Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Osteogenesis imperfecta merupakan kelainan kongenital umum pada
pembentukan jaringan kolagen yang berfungsi sebagai jaringan ikat tubuh serta
pada umumnya diturunkan secara autosomal dominan.1,2 Kelainan ini disebut
juga brittle bone disease,2 ditandai dengan kerapuhan massa tulang serta
kecenderungan mengalami fraktur multipel akibat trauma ringan.1,2,3 Insiden
osteogenesis imperfecta terdeteksi sekitar 1 : 20.000 kelahiran hidup serta tidak
berhubungan dengan jenis kelamin maupun ras tertentu.1,2
Secara biomolekuler, osteogenesis imperfecta terjadi karena mutasi
dominan gen COL11 (collagen 1 alpha 1) dan COL12 (collagen 1 alpha 2)
yang mengkode sintesis kolagen tipe I serta yang lebih jarang terjadi melalui
mutasi resesif gen LEPRE1 (leucine proline-enrich proteoglican 1) yang
mengkode enzim pembentuk kolagen, prolil-3-hidroksilase, atau gen pengkode
protein terasosiasi kolagen, CRTAP (cartilago associated protein).1,2,4 Mutasi
genetik yang terjadi tidak hanya bermanifestasi sebagai kerapuhan tulang, tetapi
juga berupa penipisan kulit, deviasi struktur tulang, hipermobilitas sendi,
kehilangan pendengaran, kerapuhan gigi, dan sklera biru.3 Osteogenesis
imperfecta dengan spektrum kelainan yang luas tersebut diklasifikasikan
menjadi beberapa tipe berdasarkan manifestasi klinis dan histologis yang
ditemukan serta mekanisme pewarisan mutasi genetik, secara autosomal
dominan atau autosomal resesif.1,2
Anak dengan osteogenesis imperfecta beserta keluarga yang
membesarkannya akan menghadapi berbagai masalah yang kompleks terkait
kelainan ini, di antaranya masalah anatomis, medis, keterbatasan gerak, dan
sosial. Tidak semua masalah tersebut dapat ditanggulangi dengan baik. 2
Osteogenesis imperfecta tidak dapat disembuhkan, tetapi beberapa modalitas
terapi paliatif dapat diberikan untuk memperbaiki keadaan klinis penderita. 1
Oleh karena itu, perlu dilakukan pengenalan dini manifestasi klinis osteogenesis
imperfecta serta pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis.2

1
Pemeriksaan penunjang yang berperan penting dalam menegakkan
diagnosis osteogenesis imperfecta di antaranya pemeriksaan radiologi.
Pemeriksaan foto Rntgen dapat menilai fraktur tulang kortikal, kompresi
vertebra, dan kelainan osifikasi tulang pada osteogenesis imperfecta. Hasil
radiografi ini selanjutnya dikorelasikan dengan keadaan klinis untuk
menentukan tipe dan tingkat keparahan osteogenesis imperfecta.1,4 Pemeriksaan
foto Rntgen juga dapat menilai penyembuhan fraktur pascaterapi
medikamentosa.5 Ultrasonografi dapat mendeteksi osteogenesis imperfecta berat
pada masa intrauterin.5,6 Sementara itu, pemeriksaan radiologi lain seperti
computed tomography (CT scan), magnetic resonance imaging (MRI), dan bone
mass densitometry (BMD) juga berperan dalam mendiagnosis osteogenesis
imperfecta.6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2
2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Skeletal
Sistem skeletal atau rangka tubuh adalah bagian tubuh yang terdiri
dari tulang-tulang yang memungkinkan tubuh mempertahankan bentuk, sikap
dan posisi.7

Gambar 1. Sistem skeletal tubuh. (Sumber: Anderson PD, 1998.)

Sistem skeletal disusun oleh tulang-tulang yang berjumlah 206 buah.


Berdasarkan bentuknya, tulang-tulang tesebut dikelompokkan menjadi:7
1. Ossa longa (tulang panjang) yaitu tulang yang ukuran panjangnya terbesar.
Contohnya: os. humerus dan os. femur.

3
Gambar 2. Ossa longa. (Sumber: Anderson PD, 1998.)

2. Ossa brevia (tulang pendek) yaitu tulang yang ukurannya pendek.


Contohnya: os. carpi.

Gambar 3. Ossa brevia. (Sumber: Anderson PD, 1998.)


3. Ossa plana (tulang pipih) yaitu tulang yang ukurannya lebar. Contohnya: os.
scapula.

4
Gambar 4. Ossa plana. (Sumber: Anderson PD, 1998.)

4. Ossa ireguler (tulang tak beraturan). Contohnya: os. vertebrae.

Gambar 5. Ossa ireguler. (Sumber: Anderson PD, 1998.)

5. Ossa pneumatika (tulang berongga udara), contohnya os. maxilla.

5
Gambar 6. Ossa pneumatika. (Sumber: Anderson PD, 1998.)

Secara makroskopis tulang terdiri dari dua bagian yaitu pars spongiosa
(jaringan berongga) dan pars kompakta (bagian yang berupa jaringan padat).
Permukaan luar tulang dilapisi selubung fibrosa (periosteum) danpermukaan
dalam dilapisi oleh selaput tipis jaringan ikat (endosteum) yang melapisi rongga
sumsum dan meluas ke dalam kanalikuli tulang kompak.7
Membran periosteum berasal dari perikondrium tulang rawan yang
merupakan pusat osifikasi. Periosteum merupakan selaput luar tulang yang tipis.
Periosteum mengandung osteoblas (sel pembentuk jaringan tulang), jaringan ikat
dan pembuluh darah. Periosteum merupakan tempat melekatnya otot-otot rangka
ke tulang dan berperan dalam memberikan nutrisi, pertumbuhan dan reparasi
tulang rusak.7
Pars kompakta teksturnya halus dan sangat kuat. Tulang kompak
memiliki sedikit rongga dan lebih banyak mengandung kapur (kalsium fosfat
dan kalsium karbonat) sehingga tulang menjadi padat dan kuat. Kandungan
tulang manusia dewasa lebih banyak mengandung kapur dibandingkan dengan
anak-anak maupun bayi. Bayi dan anak-anak memiliki tulang yang lebih banyak
mengandung serat-serat sehingga lebih lentur.Tulang kompak paling banyak
ditemukan pada tulang kaki dan tulang tangan.7
Pars spongiosa merupakan jaringan tulang yang berongga seperti spon
(busa). Rongga tersebut diisi oleh sumsum merah yang dapat memproduksi sel-
sel darah. Tulang spongiosa terdiri dari kisi-kisi tipis tulang yang disebut
trabekula.7
Tulang rawan berkembang dari mesenkim membentuk sel yang
disebut kondrosit. Kondrosit menempati rongga kecil (lakuna) di dalam matriks

