Anda di halaman 1dari 28

STANDAR AKUNTANSI

SEKTOR PUBLIK
1. Definisi Akuntansi Sektor Publik

Akuntansi Sektor Publik dapat didefinisikan sebagai mekanisme teknik dan


analisis akuntansi yang diterapkan pada pengelolaan dana masyarakat di lembaga-
lembaga tinggi negara dan departemen-departemen di bawahnya, pemerintah daerah,
BUMN, BUMD, LSM dan yayasan sosial, maupun pada proyek-proyek kerjasama sektor
publik dan swasta.

2. Ruang Lingkup Akuntansi Sektor Publik

Pemahaman akan pentingnya akuntansi sektor publik baru muncul akhir-akhir ini. Hal ini
dapat dimaklumi karena orientasi pendidikan akuntansi lebih ke Amerika Serikat yang
tidak mengenal akuntansi sektor publik. Perekonomian Amerika Serikat lebih
menekankan pada sektor swasta. Peranan negara dalam perekonomian amat minimal.
Pemerintah amat membatasi diri dalam kaitan program pemerintah dan ruang gerak
institusi pemerintah pusat dan daerah. Akibatnya dari sistem yang demikian, akuntansi
sektor publik dibatasi ruang geraknya di sektor pemerintahan. Jadi akuntansi di
pemerintahan Amerika Serikat lebih dikenal dengan akuntansi pemerintahan.

Akuntansi Sektor Publik merupakan bidang akuntansi yang mempunyai ruang lingkup
lembaga-lembaga tinggi negara dan departemen-departemen di bawahnya, pemerintah
daerah, yayasan, partai politik, perguruan tinggi dan organisasi-organisasi nonprofit
lainnya, sepertI

a) Organisasi sektor publik dapat dibatasi dengan organisasi-organisasi yang


menggunakan dana masyarakat, sehingga perlu melakukan pertanggungjawaban
ke masyarakat. Di Indonesia, Akuntansi Sektor Publik mencakup beberapa
bidang utama, yakni:
a. Akuntansi Pemerintah Pusat
b. Akuntansi Pemerintah Daerah
c. Akuntansi Parpol dan LSM
d. Akuntansi Yayasan
e. Akuntansi Pendidikan dan Kesehatan
f. Akuntansi Tempat Peribadatan

B. Aktivitas yang mendekatkan diri ke pasar tidak pernah ditujukan untuk memindahkan
organisasi sektor publik ke sektor swasta.
4. Perkembangan Akuntansi Sektor Publik
- Pertama, di tahun 1952, fase sektor publik untuk pertama kalinya diajarkan di dunia
akademis.
- Kedua, karakter organisasi sektor publik menunjukkan variasi sosial, ekonomi, politik, dan
karakteristik menurut undang-undang.
- Ketiga, aktivitas organisasi sektor publik amat beraneka ragam.
- Keempat, kondisi organisasi sektor publik amat mandiri, atau mampu lepas dari mekanisme
murni pasar.
- Kelima, fokus kesuksesan penyelenggaraan aktivitas publik adalah kompetensi manajemen.
- Keenam, kondisi proses pertanggungjawaban yang dilakukan oleh badan-badan sektor
publik masih bersifat umum.

Fungsi akuntansi saat ini, diharapkan menjadi turunan dari perkembangan tuntutan
masyarakat terhadap bidang akuntansi untuk memajukan sektor publik.

Penegakan etika profesi akuntan pemeriksa saat ini menjadi suatu hal yang mendesak:
- Selama ini, tuntutan dibatasi hanya oleh profesi, dalam artian sepanjang aturan profesi
dipatuhi akuntan dianggap sudah memenuhi kewajiban baik secara profesi maupun
kemasyarakatan,
- Hal ini dinilai tidak wajar, sehingga masyarakat menuntut agar akuntan bisa dituntut dijalur
hukum,
- Perubahan dari sekedar moralitas menjadi realitas hukum masyarakat,
- Akuntan sebagai suatu profesi diminta untuk terlibat secara aktif, terkait dengan
pelaksanaan transparansi ekonomi,
- Akuntansi sektor publik yang diharapkan lebih ditekankan pada sistem dan pemeriksaan
akuntansi.
- Sistem akuntansi sektor publik yang lebih diharapkan kepada evaluasi kinerja publik.
- Penekanan terhadap efisiensi keuangan dan efektivitas manajemen akan menjadi dua titik
awal fokus pengembangan bidang akuntansi manajemen sektor publik.

Perubahan Paradigma Akuntansi Sektor Publik

5. Profesi Sebagai Akuntansi Sektor Publik


Profesi akuntan dengan disiplin akuntansinya dianggap oleh Anglo Amerika sangat
mempengaruhi pertumbuhan bisnis di seluruh dunia. Beberapa negara, seperti Rusia dan
negara Eropa Timur, yang dulunya tidak terpengaruh, mulai mengalami perubahan yang
signifikan dalam bidang akuntansi.

Anglo Saxon berawal dari Inggris dan kemudian diekspor keHukum Umum negara-negara
seperti Australia, Kanada, Hong Kong, India, Malaysia, Pakistan dan Amerika.

Kontinental berawal dari negara-negara Eropa Kontinental.Hukum Kode


Kekuatan terbesar akuntansi adalah kelemahan utamanya:
- Uang merupakan alat tukar penengah dan sumber kekayaan, sehingga akuntan dibayar
untuk mengembangkan kekayaan orang lain,
- Kelompok sosialis, dimana uang tidak memainkan peranan penting , maka akuntansi tidak
akan dianggap penting,
- Akuntansi yang sangat tergantung pada waktu dan tempat, oleh karena itu perbandingan
antar organisasi menjadi lebih sulit,

Apakah akuntansi merupakan suatu ilmu atau seni?


Apabila akuntansi sebagai ilmu, maka pertanyaannya adalah tentang karakter akuntansi
dalam kasus-kasus khusus. Jika akuntansi adalah seni, berbagai gejala umum dapat ditelusuri.
Kontrakdiksi ini masih terus berlangsung.

Perkembangan Profesi Akuntan Sektor Publik di Inggris:


di Inggris dan Wales. Institute of Chartered Accountants 1880
The Corporate Treasurers and Accounting Institute.1885
Kemudian muncul Orgaisasi Chartered Institute of Publik Finance and Accounting yang
melakukan sertifikasi para pekerja di sektor publik.
Akhir abad ke 19, Akuntansi di pemerintah daerah atau kota praja dan perusahaannya disebut
akuntansi sektor publik.

Perkembangan Profesi Akuntan Sektor Publik di Indonesia:


Berdirinya Ikatan Akuntan Indonesia yang mulai memunculkan Kompartemen Akuntan
Sektor Publik. Kompartemen ini mewadahi para pekerja bidang akuntansi dan akuntan yang
bekerja di organisasi sektor publik.

Blog dengan ID 67087 Tidak ada

Proses pengembangan bidang akuntansi sektor publik sangat dipengaruhi oleh:


- kapasitas dan tujuan kebijakan ekonomi, sehingga aspek budaya, sosial politik ekonomi
menjadi dominan,
- orientasi pengelolaan organisasi sektor publik akan mengubah arah pengembangan
organisasi akuntansi,
- kunci pemecahan permasalahan akuntansi sektor publik adalah penyederhanaan yang logis
untuk menciptakan kompleksitas bidang akuntansi sektor publik.

6. Perkembangan Terakhir Akuntansi Sektor Publik Di Negara lain


Pengalaman Inggris dapat dijadikan acuan dalam mempelajari perkembangan administrasi
publik di era tahun 1980-an sampai dengan tahun 1998, yang berkembang seiring dengan
tuntutan utuk penyelenggaraan pemerintahan yang lebih akuntabel.

Pandangan bahwa efisiensi sektor pemerintahan dapat diukur, telah disuarakan sejak tahun
1968. sebagai contoh, laporan Fulton merekomendasikan untuk menetapakan unit yang
bertanggung jawab dalam organisasi pemerintahan, yaitu outputnya dapat
diukur/dibandingkan dengan biayanya atau kriteria yang lain.
Beberapa contoh proyeksi mewiraswastakan kepemerintahan ini telah dilakukan di beberapa
pemerintahan Federal, Negara Bagian maupun pemerintahan kota. Sebagai contoh, selama
ini pemerintah mempunyai monopoli dalam memproduksi senjata dengan alasan bahwa
riskan bagi pihak swasta untuk melakukan hal yang cukup vital ini. Namun dalam
kenyataannya, tidak seorang pun warga Amerika Serikat membiarkan pemerintahannya
memproduksi senjata.

7. Titik Kritis dalam Praktek Akuntansi Sektor Publik


Praktik akuntansi sektor publik (Penlebury, 1992) di Indonesia mempunyai empat titik kritis
sebagai berikut:
A. Praktik Pertanggungjawaban Akuntansi yang Layak
Prosedur penghasilan dan pembayaran dari pusat pertanggungjawaban organisasi sektor
publik dapat dilakukan dengan pemenuhan otorisasi, baik dari DPR/DPRD atau komisaris.
Kadangkala proses otorisasi ini dihasilkan dari proses demokrasi melalui pengambilan
suara/voting.

Praktik ini lebih menekankan keseimbangan antarproses perencanaan dan


pertanggungjawaban. Proses perencanaan, faktor pengendalian kas menjadi perhatian utama,
karena:
- Kas seringkali diartiluaskan sebagai dampak perubaha harga atau nilai ekonomi riel,
- Anggaran belanja merupakan hasil dari harga kali kuantitas,
- Ketika inflasi angka ganda terjadi pada awal tahun 1970-an, kesulitan pengendalian adalah
volume anggaran belanja, akibatnya perubahan antara pemasukan dan pengeluaran lebih
besar daripada yang dialokasikan pada anggaran belanja.
A. Prinsip Bruto
Seluruh penghasilan dibayar bruto, dan biaya yang terjadi dibebankan sebagai pengurang
penghasilan dan harus dilapirkan secara lengkap ke setiap pusat pertanggungjawaban yang
terkait.

B. Priodikal
Semua pengeluaran harus dipertanggungjawabkan per periode, sehingga otorisasi
pengeluaran akan dinilai berdasarkan prestasi periode terkait. Kelebihan dana di atas
pengeluaran dapat diketahui dan dikembalikan ke manajemen pusat petanggungjawaban.

C. Spesifikasi
Pengeluaran untuk tujuan khusus harus dilandasi oleh persetujuan DPR?DPRD atau
komisaris. Konsep by exception/pengecualian ini harus diatur dalam peraturan tersendiri
tanpa mengabaikan tingkat pencapaian menajemen organisasi sektor publik yang terkait.

