OLEH
KELOMPOK III
1. LINDA ROSLIANI
2. KARTINI
3. YULIA AINI
4. FATMAWATI
5. NIHLAH
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga dapat menyusun makalah
ini tepat pada waktunya.
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN................................................................................
1.1 Latar Belakang...........................................................................
1.2 Rumusan Masalah......................................................................
2.1 Menjelaskan tentang Hepatitis B
2.2 Menjelaskan tentang Malaria..
2.3 Menjelaskan tentang Tuberkulosis.
2.4 Menjelaskan tentang HIV/AIDS..
2.5 Menjelaskan tentang Kmplikasi dn penyulit dalam masa
kehamilan trimester III
2.6 Menjelaskan tentang Plasenta pravia
2.7 Menjelaskan tentang solution plasenta ....
2.8 Menjelaskan tentang Gemell/Makrosomia/polohidramion
2.9 Menjelaskan tentang kehamilan lewat waktu/post term
1.3 Tujuan penulisan.................................................................................
BAB II : PEMBAHASAN...................................................................................
BAB III : PENUTUP..........................................................................................
A. Kesimpulan........................................................................................
B. Saran..................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Kehamilan dapat berkembang menjadi masalah atau komplikasi setiap saat.
Sekarang ini secara umum sudah diterima bahwa setiap kehamilan membawa
resiko bagi ibu. WHO memperkirakan bahwa sekitar 15% dari seluruh wanita
yang hamil akan berkembang menjadi komplikasi yang berkaitan dengan
kehamilannya, serta dapat mengancam jiwanya. Dari wanita hamil di Indonesia,
sebagian besar akan mengalami komplikasi atau masalah yang bisa menjadi fatal.
Survey demografi dan kesehatan yang dilaksanakan pada tahun 1997 menyatakan
bahwa dari tahun 1992-1997, 26 % wanita dengan kelahiran hidup mengalami
komplikasi. Sebagai bidan akan menemukan wanita hamil dengan komplikasi-
komplikasi yang mungkin dapat mengancam jiwanya.
Pemeriksaan dan pengawasan terhadap ibu hamil sangat perlu dilakukan secara
teratur. Hal ini bertujuan untuk menyiapkan seoptimal mungkin fisik dan mental
ibu dan anak selama dalam kehamilan. Selain itu juga untuk mendeteksi dini
adanya kelainan, komplikasi dan penyakit yang biasanya dialami oleh ibu hamil
sehingga hal tersebut dapat dicegah atau diobati sehingga angka morbiditas dan
mortalitas ibu dan bayi dapat berkurang.
BAB II
PEMBAHASAN
A. KOMPLIKASI DAN PENYULIT DALAM MASA KEHAMILAN
TRIMESTER I DAN II
2.1 Hepatitis B
Hepatitis B yang dahulu disebut sebagai hepatitis serum adalah kuasa utama
hepatitis akut dan skala seriusnya, yaitu hepatitis kronik, sirosis, dan karsinoma
hepatoseluler. Infeksi hepatitis B adalah yang paling sering di jumpai pada para
pemakai obat terlarang intravena, homoseksual, petugas kesehatan, dan pasien
yang sering mendapat produk darah( yu,,hemophilia). Virus di tularkan melalui
darahatau produk darah yang terinfeksi, dan melalui air liur, sekresi vagina, dan
semen, karena itu, penyakit ini merupaka penyakit menular seksual.(Leveno
Kenneth,j. 2012)
Pada infeksioleh virus hepatitis B, penanda virologis pertama adalah antigen
permukaan hepatitis B atau HB ag. Antigen e terdapat selama awalhepatitis akut.
Antigen ini berkaitan dengan daya tular dan adanya partikel virus yang utuh, dan
pasieny menunjukan infeksi kronis. Sekitar 90% pasien dengan hepatitis B pulih
sempurna. Dari 10 persen yang mengalami infeksi kronik, sekitar seperempat
mengalami penyakit hati kronik. (Leveno Kenneth,j. 2012)
Baik prevalensi maupun perjalanan klinis infeksi hepatitis Bpada ibu, termasuk
hepatitis fulminan, tidak dipengaruhi oleh kehamilan fulminan, tidak dipengaruhi
oleh kehamilan.( Cunningham. FG.2012)
Virus hepatitis B (HBV) adalah virus yang paling banyak di tularkan melalui
darah di seluruh dunia. Jika seorang wanira carrier (HBV)ia memiliki 85% resiko
menularkan virus ke bayinya.