6
dengan substansi dasar seperti gel (berupa proteoglikans) yang basofilik.
Kalsifikasi menyebabkan tulang rawan tumbuh menjadi tulang (keras).7
Tulang rawan tubuh terdiri dari:7
1. Kartilago hialin
Matriks mengandung seran kolagen, merupakan jenis tulang rawan yang
paling banyak dijumpai.
2. Kartilago elastin
Serupa dengan tulang rawan hialin, tetapi lebih banyak serat elastin yang
mengumpul pada dinding lakuna yang mengelilingi kondrosit.
3. Fibrokartilago
Tidak pernah berdiri sendiri tetapi secara berangsur menyatu dengan tulang
rawan hialin atau jaringan ikat fibrosa yang berdekatan.
Secara mikroskopis tulang terdiri dari:7
1. Sistem Havers (saluran yang berisi serabut saraf, pembuluh darah, aliran
limfe)
2. Lamella (lempeng tulang yang tersusun konsentris).
3. Lacuna (ruangan kecil yang terdapat di antara lempengan-lempengan yang
mengandung sel tulang).
4. Kanalikuli (memancar di antara lakuna dan tempat difusi makanan sampai ke
osteon).

Gambar 7. Struktur mikroskopis tulang. (Sumber: Anderson PD, 1998.)

Tulang disusun oleh sel-sel tulang yang terdiri dari osteosit,


osteoblas, dan osteoklas serta matriks tulang. Matriks tulang mengandung unsur
organik terutama kalsium dan fosfor.7
Fungsi sistem skeletal tubuh antara lain sebasgai berikut:7
1. Kerangka tubuh
Sistem skeletal memberi bentuk bagi tubuh.
2. Proteksi

7
Sistem skeletal melindungi organ-organ penting, misalnya otak dilindungi
oleh tulang-tulang tengkorak, jantung dan paru-paru terdapat pada rongga
dada (kavum toraks) yang dibentuk oleh tulang-tulang kosta.
3. Ambulasi dan mobilisasi
Bersama dengan sistem muskular memungkinkan terjadinya pergerakan
tubuh dan perpindahan tempat.
4. Hemopoesis
Berperan dalam pembentukan sel darah pada sumsum merah..
5. Deposit mineral
Tulang mengandung 99 % kalsium dan 90 % fosfor tubuh.

2.2 Definisi Osteogenesis Imperfecta


Osteogenesis imperfecta atau brittle bone disease adalah kelainan
kongenital umum pada jaringan ikat, yaitu kolagen tipe I, yang secara klasik
ditandai dengan kerapuhan tulang menyeluruh serta fraktur multipel tulang
kortikal, dan kompresi vertebra akibat trauma ringan. Osteogenesis imperfecta
memiliki spektrum klinis yang luas, dari bentuk nonletal dengan perawakan
normal, tanpa deformitas, dan jarang mengalami fraktur sampai bentuk letal
yang teridentifikasi pada masa perinatal.1,2
2.3 Etiologi Osteogenesis Imperfecta
Osteogenesis imperfecta secara umum terjadi karena mutasi gen
COL11 (collagen 1 alpha 1) dan COL12 (collagen 1 alpha 2) yang mengkode
sintesis kolagen tipe I. Mutasi ini diturunkan secara autosomal dominan. 1,2,4
Sementara itu, sebagian kecil osteogenesis imperfecta diturunkan secara
autosomal resesif akibat mutasi gen LEPRE1 (leucine proline-enrich
proteoglican 1) yang mengkode enzim pembentuk kolagen, prolil-3-
hidroksilase, atau protein terasosiasi kolagen, CRTAP (cartilago associated
protein).1,2

8
B
A

COL12
COL11

Gambar 8. Lokasi gen COL11 pada kromosom 17 (A) dan gen COL12 pada
kromosom 7 (B). (Sumber: Murray RK, Keeley FW, 2000. Dalam Murray RK,
et al, ed., 2003.)

2.4 Epidemiologi Osteogenesis Imperfecta


Insiden osteogenesis imperfecta yang terdeteksi yaitu 1 : 20.000
kelahiran hidup1serta tidak terdapat korelasi terhadap jenis kelamin dan ras.1,2

2.5 Patogenesis Osteogenesis Imperfecta


Semua kolagen memiliki struktur heliks rangkap tiga. Kolagen tipe I
yang matur mengandung lebih dari 1000 asam amino di mana setiap subunit
polipeptida atau rantai alfa terpuntir menjadi bentuk heliks dominan kiri yang
membentuk putaran. Kemudian tiga dari rantai-rantai alfa ini terpuntir menjadi
superheliks dominan kanan dengan membentuk molekul mirip batang yang
berdiameter 1,4 nm dan memiliki panjang sekitar 300 nm. Ciri kolagen yang
khas yaitu terdapatnya residu glisin pada setiap posisi ketiga bagian heliks
rangkap tiga pada rantai alfa. Hal ini diperlukan karena glisin merupakan satu-
satunya asam animo yang memiliki gugus R berukuran cukup kecil untuk masuk
ke dalam inti sentral superheliks rangkap tiga tersebut. Struktur berulang ini,
yaitu (Gyl-X-Y)n merupakan persyaratan mutlak bagi pembentukan heliks
rangkap tiga dengan perbandingan Gly : X : Y yaitu 33,5 : 12 : 10. Meskipun X
dan Y dapat berupa sembarang asam amino, sekitar 100 dari posisi X merupakan
prolin dan sekitar 100 dari posisi Y merupakan hidroksiprolin. Prolin dan

9
hidroksiprolin menyebabkan rigiditas pada molekul kolagen, Hidroksiprolin
terbentuk melalui hidroksilasi pascatranslasi pada residu prolin terikat peptida
yang dikatalis oleh enzim prolil-3-hidroksilase. Enzim ini memiliki kofaktor
berupa asam askorbat (vitamin C) dan -ketoglutarat. Lisin pada posisi Y juga
dapat dimodifikasi secara pascatranslasi menjadi hidroksilisin melalui kerja
enzim lisil-3-hidroksilase dengan kofaktor yang serupa.4

Gambar 8. Struktur molekuler kolagen dari rangkaian primer sampai fibril.


(Sumber: Murray RK, Keeley FW, 2000. Dalam: Murray RK, et al, ed., 2003.)

