Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

Distosia bahu adalah tersangkutnya bahu janin dan tidak dapat dilahirkan setelah
kepala janin dilahirkan. Nilai normal interval waktu antara persalinan kepala dengan
persalinan seluruh tubuh adalah 24 detik, pada distosia bahu 79 detik. Mereka mengusulkan
bahwa distosia bahu adalah bila interval waktu tersebut lebih dari 60 detik.

Distosia bahu terutama disebabkan oleh deformitas panggul, kegagalan bahu untuk
“melipat” ke dalam panggul (misal: pada makrosomia) disebabkan oleh fase aktif dan
persalinan kala II yang pendek pada multipara sehingga penurunan kepala yang terlalu cepat
menyebabkan bahu tidak melipat pada saat melalui jalan lahir atau kepala telah melalui pintu
tengah panggul setelah mengalami pemanjangan kala II sebelah bahu berhasil melipat masuk
ke dalam panggul.
Secara umum, kejadian distosia bahu dilaporkan sebanyak 0,2-3% namun di beberapa
penelitian lain mendapatkan kejadian distosia bahu yang lebih tinggi. American College of
Obstetrician and Gynecologist (2002) menyatakan bahwa angka kejadian distosia bahu
bervariasi antara 0.6 – 1.4% dari persalinan normal.

Distosia bahu dapat menyebabkan trauma baik pada ibu maupun pada janin.
Komplikasi distosia bahu pada ibu meliputi perdarahan postpartum (atonia uteri, laserasi
jalan lahir) dan ruptur uteri. Komplikasi distosia bahu pada janin meliputi hipoksia atau
asfiksia, cedera lahir (fraktur klavikula, fraktur humerus, dan kelemahan pleksus brachialis),
dan kematian pada janin.

Berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia 2012, distosia memiliki tingkat


kemampuan 3B (gawat darurat), yaitu dokter dapat mendiagnosis dan menatalaksana untuk
kegawatdaruratan serta mampu menindaklanjuti setelah pasien dirujuk kembali dari rujukan.
Oleh karena itu, penulis membahas kasus ini untuk membantu dalam mendiagnosis dan
menatalaksana pasien kasus distosia bahu.

BAB II
1
STATUS PASIEN

2.1. Identifikasi

Nama : Ny. SM

Usia : 28 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : R. Durian

Agama : Islam

Pendidikan :

Pekerjaan : Swasta

Suku bangsa : Sumatera Selatan

Kebangsaan : WNI

No. RM : 1008650

MRS : 27 Juni 2017 ke IGD RSMH Palembang

2.2. Anamnesis (Autoanamnesis tanggal 2 Juni 2017)

Keluhan utama : Mau melahirkan dengan keluar air-air

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien mengaku keluar air-air sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Bercak-bercak
darah (-), keluar berulang (+), perut terasa nyeri terus menerus (+), perut terasa mules tak
menentu (+), nyeri sekitar pinggang (+). Riwayat bayi prematur (+) pada anak pertama.
Riwayat ibu terjatuh (-), riwayat trauma abdomen (-), riwayat persalinan perabdominam
sebelumnya (-). Riwayat perut mulas yang menjalar ke pinggang (+), keluar air-air (+), keluar
darah lendir (+). Pasien mengaku hamil cukup bulan dan gerakan janin masih dirasakan.

2
Riwayat Penyakit Dahulu:

 Hipertensi : tidak ada


 DM : tidak ada
 Alergi : tidak ada

Riwayat Penyakit dalam Keluarga:

 Hipertensi dalam keluarga disangkal


 DM dalam keluarga disangkal

Riwayat Sosial Ekonomi dan Gizi:

 Riwayat sosial ekonomi dan gizi pasien cukup.

Riwayat Reproduksi:

 Menarche usia 14 tahun, lamanya tiap menstruasi 5 hari, siklus teratur tiap bulan, 24-
30 hari
 HPHT: 26 September 2016
 TP: 3 Juli 2017

Riwayat Pernikahan:

 Pasien telah menikah satu kali dengan lamanya 10 tahun.

