Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Penyakit gigi dan mulut merupakan penyakit yang menyerang segala
kelompok umur baik pada anak-anak sampai dewasa tak terkecuali pada
kelompok lansia. Lansia adalah seseorang yang mengalami proses penuaan secara
terus-menerus, yang ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik disebabkan
terjadinya perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem organ.1,2
Jumlah lansia pada tahun 1970 diperkirakan hanya sekitar 2 juta,
sedangkan pada tahun 1990 telah mengalami peningkatan hampir 6 kali lipat atau
berkisar 11,3 juta dari jumlah penduduk yang ada. Tahun 2000 jumlah lansia
mengalami peningkat lagi menjadi 15,3 juta, dan pada tahun 2010 yang lalu
jumlah lansia diperkirakan telah sama dengan jumlah anak balita, yaitu sekitar 24
juta atau hampir 10% dari seluruh jumlah penduduk Indonesia. Menurut perkiraan
badan kesehatan dunia WHO, tahun 2020 jumlah penduduk lansia di Indonesia
akan mengalami kenaikan yang sangat besar, sehingga pada tahun tersebut jumlah
lansia di Indonesia diperkirakan mencapai 11,34% dari jumlah pendudukan yang
ada atau sekitar 28,8 juta.3,4
Penuaan adalah proses alami yang disertai adanya penurunan kondisi fisik,
psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. Keadaan itu
cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum maupun
kesehatan jiwa secara khusus pada lanjut usia (lansia). Setelah orang memasuki
masa lansia umumnya mulai dihinggapi adanya kondisi fisik yang bersifat
patologis berganda, misalnya tenaga berkurang, energi menurun, kulit makin
keriput, gigi makin rontok, tulang makin rapuh, dan masih banyak lagi. Secara
umum kondisi fisik seseorang yang sudah memasuki masa lansia mengalami
penurunan secara berlipat ganda.4

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Lansia
Penuaan merupakan suatu proses alami yang dihadapi oleh seluruh
manusia dan tak dapat dihindarkan. Proses menua akan terjadi terus menerus
secara alamiah dimulai sejak lahir dan umumnya dialami oleh semua makhluk
hidup. Lanjut usia merupakan periode akhir dari kehidupan seseorang dan setiap
individu akan mengalami proses penuaan dengan terjadinya perubahan pada
berbagai aspek fisik/fisiologis, psikologis, dan sosial.5 Secara biologis, penduduk
lanjut usia adalah penduduk yang mengalami proses penuaan secara terus
menerus, yang ditandai dengan menurunya daya tahan fisik disebabkan terjadinya
perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem organ.5
Menurut World Health Organization (WHO), batasan-batasan usia lanjut
terdiri dari empat golongan, yaitu usia pertengahan (middle age) yang merupakan
kelompok usia antara 45-59 tahun; lanjut usia (elderly age) yang merupakan
kelompok usia antara 60-74 tahun; usia tua (old age) yang merupakan kelompok
usia antara 75-90 tahun; dan usia sangat tua (very old) yang merupakan kelompok
usia diatas 90 tahun.6
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2003)
mengklasifikasikan lansia sebagai berikut :
2. Pralansia (prasenilis), yaitu seseorang yang berusia antara 45-59 tahun.
3. Lansia, yaitu seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih
4. Lansia resiko tinggi, yaitu seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih, atau
seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan.
5. Lansia potensial, yaitu lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan atau
kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa.
6. Lansia tidak potensial, yaitu lansia yang tidak berdaya mencari nafkah,
sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.7

2
2.1.1. Keadaan Umum Lansia
a. Keadaan Fisiologis
Setelah orang memasuki masa lansia umumnya mulai muncul
kondisi fisik yang bersifat patologis berganda, misalnya tenaga
berkurang, energi menurun, kulit makin keriput, gigi makin rontok,
tulang makin rapuh. Secara umum kondisi fisik seseorang yang
sudah memasuki masa lansia mengalami penurunan secara berlipat
ganda. Hal ini semua dapat menimbulkan gangguan atau kelainan
fungsi fisik, psikologik maupun sosial, yang selanjutnya dapat
menyebabkan suatu keadaan ketergantungan kepada orang lain.
Dalam kehidupan lansia agar dapat tetap menjaga kondisi fisik
yang sehat, maka perlu menyelaraskan kebutuhan-kebutuhan fisik
dengan kondisi psikologik maupun sosial, sehingga mau tidak mau
harus ada usaha untuk mengurangi kegiatan yang bersifat
memforsir fisiknya. Seorang lansia harus mampu mengatur cara
hidupnya dengan baik, misalnya makan, tidur, istirahat dan bekerja
secara seimbang.4
Adanya penurunan daya tahan tubuh dan mulai menderita
berbagai macam penyakit, lansia akan memerlukan obat yang
jumlah atau macamnya tergantung dari penyakit yang diderita.
Semakin banyak penyakit pada lansia, semakin banyak jenis obat
yang diperlukan. Banyaknya jenis obat akan menimbulkan masalah
antara lain kemungkinan memerlukan ketaatan atau menimbulkan
kebingungan dalam menggunakan atau cara minum obat, serta
dapat meningkatkan resiko efek samping obat atau interaksi obat.
Pemberian nutrisi yang baik dan cukup sangat diperlukan
lansia dan hal tersebut dilakukan dengan pertimbangan bahwa
lansia memerlukan nutrisi yang adekuat untuk mendukung dan
mempertahankan kesehatan. Beberapa faktor yang mempengaruhi
kebutuhan gizi seperti berkurangnya kemampuan mencerna
makanan, berkurangnya cita rasa, dan faktor penyerapan makanan.

