Anda di halaman 1dari 41

MAKALAH

KOMPLIKASI DAN PENYULIT DALAM MASA KEHAMILAN


TRIMESTER I DAN II

OLEH
KELOMPOK III
1. LINDA ROSLIANI
2. KARTINI
3. YULIA AINI
4. FATMAWATI
5. NIHLAH

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM
PRODI KEBIDANAN JENJANG D.III
MATARAM
2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga dapat menyusun makalah
ini tepat pada waktunya.

Penyusunan makalah ini telah kami selesaikan dengan lancar,tetapi


kami menyadari bahwa penyusunan tugas makalah ini masih jauh dari kata
sempurna,jadi kami mohon untuk memberikan masukan,kritik,dan saran yang
membangun demi perbaikan dalam penyusunan tugas makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan


baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari
pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini memberikan manfaat bagi kita semua.

Mataram, 01 November 2017

Penyusun
DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN................................................................................
1.1 Latar Belakang...........................................................................
1.2 Rumusan Masalah......................................................................
2.1 Menjelaskan tentang Hepatitis B
2.2 Menjelaskan tentang Malaria..
2.3 Menjelaskan tentang Tuberkulosis.
2.4 Menjelaskan tentang HIV/AIDS..
2.5 Menjelaskan tentang Kmplikasi dn penyulit dalam masa
kehamilan trimester III
2.6 Menjelaskan tentang Plasenta pravia
2.7 Menjelaskan tentang solution plasenta ....
2.8 Menjelaskan tentang Gemell/Makrosomia/polohidramion
2.9 Menjelaskan tentang kehamilan lewat waktu/post term
1.3 Tujuan penulisan.................................................................................
BAB II : PEMBAHASAN...................................................................................
BAB III : PENUTUP..........................................................................................
A. Kesimpulan........................................................................................
B. Saran..................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Kehamilan dapat berkembang menjadi masalah atau komplikasi setiap saat.
Sekarang ini secara umum sudah diterima bahwa setiap kehamilan membawa
resiko bagi ibu. WHO memperkirakan bahwa sekitar 15% dari seluruh wanita
yang hamil akan berkembang menjadi komplikasi yang berkaitan dengan
kehamilannya, serta dapat mengancam jiwanya. Dari wanita hamil di Indonesia,
sebagian besar akan mengalami komplikasi atau masalah yang bisa menjadi fatal.
Survey demografi dan kesehatan yang dilaksanakan pada tahun 1997 menyatakan
bahwa dari tahun 1992-1997, 26 % wanita dengan kelahiran hidup mengalami
komplikasi. Sebagai bidan akan menemukan wanita hamil dengan komplikasi-
komplikasi yang mungkin dapat mengancam jiwanya.

Pemeriksaan dan pengawasan terhadap ibu hamil sangat perlu dilakukan secara
teratur. Hal ini bertujuan untuk menyiapkan seoptimal mungkin fisik dan mental
ibu dan anak selama dalam kehamilan. Selain itu juga untuk mendeteksi dini
adanya kelainan, komplikasi dan penyakit yang biasanya dialami oleh ibu hamil
sehingga hal tersebut dapat dicegah atau diobati sehingga angka morbiditas dan
mortalitas ibu dan bayi dapat berkurang.
BAB II
PEMBAHASAN
A. KOMPLIKASI DAN PENYULIT DALAM MASA KEHAMILAN
TRIMESTER I DAN II
2.1 Hepatitis B
Hepatitis B yang dahulu disebut sebagai hepatitis serum adalah kuasa utama
hepatitis akut dan skala seriusnya, yaitu hepatitis kronik, sirosis, dan karsinoma
hepatoseluler. Infeksi hepatitis B adalah yang paling sering di jumpai pada para
pemakai obat terlarang intravena, homoseksual, petugas kesehatan, dan pasien
yang sering mendapat produk darah( yu,,hemophilia). Virus di tularkan melalui
darahatau produk darah yang terinfeksi, dan melalui air liur, sekresi vagina, dan
semen, karena itu, penyakit ini merupaka penyakit menular seksual.(Leveno
Kenneth,j. 2012)
Pada infeksioleh virus hepatitis B, penanda virologis pertama adalah antigen
permukaan hepatitis B atau HB ag. Antigen e terdapat selama awalhepatitis akut.
Antigen ini berkaitan dengan daya tular dan adanya partikel virus yang utuh, dan
pasieny menunjukan infeksi kronis. Sekitar 90% pasien dengan hepatitis B pulih
sempurna. Dari 10 persen yang mengalami infeksi kronik, sekitar seperempat
mengalami penyakit hati kronik. (Leveno Kenneth,j. 2012)
Baik prevalensi maupun perjalanan klinis infeksi hepatitis Bpada ibu, termasuk
hepatitis fulminan, tidak dipengaruhi oleh kehamilan fulminan, tidak dipengaruhi
oleh kehamilan.( Cunningham. FG.2012)
Virus hepatitis B (HBV) adalah virus yang paling banyak di tularkan melalui
darah di seluruh dunia. Jika seorang wanira carrier (HBV)ia memiliki 85% resiko
menularkan virus ke bayinya.
Dengan demikian anak beresiko tinggi mengalami infeksi kronis, yang dapat
menyebabkan sirosik hepatic atau karsinoma hepatic di masa depan.
Tujuan menawarkan skrining pada wanita hamil, dan imunisasi bayi yang di
lahirkan dari ibu yang terinfeksi, adalah mengurangi penularan infeksi ini melalui
jalur parenatal.
a. Semua ibu di tawarkan skrining HBV selama awal kehamilan
b. Jika pemeriksaan HBV pada ibu positif, bayinya akan di vaksinasi segera
setelah lahir
c. Dapatkan izin memberikan imunisasi bayi sebelum kelahiran, dan berikan
dosis pertama seawall mungkin, tetapi selalu berikan dalam 24 jam.
d. Anjurkan dan dukung menyusui
e. Dosis lebih lanjut di berikan pada usia 1dan 2 bulan, dan dosis buster di
berikan pada usia 12 bulan.
f. Berikan informasi tertulis pada ibu dan dokter umum mereka tentang
jumlah injeksi yang diperlukan bayi, kapan injeksi harus di lakukan, dan
siapa yang akan bertanggung jawab atas pemberian setiap dosis.
g. Tekankan pentingnya penyelesaian serangkaian imunisasi secara lengkap.
2.2 Malaria
Terdapat empat spesies plasmodium yang menyebabkan malaria pada
manusia: vivax, ovale, malariae, dan falsiparum organisme ini di tularkan
melalui gigitan nyamuk anopheles betina. Di seluruh dunia, hampir 300-500
juta orang terjangkit setiap saat dan penyakit ini menyebabkan 1-3 juta
kematian pertahun ( murray dkk., 2000 ). Hampi 40% dari populasi dunia
sampai 2 miliyar orang berisiko terjangkit penyakit. Malaria telah dieradikasi
secara efektif di eropa dan sebagian besar amerika utara kecuali di sebagian
meksiko. (Cunningham, f, Gary.2006)
Penyakit ini di tandai dengan demam dan gejala mirip flu termasuk
menggigil, nyeri kepala, mialgia, dan malaise, yang dapat terjadi dalam
interval interval . gejala lebih ringan pada pasien yang imun. Malaria dapat
menyebabkan anemia dan ikterus, dan infeksi falsiparum dapat
menyebabkan gagal ginjal, koma, dan kematian. (Cunningham, f, Gary.2006)
1. Efek pada kehamilan
. Serangan-serangan malaria secara bermakna meningkat 3-4 kali lipat pada 2
trimester terakhir kehamilan dan 2 bulan pasca partum ( Diagne dkk., 2000 ).
Kehamilan meningkatkan keparahan malaria falsiparum, terutama pada
wanita nulipara yang nonimun ( Nathwani dkk.,1992 ; Robier dk., 1999 ).
Insiden abortus dan pelahiran preterm meningkat pada wanita hamil yang
mengalami malaria ( Menendez dkk,. 2000 ).
Meningkatanya kematian janin mungkin berkaitan dengan infeksi
placenta dan janin. 50 tahnu yang lalu, Jones ( 1950 ) mendapatkan bahwa
parasit memiliki afinitas terhadap pembuluh desi dua dan mungkin
meneyerang placenta secara ekstensif tanpa mengenai janin. Ismail dkk (
2000 ) mempelajari 1179 placenta dari daerah endemik di Tanzania. Dari
jumlah tersebut, 35% memperlihatkan parasit, dan separuh wanita dengan
placenta terinfeksi memperlihatkan hasil negative pada pemeriksaan apusan
darah tepi untuk malaria. Walupun placenta jelas terlibat, infeksi pada
neonatus jarang terjadi. Covell ( 1950 ) mempelajari hal ini secara mendalam
di Afrika dan menyebut insiden malaria neonatus hanya 0,3%. Pada wanita
nonimun, malaria congenital dapat terjadi pada hamper 7% neonatus (
Hulbert, 1992 ). Cot dkk. ( 1992 ) memperlihatlkan bahwa kemoprofilaksis
klorokuin menurunkan infeksi placenta pada wanita terinfeksi yang
asimtomatik menjadi 4% di bandingkan dengan 19% pada kelompok kontrol
yang tidak di terapi, namun, rata-rata berat lahir ke 2 kelompok tidak berbeda.
(Cunningham, f, Gary.2006)
2. Terapi

Obat-obat anti malaria yang sering digunakan tidak di kontra indikasikan bagi
wanita hamil. Beberapa obat anti malaria yang lebih baru memiliki aktifitas
antifolat sehingga secara teoretis dapat berperan menyebabkan anemia
megaloblastik. Pada praktik sebenarnya hal ini tampaknya tidak terjadi.
Setidaknya pada satu penelitian oleh Kueter dkk. ( 1990 ), nulipara lebih
besar kemungkinannya tetap mengalami parasitemia setelah terapi untuk
infeksi falsiparum. Hasil pada ibu lebih buruk apabila malaria falsiparumnya
resisten obat ( Alecrim dkk, 2000 ).