Tugas pemerintah adalah mengendalikan, karena pengusaha kurang berminat, jika kondisi
sosial politik yang tidak stabil dan tingkat inflasi yang tinggi. Pemerintah kota sangat
bergantung pada pajak dan pungutan lainnya.

Tingginya Pengaruh Politik Terhadap Sistem Organisasi


Sterling (1973) berpendapat bahwa hampir semua masalah praktis yang dihadapi dalam
praktik akuntansi bisa dipecahkan dalm teori. Ketika sebuah masalah muncul, isu sebenarnya
adalah bahwa manajemen tidak sependapat dengan pandangan akuntansi. Dengan demikian,
masalahnya bukan teknis, tetapi merupakan politis.

Hasil studi memperhatikan bahwa manajer mempunyai alasan yang kuat untuk menginginkan
kepastian prosedur akuntansi dibanding yang lain. Hipotesis dari investigator mengatakan
bahwa karena pajak, politik, dan pertimbangan kebijakan, manajer dari perusahaan besar
memilih standar akuntansi karena laporan pendapatan harus dikurangi. Manajemen cemas
bahwa pendapatan yang besar akan mengundang pemerintah untuk melakukan intervensi
langsung.

Apa yang bisa dilakukan oleh badan-badan pemeriksa seperti BPK jika menghadapi masalah
ini dalam manajemen sektor publik?
- Inti dari masalah tersebut adalah bahwa akuntan memberikan respons tanpa adanya
kekuatan untuk menekan keputusan pihak pemerintah,
- Profesi akuntan akan memberikan respons untuk memastikan bahwa laporan keuangan
yang telah dipublikasikan sesuai dengan standar yang ditetapkan,
- Pendapat auditor yang terdiri dari adverse, qualified, dan dislamer dalam laporan hasil
pemeriksaan atas laporan keuangan, jarang digunakan,

Apa yang diharapkan oleh auditor sektor publik ketika menghadapi keadaan sulit ini?
- Tindakan yang dapat dilakukan adalah memperbaiki citra profesi akuntan atau menghindar
dari tanggung jawab,
- Angka-angka dalam laporan keuangan mempunyai dampak sosial, dimana perkiraan dan
tingkah laku dari banyak orang aka terpengaruh.

Ringkasan:
Organisasi sektor publik adalah organisasi-organisasi yang menggunakan dana masyarakat,
sehingga perlu melakukan pertanggungjawaban ke masyarakat, dan mempunyai karakter
yang menunjukkan variasi sosial, ekonomi, politik, dan karakteristik menurut undang-
undang.

Skala dan lingkup organisasi sektor publik terletak pada bidang akuntansi yang mempunyai
ruang lingkup lembaga-lembaga tinggi negara dan departemen-departemen di bawahnya,
pemerintah daerah, yayasan, partai politik, perguruan tinggi dan organisasi-organisasi
nonprofit lainnya.

Peranan sektor publik dalam ekonomi: paradigma pasca orde baru terutama pelaksanaan
privatisasi dan deregulasi.

Konsep Reinventing Government dalam reformasi pradigma organisasi sektor publik:


- Konsep operasi komersial sektor pubik yang harus dipisahkan, baik pengelolaan maupun
pertanggungjawabanya,
- Mengembangkan unit pelaporan secara spesifik, sehingga proses pengendalian birokrasi
akan menjadi lebih transparan,
- Pengukuran prestasi unit pelaporan haruslah diperjelas, sehingga reformasi akuntansi,
termasuk anggaran, akan menjadi dasar berbagai program reformasi orientasi sektor publik.

Blog dengan ID 67087 Tidak ada

Daftar Pustaka

Bastian, Indra, 2006, Akuntansi Sektor Publik: Suatu Pengantar, Erlangga, Jakarta.

Choi, Frederick dan Gary K. Meek, International Accounting, salemba Empat, Jakarta
http://datakuliah.blogspot.com/2009/06/akuntansi-sektor-publik-pengantar-asp.html

Peralihan Menuju Perum

Selama lebih dari 30 tahun Bulog telah melaksanakan penugasan dari pemerintah untuk
menangani bahan pangan pokok khususnya beras dalam rangka memperkuat ketahanan pangan
nasional. Manajemen Bulog tidak banyak berubah dari waktu ke waktu, meskipun ada perbedaan
tugas dan fungsi dalam berbagai periode. Dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsinya,
status hukum Bulog adalah sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) berdasarkan
Keppres RI No. 39 tahun 1978.

Namun, sejak krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997 timbul tekanan yang
sangat kuat agar peran pemerintah dipangkas secara drastis sehingga semua kepentingan nasional
termasuk pangan harus diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Tekanan tersebut
terutama mucul dari negara-negara maju pemberi pinjaman khususnya AS dan lembaga
keuangan internasional seperti IMF dan World Bank.

Konsekuensi logis yang harus diterima dari tekanan tersebut adalah Bulog harus berubah secara
total. Dorongan untuk melakukan perubahan datangnya tidak hanya dari luar negeri, namun juga
dari dalam negeri.

Pertama , perubahan kebijakan pangan pemerintah dan pemangkasan tugas dan fungsi Bulog
sehingga hanya diperbolehkan menangani komoditas beras, penghapusan monopoli impor seperti
yang tertuang dalam beberapa Keppres dan SK Menperindag sejak tahun 1998. Keppres RI
terakhir tentang Bulog, yakni Keppres RI No. 103 tahun 2001 menegaskan bahwa Bulog harus
beralih status menjadi BUMN selambat-lambatnya Mei 2003.

Kedua , berlakunya beberapa UU baru, khususnya UU No. 5 Tahun 1999 tentang larangan
praktek monopoli, dan UU No. 22 Tahun 2000 tentang Otonomi Daerah yang membatasi
kewenangan Pemerintah Pusat dan dihapusnya instansi vertikal.
Ketiga , masyarakat luas menghendaki agar Bulog terbebas dari unsur-unsur yang bertentangan
dengan tuntutan reformasi, bebas dari KKN dan bebas dari pengaruh partai politik tertentu,
sehingga Bulog mampu menjadi lembaga yang efisien, efektif, transparan dan mampu melayani
kepentingan publik secara memuaskan.

Keempat , perubahan ekonomi global yang mengarah pada liberalisasi pasar, khususnya dengan
adanya WTO yang mengharuskan penghapusan non-tariff barrier seperti monopoli menjadi tariff
barrier serta pembukaan pasar dalam negeri. Dalam LoI yang ditandatangani oleh pemerintah
Indonesia dan IMF pada tahun 1998, secara khusus ditekankan perlunya perubahan status hukum
Bulog agar menjadi lembaga yang lebih efisien, transparan dan akuntabel.

Sehubungan dengan adanya tuntutan untuk melakukan perubahan, Bulog telah melakukan
berbagai kajian-kajian baik oleh intern Bulog maupun pihak ekstern.

Pertama , tim intern Bulog pada tahun 1998 telah mengkaji ulang peran Bulog sekarang dan
perubahan lembaganya di masa mendatang. Hal ini dilanjutkan dengan kegiatan sarasehan pada
bulan Januari 2000 yang melibatkan Bulog dan Dolog selindo dalam rangka menetapkan arahan
untuk penyesuaian tugas dan fungsi yang kemudian disebut sebagai Paradigma Baru Bulog.

Kedua , kajian ahli dari Universitas Indonesia (UI) pada tahun 1999 yang menganalisa berbagai
bentuk badan hukum yang dapat dipilih oleh Bulog, yakni LPND seperti sekarang, atau berubah
menjadi Persero, Badan Hukum Milik Negara (BHMN), Perjan atau Perum. Hasil kajian tersebut
menyarankan agar Bulog memilih Perum sebagai bentuk badan hukum untuk menjalankan dua
fungsi bersamaan, yaitu fungsi publik dan komersial.

Ketiga , kajian auditor internasional Arthur Andersen pada tahun 1999 yang telah mengaudit
tingkat efisiensi operasional Bulog. Secara khusus, Bulog disarankan agar menyempurnakan
struktur organisasi, dan memperbaiki kebijakan internal, sistim, proses dan pengawasan sehingga
dapat memperbaiki efisiensi dan memperkecil terjadinya KKN di masa mendatang.

Keempat , kajian bersama dengan Bernas Malaysia pada tahun 2000 untuk melihat berbagai
perubahan yang dilakukan oleh Malaysia dan merancang kemungkinan penerapannya di
Indonesia.

Kelima , kajian konsultan internasional Price Waterhouse Coopers (PWC) pada tahun 2001 yang
telah menyusun perencanaan korporasi termasuk perumusan visi dan misi serta strategi Bulog,
menganalisa core business dan tahapan transformasi lembaga Bulog untuk berubah menjadi
lembaga Perum.

Keenam , dukungan politik yang cukup kuat dari anggota DPR RI, khususnya Komisi III dalam
berbagai hearing antara Bulog dengan Komisi III DPR RI selama periode 2000-2002.

Berdasarkan hasil kajian, ketentuan dan dukungan politik DPR RI, disimpulkan bahwa status
hukum yang paling sesuai bagi Bulog adalah Perum. Dengan bentuk Perum, Bulog tetap dapat
melaksanakan tugas publik yang dibebankan oleh pemerintah terutama dalam pengamanan harga
dasar pembelian gabah, pendistribusian beras untuk masyarakat miskin yang rawan pangan,
pemupukan stok nasional untuk berbagai keperluan publik menghadapi keadaan darurat dan
kepentingan publik lainnya dalam upaya mengendalikan gejolak harga.

Disamping itu, Bulog dapat memberikan kontribusi operasionalnya kepada masyarakat sebagai
salah satu pelaku ekonomi dengan melaksanakan fungsi usaha yang tidak bertentangan dengan
hukum dan kaidah transparansi. Dengan kondisi ini gerak lembaga Bulog akan lebih fleksibel
dan hasil dari aktivitas usahanya sebagian dapat digunakan untuk mendukung tugas publik,
mengingat semakin terbatasnya dana pemerintah di masa mendatang. Dengan kondisi tersebut
diharapkan perubahan status Bulog menjadi Perum dapat lebih menambah manfaat kepada
masyarakat luas.

Dan pada akhirnya era baru itu datang juga, sejak tanggal 20 Januari 2003 LPND Bulog secara
resmi berubah menjadi Perum Bulog berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 7 Tahun 2003
yang kemudian direvisi menjadi PP RI No. 61 Tahun 2003. Peluncuran Perum Bulog ini
dilakukan di Gedung Arsip Nasional Jakarta pada tanggal 10 Mei 2003.