Lebih dari 90% penderita osteogenesis imperfecta memiliki sejumlah


mutasi dominan dalam gen COL11 pada lengan panjang kromosom 17 posisi
21.3-22.1 dan COL12 pada lengan panjang kromosom 7 posisi 22. Gen
COL11 dan COL12 masing-masing mengkode pro1(I) dan pro2(I). Mutasi
yang paling banyak terjadi yaitu penghapusan gen parsial serta duplikasinya.
Mutasi lain yang terjadi mempengaruhi penyambungan RNA. Umumnya mutasi
akan mengakibatkan penurunan ekspresi kolagen atau rantai pro yang
strukturnya abnormal, membentuk fibril abnormal, sehingga melemahkan
keseluruhan struktur tulang. Jika terdapat satu rantai yang abnormal, rantai ini
dapat berinteraksi dengan dua rantai yang normal, tetapi pelipatan dapat dicegah,

10
sehingga mengakibatkan penguraian enzimatik seluruh rantai yang disebut
procollagen suicide, yang bermanifestasi sebagai osteogenesis imperfecta
nonletal. Jika kedua rantai yang abnormal, kelainan akan muncul secara genotif
dan fenotif. Sementara itu, jika ketiga rantai yang abnormal, akan bermanifestasi
sebagai osteogenesis imperfecta letal.4
Sementara itu, sebagian kecil osteogenesis imperfecta diturunkan
secara autosomal resesif akibat mutasi gen LEPRE1 (leucine proline-enrich
proteoglican 1) yang mengkode enzim pembentuk kolagen, prolil-3-
hidroksilase, atau protein terasosiasi kolagen, CRTAP (cartilago associated
protein).1,2

2.6 Manifestasi Klinis Osteogenesis Imperfecta


Osteogenesis imperfecta dibedakan menjadi osteogenesis imperfecta
kongenita yang dideteksi pada perinatal dan osteogenesis imperfecta tarda yang
dideteksi lebih lambat pada masa anak-anak.1
David Sillence pada tahun 1979 membagi osteogenesis imperfecta
menjadi empat tipe berdasarkan cara pewarisan gen, manifestasi klinis, dan
kesan radiografi. Beberapa tipe tambahan ditemukan berdasarkan perbedaan
histologi. Pembagian osteogenesis imperfecta adalah sebagai berikut:1,2
1. Osteogenesis Imperfecta Tipe I
Osteogenesis imperfecta tipe I merupakan tipe paling ringan dan
paling tinggi insidennya. Identifikasi seringkali pada waktu yang lebih
lambat. Pada tipe ini ditemukan fraktur ringan, sedikit deformitas kaki, dan
kompresi vertebra ringan. Dislokasi sendi bahu dan sendi panggul bisa
ditemukan.2 Fraktur terjadi karena trauma ringan sampai sedang dan
berkurang setelah pubertas. Sklera biasanya biru. Kehilangan pendengaran
dini terjadi pada 30-60% penderita. Tipe I bersama tipe IV dibagi menjadi
subtipe A dan B, berdasarkan disertai (A) atau tidak (B) dentinogenesis
imperfecta. Kelainan jaringan ikat lain yang mungkin terjadi yaitu kulit tipis
dan mudah memar, kelenturan sendi, dan perawakan pendek yang
berhubungan dengan anggota keluarga lain.
2. Osteogenesis Imperfecta Tipe II
Tipe ini merupakan tipe dengan tikat keparahan tertinggi sehingga
disebut dengan tipe letal perinatal. Bayi sering mengalami kematian selama
persalinan akibat perdarahan intakranial yang disebabkan trauma multipel.

11
Bayi lahir dengan panjang dan berat badan lahir sangat kecil untuk masa
kehamilan. Terdapat kerapuhan hebat tulang dan jaringan ikat lainnya.
Ditemukan mikromelia dan kedua kaki abduksi seperti frog-leg position.
Terdapat multipel fraktur kosta dan ronggga toraks yang sempit sehingga
terjadi insufisiensi pernafasan. Kepala besar untuk ukuran tubuh dengan
pelebaran fontanela anterior dan posterior. Sklera berwarna biru atau kelabu
gelap.
3. Osteogenesis Imperfecta Tipe III (Pembentukan Progresif)
Tipe ini merupakan tipe yang paling parah dari bentuk nonletal dan
menyebabkan disabilitas fisik yang berarti.Fraktur biasanya juga terjadi
intrauterin. Bentuk muka relatif makrosefalus dan berbentuk segitiga.
Fraktur dapat terjadi akibat trauma ringan dan sembuh dengan meninggalkan
deformitas. Costa bagian basal sering rapuh dan bentuk dada mengalami
deformitas. Ditemukan juga skoliosis dan kompresi vertebra. Kurva
pertumbuhan di bawah normal dari satu tahun pertama kehidupan. Pasien
memiliki perawakan pendek yang ekstrim. Sklera berwarna putih sampai
biru.

12
Gambar 10. Bayi osteogenesis imperfecta tipe III dengan ekstremitas
pendek dan bengkok, deformitas toraks, serta relatif makrosefalus.
(Sumber: Marini JC, 2007. Dalam: Kliegman RM et al, ed., 2007.)

4. Osteogenesis Imperfecta Tipe IV (Cukup Berat)


Pasien lahir dengan fraktur intrauterin dan tulang panjang bawah
yang bengkok. Fraktur berkurang setelah pubertas. Pasien memiliki
perawakan cukup pendek. Sklera bisa biru atau putih.
5. Osteogenesis Imperfecta Tipe V (Hiperplasia Kallus), Tipe VI (Defek
Mineralisasi), dan Tipe VII (Autosomal Resesif)
Ketiga tipe ini didapatkan melalui biopsi tulang dari tipe IV.
Ketiganya tidak mengalami kelainan pada kolagen tipe I. Tipe V ditandai
dengan hiperplasia kalus, kalsifikasi membran interosesus humeri, dan
radiodens garis metafisis. Tipe VII mengarahkan ke kromosom 3p22-24 dan
kelainan hipomorfik CRTAP.
2.7 Pemeriksaan Penunjang Osteogenesis Imperfecta
Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu menegakkan
diagnosis osteogenesis imperfecta antara lain sebagai berikut:2
1. Pemeriksaan Foto Rntgen