3
Dengan adanya penurunan kesehatan dan keterbatasan fisik maka
diperlukan perawatan sehari-hari yang cukup. Perawatan tersebut dimaksudkan
agar lansia mampu mandiri atau mendapat bantuan yang minimal. Perawatan yang
diberikan berupa kebersihan perorangan seperti kebersihan gigi dan mulut,
kebersihan kulit dan badan serta rambut. Selain itu pemberian informasi
pelayanan kesehatan yang memadai juga sangat diperlukan bagi lansia agar dapat
mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai.8
Beberapa perubahan fisiologis yang terjadi ketika memasuki masa lansia
adalah :11
1. Perubahan pada panca indera terutama rasa
Sekresi saliva berkurang mengakibatkan pengeringan rongga mulut. Papil-
papil pada permukaan lidah mengalami atrofi sehingga terjadi penurunan
sensitivitas terhadap rasa terutama rasa manis dan asin. Keadaan ini akan
mempengaruhi nafsu makan, dan dengan demikian asupan gizi juga akan
terpengaruh. Keadaan ini mulai pada usia 70 tahun. Perubahan indera
penciuman, penglihatan dan pendengaran juga mengalami penurunan
fungsi seiring dengan bertambahnya usia.
2. Esofagus
Lapisan otot polos esofagus dan sfingter gastro esofageal mulai melemah
yang akan menyebabkan gangguan kontraksi dan refluk gastrointestinal
spontan sehingga terjadi kesulitan menelan dan makan menjadi tidak
nyaman.
3. Lambung
Pengosongan lambung lebih lambat, sehingga orang akan makan lebih
sedikit karena lambung terasa penuh, terjadilah anoreksia. Penyerapan zat
gizi berkurang dan produksi asam lambung menjadi lebih sedikit untuk
mencerna makanan. Di atas umur 60 tahun, sekresi HCl dan pepsin
berkurang, akibatnya absorpsi protein, vitamin dan zat besi menjadi
berkurang dan adanya kolonisasi bakteri sehingga terjadi penurunan faktor
intrinsik yang juga membatasi absorbsi vitamin B12. Penurunan sekresi
asam lambung dan enzim pankreas, fungsi asam empedu menurun

4
menghambat pencernaan lemak dan protein, sehingga terjadi malabsorbsi
lemak dan diare.

4. Tulang
Kepadatan tulang akan menurun, dengan bertambahnya usia. Kehilangan
massa tulang terjadi secara perlahan pada pria dan wanita dimulai pada
usia 35 tahun yaitu usia dimana massa tulang puncak tercapai. Dampaknya
tulang akan mudah rapuh dan patah, mengalami cedera, dan trauma yang
kecil saja dapat menyebabkan fraktur.
5. Otot
Penurunan berat badan sebagai akibat hilangnya jaringan otot dan jaringan
lemak tubuh. Presentasi lemak tubuh meningkat pada usia 40 tahun dan
berkurang setelah usia 70 tahun. Penurunan massa otot, organ tubuh,
tulang, serta metabolisme dalam sel-sel otot berkurang sesuai dengan usia.
Penurunan kekuatan otot mengakibatkan orang sering merasa letih dan
merasa lemah, daya tahan tubuh menurun karena terjadi atrofi.
Berkurangnya protein tubuh akan menambah lemak tubuh. Perubahan
metabolisme lemak ditandai dengan naiknya kadar kolesterol total dan
trigliserida.
6. Ginjal
Fungsi ginjal menurun sekitar 55% antara usia 35 – 80 tahun. Banyak
fungsi yang mengalami kemunduran, contohnya laju filtrasi, ekskresi, dan
reabsorbsi oleh ginjal. Reaksi asam basa terhadap perubahan metabolisme
melambat. Pembuangan sisa-sisa metabolisme protein dan elektrolit yang
harus dilakukan ginjal menjadi beban tersendiri.
7. Jantung dan Pembuluh darah
Perubahan yang terkait dengan penuaan sulit dibedakan dengan perubahan
yang diakibatkan oleh penyakit. Adanya jumlah jaringan ikat pada jantung
(baik katup maupun ventrikel) meningkat sehingga efisien fungsi pompa
jantung berkurang pada lansia. Pembuluh darah besar terutama aorta
menebal dan menjadi fibrosis. Pengerasan ini, selain mengurangi aliran
darah dan meningkatkan kerja ventrikel kiri, juga mengakibatkan

