BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut kamus besar bahasa indonesia (KBBI) kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan
manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta
pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya. Dan secara etimologi, kata
kebudayaan berasal dari kata budaya berasal dari kata sangsakerta buddayah yang merupakan
bentuk jamak dari kata budhi yang berarti budi dan akal,dengan kata lain kebudayaan diartikan
sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal. Budaya terbagi atas ranah sosial dan
individual. Pada ranah sosial dikarenakan budaya lahir ketika manusia bertemu dengan manusia
lainnya dan membangun kehidupan bersama yang lebih baik sekedar pertemuan-pertemuan
incidental. Sedangkan dalam ranah individual karna budaya diawali ketika individu-individu
bertemu masing dan saling memberi pengaruh. Individu membawa budayanya pada setiap
tempat dan situasi di kehidupannya sekaligus mengamati dan belajar budaya lain dari individu
lain yang saling berinteraksi dan selanjutnya dibawa pulang pada budaya aslinya, dan
mengembangkan budaya tersebut.
Sejalan dengan derasnya arus modernisasi dan globalisasi, budaya-budaya daerah kian
memudar dan terpinggirkan oleh budaya-budaya yang masuk dalam tubuh budaya kita yang
dominan berasal dari budaya barat . sehingga dari akibat tersebut dapat menimbulkan berbagai
macam masalah diindonesia, antara lain adanya perbedaan karakter kepribadian budaya barat
dengan budaya indonesia yang dapat merusak budaya indonesia yang juga dapat mengakibatkan
pembentukan kepribadian yang kurang baik akibat pergeseran nilai-nilai kebudayaan yang ada.
BAB II
PEMBAHASAN
2.3 Adat-Istiadat
2.3.1 Sistem Nilai Budaya, Pandangan Hidup, dan Ideologi
Sistem nilai budaya merupakan tingkat yang paling tinggi dan yang paling abstrak dari
adat-istiadat. Hal itu disebabkan karena nilai budaya merupakan konsep-konsep mengenai suatu
yang ada dalam alam pikiran sebagian besar dari masyarakat yang mereka anggap bernilai,
berharga, dan penting dalam hidup sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang
memberi arah dan orientasi pada kehidupan para warga. Masyarakat tadi.
Walaupun nilai budaya berfungsi sebagai pedoman hidup manusia dalam masyarakat,tapi
sebagai konsep,suatu nilai budaya itu bersifat sangat umum, mempunyai ruang lingkup yang
sangat luas,dan biasanya sulit diterangkan secara rasional dan nyata. Namun,justru karena
sifatnya yang umum,luas dan tidak kongkret itu,maka nilai-nilai dalam suatu kebudayaan berada
dalam daerah emosional dari alam jiwa individu yang menjadi warga kebudayaan yang
bersangkutan. Selain itu, para individu tersebut sejak kecil telah diresapi dengan nilai budaya
yang hidup dalam masyarakatnya sehingga konsep-konsep itu sejak lama telah berakar dalam
alam jiwa mereka. Itulah sebabnya nilai-nilai budaya dalam suatu kebudayaan tidak dapat diganti
dengan nilai-nilai budaya yang lain dalam waktu singkat, dengan cara mendiskusikannya secara
rasional.
Dalam tiap masyarakat, baik yang komleks maupun yang sederhana, ada sejumlah nilai
budaya satu dengan yang lain yang berkaitan hingga merupakan suatu sistem. Sistem itu sebagai
pedoman dari konse-konsep ideal dalam kebudayaan yang memberi motivasi kuat terhadap arah
kehidupan warga masyarakatnya.