13
Pada pemeriksaan ini dapat ditemukan gambaran densitas tulang
yang menurun yang mengarah ke osteopenia, fraktur yang baru, subklinis,
atau sudah sembuh, bengkok pada tulang kortikal, kompresi vertebra, dan
tulang Wormian pada sutura tulang kranial. Tulang Wormian adalah
gambaran tulang-tulang kecil pada tulang kranial yang pada bayi normal
tidak ada, ditemukan pada 60% penderita osteogenesis imperfecta.
2. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan ini dapat dilakukan baik pada penderita autosomal
dominan maupun resesif, terdiri dari:
a. Pemeriksaan molekuler kolagen, melalui analisis DNA pada gen
COL11 dan COL12 yang diperoleh dari sampel darah atau saliva.
b. Pemeriksaan biokimia kolegen, melalui analisis protein yang dikultur
dari fibroblas dari biopsi tusuk kulit. Pada osteogenesis imperfecta tipe I,
jumlah kolagen tipe I yang berkurang menyebabkan peningkatan rasio
kolagen tipe III terhadap kolagen tipe I. Mutasi pada rantai ketiga
kolagen tidak dapat dideteksi melalui studi biokimia kolagen karena
tidak menyebabkan overmodifikasi rantai yang berarti.
Pada masa intrauterin, biopsi villi korion dapat digunakan untuk studi
biokimia atau molekular studi, sedangkan amniosintesis akan memberikan
hasil positif palsu.
3. Pemeriksaan Densitas Massa Tulang
Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan Dual-energy X-ray
Absorptiometry (DXA). Pasien dengan osteogenesis imperfecta memiliki
densitas massa tulang yang lebih rendah dibandingkan normal.
4. Biopsi Tulang
Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi seluruh tipe. Prosedur
pemeriksaan invasif, memerlukan anestesi umum sebelum melalukan biopsi
pada tulang iliaka, dan hanya boleh dilakukan oleh dokter bedah.
2.8 Diagnosis Osteogenesis Imperfecta
Diagnosis osteogenesis imperfecta ditegakkan berdasarkan
manifestasi klinis yang tampak, riwayat keluarga, dan pemeriksaan penunjang,
minimal pemeriksaan foto Rntgen dan pemeriksaan laboratorium.2

2.9 Diagnosis Banding Osteogenesis Imperfecta


Beberapa keadaan klinis yang memiliki gejala mirip osteogenesis
imperfecta yaitu hipofosfatasia, penyakit Pagets juvenil, riketsia, osteoporosis

14
juvenil idiopatik, defek metabolism vitamin D, penyakit Cushing, serta
defisiensi dan malabsoprsi kalsium.2

2.10 Komplikasi Osteogenesis Imperfecta


Beberapa komplikasi pada osteogenesis imperfecta:1,2,8
1. Kardiovaskuler
Mutasi spesifik pada gen kolagen merupakan predisposisi terjadinya
aneurisma aorta.
2. Jaringan Ikat
Penderita akan mudah mengalami luka memar karena kulit yang tipis.
3. Mata dan Penglihatan
Terjadi penipisan sklera yang berhubungan dengan warna sklera. Ketebalan
kornea juga menipis.

Gambar 11. Sklera biru pada osteogenesis imperfecta.


(Sumber: Bhadada SK, et al., 2008.)
4. Sistem Endokrin
Keadaan hipermetabolik dapat ditemukan, terdiri dari diaphoresis
berlebihan, peningkatan konsumsi oksigen, dan peningkatan hormon
tiroksin.
5. Sistem Pencernaan
Protusio asetabulum dan deformitas pelvis menyebabkan konstipasi pada
penderita.
6. Sistem Pendengaran
Penderita biasanya akan mengalami kehilangan pendengaran pada tiga
dekade pertama kehidupan.
7. Sistem Saraf
Komplikasi neurologi termasuk invaginasi basiler, kompresi batang otak,
dan hidrosefalus. Kebanyakan anak dengan osteogenesis imperfecta tipe III
dan IV mengalami invaginasi basiler, tetapi jarang kompresi batang otak.
8. Fungsi Pernafasan

15
Kecacatan dan kematian akibat osteogenesis imperfecta terutama akibat
pneumonia akut dan penyimpangan fungsi pulmonal yang terjadi pada anak-
anak dan cor pulmonal terlihat pada dewasa.
9. Ginjal
Hiperkalsiuria ditemukan pada osteogenesis imperfecta sedang sampai berat.
10. Gigi
Masalah yang paling sering timbul yaitu dentinogenesis imperfecta dan
maloklusi gigi.

Gambar 12. Dentinogenesis imperfecta.


(Sumber: Marini JC, 2007. Dalam: Kliegman RM et al, ed., 2007.)
2.11 Penatalaksanaan Osteogenesis Imperfecta
Oleh karena tidak ada pengobatan untuk osteogenesis imperfecta1,
penatalaksanaan difokuskan untuk meminimalisasi fraktur, operasi bedah untuk
mengkorekasi deformitas, menurunkan kerapuhan tulang dengan meningkatkan
densitas massa tulang, dan fungsi independen. Berikut langkah-langkah
penatalaksanaan osteogenesis imperfect:1,2
1. Modifikasi Perilaku dan Gaya Hidup
Penderita diajarkan teknik berdiri, duduk, dan berbaring untuk
memproteksi vertebra. Keadaan lingkungan harus dikondisikan seaman
mungkin seperti tidak membiarkan lantai yang licin sehingga penderita akan
mudah jatuh.
2. Manajemen Ortopedi
Untuk beberapa bentuk nonletal, rehabilitasi fisik aktif pada tahun-
tahun awal memungkinkan anak mencapai level fungsi muskuloskeletal yang
lebih tinggi. Anak dengan osteogenesis imperfecta tipe I dan beberapa tipe
IV secara spontan dapat berlatih berjalan. Anak dengan osteogenesis
imperfecta tipe III dan tipe IV yang parah memakai penyangga kaki plastik
atau alat bantu jalan. Beberapa butuh kursi bantu tapi beberapa dapat

16
berjalan sendiri. Remaja dengan osteogenesis imperfecta membutuhkan
dukungan psikis dari keluarga.
Manajemen ortopedi osteogenesis imperfecta bertujuan untuk
mengendalikan fraktur dan mengkoreksi deformitas menuju fungsi normal.
Fraktur harus segera diimobilisasi dengan bidai. Fraktur osteogenesis
imperfecta dapat sembuh dengan baik. Mengkoreksi deformitas tulang
panjang membutuhkan prosedur osteotomi.
3. Medikamentosa
Pengobatan dengan suplemen kalsium, fluor, atau kalsitonin tidak
akan memperbaiki osteogenesis imperfecta. Hormon pertumbuhan
memperbaiki histologi tulang pada anak yang responsif, biasanya tipe I dan
IV. Pengobatan dengan bifosfonat (pamidronat intravena atau olpadronat
oral) memiliki beberapa keuntungan. Bifosfonat menurunkan resorpsi oleh
osteoklas. Bifosfonat lebih menguntungkan bagi untuk vertebra (tulang
trabekular) dibandingkan tulang kortikal. Pengobatan selama 1-2 tahun
menghasilkan peningkatan L1-4 DEXA dan memperbaiki kompresi vertebra
dengan mencegah atau memperlambat skoliosis pada osteogenesis
imperfecta. Risiko fraktur pada tulang panjang menurun.
Akan tetapi, matriks tulang panjang akan melemah dengan
pemanjangan waktu pengobatan dan nonunion pascaosteostomi meningkat.
Selain itu, tidak ada efek bifosfonat terhadap nilai mobilitas, kekuatan otot,
dan nyeri tulang. Efek samping pengobatan lainnya termasuk remodelling
tulang panjang abnormal, osteonekrosis rahang, dan kerusakan tulang mirip
osteopetrosis. Pembatasan pengobatan selama 2-3 tahun pada pertengahan
masa anak-anak memungkinkan maksimalisasi keuntungan dan mengurangi
kerusakan material tulang kortikal. Keuntungan muncul beberapa tahun
setelah interval pengobatan.