5
berkurangnya efisiensi baroreseptor tertanam pada dinding aorta, arteri
pulmonalis, sinus karotikus. Kemampuan tubuh untuk mengatur tekanan
darah berkurang.
8. Paru-paru
Elastisitas jaringan paru dan dinding dada berkurang, kekuatan kontraksi
otot pernapasan menurun sehingga konsumsi oksigen akan menurun pada
lansia. Perubahan ini berujung pada penurunan fungsi paru.
9. Kelenjar endokrin
Terjadi perubahan dalam kecepatan dan jumlah sekresi, respon terhadap
stimulasi serta struktur kelenjar endokrin, dan pada usia diatas 60 tahun
terjadi penurunan sekresi testosteron, estrogen, dan progesteron.
10. Kulit dan rambut
Kulit berubah menjadi tipis, kering, keriput dan tidak elastis lagi. Rambut
rontok dan berwarna putih, kering dan tidak mengkilat.
11. Fungsi imunologik
Penurunan fungsi imunologik sesuai dengan umur yang berakibat
tingginya kemungkinan terjadinya infeksi dan keganasan. Kemungkinan
jika terjadi peningkatan pemasukan vitamin dan mineral termasuk zink,
dapat meniadakan reaksi ini.

b. Keadaan Psikologis
Setelah seseorang memasuki lansia maka akan mengalami penurunan
fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi,
pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-lain, sehingga menyebabkan reaksi
dan perilaku lansia menjadi makin lambat. Fungsi psikomotorik meliputi hal-hal
yang berhubungan dengan dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan,
koordinasi, yang berakibat bahwa lansia menjadi kurang cekatan.4
Secara umum dapat diamati keinginan para lansia untuk lebih
diperhatikan, diberi waktu dan lebih dimengerti, ingin agar kehadirannya tidak
membebani anak-anaknya. Sama seperti individu lain, para lansia baru merasa
bahagia bila ia merasa benar-benar dihargai, dicintai dan diinginkan kehadirannya.
Mereka amat sensitif pada reaksi orang lain yang bersifat penolakan, penghinaan

6
atau rasa kasihan yang tidak pada tempatnya. Para lansia ingin agar tidak terlalu
tergantung pada orang lain, jadi sedapat mungkin mereka ingin mempunyai
sumber dana sendiri dan pekerjaan yang dapat menghasilkan uang. Sekalipun
demikian, jaminan keuangan dan biaya hidup belum dapat sepenuhnya mengisi
kebutuhan para lansia. Lansia ingin bisa hidup bermakna dan tetap bermanfaat
bagi orang lain di masa tuanya. Lansia seringkali pelupa, cerewet, tidak puas dan
sering berkeluh kesah, mereka akan merasa tertampung bila anak, cucu,
keluarganya dapat menerima kekurangan tersebut.10

2.2. Status Kesehatan Gigi dan Mulut pada Lanjut Usia atau Lansia
Sistem mastikasi terdiri atas gigi geligi, mukosa mulut, kelenjar ludah,
sistem neuromaskular, tulang alveolar dan temporomandibular. Proses penuaan
akan merubah struktur dan keadaan rongga mulut baik bersifat fisiologis
maupun patologis yang umumnya sulit dibedakan. Proses penuaan fisiologis
pada seluruh sistem tubuh bersama-sama dengan faktor lokal, dapat
mempengaruhi struktur dan fungsi rongga mulut. Perubahan pada sistem
mastikasi pada lansia juga dipengaruhi oleh kebiasaan, kebersihan rongga
mulut dan lingkungan.8
Proses penuaan menyebabkan perubahan struktur dan tampilan gigi
geligi. Beberapa keadaan yang umumnya terjadi pada gigi seiring pertambahan
usia, misalnya perubahan warna menjadi gelap atau kekuningan. Seringkali
terjadi keretakan, yang bersama dengan produk korosif akan menyebabkan
perubahan warna. Menipisnya lapisan enamel dapat disebabkan atrisi, erosi atau
abrasi. Hal ini akan berlanjut dengan tereksposnya dentin yang menyebabkan
terbentuknya dentin sekunder yang dalam waktu jangka lama menyebabkan
gigi kurang sensitif akan tetapi lebih rapuh, sehingga lebih beresiko terhadap
terjadinya karies dan fraktur.9,10
Oral mukosa akan menjadi lebih tipis, halus, dan kering, sehingga lebih
rentan terhadap trauma.6 Pada lidah terlihat penurunan ketebalan epitel,
penyederhanaan struktur epitel dan rete peg yang kurang menonjol, sehingga
lidah terlihat lebih halus.11 Penipisan pada mukosa mungkin berhubungan
dengan defisiensi diet.12 Tidak ada bukti nyata adanya penurunan persepsi rasa