Riwayat Persalinan:

1. Tahun 2008, anak laki-laki, 2500 gr, sehat, lahir spontan preterm dibantu dukun
2. Tahun 2010, anak perempuan, 3000 gr, sehat, lahir spontan aterm dibantu dukun
3. Hamil ini.

2.3. Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum:

KU : Sedang

Sens : Kompos mentis

TD : 110/60 mmHg

Nadi : 92 x/menit

3
RR : 20 x/menit

Suhu : 36,5oC

BB : 53 kg

TB : 155 cm

Keadaan Spesifik:

Kepala : Normosefali, konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)

Leher : JVP 5-2 cmH20, teraba massa (-)

Thoraks: Jejas (-)

Paru :

 I: Statis dan dinamis simetris


 P: Stem fremitus kanan=kiri, nyeri tekan (-), nyeri sela iga (-)
 P: Sonor di kedua lapangan thoraks
 A: Vesikuler (+) normal, wheezing (-), ronkhi (-)

Jantung:

 I: Iktus kordis tak terlihat


 P: Iktus kordis tak teraba
 P: Batas jantung normal
 A: Bunyi jantung I dan II (+) normal, murmur (-), gallop (-)

Abdomen: Status obstetrikus

Ekstremitas: palmar hangat (+), palmar pucat (-), akral hangat (+), edema pretibial (-/-), akral
pucat (-)

Status Obstetrikus:

 Periksa luar: FUT 2 jbpst (32 cm), memanjang, puka, kepala, his 4 x 40”, DJJ: 133
x/menit, TBJ: 3100 gram.
 Vaginal Toucher: Portio lunak, anterior, eff. 100%, Ø 6 cm, kepala, H II-III, ketuban
(-) jernih, bau (-), penunjuk UUK kanan depan.

2.4. Pemeriksaan Penunjang


4
Laboratorium:


Hemoglobin : 10,7 g/dL

Leukosit : 15.100/mm3

Hematokrit : 33 %

Diff count : 0/0/2/86/7/5

Trombosit : 234.000/mm3

Gol. Darah :A

2.5. Diagnosis Banding

 G3P2A0 hamil 37 minggu inpartu kala I fase aktif dengan KPD 3 hari JTH preskep.

2.6. Diagnosis

 G3P2A0 hamil 37 minggu inpartu kala I fase aktif dengan KPD 3 hari JTH preskep.

2.7. Tatalaksana

Nonfarmakologi:

 Observasi TTV, his, dan DJJ


 Rencana partus pervaginam

Farmakologi:

 IVFD RL gtt xx/menit


 Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr (IV)

2.8. Prognosis

Maternal: Dubia ad bonam

Fetal: Dubia ad bonam

5
2.9. Laporan Persalinan
 Pukul 07.00 WIB parturien tampak ingin mengedan kuat.
 St. Present:
KU : Sedang
Sens : CM
TD : 110/70 mmHg
N : 98 x/menit
RR : 20 x/menit
T : 36,5oC
 Didapatkan VT:
Portio tidak teraba
Pembukaan lengkap
Ketuban (-), jernih, bau (-)
Kepala
Hodge III+
UUK kanan depan
 D/ G3P2A0 hamil 37 minggu inpartu kala II dengan KPD 3 hari JTH preskep
 Th/ Pimpin persalinan
 Posisi ibu berbaring pada punggungya, ibu menarik lututnya sejauh mungkin ke arah
dadanya. Minta suami atau anggota keluarga untuk membantu ibu Manuver Mc
Robert
 Lakukan fleksi maksimal pada sendi paha dan sendi lutut kedua tungkai ibu
sedemikian rupa sehingga lutut hampir menempel pada bahu.
 Penolong persalinan menahan kepala anak dan pada saat yang sama seorang asisten
memberikan tekanan di atas simfisis.
 Tekan kepala bayi secara mantap dan terus menerus ke arah bawah (ke arah anus ibu)
untuk menggerakkan bahu anterior di bawah simfisis pubis.
 Ibu diminta untuk meneran sekuat tenaga saat penolong persalinan berusaha untuk
melahirkan bahu.
 Dilakukan tekanan secara simultan ke arah bawah pada daerah suprapubis untuk
membantu persalinan bahu.
 Pukul 07.05 WIB lahir neonatus hidup jenis kelamin perempuan, BB 3300 gr, PB 50
cm, A/S 8/9, anus (+)
 Dilakukan manajemen aktif kala III:

6
Injeksi oksitosin 10 IU (IM, 1/3 paha luar)
Masase fundus uteri
Peregangan tali pusat terkendali
 Pukul 07.10 WIB:
Plasenta lahir lengkap, berat ±500 gr
Dilakukan eksplorasi jalan lahir dan tidak didapatkan perluasan luka episiotomi
Luka dijahit dengan chromic catgut 2.0
KU ibu postpartum baik, perdarahan aktif (-)

2.10. Follow Up

Tanggal/Jam SOA Tatalaksana

27/6/2017 S: Mau melahirkan dengan keluar air-air P:


05.00 WIB O:  Obs. TTV, his, DJJ
Status presens:  Evaluasi kemajuan
persalinan dengan
KU: sedang, partograf WHO
Sens: CM,
 Inj. Ceftriaxone 2x1 gr
TD: 110/60 mmHg (IV)

N: 88 x/menit  R/ partus pervaginam

RR: 20 x/menit
T: 36,5oC
Status obstetri:
PL: FUT 2 jbpx (32 cm), memanjang, puka,
kepala, Ʉ 3/5, his 4x/10’/35”, DJJ:
133x/menit, TBJ 3100 gr
Inspekulo: portio livide, OUE tertutup, fluor
(-), fluksus (+) darah tak aktif, E/L/P (-)
VT: portio lunak, anterior, eff. 100%, Ø 6
cm, kepala, H II-III, ketuban (-) jernih, bau
(-), penunjuk UUK kanan depan.
A: G3P2A0 hamil 37 minggu inpartu kala I
fase aktif dengan KPD 3 hari JTH preskep.

27/6/2017 S: Habis melahirkan P:

7
08.00 WIB O:  Obs. TTV, kontraksi,
perdarahan
Status presens:
 IVFD RL + oksitosin 20
KU: sedang, IU gtt xx/menit
Sens: CM,
 Cefixime 2x100 mg (PO)
TD: 110/70 mmHg
 Metronidazole 3x500 mg
N: 98 x/menit (PO)

RR: 20 x/menit  Vit. B compleks 2x1 tab


(PO)
T: 36,5oC
Status obstetri:
PL: FUT 2 jbpst, kontraksi baik, perdarahan
aktif (-), vulva tenang, lokhia rubra (+)
A: P3A0 postpartum spontan dengan distosia
bahu

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Pengertian Distosia Bahu


Distosia bahu adalah tersangkutnya bahu janin dan tidak dapat dilahirkan setelah
kepala janin dilahirkan. Selain itu distosia bahu juga dapat didefenisikan sebagai
ketidakmampuan melahirkan bahu dengan mekanisme atau cara biasa.
Salah satu kriteria diagnosis distosia bahu adalah bila dalam persalinan pervaginam
untuk melahirkan bahu harus dilakukan maneuver khusus.
Spong dkk (1995) menggunakan sebuah kriteria objektif untuk menentukan adanya
distosia bahu yaitu interval waktu antara lahirnya kepala dengan seluruh tubuh. Nilai normal
interval waktu antara persalinan kepala dengan persalinan seluruh tubuh adalah 24 detik ,
pada distosia bahu 79 detik. Mereka mengusulkan bahwa distosia bahu adalah bila interval
waktu tersebut lebih dari 60 detik.
8
3.2 Etiologi
Distosia bahu terutama disebabkan oleh deformitas panggul, kegagalan bahu untuk
“melipat” ke dalam panggul (misal: pada makrosomia) disebabkan oleh fase aktif dan
persalinan kala II yang pendek pada multipara sehingga penurunan kepala yang terlalu cepat
menyebabkan bahu tidak melipat pada saat melalui jalan lahir atau kepala telah melalui pintu
tengah panggul setelah mengalami pemanjangan kala II sebelah bahu berhasil melipat masuk
ke dalam panggul.