Klorokuin adalah terapi pilihan untuk semua bentuk malaria kecuali P.


falsiparum resisten klorokuin dan strain P. vivak resisten yang baru muncul.
Untuk malaria berat, klorokuin di berikan secara intravena. Untuk wanita
dengan insfeksi resisten klorokuin , dapat di berikan meflokuin. Untuk
malaria resisten yang parah, paisen di berikan kuinin ( kina ) atau kuinidin
secara parental. Wong dkk. ( 1992 ) melaporkan keberhasilan pemberian kina
intravena dan transfusi tukar untuk seorang wanita hamil 31 minggu. Pada
dosis tinggi, meflokuin bersifat teratogenik dan embriotoksik bagi sebagian
hewan percobaan. Walaupun demikian, beberapa data dari WHO ( 1995 ) dan
laporan-laporan menunjukan bahwa obat ini aman dan efektif pada kehamilan
( Briggs dkk.,1998 )
3. Profileksis

Obat ini pernah di evaluasi untuk profilaksis pada 339 wanita hamil dengan
usia gestasi di atas 20 minggu dan terbukti 85% efektif untuk mencegah
malaria falsiparum dan 100% untuk malaria vivak ( Nosten dkk., 1994;
Nosten dan Price, 1995 ). Pada orang yang tidak hamil ,dioksisclean
dianjurkan untuk kemoprofilaksis.

Saat ini sedang dilakukan evaluasi terhadap beberapa vaksin.hampir semua


penelitian tentang vaksin difokuskan pada dua dari hampir 6000 protein
falsiparum salah satu vaksin protein chimeric,SPF 66,TE telah diuji
dilapangan dan mungkin efektif 10-30 % (Olliaro dkk ,1996). Murray dkk.
(2000) memperkirakan bahwa vaksin belisensi akan keluar dalam waktu
sekitar 5 tahun
2.3 Tuberkulosis
Walaupun masih menjadi perhatian diseluruh dunia, tuberkulosis semakin
jarang dijumpai di amerika serikat sejak beberapa dekade terakhir. Pada tahun
1998, angkanya adalah 6,8 per 100.000 orang (Centers of Disease Control and
Prevention,1999b). Jumlah kasus tuberkulosis padawanita usia subur
meningkat 40 persen di amerika serikat antara tahun 1985 dan 1992 (Cantwell
dkk,.1994).
Yang utama ,tuberkolisis pada orang yang lahir diluar negeri telah meningkat
sebesar 50 persen dari perkiraan 18.000 kasus di amerika serikat (Centers for
disease control and prevention,1999b). Memang, di amerika serikat penyakit
ini terutama mengenai kelompok minoritas miski yang berusia lanjut di
perkotaan serta pasien dengan sindrom imunodefissiensi didapat (McKenna
dkk,.1995)
Angka kesembuhan dengan terapi jangka pendek 6 bulan dibawah
pengawasan langsung mendekati 90 persen untuk infeksi baru (China
Tubercolisis Control Collaboration,1996). Yang menjadi perhatian khusus
adalah munculnya tuberkolisis resisten obat baru-baru ini. Di amerika serikat
,12 persen dari 13.500 strain yang diisolasi dari tahun 1994 sampai 1997
resisten terhadap paling sedikit satu obat (pablos-Mendez dkk., 1998).
Di amerika sserikat ,pernah dilaporkan ledakan-ledakan kasus tuberkulosis
resisten banyak obat (multidrug resistant tuberculosis ,MDR-TB) pada pasien
dengan infeksi HIV ,pada beberapa dari kasus ini, tuberkulosis ditularkan ke
para petugas kesehatan.
Perjalanan penyakit . infeksi ditularkan melalui inhalasi Mycobacterium
tuberculosis, yang memicu suatu reaksi granulomatosa di paru. Pada lebih dari
90 persen pasien, infeksi dapat diendalikan dan menjadi ddormsn untuk
jangka waktu yang lama. pada beberapa pasien, terutama yang mengalami
imunosupresi mengalami reakvitasi dan menimnulkan gejala klinis. Gambaran
klinis biasanya berupa batuk dengan sputum minimal, demam ringan,
hemoptisis , dan penurunan berat. Berbagai pola infiltrat tampak pada foto
toraks, dan mungkin jugaterdakap kavitasi atau limfadenopati mrdiastinum.
Basil tahan asam dijumpau pada apusan sputum pada seitar duaa pertiga dari
pasien yang biakannya positif. Tuberkulosis ekstraparu dapat timbul disemua
organ, dan hampir 40 persen pasien positif HIV mengalami penyakit
diseminata (Weinberger dan Weiss,1999)
a. Tuberkulosis kehamilan
Masuknya seejumlah besar wanita ke amerika seikat dari asia , afrika ,
meksiko , dan amerika tengah disertai peningkatan frekuensi tuberkulosis
pada wanita hamil. Selain itu, wanita hamil yang positif HIV berisiko lebih
besar. Margono dkk .(1994) melaporkan pengalaman mereka di kota new
york . di kings county hospital dan saint vincents hospital dari tahun 1985
sampai 1990, angka tuberkulosis pada kehamilan adalah 12 kasus peer
100.000pelahiran . selama tahun 1991 dan 1992 angka ini meeningkat
menjadi 95 per 100.000. terdapat 16 wanita hamil dengan tuberkulosis aktif,
dan 7 dari 11 yang di periksa positif HIV.
b. Hasil kehamilan
Sebelum terapi antituberkulosis, kehamilan diduga berefek buruk bagi
perjalanan tuberkulosis (Anderson ,1997). Pengalaman-pengalaman sezaman
sudah jarang karena kemoterapiberhasil mengurangi efek yang ditimbulkan
oleh penyakit berat. Jana dkk .(1994) melaporkan hasil 79 kehamilan dari
india dengan penyulit tuberkulosis paru aktif. Terjadi peningkatan insiden
persalinan prematur dabberat lahir rendah serta hambatan pertumbuhan pada
janin, serta peningkatan enam kali lipat angka kematian perinatal. Hasil yang
buruk berkolerasi dengan keterlambatan diagnosis, terapi yang tidak lengkap
atau tidak teratur , dan lesi paru tahap lanjut. Mereka juga mempelajari hasil
pada 33 kehamilan dengan penyulit tuberkulosis ekstraparu (Jana dkk., 1999).
Walaupun limfadenopati tidak mempengaruhi hasil, sepetiga wanita dengan
infeksi di ginjal, usus, dan tulang memiliki bayi yang berat lahirnya rendah.
Gigueroa-damian dan arrendond-garcia (1998) melaporkan hasil-hasil serupa
pada 25 wanita hamil darimexico city. Dalam sebuah studi prospektif di
London baru-baru ini, Llewelyn dkk. (2000) melaporkan bahwa9 dari 13
wanita hamil mengidap tuberkulosis ekstraparu karena keterlambatan.
2.4 HIV/AIDS
a. Sindrom imunodefisiensi didapat (AIDS)

Sindrom imunodefisiensi di dapat (acquired imunodefisiency syndrome,


AIDS) pertama kali dilaporkan pada tahun 1981 saat sekelompok pasien diketahui
mengalami gangguan imunitas selular dan pneumonia pneumocystis carinii.
Secara keseluruhan, infeksi pada wanita meningkat, dan proporsi wanita dan
gadis remaja yang terinfeksi meningkat 3 kali lipat dari 7 menjadi 23% dari tahun
1985 sampai 1998. Sejak saat itu, prefalensi penyakit yang mematikan ini
meningkat di seluruh dunia hampir secara geometris. Di amerika serikat sampai
tahun 1998, Faucy (1999) menyebut sekitar 650.000 sampai 900.000 orang
terinfeksi hampir setengah juta meninggal. Pada tahun 1994, kematian akibat
infeksi HIV menjadi penyebab utama kematian pada orang berusia 25-44 tahun.
Infeksi prenatal juga meningkat. Sampai tahun 1993, Center For Disiase Control
and Prefention (1997b) memperkirakan bahwa di Amerika Serikat 15.000 anak
terinfeksi HIV lahir dari wanita positif HIV.

Wanita berkulit hitam memperlihatkan peningkatan angka infeksi yang


lebih besar, dan pada tahun 1997 di perkirakan bahwa 1 dari 160 wanita Amerika
sampai Afrika terinfeksi. Pada tahun 1997 di Amerika Serikat jumlah kasus AIDS
pada pria dan wanita Amerika sampai Afrika melebihi kasus pada kelompok
etnis, ras manapun (Center For Disiase Control and Prefention, 1998d). Havercos
dkk. (1999) melaporkan risiko relatif untuk AIDS adalah 4.7 untuk orang
Amerika sampai Afrika dibandingkan dengan 1.0 untuk orang berkulit putih, 3.0
untuk keturunan Spanyol, 0.5 untuk penduduk pribumi Amerika Indian dan 0.4%
untuk orang Asia/ kepulauan Pasifik.

b. Uji serologis

Enzyme immunoassay (EIA) digunakan sebagai uji penapis untuk antibody


HIV. Uji penapis yang positif memiliki sensitifitas lebih dari 99.5%. Uji positif
dikonfirmasi dengan Western blot atau immunofluorescence assay(IFA).
Walaupun sangat spesifik, Western blotkurang sensitive dibandingkan dengan
immunoassaykarena untuk memberikan hasil positif diperlukan lebih banyak
antibody. Dengan demikian, immunofluorescence assay dapat digunakan untuk
memastikan sampai yang positif EIA tetapi hasil western blot-nya meragukan.
Menurut Center for Disiase Control and Prefention (1998b), antibody dapat di
deteksi pada 95% pasien dalam waktu 6 bulan setelah infeksi, dan karenanya
pemeriksaan antibody tidak dapat menyingkirkan infeksi yang terjadi lebih dini.
Untuk infeksi HIV primer akut diperlukan identifikasi antigen inti p24 atau RNA
virus.