2.12 Prognosis Osteogenesis Imperfecta


Osteogenesis imperfectamerupakan keadaan kronik yang membatasi
harapan hidup dan tingkatan fungsional. Bayi dengan osteogenesis imperfecta
tipe II biasanya meninggal pada hitungan bulan sampai satu tahun kehidupan.
Anak denganosteogenesis imperfecta tipe III mengalami penurunan harapan
hidup dengan sebab pulmonal pada masa anak awal, remaja, dan 40-an tahun.
Osteogenesis imperfecta tipe I dan IV memiliki harapan hidup penuh.1

17
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Peranan Foto Rntgen


Dalam kasus yang dicurigai osteogenesis imperfecta, pemeriksaan
foto Rntgen postnatal harus mencakup pencitraan dari tulang kortikal,
tengkorak, dada, panggul, dan tulang belakang torakolumbalis. Gambaran
radiografi berhubungan dengan jenis osteogenesis imperfecta dan tingkat
keparahan penyakit.3,6
1. Gambaran Radiografi Umum
Gambaran radiografi umum osteogenesis imperfecta yaitu
osteoporosis umum dari kedua kerangka aksial dan apendikular. Kondisi
tulang tipis, overtubulasi dengan korteks tipis.6 Tampak adanya reaksi
periosteal, gambaran osteopenia, dan sklerosis metafisis.9

18
Gambar 13. Radiografi radiusulnaris posteroanterior perempuan, 17 tahun,
dengan osteogenesis imperfecta tipe I menunjukkan osteoporosis, deformitas
membungkuk dengan overtubulasi dari jari-jari, fraktur ulnaris yang sembuh,
dan pembentukan kalus di atas humerus distal. Pertumbuhan garis pemulihan
tampak pada radius distal. (Sumber: Kirpalani A, 2012.)

Gambar 14. Radiografi femur posteroanterior laki-laki, 6 bulan, dengan


osteogenesis imperfecta menunjukkan sklerosis metafisis distal femur.
(Sumber: Paterson CR, 2003.)

19
Bentuk yang lebih parah dari osteogenesis imperfecta, seperti tipe
II dan III, osteoporotik pada tulang panjang dengan fraktur multipel.3 Fraktur
yang terjadi dapat berupa fraktur transversal, obliq, spiral, torus, dan
greenstick. Fraktur pada umumnya terjadi pada tahun pertama kehidupan. 9
Dada mungkin kecil. Beberapa fraktur tulang rusuk sering ditemukan,
menyebabkan tulang rusuk menjadi cacat. Selain itu, kelainan tulang
belakang ditemukan pada semua tipe osteogenesisimperfecta termasuk
skoliosis.6
Bentuk-bentuk ini sering dipersulit oleh pembentukan kalus
hiperplastik. Kalus yang paling sering ditemukan di sekitar tulang femoralis
dan sering besar, muncul sebagai massa padat, tidak teratur, timbul dari
korteks tulang. Kalus ini dikaitkan dengan penebalan periosteum dan
kehadirannya menyebabkan pertimbangan diferensial diagnostik lainnya,
termasuk osteosarkoma, miositis ossifikans, osteomielitis kronis, dan
osteokondroma.6

Gambar 15. Radiografi toraks posteroanterior perempuan, tiga tahun dengan


fraktur multipel costa dan pembentukan kalus dalam berbagai tingkatan.
(Sumber: Paterson CR, 2003.)

20
Gambar 16. Penyembuhan fraktur humerus diafisis kiri dengan
pembentukan kalus pada pasien dengan osteogenesis imperfecta. (Sumber:
Kirpalani A, 2012.)

21
Gambar 17. Fraktur metafisis pada perempuan, empat tahun, dengan
osteogenesis imperfecta. (Sumber: Paterson CR, 2003.)

Selain itu, dengan peningkatan keparahan penyakit, tulang kranial


tengkorak menunjukkan densitas yang rendah dan tampak tulang-tulang
Wormian, yaitu tulang-tulang kecil di intrasutura.6,9

22
Gambar 18. Radiografi kranial lateral pada pasien wanita muda dengan tipe
III osteogenesis imperfecta menunjukkan beberapa tulang Wormian.
(Sumber: Kirpalani A, 2012.)

Gambar 19. Rntgen kranial posteroanterior pada pasien wanita muda


dengan tipe III osteogenesis imperfecta menunjukkan beberapa tulang
Wormian. (Sumber: Kirpalani A, 2012.)

2. Gambaran Radiografi Spesifik:1,6

a. Osteogenesis imperfecta tipe I

23
(a) (b)
Gambar 20. Radiografi kruris anteroposterior laki-laki dengan
osteogenesis imperfecta tipe IA pada usia:
A. 3 tahun saat pertama kali mengalami fraktur tibialis, dan
B. 6 tahun saat keempat kali mengalami fraktur tibialis.
(Sumber: Paterson CR, 2003.)

b. Osteogenesis imperfecta tipe II


Osteogenesisimperfecta tipe II dikategorikan berdasarkan fitur
radiologis tulang kortikal dan tulang kosta menjadi 3 subtipe , yaitu IIA,
IIB, dan IIC. Pada subtipe IIA dan IIB, tulang kortikal pendek dan
lebar. Pada tipe IIC, tulang kortikal tipis dan berbentuk silinder.

24
Gambar 21. Bayi baru lahir dengan osteogenesis imperfecta. Tampak
gambaran fraktur multipel dan deformitas pada seluruh tulang. (Sumber:
Rogers LF, Auringer ST, 1998.)

c. Osteogenesis imperfecta tipe III


Skoliosis vertebra torakolumbalis khas pada osteogenesis
imperfecta tipe III. Sebanyak 25% penderita dengan osteogenesis
imperfecta menderita skoliosis. Skoliosis sebagian besar membentuk
huruf S.
Popcorn appearance tampak pada metafisis-epifisis tulang
kortikal, paling sering di artikulasio genu. Hal ini terjadi akibat
mikrofraktur berulang pada plat pertumbuhan.
Tulang kraniofasial lunak dengan kalvarium, besar tipis
menyebabkan fasies segitiga.