7
yang signifikan sehubungan dengan bertambahnya umur.8 Perubahan indera
perasa dianggap kurang berpengaruh dibandingkan indera lain. Indera perasa
bersama indera penciuman berperan pada asupan makanan.8 Penurunan fungsi
kelenjar ludah merupakan keadaan normal pada proses penuaan. Pada lansia
yang sehat penurunan aliran saliva yang terjadi seiring bertambahnya usia,
tidak bermakna secara klinis. Penurunan aliran saliva yang menuju pada
kekeringan mulut (xerostomia) seringkali berkaitan dengan penyakit kronis
atau pemakaian obat-obatan tertentu.8
Fungsi otot dan sistem persyarafan berkaitan erat. 8 Tulang alveolar turut
ambil bagian dalam hilangnya mineral tulang karena usia melalui resorbsi
matriks tulang.8 Proses ini dapat dipercepat dengan tanggalnya gigi, penyakit
periodontal, atau protesa yang kurang baik.9 Keadaan yang berhubungan
dengan sendi temporomandibular masih belum jelas. Sejumlah kelainan
termasuk atritis dan kerusakan meniskus telah disebutkan, tapi hubunganya
dengan usia, terpisah dari trauma lokal dan penyakit sistemik masih belum
dapat dipastikan.10
Dampak dari buruknya kesehatan gigi dan mulut mempengaruhi
kehidupan sehari-hari lansia. Lebih lanjut akan mempengaruhi kemampuan
mengunyah, berkurangnya indera perasa, bicara, estetik, dan seringkali
mengakibatkan terbatasnya kehidupan sosial.6,7 Secara umum status kesehatan
gigi yang buruk pada lansia dapat terlihat dengan tingginya kehilangan gigi,
adanya karies gigi, tingginya pravelensi penyakit periodontal, xerostomia,
prakanker/kanker rongga mulut. Kehilangan gigi merupakan kondisi yang
sering ditemui pada lansia.9 Menurut penelitian-penelitian yang telah
dilakukan, pravalensi kehilangan gigi pada lansia masih tinggi. Keadaan tidak
bergigi baik sebagian maupun seluruhnya merupakan indikator kesehatan gigi
dan mulut dalam suatu populasi.9,11

8
Gambar 1. Gigi Geligi pada Pasien Lansia

2.3. Kelainan Rongga Mulut Pada Geriatri Serta Penatalaksanaan


Permasalahan rongga mulut yang sering terdapat pada lansia adalah
penyakit mukosa dan infeksi rongga mulut, masalah yang berhubungan dengan
gigi dan periodontal, disfungsi kelenjar saliva, gangguan indera pengecapan dan
pembauan, gangguan menelan, dan edentulousness.

2.3.1 Penyakit Mukosa dan Infeksi Rongga Mulut


2.3.1.1 Ulkus
1. Ulkus akibat trauma
a. Etiologi: gigitan pada lidah dan pipi, disfungsi motorik, pemilihan
sikat gigi yang tidak tepat, gigi patah
b. Gambaran klinik: ulkus degan pusat nekrosis, inflamasi di daerah
sekitarnya.
c. Terapi: etiologi harus diidentifikasi dan dihilangkan, jika tidak ada
perbaikan dalam 3-4 minggu maka lesi harus dibiopsi, lesi yang
luas mungkin membutuhkan anestesi.
2. Ulserasi Karena Zat Kimia
a. Etiologi : pengobatan (agen kemoterapi, imunosupresi, aspirin,
logam prosthodontik.)
b. Gambaran klinik : Inflamasi local, ulkus, atau plak leukoplaki yang
jika diangkat terasa sakit dan dasarnya eritem.
c. Terapi : penyebab dihilangkan, jika tidak ada perbaikan dalam 3-4
minggu maka lesi harus di biopsi, lesi yang luas mungkin
membutuhkan anestesi, antibiotik topical, dan steroid topical.