Hasil konfirmasi yang positif palsu jarang terjadi, dan pada satu penelitian
terhadap hampir 300.000 donor darah, dengan biakan virus tidak terdeteksi
adanya hasil positif-palsu western blot (Center for Disiase Control and
Prefention, 1995). Hasil Western blotyang meragukan dapat terjadi karena factor-
faktor yang mencakup :

1. Individu baru terinfeksi sehingga sedang mengalami seroconfersi


2. Penyakit HIV stadium akhir
3. Bayi yang terpajan secara prenatal dan sedang mengalami seroconfersi
4. Reaksi nonspesifik pada wanita tidak terinfeksi yang sedang atau pernah
hamil.
c. Penapisan
Belum terdapat kesepakatan mengenai siapa yang harus menjalani penapisan,
dan yang lebih penting, sebagaimana sebaliknya menangani hasil positif.
Tentunya masuk akal seandainya semua produk darah diperiksa, dan hal ini
sudah dilakukan sejak tahun 1983. Lackritz dkk (1995) melaporkan bahwa
risiko penularan HIV adalah satu kasus untuk setiap 450.000 sampai 660.000
donasi darah yang sudah ditapis. Pada tahun 1992, food and drug
administration mengharuskan pemeriksaan HIV-2 untuk semua donor darah.
Pada tahun 1991, Intitute og Medicine menganjurkan penapisan
perinatal yang universal tetapi suka rela. Center for Disiase Control and
Prefention (1998b) serta American Academi of Pediatrics dan American
College of Obstetricians and Gynecologist (1997) juga menganjurkan
pendekatan ini. Ecker (1996) menghitung pemeriksaan semacam ini akan
bermanfaat pada populasi wanita hamil dengan prefalensi HIV melebihi
9/1000. Namun, Patrick dkk. (1998) dalam suatu studi retrosfektif yang
dilakukan di bretish Columbia, menyimpulkan bahwa penapisan prenatal
tetap bermanfaat walaupun pada populasi dengan prevalensi HIV yang
rendah.

d. Infeksi pada ibu dan janin


Untuk menentukan serobprevalensi HIV pada ibu hamil, Gwinn dkk. (1991)
memeriksa hampir 2 juta neonatis dari 38 negara bagian pada tahun 1988 dan
1989. Mereka memperkirakan bahwa secara keseluruhan 1.5 wanita per 1000
mengalami infeksi, dan untuk kota New York, angkanya adalah 5.8 per 1000.
Lindsay dkk. (1991) memeperlihatkan bahwa pasien prenatal di kota-kota
besar di Atlanta lebih besar kemungkinannya seropositive apabila tidak
mendaftar untuk menjalankan perawatan prenatal. Yang utama, walaupun
pada semua studi ini wanita berasal dari populasi minoritas kota besar, hanya
separuh yang dianggap super tinggi. Studi-studi ini menekankan pentingnya
rekomendasi bahwa pemeriksaan serologis dan penyuluhan ditawarkan
kepada semua wanita hamil.

Sekarang sudah dipastikan bahwa penularan ibu kepada bayinya


penyebab utama infeksi HIV pada anak. Penularan transplasenta dapat terjadi
sejak awal, dan virus pernah ditemukan pada janin yang mengalami terminasi
kehamilan dini dengan aborsi elektif (Lewis dkk,1990). Namun, pada
sebagian besar kasus, penularan terjadi saat lahir, dan 15-25% bayi yang lahir
dari ibu yang terinfeksi HIV namun tidak diterapi akan terinfeksi (Center for
Disease Control and Prevention, 1998b).
Penularan pertikal lebih sering terjadi pada kelahiran preterm,
terutama yang berkaitan dengan ketuban pecah lama. Dengan menganalisis
data dari The Prenatal AIDS Collaborative Transmission Study, Kuhn dkk
(1999) melaporkan risiko relative 3.7 untuk penularan HIV intra partum pada
kelahiran preterm. Landasman dkk(1996) melaporkan bahwa pelaporan HIV-
1. Saat lahir meningkat dari 14 menjadi 25 % pada wanita yang selaput
ketubannya sudah pecah lebih dari 4 jam. Infeksi Sifilis yang bersamaan juga
berkaitan erat dengtan penularan HIV vertical prenatal (Lee dkk, 1998).
Akhirnya, terdapat bukti bahwa menyusui menongkatkan penularan HIV-1
pasca natal sebesar 10-20% (Dunn dkk, 1992). Dalam suatu uji klinis teracak
di Kenya, Nduati dkk.(2000) melaporkan transmisi melalui menyusui sebesar
16%.

Selama beberapa tahun terakhir, ditemukan bahwa penularan HIV


prenatal dapat dikaitkan lebih akuran dengan pengukuran jumlah RNA-virus
didalam plasma (Dickover dkk,1996). Didalam dua study, infeksi neonatus
adalah sekitar 5% apabila kadar kurang dari 1000 salinan/ml dan lebih dari
40% apabila kadar lebih dari 100.000 salinan/ml. Mofenson dkk. (1999)
malaporkan temuan-temuan dari 480 kehamilan yang diteliti oleh pediatric
AIDS/Clinical Trials Grup. Dengan menggunakan analisis multivariate,
mereka mendapatkan kadar RNA HIV-1 dalam plasma merupakan predicator
tebaik untuk risiko penularan prenatal. Yang penting, terapi ziddovudin yang
mengurangi kadar ini menjadi kurang dari 500 salinan/ml akan memperkecil
risiko. Mereka juga mengamati bahwa infus globulin hiperimun HIV-1 tidak
merubah risiko penularan.

e. Penatalaksanaan selama kehamilan


Konseling merupakan keharusan bagi wanita positif HIV. Hal ini sebaliknya
dilakukan pada awal kehamilan, dan apabila memilih untuk melanjutkan
kehamilannya, perlu diberikan konseling berkelanjutan untuk membantu
wanita tersebut secara psikologis. Perkembangan penatalaksanaan selama
kehamilan mengikuti kemajuan-kemajuan dalam pengobatan individu
nonhamil yang terinfeksi HIV. Standar penanganan yang berlaku saat ini
mengharuskan wanita hamil dan janinnya menjalani terapi yang paling efektif
yang tersedia. Karena konsekuensi penyakit yang tidak diobati sangat
merugikan, terjadi pergeseran dari focus pengobatan yang semata-mata untuk
melindungi janin menjadi pendekatan yang lebih berimbang berupa ngobatan
bagi ibu dan janinnya (Kass, dkk, 2000).
B. Komplikasi dan penyulit dalammasa kehamilan trimester III
2.5 Plasenta preavia
Plasenta previa adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim
sehingga menutupi seluruh atau sebagian dari ostium uteri internum.
Penyebab plasenta previa belum jelas diketahui.

Pada plasenta previa, plasenta terletak di atas atau dekat osservikalisimterna.


Variasi plasenta di dapatkan previa antara lain : plasenta previatotal, parsial,
dan margimal (sisi pinggir plasenta berada pada sisi pinggir
osservikalisinterna), dan plasenta letak rendah ( sisi pinggir plasenta tertanam
pada segmen bawah uterus dekat sisi pinggir osservikalisinterna). Tanda
tanda plasenta previa total dan parsial biasanya tidak muncul sampai terjadi
perdarahan pervaginam yang tidak menimbulkan nyeri yang merupakan
akibat deksi hepatitis B adalah yang paling sering di ari pemisahan plasenta
karena segmen uterus bawah sedang dibentuk dan dilatasi serviks dimulai
(kemungkinan ketika terjadi kontraksi uterus) pada akhir trimester ke 2 atau
ke 3. Diagnosa dengan menggunakan ultrasonografi transabdomen
menghasilkan hasil akurat pada 93% kasus. Jika kondisi tersebut terdiagnosis
sebelum usia kehamilan 20 minggu, 90% di antaranya biasanya pulih dengan
sendirinya. Sedangkan kasus plasenta previa total yang terdiagnosis selama
trimesterkedua akan menetap pada 26% wanita. Plasenta previa parsial dan
marginal akan menetap pada 2,5% 18 dari keseluruhan insiden 0,3 -0,7%.
Efek hemoragi pada janin meliputi sindrom gawat napas dan anemia.
Komplikasi pada ibu meliputi hemoragi dan peningkatan risiko plasenta
aktera.

Vasa previa terjadi karena insensi velamentosa tali pusat ke dalam plasenta
ketika pembuluh darah janin masuk melalui membran diatas osservikalis.
Vesaprevia jarang terjadi, tetapi sering dikaitkan dengan hemoragi janin.

