi spermatid menjadi spermatozoa yang meliputi 4 fase yaitu
fase golgi, fase tutup, fase akrosom dan fase pematangan. Hasil akhir berupa empat
spermatozoa masak. Dua spermatozoa akan membawa kromosom penentu jenis kelamin
wanita X. Apabila salah satu dari spermatozoa ini bersatu dengan ovum, maka pola sel
somatik manusia yang 23 pasang kromosom itu akan dipertahankan (Campbell, 2004).

2.3. Morfologi Sperma


Satu spermatozoa terdiri dari kepala, leher, badan dan ekor. Sebagian besar kepala
sperma berisi inti. Dua bagian inti di selimuti tutup akrosom. Jika terjadi pembuahan maka
tutup akrosom pecah dari akrosomnya keluar enzim-enzim yang terpenting ialah
hialurodinase dan protease mirip tripsin (Yatim, 1994).
a. Kepala
Kepala mengandung lapisan tipis sitoplasma dan sebuah inti berbentuk lonjong yang
hampir mengisi seluruh bagian kepala itu. Inti di selaputi oleh selabung perisai, di
depan atau di belakang. Di depan di sebut tudung depan atau akrosom. Di belakang
di sebut tudung belakang. Ke tudung belakang melekat sentriol depan dan filament
poros (Yatim, 1994).
b. Leher
Leher adalah tempat persambungan ekor dengan kepala. Persambungan itu
berbentuk semacam sendi peluru pada rangka. Dalam leher pula lah terdapat
sentriol. Badan mengandung filament poros. Mitokondria dan sentriol belakang
berbentuk cincin. Jadi sentriol yang terdapat 2 buah pada setiap sel umumnya, pada
sperma letaknya terpisah dan berbeda bentuk (Yatim, 1994).
c. Ekor
Ekor dibedakan atas tiga bagian yaitu bagian tengah, bagian utama, bagian yang
pada orangujung. Ekor memiliki teras yang disebut aksonema, yang terdiri dari
Sembilan doublet mikrotubul dan dua singlet mikrotubulsentral. Ini sama dengan
sitoskeleton yang dimiliki flagella.Susunan sonema sama dari pangkal ke ujung
ekor. Perbedaanya dengan flagella lain pada umumnya ialah bahwa pada
spermatozoa di sebuah luar teras itu ada Sembilan berkas serat padat (Yatim, 1994).