Menurut seorang ahli antropologi terkenal, C. Kluckhohn tiap sistem nilai budaya dalam
tiap kebudayaan mengandung lima masalah dasar dalam kehidupan manusia. Atas dasar konsepsi
itu, bersama dengan isterinya, F. Kluckhohn, ia mengembangkan suatu kerangka yang dapat
dipakai oleh para ahli antropologi untuk menganalisis secara universal tiap variasi dalam sistem
nilai budaya semua macam kebudayaan yang terdapat di dunia. Menurut C. Kluckhohn, kelima
masalah daasar dalam kehidupan manusia yang menjadi landasan bagi kerangka variasi sistem
nilai budaya adalah:
1. Masalah hakikat dari hidup manusia (selanjutnya disingkat MH).
2. Masalah hakikat dari karya manusia (selanjutnya disingkat MK).
3. Masalah hakikat dari kedudukan manusia dalam ruang waktu (selanjutnya disingkat MW).
4. Masalah hakikat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya selanjutnya disingkat MA).
5. Masalah hakikat dari hubungan manusia dengan sesamanya (selanjutnya disingkat MM).
Cara berbagai kebudayaan di duniamengonsepsikan kelima masalah universal tersebut
berbeda-beda walaupun kemungkinan untuk bervariasi itu terbatas adanya. Misalnya mengenai
masalah pertama (MH), ada kebudayaan yang memandang hidup manusia pada hakikatnya suatu
hal yang buruk dan menyedihkan, karena itu harus dihindari. Kebudayaan-kebudayaan yang
terpengaruh oleh agama Budha misalnya dapat mengonsepsikan hidup itu sebagai suatu hal yang
buruk. Pola tindakan manusia akan mementingkan segala usaha untuk menuju ke arah tujuan
untuk dapat memedamkan hidup itu (nirvana = meniup habis), dan meremehkan segala tingkatan
yang hanya mengekalkan rangkaian kelahiran kemballi (samsara). Adapun kebudayaan-
kebudayaan lain memandang hidup manusia itu pada hakikatnya buruk, tetapi manusia dapat
mengusahakan untuk menjadikan suatu hal yang baik dan mengembirakan.
Mengenai masalah kedua (MK), ada kebudayaan yang memandang bahwa karya manusia
pada hakikatnya bertujuan untuk memungkinkan hidup; kebudayaan lain lagi menganggap
hakikat dari karya manusia itu untuk memberikannya suatu kedudukan penuh kehormatan dalam
masyarakat; sedangkan kebudayaan-kebudayaan lain lagi menganggap hakikat karya manusia itu
sebagai suatu gerak hidup yang harus menghasilkan lebih banyak karya lagi.
Kemudian mengenai masalah ketiga (MW), ada kebudayaan yang memandang bahwa
penting masa lampau dalam kehidupan manusia. Dalam kebudayaan serupa itu orang akan lebih
sering menjadikan pedoman tindakannya contoh-contoh atau kejadian-kejadian dalam masa
lampau. Sebaliknya, ada banyak pula kebudayaan di mana orang hanya mempunyai suatu
pandangan waktu yang sempit. Warga dari suatu kebudayaan serupa itu tidak akan memusingkan
diri dengan memikirkan zaman yang lampau ataupun masa yang akan datang. Mereka hidup
menurut keadaan pada masa sekarang ini. Kebudayaan-kebudayaan lain lagi justru
mementingkan pandangan yang berorientasi sejauh mungkin terhadap masa yang akan datang.
Dalam kebudayaan yang serupa itu perencanaan hidup menjadi suatu hal yang amat penting.
Selanjutnya mengenai masalah keempat (MA), ada kebudayaan yang memandang alam
sebagai suatu hal yang begitu dahsyat sehingga manusia pada hakikatnya hanya dapat bersifat
menyerah saja tanpa dapat berusaha banyak.Sebaliknya, banyak pula kebudayaan lain yang
memandang alam sebagai suatu hal yang dapat dilawan oleh manusia, dan mewajibkaan manusia
untuk selalu berusaha menaklukan alam.Kebudayaan lain juga menganggap bahwa manusia
hanya dapat berusaha mencari keselarasan dengan alam.