3.3 Epidemiologi
Ada banyak penelitian yang menjelaskan mengenai faktor risiko yang berhubungan
dengan distosia bahu. Secara umum, kejadian distosia bahu dilaporkan sebanyak 0,2-3%
namun di beberapa penelitian lain mendapatkan kejadian distosia bahu yang lebih tinggi.
American College of Obstetrician and Gynecologist (2002) menyatakan bahwa angka
kejadian distosia bahu bervariasi antara 0.6 – 1.4% dari persalinan normal.

3.4 Faktor Risiko Terjadinya Distosia Bahu


Kelainan bentuk panggul, diabetes gestasional, kehamilan postmature, riwayat
persalinan dengan distosia bahu dan ibu yang pendek.
1. Maternal
 Kelainan anatomi panggul
 Diabetes Gestational (Ibu dengan diabetes, 7 % insiden distosia bahu terjadi pada ibu
dengan diabetes gestasional (Keller, dkk))
 Kehamilan postmatur
 Riwayat distosia bahu
 Tubuh ibu pendek
2. Fetal
 Dugaan macrosomia
3. Masalah persalinan
 Assisted vaginal delivery (forceps atau vacum)
 “Protracted active phase” pada kala I persalinan
 “Protracted” pada kala II persalinan
Distosia bahu sering terjadi pada persalinan dengan tindakan cunam tengah atau pada
gangguan persalinan kala I dan atau kala II yang memanjang.

9
3.5 Patofisiologi
Setelah kelahiran kepala, akan terjadi putaran paksi luar yang menyebabkan kepala
berada pada sumbu normal dengan tulang belakang bahu pada umumnya akan berada pada
sumbu miring (oblique) di bawah ramus pubis. Dorongan pada saat ibu meneran akan
meyebabkan bahu depan (anterior) berada di bawah pubis, bila bahu gagal untuk mengadakan
putaran menyesuaikan dengan sumbu miring dan tetap berada pada posisi anteroposterior,
pada bayi yang besar akan terjadi benturan bahu depan terhadap simfisis sehingga bahu tidak
bisa lahir mengikuti kepala.

3.6 Tanda dan Gejala Distosia Bahu


1. Pada proses persalinan normal kepala lahir melalui gerakan ekstensi. Pada distosia
bahu kepala akan tertarik ke dalam dan tidak dapat mengalami putar paksi luar yang
normal.
2. Ukuran kepala dan bentuk pipi menunjukkan bahwa bayi gemuk dan besar. Begitu
pula dengan postur tubuh parturien yang biasanya juga obese.
3. Usaha untuk melakukan putar paksi luar, fleksi lateral dan traksi tidak berhasil
melahirkan bahu.

3.7 Diagnosa Distosia Bahu

1. Kepala janin dapat dilahirkan tetapi tetap berada dekat vulva.


2. Kepala bayi tidak dapat melakukan putaran paksi luar
3. Dagu tertarik dan menekan perineum.
4. Tarikan pada kepala gagal melahirkan bahu yang terperangkap di belakang simfisis
pubis.
5. Tanda kepala kura-kura yaitu penarikan kembali kepala terhadap perineum sehingga
tampak masuk kembali dalam vagina.
6. Penarikan kepala tidak berhasil melahirkan bahu yang terperangkap di belakang
perineum.

3.8 Komplikasi Distosia Bahu


A. Komplikasi Maternal
1. Perdarahan pasca persalinan
2. Fistula Rectovaginal
3. Simfisiolisis atau diathesis, dengan atau tanpa “transient femoral neuropathy”
4. Robekan perineum derajat III atau IV
5. Rupture Uteri
B. Komplikasi Fetal
1. Brachial plexus palsy
2. Fraktura Clavicle
3. Kematian janin
10
4. Hipoksia janin, dengan atau tanpa kerusakan neurologis permanen
5. Fraktura humerus