Pada bagian tengah ekor di sebuah luar serat padat ada cincin mitokondria yang
bersusun rapat dengan arah spiral. Pada bagian utama di sebuah luar serat padat tak ada
cincin mitokondria, tetapi di gantikan oleh seludung serat. Seludung ini tipis dan berbentuk
tulang rusuk, sedang di bagian tengah atas bawah menebal menonjol. Serat padat di tentang
ini bergabung dengan penebalan tengah itu (Yatim, 1994).
Sistem reproduksi adalah suatu sistem organ di dalam tubuh organisme yang dapat
bekerja bersama untuk satu tujuan, yaitu reproduksi. Berbagai macam substansi seperti
cairan, hormon, dan feromon juga merupakan suatu pelengkap yang penting untuk sistem
reproduksi. Pada manusia dan mayoritas organisme eukariotik lainnya yang sudah
mengalami diferensiasi, alat kelamin dan sel kelamin seringkai mempunyai perbedaan yang
signifikan. Perbedaan inilah yang menjadikan adanya kombinasi materi genetik dari dua
individu dan menyebabkan adanya kemungkinan diversitas genetik. Organ yang ada pada
makhluk hidup tingkat tinggi meliputi genitalia eksterna (penis dan vulva) dan genitalia
interna (testis dan ovarium). Jika terjadi suatu kelainan dalam sistem reproduksi, maka akan
sangat berpengaruh pula pada kemampuan gamet untuk melakukan fungsinya. Kualitas
sistem reproduksi dapat dilakukan pada level gamet, misalnya dilakukan analisis terhadap
sperma atau ovum. Analisis sperma adalah pemeriksaan untuk menilai ciri dan mutu
spermatozoa dalam air mani, agar dapat dinilai apakah terdapat ketidaknormalan yang dapat
mengganggu kesuburan dan menghambat terjadinya pembuahan (The Fertility Institute,
2009).
Analisis sperma meliputi volume, konsentrasi, motilitas, dan morfologi. Volume
sperma yang normal pada sekali ejakulasi saja minimal adalah 2 ml. Jika kurang dari jumlah
tersebut, maka disebut aspermia yang berarti tidak ada semen. Konsentrasi sperma pada
ejakulat yang normal paling sedikit adalah 20 juta/ml. Bila kurang, disebut
oligozoospermia. Atau jika sperma tidak ditemukan sama sekali pada cairan ejakulat,
disebut azoospermia. Motilitas sel sperma yang normal, baik yang lemah dan yang cepat
adalah lebih dari 50%, atau >25% sel sperma yang bergerak cepat, jika kurang, disebut
asthenozoospermia. Pada morfologi yang normal tidak didapatkan kelainan bentuk. Namun
jika bentuk normal dijumpai kurang dari 15%, maka termasuk teratozoospermia. Uji-uji lain
selain analisis sperma adalah Uji MAR yaitu untuk menguji adanya penyakit autoimun
dimana didapatkan antibodi antisperma. Uji lain adalah uji viabilitas sperma, penghitungan
leukosit, kultur bakteri, uji Chlamidya PCR, dan interaksi sperma dengan lendir serviks.
Sperma yang kurang baik tidak akan mampu membuahi sel telur yang letaknya cukup jauh
dari vagina. Ejakulasi yang kuat saja tidak cukup, sebab kemampuan membuahi tergantung
pada kualitas dan kuantitas sperma. Menurut (The Fertility Institute, 2009), Berdasarkan
hasil analisa sperma dapat diketahui kelainan kelainan pada sperma seperti :
Oligospermia : jumlah sperma lebih kecil dari normal, normalnya jumlah sperma
adalah lebih dari 40 juta/ ejakulasi.
Asthenozoospermia : motilitas sperma kurang dari normal, motilitas sperma yang
normal menurut World Health Orgaization (WHO) adalah lebih dari 50%
Teratozoozpermia : sperma normal kurang dari 14%

Pergerakan sperma atau sperm motility mempelajari jumlah sperma yang bergerak
dan terlihat dalam spesimen ejakulat. Motilitas sperma adalah salah satu fungsi sperma yang
tergantung pada suhu, sehingga setiap perlakuan yang dilakukan dalam analisis kualitas
sperma sangat penting untuk diperhatikan. Sehingga sangat disarankan untuk melakukan
analisis sesegera mungkin setelah sperma dikeluarkan atau proses pengeluaran dilakukan di
dalam laboratorium dimana dapat diatur kondisinya. Sperma diketahui tidak akan dapat
hidup dalam jangka waktu yang lama dalam semen, dan di luar semen, sperma akan secara
cepat meninggalkan semen untuk memasuki mukus serviks. Motilitas normal sperma yaitu
sebesar 60% atau lebih. Namun ada pula yang menganggap bahwa nilai motilitas sperma
sebesar 40% masih dianggap normal (Campbell, 2004).
Beberapa kelainan yang berkaitan dengan motilitas sperma antara lain
asthenozoospermia dan necrozoospermia. Asthenozoospermia adalah penurunan motilitas
sperma. Jika ditemukan, maka dapat diakibatkan oleh adanya kondisi laboratorium yang
tidak mendukung, adanya abnormalitas spermatogenesis, masalah dalam maturasi sperma
dalam epididimis, abnormalitas transport, dan adanya varicocele., sedangkan
necrozoospermia adalah tidak adanya gerakan sperma sama sekali. Namun, pada dasarnya
sperma yang mengalami necrozoospermia termasuk sperma yang normal dalam hal materi
genetiknya (The Fertility Institute, 2009).
Analisa semen dapat dilakukan untuk mengevaluasi gangguan fertilitas (kesuburan)
yang disertai dengan atau tanpa disfungsi hormon androgen. Dalam hal ini hanya beberapa
parameter ejakulat yang diperiksa (dievaluasi) berdasarkan buku petunjuk WHO Manual
for the examination of the Human Semen and Sperm-Mucus Interaction. Semen
merupakan cairan putih atau abu-abu yang dikeluarkan dari uretra pada saat ejakulasi.
Sperma terdapat atau bagian dari semen disamping cairan-cairan lainya. Kuantitas dan
kualitas penting sekali dalam fungsi reproduksi. Pada semen yang baik, sperma akan dapat
survive, berenang dan akhirnya mencapai sel ovum di saluran reproduksi wanita. Sperma
dan ovum akan bersatu dalam suatu proses yang disebut fertilisasi (pembuahan) membentuk
zygot. Zygot inilah calon individu baru yang mewarisi setengah sifat ayah dan setengah
sifat ibu (Campbell, 2004)
BAB III

METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1. Waktu dan Tempat


Praktikum Kimia Klinik III Pemeriksaan Sperma dilakukan pada hari Rabu,
tanggal 12 Juli 2017 pukul 09.00 WITA sampai selesai bertempat di Laboratorium Klinik
Terpadu Stikes Mandala Waluya Kendari.

3.2. prosedur kerja


A. Pemeriksaan Pandy
1. Pra analitik
-Alat
1. Wadah/pot dengan penutup
2. Kertas label
3. Gelas ukur 5 atau 10 ml
4. Kertas indikator
5. Mikroskop binokuler
6. Kamar hitung improved neubauer
7. Pipet
8. Cover glass
-Bahan
1. Aquadest
2. Minyak imersi
2. Analitik
a. Pemeriksaan Makroskopik
-warna ejakulat : diperhatikan dan ditulis warna sperma
-bau : dicium bau sperma dan ditulis
-viskositas : setelah sperma mengalami pengenceran (liquefaction) antara 5-30
menit, diukur viskositassnya
Volume : diukur volume seluruh sperma menggunakan gelas ukur
-pH : dikur pH sperma menggunakan kertas pH indikator
b. pemeriksaan Mikroskopik
1. uji motilitas
-diteteskan 1 tetes air mani pada kaca objek dan ditutup dengan cover glass
-diperiksa dibawah mikroskop pembesaran 40x
-dilihat sperma yang aktif dan nonaktif
2. morfologi
-dibuat apusan air mani
-difikasi menggunakan methanol 5 menit
-diwarnai dengan giemsa
-diperiksa di bawah mikroskop pembesar 100x
-dihitung sperma yang abnormal
3. Pasca Analitik
Interpretasi hasil
Makroskopik
- volume : 2,5 ml
- pH : 7,2 7,8
- warna : putih kekuningan
- kekentalan : kental
- bau : khas (chlor)
- pencairan : 10-20 menit
Mikroskopik
- uji motilitas
pergerakan aktif > 50%
pergerakan lemah < 30%
tak bergerak < 20%
- morfologi sperma
a. normal
kepala dan ekor > 60%
b. abnormal
kepala dan ekor < 40%
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Pengamatan