9
3. Ulkus Aphtosa
a. Etiologi : perubahan sistem imun, defisiensi nutrisi (Fe, B6, B12),
diabetes mellitus, gangguan usus besar, crohn’s disease, pasien dengan
imunosupresi
b. Gambaran klinik :
ulkus aphtose minor : < 0,6 cm, ulkus dangkal dengan pseudomembran
abu-abu, dikelilingi daerah eritem non keratinisasi.
Ulkus aphtose mayor : > 0,6 cm, lebih nyeri, bertahan berminggu-
minggu – bulanan, jaringan penyembuhannya akan membentuk scar.
c. Terapi : Analgesik topikal, steroid topikal, injeksi lokal jika lesi besar

2.3.1.2 Lesi mukosa yang berhubungan dengan pemakaian gigi palsu


1. Papillomatosis (Hiperplasia papiler)
a. Etiologi : Sayap gigi tiruan yng terlalu lebar dapat menyebabkan ulkus
pada mukosa bahkan menjadi hiperplasia.
b. Gambaran klinik : lesi papillari atau polipoid yang kecil dan multipel
biasanya pada palatum durum, gambaran cobblestone.
c. Terapi : Hilangkan pnyebab, pembedahan untuk menghilangkan
jaringan yang hiperplasia dengan scapel, cauter atau laser.
2. Epulis Fissurata (denture granuloma)
a. Etiologi : resorpsi tulang alveolar akibat pengguna gigi tiruan yang
melebar
b. Gambaran klinik : Jaringan granulasi yang hiperplastik sekitar
daerah pemakaian gigi tiruan, nyeri, berdarah dan dapat terjadi
ulserasi.

Gambar 2. Epulis Fissurata

10
c. Terapi : lesi yang kecil dapat disembuhkan tapi lesi besar
membutuhkan pembedahan.

2.3.1.3 Kandidiasis
Etiologi dari Kandidiasis biasanya adalah organisme flora normal yang
paling banyak pada cavum oral ialah Candida albicans. Faktor resiko termasuk
hipofungsi kelenjar saliva, pengobatan antibiotik sistemik, kortikosteroid,
immunosupresant dan zat cytotoxic, diabetes melitus dan keadaan-keadaan
immunocompromise. Penegakan Diagnosa memerlukan hasil kultur atau biopsi.
1. Kandidiosis Pseudomembran akut/thrush
a. Etiologi : kandida oral
b. Gambaran klinik : plak putih dengan dasar merah jika diangkat. Dapat
menyebar sampai ke esofagus dan trakea
2. Kandidiosis atropi akut (Antibiotik sore tongue)
a. Etiologi : kandidiosis oral akibat penggunaan antibiotik/steroid jangka
panjang.
b. Gambaran klinik : sama dengan thrush tanpa pseudomembran.
Terdapat eritema dan mukosa yang nyeri.
3. Kandidiosis atropi kronis (Denture sore tongue)
a. Etiologi : infeksi asimptomatik mikroorganisme (kandida, bacteroides,
Stafilokokus) pada mukosa dan jaringan gigi tiruan yang dipicu
penggunaan gigi tiruan secara terus menerus, defisiensi Fe dan vitamin
B kompleks dan xerostomia.
b. Gambaran klinik : Dasar mukosa yang terkena eritem, berbatas tegas.
Pada biopsi ditemukan hifa candida dan ada antibodi kandida dalam
saliva
c. Terapi : Pencegahan dengan lepas gigi tiruan ketika tidur,
membersihkan dan merendam gigi tiruan dalam larutan anti jamur
(Milton), mengoleskan anti jamur pada permukaan jaringan gigi tiruan
sebelum digunakan. Pengobatan dengan nystatin/triamnicolon
acetonide 15 gr/tube oleskan pada lesi setelah makan.

11
d. Terapi untuk pasien lansia dengan kandidiasis biasanya berupa topical,

baik salep maupun dalam bentuk obat kumur:

1. Salep Nystatin-triamcinolone acetonide setiap jam


2. Obat kulum Clotrimazole 10mg, 5 kali sehari selama 14 hari untuk
pengobatan, atau 3 kali sehari untuk pencegahan.
3. Ketoconazole per oral 200 mg/hari atau 400 mg/hari pada pasien
lansia dengan AIDS.
4. Itraconazole kumur dapat digunakan terutama pada pasien yang
rentan infeksi karena penurunak sel darah putih akibat
chemotherapy maupun dari efek pengobatan lainnya.
5. Itraconazole pada penderita yang tidak bisa diberikan secara oral
dapat melalui IV 5mg.

2.3.1.4 Angular Cheilitis


1. Etiologi:
a. Defisiensi Vitamin B atau zat besi
b. Biasanya bila pada orang tua diperberat dengan infeksi kandidiasis
2. Manifetasi Klinik
a. Kerutan dan kulit yang tampak kendur pada sudut bibir
b. Mucosa tampak kering dan pecah/ robek
3. Terapi : Salep Nystatin-triamcinolone acetonide setiap jam, pada
sudut bibir yang terdapat angular cheilitis.