Akhirnya mengenai masalah kelima(MM) ada kebudayaan yang sangat mementingkan
hubungan vertikal antara manusia dan sesamanya. Dalam tingkah lakunya manusia yang hidup
dalam suatu kebudayaan serupa itu akan berpedoman kepada tokoh-tokoh pemimpin, orang-
orang senior, atau atasan. Kebudayaan lain lebih mementingkan hubungan horisontal antara
manusia dengan sesamanya. Orang dalam suatu kebudayaan serupa itu akan sangat merasa
tergantung kepada sesamanya. Usaha untuk memelihara hubungan baik dengan tetangganya
dengan sesamanya merupakan suatu hal yang dianggap sangat penting dalam hidup. Selain itu
ada banyak kebudayaan k\lain yang tidak membenarkan anggapan bahwa manusia itu tergantung
kepada orang lain dalam hidupnya. Kebudayaan serupa itu, sangat mementingkan
individualisme, menilai tinggi anggapan bahwamanusia harus berdiri sendiri dalam hidupnya,
dan sedapat mungkin mencapai tujuannya dengan bantuan orang lain.
2.3.2 Adat-istiadat, Norma, dan Hukum
Nilai budaya sebagai pedoman yang memberi arah dan orientasi terhadap hidup, bersifat
sangat umum. Sebaliknya, norma yang berupa aturan-aturan untuk bertindak bersifat khusus,
sedangkan perumusanya bersifat terperinci, jelas, tegas, dan tidak meragukan. Hal itu seharusnya
demikian, sebab kalau terlampau kabur perumusannya, maka norma tersebut tidak dapat
mengatur tindakan individu dan membingungkan individu bersangkutan.
Norma-norma yang khusus itu dapat dapat digolongkan menurut pranata yang ada di
masyarakat seperti pranata ilmiah, pranata pendidikan, pranata peradilan, pranata ekonomi,
pranata kesenian atau estetika, pranata keagamaan, dan sebagainya. Sejajar dengan adanya
beragam pranata itu ada juga norma ilmiah, norma pendidikan, norma politik, norma peradilan,
norma ekonomi, norma kesenian atau estetika, norma agama, dan sebagainya.
Norma-norma dalam rangka satu pranata dan sub-subpranata erat kaitannya satu sama lain,
dan juga merupakan karena merupakan suatu sistem yang terintegrasi. Selain itu norma-norma
dalam suatu pranata sudah tentu berkaitan dengan norma-norma dalam pranata-pranata lain yang
bedekatan, menjadi sistem-sistem yang lebih luas. Sistem-sistem yang lebih luas itu dapat kita
sebut unsur-unsur kebudayaan universal.
Berdasarkan pengertian yang dicapai suatu usaha perbandinga secara cross-cultural
terhadap kasus-kasus hukum yang serupa 32 kebudayaan lain dan berbagai yang tersebar luas di
muka bumi (bahan ini tentu tidak dikumpulkan oleh dengan mengunjungi tiap-tiap dari ke-32
daerah itu sendiri, tetapi dari studi di perpustakaan dan dengan menggunakan arsip etnografi
yang terkenal dengan nama Human Relation Area Files). Hasil dari analisis komparatif yang
amat luas tadi adalah suatu teori tentang batas antara adat dan hukum adat, yang singkatnya
berbunyi sebagai berikut :
1. Hukum adalah suatu aktivitas di dalam rangka suatu kebudayaan yang mempunya fungsi
pengawasan sosial. Untuk membedakan suatu aktivitas itu dari aktivitas-aktivitas kebudayaan
lain yang mempunyai fungsi serupa dalam sesuatu masyarakat, seseorang peneliti harus mencari
adanya empat ciri dari hukum, atau Atributes of Law.