KASUS-KASUS BULOG

Kronologis Kasus Tukar Guling (Ruislag) Bulog PT Goro Batara Sakti (GBS)

Kronologis Kasus Tukar Guling (Ruislag) Bulog PT Goro Batara Sakti (GBS)

17 Februari 1995
Satu hari setelah Beddu Amang diangkat menjadi Kepala Bulog dibuat memorandum of
understanding (MoU) antara Bulog dengan PT GBS yang diwakili Tommy Soeharto dan Ricardo
Gelael untuk mengadakan tukar-menukar lahan milik Bulog berupa sebidang tanah, gedung,
kantor, dan gudang yang terletak di Kelapa Gading, Jakarta Utara, seluas sekitar 50 hektar yang
dikenal sebagai Kompleks Pergudangan Bulog Jakarta Utara. Sebagai lahan pengganti, Tommy
menyediakan tanah seluas sekitar 125 hektar di kawasan Marunda, Jakarta Utara, yang kemudian
diketahui berupa tanah rawa-rawa.

Kedudukan Tommy Soeharto dalam perusahaan tersebut adalah sebagai Komisaris Utama
(sebagai pemegang saham 80 persen), Ricardo Gelael (Dirut, dengan saham 20 persen).

23 Nopember 1998
Tommy Soeharto dipanggil ke Kejaksaan berkaitan dengan kasus tukar guling ini. Dalam
pemeriksaan itu, status Tommy belum sebagai tersangka, tapi saksi. Selain dia, yang dipanggi
Kejaksaan adalah mantan Kabulog Beddu Amang dan rekanan Tommy di Goro, Ricardo Gelael.
Namun, kedua orang itu belum bisa hadir di Kejaksaan. Sebab, Beddu saat ini masih berada di
Arab Saudi untuk melakukan umroh. Sedangkan Ricardo masih berada di luar negeri.

Kasus ini terungkap ketika pada saat itu publik lantang menyuarakan tuntutan supaya kejaksaan
mengusut dugaan korupsi oleh keluarga H.M. Soeharto sehingga Tommy Soeharto tergelincir
kasus tukar guling ini.
19 Februari 1999
Sidang kasus ruislag PT Goro dan Bulog, terdakwa Beddu Amang, Tommy Soeharto dan
Ricardo Gelael dengan kerugian negara Rp 95,6 miliar.

19 April 1999
PN Jakarta Selatan memvonis bebas Beddu Amang. Majelis hakim yang diketuai Syamsuddin
AB dalam putusan selanya di PN Jaksel menetapkan dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU)
Soehardjono SH tidak lengkap, penguraiannya tidak jelas dan disusun secara tidak cermat
sehingga dengan sendirinya dakwaan itu dinyatakan batal demi hukum. Salah satu alasannya,
kejaksaan tidak minta izin presiden ketika memeriksa Beddu-yang pada waktu itu kedudukannya
sebagai anggota MPR-di Kejaksaan Agung. Atas putusan ini, Jaksa Penuntut Umum mengajukan
kasasi ke Pengadilan Tinggi (PT) dan dikabulkan.

14 Oktober 1999
Majelis Hakim PN Jakarta Selatan memvonis bebas Tommy Soeharto dan Richardo Gelael dari
segala dakwaan karena tidak ditemukan bukti-bukti kuat oleh pimpinan sidang di Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan. Jaksa Penuntut Umum (JPU), Fachmi SH, mengajukan kasasi atas
dibebaskannya Tommy dan Ricardo Gelael.

22 September 2000
Mahkamah Agung, Ketua Majelis: Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita, memvonis Tommy
bersalah, wajib bayar ganti rugi Rp 30,6 miliar, denda Rp 10 juta, dan hukuman kurungan 18
bulan penjara.

3 November 2000
Pukul 21.55 WIB Ricardo Gelael masuk ke LP Cipinang.

4 November 2000
Jaksa Penuntut Umum, Fachmi SH, gagal mengeksekusi Tommy. Fachmi yang sejak pukul
17.30 mendatangi rumah Tommy di Jalan Yusuf Adiwinata, Jakarta Pusat, tak berhasil menemui
terpidana dan meninggalkan rumah di belakang kediaman mantan Presiden Soeharto itu pukul
23.45 WIB.Kejaksaan memasukkan Tommy dalam Daftar Pencarian Orang (DPO), dengan
demikian, Tommy Soeharto resmi menjadi buronan yang berwajib.
Kapolri Surojo Bimantoro mengatakan bahwa bukan hanya Polda Metro Jaya, tapi seluruh Polda
se Indonesia untuk memasukkan ke dalam daftar pencarian orang,

8 Februari 2001
Mantan Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog) Beddu Amang (64), diadili di Pengadilan Negeri
(PN) Jakarta Selatan. Persidangan ini merupakan kedua kalinya bagi Beddu Amang, setelah
sidang pertama bulan April 1999.

26 Juli 2001
Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita tewas tertembak.

6 Agustus 2001
Menyusul penemuan 74 buah dinamit, dua pucuk senjata api laras panjang M-16, 5 senjata
genggam otomatis beserta 11 magasin yang berisi peluru, 10 detonator, 13 telepon genggam
yang siap dirakit dengan bom-bom itu, belasan granat manggis, 150 peluru, alat perakit bom,
bom kertas yang akan meledak jika dibuka, jaket anti peluru, sarung tangan, topeng ninja, dan
uang tunai senilai Rp 70 juta dan 126 lembar uang pecahan 100 dolar AS di rumah Jalan Alam
Segar III No 23, Pondok Indah, Jakarta Selatan, Kapolda Metro Jaya, Inspektur Jenderal Sofjan
Jacoeb, menyatakan Tommy Soeharto sebagai tersangka pembunuh Hakim Agung Syafiuddin
Kartasasmita dan kasus peledakan bom di Jakarta.
Atas perintah Tommy, tiga tersangka yakni Ferri Ucom (41), Dedi Yusuf (34) dan Dody Arjito
(44), sebelumnya melakukan survei sekitar kediaman para hakim agung berikut kendaraan yang
mereka gunakan. Juga rute-rute yang biasa dilewati para hakim agung dan kebiasaan mereka
sehari-hari dicatat secara rinci, katanya.

Komplotan itu telah melakukan survei mendalam tentang hakim-hakim agung yang menjadi
target pembunuhan. Mereka telah menggambar lokasi atau denah rumah para hakim agung, lalu
juga meneliti secara seksama kapan dan bagaimana mereka ke luar rumah.

7 Agustus 2001
Polisi tangkap Mulawarman dan Noval Hadad, dua tersangka penembak Hakim Agung
Syafiuddin Kartasasmita yang mengaku membunuh atas perintah Tommy Soeharto.
Munawarman ditangkap di Jalan Fatmawati Jakarta Selatan sedangkan Noval Hadad di Kebon
Nanas Gg. Ayub RT11/09 Bidara Cina Jatinegara Jakarta Timur.
Munawarman mengaku bertugas mengendarai sepeda motor, sedangkan Noval bertugas
menembak korban. Tersangka mengatakan sebelum melakukan pembunuhan terhadap Hakim
Agung tersebut mereka menginap di Hotel Patra Jasa, Jakarta Timur. Dan pada Kamis (26/7)
pagi Tommy Soeharto mendatangi mereka untuk menyerahkan Rp 100 juta dan senjata api
genggam.

1 Oktober 2001
MA mengabulkan permohonan PK Tommy Soeharto.

28 November 2001
Tommy Soeharto tertangkap di Jalan Maleo II No 9, Sektor IX, Bintaro Jaya.

16 Agustus 2002
Untuk kasus penembakan Syafiuddin, kepemilikan senjata api & amunisi dan sengaja melarikan
diri Tommy diganjar dengan hukuman 15 tahun.

16 Januari 2004
Beddu Amang memulai hukumannya di LP Cipinang selama 4 tahun terkait dengan kasus
Ruislag ini.

Juni 2005
Mahkamah Agung meringankan hukuman Tommy dari 15 tahun menjadi 10 tahun.

30 Oktober 2006
Setelah peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung, ditambah dengan berbagai pengurangan
hukuman (remisi), Tommy akhirnya hanya mendekam selama 4 tahun di penjara.

Tommy dibebaskan bersyarat dan diharuskan untuk mengikuti pengawasan dan pembinaan di
Balai Pemasyarakatan (Bapas) Salemba hingga satu tahun setelah ia dibebaskan secara bersyarat.

22 Agustus 2007
Kejaksaan Agung selaku pengacara negara yang telah memperoleh surat kuasa khusus (SKK)
dari Perum Bulog, mendaftarkan penggugatan terhadap PT Goro Batara Sakti, Hutomo Mandala
Putra selaku Komisaris Utama PT GBS, Ricardo Gelael selaku Direktur Utama PT GBS, dan
Beddu Amang selaku Kepala Bulog senilai Rp500 miliar ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
terkait kasus tukar guling antara Bulog dengan PT Goro Batara Sakti. Perkara tersebut
didaftarkan ke PN Jakarta Selatan dengan nomor perkara 1228/Pdt.G/2007/ PN Jaksel.

Pemerintah menuntut ganti rugi materiil sebesar Rp 244,2 miliar, ganti rugi imateriil Rp 100
miliar, dan ditambah bunga atas ganti rugi Rp
206,5 miliar yang harus dibayar secara tanggung renteng.

Gugatan perdata yang diajukan Kejaksaan Agung atas kuasa dari Perum Bulog itu dialamatkan
kepada empat pihak atas perbuatan melawan hukum dalam tukar guling antara Bulog dan PT
GBS. Keempat pihak itu adalah PT GBS, Hutomo Mandala Putra (mantan Komisaris Utama PT
GBS), Ricardo Gelael (Direktur Utama PT GBS), dan Bedu Amang (mantan Kepala Bulog)

Perjanjian itu dinilai merugikan Bulog sebesar Rp 15 miliar karena Bulog harus membatalkan
perjanjian dengan PT Graha Mutu Pertiwi atau PT Graha Bhakti Abadi. Perjanjian itu kemudian
diikuti tindakan GBS atas sepengetahuan Beddu, Tommy, dan Ricardo, untuk membongkar dan
mengosongkan gudang Bulog di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara, yang kemudian
dijadikan kawasan perkulakan Goro Batara Sakti pada Januari 1996. Pembongkaran itu dinilai
JPN telah merugikan Bulog sekitar Rp 23,5 miliar.

Surat gugatan yang dibacakan secara bergantian juga menyebutkan GBS telah melakukan
pembongkaran terhadap 11 unit gudang milik Bulog dalam kurun waktu Februari 1996 sampai
Oktober 1996, yang diduga merugikan Bulog sekitar Rp 7 miliar. GBS kemudian menggunakan
satu unit gudang Bulog sebagai kantor. Perbuatan ini dinilai merugikan Bulog sebesar Rp 3,18
miliar.