25
Gambar 22. Radiografi vertebra posteroanterior pada pasien osteogenesis
imperfecta tipe III yang berat. Tampak skoliosis berbentuk S. (Sumber:
Sumber: Kirpalani A, 2012.)

Gambar 23. Radiografi vertebra lateral pada anak 1 tahun dengan


osteogenesis imperfecta. (Sumber: Kirpalani A, 2012.)

26
Gambar 24. Radiografi osteogenesis imperfecta tipe III anak usia 6 tahun.
A. Tulang tibialis dan fibularis kanan dan kiri tampak osteoporotik dengan
metaphyseal flaring, popcorn appearance pada plat pertumbuhan, dan
placement intramedullary rod.
B. Tulang-tulang vertebra terkompresi dan tampak osteoporotik.
(Sumber: Marini JC, 2007. Dalam Kliegman RM et al, ed., 2007.)

d. Osteogenesisimperfecta tipe IV
Gambaran radiografi dari osteogenesis imperfecta tipe IV mirip
dengan gambaran umum osteogenesis imperfecta. Gambaran khas yang
diasosiasikan dengan tipe IV adalah invaginasi basiler dengan atau tanpa
kompresi batang otak. Hal ini mungkin terdeteksi pada radiografi polos
tengkorak atau tulang vertebra servikalis.

3. Gambaran pada Terapi Bifosfonat


Kemajuan terbaru dalam pengobatan osteogenesis imperfecta dengan
bifosfonat telah menghasilkan temuan pencitraan tertentu. Pengobatan
pamidronat menghasilkan garis pemulihan pertumbuhan sklerotik pada tulang

27
tubular. Jumlah pertumbuhan tulang dari pemberian dosis pamidronat dapat
diukur dengan jarak antara garis pertumbuhan.5,6

Gambar 25. Radiografi cruris pada pasien dengan osteogenesis imperfecta tipe I
menunjukkan bukti osteoporosis parah, overtubulasi tibia dan fibula, dan
patahan penyembuhan diafisis transversal tibia. Terdapat beberapa garis
pemulihan pertumbuhan metafisis artikulasio genu dengan pengobatan
pamidronat. (Sumber: Suresh SS, Thomas JK, 2010.)

28
G
ambar 26. Radiografi pelvis posteroanterior perempuan, 9 tahun, dengan
osteogenesis imperfecta tipe III dan penyembuhan fraktur femoralis bilateral.
Beberapa pertumbuhan pemulihan garis yang hadir di kepala femoralis bilateral
setelah pengobatan bifosfonat. (Sumber: Kirpalani A, 2012.)

4. Gambaran Diagnosis Banding


a. Osteoporosis juvenil idiopatik
Gambaran fraktur yang terjadi jarang multipel. Sekalipun tampak
trabekulasi, pada osteoporosis juvenil idiopatik tidak ditemukan sklerosis
metafisis.3

Gambar 27. Fraktur metafisis distal tibialis kanan.


(Sumber: Rogers LF, Auringer ST, 1998.)

29
Gambar 28. Fraktur kompresi vertebra torakal.
(Sumber: Rogers LF, Auringer ST, 1998.)

b. Penyakit Paget juvenile.


Pada penyakit Paget juvenil, reaksi periosteal sangat menonjol dengan lesi
litik dan destruksi tulang yang hebat.1

Gambar 29. Radiografi tibia lateral pada pasien dengan sarcoma Paget.
(Sumber: Marini JC, 2007.)

c. Riketsia
Pada riketsia, deformnitas ditemukan, tetapi kejadian fraktur tidak sebanyak
osteogenesis imperfecta. Selain itu, penyebab riketsia yaitu kurangnya

30
asupan mineral dari luar tubuh, bukan penyakit yang diturunkan secara
autosom seperti osteogenesis imperfecta.1

Gambar 30. Radiografi anak 2 tahun dengan riketsia dengan penurunan


densitas tulang, memperlihatkan mineralisasi tulang yang lemah. (Sumber:
Marini JC, 2007.)

3.2 Peranan Ultrasonografi


Ultrasonografi berperan dalam mendiagnosis osteogenesis imperfecta
pada masa intrauterin pada trimester kedua kehamilan. Diagnosis osteogenesis
imperfecta dapat ditegakkan pada minggu ke-17 kehamilan dengan mendeteksi
kelainan morfologi pada ultrasonogram. Pada ultrasonogram tampak gambaran
angulasi dan bengkoknya tulang kortikal, panjang tulang kortikal memendek
dari ukuran normal, dan fraktur multipel costa.6
Ultrasonografi juga dapat digunakan untuk membantu pencitraan
pada prosedur biopsi villi korialis untuk pemeriksaan biomolekuler kolagen.6

31
Gambar 31. Ultrasonografi pada kehamilan 16 minggu menunjukkan kesan
edema nuchal. (Sumber: Eroglu D, 2005.)
Celah kecil gelap di bawah kulit belakang leher pada janin disebut
dengan nuchal translucency (NT) pada kehamilan 10-14 minggu atau nuchal
fold (NF) pada kehamilan 15-22 minggu. Peningkatan NF dihubungkan dengan
abnormalitas kongenital muskuloskeletal. Diagnosis osteogenesis imperfecta
apabila ditemukan penebalan NF (edema nuchal),10 serta tampak gambaran
angulasi tulang kortikal, pendeknya tulang kortikal dari ukuran normal, atau
fraktur multipel costa.6

Gambar 32. Ultrasonografi pada kehamilan 20 minggu menunjukkan kesan


hyrop fetalis. (Sumber: Eroglu D, 2005.)

3.3 Peranan Pencitraan Lain


1. Computerized Tomography (CT Scan)

32
Modalitas ini digunakan untuk menilai invaginasi basiler yang terjadi
sebagai komplikasi dari osteogenesis imperfect tipe IV. Garis McGregor,
garis lurus yang menghubungkan permukaan atas tepi posterior palatum
durum ke titik kaudal kurva oksipital, dapat digunakan untuk menilai
komplikasi ini. Proyeksi ujung prosesus odontoid di atas garis McGregor
menunjukkan adanya invaginasi basiler.

Gambar 33. CT scan vertebra servikal pada perempuan, 16 tahun, dengan


osteogenesis imperfecta tipe IV. Gambar ini menunjukkan invaginasi basiler
ringan, dengan ujung sarang-sarang di atas garis McGregor (merah).
(Sumber: Kirpalani A, 2012.)