1. Faktor risiko :
a. Merokok (yang melipat gandakan risiko).
b. Penggunaan kokain (kemungkinan akibat hipertrofi plasenta).
c. Erittroblastosis.
d. Riwayat seksiosesaria (setelah 1 , 1-4% risiko ; setelah >/- 4, 10% risiko).
e. Riwayat aborsi trapeutik.
f. Paritas meningkat.
g. Usia ibu >35 tahun.
h. Kehamilan multipel.
2. Klasifikasi
a. Klasifikasi plasenta previa berdasarkan terabanya jaringan plasenta
melalui pembukaan jalan lahir pada waktu tertentu:
b. Plasenta previa totalis: bila seluruh pembukaan jalan lahir tertutup oleh
plasenta
c. Plasenta previa lateralis: bila hanya sebagian pembukaan jalan lahir
tertutup oleh plasenta
d. Plasenta previa marginalis: bila pinggir plasenta berada tepat pada pinggir
pembukaan jalan lahir
e. Plasenta previa letak rendah: bila plasenta berada 3-4 cm diatas pinggir
pembukaan jalan lahir
3. Diagnosis
a. Anamnesis : adanya perdarahan pervaginam pada kehamilan lebih 20 minggu
dan berlangsung tanpa sebab.
b. Pemeriksaan luar: sering ditemukan kelainan letak. Bila letak kepala maka
kepala belum masuk pintu atas panggul.
c. Inspekulo: adanya darah keluar dari ostium uteri eksternum.
d. USG untuk menentukan letak plasenta.
e. Penentuan letak plasenta secara langsung dengan perabaan langsung melalui
kanalis servikaslis tetapi pemeriksaan ini sangat berbahaya karena dapat
menyebabkan perdarahan yang banyak. Oleh karena itu, cara ini hanya
dilakukan di atas meja operasi.
2.6 Sulutio plasenta
a. Pengertian Solusio plasenta
Solusio plasenta (atau abruption placenta) didefinisikan sebagai pemisahan
premature plasenta yang implantasinya normal. Solusio plasenta merupakan
komplikasi pada sekitar 1 dari 200 persalinan. Sebagian perdarahan pada
solusio plasenta biasanya lolos melalui celah antara membrane dan uterus
kemudian keluar melalui serviks, menyebabkan perdarahan tertutup.
meskipun lebih jarang, darag juga mungkin tidak keluar, tetapi tertahan di
antara plasenta yang terlepas dan uterus, menyebabkan perdarahan tertutup (
concealed hemorrhage). Solusio plasenta dapat bersifat total atau parsial .
solusio plasenta dengan perdarahan tertutup menimbulkan bahaya yang besar
pada ibu, tidak saja hanya kemungkinan koagulapati konsumtif, tetapi juga
karena keparahan perdarahan mungkin tidak disadari.
Penyebab utama solusio plasenta tidak diketahui, tetapi terdapat
beberapa keadaan terkait. Sejauh ini keadaan yang paling sering dikaitkan
adalah beberapa tipe hipertensi. Hal ini mencakup preeklamsia, hipertensi
getasional, atau hipertensi kronis. Pada solusio plasentayang berat sehingga
janin meninggal, hipertensi ibu dijumpai pada sekitar separuh kasus.
Hipertensi ini mungkin belum disadari hingga volume intravascular yang
berkurang akibat perdarahan diganti dengan adekuat. Insidensi solusio
plasenta meningkat sekitar tiga kali lipat pada wanita hipertensi krosis dan
empat kali lipat pada preeklamsia berat.
b. Solusio rekuren

Wanita dengan riwayat solusio plasenta memiliki peningkatan resiko


kekambuhan sekitar sepuluh kali lipat pada kehamilan berikutnya.
Penatalaksanaan kehamilan selanjutnya mungkin menjadi sulit karena
pemisahan plasenta dapat terjadi mendadak kapan saja, bahkan jauh dari
aterm. Pada sebagian besar kasus kesejahteraan janin sebelum solusio normal
sehingga metode evaluasi janin yang ada saat ini biasanya tidak bersifat
prediktif.

c. Perdarahan janin ke ibu

Perdarahan pada solusio plasenta, hampir selalu bersifat maternal.


Pada solusio plasenta nontraumatik, terdapat tanda-tanda perdarahan
fetomaternal pada sekitar 20 persen kasus dan biasanya berjumlah kurang dari
10 ml. perdarahan janin yang signifikan lebih besar kemungkinannya terjadi
pada solusio traumati

d. Evaluasi klinis

Tanda f\dan gejala umum pada solusio plasenta. Akan tetapi


ditekankan bahwa tanda dan gejala solusio plasenta dapat sangat bervariasi
sebagai contoh, perdarahan eksternal dapat banyak, namun pemisahan
plasenta yang terjadi mungkin tidak terlalu luas sehingga mengganggu janin
secara langsung meskipun jarang, plasenta dapat seluruhnya dapat terlepas
dan janin meninggal, tetapi tidak ada perdarahan eksternal.

Pada kasus solusio plasenta berat, diagnosis biasanya jelas. Bentuk


solusio yang lebih ringan dan lebih umum sulit dikenali dengan pasti dan
diagnosa sering dibuat dengan penyingkiran oleh karena itu pada kehamilan
dengan janin hidup dan penyulit perdarahan pervaginaan, sering diperlukan
insfeksi klinis dan evaluasi ultrasonografi untuk menyingkirkan plasenta
previa dan kausa perdarahan lainnya. Telah lama diajarkan mungkin sedikit
pembenaran bahwa perdarahan uterus yang nyeri adalah solusio plasenta
sedangkan perdarahan tidak nyeri menunjukkan plasenta previa. Sayangnya,
diagnosis banding tidaklah sederhana itu. Persalinan menyertai plasenta previa
dapat menimbulkan nyeri yang mengisyaratkan solusio plasenta berimplan
difosterior. Dipihak lain, solusio plasenta mungkin mirip dengan persalinan
normal, atau bahkan tidak menimbulkan nyeri sama sekali belum ada uju
laboratorim atau metode diagnosis yang secara akurat dapat mendeteksi
solusio plasenta derajat ringan.

e. Koagulopati konsumtif
Salah satu kasus tersering koagulopati konsumtif yang secara klinis bermakna
dalam obstetric adalah solusio plasenta. Hipofibrinogenemia yang nyata
(kurang dari150mg/dl) disertai oleh peningkatan kadar produk penguraian
fibrin, dimer D, dan penurunan fluktuatif factor-faktor koagulasi lain
ditemukan pada sekitar 30 persen wanita dengan solusio plasenta yang cukup
parah sehingga mematikan janin. Pada permulaan, Hipofibrinogenemia yang
parah mungkin disertai oleh trombositopenia mungkin jugs tidak. Akan tetapi,
setelah transfuse darah berulang sering terjadi trombositopenia karena darah
donor kurang mengandung trombosit. Defek koagulasi yang parah ini lebih
jarang dijumpai pada kasus yang janinnya bertahan hidup.
f. Gagal ginjal
Gagal ginjal akut akibat banyak kehilangan darah dapat menjadi penyulit
solusio plasenta. Untungnya, tiga perempat kasus gagal ginjal akibat solusio
plasenta disebabkan oleh nekrosis tubulus akut yang reversible. Bahkan jika
solusio plasenta dipersulit oleh koagulasi intravascular yang parah dan
perdarahan, terapi yang cepat dan agresif dengan darahdan larutan kristaloid
sering dapat mencegah disfungsi ginjal yang secara klinis signifikan.
g. Oterus cauvalair
Solusio plasenta dapat mengalami penyulit berupa ekstravasasi luas
darah ke dalam otot uterus dan dibawah serosa uterus. Apopleksi
uteroplasenta yang pertama kali dilaporkan oleh Couvelaire pada awal tahun
1900-an ini, sekarang sering dinamai uterus Couvelaire. Efusi darah ini juga
kadang-kadang dijumpai dibawah serosa tuba, dibawah jaringan ikat
ligamentum latum, dan diparenkim ovarium, serta bebas di rongga
peritoneum. Perdarahan myometrium ini jarang mengganggu kontraksi uterus
sedemikian berat sehingga menyebabkan perdarahan pascapartum dan bukan
merupakan indikasi histerektomi.
h. Penataklanaan
Terapi solusio plasenta akan bergantung pada usia gestasi dan status
ibu dan janin. Pada janin yang hidup dan matur, dan jika persalinan
pervaginaan tidak terjadi dalam waktu dekat, dianjurakan sesar darurat. Pada
perdarahan eksternal yang massif, resusitasi intensif dengan darah flus
kristaloid disertai pengeluaran segera janin untuk mengendalikan perdarahan
dapat menyelamatkan nyawa ibu dan, diharapakan, nyawa janinya. Jika
diagnosis tidak pasti dan janin masih hidup, tetapi tanpa tanda-tanda
gangguan maka dapat dilakukan pengawasan ketat dengan fasilitas untuk
intervensi segera.
2.7 Gemelli/ makrosomia/polihidramion
1. Gemelli
a. Kehamilan Kembar

Dalam dua dekade terakhir, jumlah kehamilan kembar di maerika serikat telah
meningkat secara tak terduga. Peningkatan yang luar biasa ini, terutama
berkaitan dengan teknologi pembantu reproduksi, merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang besar. Bayi kembar lebih kecil kemungkinan
bertahan hidup dan lebih besar kemungkinan menderita disabilitas akibat
pelahiran prematur seumur hidupnya. di Parkland Hospital, bayi kembar
hanya 1 dari 44 kelahiran, namun menyebabkan 1 dari 8 kematian perinatl.
Selain itu, penyulit ibu, seperti hipertensi dan sesar meningkat (lihat Tabel
68).
b. Diagnose kembar

