Anda di halaman 1dari 17

makalah antropologi : KEBUDAYAAN

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut kamus besar bahasa indonesia (KBBI) kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan
manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta
pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya. Dan secara etimologi, kata
kebudayaan berasal dari kata budaya berasal dari kata sangsakerta buddayah yang merupakan
bentuk jamak dari kata budhi yang berarti budi dan akal,dengan kata lain kebudayaan diartikan
sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal. Budaya terbagi atas ranah sosial dan
individual. Pada ranah sosial dikarenakan budaya lahir ketika manusia bertemu dengan manusia
lainnya dan membangun kehidupan bersama yang lebih baik sekedar pertemuan-pertemuan
incidental. Sedangkan dalam ranah individual karna budaya diawali ketika individu-individu
bertemu masing dan saling memberi pengaruh. Individu membawa budayanya pada setiap
tempat dan situasi di kehidupannya sekaligus mengamati dan belajar budaya lain dari individu
lain yang saling berinteraksi dan selanjutnya dibawa pulang pada budaya aslinya, dan
mengembangkan budaya tersebut.
Sejalan dengan derasnya arus modernisasi dan globalisasi, budaya-budaya daerah kian
memudar dan terpinggirkan oleh budaya-budaya yang masuk dalam tubuh budaya kita yang
dominan berasal dari budaya barat . sehingga dari akibat tersebut dapat menimbulkan berbagai
macam masalah diindonesia, antara lain adanya perbedaan karakter kepribadian budaya barat
dengan budaya indonesia yang dapat merusak budaya indonesia yang juga dapat mengakibatkan
pembentukan kepribadian yang kurang baik akibat pergeseran nilai-nilai kebudayaan yang ada.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi rumusan masalah pada makalah ini
adalah :
1. Bagaimana defenisi kebudayaan menurut ilmu antropologi?
2. Bagaimana wujud kebudayaan?
3. Bagaimana adat istiadat?
4. Apa yang menjadi unsur-unsur kebudayaan?
5. Bagaimana integritas kebudayaan?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Defenisi Kebudayaan Menurut Ilmu Antropologi


Cara hidup manusia dengan berbagai macam sistem tindakan tadi dijadikan sebagai objek
penelitian dan analisis oleh ilmu antropologisehingga aspek belajar merupakan aspek pokok.
Itulah sebabnya dalam hal memberi pembatasan terhadap konsep kebudayaan atau culture,
ilmu antropologi berbeda dengan ilmu lain. Kalau dalam bahasa sehari-hari kebudayaan hanya
dibatasihanya pada hal-hal yang indah(seperti candi, tari-tarian, seni rupa, seni suara,
kesusasteraan, dan filsafat) saja. Sedangkan ilmu antropologi jauh lebih luas sifat daan ruan
lingkupnya. Menurut ilmu antropologi, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan,
tundakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri
manusia dengan belajar.
Hal tersebut berarti bahwa hampir seluruh tindakan manusia adalah kebudayaan karena
hanya sedikit tindakan manusia dalam kehidupan masyarakat yang tidak perlu dibiasakan dengan
belajar,yaitu hanya beberapa tindakan naluri, beberapa refleks, beberapa tindakan akibat proses
fisiologi, atau kelakuan membabi buta. Bahkan berbagai tindakan manusia yang merupakan
kemampuan naluri terbawa dalam gen bersama kelahirannya (seperti makan, minum, atau belajar
dengan kedua kakinya), juga dirombak olehnya menjadi tindakan berkebudayaan. Manusia
makan pada waktu-waktu tertentu yang dianggapnya wajar dan pantas, ia makan dan minum
dengan alat-alat, cara-cara dan sopan santun dan protokol yang sering kali sangat rumit, harus
dipelajarinya dahulu dengan susah payah. Manusia berjalan tidak hanya menurut wujud
biologisnya yang telah ditentukan oleh alam, tetapi merombak cara berjalannya dengan gaya
seperti prajurit, berjalan dengan lemaah lembut, berjalan seperti peragawati dan sebagainya, yang
semuanya dipelajari dahulu.
Defenisi yang menganggap bahwa kebudayaan dan tindakan itu adalah segala tindakan
yang harus dibiasakan oleh manusia dengan belajar (learned behavior), juga diajukan oleh
beberapaoleh ahli antropologi terkenal seperti C. Wissler, C. Kluckhohn, A. Davis, atau A.
Hoebel. Defenisi yang mereka ajukan hanya beberapa saja diantara banyak defenisi lain yang
pernah diajukan, tidak hanya para sarjana antropologi, tetapi juga oleh para sarjana ilmu-ilmu
lain seperti sosiologi, filsafat, sejarah, dan kesusasteraan. Dua orang sarjana antropologi, A.L.
Kroeber dan C. Kluckhohn, pernah mengumpulkan sebanyak mungkin defenisi tentang
kebudayaan yang pernah dinyatakan orang dalam tulisan, dan ternyata bahwa ada paling sedikit
160 buah defenisi. 160 buah defenisi itu kemudian mereka analisis, dicari latar belakang, prinsip,
dan intinya, kemudian diklasifikasikan ke dalam beberapa tipe defenisi. Hasil penelitian
mengenai defenisi kebudayaan tadi diterbitkan menjadi buku berjudul: Culture, A Citical Review
of Consept Definitions (1952).