3.9 Penatalaksanaan Distosia Bahu


Rekomendasi dari American College of Obstetricians and Gynecologist (2002) untuk
penatalaksanaan pasien dengan riwayat distosia bahu pada persalinan yang lalu:
1. Perlu dilakukan evaluasi cermat terhadap perkiraan berat janin, usia kehamilan,
intoleransi glukosa maternal dan tingkatan cedera janin pada kehamilan sebelumnya.
2. Keuntungan dan kerugian untuk dilakukannya tindakan SC harus dibahas secara baik
dengan pasien dan keluarganya.
American College Of Obstetricians and Gynecologist (2002): Penelitian yang dilakukan
dengan metode evidence based menyimpulkan bahwa:
1. Sebagian besar kasus distosia bahu tidak dapat diramalkan atau dicegah.
2. Tindakan SC yang dilakukan pada semua pasien yang diduga mengandung janin
makrosomia adalah sikap yang berlebihan, kecuali bila sudah diduga adanya
kehamilan yang melebihi 5000 gram atau dugaan berat badan janin yang dikandung
oleh penderita diabetes lebih dari 4500 gram.
Untuk penatalaksanaannya:
1. Beritahu ibu bahwa terjadi komplikasi yang gawat dan diperlukan kerja sama lebih
lanjut.
2. Geser posisi ibu sehingga bokong berada di pinggir tempat persalinan agar
memudahkan traksi curam bawah kepala anak.
3. Pakai sarung tangan DTT atau steril
4. Lakukan episiotomi secukupnya
5. Lakukan manuver Mc Robert’s
Tehnik ini ditemukan pertama kali oleh Gonik dkk tahun 1983 dan selanjutnya
William A Mc Robert mempopulerkannya di University of Texas di Houston.
1. Posisi ibu berbaring pada punggungya, minta ibu untuk menarik lututnya
sejauh mungkin ke arah dadanya. Minta suami atau anggota keluarga untuk
membantu ibu Manuver Mc Robert
2. Manuver ini terdiri dari melepaskan kaki dari penyangga dan melakukan fleksi
sehingga paha menempel pada abdomen ibu. Tindakan ini dapat menyebabkan
sacrum mendatar, rotasi simfisis pubis ke arah kepala maternal dan
mengurangi sudut inklinasi. Meskipun ukuran panggul tak berubah, rotasi
cephalad panggul cenderung untuk membebaskan bahu depan yang terhimpit.
Fleksi sendi lutut dan paha serta mendekatkan paha ibu pada abdomen. Asisten
melakukan tekanan suprapubic secara bersamaan (panah vertikal)