2. Magnetic Resonance Imaging (MRI)


MRI digunakan untuk menilai invaginasi basiler. Meskipun
radiografi servikal dan CT scan dapat menunjukkan kelainan ini dengan
baik, MRI memiliki keuntungan yaitu dapat mendeteksi kompresi medulla
spinalis.

33
Gambar 34. MRI servikal potongan sagital wanita pada gambar 33. Gambar
ini menunjukkan stenosis ringan pada foramen magnum yang disebabkan
oleh invaginasi basilar (garis merah menunjukkan lebar efektif foramen
magnum). (Sumber: Kirpalani A, 2012).

Gambar 35. Invaginasi basiler pada MRI potongan sagital pada anak
dengan osteogenesis imperfecta tipe III tanpa gejala. Terdapat invaginasi
odontoid di atas garis Camberlain yang menyebabkan penekanan dan

34
perputaran pada pontomedullary junction (tanda panah). (Sumber: Kirpalani
A, 2012).

3. Bone Mass Densitometry (BMD)


Densitometri dapat mengkonfirmasi tingkat keparahan osteoporosis
pada pasien dengan osteogenesis imperfecta serta dapat menilai keberadaan
demineralisasi pada osteogenesis imperfecta tipe I atau tipe IV.6
Teknik pengukuran densitas massa tulang sebagai berikut:6
a. BMD kortikal radial, diukur dengan menggunakan absorpsiometri foton
tunggal atau single photon absorptiometry (SPA).
b. BMD vertebra lumbal pada anak lebih tua dari satu tahun dan leher
femoralis pada anak yang lebih tua dari enam tahun, di mana BMD
diperoleh dengan menggunakan Dual-energyX-ray Absorptiometry
(DXA).
c. BMD tulang vertebra lumbar diukur dengan alat CT scan pada anak lebih
tua dari 4 tahun.
Terdapat beberapa metode untuk menilai densitas massa tulang,
antara lain single-photon absorptiometry (SPA) dan single energy X-ray
absorptiometry (SXA) lengan bawah dan tumit, serta dual-photon
absorptiometry (DPA) dan dual energy X-ray absorptiometry (DXA) lumbal
dan proksimal femur, serta quantitative computed tomography (QCT).11
Single-photon absorptiometry (SPA) menggunakan unsur radioisotop
I yang mempunyai energi foton rendah sekitar 28 keV guna menghasilkan
berkas radiasi kolimasi tinggi. Intensitas berkas radiasi yang diabsorpsi
ditangkap oleh scintillation counter. Dengan menggunakan scanning
rektilinier, densitas massa tulang dapat diukur. Dosis absorpsi yang diperoleh
sekitar 5 mrad (50 Gy). Intensitas berkas radiasi dibandingkan dengan
intensitas berkas radiasi pada phantom yang telah diketahui densitasnya,
sehingga densitas mineral tulang dapat ditentukan. Nilai koefisien akurasi
SPA sebesar 4-6 % sedangkan nilai koefisien presisi sebesar 1-2 %.
Kelemahan alat ini yaitu penggunaannya terbatas pada bagian tulang yang
mempunyai jaringan lunak tidak tebal (seperti tulang radius dan tulang
kalkaneus), sumber radioisotop harus diganti setiap enam bulan sekali, dan
dapat terjadi repositioning error.11
Dual-photon absorptiometry (DPA) memiliki cara kerja yang sama
dengan SPA, tetapi sumber energinya mempunyai foton dengan dua tingkat

35
energi yang berbeda guna mengatasi tulang dan jaringan yang cukup tebal,
sehingga dapat dipakai untuk evaluasi bagian-bagian tubuh dan tulang yang
kompleks seperti leher tulang femur dan tulang vertebra. Sumber energi
yang paling sering digunakan adalah Gd153 yang mempunyai dua tingkat
energi, 44 keV dan 100 keV. Dosis yang diabsorpsi sekitar 15 mrad (150
Gy), waktu paruhnya 240 hari, dan dapat digunakan selama 13-15 bulan.
Tingkat akurasi metode ini sekitar 94-98 % atau koefisien akurasi sebesar 5-
10 % dan koefisien presisi sebesar 2-4 %.11
Dual energy X-ray absorptiometry (DXA) merupakan metode yang
peling sering dipakai dalam menilai densitas massa tulang karena
mempunyai tingkat akurasi dan presisi yang tinggi. prinsip kerjanya sangat
mirip DPA, tetapi sumber energinya berasal dari sinar-X yang dihasilkan dari
tabung sinar-X. DXA dapat menghasilkan dua tingkat energi antar 70 kVp
dan 140 kVp dalam dua sistem yang dapat berganti secara cepat satu sama
lain dengan menggunakan filter (K-edge filter) pada energi sinar-X yang
konstan. Energi efektif yang dihasilkan sebesar 45 keV dan 100 keV. Nilai
koefisien akurasi sebesar 4-10 % dan koefisien presisi sebesar 1-3 %. Nilai
koefisien presisi tulang vertebra 0,26-2,6 %, sedangkan untuk femur 0,7-2,1
%. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesalahan dalam perhitungan yaitu
faktor tulang (osteofit, kompresi vertebra, kalsifikasi aorta, dll.) dan faktor
nontulang (barium intraluminal, prosthesa, obat-obatan yang mengandung
kalsium, pergerakan pasien, dll.).11

36
Gambar 36. Scanner dengan energy X-ray absorptiometry.
(Sumber: Setiyohadi S, 2007.)

Hasil pengukuran dengan DXA berupa (1) densitas mineral tulang


pada area yang dinilai satuan bentuk gram per cm 2; (2) kandungan mineral
tulang dalam satuan gram; (3) perbandingan hasil densitas mineral tulang
dengan nilai normal rata-rata densitas tulang pada orang seusia dan dewasa
muda yang dinyatakan dalam persentase; dan (4) perbandingan hasil densitas
mineral tulang dengan nilai normal rata-rata densitas tulang pada orang
seusia dan dewasa muda yang dinyatakan dalam skor standar deviasi (Z-
score atau T-score). Pada vertebra, nilai densitas mineral tulang yang dilihat
yaitu nilai rata-rata densitas tulang L2-L4 dan pada sendi panggul, dengan
pennghitungan sendi panggul, kolumna femoris, segitiga Ward, dan
trokhanter mayor.11