2.1.1 Kebudayaan (Culture) dan Peradabaan
Kata kebudayaan berasal dari kata sansekerta buddhayah,yaitu bentuk jamak dari buddhi
yang berarti budi atau akal. Dengan demikian ke-budaya-an dapat diartikan hal-hal yang
bersangkutan dengan akal. Ada sarjana lain yang menghapus kata budaya sebagai suatu
perkembangan dari kata majemuk budi-daya, yang berarti daya dan budi. Karena itu mereka
membedakan budaya dan kebudayaan. Demikianlah budaya adalah daya dan budi yang
berupa cipta, karsa, dan rasa itu. Dalam istilah antropologi-budaya perbedaan itu ditiadakan.
Kata budaya disini hanyalah dipakai sebagai suatu singkatan saja dari kebudayaan dengan
arti yang sama.
Kata culture merupakan kata asing yang sama artinya dengan kebudayaan. Berasal dari
kata latin colere yang berarti mengolah, mengerjakan, terutama mengolah tanah atau bertani.
Dari arti ini berkembang arti culture sebagai segala daya upaya serta tindakan manusia untuk
mengolah tanah dan mengubah alam.
Disamping istilah kebudayaan ada pula istilah peradaban. Hal yang terakhir adalah sama
dengan istilah Inggris civilization. Istilah tersebut biasa dipakai untuk menyebut bagian dan
unsur dari kebudayaan yang halus, maju, dan indah, misalnya: kesenian, ilmu pengetahuan, adat
sopan-santun dan pergaulan, kepandaian menulis, organisasi kenegaraan dan sebagainya. Istilah
peradaban sering juga dipakai untuk menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai suatu
sistem kenegaraan dari masyarakat kota yang maju dan kompleks.

2.1.2 Sifat Superorganik dari Kebudayaan


Manusia berevolusi dalam jangka waktu lebih-kurang empat juta tahun lamanya. Pada saat
ia muncul di muka bumi, tentu telah ada benih-benih dari kebudayaan. Telah ada bahasa sebagai
alat komunikasi untuk perkembangan sistem pembagian kerja dan interaksi antara warga
kelompok. Tentu saja ada kemampuan akal manusia untuk mengembangkan konsep-konsep yang
makin lama makin tajam, yang dapat disimpan dalam bahasa, dan bersifat akumulatif. Mungkin
ketika itu juga sudah ada alat-alatnya yang pertama, berupa sebatang kayu untuk tongkat pukul,
segumpal batu untuk senjata lempar. Kemudian batang-batang kayu diperuncing olehnya
sehingga selain senjata pukul, juga dapat berfungsi sebagai senjata tusuk, dan gumpal-gumpal
batu yang dipertajam pada sisi belahannya dapat juga berfungsi sebagai alat potong.
Dengan benih-benih kebudayaan berupa kemampuan akal dan beberapa peralatan
sederhana itu, manusia dapat hidup selama 2 juta tahun. Kebudayaan berevolusi dengan lambat,
sejajar dengan evolusi organismenya, dan baru 200.000 tahun kemudian tampak sedikit
kemajuan ketika penemuan alat-alat sekitar fosil-fosil homo neandertal terlihat, bahwa
kebudayaan manuisa telah bertambah dengan kemampuan untuk menguasai api dan
mempergunakan energinya, serta kepandain untuk membuat gambar-gambar pada dinding gua,
yang berarti bahwa manusia mulai mengembangkan kesenian. Berhubungan dengan itu, mungkin
juga mengenai konsep-konsep dasar mengenai religi.
Namun setelah zaman itu, tampak bahwa evolusi kebudayaan manusia menjadi agak cepat
jika dibandingkan dengan evolusi organiknya. Kalau 12.000 tahun kemudian bentuk organisme
manusia berubah dari bentuk homo neandertal menjadi bentuk homo sapiens seperti manusia
sekarang, maka kebudayaan juga tampak banyak kemajuan. Variasi bentuk alat-alat batunya
bertambah banyak dan mantap. Manusia telah memakai alat-alat batu seperti bilah yang kecil,
yang dipasang pada alat-alat kayu atau bambu yang telah ada, sehingga kemampuan
teknologinya menjadi lebih rumit.
Kemudian hanya 50.000 tahun setelah itu, ketika dalam proses evolusi organik tampak
perbedaan beragam ras, maka dalam proses evolusi kebudayaan telah tampak alat-alat teknologi
rumit seperti busur panah. Adapun suatu perkembangan yang meloncat cepat adalah ketika
dalam waktu hanya 20.000 tahun saja,berkembang kepandaian untuk bercocok tanam.
Dengan peristiwa berkembangnya kepandaian bercocok tanam itu,manusia mengalami
suatu waktu revolusi atau perubahan yang mendadak dalam kebudayaan dan cara hidupnya, Ia
tidak lagi berpindah-pindah daari suatu perkemahan keperkemahan yang lain untuk mencari
tempat kawanan buruannya.Ia telah mulai membentuk desa-desa, konsenstrasi tempat-tempat
tinggal menetap, dan mengembangkan masyarakat dengan organisasi sosial yang mempunyai
dasar dan susunan yang sangat berbeda daripada organisasi sosial dari masyarakat ketika ia
hidup dalam kelompok-kelompok berburu yang kecil. Ia mulai dapat membuat alat-alat yang
lebih banyak tanpa menghadapi masalah pengangkutan benda-benda itu bila ia harus berpindah-
pindah memburu binatang. Dengan demikian, kepandaian membuat periuk belanga yang terbuat
dari tanah liat mulai berkembang, juga kepandaian membuat rumah-rumah atap,memenun dan
sebagainya.