Berbagai teknik dapat digunakan untuk mencurigai secara klinis atau


mendiagnosa gestasi multijanin. Selama trimester kedua, ukuran uterus rata-
rata adalah 5 cm. Lebih besar daripada yang diperkirakan untuk gestasi 20
hingga 30 minggu. Pada trimester ketiga, palpasi uterus mungkin
mengisyaratkan adanya bayi kembar jika teraba dua kepala di kaudran uterus
yang berbeda. Mungkin terindentifikasi dua jantung janin jika denyut
keduanya jelas berbeda satu sama lain dan dengan kecepatan jantung ibu.
Kembar juga dapat didiagnosis selama skriningkadar alfa-fetoprotein serum
ibu yang meingkat, meskipun peningkatan ini saja tidak bersifat diagnostik.
Saat ini, belum ada pemeriksaan biokimiawiyang dapat denganadal
membedakan antara keberadaan satu janin dan lebih dari satu janin.
Penggunaan ultrasonografi pranatalyang meluas telah banyak mengurangi
insiden kehamilan kembar yang tidak terdiagnosis.

c. Adaptasi ibu terhadap kehamilan kembar


Derajat perubahan fisiologis itu lebih besar pada kehamilan multijanin
dibandingkan kehamilan janin tunggal, demikian juga kemungkinan penyakit
yang serius pada ibu.
Sejak trimester pertama , wanita dengan kehamilan kembar sering mengalami
mual dan muntah yang lebih parah dibandingkan mereka yang hamil tunggal.
Ekspansi normal volume darah ibu adalah 500mL. Lebih banyak pada
kehamilan kembar ,dan kehilangan darah rata-rata pada persalinan per
vaginam adalah 935 mL., atau hampir 500 mL. Lebih banyak dibandingkan
persalinan bayi tunggal. Peningkatan kebutuhan esi dan folat yang
ditimbulkan oleh janin kedua dapat menyebabkan ibu mengalami anemia.
Dibandingkan kehamilan tunggal, curah jantung meningkat akibat
meningkatnya kecepatan denyut jantung dan nertambahnya isi sekuncup.
Ukuran uterus yang lebih besar pada janin kembar memperkuat perubahan
anatomis yang terjadi pafa kehamilan nermal. Memang, uterus dan isinya
dapat memiliki volume hingga 10 liter atau lebih dari 10 kg.
d. Durasi kehamilan kembar
Sekitar separuh dari kehamilan kembar lahirpada 36 minggu atau lebih dini,
dan persalinan sebelum term merupakan penyebab utama meningkatnya risiko
kematian dan morbiditas pada bayi kemar.selainitu, hipertensi ibu, hambatan
pertumhuhan janin, dan solusio plasenta merupakan keadaan yang sering
menjadi indikasi prematur.
Apakah ada batas atas yang aman bagi gestassi kembar? Dilaporkaan bahwa
insiden hambatan pertumbuhan janin dan morbibitas terkait meningkat secara
brmakna pada kembar yang lahir antara 39dan 41 minggu dibandingkan
orang lahir pada 38 minggu atau kurang. Di Prakland Hospital , gestasi
kembar secar empiris telah lama dianggapmengalami pemanjangan masa
gestasi, yaitu sekitar 40minggu.
e. Persalinan premature

Kehamilan kembar memperlihatkan tingkat penyimpangan hasil akhir


kehamilan yang jauhlebih besar dibandingkan kehamilan normal, terutama
akibat persalinan prematur. Upaya memperlama gestasi difokuskan pada tirah
baring, profilaksis dengan obat tokolitik beta-mimetik oral, dan pengikatan
serviks. Rawat inap elektif rutin tidak terbukti bermanfaat dalam
memperpanjang kehamilan kembar atau memperbaiki kesintasan bayi, akan
tetapi sampai sebanyak 50 persen kehamilan kembar atau persalinan prematur.
Terapi beta-mimetik pada wanita sepeti hipertensi atau persalinan prematur.
Terapi beta-mimetik pada wanita dengan janin kembar mengandungrisiko
yang lebih besar daripadakehamilan tunggal, sebagian karena meningkatnya
volume plasma dan beban kardiovaskular menyebabkan wanita denganjanin
kembar sangat rentan mengalami edema pani. Sebagian besar uji klinis acak
obat-obat tokolinik pada kehamilan kembar tidak membuktikan adanya
pengurangan bermakna angka persalinan prematur. Demikian juga pengikatan
serviks secara profilaksis, belum terbukti menurunkan angka persalinan
prematur secara bermakna.

f. Tertundanya pelahiran kembar kedua

Telah dilaporkan kasus dengan satu atau lebih janin multipel dikeluarkan
secara sangat prematur, dan karena aktivitas uterus kemudianberhenti,
kehamilan dibiarkan berlanjut. Umumya. Kelahiran pertama terjadi akibat
ketuban pecah dini,dan tingkat kesintasan untuk bayi-bayi ini sangat rendag,
akan tetapi, kehamilan kembar dua atau kembattiga yang bertahan hidup di
dalam uterus dilaporkan dapat berlanjut hingga berhari-hari atau bahkan
berminggu-minggu . jika diupayakan pelahiran asinkron, harus dilakukan
evaluasi cermat untuk mencari ada tidaknyainfeksi , solusio , dan anomai
kongenital. Wanita yang bersangkutan perlu diberi penyuluhan secara lengkap
mengenai risiko potensial penanganan semacam ini.

g. Pematangan paru

Mungkin diperlukan amniontesis dengan tujuan menentukan


tingkatkematngan parujanin kembar. Berdasarkan penentuan rasio lesitin-
sfingomielin, pematangan paru biasanya berlangsung sejalan pada janin
kembar dan sering terjadi sampai usia gestasi sedini 32 minggu. Akan tetapi,
pada beberapa kasus mungkin terdapat kesenjangan fungsi paruyang
mencolok seperti janin yang lebih kecil dan paling mengalami stres mugkin
memiliki paru lebih matang. Dalam situasi ancaman persalinan prematur,
pemberian kortikosteroid dianjurkan, seperti pada kehamilan tunggal (lihat
Bab 62dan 63).

h. Hipertensi kehamilan

Gangguan hipertensif aibat kehamilan jauh lebih besar kemungkinan


timbulpada janin multipel. Hipertensi juga cenderung timbul lebih awal dan
lebih parah. Salah satu tujuan penatalaksanaan antepartum wanita dengan
janin kembar adalah identifikasi dini hipertensi dan rawat inap segera sebagai
upaya menahan progresivitas penyakit. Penanganan hipertensi antepartum
pada wanita dengan janin kembar, identik dengan penanganan untuk
kehamilan tunggal dandirinci di Bab 49.

i. Sonografi

Pertumbuhan janin lebih lambat dibandingkan dengan kehamilantunggal, dan


juga mungkin tidak setara di antara kedua kembar. Telah diciptakan suatu
bagan pertumbuhan janin yang spesifik untuk kembar dan diperlihatkan di
Apendiks B. Pertumbuhan interval yang sesuai merupakan tanda yang
menenangkan penilaian voume cairan amnion juga penting karena adanya
oligohidramnion mungkin menunjukkan patologi uteroplasenta . kuantifikasi
cairan amnion mungkin lebih sulit dilakukan pada kehamilan kembar, volume
biasanya ditaksir secara subjektifatau menggunakan satu kantong vertikal
terdalam dan bukanindeks cairan amnion (lihat Bab 14).

1. Pelahiran Janin Kembar


Banyak penyulit, termasuk persalinan premature, persalian di
fungsional, kelahiran presentasi, prolaps tali pusat, solusio placenta, dan
perdarahan pascapartum, di jumpai lebih sering pada kehamilan dengan janin
multiple.presentasi paling sering pada saat pasien masuk untuk melahirkan
adalah kepala-kepala, kepala bokong, dan kepala lintang presentasi, terutama
untuk kembar selain kepala kepala, bersifat tidak setabil sebelum dan selama
persalinan atau pelahiran. Jika di perkirakan akan terjadi pelahiran dua janin
atau lebih, penanganannya harus di lakukan secara khusus. Petunjuk sfesifik
Persalinan umunya lebih singkat di persalinan kembar. Kadang janin
perlu di lahirkan sebelum awitan persalinan, seperti pada kasus hipertensi
berat. Jika terdapat pembukaan servik dan sebagian presentasi sudah masuk,
amniotomi dapat memicu persalinan dan pelahiran. Jika wanita yang
bersangkutan memenuhi semua kriteria pemberian oksitosin untuk induksi
persalinan. American College of Obstetricians and Geyanecologists ( 1995 )
menyatakan bahwa geltasi multijanin bukan merupakan kontra indikasi untuk
indukasi persalinan, tetapi suatu kondisi yang memerlukan perhatian khusus
jika terjadi persalinan lama jika tidak efektif dengan atau tanpa rupture selaput
ketuban, sesar mungkin menjadi pilihan terbaik.
a. Pelahiran pevaginam

Banyak ahli obsterik merencanakan pelahiran per vaginam untuk


kembar dengan presentasi kepala-kepala jika kemajuan persalinan
memuaskan. Rute pelahiran optimal kembar untuk kembar kepala-nonkepala
masih diperdebatkan, terutama jika berat janin masih di perkirakan berat
janin masih sangat rendah. Maslah yang berkaitan dengan per vaginam
kembar dua yang sungsang serupa dengan janin nunggal dengan catatan
tambahan bahwa kembar yang lahir kedua berprognosis buruk dengan
kembarnya yang di lahir pertama.berbagai laporan yang terakhir membuktikan
ke amanan pelahiran per vaginam pada kasus-kasus sperti ini, terutama di
lakukan ekstraksi bokong pada kembar kedua. Jika kembar pertama sungsang,
sebagian besar dokter merencankan sesar, punyiltan yang jarang pada kembar,
yaitu saling mengunci ( interlocking twin ) hanya dapat terjadi bila kembar
pertama memiliki presentasi bokong dan kembar kedua kepala, se waktu
bokong turun ke jalan lahir, dagu janin pertama dapat tersangkut di bawah
leher dan dagu janin ke dua.