Menurut JPN, barang hasil bongkaran itu kemudian dipindahkan ke gudang lain yang disewa
GBS. Pemindahan itu menggunakan uang Bulog hingga mencapai Rp 6,2 miliar untuk
membayar sewa gudang. Selain itu, GBS menjual barang hasil bongkaran, yang diperkirakan
merugikan Bolug sekitar Rp 500 juta.

JPN mencatat, uang Bulog sebesar Rp 23 miliar digunakan untuk membayar tagihan di Bank
Bukopin, karena hutang GBS kepada bank tersebut tidak pernah dibayar. Kemudian JPN juga
menyatakan GBS telah menggunakan uang Bulog sebesar Rp 32,5 miliar untuk membeli tanah.
JPN menilai perbuatan GBS dan para petingginya itu telah merugikan negara, dalam hal ini
Bulog, secara materil hingga Rp 244,2 miliar. Angka itu diperoleh setelah ditambah dengan
kerugian Bulog karena kehilangan keuntungan sebesar 12 persen per tahun, selama sepuluh
tahun. Selain itu, Bulog juga mengalami kerugian immateril yang diperkirakan mencapai Rp 100
miliar. Kerugian immateril berupa hilangnya kepercayaan masyarakat. Melalui JPN, Bulog juga
menuntut pembayaran bunga menurut hukum sejumlah enam persen per tahun.

18 Februari 2008
Proses mediasi tidak berhasil dijalankan. Dalam petikan putusannya, ujar Ketua Tim Jaksa
Pengacara Negara (JPN) Yoseph Suardi Sabda, MA memperoleh kesimpulan terdapat
penyimpangan hukum dalam perkara tukar guling itu, yang dilakukan oleh Tommy (tergugat II)
dan mantan Kepala Bulog Beddu Amang (tergugat IV), karena diantaranya disebabkan oleh
status sosial yang melekat kepada Tommy.

Dia menambahkan, sebagai komisaris GBS Tommy terbukti telah melakukan tindakan yang
melawan hukum terkait tukar guling itu. Menurutnya, hal tersebut sesuai pasal 1366 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Perdata (KUHAPer), yang menyatakan seseorang bukan saja
bertanggung jawab atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan secara sengaja, namun juga
akibat kelalaian.

Selanjutnya, Yoseph bergantian dengan anggota JPN lainnya, juga membacakan keseluruhan
kesimpulan akhir yang disusun oleh JPN, setebal 28 halaman.

Dalam kesimpulannya, JPN juga menguraikan kerugian-kerugian yang dialami Bulog akibat
tukar guling tersebut. Diantaranya, hilangnya uang Bulog sebesar Rp23 miliar yang dijadikan
jaminan utang tergugat I pada Bank Bukopin, hilangnya gudang Bulog yang dijadikan kantor
Goro senilai lebih dari Rp3 miliar dan kerugian akibat tidak dapat dipakainya tanah Bulog seluas
8 hektar (karena tanah tersebut digunakan tergugat I) senilai lebih dari Rp23 miliar.

Dalam petitumnya (amar di bagian akhir kesimpulan), JPN mengajukan permohonan pada
majelis hakim untuk memberikan amar putusan berupa menolak eksepsi para tergugat. Dalam
gugatan konvensi, diantaranya memohon agar gugatan penggugat dikabulkan dan menghukum
para tergugat secara tanggung renteng membayar ganti rugi sebesar Rp100 miliar.

28 Februari 2008
Tommy menuai kemenangan. Majelis hakim PN Jaksel yang diketuai Haswandi menyatakan,
gugatan JPN kepada Tommy Cs tidak dapat dikabulkan. Justru, hakim mengabulkan gugatan
Tommy Cs terhadap Bulog. Sehinga Bulog harus diwajibkan membayar Rp 5 miliar ke kubu
Tommy. Bulog diwajibkan membayar Rp 5 miliar karena dianggap telah melakukan pencemaran
nama baik Tommy yang memiliki kapasitas seorang pengusaha bereputasi. Persisnya dalam hal
terjadi penyebaran informasi lewat media massa, Bulog berada dalam posisi sebagai narasumber.
Uang sebesar Rp 5 miliar merupakan kerugian immateriil yang ditanggung Tommy terkait
dengan pencemaran nama baik ini.

Berdasarkan bukti yang diajukan oleh audit akuntan independen Jan, Ladiman & Rekan yang
berisi daftar pengeluaran dan penerimaan asset Bulog dalam tukar imbang antara Bulog dan PT
GBS per tanggal 31 Agustus 2001 pengeluaran Bulog dalam proses ruislag Bulog-Goro sebesar
Rp65,08 miliar, sedangkan penerimaannya Rp74, 5 miliar. Sehingga pada dasarnya Bulog
diuntungkan 9,4 miliar. Selain itu, berdasarkan Surat Keterangan Kepala Bulog tertanggal 31
Maret 1999 B.195/II/03/1995 dan ditegaskan lagi dengan Surat Kepala Bulog B-244/iii/03/2004
terbit 10 Maret 2004 disebutkan pula bahwa Bulog mendapat keuntungan.

Kronologis Kasus Buloggate

Yayasan Bina Sejahtera Karyawan (Yanatera) Bulog merupakan sebuah yayasan yang didirikan
untuk menyejahterakan karyawan Bulog ini kebobolan Rp 35 milyar. Didirikan berdasarkan akte
notaris tanggal 17 Januari 1984 ini berisi dana ratusan milyar rupiah.

Menurut keterangan resmi Bulog pada tanggal 25 Mei 2000, duit Yanatera berasal dari sejumlah
sumber. Misalnya harta asal yayasan (modal yang disisihkan dari kekayaan pendiri), iuran
anggota, sumbangan-sumbangan yang diterima yayasan, dan pendapatan dari usaha-usaha yang
sah.

Kasus Bulog meledak menjadi skandal besar setelah dana Yayasan Bina Sejahtera (Yanatera)
Bulog Rp 35 miliar raib. Yang membuat heboh, sejumlah nama di seputar pemerintahan Presiden
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ditengarai ikut terlibat.

Berikut kronologi kasus Bulog - Yanatera ini:

7 Januari 2000:
Sapuan bersama dua stafnya, Soleh Sofyan dan Mulyono Makmur, datang ke Istana. Mereka
datang setelah sebelumnya Sapuan meminta bantuan Soewondo agar dipertemukan dengan
Presiden Wahid untuk membicarakan dua hal. Pertama, mengklarifikasi soal pembubaran Bulog
seperti tertera dalam salah satu risalah sidang kabinet. Kedua, soal keinginan Presiden menarik
dana taktis Bulog untuk penyelesaian masalah Aceh.

Pertemuan berlangsung pukul 16.00. Menurut kesaksian Soleh, pertemuan ini dihadiri Presiden
Wahid, Sapuan, dan Kepala Biro Protokol Istana Wahyu Muryadi. Saat itu, Presiden Wahid
meminta separuh dari Rp 370 miliar dana taktis Bulog untuk penyelesaian masalah Aceh. Sapuan
menyarankan agar Presiden mengeluarkan Keppres supaya pertanggungjawabannya menjadi
jelas. Namun, melalui Soewondo, Presiden Wahid menolak. Permintaan itu lalu dilaporkan
Sapuan ke Kepala Bulog saat itu, Jusuf Kalla.

9-11 Januari 2000:


Soewondo menghubungi Sapuan agar dicarikan pinjaman Rp 35 miliar untuk penyelesaian Aceh.
Permintaan ini dilaporkan Sapuan ke Kalla. Kalla menolak dan minta dibuatkan surat resmi dari
Presiden.

12 Januari 2000:
Surat perjanjian pengakuan utang dari Soewondo. (Menurut Farid Faqih dari Gowa, perjanjian
ini sebenarnya dibuat tidak pada 12 Januari, tapi setelah kasus ini terbongkar).

13 Januari 2000:
Yanatera mengeluarkan dua lembar cek masing-masing senilai Rp 5 miliar.
20 Januari 2000:
Yanatera mengeluarkan dua lembar cek masing-masing senilai Rp 10 miliar dan Rp 15 miliar.

Ke Mana Dana Mengalir?


Nomor Cek Bukopin Nilai (Rp) Bank Tanggal Pencairan Dicairkan oleh
514425 5 miliar BCA Tomang 14 Januari 2000 Leo Purnomo (diduga pengelola AWAIR
bersama Soewondo)
530601 5 miliar BCA Sudirman 24 Maret 2000 Siti Farika (lalu ditransfer ke BCA Semarang
pada 27 Maret 2000)
530603 10 miliar Mandiri Pulomas 20 Januari 2000 Teti Sunarti (istri Soewondo)
530604 15 miliar Citibank Sudirman 20 Januari 2000 Suko Sudarso (Wakil Kepala Litbang PDI-
P)

Sumber: Government Watch

20 Februari 2000:
Sapuan bertemu Penjabat Sekretaris Negara Bondan Gunawan di Sekretariat Negara. Bondan
menanyakan kemungkinan penggunaan dana taktis Bulog oleh Setneg. Pertemuan itu juga
membicarakan struktur kepemimpinan di Bulog, apakah perlu dipisah atau dirangkap menteri.

Februari 2000:
Sapuan dua kali bertemu dengan Jaksa Agung Marzuki Darusman. Pertemuan pertama di Hotel
Mahakam, Blok M, Jakarta Selatan. Saat itu, Marzuki yang didamping Widjanarko, anggota
Komisi III DPR, menanyakan mekanisme pemanfaatan dana taktis Bulog. Sapuan minta agar
soal itu dikonsultasikan dengan pihak Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Pertemuan kedua pada malam hari di Hotel Regent. Ketika itu hadir Deputi Khusus BPKP Erwin
Sofyan yang menyarankan dana itu dimasukkan ke APBN Pos Anggaran 16. Sehingga, dapat
digunakan oleh Presiden setiap saat dibutuhkan.

24 Mei 2000:
Kapolri Jenderal Rusdihardjo dan Menteri Luar Negeri Alwi Shihab mengeluarkan pernyataan
Soewondo sudah berada di luar negeri (Farid Faqih dari Gowa mengaku berhasil mengontak
Soewondo per telepon Jumat, 19 Mei 2000. Soewondo ketika itu diketahui berada di Jakarta atau
Bogor).

Kepala Bulog Rizal Ramli menghadiri dengar pendapat dengan Komisi III DPR soal skandal
Bulog. Pada hari itu, Soewondo menandatangani pernyataan bersedia mengembalikan pinjaman
Rp 35 miliar paling lambat akhir Juli 2000. Ia juga sekaligus membayar bunga pinjaman Rp
1,575 miliar melalui rekening Yanatera di Bukopin.