Setelah revolusi bercocok tanam dan kehidupan mantap,juga menyebabkan meloncatnya
pertumbuhan jumlah manusia, dalam jangka separohnya dari jangka waktu proses perkembangan
bercocok tanam, yaitu 6.000 tahun kemudian,telah timbul suatu revolusi atau perubahan
mendadak yang baru lagi dalam proses perkembangan kebudayaan,yaitu revolusi perkembangan
masyarakat kota. Peristiwa itu pertama-tama di Pulau Kreta, kira-kira pada tahun 4.000 S.M.,di
daerah subur di perairan sungai-suingai Tigris dan Eufrat ( daerah sekarang menjadi negara Siria
dan Irak), di daerah muara Sungai Nil (daerah yang sekarang menjadi Mesir sekitar kota Kiro).
Proses perubahan kebudayaan kemudian betambah cepat lagi,dan banyak unsur baru
dengan suatu ragam yang besar di berbagai tempat di dunia, berkembang dalam jangka waktu
hanya 5.500 tahun setelah itu. Hingga kira-kira sekitar tahun 1.500 M.,beberapa tokoh bangsa-
bangsa di Eropa Barat mengembangkan teknologi dan ilmu pengetahuan baru. Hanya dalam
waktu 200 tahun saja,yaitu pada paroh kedua abad ke-18 sampai abad ke-20 ini, kebudayaan
manusia mengalami suatu revolusi ketiga, yaitu Revolusi Industri. Dalam proses perubahan
mendadak itu perubahan manusia, terutama mengenai unsur-unsur teknologi dan peralatan
fisiknya, dan juga mengenai organisasi sosial dan kehidupan rohaninya suda menjadi sedemikian
kompleksnya sehingga manusia sendiri hampir tidak dapat lagi mengendalikan dan
menguasainya. Kecepatan perkembangan kebudayaannya itu suda menjadi beberapa ratus kali
lipat.
Apabila proses evolusi dan perkembangan kebudayaan manusia itu kita bandingkan
dengan evolusi organismenya, dengan cara menggambar dua garis grafik yang sejajaar,artinya
sama cepaatnya. Tetapi kemudian garis evolusi kebudayaan itu tadi,pada tempat yang
menandakan waktu kira-kira 80.000 tahun lalu dipakai,waktu terjadinya homo sapiens, mulai
melepaskan diri dari garis evolusi organisme manusia. Dengan melalui dua peristiwa revolusi
kebudayaan, yaitu revolusi pertanian dan revolusi perkotaan, proses perkembangan tampak
membumbung tinggi dengan suatu kecepatan yang seolah-olah tidak dapat dikendalikan sendiri,
dalam waktu hanya 200 tahun saja, melalui peristiwa yang disebut revolusi industri. Proses
perkembangan kebudayaan yang seolah-olah melepaskan diri dari evolusi organik, dan terbang
sendiri membumbung tinggi ini,merupakan proses yang oleh ahli antropologi A.L. Kroeber
disebut proses perkembangan superorganic dari kebudayaan.
2.2 Tiga Wujud Kebudayaan
Talcott Parsons bersama dengan ahli antropologi A.L. Kroeber pernah menganjurkan untuk
membedakan wujud kebudayaan sebagai suatu sistem dari ide dan konsep dari wujud
kebudayaan sebagai suatu rangkaian tindakan dan aktifitas manusia yang berpola. Serupa dengan
J.J. Honigmann yang dalam buku pelajaran antropologinya, berjudul The World of Man (1959:
hlm. 11-12) membedakan adanya tiga gejala kebudayaan yaitu:
1. Ideas
2. Activities
3. Artivacts
Pengarang berpendirian bahwa kebudayaan itu ada tiga wujud:
1. Wujud kebudayaan sebagai kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma, peraturan dan sebagainya.
2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktifitas serta tindakan berpola dari manusia dalam
masyarakat.
3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Wujud pertama adalah wujud ideal dari kebudayaan. Sifatnya abstrak, tidak dapat diraba atau
difoto. Lokasinya ada dalam kepala atau dengan perkataan lain, dalam alam pikiran warga
masyarakat tempat kebudayaan bersangkutan itu hidup. Kalau warga masyarakat menyatakan
gagasan mereka tadi dalam tulisan maka lokasi dalam kebudayaan ideal sering berada dalam
karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat bersangkutan. Sekarang
kebudayaan ideal juga banyak tersimpan dalam disket, arsip, koleksi mikrofilm dan mikrofish,
kartu komputer, silinder dan pita komputer.
Ide dan gagasan manusia banyak yang hidup bersama dalam suatu masyarakat, memberi jiwa
kepada masyarakat itu. Gagasan itu satu dengan yang lain selalu berkaitan menjadi satu sistem.
Para ahli antropologi dan sosiologi menyebut sistem ini sistem budaya atau cultural sistem.