11
3. Lakukan fleksi maksimal pada sendi paha dan sendi lutut kedua tungkai ibu
sedemikian rupa sehingga lutut hampir menempel pada bahu.
4. Penolong persalinan menahan kepala anak dan pada saat yang sama seorang
asisten memberikan tekanan di atas simfisis.
5. Tekan kepala bayi secara mantap dan terus menerus ke arah bawah (ke arah
anus ibu) untuk menggerakkan bahu anterior di bawah simfisis pubis.
Tekanan suprapubik ini dimaksudkan untuk membebaskan bahu depan dari
tepi bawah simfsis pubis.
6. Ibu diminta untuk meneran sekuat tenaga saat penolong persalinan berusaha
untuk melahirkan bahu.
7. Meminta seorang asisten untuk melakukan tekanan secara simultan ke arah
bawah pada daerah suprapubis untuk membantu persalinan bahu.
Catatan:
1. Jangan lakukan dorongan pada fundus, karena akan mempengaruhi bahu lebih jauh
dan bisa menyebabkan rupture uteri
2. Tekanan ringan pada suprapubic
3. Dilakukan tekanan ringan pada daerah suprapubik dan secara bersamaan dilakukan
traksi curam bawah pada kepala janin
4. Tekanan ringan dilakukan oleh asisten pada daerah suprapubic saat traksi curam
bawah pada kepala janin.
Bila prosedur diatas tidak membawa hasil maka lahirkan bahu belakang:
1. Masukkan telapak tangan kanan ke jalan lahir di antara bahu belakang dan dinding
belakang vagina.
2. Telusuri bahu sampai mencapai siku. Lakukan gerakan fleksi pada sendi siku dan
lahirkan lengan belakang melalui bagian depan dada. Dengan lahirnya lengan
belakang ini maka bahu belakang anak juga lahir.
3. Bahu depan dilahirkan lebih lanjut dengan melakukan traksi curam bawah kepala
(traksi ke posterior).
4. Bila bahu depan masih belum dapat dilahirkan maka tubuh anak harus dirotasi 180°.
Saat melakukan gerakan rotasi tersebut, tubuh anak dicekap. Arah putaran sesuai
dengan bahu yang sudah dilahirkan (putar tubuh anak mengikuti bagian bahu yang
sudah dilahirkan). Bahu yang terperangkap dapat dibebaskan dengan memasukkan
tangan ke bagian posterior seperti 3 hal yang sudah dijelaskan di atas
Maneuver Woods (“Wood crock screw maneuver”). Dengan melakukan rotasi bahu
posterior 180° secara “crock screw” maka bahu anterior yang terjepit pada simfisis
pubis akan terbebas. Tangan kanan penolong di belakang bahu posterior janin. Bahu
kemudian diputar 180° sehingga bahu anterior terbebas dari tepi bawah simfisis pubis
12
melahirkan bahu belakang. Bila prosedur ini dapat diselesaikan dalam waktu kurang
dari 5 menit maka diperkirakan tidak akan terjadi cedera pada otak anak. Komplikasi
yang mungkin terjadi adalah fraktura klavikula – fraktura humerus – Erb’s paralysis
(paralisa pleksus brachialis).
5. Operator memasukkan tangan ke dalam vagina menyusuri humerus posterior janin
dan kemudian melakukan fleksi lengan posterior atas didepan dada dengan
mempertahankan posisi fleksi siku.
6. Tangan janin dicekap dan lengan diluruskan melalui wajah janin
7. Lengan posterior dilahirkan

3.9.1 Manuver Rubin


Terdiri dari 2 langkah:
1. Mengguncang bahu anak dari satu sisi ke sisi lain dengan melakukan tekanan pada
abdomen ibu, bila tidak berhasil maka dilakukan langkah berikutnya yaitu:
2. Tangan mencari bahu anak yang paling mudah untuk dijangkau dan kemudian ditekan
ke depan ke arah dada anak. Tindakan ini untuk melakukan abduksi kedua bahu anak
sehingga diameter bahu mengecil dan melepaskan bahu depan dari simfisis pubis

3.9.2 Manuver Rubin II


Bahu anak yang paling mudah dijangkau didorong ke arah dada anak sehingga
diameter bahu mengecil dan membebaskan bahu anterior yang terjepit.

3.9.3 Maneuver Zavanelli


Mengembalikan kepala ke dalam jalan lahir dan anak dilahirkan melalui SC. Memutar
kepala anak menjadi occiput anterior atau posterior sesuai dengan PPL yang sudah terjadi.
Membuat kepala anak menjadi fleksi dan secara perlahan mendorong kepala ke dalam
vagina.
Kleidotomi dilakukan pada janin mati yaitu dengan cara menggunting klavikula.
Simfisiotomi Hernandez dan Wendell (1990) menyarankan untuk melakukan
serangkaian tindakan emergensi berikut ini pada kasus distosia bahu
1. Minta bantuan – asisten, ahli anaesthesi dan ahli anaesthesi.
2. Kosongkan vesica urinaria bila penuh.
3. Lakukan episiotomi mediolateral luas.
4. Lakukan tekanan suprapubic bersamaan dengan traksi curam bawah untuk melahirkan
kepala.
5. Lakukan maneuver Mc Robert dengan bantuan 2 asisten

13
BAB IV

ANALISIS MASALAH

Ny. SM, usia 28 tahun, alamat di Rantau Durian, datang dengan keluhan hamil 37
minggu dengan perut mulas sampai ke pinggang (+) sejak 3 hari SMRS, semakin lama
semakin kuat, keluar darah lendir (+), keluar air-air (+), gerakan janin masih dirasakan.