Dengan demikian anak beresiko tinggi mengalami infeksi kronis, yang dapat
menyebabkan sirosik hepatic atau karsinoma hepatic di masa depan.
Tujuan menawarkan skrining pada wanita hamil, dan imunisasi bayi yang di
lahirkan dari ibu yang terinfeksi, adalah mengurangi penularan infeksi ini melalui
jalur parenatal.
a. Semua ibu di tawarkan skrining HBV selama awal kehamilan
b. Jika pemeriksaan HBV pada ibu positif, bayinya akan di vaksinasi segera
setelah lahir
c. Dapatkan izin memberikan imunisasi bayi sebelum kelahiran, dan berikan
dosis pertama seawall mungkin, tetapi selalu berikan dalam 24 jam.
d. Anjurkan dan dukung menyusui
e. Dosis lebih lanjut di berikan pada usia 1dan 2 bulan, dan dosis buster di
berikan pada usia 12 bulan.
f. Berikan informasi tertulis pada ibu dan dokter umum mereka tentang
jumlah injeksi yang diperlukan bayi, kapan injeksi harus di lakukan, dan
siapa yang akan bertanggung jawab atas pemberian setiap dosis.
g. Tekankan pentingnya penyelesaian serangkaian imunisasi secara lengkap.
2.2 Malaria
Terdapat empat spesies plasmodium yang menyebabkan malaria pada
manusia: vivax, ovale, malariae, dan falsiparum organisme ini di tularkan
melalui gigitan nyamuk anopheles betina. Di seluruh dunia, hampir 300-500
juta orang terjangkit setiap saat dan penyakit ini menyebabkan 1-3 juta
kematian pertahun ( murray dkk., 2000 ). Hampi 40% dari populasi dunia
sampai 2 miliyar orang berisiko terjangkit penyakit. Malaria telah dieradikasi
secara efektif di eropa dan sebagian besar amerika utara kecuali di sebagian
meksiko. (Cunningham, f, Gary.2006)
Penyakit ini di tandai dengan demam dan gejala mirip flu termasuk
menggigil, nyeri kepala, mialgia, dan malaise, yang dapat terjadi dalam
interval interval . gejala lebih ringan pada pasien yang imun. Malaria dapat
menyebabkan anemia dan ikterus, dan infeksi falsiparum dapat
menyebabkan gagal ginjal, koma, dan kematian. (Cunningham, f, Gary.2006)
1. Efek pada kehamilan
. Serangan-serangan malaria secara bermakna meningkat 3-4 kali lipat pada 2
trimester terakhir kehamilan dan 2 bulan pasca partum ( Diagne dkk., 2000 ).
Kehamilan meningkatkan keparahan malaria falsiparum, terutama pada
wanita nulipara yang nonimun ( Nathwani dkk.,1992 ; Robier dk., 1999 ).
Insiden abortus dan pelahiran preterm meningkat pada wanita hamil yang
mengalami malaria ( Menendez dkk,. 2000 ).
Meningkatanya kematian janin mungkin berkaitan dengan infeksi
placenta dan janin. 50 tahnu yang lalu, Jones ( 1950 ) mendapatkan bahwa
parasit memiliki afinitas terhadap pembuluh desi dua dan mungkin
meneyerang placenta secara ekstensif tanpa mengenai janin. Ismail dkk (
2000 ) mempelajari 1179 placenta dari daerah endemik di Tanzania. Dari
jumlah tersebut, 35% memperlihatkan parasit, dan separuh wanita dengan
placenta terinfeksi memperlihatkan hasil negative pada pemeriksaan apusan
darah tepi untuk malaria. Walupun placenta jelas terlibat, infeksi pada
neonatus jarang terjadi. Covell ( 1950 ) mempelajari hal ini secara mendalam
di Afrika dan menyebut insiden malaria neonatus hanya 0,3%. Pada wanita
nonimun, malaria congenital dapat terjadi pada hamper 7% neonatus (
Hulbert, 1992 ). Cot dkk. ( 1992 ) memperlihatlkan bahwa kemoprofilaksis
klorokuin menurunkan infeksi placenta pada wanita terinfeksi yang
asimtomatik menjadi 4% di bandingkan dengan 19% pada kelompok kontrol
yang tidak di terapi, namun, rata-rata berat lahir ke 2 kelompok tidak berbeda.