25 Mei 2000:
Kabulog Rizal Ramli akhirnya menonaktifkan sementara Sapuan sebagai Wakabulog.
Penghentian itu terhitung sejak 24 Mei 2000, sambil menunggu penetapan resmi Presiden RI.
Hal-hal yang berkaitan dengan penipuan atau pelanggaran hukum, Kabulog telah
menyampaikan kepada aparat terkait, kata Kabulog kepada pers, di Jakarta, Kamis, usai
mengadakan pertemuan dengan Pimpinan Komisi III DPR-RI.
Aparat Satuan Reserse Ekonomi Direktorat Reserse (Ditserse) Kepolisian Daerah (Polda) Metro
Jaya menangkap Sapuan di ruang kantornya di Gedung Bulog,pukul 12.30. Kepala Ditserse
Polda Metro Jaya Kolonel (Pol) Alex Bambang Riatmodjo mengatakan, Sapuan ditangkap
sebagai tersangka pelaku penipuan dan korupsi di Bulog. Kepala Satuan Reserse Ekonomi
Mayor (Pol) Tito Karnavian lalu membawa Sapuan ke ruang kerja Kepala Ditserse. Sekitar
setengah jam kemudian Sapuan dibawa ke ruang kerja anak buah Tito untuk disidik.

26 Mei 2000:
Sapuan, secara resmi ditahan di Polda Metro Jaya, setelah diperiksa sebagai tersangka.
Kaditserse Polda Metro Jaya Kolonel (Pol) Alex Bambang Riatmodjo mengatakan, secara resmi
tersangka ditahan dan dikenakan pasal tentang korupsi. Hal itu berdasarkan bukti-bukti dan
keterangan sejumlah saksi yang telah diperiksa.

29 Mei 2000:
Tim penasihat hukum tersangka Sapuan menyampaikan permohonan agar klien yang dibelanya
menjadi tahanan luar Polda Metro Jaya. Salah satu anggota tim pengacara Sapuan, Stefanus Aco
SH, mengatakan alasan pengajuan permohonan tahanan luar kepada Kepala Direktorat Reserse
Polda Metro Jaya itu adalah soal kesehatan dan keluarga.

7 Juni 2000:
Teti Noersetiyati, istri Suwondo, datang ke Polda Metro Jaya mengembalikan uang Rp 10 miliar.

8 Juni 2000:
Siti Farika datang ke Polda Metro Jaya untuk mengembalikan uang Rp 5 miliar. Ia mengaku
menerima uang itu dari Aris Junaidi, Wakil Bendahara GP Ansor. Menurut Farika, ia bersama
Aris berniat membuka bisnis ekspor ubin kayu kelapa dan produk kayu olahan. Modal untuk
kedua usaha itu ditanggung oleh Aris.

16 Juni 2000:
Mantan Pjs Sekretaris Negara Bondan Gunawan berpendapat bahwa kunci kasus Bulog adalah
Suwondo dan mantan Wakabulog Sapuan. Hal itu disampaikan pada saat bertemu dengan Tim
Klarifikasi FKB yang dihadiri antara lain oleh Ketua FKB Taufiqurohman dan Sekretaris Fraksi
Choliq Achmad.

9 Agustus 2000:
Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta melimpahkan berkas kasus penggelapan dana Yayasan
Kesejahteraan Karyawan (Yanatera) Badan Urusan Logistik (Bulog) dengan terdakwa mantan
Wakil Kepala Bulog Sapuan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel).

Selanjutnya, PN Jaksel menetapkan jadwal sidang pertama kasus ini pada Selasa, 15 Agustus
2000. Sidang ini diketuai Lalu Mariyun didampingi F. Zendranto dan Rusman Dani Achmad.
Sebagai panitera pengganti adalah H Baidowi, Sutrisno, dan Ricar Nasution.

Berkas kasus Sapuan masuk ke PN Jaksel diterima oleh Panitera Muda Pidana M Yusuf, Senin
(14/8) dengan nomor register 837/Pid/B/2000/PN JS. Dengan pelimpahan berkas itu, pihak PN
Jaksel memperpanjang masa tahanan Sapuan di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang selama 30
hari. Perpanjangan ini terhitung sejak berkas dilimpahkan ke pengadilan.

Dalam surat dakwaan yang ditandatangani jaksa penuntut umum (JPU) Nulis Sembiring
disebutkan bahwa Sapuan telah melakukan tindak pidana penggelapan dana Yanatera yang
merugikan negara Rp 35 miliar. Selain itu, Sapuan juga didakwa membujuk saksi Ir H Mulyono
MBA dan M Yakub Ishak (keduanya pengurus Yanatera) untuk menyerahkan dana yayasan
sebanyak dua kali dengan nilai Rp 10 miliar dan Rp 25 miliar. Untuk itu, Sapuan diancam Pasal
372 jo Pasal 55 ayat (1) ke 2e jo Pasal 64 ayat 1 KUHP (dakwaan primer), serta Pasal 372 jo
Pasal 55 ayat (1) ke 2e Pasal 64 ayat (1) KUHP (dakwaan sekunder).

22 Agustus 2000:
Sapuan menolak dakwaan JPU dengan alasan dakwaan itu tidak benar, tidak cermat, dan
terkesan mengada-ada. Sapuan yang menganggap memiliki kekuasaan sebagai pimpinan Bulog
dan pimpinan Yanatera telah membuat memo per tanggal 13 Januari 2000 kepada pengurus
Yanatera untuk mengeluarkan sejumlah uang. Alasannya untuk membantu kegiatan kemanusiaan
di Aceh sesuai dengan permintaan Presiden Wahid.

Namun, ini dibantah JPU yang mengatakan Sapuan tahu bahwa perbuatannya itu tidak sesuai
dengan anggaran dasar Yanatera. Sesuai anggaran dasar Yanatera, untuk mengeluarkan dana
yang melebihi Rp 500 juta harus mendapat persetujuan tertulis terlebih dulu dari atau akta-akta
yang ditandatangani oleh pendiri yayasan. Selain itu, disebutkan bahwa uang yang telah
dicairkan tersebut bukan untuk keperluan kemanusiaan, melainkan pribadi. Antara lain,
Suwondo yang melarikan diri dan sampai saat ini belum ditemukan.

12 September 2000:
Majelis hakim PN Jaksel menolak keberatan (eksepsi) yang diajukan Sapuan maupun kuasa
hukumnya. Selanjutnya, majelis hakim memerintahkan JPU untuk melanjutkan pemeriksaan
perkara dan mendengar keterangan saksi. Keberatan Sapuan maupun penasihat hukumnya dinilai
tidak tepat dan tidak berlandaskan hukum. Selain itu, dakwaan JPU telah cukup jelas
menguraikan perbuatan pidana yang dilakukan terdakwa. Eksepsi terdakwa dan penasihat
hukum ditolak seluruhnya, demikian putusan sela majelis hakim.

10 Oktober 2000:
Mantan Menperindag Jusuf Kalla yang hadir sebagai saksi pada persidangan Sapuan mengaku
baru mengetahui pencairan dana Yanatera sekitar 30 menit sebelum Rizal Ramli menggantikan
dirinya sebagai Kabulog. Ia juga menjelaskan, selama menjabat sebagai Kabulog (Oktober 1999-
April 2000) tidak ada pencairan dana. Juga tidak ada yang memberitahu dirinya soal itu. Ia hanya
ingat Sapuan pada 12 Januari 2000 memberitahu dipanggil Presiden Wahid yang memerlukan
dana non bujeter untuk kemanusiaan di Aceh.

Ketika itu, lanjut Kalla, Sapuan menghadap dengan membawa memo. Namun, Kalla
menegaskan,Tanpa perintah tertulis dari Presiden, uang tidak akan dikeluarkan. Akhirnya,
ketika dana itu keluar, Kalla mengaku tidak tahu menahu. Ia juga menegaskan tidak ada
hubungan kekeluargaan dengan Sapuan.
Pansus Buloggate dan Bruneigate akan memanggil saksi pada 17 Oktober 2000. Pemanggilan
Presiden Wahid dan Sultan Brunei, Hassanal Bolkiah, dikatakan Ketua Pansus Buloggate dan
Bruneigate, Bachtiar Chamsyah, akan sangat bergantung pada perkembangan pemeriksaan saksi.
Pansus juga mempersiapkan dasar hukum, antara lain, UUD 45 dan perubahannya, TAP MPR
No. XI/1998 tentang Penyelanggaraan Negara yang Bebas KKN. Sementara itu, yang akan
dipanggil secara institusi adalah Bulog, Bank Indonesia, Polri, Yayasan Yanatera dan BPK.

14 Oktober 2000:
Suwondo ditangkap di vilanya di Desa Tugu, Bogor, pukul 10.00 WIB

28 November 2000:
Mantan Kapolri Jenderal Rusdihardjo memenuhi panggilan Pansus Buloggate. Dalam rapat
tertutup, dia membeberkan kronologi penanganan kasus Buloggate semasa menjadi Kapolri.
Pengakuan Rusdihardjo kemudian bocor ke pers dan menjadi sensasi baru. Dalam
pengakuannya, secara eksplisit, ia mengatakan Gus Dur semetinya sudah tersangka. Ia juga
mengatakan, Gus Dur memberi cek senilai Rp 5 miliar yang berasal dari dana Bulog ke Siti
Farikha. Selain itu, Rusdihardjo juga membeberkan mengenai berita acara pemeriksaan (BAP)
Gus Dur versi ganda.

Disaat yang sama, dihadapan anggota Komisi III DPR-RI, Sapuan mengaku menyalurkan dana
taktis yang diminta Presiden Abdurrahman Wahid, lewat Suwondo, yang mengaku sebagai
sekretaris pribadi Gus Dur. Pengakuan Sapuan bahwa ia melakukan tindakan itu karena ingin
membantu Gus Dur menyelesaikan persoalan Aceh. Sapuan meminta Gus Dur untuk membuat
Keppres, tp ditolak oleh Gus Dur. Atas desakan Suwondo, akhirnya Sapuan mengeluarkan Rp 35
milyar, yang diambilnya dari dompet Yanatera.

1 Desember 2000:
Gus Dur mengatakan, semua Pansus (termasuk Pansus Buloggate) yang dibentuk oleh DPR
ilegal. Sehingga, hasilnya tidak sah. Sebab, semua Pansus itu belum dicantumkan di lembaran
berita negara. Selain itu, berdasarkan UUD 1945, tidak ada soal hak angket DPR. Pernyataan ini
kontan dibantah Ketua Pansus. Menurut dia, Pansus adalah bentukan rapat paripurna DPR.
Sehingga, tidak bisa dikatakan ilegal. Bantahan serupa disampaikan Ketua DPR Akbar
Tandjung.