14
Pada pemeriksaan obstetrikus, pemeriksaan luar didapatkan FUT 2jbpx (32cm),
memanjang, puka, kepala, 4/5, his (+) 4x/10’/40”, DJJ 133x/menit, TBJ 3100 gram. Pada
vaginal toucher didapatkan portio lunak, anterior, eff 100%, pembukaan 6 cm, ketuban (-)
jernih dan bau (-), penunjuk UUK kanan depan. Pasien ini didiagnosis G3P2A0 hamil 37
minggu inpartu kala I fase aktif dengan KPD 3 hari JTH preskpe. Berdasarkan taksiran berat
janin, janin tidak tergolong makrosomia (Mehta, dkk. 2014).
Tatalaksana selanjutnya, diobservasi tanda vital, DJJ, his serta dievaluasi kemajuan
persalinan. Pada evaluasi kemajuan persalinan, pembukaan serviks lengkap, his adekuat.
Dilakukan pimpinan persalinan pervaginam spontan namun bahu janin tak lahir selama ≥ 1
menit setelah kepala lahir. Hal ini menunjukkan bahwa pasien mengalami distosia bahu.
Bayi cukup bulan pada umumnya memiliki ukuran bahu yang lebih lebar dari
kepalanya sehingga mempunyai risiko terjadinya distosia bahu (Siswishanto dalam
Prawirohadjo, 2010). Selain itu, menurut William penyebab distosia bahu adalah:
abnormalitas kekuatan mendorong, abnormalitas presentasi, posisi, atau perkembangan janin,
abnormalitas tulang panggul (kontraksi pelvis) dan abnormalitas jaringan lunak.
Penyebab terjadinya distosia bahu adalah karena passege (disproporsi sefalopelvik),
power (kelainan his), passenger (janin besar). Pada pasien ini penyebab distosia bahu karena
passenger (bahu janin lebar). Pada kasus ini terjadi komplikasi pada janin yaitu cedera plexus
brachialis. Menurut Siswishanto dalam Prawirohardjo pada 2010, komplikasi yang dapat
terjadi pada janin dengan distosia bahu adalah fraktur tulang (clavicula/humerus), cedera
plexus brachialis, hipoksia hingga kerusakan permanen pada otak. Sedangkan komplikasi
yang dapat terjadi pada ibu adalah perdarahan akibat laserasi jalan lahir, episiotomy, ataupun
atonia uteri. Cedera plexus brakhialis dapat membaik dengan berjalannya waktu, tetapi
sekuele dapat terjadi pada 50% kasus.
Dilakukan tindakan ALARMER yaitu Ask for help, Lift the buttocks and the legs
(McRobert Manuver), Anterior disimpaction of shoulder (Manuver massanti dan Manuver
Rubin), Rotation of the posterior shoulder (Wood’s Screw Manuver), Manual removal of
posterior arm (Schwartz), Episiotomy, Roll over onto 2-4 knee-chest (Gaskin). Setelah
tindakan tersebut, lahir neonatus hidup, laki-laki, BB 3300 gr, PB: 50 cm, Apgar Score 8/9.
Setelah itu dilakukan manajemen aktif kala III, injeksi oksitosin 10 IU im, peregangan tali
pusat terkendali, massase fundus uteri. Plasenta lahir lengkap, perdarahan aktif (-).

15
DAFTAR PUSTAKA

ALARM Commite. Chapter 13 Shoulder Dystocia dalam Buku 4th Edition of The ALARM
International Program.

Cuningham, F. G. 2005. Obstetri Williams Ed. 21 Vol. 1. Jakarta: EGC.

16
Mehta, S.H., & R. J. Robert. 2014. Shoulder Dystocia: Risk Factors, Predictability, and
Preventability. Seminars in Perinatology. 38. (2014). 189-193.

Siawishanto, R. 2008. Distosia Bahu. Ilmu Kebidanan Srwono Prawirohardjo. PT Bina


Pustaka: Jakarta.

17

Anda mungkin juga menyukai