Dalam bahasa Indonesia terdapat juga istilah lain yang sangat tepat untuk menyebut wujud ideal
dari kebudayaan ini, yaitu adat atau adat-istiadat untuk bentuk jamaknya.
Wujud kedua dari kebudayaan disebut sistem sosial atau social sistem, mengenai tindakan
berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang
berinteraksi, berhubungan, dan bergaul satu sama lain dari detik ke detik, dari hari ke hari, dan
dari tahun ke tahun, selalu menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan.
Sebagai rangkaian aktivitas manusia-manusia dalam suatu masyarakat, sistem sosial itu bersifat
konkrit, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasi
Wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik. Berupa seluruh hasil fisik dan
aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat. Sifatnya paling konkret dan
berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan difoto. Ada benda-benda
kompleks dan canggih, seperti komputer yang berkapasitas tinggi; atau benda-benda yang
bergerak seperti kapal atau perawat; ada bangunan hasil seni arsitek seperti candi yang indah;
atau ada pula benda-benda yang kecil seperti kain batik, atau yang lebih kecil lagi kancing baju.
Ketiga wujud dari kebudayaan terurai tadi, dalam kenyataan kehidupan masyarakat tentu
tidak terpisah satu dengan yang lain. Kebudayaan dan adat-istiadat mengatur dan memberi arah
kepada manusia. Baik pikiran-pikiran dan ide-ide, maupun tindakan dan karya manusia,
menhasilkan benda-benda kebudayaan fisiknya. Sebaliknya kebudayaan fisik membentuk suatu
lingkungan hidup tertentu yang makin lama makin menjauhkan manusia dari lingkungan
alamiahnya sehingga mempengaruhi pula pola-pola perbuatannya, bahkan juga cara berpikirnya.

2.3 Adat-Istiadat
2.3.1 Sistem Nilai Budaya, Pandangan Hidup, dan Ideologi
Sistem nilai budaya merupakan tingkat yang paling tinggi dan yang paling abstrak dari
adat-istiadat. Hal itu disebabkan karena nilai budaya merupakan konsep-konsep mengenai suatu
yang ada dalam alam pikiran sebagian besar dari masyarakat yang mereka anggap bernilai,
berharga, dan penting dalam hidup sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang
memberi arah dan orientasi pada kehidupan para warga. Masyarakat tadi.
Walaupun nilai budaya berfungsi sebagai pedoman hidup manusia dalam masyarakat,tapi
sebagai konsep,suatu nilai budaya itu bersifat sangat umum, mempunyai ruang lingkup yang
sangat luas,dan biasanya sulit diterangkan secara rasional dan nyata. Namun,justru karena
sifatnya yang umum,luas dan tidak kongkret itu,maka nilai-nilai dalam suatu kebudayaan berada
dalam daerah emosional dari alam jiwa individu yang menjadi warga kebudayaan yang
bersangkutan. Selain itu, para individu tersebut sejak kecil telah diresapi dengan nilai budaya
yang hidup dalam masyarakatnya sehingga konsep-konsep itu sejak lama telah berakar dalam
alam jiwa mereka. Itulah sebabnya nilai-nilai budaya dalam suatu kebudayaan tidak dapat diganti
dengan nilai-nilai budaya yang lain dalam waktu singkat, dengan cara mendiskusikannya secara
rasional.
Dalam tiap masyarakat, baik yang komleks maupun yang sederhana, ada sejumlah nilai
budaya satu dengan yang lain yang berkaitan hingga merupakan suatu sistem. Sistem itu sebagai
pedoman dari konse-konsep ideal dalam kebudayaan yang memberi motivasi kuat terhadap arah
kehidupan warga masyarakatnya.
Menurut seorang ahli antropologi terkenal, C. Kluckhohn tiap sistem nilai budaya dalam
tiap kebudayaan mengandung lima masalah dasar dalam kehidupan manusia. Atas dasar konsepsi
itu, bersama dengan isterinya, F. Kluckhohn, ia mengembangkan suatu kerangka yang dapat
dipakai oleh para ahli antropologi untuk menganalisis secara universal tiap variasi dalam sistem
nilai budaya semua macam kebudayaan yang terdapat di dunia. Menurut C. Kluckhohn, kelima
masalah daasar dalam kehidupan manusia yang menjadi landasan bagi kerangka variasi sistem
nilai budaya adalah:
1. Masalah hakikat dari hidup manusia (selanjutnya disingkat MH).
2. Masalah hakikat dari karya manusia (selanjutnya disingkat MK).
3. Masalah hakikat dari kedudukan manusia dalam ruang waktu (selanjutnya disingkat MW).
4. Masalah hakikat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya selanjutnya disingkat MA).
5. Masalah hakikat dari hubungan manusia dengan sesamanya (selanjutnya disingkat MM).
Cara berbagai kebudayaan di duniamengonsepsikan kelima masalah universal tersebut
berbeda-beda walaupun kemungkinan untuk bervariasi itu terbatas adanya. Misalnya mengenai
masalah pertama (MH), ada kebudayaan yang memandang hidup manusia pada hakikatnya suatu
hal yang buruk dan menyedihkan, karena itu harus dihindari. Kebudayaan-kebudayaan yang
terpengaruh oleh agama Budha misalnya dapat mengonsepsikan hidup itu sebagai suatu hal yang
buruk. Pola tindakan manusia akan mementingkan segala usaha untuk menuju ke arah tujuan
untuk dapat memedamkan hidup itu (nirvana = meniup habis), dan meremehkan segala tingkatan
yang hanya mengekalkan rangkaian kelahiran kemballi (samsara). Adapun kebudayaan-
kebudayaan lain memandang hidup manusia itu pada hakikatnya buruk, tetapi manusia dapat
mengusahakan untuk menjadikan suatu hal yang baik dan mengembirakan.