(Cunningham, f, Gary.2006)
2. Terapi
Obat-obat anti malaria yang sering digunakan tidak di kontra indikasikan bagi
wanita hamil. Beberapa obat anti malaria yang lebih baru memiliki aktifitas
antifolat sehingga secara teoretis dapat berperan menyebabkan anemia
megaloblastik. Pada praktik sebenarnya hal ini tampaknya tidak terjadi.
Setidaknya pada satu penelitian oleh Kueter dkk. ( 1990 ), nulipara lebih
besar kemungkinannya tetap mengalami parasitemia setelah terapi untuk
infeksi falsiparum. Hasil pada ibu lebih buruk apabila malaria falsiparumnya
resisten obat ( Alecrim dkk, 2000 ).
Obat ini pernah di evaluasi untuk profilaksis pada 339 wanita hamil dengan
usia gestasi di atas 20 minggu dan terbukti 85% efektif untuk mencegah
malaria falsiparum dan 100% untuk malaria vivak ( Nosten dkk., 1994;
Nosten dan Price, 1995 ). Pada orang yang tidak hamil ,dioksisclean
dianjurkan untuk kemoprofilaksis.
b. Uji serologis
Hasil konfirmasi yang positif palsu jarang terjadi, dan pada satu penelitian
terhadap hampir 300.000 donor darah, dengan biakan virus tidak terdeteksi
adanya hasil positif-palsu western blot (Center for Disiase Control and
Prefention, 1995). Hasil Western blotyang meragukan dapat terjadi karena factor-
faktor yang mencakup :
Vasa previa terjadi karena insensi velamentosa tali pusat ke dalam plasenta
ketika pembuluh darah janin masuk melalui membran diatas osservikalis.
Vesaprevia jarang terjadi, tetapi sering dikaitkan dengan hemoragi janin.
1. Faktor risiko :
a. Merokok (yang melipat gandakan risiko).
b. Penggunaan kokain (kemungkinan akibat hipertrofi plasenta).
c. Erittroblastosis.
d. Riwayat seksiosesaria (setelah 1 , 1-4% risiko ; setelah >/- 4, 10% risiko).
e. Riwayat aborsi trapeutik.
f. Paritas meningkat.
g. Usia ibu >35 tahun.
h. Kehamilan multipel.
2. Klasifikasi
a. Klasifikasi plasenta previa berdasarkan terabanya jaringan plasenta
melalui pembukaan jalan lahir pada waktu tertentu:
b. Plasenta previa totalis: bila seluruh pembukaan jalan lahir tertutup oleh
plasenta
c. Plasenta previa lateralis: bila hanya sebagian pembukaan jalan lahir
tertutup oleh plasenta
d. Plasenta previa marginalis: bila pinggir plasenta berada tepat pada pinggir
pembukaan jalan lahir
e. Plasenta previa letak rendah: bila plasenta berada 3-4 cm diatas pinggir
pembukaan jalan lahir
3. Diagnosis
a. Anamnesis : adanya perdarahan pervaginam pada kehamilan lebih 20 minggu
dan berlangsung tanpa sebab.
b. Pemeriksaan luar: sering ditemukan kelainan letak. Bila letak kepala maka
kepala belum masuk pintu atas panggul.
c. Inspekulo: adanya darah keluar dari ostium uteri eksternum.
d. USG untuk menentukan letak plasenta.
e. Penentuan letak plasenta secara langsung dengan perabaan langsung melalui
kanalis servikaslis tetapi pemeriksaan ini sangat berbahaya karena dapat
menyebabkan perdarahan yang banyak. Oleh karena itu, cara ini hanya
dilakukan di atas meja operasi.