Gambar 3. Angular Cheilitis

12
2.3.1.5 Lichen Planus
Lichen Planus merupakan penyakit kulit yang memiliki manifestasi oral.
Lichen planus memiliki 2 macam tampilan yaitu retikular: merupakan tipe yang
ringan, tidak memiliki gejala dan erosif : mempengaruhi lapisan epitel dan disertai
nyeri. Etiologi adalah penyakit autoimune yang diperparah dengan kondisi
psikologis penderita. Terapi untuk yang retikular tidak ada terapi yang spesifik.
Untuk tipe erosif dapat diberikan obat anti radang, dan perlu diperiksa setahun 2
kali karena ada kecenderungan untuk menjadi keganasan.

Gambar 4. Lichen Planus

2.3.2 Masalah yang berhubungan dengan gigi dan periodontal


1. Keausan Gigi
Keausan gigi pada lansia biasanya merupakan kombinasi berbagai
penyebab. Ada tiga istilah untuk menyebutkan keausan gigi yang dibedakan
dari penyebabnya yaitu: erosi, abrasi, dan atrisi.
• Erosi  hilangnya lapisan email dan dentin akibat zat kimia (biasanya
asam).
• Atrisi  kehilangan jaringan gigi akibat kontak gigi dengan gigi.
(cletching, bruksism, popping)
• Abrasi  keausan gigi karena benda keras (misal: akibat penyikatan gigi
yang terlalu kuat, menggigit logam atau benda keras lainnya).

13
Gambar 5. Abrasi

Gambar 6. Atrisi

Gambar 7. Erosi

Etiologi dari keausan gigi, yaitu :


1. Regurgitasi : asam lambung, asam dalam diet makanan, atau asam yang
terdapat pada atmosfir hampir selalu menyebabkan erosi gigi. Pada lansia
regurgitas meningkat karena berbagai gangguan pencernaan yang bervariasi
dari tukak lambung akut sampai gangguan pencernaan yang ringan. Erosi
regurgitasi dapat terjadi walaupun pasien tidak muntah. Selain itu alkohol

14
juga mengakibatkan gastritis kronis, dan regurgitasi tetap terjadi walaupun
tidak disadari.
2. Saliva dan mulut kering: mulut kering yang sering terjadi pada pasien lansia
selain dihubungkan dengan penambahan umur, pembedahan kelenjar ludah
ataupun radioterapi juga dapat menyebabkan karies dan erosi gigi. Erosi gigi
terjadi karena ketika terjadi regurgitasi/ adanya makanan yang bersifat asam
kurang diencerkan oleh saliva.
3. Kehilangan gigi posterior pada lansia diduga menyebabkan beban
pengunyahan gigi anterior bertambah sehingga keausan gigi anterior cepat
terjadi, walaupun hal ini masih menjadi kontroversi.
4. Kebiasaan lama seperti merokok dengan pipa atau teknik penyikatan yang
salah menunjukkan efek kumulatif pada lansia.
5. Erosi regurgitasi sulit dicegah karena penyebab kronis tidak bisa
dihilangkan secara sederhana. Namun erosi akibat makanan dapat dicegah
dengan melakukan kontrol makan yang bisa menyebabkan terjadinya erosi.
6. Efek abrasi penyikatan gigi yang terlalu kuat dapat dikurangi dengan
memberikan konseling cara menyikat gigi yang tepat. Jika gigi sensitive
bisa dilakukan dengan menggunakan vernis fluor seperti duraphat, atau
pasien diberikan larutan kumur yang mengandung fluor. Fluoride tinggi
dapat membantu remineralize.

2. Periodontal
a. Periodontitis
Periodonitis diperberat oleh adanya kemunduran kemampuan motorik,
oral hygiene yang buruk. Gambaran klinik dari periodontinis adalah
ginggivitis, inflamasi sulkus gusi, resesi, poket periodontal. Preventif dari
penyikatan gigi setiap hari dan dental floss, modifikasi sikat gigi pada
pasien yang mengalami kemunduran fungsi motorik.
b. Pembengkakan ginggiva yang diinduksi obat
 Etiologi: nifedipin, Calsium channel blocker, phenytoin, cyclosporine.
 Gambaran klinis: Hiperplastik epitel sulkus gingiva dengan
pseudopoket.

15
 Terapi: Peningkatan oral hygiene, pembedahan
(gingivectomi/gingivoplasti)

2.3.3. Disfungsi Kelenjar Saliva


Jumlah orang yang mengeluh mulut kering meningkat sejalan dengan
usia, 40 % lansia mungkin terkena. Umumnya mulut kering terjadi karena
penurunan fungsi saliva akibat penuaan ataupun agen lain.