b. Teknik untuk Melahirkan Janin Kedua

Segera setelah kembar pertama di lahirkan, bagian presentasi kembar


kedua, ukurannya, dan hubungannya dengan Gabungan pemeriksaan
abdomen, vagina, dan kadang-kadang intrauterus jika kepala atau bokong
janin terfiksasi di jalan lahir, di lakukan tekanan sedang pada fundus dan
memberan di pecahkan. Tanpa prolaps tali pusat, persalinan di biarkan
kembali berlangsung sambil memantau denyut jantung janin. Dapat di
gunakan oksitosin encer untuk merangsang aktivitas meomiterium jika di
perlukan. Jika oksiput atau bokong terletak tepat di pintu atas panggul, tetapi
belum terfiksasi di jalan lahir, bagian presentasi sering dapat di tuntun
memasuki jalan lahir dengan tangan di vaginal, sedangkan satu tangan di
fundus uterus member tekanan sedang. Versi eksnternal intrafartum pada
kembar ke dua non kepala juga pernah di laporkan, jika oksiput atau bokong
belum berada di pintu atas panggul dan tidak dapat di posisikan demikian
oleh tekanan lembut pada bagian presentasi, atau jika terjadi perdarahan
uterus yang cukup banyak, pelahiran per vaginam kembar dua dapat menjadi
problemati. Untuk memanfaatkan maksimal dilatasi servik sebelum servik
mengalami retraksi, penudaan harus di hindari. Agar perpliharaan per
vaginam member hasil yang memuaskan, di perlukan dokter obstetrik yang
terampil dalam versi podalik internal dan ahli anastesis yang terampil dalam
memberikan Anastesi untuk melemaskan uterus secara efektif.

Kadang- kadang, upaya melahirkan per vaginam kembar kedua per


vaginam setelah kembar pertama lahir bukan saja tidak bijaksana, tetapi juga
mustahil. Mungkin di perlukan sesar untuk kembar kedua,minsalnya, jika
janin kedua jauh lebih besar.

c. Penatalksanaan Persalinan dan Pelahiran untuk Janin Kembar


1. Selama persalinan, ibu bersangkutan harus di temani oleh perawat
ayang telah terlatih. Biasanya di lakukan pemantauan kontinu terhadap
kedua janin.
2. Produk transfusi darah syogianya mudah di peroleh.
3. Pasien harus di pasangi infuse intravena yang dapat menyalurkan
cairan secara cepat.
4. Jika terjadi persalinan premature, pasien biasanya di beri antibiotik
intravena ( biasanya ampisilin ) untuk mencegah infeksi streptokokus
grup B pada neonatus.
5. Harus terdapat ahli obstetric yang terampil dalam teridenfikasi bagian-
bagian janin dan manipulasi janin intrauterus
6. Harus tersedia mesin ultrasnografi di kamar bersalin untuk
mempermudah evaluasi dan posisi dan status kembar kedua setelah
kembar pertama lahir.
7. Ahli anastesi yang berpengalaman harus selalu di siapkan seandainya
di perlukan manipulasi intrauterus atau sesar.
8. Untuk masing- masing bayi, harus di sipakan orang petugas, yang
salah satunya terampil dalam resusitasi neonatus.
9. Kamar bersalin harus memiliki perlengkapan yang memadai untuk
menangani semu kemungkinan komplikasi pada ibu dan resusitasi
masing-masing bayi, dan ruang yang tersedia harus cukup luas
sehingga anggota tim bekerja secara efektif

Daripada yang pertama dan berada dalam posisi sungsang atau letak
lintang hal yang lebig membingungkan, mungkin di perlukan sesar karena
serviks segera berkontraksi dan menebal setelah bayi pertama lahir.

d. Weni Podalik Internal

Tehnik versi podalik interna ( janin di putar untuk melahirkan kaki


pertama kali ) melalui pemeriksaan abdomen, vaginal, dan intrauterus yang
cermat, dapat diidenfikasi berbagai bagian-bagian janin. Satu tangan di
gunakan untuk memecahkan memberan sewaktu kedua kaki teridenfikasi dan
di pegang, dan baru setelah itu ke dua kaki di tarik secara perlaha menuju
jalan lahir. Serta lembut, kepala secara bersamaan di angkat . di buat
episiotomy atau episotomi di perluaskan jika di perlukan lebih banyak ruang
untuk manipulasi uterus dan vagina. Tungkai di tarik secara perlahan melalui
jalan lahir sampai bokong tampak di sebelah anterior tepat di belakang
simfisi ibu, pelahiran selanjutnya di selesaikan seperti pelahiran janin
tunggal dengan letak bokong.
Setelah pelahiran, tali pusat segera di jepit dengan kedua klem di sisi
placenta untuk mengidentifikasinya sebagai tali pusat janin ke dua. Setelah
placenta lahir, uterus di eksplorasi untuk mencari ada tidaknya rupture dan
retensi produk kehamilan sewaktu semua langkah ini di lakukan, agens
anestetik pelemas rahim di hentikan, dan segera setelah eksplorasi uterus
selesai, pasien di beri oxsitosin melalui system infuse intravena. Di lakukan
pemijatan fundus atau, yang lebih di sarankan, komprensi manual uterus
dengan satu tangan di vagina menekan segmen bawah uterus dengan tangan
yang lain secara transabdominal menekan pundus uterus untuk mempercepat
dan memperkuat kontraksi miometrium. Serviks, vagian, daerah periuretra,
vulva, dan prenium diinsfeksi dengan cermat.
e. Interval Antara Kembar Pertama dan Kedua
Dahulu, interval antara pelahiran kembar pertama dan kedua sering di
sebut paling aman jika kurang dari 30 menit, kemudian, adanya pemantauan
janin elektronik secara kontinu menyebabkan interval pelahiran antara ke
dua janin kembar dapat memanjang dengan aman. American College of
Obstetricians and Geyanecologists ( 1998 ) menetapkan bahwa interval
pelahiran antara janin pertama dan kedua tidak penting untuk menentukan
prognosis kembar dua.

f. Sesar

Janin kembar menimbulkan masalah intraoperatif yang tidak lazim.


Ibu kemungkinan lebih tidak toleran dalam posisi lentang sehingga posisinya
perlu dirotasi agar uterus menjauh orta. Insisi harus cukup besar agar kedua
janin lahir secara atraumatis pada sebagian kasus, insisi vertical dan segmen
bawah.

g. Analgesia dan anastesi


Pemilihananalgesia dan anastesis persalinan dengan wanita janin
kembar perlu mempertimbangkan masalah-masalah yang mungkin timbul
akibat 1). Prematuritas, 2). Hipertensi ibu, 3). Persalinan yang tidak
berketentuan, 4). Perlunya manipulasi intrauterus , dan 5). Atonia uterus serta
perdarahan pasca partum. Jika di pilih analgesis epidural, pasien perlu
sebelumnya mendapatakan hidrasi yang memadaia dan sadar secara bertahap
untuk menghindari inpotensi. Terutama jika terdapat hipotensi maternal,
relaksi uterus juga dapat di capai dengan cepat dengan menggunakan
isofluran. Keberatan dalam penggunaan anastetik berholagen seperti isofluran
adalah bahwa mungkin terjadi peningkatan kehilangan darah sewaktu kal 3
persalinan, sampai uterus memperoleh kembali kemampuan berkontraksi
secara normal.

Di parkland Hospital, anastesi umum seimbang atau analgesic epidural


atau subraknoid ( spinal ) regional berbukti memuaskan untuk sesar pada
kehamilan kembar. Jika di perlukan anetesi umum, peningkatan penurunan
oksigen serta kapasitas residual fungsional yang berkaitan dengan kembar
dapat meningkatkan resiko hipoksemia pada ibu sehingga itu perlu di lakukan
praoksigenasi.

2. Makrosomia
Makrosomia adalah kata yang digunakan, secara agak kurang tepat untuk
menjelaskan janin neonatus yang sangat besar. Terdapat kesepakatan umum
diantara para ahli obstetrik bahwa neonatus yang beratnya kurang dari 4000
gram tidak dianggap terlalu besar; tetapi konsensus serupa tentang definisi
pasti makrosomia belum tercapai.

a. Devinisi makrosomia

Untuk pemakaian klinis umum terdapat definisi makrosomia. 2 definisi yang


sering digunakan di dasarkan pada destribusimatematis berat badan lahir
.Berat badan lahir yang melebihi persentil ke 90 untuk minggu gestasional
tertentu digunakan sebagai satu ambang untuk makrosomia. Di pihak lain,
berat lahir 2 simpang bakudiatas rerata (persentil ke 97) juga digunakan untuk
mendefinisikan pertumbuhan janin yang berlebihan. Sebagai contoh, ambang
berat badan lahir pada 39 minggu adalah sekitar 4500 gram (persentil ke 97)
dan bukan 4000 gram (persentil ke 90). Berat badan lahir absolut yang
melebihi suatu ambang spesifik juga digunakan untuk mendefinisikan
makrosomia. Sebagai contoh, berat yang melebihi 4000 gram (8 lb 13,5 oz)
sering digunakan sebagai ambang. Pendapat lain menyebutkan 4250 gram
atau bahkan 4500 gram (hampir 10l lb). Seperti diperlihatkan pada tabel 67-1,
berat badan lahir 4500 gram atau lebih jarang dijumpai (1 persen).
AmerricanCollegeofObstetriciansandGyenecologists(1991) menyimpulkan
bahwa kata makrosomia tepat digunakan pada janin yang, yang saat lahir,
yang memiliki berat 4500 gram atau lebih.

b. Factor resiko

Pada wanita bayi makrosomik, faktor risiko pada ibu teridentifikasi hanya
40%. insidensi diabetes pada ibu meningkat seiring dengan meningkatnya
berat badan lahir melebihi 4000 g (lihat bab 107 dan 108). Diantaa janin
makrosomik dari wanita pengidap diabetes, terdapat peningkatan lingkar bahu
yang konsekuensi adalah peningkatan risiko distosia bahu pada pelahiran per
vagina.