Mengenai masalah kedua (MK), ada kebudayaan yang memandang bahwa karya manusia
pada hakikatnya bertujuan untuk memungkinkan hidup; kebudayaan lain lagi menganggap
hakikat dari karya manusia itu untuk memberikannya suatu kedudukan penuh kehormatan dalam
masyarakat; sedangkan kebudayaan-kebudayaan lain lagi menganggap hakikat karya manusia itu
sebagai suatu gerak hidup yang harus menghasilkan lebih banyak karya lagi.
Kemudian mengenai masalah ketiga (MW), ada kebudayaan yang memandang bahwa
penting masa lampau dalam kehidupan manusia. Dalam kebudayaan serupa itu orang akan lebih
sering menjadikan pedoman tindakannya contoh-contoh atau kejadian-kejadian dalam masa
lampau. Sebaliknya, ada banyak pula kebudayaan di mana orang hanya mempunyai suatu
pandangan waktu yang sempit. Warga dari suatu kebudayaan serupa itu tidak akan memusingkan
diri dengan memikirkan zaman yang lampau ataupun masa yang akan datang. Mereka hidup
menurut keadaan pada masa sekarang ini. Kebudayaan-kebudayaan lain lagi justru
mementingkan pandangan yang berorientasi sejauh mungkin terhadap masa yang akan datang.
Dalam kebudayaan yang serupa itu perencanaan hidup menjadi suatu hal yang amat penting.
Selanjutnya mengenai masalah keempat (MA), ada kebudayaan yang memandang alam
sebagai suatu hal yang begitu dahsyat sehingga manusia pada hakikatnya hanya dapat bersifat
menyerah saja tanpa dapat berusaha banyak.Sebaliknya, banyak pula kebudayaan lain yang
memandang alam sebagai suatu hal yang dapat dilawan oleh manusia, dan mewajibkaan manusia
untuk selalu berusaha menaklukan alam.Kebudayaan lain juga menganggap bahwa manusia
hanya dapat berusaha mencari keselarasan dengan alam.
Akhirnya mengenai masalah kelima(MM) ada kebudayaan yang sangat mementingkan
hubungan vertikal antara manusia dan sesamanya. Dalam tingkah lakunya manusia yang hidup
dalam suatu kebudayaan serupa itu akan berpedoman kepada tokoh-tokoh pemimpin, orang-
orang senior, atau atasan. Kebudayaan lain lebih mementingkan hubungan horisontal antara
manusia dengan sesamanya. Orang dalam suatu kebudayaan serupa itu akan sangat merasa
tergantung kepada sesamanya. Usaha untuk memelihara hubungan baik dengan tetangganya
dengan sesamanya merupakan suatu hal yang dianggap sangat penting dalam hidup. Selain itu
ada banyak kebudayaan k\lain yang tidak membenarkan anggapan bahwa manusia itu tergantung
kepada orang lain dalam hidupnya. Kebudayaan serupa itu, sangat mementingkan
individualisme, menilai tinggi anggapan bahwamanusia harus berdiri sendiri dalam hidupnya,
dan sedapat mungkin mencapai tujuannya dengan bantuan orang lain.
2.3.2 Adat-istiadat, Norma, dan Hukum
Nilai budaya sebagai pedoman yang memberi arah dan orientasi terhadap hidup, bersifat
sangat umum. Sebaliknya, norma yang berupa aturan-aturan untuk bertindak bersifat khusus,
sedangkan perumusanya bersifat terperinci, jelas, tegas, dan tidak meragukan. Hal itu seharusnya
demikian, sebab kalau terlampau kabur perumusannya, maka norma tersebut tidak dapat
mengatur tindakan individu dan membingungkan individu bersangkutan.
Norma-norma yang khusus itu dapat dapat digolongkan menurut pranata yang ada di
masyarakat seperti pranata ilmiah, pranata pendidikan, pranata peradilan, pranata ekonomi,
pranata kesenian atau estetika, pranata keagamaan, dan sebagainya. Sejajar dengan adanya
beragam pranata itu ada juga norma ilmiah, norma pendidikan, norma politik, norma peradilan,
norma ekonomi, norma kesenian atau estetika, norma agama, dan sebagainya.
Norma-norma dalam rangka satu pranata dan sub-subpranata erat kaitannya satu sama lain,
dan juga merupakan karena merupakan suatu sistem yang terintegrasi. Selain itu norma-norma
dalam suatu pranata sudah tentu berkaitan dengan norma-norma dalam pranata-pranata lain yang
bedekatan, menjadi sistem-sistem yang lebih luas. Sistem-sistem yang lebih luas itu dapat kita
sebut unsur-unsur kebudayaan universal.