4 Desember 2000:
Siti Farikha dan Aris Djunaedi, dua orang yang menerima kucuran dana Bulog, melalui
pengacaranya Indra Sahnun Lubis mengadukan Rusdihardjo ke Mabes Polri. Mereka menuduh
Rusdihardjo mencemarkan nama baik mereka. Ini terkait dengan pernyataan Rusdihardjo bahwa
Gus Dur memberikan cek sebesar Rp 5 miliar kepada Farikha.

8 Desember 2000:
Setelah mendapat desakan, Pansus Buloggate menyatakan tetap bekerja selama reses DPR.
Namun, aktivitas yang dilakukan hanyalah kerja interen. Yakni, menelaah dokumen kesaksian
serta menarik kesimpulan sementara. Ketua Pansus menyatakan, seusai reses, Pansus akan
kembali memanggil dua saksi kunci: Suwondo dan Gus Dur. Presiden sendiri dijadwalkan
dimintai keterangan pada 17 Januari 2001.

11 Desember 2000:
Gus Dur mengaku menggunakan jurus Cattenacio-yang dikenal di kesebelasan Italia pada 1980-
an-untuk menangkis serangan Pansus. Hal ini dikemukakan Gus Dur di sela-sela acara buka
puasa bersama dengan Indonesian Conference on Religion and Peace. Ia juga mengatakan bahwa
sudah sejak 4-5 bulan terakhir, DPR membuat kelompok-kelompok untuk menghakimi dengan
tujuan politis.

31 Januari 2001:
Presiden Abdurrahman Wahid membantah terlibat dalam penyelewengan dana Yayasan Bina
Sejahtera (Yanatera) Badan Urusan Logistik (Bulog) sebesar Rp 35 milyar dan dana sumbangan
dari Sultan Brunei untuk rakyat Aceh. Hal itu sudah disampaikan kepada Panitia Khusus
(Pansus) Bulog DPR beberapa waktu lalu.

Februari 2001:
Rapat paripurna DPR menyimpukan Presiden Abdurrahman Wahid melanggar
haluan negara dalam hal pencairan dana Bulog dan penyaluran bantuan dari
Sultan Brunei Darussalam. Sementara itu sidang pertama kasus Bulog, dengan terdakwa
Soewondo di PN Jakarta Selatan tertunda, karena Soewondo mengaku sakit.

22 Maret 2001:
Dengan menyatakan banding atas putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,
untuk sementara status terdakwa mantan Wakil Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog), Sapuan,
bebas atau tidak ditahan. Dengan adanya banding berarti putusan pengadilan belum mempunyai
kekuatan hukum tetap dan karena itu belum dapat dilaksanakan. Ditambah lagi, saat vonis
dijatuhkan, status Sapuan adalah orang bebas setelah pengadilan tidak lagi memperpanjang masa
tahanan kota Sapuan yang berakhir tanggal 5 November 2000.

30 Mei 2001:
Rapat paripurna DPR meminta MPR segera menggelar Sidang Istimewa
untuk meminta pertanggung jawaban Presiden Wahid (30/5).

Agustus 2001:
Terdakwa kasus Bulog Soewondo divonis 3,5 tahun penjara oleh Majelis
Hakim PN Jakarta Selatan (6/8).

Kasus Bulog dalam kepemimpinan Widjanarko

Apa yang terpikir dalam benak orang ketika berbicara soal Perum Bulog? Sarang korupsi, kolusi,
pundi pundi uang bagi kelompok politik yang berkuasa dan sebagainya? Pikiran tersebut
memang wajar-wajar saja, karena faktanya beberapa skandal korupsi lahir dari lembaga
pengelola pangan itu.

Di masa lalu, Bulog sering dibuat tidak berdaya oleh permainan penguasa untuk kepentingan
ekonomi dan politik mereka. Bulog memang identik dengan lumbung uang. Kewenangannya
memonopoli komoditi pangan pokok seperti beras, gula pasir, kedelai, dan tepung terigu
membuat uang mengalir begitu deras ke lembaga ini. Bentuknya sebagai LPND yang langsung
berada di bawah kekuasaan Presiden membuat akses masyarakat untuk mengontrol lembaga ini
nyaris tertutup.

Ketika Soeharto lengser akibat tekanan mahasiswa dan masyarakat, kelompok-kelompok politik
baru dan aktor-aktornya pun tergiur untuk menguasai lembaga yang didirikan 30 tahun lalu oleh
Ahmad Tirtosudiro tersebut. Kemampuan Bulog mengumpulkan dana besar menggodai partai
politik untuk menjadikannya salah satu sumber dana guna memperlancar aktivitas politik
mereka.

Ini menjadi tantangan bagi Direktur Utama Perum Bulog, Widjanarko Puspoyo, untuk mengubah
image buruk Bulog menjadi lembaga yang bersih dan transparan dan mampu berkompetisi di
pasar internasional.

Perubahan status Bulog menjadi Perum diharapkan akan membawa lembaga ini lebih
profesional. Manajemen dilakukan secara terbuka dan menghilangkan budaya birokrat.

Widjanarko Puspoyo mengakui citra buruk Bulog dengan statusnya yang lama. Sebagai pejabat
direktur utama pertama Bulog pasca perubahan status menjadi Perum, Widjanarko menjamin
bahwa Bulog sekarang berbeda dengan Bulog yang dulu. Bulog kini sudah menjalankan
manajamen modern. Bulog dulu terkenal single fighter, manajemen tertutup, tidak tersentuh
aparat, semua ditentukan pusat, menikmati banyak fasilitas, sumber KKN dan korupsi, katanya.

Menurut Widjanarko, sekarang pengelolaan manajemen Bulog transparan. Ada akuntan publik
yang siap mengaudit keuangan. Intinya,ditegaskan Bulog tidak lagi akan dicemari oleh bentuk-
bentuk korupsi di masa lalu. Bulog ke depan akan lebih mengemuka dibandingkan Bulog versi
lama.

Jaminan yang diutarakan mantan anggota DPR ini, tidak lepas dari tuntutan akan kompetisi yang
semakin ketat. Dengan status sebagai Perum, Bulog memiliki peluang melakukan kegiatan bisnis
kendati masih tetap sebagai penyangga harga dasar gabah dan stok beras nasional dan
menyalurkan beras untuk orang miskin (raskin). Bisnis adalah keharusan bagi Bulog karena tidak
lagi mendapat alokasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

Ketika memimpin Bulog, ia ingin berbenah dan mengembangkan model bisnis baru. Ia ingin
menghapus calo-calo birokrasi yang selama ini menjadi benalu, mengubah mekanisme organisasi
dan menyinergikan program bisnis. Serta mengubahnya menjadi Perum, ia mem-persiapkan
generasi baru di Bulog yang lebih bervisi. Tetapi sayangnya dia malah tersandung korupsi.

Kasus impor beras dari Vietnam

Widjanarko diduga juga menerima hadiah (gratifikasi) dari Vietnam Southern Food Corporation
dalam impor beras 2001-2002. Vietnam Food adalah rekanan Bulog.
Vietnam Food diduga telah mengirimkan uang sebesar $ 1,5 juta ke PT Tugu Dana Utama. PT
Tugu kemudian mengirimkan $ 1,2 juta ke PT Arden Bridge Investment dimana Widjokongko
Puspoyo-adik kandung Widjanarko menjabat sebagai direktur investasi. Dari PT Arden ini, uang
mengalir ke Widjanarko, Endang Ernawati-istri Widjanarko, Winda Nindyati-putri Widjanarko,
dan Rinaldy Puspoyo-putra Widjanarko.

Dakwaan jaksa, Widjokongko melakukan korupsi dengan membantu penerimaan uang oleh
Widjanarko Puspoyo dalam pengadaan beras impor dari Vietnam. Majelis hakim Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan pada 1 Februari 2008 menghukum Widjokongko empat tahun penjara dan
denda Rp 7,5 miliar subsider enam bulan penjara. Dalam putusannya, majelis hakim Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan menyatakan, Widjokongko terbukti menggunakan rekening PT Arden
Bridge Investment Limited di Bank Bukopin untuk menerima uang dari Steven dan Laksmi
Karmahadi yang dikirim dari Bank HSBC Hongkong.

Dalam Keputusan majelis hakim membeberkan bukti bahwa Widjan menerima gratifikasi terkait
dengan impor beras dari Vietnam. Gratifikasi senilai USD 1,6 juta itu dikirim melalui empat kali
transfer dari Cheong Karm Chuen alias Steven sebagai perantara (Broker) warga negara
Singapura. Uang itu dikirim dari HSBC Hongkong ke rekening ABIL (Ardent Bridge Investment
Limited, perusahaan milik adik Widjan, Widjokongko Puspoyo). Selanjutnya, uang mengalir ke
rekening terdakwa (Widjan) di Bukopin.

Kasus ekspor beras ke Afrika

Sedang Kasus ekspor beras ke Afrika pada tahun 2004 ini bermula saat Widjanarko selaku
Kepala Bulog saat itu melakukan ekspor beras sebesar 50 ribu metrik ton dengan pembeli Ascot
Commodity

yang berkedudukan di Genewa Swiss. Beras sebanyak 50 ribu ton tersebut untuk diekspor ke
Afrika. Padahal pada saat yang bersamaan Indonesia juga melakukan impor beras dari Vietnam.

Kerugian negara masih dihitung oleh Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP).
Indikasi pelanggaran sehingga menyebabkan kerugian negara karena harga yang dijual ke luar
negeri dibawah dari harga yang dijual di dalam negeri sehingga menimbulkan kerugian negara.

Menurut majelis, kebijakan ekspor ke Afrika menyalahi prosedur. Sebab, kebijakan tersebut
tidak tercantum dalam pelaksanaan rencana kerja dan anggaran perusahaan (RKAP) serta skema
pendanaan Bulog pada 2004. Beras yang diekspor seharusnya disalurkan ke (pasar) dalam
negeri. Kalaupun diekspor, Bulog harus memuat dalam rencana kerja dan anggaran perusahaan,
ungkapnya. Majelis juga membeberkan patgulipat yang merugikan negara Rp 78,3 miliar atas
ekspor tersebut. Sebanyak 51 ribu metriks ton beras atau 51 juta kilogram itu, kata Artha, dijual
seharga USD 202 per metriks ton atau Rp 1.818 per kilogram. Harga itu jauh di bawah harga
pokok penjualan yang ditetapkan pemerintah, yakni Rp 3.343 per kilogram, jelas hakim
perempuan tersebut.