4.2. Pembahasan
Sebelum diambil, pasien diberi penjelasan tertulis tentang tatacara pengumpulan dan
membawa semen ke tempat pemeriksaan. Semen diambil setelah abstinensi sedikitnya 48
jam dan tidak lebih lama dari tujuh hari. Nama, masa abstinensi, dan waktu pengambilan
dicatat pada formulir yang dilampirkan pada setiap semen yang akan dianalisis. Semen
diantar ke laboratorium dalam waktu satu jam sesudah dikeluarkan. Semen sebaiknya
diperoleh dengan cara masturbasi dan ditampung dalam botol kaca bermulut lebar. Semen
dilindungi dari suhu yang ekstrim selama pengangkutan ke laboratorium (suhu antara 20
400C).
Pemeriksaan makroskopik di dapatkan hasil semen normal tampak berwarna putih
jernih dan berbau seperti bunga akasia pada pagi hari. Semen yang berbau busuk diduga
disebabkan oleh suatu infeksi. Dalam keadaan normal, semen mencair (liquefaction) dalam
60 menit pada suhu kamar. Dalam beberapa kasus pencairan tidak terjadi secara sempurna
dalam 60 menit. Hal ini menunjukkan adanya gangguan pada fungsi kelenjar prostat. Untuk
itu, semen segera diperiksa setelah pencairan atau dalam waktu satu jam setelah ejakulasi.
Setelah diamati penampilannya, dilanjutkan dengan pengukuran volume semen.
Volume semen diukur dengan gelas ukur atau dengan cara menghisap seluruh semen ke
dalam suatu semprit atau pipet ukur. Nilai normal >/2,0 ml2,6. Jika volume semen terlalu
sedikit maka tidaklah cukup untuk menetralkan keasaman suasana rahim. Dengan demikian,
sperma yang berada di rongga rahim akan segera mati sehingga kehamilan tidak terjadi11.
Volume dianggap abnormal jika semen < 2,0 ml. volume sperma yang diperoleh yaitu 2 ml
artinya volume sperma normal karena memenuhi nilai normal.
Pemeriksaan makroskopik dilakukan dengan melihat konsistensinya.. Konsistensi
juga diukur dengan cara memasukkan tangkai kaca ke dalam semen, kemudian mengamati
benang yang terbentuk pada saat tangkai kaca tersebut dikeluarkan. Panjang benang > 2 cm
dikatakan abnormal. Semen yang terlalu encer maupun terlalu kental kurang baik bagi
sperma. Pada semen yang mempunyai konsitensi tinggi, kecepatan gerak sperma akan
terhambat. Dengan demikian, akan mengurangi kesuburan pria tersebut. Sebaliknya, semen
yang terlalu encer biasanya mengandung jumlah sperma yang rendah sehingga kesuburan
juga berkurang.
Pemeriksaan makroskopik yang lain adalah pemeriksaan pH semen tersebut. Cara
mengukur pH semen relatif mudah. Setetes semen disebarkan secara merata di atas kertas
pH. Setelah 40 detik, warna daerah yang dibasahi akan merata, kemudian dibandingkan
dengan kertas kaliberasi untuk dibaca pH-nya. pH semen normal yang diukur dalam waktu
satu jam setelah ejakulasi berada dalam kisaran 7,2 sampai 7,8. Jika pH lebih besar dari 7,8
maka dicurigai adanya infeksi. Sebaliknya, jika pH kurang dari 7 pada semen azoospermia.
Diperoleh pH 7,4.
Pada pemeriksaan mikroskopik, semen diperiksa morfologi, motilitas. Cara yang
biasa dipakai adalah bahan semen satu tetes dibubuhkan pada slide dan ditutup dengan gelas
penutup. Pemeriksaan dilakukan dengan mikroskop biasa perbesaran 40X. Diperoleh hanya
1 sperma yang hidup dikarenakan lama pemeriksaan sperma sehingga saat di periksa
sperma sudah mati atau tidak bergerak. Sedangkan pada pemeriksaan morfologi sperma
dengan meneteskan 1 tetes sperma pada kaca objek dan di buat pusan seperti apusan darah,
setelah itu di fiksasi dengan menggunakan methanol. Tujuan fiksasi yaitu agar preparat sper
tidak luntur ketika dilakukan pewarnaan. Setalah itu lakukan pewarnaan giemsa untuk
melihat morfologi dari sperma dan kemudian di amati di bawah mikroskop peembesaran
100x. Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh morfologi sperma yang normal yaitu
terdapat kepala, badan dan ekor.
BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan praktikum dapat di simpulkan bahwa

1. Hasil pemeriksaan makroskopik yaitu warna putih jernih, bau khas akasia, volume
2 ml, viskositas
2. Hasil pemeriksaan mikroskopik uji motilitas yaitu hanya terdapat 1 sperma yang
massih hidup, sedangkan pemeriksaan morfologi terdapat bentuk sperma yang
normal yaitu terdapat kepala, badan dan ekor.

5.2. Penutup
Adapun saran yang dapat saya ajukan pada praktikum ini adalah diharapkan
kepada instruktur laboratorium agar menyediakan alat dan bahan yang tidak tersedia
sebelum praktikum berlangsung agar pada saat praktikum berlangsung dapat berjalan sesuai
yang diharapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Aziz. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Campbell, A Neil. 2006.Kualitas Sperma Biologi. Djambaran. Jakarta.
Fertility Institute. 2009. Morphometric Sperm Head Dimensions of Goat Spermatozoa Are
Affected by Cryopreservation .Jakarta: Erlangga
Kimball, W. John. 1994.Kualitas SpermaBiologiJilid 2. Jakarta: Erlangga.
Yatim, Wildan. 1994. Biologi Modern Histologi. Makalah Kesehatan. Malang.

Anda mungkin juga menyukai