2.6 Sulutio plasenta
a. Pengertian Solusio plasenta
Solusio plasenta (atau abruption placenta) didefinisikan sebagai pemisahan
premature plasenta yang implantasinya normal. Solusio plasenta merupakan
komplikasi pada sekitar 1 dari 200 persalinan. Sebagian perdarahan pada
solusio plasenta biasanya lolos melalui celah antara membrane dan uterus
kemudian keluar melalui serviks, menyebabkan perdarahan tertutup.
meskipun lebih jarang, darag juga mungkin tidak keluar, tetapi tertahan di
antara plasenta yang terlepas dan uterus, menyebabkan perdarahan tertutup (
concealed hemorrhage). Solusio plasenta dapat bersifat total atau parsial .
solusio plasenta dengan perdarahan tertutup menimbulkan bahaya yang besar
pada ibu, tidak saja hanya kemungkinan koagulapati konsumtif, tetapi juga
karena keparahan perdarahan mungkin tidak disadari.
Penyebab utama solusio plasenta tidak diketahui, tetapi terdapat
beberapa keadaan terkait. Sejauh ini keadaan yang paling sering dikaitkan
adalah beberapa tipe hipertensi. Hal ini mencakup preeklamsia, hipertensi
getasional, atau hipertensi kronis. Pada solusio plasentayang berat sehingga
janin meninggal, hipertensi ibu dijumpai pada sekitar separuh kasus.
Hipertensi ini mungkin belum disadari hingga volume intravascular yang
berkurang akibat perdarahan diganti dengan adekuat. Insidensi solusio
plasenta meningkat sekitar tiga kali lipat pada wanita hipertensi krosis dan
empat kali lipat pada preeklamsia berat.
b. Solusio rekuren
d. Evaluasi klinis
e. Koagulopati konsumtif
Salah satu kasus tersering koagulopati konsumtif yang secara klinis bermakna
dalam obstetric adalah solusio plasenta. Hipofibrinogenemia yang nyata
(kurang dari150mg/dl) disertai oleh peningkatan kadar produk penguraian
fibrin, dimer D, dan penurunan fluktuatif factor-faktor koagulasi lain
ditemukan pada sekitar 30 persen wanita dengan solusio plasenta yang cukup
parah sehingga mematikan janin. Pada permulaan, Hipofibrinogenemia yang
parah mungkin disertai oleh trombositopenia mungkin jugs tidak. Akan tetapi,
setelah transfuse darah berulang sering terjadi trombositopenia karena darah
donor kurang mengandung trombosit. Defek koagulasi yang parah ini lebih
jarang dijumpai pada kasus yang janinnya bertahan hidup.
f. Gagal ginjal
Gagal ginjal akut akibat banyak kehilangan darah dapat menjadi penyulit
solusio plasenta. Untungnya, tiga perempat kasus gagal ginjal akibat solusio
plasenta disebabkan oleh nekrosis tubulus akut yang reversible. Bahkan jika
solusio plasenta dipersulit oleh koagulasi intravascular yang parah dan
perdarahan, terapi yang cepat dan agresif dengan darahdan larutan kristaloid
sering dapat mencegah disfungsi ginjal yang secara klinis signifikan.
g. Oterus cauvalair
Solusio plasenta dapat mengalami penyulit berupa ekstravasasi luas
darah ke dalam otot uterus dan dibawah serosa uterus. Apopleksi
uteroplasenta yang pertama kali dilaporkan oleh Couvelaire pada awal tahun
1900-an ini, sekarang sering dinamai uterus Couvelaire. Efusi darah ini juga
kadang-kadang dijumpai dibawah serosa tuba, dibawah jaringan ikat
ligamentum latum, dan diparenkim ovarium, serta bebas di rongga
peritoneum. Perdarahan myometrium ini jarang mengganggu kontraksi uterus
sedemikian berat sehingga menyebabkan perdarahan pascapartum dan bukan
merupakan indikasi histerektomi.