Gambar 8. Disfungsi Kelenjar Saliva


Etiologi dari disfungsi kelenjar saliva multifaktorial (penggunaan
obat-obatan seperti anti hipertensi, anti histamin, anti depresan,psikotropik,
anti Parkinson, adanya disfungsi saraf otonom).
Gambaran klinik adalah mukosa oral terlihat kering, pucat, atropi,
lebih peka terhadap stimulus kimia, lidah mungkin tampak tidak berpapil dan
mengalami peradangan. Jika ada obstruksi saliran limfa tampak pembesaran
kelenjar unilateral/bilateral terutama ketika makan.
Xerostomia menimbulkan masalah retensi gigi tiruan, meningkatkan
resiko karies gigi dan infeksi (kandidiosis) dan menyebabkan masalah
pengunyahan dan penelanan. Xerostomia yang timbul akibat obat-obatan akan
berlangsung reversible jika penggunaan obat penyebab dihentikan. Namun hal
ini harus dikonsultasikan dengan dokter yang menangani.
Terapi simtomatik untuk disfungsi kelenjar saliva adalah basahi mulut
dengan air sesering mungkin,kurangi kopi, hindari obat kumur yang
mengandung alkohol dan beri pelembab pada bibir.

16
2.3.4. Gangguan Indera Pengecapan dan Penciuman
Pada Lansia Terjadi Karena Berbagai Faktor :
1. Medikasi
2. Kemoterapi dan radioterapi
3. Trauma
4. Pembedahan, dan kerusakan persyarafan dapat menyebabkan
perubahan fungsi pengecapan yang bersifat sementara atau permanen
pada orang tua
5. Sebagai akibat dari penyakit lainnya:
a. Infeksi oral
b. Diabetes
c. Esophageal refluks
d. Sinusitis
e. Alzheimer’s Parkinson

2.3.5. Gangguan Menelan


Pada lansia sering ditemui keluhan disfagia dengan berbagai macam
etiologi:
1. Penyakit neurologik : Stroke, Parkinson
2. Faktor eksternal: karena operasi yang pernah dijalani sebelumnya,
kebiasaan merokok
3. Hipofungsi kelenjar saliva
4. Pemakaian gigi palsu
Manajeman atau penanganan pada gangguan menelan adalah diberi
makanan lunak/ cair, pemberian asupan baik melalui parenteral maupun.
Enteral (bila memang terdapat indikasi tidak bisa diusahakan dengan oral)

17
2.3.6. Edentulousness (Gigi Ompong)
Sebelumnya dikatakan kehilangan gigi pada orang tua berhubungan
dengan adanya masalah dental dan periodontal yang telah diderita sebelumnya
dan menyebabkan tanggal gigi pada lansia. Tetapi ternyata ditemukan bahwa
proses penuaan alami seperti osteoporosis juga memiliki andil sebagai salah
satu faktor yang menyebabkan ompong pada lansia.
Osteoporosis adalah penyakit sistemik skeletal yang menyebabkan
fragilitas tulang sehingga menyebabkan tulang mudah patah. 80 % terjadi
pada wanita karena hubungan dengan menopause. Etiologi dari
Edentulousness (Gigi Ompong) perubahan masa tulang akibat
ketidakseimbangan pembentukan dan resorpsi tulang.
Gambaran klinik pada kelainan sistemik ditemukan nyeri punggung
terutama ketika beraktifitas dan lebih rentan terjadinya fraktur tulang multiple.
Osteoporosis juga menyebabkan penurunan mineralisasi mandibula hingga 30
% - 50 % yang tampak pada gambaran radiografi sehingga angka kejadian
fraktur tulang mandibula. Selain pada tulang juga berpengaruh pada lepasnya
perlekatan jaringan periodontal sehingga mengakibatkan resorpsi tulang
alveolar. Terapi yang dapat diberikan adalah pemberian suplemen kalsium,
kalsitonin, dan estrogen.

2.3. Kehilangan Gigi


Kehilangan gigi disebabkan masalah yang kompleks, meliputi faktor-
faktor predisposisi, status hormonal, penyakit-penyakit yang diderita, kebiasaan
dalam pemeliharaan rongga mulut, sosio budaya dan terdapatnya sarana
perawatan gigi dan mulut yang terjangkau.10 Pada lansia yang sering ditemui
penurunan daya penglihatan, berkurangnya indera penciuman dan indera serta
kemampuan motorik, yang menyebabkan kesulitan dalam pemeliharaan
kebersihan mulut.12 Berkurangnya aliran saliva yang dikaitkan dengan
penggunaan obat-obatan pada penyakit kronis sering menyebabkan retensi plak
yang akan menyebabkan karies, dan lebih lanjut menyebabkan kehilangan
gigi.13,14 Kemungkinan adanya keterbatasan fisik dan penyakit yang diderita dapat
mengurangi perhatian dan atau kemampuan untuk mengurus diri sendiri, yang