2. Attributes yang terutama disebut attribute of authority. Atribut otoritas atau kekuasaan
menentukan bahwa aktivitas kebudayaan yang disebut hukum itu adalah keputusan-keputusan
melalui suatu mekanisme yang diberi wewnanh dan kekuasaan dalam masyarakat. Keputusan-
keputusan itu memberi pemecahan terhadap ketegangan sosial yang disebabkan karena misalnya
ada: (i) serangan-serangan terhadap diri individu; (ii) serangan-serangan terhadap orang; (iii)
serangan-serangan terhadap pihak yang berkuasa; (iv) serangan-serangan terhadap keamanan
umu.
3. Attribute yang kedua adalah attribute of intention of universal application. Atribut ini
menentukan bahwa keputusan-keputusan dari pihak yang berkuasa itu harus dimaksudkan
sebagai keputusan-keputusan yang mempunyai jangka waktu panjang dan harus dianggap
berlaku juga terhadap peristiwa serupa dalam masa yang akan datang.
4. Attribute yang ketiga disebut attribute of obligation. Atribut ini menentukan bahwa keputusan-
keputusan dari pemegang kuasa harus mengandung perumusan dan kewajiban pihak kesatu
terhadap pihak kedua, tetapi juga dari pihak kedua yang harus dipenuhi oleh pihak kesatu. Dalam
hal ini pihak kesatu dan pihak kedua harus terdiri dari individu-individu yang hidup. Kalau
keputusan tidak mengandung perumusan dari kewajiban maupun dari hak tadi, maka keputusan
tidak akan ada akibatnya dan karena itu tidak akan merupakan keputusan hukum; dan kalau
pihak kedua itu misalnya nenek moyang yang sudah meninggal, maka keputusan yang
menentukan kewajiban pihak kesatu terhadap pihak kedua itu bukan keputusan hukum,
melainkan hanya suatu keputusan yang merumuskan suatu kewajiban kegamaan
5. Attribute yang keempat dusebut attribute of sanction, dan menentukan bahwa keputusan-
keputusan dari pihak berkuasa itu harus dikuatkan dengan sanksi dalam arti seluas-luasnya.
Sanksi itu bisa berupa sanksi jasmania berupa hukuman tubuh dab deprivasi dari milik, selain itu
juga berupa sanksi rohani seperti menimbulkan rasa takut, rasa malu, rasa dibenci dan
sebagainya
Demikianlah teori L. popisili mengenai ciri-ciri hukum adat yang memberi pembatasan
antara adat dan hukum adat. Teori itu termaktub dalam disertainya yang berjudul The Kapauku
Papuans and Their Law (1956).
2.4 Unsur-unsur Kebudayaan
Para sarjana antroplogi yang biasa menanggapi suatu kebudayaan (misalnya kebudayaan
Minangkabau, kebudayaan Bali, atau kebudayaan Jepang) sebagai suatu keseluruhan yang
terintegrasi, ketika hendak menganalisis membagi keseluruhan itu kedalam unsur-unsur besar
yang disebut unsur-unsur kebudayaan universal atau cultural universal. Istilah universal itu
menunjukan bahwa unsur-unsur tadi bersifat universal, jadi unsur-unsur tadi ada dan biasa
didapatkan didalam semua kebudayaan dari semua bangsa dimanapun di dunia. Mengenai
defenisi cultural universal itu, ada beberapa pandangan yang berbeda di antara para sarjana
antropologi. Berbagai pandangan yang berbeda itu serta alasan perbedaannya diuraikan oleh C.