h. Penataklanaan
Terapi solusio plasenta akan bergantung pada usia gestasi dan status
ibu dan janin. Pada janin yang hidup dan matur, dan jika persalinan
pervaginaan tidak terjadi dalam waktu dekat, dianjurakan sesar darurat. Pada
perdarahan eksternal yang massif, resusitasi intensif dengan darah flus
kristaloid disertai pengeluaran segera janin untuk mengendalikan perdarahan
dapat menyelamatkan nyawa ibu dan, diharapakan, nyawa janinya. Jika
diagnosis tidak pasti dan janin masih hidup, tetapi tanpa tanda-tanda
gangguan maka dapat dilakukan pengawasan ketat dengan fasilitas untuk
intervensi segera.
2.7 Gemelli/ makrosomia/polihidramion
1. Gemelli
a. Kehamilan Kembar
Dalam dua dekade terakhir, jumlah kehamilan kembar di maerika serikat telah
meningkat secara tak terduga. Peningkatan yang luar biasa ini, terutama
berkaitan dengan teknologi pembantu reproduksi, merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang besar. Bayi kembar lebih kecil kemungkinan
bertahan hidup dan lebih besar kemungkinan menderita disabilitas akibat
pelahiran prematur seumur hidupnya. di Parkland Hospital, bayi kembar
hanya 1 dari 44 kelahiran, namun menyebabkan 1 dari 8 kematian perinatl.
Selain itu, penyulit ibu, seperti hipertensi dan sesar meningkat (lihat Tabel
68).
b. Diagnose kembar
Telah dilaporkan kasus dengan satu atau lebih janin multipel dikeluarkan
secara sangat prematur, dan karena aktivitas uterus kemudianberhenti,
kehamilan dibiarkan berlanjut. Umumya. Kelahiran pertama terjadi akibat
ketuban pecah dini,dan tingkat kesintasan untuk bayi-bayi ini sangat rendag,
akan tetapi, kehamilan kembar dua atau kembattiga yang bertahan hidup di
dalam uterus dilaporkan dapat berlanjut hingga berhari-hari atau bahkan
berminggu-minggu . jika diupayakan pelahiran asinkron, harus dilakukan
evaluasi cermat untuk mencari ada tidaknyainfeksi , solusio , dan anomai
kongenital. Wanita yang bersangkutan perlu diberi penyuluhan secara lengkap
mengenai risiko potensial penanganan semacam ini.
g. Pematangan paru
h. Hipertensi kehamilan
i. Sonografi
Daripada yang pertama dan berada dalam posisi sungsang atau letak
lintang hal yang lebig membingungkan, mungkin di perlukan sesar karena
serviks segera berkontraksi dan menebal setelah bayi pertama lahir.
f. Sesar
2. Makrosomia
Makrosomia adalah kata yang digunakan, secara agak kurang tepat untuk
menjelaskan janin neonatus yang sangat besar. Terdapat kesepakatan umum
diantara para ahli obstetrik bahwa neonatus yang beratnya kurang dari 4000
gram tidak dianggap terlalu besar; tetapi konsensus serupa tentang definisi
pasti makrosomia belum tercapai.
a. Devinisi makrosomia
b. Factor resiko
Pada wanita bayi makrosomik, faktor risiko pada ibu teridentifikasi hanya
40%. insidensi diabetes pada ibu meningkat seiring dengan meningkatnya
berat badan lahir melebihi 4000 g (lihat bab 107 dan 108). Diantaa janin
makrosomik dari wanita pengidap diabetes, terdapat peningkatan lingkar bahu
yang konsekuensi adalah peningkatan risiko distosia bahu pada pelahiran per
vagina.
Jika wanita hamil memiliki berat lebih dari 150 kg, janinnya memiliki risiko
30% mengalami makrosomia.
c. Diagnosis
Saat ini, adanya janin yang sangat besar belum dapat diperkirakan secara
akurat sehingga diagnosis makrosomia hanya dapat dipastikan setelah bayi
lahir. Obesitas ibu juga meningkatkan ketidakpastian taksiran klinis berat
janin dengan pemeriksaan fisik
2. Sesar Elektif
3. polihidramion
a. Insiden
Cairan amnion yang berlebihan didapatkan pada sekitar 1% kehamilan.