Terdapat beberapa faktor lain yang juga meningkatkan kemungkinan bayi


besar:

1. Ukuran orang tua besar, terutama obesitas pada ibu,


2. Multiparitas,
3. Actor resikoGestasi lama,
4. Usia ibu,
5. Janin laki-laki,
6. Bayi sebelumnya memiliki berat lebih dari 4000 g, dan
7. Ras dan etnik.

Jika wanita hamil memiliki berat lebih dari 150 kg, janinnya memiliki risiko
30% mengalami makrosomia.

c. Diagnosis

Saat ini, adanya janin yang sangat besar belum dapat diperkirakan secara
akurat sehingga diagnosis makrosomia hanya dapat dipastikan setelah bayi
lahir. Obesitas ibu juga meningkatkan ketidakpastian taksiran klinis berat
janin dengan pemeriksaan fisik

Bebagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan ke akuratan perkiraan


berat janin dengan analisis bebagai ukuran yang diperoleh melalui
ultrasonografi. Di ajukan sejumlah rumus untuk menaksir berat janin dengan
menggunakan ukuran ultrasonografis kepala, femur, dan abdomen (lihat bab .
Taksiran yang dihasilkan melalui perhitungan ini, meskipun cukup akurat
untuk memperkirakan berat janin kecil prematur, namun kurang sahih dalam
memperkirakan berat janin yang sangat besar. Belum terdapat rumus yang
memberikan perkiraan tentang makrosomia janin dengan nilai prediktif yang
lumayan akurat. Sebagai contoh, sebagian besar pengukuran berat janin secara
ultrasonografismemberi hasil sekitar kurang lebih 15% dari pada berat
sebenarnya.

d. Kontroversi penatalaksanaan pada janin yang dicurigai makrosomia

Pengetahuan pasti tentang berat badan janin dapat menghindarkan seorang


wanita dari pelahiran per vaginam janin yang kemungkinan besar akan
mengalami kemacetan akibat disproporsifetovelsissejati atau penyulit distosia
bahu. Terdapat beberapa pendekatan kontoversial untuk mencegah penyulit
persalinan pada makrosomia ini
1. Induksi persalinan profilakte

Sebagian pihak menganjurkan induksi persalinan jika ditegakan diagnosis


makrosomia pada wanita nondiabetessebagai suatu cara menghindari
pertumbuhan janin lebih lanjut sehingga kemungkinan penyulit persalinan
dapat dikurangi. Akan tetap, induksi persalinan belum tebukti dapat
menurunkan angka sesar atau distosia bahu dengan mencegapertumbuhan
janin lebih lanjut

2. Sesar Elektif

Kebijakan melakukan sesar terhadap janin makrosonikyang di diagnosis


dengan ultrasonografi dilaporkan tidak efektif secara medis maupun ekonomis
bila dibandingkan penatalaksanaan obstetris standar. Akan tetapi, kebijakan
sesar elektif pada wanita pengidap diabetes dengan janin makrosomik
mungkin dapat dipertahankan. Protokol sesar rutin pada wanita pengidab
diabetes dengan janin yang secara sonografisdiperkirakan memiliki berat 4250
g atau lebih di laporkan secara bermakna dapat mengurangi angka distosia
bahu

3. Pencegahan Distosia Bahu

Kekhawatiran utama dalam melahirkan janinmakrosomik adalah distosia bahu


dan risiko kelumpuhan permanen peleksusbrakialis. Distosia bahu terjadi jika
panggul ibu memiliki ukuran cukup untuk melahirkan kepala janin, tatapi
tidak cukup besar untuk melahirkan bahu janin yang diameternya sangat besar
(liat bab 23). Dalam keadaan ini, bahu anterior tersangkut di simfisis ubis ibu
bahkan dengan bantuan obstetrik yang cakap selama pelahiran, peregangan
dan cedera peleksusbrakialisdi bahu yang bersangkutan mungkin tak
terhindarkan untungnya, kurang dari 10% dari seluruh kasus distosia bahu
menyebab kan cedera peleksusbrakialis yang menetap
Berdasarkan fakta bahwa sebagian besar kasus distosia bahu tidak dapat
diperkirakan atau dicegah maka kebijkan sesar terencana
berasarkankecurigaan adanya makrosomiapada populasi umum tidak memiliki
alasan yang kuat karena jumlah sesar yang harus dilakukan dan biayanya.
Sesar terencana mungkin merupakan strategi yang masuk akal bagi wanita
penderita diabetes dengan tabsiran berat janin melebihi 4250 g sampai 4500 g.

3. polihidramion
a. Insiden
Cairan amnion yang berlebihan didapatkan pada sekitar 1% kehamilan.
Diagnosis biasanya diduga secara klinis dan dipastikan melalui pemeriksaan
sonografi. Kebanyakan peneliti mengartikan hidramnion sebagai AFI yang
lebih besar dari 24-25 cm setara dengan angka yang lebih besar dari persentil
95 atau 97,5. Dengan menggunakan indeks 25 cm atau lebih, Biggi dkk,
(1999) melaporkan insiden 1 persen pada lebh dari 36000 perempuan yang
diperiksa pada University of Alabama. Observasi ini memastikan temuan Hill,
dkk. (1987). Temuan ini dirangkum pada Gambar 21-3, terdiri 80% dengan
hidramnion ringan ditentukan dengan kantong yang terukur 8-11 cm dalam
dimensi vertical. Hidramnion sedang ditentukan dengan kantong yang hanya
mengandung bagian kecil dan dalamnya terukur 12-15 cm ditemukan
sebanyak 15 persen. Hanya 5% yang mengalami hidramnion berat, ditentukan
dengan janin yang terapung bebas di dalam kantong cairan yang berukuran
16 cm atau lebih. Golan, dkk., (1993) melaporkan temuan yang sangat serupa
pada hampir 14.000 perempuan.
b. Penyebab Hidramnion
Derajat hidramnion, serta prognosisnya, sering berkaitan dengan
penyebabnya. Banyak laporan yang bias karena mereka melakukan observasi
pada perempuan yang dirujuk untuk menjalani evaluasi sonografi. Lainnya
adalah penelitian berbasis populasi tetapi masih tetap tidak mencerminkan
insiden yang akurat kecuali dilakukan penapisan dengan sonografi secara
universal. Pada kedua kondisi tersebut, hidramnion patologis yang nyata
sering dikaitkan dengan malfomasi janin, terutama pada system saraf pusat
dan saluran crena. Sebagai contoh, hidramnion menyertai sekitar setengah dari
kasus anensefali dan atresia esophagus. Pada penelitian oleh hill, dkk. 1987,
penyebab hidramnion ringan diidentifikasi hanya 15% kasus. Sebaliknya,
pada hidramnion sedang atau berat, etiologi dapat diidentifikasi pada lebih
dari 90% kasus dan anomaly janin didapat pada setengah dari kasus ini.
Namun, tidak sebaliknya, dan pada Spanish Collaborative Study of
Congenital Malformations terhadap lebih dari 27000 janin dengan anomaly,
hanya 3,7 persen yang mengalami hidramnion, sementara 3 persen lainnya
mengalami oligohidramnion ( Martine Frias dkk,1999).
Damato, dkk. (1993) melaporkan temuan dari 105 perempuan yang
dirujuk untuk evaluasi cairan berlebihan dan hampir 65 persen diantaranya
memiliki hasil yang abnormal. Terdapat 47 janin tunggal dengan satu atau
lebih abnormalitas yang meliputi gastrointestinal (15), hidrofs non-imun (12,
malformasi toraks (9), toraks (98), dan jantung (4). Diantara 19 kehamilan
kembar, 12 mengalami sindrom transfuse kembar-ke-kembar, dan hanya dua
dari 19 yang normal.
Penyebab hidramnion lain yang lebih jarang adalah
peseudohipoaldosterosnisme, fetal barter atau sindrom hiperprostagladin E,
Diabetes insitidus nefrogenik janin, korioangioma plasenta, teratoma
sakrokoksigeal janin, dan penyalahgunaan obat-obatan oleh ibu ( Narchi dkk,
2000: panting-kemp dkk, 2002). Hidramnion idiopatik adalah cairan amnion
berlebihan yang tidak disebabkan anomaly kongenital, mal formasi, diabetes
ibu, isoimunisasi infeksi, tumor atau kehamilan kembar. Hal ini terjadi pada
sekitar separuh dari semua kasus hidramnion. Namun, bahkan jika sonografi
dan radiografi menunjukkan janin yang tampak normal, roknosis masih
meragukan karena sering terjadi malformasi janin dan abnormalitas
kromosom. Contonya, Brady dkk, (1992) mendapatkan 125 kasus hidramnion
kasus yang tidak terjelaskan atau idopatik pada 5000 kehamilan berbasis
populasi. Dari penelitian ini, dua janin memiliki trisomy 18 dua janin
memiliki trisomi21.
c. Pathogenesis