Kasus impor fiktif sapi


Kasus impor fiktif terjadi Pada 2001, Bulog melakukan pengadaan 22 ribu ekor sapi potong dari
Australia. Bulog lalu menggaet tiga perusahaan swasta sebagai rekanan yaitu PT Karyana, PT
Lintas Nusa Pratama (LNP) dan Surya Bumi Manunggal (SBM). Dari ketiga rekanan tersebut
hanya PT. Karyana yang menuntaskan kontrak mereka tanda tangani. Bulog telah membayarkan
uang sebesar Rp 5,7 miliar kepada PT LNP untuk pengadaan 1150 ekor sapi.

Sementara untuk PT SBM, Bulog telah mengucurkan dana Rp 4,9 miliar untuk 1000 ekor sapi.
Namun kedua perusahaan tersebut tidak pernah memenuhi kontrak tersebut dan sapi tersebut
tidak pernah datang sehingga diperkirakan merugikan negara sebesar Rp 11 miliar.

Empat Bekas Pejabat Bulog sempat menjadi terdakwa, namum Hakim menilai para terdakwa
tidak terbukti melakukan tindakan perbuatan melawan hukum sehingga divonis Bebas. Menurut
majelis hakim para terdakwa hanya menjalankan perintah atasannya.

Dalam kasus impor sapi ini, rekanan Bulog yaitu Maulany Ghany Aziz (Direktur PT LNP) telah
divonis enam tahun penjara, denda Rp200 juta subsider tiga bulan kurungan dan kewajiban
membayar uang pengganti Rp 5,079 miliar. Adapun Moeffreni dan Fahmi (Direktur dan
karyawan PT SBM) divonis lima tahun penjara, denda Rp200 juta subsider enam bulan, dan
harus membayar uang pengganti Rp 3,3 miliar ditanggung renteng.

Untuk kasus pengadaan sapi, kata Artha, majelis menganggap Widjan tidak bersalah. Alasannya,
kebijakan tersebut diambil berdasar usul tim monitoring. Saat itu tidak ada pilihan bagi Bulog
selain melakukan pengadaan sapi untuk ketahanan pangan menjelang hari raya, katanya.

Perkara Korupsi Sub Divre XI Bulog Jember

Kasus Bulog Jember itu adalah dugaan korupsi yang dilakukan mantan Kepala Bulog Sub Divisi
Regional XI Jember Mucharror. Mucharror diduga terlibat dalam 3 kasus dengan tuduhan
pengadaan gabah fiktif, pengadaan alat pengering gabah dan kasus raibnya 8.569 ton beras.

Pengadaan Drying Centre

Kasus ini melibatkan 3 tersangka, yaitu Mucharror (mantan Kepala Sub Divre XI Bulog Jember),
Ali Mansyur (karyawan Sub Bulog Jember), dan Gunawan Ng (rekanan Sub Bulog Jember yang
juga direktur PT Agung Pratama Lestari, Jember ).

Tersangka Mucharror dan Ali Mansyur ditengarai bukan pelaku utama. Konseptor pembangunan
mesin DC I dan II maupun pengadaan gabah fiktif adalah petinggi Bulog di Jakarta, termasuk G,
pengusaha rekanan bisnis Bulog.

Widjan disebut-sebut terlibat dalam kasus ini juga, yaitu pengadaan alat pengering gabah senilai
Rp 62 miliar. Pengadaan itu tersebar di Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, dan Sulawesi Selatan
pada tahun 2004.

Selain Widjanarko, kasus tersebut juga melibatkan Dirut Utama PT Agung Pratama Lestari
(APL), Gunawan. Widjan dan Gunawan merupakan para pihak yang menandatangani dalam
kontrak

Kasus ini ditangani oleh Kejagung karena locus delicti (tempat terjadinya tindak pindana)
pencairan dana pengadaannya dilaksanakan di Jakarta, tepatnya di kantor pusat Bulog. Sedang
bank yang mendanai pengadaan alat pengering tersebut adalah Bank Bukopin.

Kasus ini terjadi sekitar tahun 2004. Saat itu, Bukopin mengucurkan kredit kepada sebuah
perusahaan swasta, untuk pembelian mesin alat pengering buatan Jepang guna operasionalisasi
pusat pengeringan gabah (drying center) di Sub Divre XI Bulog, Jember, Jawa Timur. Namun,
lantaran pencairan tersebut menyalahi prosedur (tidak ada jaminan kredit), kredit sebesar Rp 65
miliar macet. Kredit itu diberikan kepada pengusaha di Surabaya, Saudara NG. Ternyata ada 2
masalah prosedur dilanggar sehingga kreditnya pun macet.

Mesin pengering gabah itu dibeli koperasi Bulog Subdivre XI Jember bekerja sama dengan PT
Agung Pratama Jember namun dalam perjalanannya ada persoalan. Akhirnya Bulog memberi
kompensasi pada PT tersebut untuk memasok gabah 7.200 ton per tahun selama tiga tahun.

Tim penyidik Kejati Jawa Timur telah menetapkan Mucharor (kepala kantor Bulog Jember) dan
Gunawan (bos PT Agung Pratama Lestari/APL) sebagai tersangka. Dari hasil penyidikan,
Mucharror diduga juga terlibat kasus pengadaan gabah fiktif dan menerima upeti terkait
pengadaan alat pengering gabah tersebut. Mucharror menerima komisi dari Gunawan.

Mucharror menjelaskan bahwa pengadaan drying machine atau mesin pengering gabah
merupakan kebijakan Perum Bulog pada tahun 2004 yang dilaksanakan tahun 2005 terhadap
seluruh Bulog daerah.

Untuk itu, menurut Mucharror, bila tindakan itu dinyatakan salah, seharusnya semua pimpinan
Bulog di daerah juga harus ditahan karena juga mengerjakan program tersebut. Hal ini beralasan,
sebab ide pembangunan mesin DC dan pengadaan gabah merupakan keputusan Bulog Jakarta
yang tidak diketahui Bulog Jatim maupun Bulog Divre XI Jember. Ini berarti, Mukharor dan Ali
Mansyur hanya melaksanakan perintah.

Untuk itu, melalui kuasa hukumnya Cholili, SH, pihaknya akan melakukan eksepsi atau
keberatan atas surat dakwaan JPU.

Pengadaan Gabah Fiktif

Kasus korupsi Bulog Divre XI Jatim berawal dari pembangunan drying center (DC). DC I yang
dibangun PT AP sejak Maret 2004, selesai akhir 2004. DC I mulai beroperasi tahun 2005.

Melengkapi fasilitas pengeringan gabah, dibangun kembali DC serupa (DC II) mulai Agustus
2004 hingga langsung dioperasikan pertengahan 2005. Anehnya, pada tahun 2004 (sebelum
mesin dioperasikan) ditemukan kejanggalan dalam pembukuan Bulog Subdivre XI, yaitu adanya
pembelian gabah dari DC sebanyak 12.600 ton senilai Rp 21,735 miliar (harga gabah Rp
1.725/kg).
Rinciannya, pada bulan Mei 2004 dibeli 9.600 ton gabah senilai Rp 16,56 miliar dan selanjutnya
pada Juli 2004 sebanyak 3.000 ton senilai Rp 5,175 miliar. Ini kan fiktif karena DC belum
dioperasikan, tetapi sudah beli gabah.

Dalam pengadaan gabah fiktif ini, tersangka Gunawan selaku Dirut PT Agung Pratama
menerima fee dari Bulog Jember sebanyak Rp 90 sampai Rp 100/kg atau total Rp 1,3 miliar.

Tidak pernah ada pembelian gabah karena mesinnya belum jadi . Kalau dalam catatan ada
pembelian gabah seolah-olah karena mesin sudah beroperasi, itu hanya akal-akalan para
tersangka.

Kasus Raibnya 8.569 ton Beras Milik Bulog Jember

Tim penyidik dari Kepolisian Daerah Jawa Timur menemukan praktek bisnis fiktif yang
dilakukan oleh tiga mantan pejabat Bulog Jember dan empat pengusaha. Terkuaknya peran
empat pengusaha ini berdasarkan hasil pemeriksaan sementara terhadap tiga mantan pejabat
Bulog Jember ini. Dalam kasus ini 8.569 ton beras milik Bulog Jember raib dari gudang.

Salah satu rekanan itu diduga perusahaan milik Pemerintah Kabupaten Jember, kata Kepala
Unit V Tindak Pidana Tertentu Reserse dan Kriminal Polda Jawa Timur, Komisaris Setyabudi.

Selain menguak empat rekanan, tim penyidik juga menemukan surat-surat palsu yang dibuat
mantan Kepala Gudang Pecoro II Prasetyo Waluyo dan Kepala Gudang Mangli Sholichin
Shaleh.

Dua pejabat itu diperiksa selama tujuh jam oleh tim penyidik bersama mantan Kepala Seksi
Analisa Harga dan Pasar, Ali Mansyur. Dari pemeriksaan inilah ditemukan 20 lembar surat
pembelian fiktif beras Bulog Jember.

Empat pengusaha yang menjadi rekanan Bulog Jember antara lain UD Hikmah, UD Pratama
Agung, Unit Pembelian Terpadu Pemerintah Kabupaten Jember dan Koperasi Karyawan Bulog.
Dalam pelaksanaannya mereka menguasakan pembelian beras kepada Ali Mansyur.

Dengan menggunakan nama keempat rekanan tersebut, beberapa oknum di Gudang Pecoro II
dan Gudang Mangli membuat surat timbang dan surat jalan fiktif. Agar lebih meyakinkan, surat-
surat itu dimasukkan ke dalam arsip secara administratif dengan istilah GD 1 M. Untuk
Gudang Pecoro II yang bertugas membuat surat adalah Muzaqin dan M. Sholeh, kata Setyabudi.

Menurut Setyabudi, semua rekayasa pembelian fiktif ini mengarah pada satu nama yakni mantan
Kepala Bulog Jember Muhammad Mucharror. Dia sebagai otak di balik aksi ini, katanya.

31 Januari 2007
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) akhirnya melayangkan surat ke Polda
Jatim terkait dugaan korupsi pengadaan beras di lingkungan Bulog Jember.

Berdasarkan surat BPKP No SR-274/PW13/5/2007 tertanggal 29 Januari 2007, kasus pengadaan


beras itu telah merugikan negara Rp 39,058 miliar.
Surat itu dilayangkan ke Kasatpidkor Ditreskrim Polda Jatim AKBP Setija Junianta, Rabu, 31
Januari 2007. Kami akan segera memanggil lagi tersangka untuk diperiksa dalam minggu ini,
jelas Setija Junianta.