Kluckhohn dalam sebuah karangan berjudul Universal Categories of Culture (1953). Dengan
mengambil satu dari berbagai kerangka tentang unsur-unsur kebudayaan universal yang disusun
oleh beberapa sarjana antropologi itu, maka penulis berpendapat bahwa ada tujuh unsur
kebudayaan yang dapat ditemukan pada semua bansa di dunia. Ketujuh unsur yang dapat kita
sebut sebagai isi pokok dari tiap kebudayaan di dunia itu adalah:
1. Bahasa,
2. Sistem pengetahuan,
3. Organisasi sosial,
4. Sistem peralatan hidup dan teknologi,
5. Sistem mata pencaharian hidup,
6. Sistem religi
7. Kesenian
Tiap-tiap unsur kebudayaan universal sudah tentu saja menjelma dalam tiga wujud
kebudayaan terurai diatas,yaitu wujudnya beberapa sistem budaya, berupa sistem sosial,dan
berupa unsur-unsur kebudayaan fisik. Dengan demikian, sistem ekonomi misalnya mempunyai
wujud sebagai konsep,rencana,kebijaksanaan,adat istiadat yang berhubungan dengan
ekonomi,tetapi mempunyai juga wujudnya yang berupa tindakan dan interaksi berpola antara
produsen,tengkulak,pedagang,ahli transportasi,pengecer dan konsumen,dan selain itu dalam
sistem ekonomi terdapat juga unsur-unsunya yang berupa peralatan,komoditi,dan benda
ekonomi. Demikian juga sistem religi misalnya mempunyai wujud sebagai sistem keyakinan,dan
gagasan tentang tuhan,dewa,roh halus,neraka,surga dan sebagainya,tetapi mempunyai juga
wujud berupa upacara,baik yang bersifat muslim,maupun yang kadangkala, dan selain itu setiap
sistem religi juga mempunyai wujud sebagai benda-benda suci dan benda-benda religius. Contoh
lain adalah unsur universal kesenian yang dapat berwujud gagasan,ciptaan pikiran,ceritera dan
gagasan yang indah. Namun kesenian juga dapat berwujud tindakan-tindakan interaksi berpola
antara seniman pencipta,seniman penyelenggara,sponsor penyelenggara,pendengar,penonton,dan
konsumen hasil kesenian;tetapi selain itu kesenian juga berupa benda-benda indah,candi,kain
tenun yang indah,benda kerajinan,dan sebagainya.
Kerangka mengenai ketujuh unsur kebudayaan universal itu biasanya juga dipakai oleh para
penulis etnografi sebagai contoh untuk menyusun daftar isi buku etnografi. Dengan membawa
kerangka itu ke lapangan untuk mengumpulkan data etnografi, seorang sarjana antropologi sudah
mengetahui sebelumnya unsur-unsu yang akan ditelitinya, sedangkan buklu laporan etnografinya
telah terdahulu dapat dibagi kedalam tujuh bab, sesuai dengan kerangka cultural universals tadi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Menurut ilmu antropologi, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tundakan dan
hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan
belajar.
2. tiga gejala kebudayaan yaitu:
a. Ideas
b. Activities
c. Artivacts
3. Tiga wujud kebudayaan:
a. Wujud kebudayaan sebagai kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma, peraturan dan sebagainya.
b. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktifitas serta tindakan berpola dari manusia dalam
masyarakat.
c. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
4. Menurut C. Kluckhohn, kelima masalah daasar dalam kehiodupan manusia yang menjadi
landasan bagi kerangka variasi sistem nilai budaya adalah:
a. Masalah hakikat dari hidup manusia (selanjutnya disingkat MH).
b. Masalah hakikat dari karya manusia (selanjutnya disingkat MK).
c. Masalah hakikat dari kedudukan manusia dalam ruang waktu (selanjutnya disingkat MW).
d. Masalah hakikat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya selanjutnya disingkat MA).
e. Masalah hakikat dari hubungan manusia dengan sesamanya (selanjutnya disingkat MM).
3.2 Saran
Kami sebagai penulis berharap kepada pembaca atau mahasiswa agar kiranya dapat menjaga
makalah ini dan terus mengembangkan pengetahuan tentang kepribadian budaya, khususnya
dalam mata kuliah antropologi jangan hanya berhenti sampai disini, tetapi tetaplah mencari
referensi lain yang berkaitan dengan kajian ilmu ini guna untuk meningkatkan wawasan dan
pengetahuan.