Diawal kehamilan rongga amnion terisi cairan yang komposisinya


sangat mirip dengan cairan ekstraseluler. Selama pertengahan pertama
kehamilan, perpindahan air dan molekul kecil lainnya terjadi tidak hanya
melewati amnion tetapi juga melalui kulit janin. Selama trimester ke dua,
janin mulai berkemih, menelan, dan menghirup cairanamnion ( Abramovieh
dkk, 1979, Duenhoelter dan Pritchard, 1976). Proses ini memiliki peran
modulasi dalam control volume cairan. Walaupun sumber utama cairan
amnion pada hidramnion paling sering dianggap berasal dari epitel amnion,
belum ditemukan perubahan histologis pada amnion atau perubahan kimiawi
dalam cairan amnion.

d. Manifestasi Klinis

Sindrom utama ibu yang menyertai hidramnion terutama diakibatkan


tekansan yang yang dikeluarkan dalam uterus yang overdistensi dan pada
organ didekatnya. Jika distensinya berlebihan, ibu dapat menderita dyspnea
berat, dan pada kasus yang ekstrim posisi tegak. Sering terjadi edema yang
merupakan konsekuensi dari kompresi sitem vena besar oleh uterus yang
membesar. Pembekakan cenderung sangat berat pada ekstermitas bawah,
vuklva, dan dinding abdomen. Yang jarang, oliguria dapat disebabkan oleh
obstuksi ureter akibat pembesaran uterus. Hidramnion yang disebabkan
hydrops janon dapat menyebabkam mirror syndrome, dengan kondisi ibu
menyerupai janin, yaitu ibu mengalami edema dan proteinuria, dan seringnya,
preeklamsia (Carbillon dkk, 1997). Hal ini awalnya dideskripsikan oleh
Ballantyne pada tahun 1982.

Pada hidramnion kronik, akumulasi cairan terjadi secara bertahap, dan


ibu dapat menoleransi distensi abdomen yang berlebihan dengan rasa tidak
nyaman yang relative ringan. Namun, pada hidramnion akut, distensi dapat
menyebabkan kelainan yang cukup serius mengancam. Hidramnion akut
cenderung berkembang lebih awal pada kehamilan daripada bentuk kronis
seringnya pada usia 16 sampai 20 minggu-dan dapat meluas dengan cepat di
uterus. Sesuai aturan , hidramnion akut menyebabkan persalinan sebelum usia
28 minggu, atau gejala menjadi sangat berat hingga harus diintervensi.

e. Diagnosis

Temuan klinis utama pada hidramnion adalah pembesaran uterus yang


menyebabkan kesulitan dalam mempalpasi bagian kecil janin dan dalam
mendengar denyut jantung janin. Pada kasus yang berat, dinding uterus dapat
sangat tegang sehingga tidak mungkin mempalpasi bagian janinmanapun.
Perbedaan antara hidramnion, asites, atau kista ovarium yang besar biasanya
dapat dibuat dengan pemeriksaan sonografi.

f. Hasil Akhir Kehamilan

Komplikasi paling sering pada ibu akibat hidramnion adalah solusio


plasenta, disfungsi uterus, dan perdarahan pascapartum. Plasenta dapat lepas
sebelum waktunya secara ekstensif setelah penurunan cepat permukaan uterus
sesudah dekompresi uterus akibat keluarnya cairan amnion. Disfungsi uterus
dan perdarahan pascapartum yang disebabkan oleh atoni uterus merupakan
konsekuensi dari distensi berlebihan. Presentasi janin abnormal dan intervensi
operatif juga biasa terjadi.

Teknik. Untuk mengambil cairan amnion, klinisi memasukkan kateter plastic


yang menutup rapat jarum ukuran 18 melalui dinding abdomen yang telah
diberikan anestesi lokal ke dalam kantong amnion. Jarum ditarik, dan alat
infus intravena dihubungkan ke cathether hub. Ujung selang yang lainnya
diletakkan dalam tabung ukur yang diletakkan dilantai. Aliran cairan amnion
dikontrol dengan klem sekrup tabung sehingga cairan yang dikeluarkan
sekitar 500 ml/hari. Setelah 1500 sampai 2000 ml cairan terkumpul, biasanya
ukuran uterus berkurang sehingga kateter dapat dicabut dari kantong amnion.
Di saat yang sama, ibu merasakan penyembuhan yang dramatis, dan bahaya
separasi plasenta akibat dekompresi hanya sedikit. Dengan menggunakan
teknik aseptic yang benar, prosedur ini dapat diulangi sesuai kebutuhan agar
pasien merasa nyaman. Elliot dkk, (1994) menggunakan wall suction dan
mengambil 1000 ml dalam 20 menit (50 ml/ menit). Namun, kami memilih
pengambilan secara bertahap.

2.8 Kehamilan lewat waktu/ post term

Definisi : kehamilan yang melebihi usia kehamilan 42 minggu, terjadi


pada 10% dari seluruh jumlah kehamilan.

70% kehamilan lewat bulan merupakan salah diagnosis akibat


keterlambatan ovulasi. Hipoplasia adrenal dan anensefalus jarang
menyebabkan kehamilan yang lebih lama.

Komplikasi pada ibu :

- Perdarahan akibat atonia uterus


- Angka seksiosesaria lebih tinggi
- Frekuensi induksi persalinan meningkat
- Endometritispacapartum
- Hospitalisasi yang lama
- Komplikasi luka

Komplikasi pada neonatus :

- Peningkatan angka mortalitasprinatal


- Oligohidramnion
- Makrosomia
- Sindrom aspirasi mekonium
- Kejang neonatus
- Sindrom lewat bulan
- Distosia bahu

Sindrom lewat bulan : sindrom ini terjadi pada 25% kehamilan lewat
bulan akibat penurunan fungsi plasenta. Bayi lewat bulan, yang terlihat
keriput, dengan kulit mengelupas, tidak memiliki vierniks atau lanugo,
raut wajahnya siaga, terdapat lipatan di seluruh telapak kaki, kuku jari-
jarinya panjang, badan tampak lemah dan kurus, berisiko mengalami
gejala gawat napas, hipoglikemia, pilisitemia, dan ketidakstabilan suhu
tubuh.

Penatalaksanaa antepartum
1. Kaji taksiran partus dengan akurat pada kunjungan pranatal pertama.
2. Ajarkan wanita untuk melakukan hitung gerakkan janin pada trimester
ketiga.
3. Diskusikan risiko dan manfaat pelahiran lewat bulan, pilihan untuk
penatalaksanaan, dan susun rencana pelahiran bersama ibu.
4. Beberapa klinisi menajukan menggores selaput ketuban pada kunjungan
pranatal setiap 3 hari setelah usia kehamilan 39 minggu menurunkan
jumlah wanita yang kehamilannya lebih dari 42 minggu. Namun,
memecahkan selaput ketuban menimbulkan risiko masuknya infeksi,
menyebabkan perdarahan dari plasenta letak rendah yang tidak di duga
sebelumnya, dan mengakibatkan selaput ketuban yang tidak di sengaja.
Gebbe etal menyatakan bahwa metode ini belum terbukti keefektifannya,
dan tidak boleh digunakan sebagai praktik rutin.
5. Klinisi lain memberikan prostaglandin E2 gel kepada pasien rawat jalan.
6. Beberapa klinisi memulai pemeriksaan antenatal pada minggu ke 41,
termasuk AFI dua mingguan. Beberapa diantaranya lebih menyukai
menginduksi dan melakukan pemeriksaan antenatal hanya jika serviks
tidak baik. Pemeriksaan antenatal tidak memperbaiki hasil dalam
percobaan klinis, dan ACOG tidak memberikan rekomendasi waktu,
frekuensi, atau pemeriksaan yang harus dilakukan.
7. Konsultasi dengan doktek dibutuhkan jika pelahiran diindikasikan untuk
suatu kondisi medis, seperti diabetes atau hipertensi yang menghambat
penatalaksanaan konservatif, atau untuk melakukan tes janin yang tidak
menyakinkan.
8. ACOG menyatakan bahwa tidak ada informasi yang cukup untuk
menentukan apakah wanita yang mengalami kehamilan lewat bulan pada
akhirnya akan mendapatkan hasil yang lebih baik jika dilakukan
penatalaksanaan ekspektan atau jika di induksi pada minggu ke 42
(apakah kondisi serviks baik atau tidak).
9. Beberapa klinisi akan mempertimbangkan seksiosesaria jika serviks tidak
matang dan berat bayi di pertimbangkan lebih kurang 4500 gram pada
usia kehamilan 42 minggu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam setiap kehamilan kita perlu mengantisipasi akan adanya komplikasi dan
penyulit dalam masa kehamilan trimester I, II dan bahkan trimester III. Oleh
karena itu Pemeriksaan dan pengawasan terhadap ibu hamil sangat perlu
dilakukan secara teratur. Hal ini bertujuan untuk menyiapkan seoptimal mungkin
fisik dan mental ibu dan anak selama dalam kehamilan. Selain itu juga untuk
mendeteksi dini adanya kelainan, komplikasi dan penyakit yang biasanya dialami
oleh ibu hamil sehingga hal tersebut dapat dicegah atau diobati sehingga angka
morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi dapat berkurang.
DAFTAR PUSTAKA

Leveno, Kanneth J.Dkk.2012.Obstetri Williams. Jakarta: ECG

Cunningham.FG.et al.2013. Obstetri Williams. Jakarta: ECG

Medforth,J, et al.2013. kebidanan oxford: dari bidan untuk bidan. Jakarta: ECG

Anda mungkin juga menyukai