Berdasarkan pengertian yang dicapai suatu usaha perbandinga secara cross-cultural
terhadap kasus-kasus hukum yang serupa 32 kebudayaan lain dan berbagai yang tersebar luas di
muka bumi (bahan ini tentu tidak dikumpulkan oleh dengan mengunjungi tiap-tiap dari ke-32
daerah itu sendiri, tetapi dari studi di perpustakaan dan dengan menggunakan arsip etnografi
yang terkenal dengan nama Human Relation Area Files). Hasil dari analisis komparatif yang
amat luas tadi adalah suatu teori tentang batas antara adat dan hukum adat, yang singkatnya
berbunyi sebagai berikut :
1. Hukum adalah suatu aktivitas di dalam rangka suatu kebudayaan yang mempunya fungsi
pengawasan sosial. Untuk membedakan suatu aktivitas itu dari aktivitas-aktivitas kebudayaan
lain yang mempunyai fungsi serupa dalam sesuatu masyarakat, seseorang peneliti harus mencari
adanya empat ciri dari hukum, atau Atributes of Law.
2. Attributes yang terutama disebut attribute of authority. Atribut otoritas atau kekuasaan
menentukan bahwa aktivitas kebudayaan yang disebut hukum itu adalah keputusan-keputusan
melalui suatu mekanisme yang diberi wewnanh dan kekuasaan dalam masyarakat. Keputusan-
keputusan itu memberi pemecahan terhadap ketegangan sosial yang disebabkan karena misalnya
ada: (i) serangan-serangan terhadap diri individu; (ii) serangan-serangan terhadap orang; (iii)
serangan-serangan terhadap pihak yang berkuasa; (iv) serangan-serangan terhadap keamanan
umu.
3. Attribute yang kedua adalah attribute of intention of universal application. Atribut ini
menentukan bahwa keputusan-keputusan dari pihak yang berkuasa itu harus dimaksudkan
sebagai keputusan-keputusan yang mempunyai jangka waktu panjang dan harus dianggap
berlaku juga terhadap peristiwa serupa dalam masa yang akan datang.
4. Attribute yang ketiga disebut attribute of obligation. Atribut ini menentukan bahwa keputusan-
keputusan dari pemegang kuasa harus mengandung perumusan dan kewajiban pihak kesatu
terhadap pihak kedua, tetapi juga dari pihak kedua yang harus dipenuhi oleh pihak kesatu. Dalam
hal ini pihak kesatu dan pihak kedua harus terdiri dari individu-individu yang hidup. Kalau
keputusan tidak mengandung perumusan dari kewajiban maupun dari hak tadi, maka keputusan
tidak akan ada akibatnya dan karena itu tidak akan merupakan keputusan hukum; dan kalau
pihak kedua itu misalnya nenek moyang yang sudah meninggal, maka keputusan yang
menentukan kewajiban pihak kesatu terhadap pihak kedua itu bukan keputusan hukum,
melainkan hanya suatu keputusan yang merumuskan suatu kewajiban kegamaan
5. Attribute yang keempat dusebut attribute of sanction, dan menentukan bahwa keputusan-
keputusan dari pihak berkuasa itu harus dikuatkan dengan sanksi dalam arti seluas-luasnya.
Sanksi itu bisa berupa sanksi jasmania berupa hukuman tubuh dab deprivasi dari milik, selain itu
juga berupa sanksi rohani seperti menimbulkan rasa takut, rasa malu, rasa dibenci dan
sebagainya
Demikianlah teori L. popisili mengenai ciri-ciri hukum adat yang memberi pembatasan
antara adat dan hukum adat. Teori itu termaktub dalam disertainya yang berjudul The Kapauku
Papuans and Their Law (1956).
2.4 Unsur-unsur Kebudayaan
Para sarjana antroplogi yang biasa menanggapi suatu kebudayaan (misalnya kebudayaan
Minangkabau, kebudayaan Bali, atau kebudayaan Jepang) sebagai suatu keseluruhan yang
terintegrasi, ketika hendak menganalisis membagi keseluruhan itu kedalam unsur-unsur besar
yang disebut unsur-unsur kebudayaan universal atau cultural universal. Istilah universal itu
menunjukan bahwa unsur-unsur tadi bersifat universal, jadi unsur-unsur tadi ada dan biasa
didapatkan didalam semua kebudayaan dari semua bangsa dimanapun di dunia. Mengenai
defenisi cultural universal itu, ada beberapa pandangan yang berbeda di antara para sarjana
antropologi. Berbagai pandangan yang berbeda itu serta alasan perbedaannya diuraikan oleh C.