Diagnosis biasanya diduga secara klinis dan dipastikan melalui pemeriksaan
sonografi. Kebanyakan peneliti mengartikan hidramnion sebagai AFI yang
lebih besar dari 24-25 cm setara dengan angka yang lebih besar dari persentil
95 atau 97,5. Dengan menggunakan indeks 25 cm atau lebih, Biggi dkk,
(1999) melaporkan insiden 1 persen pada lebh dari 36000 perempuan yang
diperiksa pada University of Alabama. Observasi ini memastikan temuan Hill,
dkk. (1987). Temuan ini dirangkum pada Gambar 21-3, terdiri 80% dengan
hidramnion ringan ditentukan dengan kantong yang terukur 8-11 cm dalam
dimensi vertical. Hidramnion sedang ditentukan dengan kantong yang hanya
mengandung bagian kecil dan dalamnya terukur 12-15 cm ditemukan
sebanyak 15 persen. Hanya 5% yang mengalami hidramnion berat, ditentukan
dengan janin yang terapung bebas di dalam kantong cairan yang berukuran
16 cm atau lebih. Golan, dkk., (1993) melaporkan temuan yang sangat serupa
pada hampir 14.000 perempuan.
b. Penyebab Hidramnion
Derajat hidramnion, serta prognosisnya, sering berkaitan dengan
penyebabnya. Banyak laporan yang bias karena mereka melakukan observasi
pada perempuan yang dirujuk untuk menjalani evaluasi sonografi. Lainnya
adalah penelitian berbasis populasi tetapi masih tetap tidak mencerminkan
insiden yang akurat kecuali dilakukan penapisan dengan sonografi secara
universal. Pada kedua kondisi tersebut, hidramnion patologis yang nyata
sering dikaitkan dengan malfomasi janin, terutama pada system saraf pusat
dan saluran crena. Sebagai contoh, hidramnion menyertai sekitar setengah dari
kasus anensefali dan atresia esophagus. Pada penelitian oleh hill, dkk. 1987,
penyebab hidramnion ringan diidentifikasi hanya 15% kasus. Sebaliknya,
pada hidramnion sedang atau berat, etiologi dapat diidentifikasi pada lebih
dari 90% kasus dan anomaly janin didapat pada setengah dari kasus ini.
Namun, tidak sebaliknya, dan pada Spanish Collaborative Study of
Congenital Malformations terhadap lebih dari 27000 janin dengan anomaly,
hanya 3,7 persen yang mengalami hidramnion, sementara 3 persen lainnya
mengalami oligohidramnion ( Martine Frias dkk,1999).
Damato, dkk. (1993) melaporkan temuan dari 105 perempuan yang
dirujuk untuk evaluasi cairan berlebihan dan hampir 65 persen diantaranya
memiliki hasil yang abnormal. Terdapat 47 janin tunggal dengan satu atau
lebih abnormalitas yang meliputi gastrointestinal (15), hidrofs non-imun (12,
malformasi toraks (9), toraks (98), dan jantung (4). Diantara 19 kehamilan
kembar, 12 mengalami sindrom transfuse kembar-ke-kembar, dan hanya dua
dari 19 yang normal.
Penyebab hidramnion lain yang lebih jarang adalah
peseudohipoaldosterosnisme, fetal barter atau sindrom hiperprostagladin E,
Diabetes insitidus nefrogenik janin, korioangioma plasenta, teratoma
sakrokoksigeal janin, dan penyalahgunaan obat-obatan oleh ibu ( Narchi dkk,
2000: panting-kemp dkk, 2002). Hidramnion idiopatik adalah cairan amnion
berlebihan yang tidak disebabkan anomaly kongenital, mal formasi, diabetes
ibu, isoimunisasi infeksi, tumor atau kehamilan kembar. Hal ini terjadi pada
sekitar separuh dari semua kasus hidramnion. Namun, bahkan jika sonografi
dan radiografi menunjukkan janin yang tampak normal, roknosis masih
meragukan karena sering terjadi malformasi janin dan abnormalitas
kromosom. Contonya, Brady dkk, (1992) mendapatkan 125 kasus hidramnion
kasus yang tidak terjelaskan atau idopatik pada 5000 kehamilan berbasis
populasi. Dari penelitian ini, dua janin memiliki trisomy 18 dua janin
memiliki trisomi21.