T-score = BMD pasien BMD rata-rata orang dewasa muda


1 SD BMD rata-rata orang dewasa muda

Z-score = BMD pasien BMD rata-rata orang seusia pasien


1 SD BMD rata-rata orang seusia pasien

37
Gambar 37. Densitometri leher femur. (Sumber: Setiyohadi S, 2007.)

Quantitative computed tomography (QCT) merupakan densitometri


yang paling ideal karena mengukur densitas tulang secara volumetrik
(g/cm3). Kelebihan QCT dibandingkan dengan pemeriksaan lainnya yaitu
kemampuannya menilai hanya pada daerah trabekula saja, dan tidak
terpengaruh pada artefak kalsifikasi ekstra dan intraosseus, seperti kalsifikasi
aorta dan osteofit serta ukuran-ukuran tinggi dan berat badan pasien.
Sementara itu, kekurangan metode ini yaitu dosis radiasi yang dihasilkan
lebih tinggi dibandingkan DXA, sekitar 60 Sv atau sekitar >200 kali lebih
besar dari DXA. Pada tulang vertebra L4, dengan potongan bidang midline
akan tampak perbedaan atenuasi antara korteks dan trabekula, sehingga
dipilih daerah trabekula di bawah korteks. Densitas volumetriknya (g/cm 3)
dihitung dengan cara membandingkannya dengan densitas phantom berisi
CaPO4. Nilai koefisien akurasi sebesar 5-15 % dan nilai koefisien presisi
sebesar 2-4 %.11

38
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Osteogenesis imperfecta merupakan kelainan kongenital umum pada
pembentukan jaringan kolagen yang berfungsi sebagai jaringan ikat tubuh serta
pada umumnya diturunkan secara autosomal dominan. Kelainan ini disebut juga
brittle bone disease, ditandai dengan kerapuhan massa tulang serta
kecenderungan mengalami fraktur multipel akibat trauma ringan. Insiden
osteogenesis imperfecta terdeteksi sekitar 1 : 20.000 kelahiran hidup serta tidak
berhubungan dengan jenis kelamin maupun ras tertentu.
Secara biomolekuler, osteogenesis imperfecta terjadi karena mutasi
dominan gen COL11 (collagen 1 alpha 1) dan COL12 (collagen 1 alpha 2)
yang mengkode sintesis kolagen tipe I serta yang lebih jarang terjadi melalui
mutasi resesif gen LEPRE1 (leucine proline-enrich proteoglican 1) yang
mengkode enzim pembentuk kolagen, prolil-3-hidroksilase, atau gen pengkode
protein terasosiasi kolagen, CRTAP (cartilago associated protein). Mutasi

39
genetik yang terjadi tidak hanya bermanifestasi sebagai kerapuhan tulang, tetapi
juga berupa penipisan kulit, deviasi struktur tulang, hipermobilitas sendi,
kehilangan pendengaran, kerapuhan gigi, dan sklera biru. Osteogenesis
imperfecta dengan spektrum kelainan yang luas tersebut diklasifikasikan
menjadi tipe I s.d. tipe VII berdasarkan manifestasi klinis dan histologis yang
ditemukan serta mekanisme pewarisan mutasi genetik, secara autosomal
dominan atau autosomal resesif.
Pemeriksaan penunjang yang berperan penting dalam menegakkan
diagnosis osteogenesis imperfecta di antaranya pemeriksaan radiologi.
Pemeriksaan foto Rntgen dapat menilai fraktur tulang kortikal, kompresi
vertebra, dan kelainan osifikasi tulang pada osteogenesis imperfecta. Hasil
radiografi ini selanjutnya dikorelasikan dengan keadaan klinis untuk
menentukan tipe dan tingkat keparahan osteogenesis imperfecta. Pemeriksaan
foto Rntgen juga dapat menilai penyembuhan fraktur pascaterapi
medikamentosa. Ultrasonografi dapat mendeteksi osteogenesis imperfecta berat
pada masa intrauterine. Sementara itu, pemeriksaan radiologi lain seperti
computed tomography (CT scan), magnetic resonance imaging (MRI), dan bone
mass densitometry (BMD) juga berperan dalam mendiagnosis osteogenesis
imperfecta.
Oleh karena tidak ada pengobatan untuk osteogenesis imperfecta,
penatalaksanaan difokuskan untuk meminimalisasi fraktur, operasi bedah untuk
mengkorekasi deformitas, menurunkan kerapuhan tulang dengan meningkatkan
densitas massa tulang, dan fungsi independen. Langkah-langkah
penatalaksanaan osteogenesis imperfecta antara lain modifikasi perilaku dan
gaya hidup, manajemen ortopedi, dan medikamentosa. Prognosis bergantung
dengan keparahan tipe osteogenesis imperfecta.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Marini JC, 2007. Osteogenesis Imperfecta. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE,
Jenson HB, Stanton BF, ed., Nelson Textbook of Pediatrics, 18th edition.
Philadelphia: Saunders Elsevier Publisher; 2007, chapter 699.
2. Glorieux F, 2007. Guide to Osteogenesis Imperfecta: For Pedriaticians and Family
Practice Physicians. USA: Departement of Health and Human Service;
2007, 1-24.
3. Rogers LF, Auringer ST, 1998. The Congenital Malformation Syndromes:
Osteochondrodysplasias, Dysostoses, and Chromosomal Disorders. Dalam:
Juhl JH, Crummy AB, Kuhlman JE, ed., Paul and Juhls Essentials of
Radiologic Imaging, seventh edition. Philadelphia: Lippincott Raven
Publisher; 2007, 293-328.
4. Murray RK, Keeley FW, 2000. Matriks Ekstrasel. Dalam: Murray RK, Granner DK,
Mayes PA, Rodwell VW, ed., Biokimia Harper, edisi ke-25, cetakan pertama,
terj. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2003, 662-680.

41
5. Suresh SS, Thomas JK, 2010. Metaphyseal Bands in Osteogenesis Imperfecta.
Indian J. Radiol. Imaging. 2010; 20: 42-44.
6. Kirpalani A, 2012. Imaging in Osteogenesis Imperfecta. Diunduh dari
http://www.emedicine.medscape.com/article411919-overview.html pada 26
Januari 2012

7. Anderson PD, 1998. Anatomi dan Fisiologi Tubuh Manusia, edisi kedua, cetakan
keempat, terj. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2010, 37-44.

8. Bhadada SK, et al., 2008. Osteogenesis Imperfecta. Diunduh dari


http://www.japi.org/january_2009/O-4.html pada 26 Januari 2012.

9. Peterson CR, 2003. Radiological Features of The Brittle Bone Disease. Journal of
Dagnostic Radiography and Imaging. 2003; 5, 39-45.

10. Eroglu D, et al., 2005. Prenatal Diagnosis of Osteogenesis Imperfecta associated


with Nuchal Edema: A Case Report. J Turkish German Gynecol Assoc.
2005; 6(4).

11. Setiyohadi S, 2007. Pemeriksaan Densitometri Tulang. Dalam: Sudoyo AW,


Setiyohadi S, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, ed., Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, edisi keempat, jilid II. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia, hlm. 1162-1165.

42

Anda mungkin juga menyukai