Kluckhohn dalam sebuah karangan berjudul Universal Categories of Culture (1953). Dengan
mengambil satu dari berbagai kerangka tentang unsur-unsur kebudayaan universal yang disusun
oleh beberapa sarjana antropologi itu, maka penulis berpendapat bahwa ada tujuh unsur
kebudayaan yang dapat ditemukan pada semua bansa di dunia. Ketujuh unsur yang dapat kita
sebut sebagai isi pokok dari tiap kebudayaan di dunia itu adalah:
1. Bahasa,
2. Sistem pengetahuan,
3. Organisasi sosial,
4. Sistem peralatan hidup dan teknologi,
5. Sistem mata pencaharian hidup,
6. Sistem religi
7. Kesenian
Tiap-tiap unsur kebudayaan universal sudah tentu saja menjelma dalam tiga wujud
kebudayaan terurai diatas,yaitu wujudnya beberapa sistem budaya, berupa sistem sosial,dan
berupa unsur-unsur kebudayaan fisik. Dengan demikian, sistem ekonomi misalnya mempunyai
wujud sebagai konsep,rencana,kebijaksanaan,adat istiadat yang berhubungan dengan
ekonomi,tetapi mempunyai juga wujudnya yang berupa tindakan dan interaksi berpola antara
produsen,tengkulak,pedagang,ahli transportasi,pengecer dan konsumen,dan selain itu dalam
sistem ekonomi terdapat juga unsur-unsunya yang berupa peralatan,komoditi,dan benda
ekonomi. Demikian juga sistem religi misalnya mempunyai wujud sebagai sistem keyakinan,dan
gagasan tentang tuhan,dewa,roh halus,neraka,surga dan sebagainya,tetapi mempunyai juga
wujud berupa upacara,baik yang bersifat muslim,maupun yang kadangkala, dan selain itu setiap
sistem religi juga mempunyai wujud sebagai benda-benda suci dan benda-benda religius. Contoh
lain adalah unsur universal kesenian yang dapat berwujud gagasan,ciptaan pikiran,ceritera dan
gagasan yang indah. Namun kesenian juga dapat berwujud tindakan-tindakan interaksi berpola
antara seniman pencipta,seniman penyelenggara,sponsor penyelenggara,pendengar,penonton,dan
konsumen hasil kesenian;tetapi selain itu kesenian juga berupa benda-benda indah,candi,kain
tenun yang indah,benda kerajinan,dan sebagainya.
Kerangka mengenai ketujuh unsur kebudayaan universal itu biasanya juga dipakai oleh para
penulis etnografi sebagai contoh untuk menyusun daftar isi buku etnografi. Dengan membawa
kerangka itu ke lapangan untuk mengumpulkan data etnografi, seorang sarjana antropologi sudah
mengetahui sebelumnya unsur-unsu yang akan ditelitinya, sedangkan buklu laporan etnografinya
telah terdahulu dapat dibagi kedalam tujuh bab, sesuai dengan kerangka cultural universals tadi.

2.5 Integrasi Kebudayaan


2.5.1 Metode Holistik
Seorang sarjana antropologi tidak hanya bertugas menganalisis kebudayaan dengan
mengetahui berbagai cara untuk memerincinya kedalam unsur yang kecil,dan mempelajari
unsur-unsur kecil itu secara detail, tetapi ia juga bertugas untuk dapat memahami kaitan antara
tiap unsur kecil itu, dan ia juga harus mampu melihat kaitan atas setiap unsur keil itu dengan
keseluruhannya. Dengan perkataan lain, ia harus paham akan masalah integrasi dan unsur-unsur
kebudayaan.
Para ahli antropologi biasanya memakai istilah holostik (holistic) untuk menggambarkan
metode tinjauan yang mendekati suatu kebudayaan itu sebagai suatu kesatuan yang terintegrasi.
Ilmu antropologi memang telah mengembangkan beberapa konsep yang dapat dipakai untuk
memehami berbagai macam kaitan antara berbagai unsur kecil dalam suatu kebudayaan itu. Para
ahli antropologi tentu sudah sejak lama mengetahui akan adanya integrasi atau jaringan terkait
unsur-unsur kebudayaan itu. Namun kesadaran akan perlunya masalah integrasi kebudayaan itu
dipelajari secara mendalam, baru setelah tahun 1920 timbul, dean baru sesudah waktu itu
masalah integrasi menjadi bahan diskusi dalam teori. Dalam pada itu timbul beberapa konsep
untuk menganalisiss masalah integrasi kebudayaan, yaitu pikiran kolektif, fungsi unsur-unsur
kebudayaan, fokus kebudayaan, etos kebudayaan, dan kepribadian umum
2.5.2 Pikiran Kolektif
Sudah sejak akhir abad ke-19 ada seorang ahli sosiologi dan antropologi Prancis, bernama, E.
Durkheim, yang mengembangkan konsep represtation collectives (pikiran-pikiran kolektif)
dalam sebuah karangan berjudul Representation Individuelles et Representation Colectives
(1898). Cara Durkheim menguraikan konsep berpikir. Ia juga beranggapan bahwa aktivitas-
aktivitas dan proses-proses rohaniah, seperti: penangkapan pengalaman, rasa, sensasi, kemauan,
keinginan, dan lain-laain itu, terjadi dalam organ fisik dari manusia dan khususnya berpangkal di
otak dan sistem syarafnya. Akal manusia mempunyai kemampuan untuk menghubung-
hubungkan proses-proses rohaniah yang primer tadi melalui proses sekunder, menjadi bayangan-
bayangan; dan sejumlah dari semua bayangan tentang suatu hal yang khas, menjadi gagasan.
Suatu gagasan serupa itu oleh Durkheim disebut representation oleh karena gagasan berada
dalam alam pikiran seorang individu maka disebutnya representatation individuelle.