c. Pathogenesis
d. Manifestasi Klinis
e. Diagnosis
Sindrom lewat bulan : sindrom ini terjadi pada 25% kehamilan lewat
bulan akibat penurunan fungsi plasenta. Bayi lewat bulan, yang terlihat
keriput, dengan kulit mengelupas, tidak memiliki vierniks atau lanugo,
raut wajahnya siaga, terdapat lipatan di seluruh telapak kaki, kuku jari-
jarinya panjang, badan tampak lemah dan kurus, berisiko mengalami
gejala gawat napas, hipoglikemia, pilisitemia, dan ketidakstabilan suhu
tubuh.
Penatalaksanaa antepartum
1. Kaji taksiran partus dengan akurat pada kunjungan pranatal pertama.
2. Ajarkan wanita untuk melakukan hitung gerakkan janin pada trimester
ketiga.
3. Diskusikan risiko dan manfaat pelahiran lewat bulan, pilihan untuk
penatalaksanaan, dan susun rencana pelahiran bersama ibu.
4. Beberapa klinisi menajukan menggores selaput ketuban pada kunjungan
pranatal setiap 3 hari setelah usia kehamilan 39 minggu menurunkan
jumlah wanita yang kehamilannya lebih dari 42 minggu. Namun,
memecahkan selaput ketuban menimbulkan risiko masuknya infeksi,
menyebabkan perdarahan dari plasenta letak rendah yang tidak di duga
sebelumnya, dan mengakibatkan selaput ketuban yang tidak di sengaja.
Gebbe etal menyatakan bahwa metode ini belum terbukti keefektifannya,
dan tidak boleh digunakan sebagai praktik rutin.
5. Klinisi lain memberikan prostaglandin E2 gel kepada pasien rawat jalan.
6. Beberapa klinisi memulai pemeriksaan antenatal pada minggu ke 41,
termasuk AFI dua mingguan. Beberapa diantaranya lebih menyukai
menginduksi dan melakukan pemeriksaan antenatal hanya jika serviks
tidak baik. Pemeriksaan antenatal tidak memperbaiki hasil dalam
percobaan klinis, dan ACOG tidak memberikan rekomendasi waktu,
frekuensi, atau pemeriksaan yang harus dilakukan.
7. Konsultasi dengan doktek dibutuhkan jika pelahiran diindikasikan untuk
suatu kondisi medis, seperti diabetes atau hipertensi yang menghambat
penatalaksanaan konservatif, atau untuk melakukan tes janin yang tidak
menyakinkan.
8. ACOG menyatakan bahwa tidak ada informasi yang cukup untuk
menentukan apakah wanita yang mengalami kehamilan lewat bulan pada
akhirnya akan mendapatkan hasil yang lebih baik jika dilakukan
penatalaksanaan ekspektan atau jika di induksi pada minggu ke 42
(apakah kondisi serviks baik atau tidak).
9. Beberapa klinisi akan mempertimbangkan seksiosesaria jika serviks tidak
matang dan berat bayi di pertimbangkan lebih kurang 4500 gram pada
usia kehamilan 42 minggu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam setiap kehamilan kita perlu mengantisipasi akan adanya komplikasi dan
penyulit dalam masa kehamilan trimester I, II dan bahkan trimester III. Oleh
karena itu Pemeriksaan dan pengawasan terhadap ibu hamil sangat perlu
dilakukan secara teratur. Hal ini bertujuan untuk menyiapkan seoptimal mungkin
fisik dan mental ibu dan anak selama dalam kehamilan. Selain itu juga untuk
mendeteksi dini adanya kelainan, komplikasi dan penyakit yang biasanya dialami
oleh ibu hamil sehingga hal tersebut dapat dicegah atau diobati sehingga angka
morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi dapat berkurang.
DAFTAR PUSTAKA
Medforth,J, et al.2013. kebidanan oxford: dari bidan untuk bidan. Jakarta: ECG