Surat itu memperkuat dugaan korupsi empat tersangka, yakni Kepala Subdivre XI Bulog Jember
Mucharor dan tiga anak buahnya (Ali Mansur, Prasetyo Waluyo dan Sholihin Hidayat). Polda
juga sudah menyita aset Mucharror berupa dua rumah mewah senilai Rp 3 miliar di Jl Ketintang
Surabaya, tanah senilai Rp 7 miliar, dan 3 mobil pribadi.

Kasus dugaan korupsi beras 8.569 ton milik Bulog Subdivisi Regional XI Jember tergolong
korupsi terbesar di Indonesia, sebab nilainya melampui praktik korupsi lainnya yang pernah
terjadi di Bulog.
Modus korupsi yang dilakukan ini adalah pembelian beras fiktif 8.569 ton, over kuota uji giling
gabah, dan dugaan penyelewengan modal kerja.

4 Desember 2007
Mantan Kepala Bulog Sub Divisi Regional XI Jember Mucharor akhirnya dituntut 8 tahun
penjara oleh jaksa penuntut umum (JPU) dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Jember.
Sayangnya, dalam pembacaan tuntutan itu, Mucharor tidak terbukti secara primer, namun hanya
terbukti secara subsidair sesuai pasal 3 Undang Undang Tindak Pidana Korupsi serta pasal 55
ayat 1 dan pasal 65 ayat 1 KUHP.

Dalam persidangan usai mendengarkan keterangan saksi dan keterangan ahli, Mucharor terbukti
telah melakukan penyimpangan dan merugikan keuangan negara senilai Rp24,4 miliar.

Selain itu, dia juga dituntut membayar denda Rp250 juta, subsidair 6 bulan penjara dan
mengembalikan kerugian negara senilai Rp24,4 miliar yang ditanggung bersama tiga staf Bulog
Jember lainnya yakni Prasetyo Waluyo, Ali Mansyur dan Solikhin Sholeh.

Sejumlah barang bukti yang disita berupa sejumlah tanah serta rumah dan sekitar 250 item
dokumen penting juga masih dinyatakan disita untuk negara.

Dalam berkas tuntutannya sebanyak 265 halaman itu, JPU membeber penyimpangan yang
dilakukan oleh Mucharor itu yakni pengelolaan dana komersial dari Bulog Jatim sebesar Rp2,3
miliar, pengelolaan dana pengadaan gabah fiktif sebesar Rp19,3 miliar, biaya bongkar muat
gabah sebesar Rp52,7 juta dan dana pengadaan gabah melalui mesin drying center sebesar Rp2,7
miliar.

Total kerugian negara akibat perbuatan Mucharror dan stafnya yang kini juga menjadi terdakwa
yakni Rp 24,4 miliar. Perbuatan mereka kami anggap mengganggu stabilitas pangan di Jember,
kata salah seorang JPU, Samsuki.

Atas vonis itu, Mucharor dkk mengajukan banding ke PT Jatim, kemudian majelis hakim PT
Jatim menjatuhkan vonis sama dengan PN Jember, namun pengganti kerugian negara lebih
ringan yakni Rp2,9 miliar.
Mucharor tidak menerima dengan putusan PT Jatim, sehingga melakukan upaya hukum dengan
mengajukan kasasi ke MA dan putusannya hari ini dilaksanakan, katanya menerangkan.

16 Februari 2009
Mahkamah Agung (MA) akhirnya menyampaikan putusan kasasinya terhadap mantan Kepala
Perusahaan Umum (Perum) Bulog Sub Divre XI Jember, Mucharor, dengan lima tahun penjara
dalam kasus korupsi pengadaan gabah fiktif dan operasional alat pengering gabah fiktif.
Sementara anak buah Mucharor, yakni Ali Mansur dan Prasetyo Waluyo divonis empat tahun
penjara.

Kejaksaan Negeri (Kejari) Jember melakukan eksekusi badan atas putusan kasasi MA kepada
tiga pejabat Bulog Jember di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Jember, Senin 16 Februari 2009.

Kepala seksi pidana khusus (Kasi pidsus) Kejari Jember, Basyar Rifai, menuturkan, pihaknya
sudah melaksanakan eksekusi badan atas putusan kasasi MA terhadap tiga pejabat Bulog Jember.

Eksekusi kasasi MA sudah dilaksanakan dan berjalan lancar. Tervonis diberi waktu satu bulan
untuk menanggapi kasasi tersebut, katanya.

Menurut dia, ketiga pejabat Bulog divonis bersalah dan meyakinkan telah melakukan tindak
pidana pasal 2 primer Undang-undang Tentang Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat 1
dan pasal 65 ayat 1 KUHP.

EVALUASI

Identifikasi main stakeholders

Masyarakat Indonesia

Tindakan korupsi telah merugikan negara dan pada akhirnya memberikan dampak pada
masyarakat

Pemerintah

Pemerintah berkepentingan untuk melindungi kesejahteraan rakyatnya dan menegakan hukum.

Bulog

Pihak yang melakukan tindak korupsi (Tommy Soeharto, Widjanarko, dst)

Analisa atas keputusan yang diambil dengan menggunakan Moral Standards Approach for
Ethical Decision Making (EDM), yaitu:

Utilitarian
Keputusan yang diambil untuk melakukan tindakan tersebut lebih menghasilkan biaya dari pada
keuntungan dimana misalnya masyarakat Indonesia dirugikan sementara pihak yang diuntungkan
dalam kasus tersebut hanya segelintir orang (Keputusan yang diambil tidak menghasilkan net
good untuk semua stakeholders)

Keadilan

Keputusan yang diambil untuk melakukan tindakan tersebut tidak memberikan keadilan bagi
pihak-pihak yang dirugikan

Hak Individu

Keputusan yang diambil unutk melakukan tindakan tersebut telah mengorbankan hak-hak dari
stakeholders lainnya seperti misalnya hak dari Hakim Agung untuk menjalankan tugasnya sesuai
dengan hukum yang berlaku di Indonesia

Berdasarkan kasus-kasus di atas dapat disimpulkan bahwa berbagai tindakan korupsi yang
dilakukan oleh pihak-pihak dalam Bulog tidak sesuai dengan nilai-nilai dasar Perum Bulog yaitu

1. KUALITAS

Perusahaan dengan seluruh jajaran manajemen dan pegawai sepakat untuk berorientasi pada
kualitas produk dan pelayanan pada rakyat (konsumen) sesuai dengan visi dan misi.

2. INTEGRITAS

Keutuhan pribadi, manajemen dan organisasi yang mencerminkan konsistensi antara prinsip
dengan perilaku.

3. TEAM WORK

Seluruh unit kerja dan karyawan bergerak fokus dan total secara terintegrasi dalam rangka
pencapaian visi dan misi perusahaan.

4. INOVATIF

Kemampuan untuk berfikir dan mengembangkan nilai-nilai kreatifitas dan inovasi dalam
bekerja.

5. RESPONSIF

Kemampuan perusahaan untuk mengambil keputusan dan melakukan upaya-upaya preventif


maupun kuratif dalam menghadapi setiap perubahan lingkungan strategis. Pada tingkat invidivu,
nilai ini direfleksikan oleh sikap awareness yang tinggi terhadap setiap kebijakan perusahaan.
Pertanyaan

Dari sekian banyak kasus yang terjadi di bulog, terlihat bahwa kesempatan untuk melakukan
korupsi sangat besar, Mengapa? Adakah solusi untuk mengatasinya?

Kesimpulan

Kekuasaan Orde Baru yang berlangsung selama 32 tahun, telah menimbulkan budaya gelap di
dalam masyarakat Indonesia: Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN). Begitu mendalamnya
budaya tersebut telah mendarah-daging di kalangan para pejabat dari tingkat atas sampai ke
bawah, nyaris semua tindakan KKN telah dianggap suatu hal yang lumrah, tanpa konsekwensi
apa-apa. Tidak mengherankan banyak tindak pidana korupsi di beberapa kementerian semuanya
berakhir lolos secara mulus berkat perlindungan presiden Soeharto. Tindak korupsi
dikategorikan sebagai kesalahan administrasi, yang setelah uang hasil korupsi dikembalikan,
semua pekara dianggap selesai.

Dana Non-Bujeter Bulog pada jaman Orde Baru telah menjadi sumber perampokan penguasa
terhadap kekayaan rakyat. Dana tersebut dianggapnya sebagai angin segar bagi para pejabat
pemerintah. Pada jaman reformasi dewasa ini di mana transparansi berjalan relatif baik, bisa
diharapkan satu demi satu terkuaklah para penjahat-penjahat KKN. Rakyat yang sudah tidak bisa
dibodohi lagi tentu akan terus mengadakan monitoring dengan jeli terhadap para pejabat, tidak
pandang apakah dia menteri, ketua DPR, ketua MPR dan lain-lainnya. Selihai-lihainya maling
menyelinap, akhirnya tentu akan terungkap dan tertangkap.

Kasus korupsi yang banyak terjadi di dalam bulog baik tingkat pusat maupun tingkat daerah,
membuat banyak kita semua berpikir bagaimana cara untuk mengurangi gejala korupsi di dalam
lingkungan bulog ini.

Ada beberapa saran yang mungkin bisa dilakukan untuk mengurangi korupsi di dalam
lingkungan bulog:

1. salah satunya dengan melakukan reorganisasi pada struktur organisasi bulog misalnya seperti
yang pernah dilakukan pada kantor Direktorat Jendral Pajak, dimana reorganisasi dilakukan
secara bertahap, misalnya pada level terbawah dulu dengan penggantian staf staf pada level
bawah, lalu diikuti oleh level berikutnya. Dan kemudian me-revisi semua system dan prosedur
yang diperlukan dengan meningkatkan control sehingga menghasilkan organisasi yang lebih
banyak manfaatnya daripada kejahatan di dalamnya.

2. Perlunya merevisi diri kita masing-masing dengan mengganti budaya yang sudah membumi di
Negara kita ini. Jika setiap orang di Indonesia dapat berkembang dan terdidik sebagai pribadi
yang memiliki etika yang baik maka budaya korupsi yang sudah mengakar dalam pemerintahan
Indonesia dapat di berantas sedikit demi sedikit. Sehingga Bangsa kita bisa menjadi bangsa yang
pintar dan bermartabat.
3. Perlu dilakukan audit fraud risk management pada organisasi bulog bagi untuk yang bersifat
keuangan dan non keuangan agar dapat menjaga dan mengawasi kinerja bulog. Diharapkan
dengan adanya kontrol dalam bulog bisa mengatur bulog untuk menjalankan tugasnya
sebagaimana mestinya.

Anda mungkin juga menyukai