Gagasan seperti itu bisa juga dimiliki oleh lebih dari satu individu, bahkan juga oleh
sebagian besar dari warga suatu masyarakat, dalam hal itu sering kita berbicara gagasan umum
atau gagsan masyarakat, sedangkan Durkhei bicara tentang gagasan kolektif atau representation
collective. Kecuali itu Durkheim itu berpendapat bahwa suatu gagasan yang sudah dimiliki oleh
sebagian besar warga masyarakat bukan lagi berupa suatu gagasan tunggal menbenai suatu hal
yang khas, melainkan sudah berkaitan dengan gagasan lain yang sejenis menjadi suatu kompleks
gagasan-gagasan, sehingga ia selalu mempergunagan istilah representation colectives dalam
bentuk jamak. Untuk membedakan antara gagasan tunggal dengan kompleks berbagai gagasab
yang telah dimiliki oleh sebagian besar dari warga masyarakat.
Durkheim juga mengajukan suatu ciri yang sangat penting, yaitu apabila suatu kompleks
pikiran kolektif sudah terbentuk dan menjadi mantap, maka seluruh kompleks itu berada di luar
si individu. Hal itu disebabkan karena keseluruhan pikiran kolektif dan gagasan-gagasan yang
merupakan unsur-unsurnya itu akan tersimpan dalam bahasa sehingga walaupun individu-
individu yang mengembangkannya itu sudah meninggal, keseluruhan itu tetap dimiliki oleh
generasi berikutnya. Selain di luar individu, menurut Durkheim representation colectives itu juga
berada di atas para warga masyarakat, dalam arti bahwa representation itu menjadi pedoman
bagi tingkah laku atau tindakan bagi para warga masyarakat tadi.
Istillahistilah lain yang sering digunakan untuk menyambut konsep pikiran umum atau
pikiran kolektif tadi,adalah conviguration atau konfigurasi. Istilah itu mulah-mulah dipakai
seorang ahli linguistik dan antropilogi,E. Sapir dalam bukunya The Unconscious patterning of
bheavoir in society (1927) dalam arti yang kurang lebih sama dengan representations collectives
dari durkheim. Namun, istilah conviguration ini walaupun banyak dipakai kurang dikembangkan
lebih lanjut dalam ilmu antropologi.
2.5.3 Fungsi Unsur-unsur Kebudayaan
Aliran pemikiran mengnai masalah fungsi dari unsur-unsur kebudayaan terhadap kehidupan
suatu masyarakat, yang mulai timbul setelah tulisan Malinowski mengenai penduduk kepulauan
Trobrianad itu menarik pewrhatian umum, dan disebut aliran fungsionalisme. Dalam aliran itu
ada berbagai pendapat dari bebagai sarjana antropologo mengenai fungsi dasar dari unsur-unsur
kebudayaan. Adapun fungsi kebudayaan adalah Memuaskan suatu rangkaian hasrat naluri akan
kebutuhan hidup dan makhluk manusia dan kombinasi dan lebih dari satu hasrat.
2.5.4 Fokus Kebudayaan
Banyak kebudayaan mempunyai suatu unsur kebudayaan atau beberapa pranata tertentu
yang merupakan syatu unsur pusat dalam kebudayaan, sehingga digemari oleh sebagian besar
dari warga masyarakat. Dengan demikian mendominasi banyak aktivitas atau pranata lain dalam
kehidupan masyarakat. Contoh dari unsur-unsur kebudayaan yang dominan seperti itu misalnya
kesenian masyarakat orang Bali, grakan kebatinan dan mistik dalam kebudayaan golongan
pegawai negeri, atau priyayi, di Jawa Tengah, peperangan antara federasi-federasi kelompok
kekerabatan dalam masyarakat suku bangsa Dani di Lembah Besar Baliem di Pegunungan
Jayawijaya di Irian Jaya, atau kula dalam masyarakat penduduk Trobriand.
Suatu kompleks unsur-unsur kebudayaan yang tampak sangat digemari warga
masyarakatnya sehingga tampak seolah-olah mendominasi seluruh kehidupan bermasyarakat
bersangkutan, oleh ahli antropologi Amerika R. Linton, disebut cultural interest, atau kadang-
kadang juga social intersest.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Menurut ilmu antropologi, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tundakan dan
hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan
belajar.
2. tiga gejala kebudayaan yaitu:
a. Ideas
b. Activities
c. Artivacts
3. Tiga wujud kebudayaan:
a. Wujud kebudayaan sebagai kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma, peraturan dan sebagainya.
b. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktifitas serta tindakan berpola dari manusia dalam
masyarakat.
c. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
4. Menurut C. Kluckhohn, kelima masalah daasar dalam kehiodupan manusia yang menjadi
landasan bagi kerangka variasi sistem nilai budaya adalah:
a. Masalah hakikat dari hidup manusia (selanjutnya disingkat MH).
b. Masalah hakikat dari karya manusia (selanjutnya disingkat MK).
c. Masalah hakikat dari kedudukan manusia dalam ruang waktu (selanjutnya disingkat MW).
d. Masalah hakikat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya selanjutnya disingkat MA).
e. Masalah hakikat dari hubungan manusia dengan sesamanya (selanjutnya disingkat MM).

3.2 Saran
Kami sebagai penulis berharap kepada pembaca atau mahasiswa agar kiranya dapat menjaga
makalah ini dan terus mengembangkan pengetahuan tentang kepribadian budaya, khususnya
dalam mata kuliah antropologi jangan hanya berhenti sampai disini, tetapi tetaplah mencari
referensi lain yang berkaitan dengan kajian ilmu ini guna untuk meningkatkan wawasan dan
pengetahuan.

Anda mungkin juga menyukai