18
berdampak terhadap status kesehatan gigi dan mulutnya. Beberapa penelitian
melaporkan hubungan keadaan tidak bergigi dengan tingkat sosio ekonomi,
ternyata pada masyarakat berpenghasilan dan berpendidikan rendah mempunyai
resiko lebih tinggi kehilangan seluruh giginya.1 Penelitian lain menghubungkan
masalah-masalah yang berkaitan dengan kehilangan gigi dengan umur, jenis
kelamin, merokok, daerah tempat tinggal, kunjungan ke dokter gigi, dan asuransi
kesehatan.1,10,12
Kehilangan gigi berdampak pada hilangnya struktur orofacial, seperti
jaringan tulang, sistem persarafan, reseptor dan otot-otot. Akibatnya fungsi
orofacial akan hilang sejalan dengan kehilangan gigi. Setelah gigi tanggal, akan
terjadi resorbsi pada tulang alveolar yang lebih lanjut akan mengakibatkan
penurunan dimensi vertikal wajah. Besarnya resorbsi tulang alveolar berhubungan
dengan lamanya seseorang tidak bergigi. Kehilangan gigi memberi dampak
negatif pada mastikasi, estetik dan oral health related quality of life (OHRQoL).12

2.3.1 Dampak Kehilangan gigi


Hilangnya gigi sebagian dapat menimbulkan efek pada rongga mulut,
seperti :
a. Migrasi dan rotasi gigi;
Hilangnya kesinambungan pada lengkung gigi dapat menyebabkan
pergeseran, miring, atau berputarnya gigi. Karena gigi ini tidak lagi
menempati posisi yang normal untuk menerima beban yang terjadi pada
saat pengunyahan, maka akan mengakibatkan kerusakan struktur
periodontal. Gigi yang miring lebih sulit dibersihkan, sehingga aktivitas
karies dapat meningkat.
b. Erupsi Berlebih
Bila gigi sudah tidak mempunyai antagonis lagi, maka akan terjadi erupsi
berlebih (overeruption). Erupsi berlebih dapat terjadi tanpa atau disertai
pertumbuhan tulang alveolar, maka struktur periodontal akan mengalami
kemunduran sehingga gigi mulai extrusi. Bila terjadinya hal ini disertai
pertumbuhan tulang alveolar berlebih, maka menimbulkan kesulitan jika
pada suatu hari penderita perlu dibuatkan geligi tiruan lengkap.

19
c. Gangguan Temporomandibular Joint (TMJ)
Kebiasaan mengunyah yang buruk, penutupan berlebih (overcloser),
hubungan rahang yang eksentrik akibat kehilangan gigi, dapat
menyebabkan gangguan pada struktur sendi rahang.
d. Beban berlebih jaringan pendukung
Bila penderita sudah kehilangan sebagian gigi aslinya, maka gigi yang
masih ada akan menerima tekanan mastikasi lebih besar sehingga terjadi
pembesaran berlebih. Hal ini akan mengakibatkan kerusakan membran
periodontal dan lama kelamaan gigi tadi menjadi goyang dan akhirnya
terpaksa dicabut.
e. Estetika yang buruk
Menjadi buruknya penampilan (loss of appearance) karena kehilangan
gigi depan akan mengurangi daya tarik wajah seseorang, apalagi dari segi
pandang manusia modern.
f. Kelainan Bicara
Kehilangan gigi depan atas dan bawah seringkali menyebabkan kelainan
bicara, karena gigi khususnya yang depan termasuk bagian organ fonetik.
g. Atrisi
Dimana membran periodontal gigi asli masih menerima beban berlebihan,
tidak akan mengalami kerusakan, malahan tetap sehat. Toleransi terhadap
beban ini biasa terwujud atrisi pada gigi-gigi tadi, sehingga dalam waktu
panjang akan terjadi pengurangan dimensi vertikal wajah pada saat gigi
dalam keadaan oklusi sentrik. Oleh sebab itu, pasien yang mengalami
kehilangan gigi harus segera diberi perawatan prostodontik untuk
mencegah terjadinya kerusakan lebih lanjut.

2.3.2 Dampak fungsional


Buruknya kesehatan rongga mulut dapat berdampak pada kehilangan gigi
yang mengakibatkan timbulnya masalah pada pengunyahan dan pola makan
sehingga mengganggu status nutrisi pasien. Hal ini dikarenakan pasien yang
mengalami kehilangan gigi hanya dapat makan makanan yang lembut sehingga
nutrisi bagi tubuh menjadi berkurang. Pasien yang yang mengalami kehilangan

20
gigi akan mengubah pola konsumsinya antara lain dengan tidak memakan
makanan yang keras seperti buah-buahan, sayur-sayuran, dan daging yang
merupakan sumber vitamin, mineral, dan protein akibat menurunnya kemampuan
mengunyah. Kemampuan mengunyah pada pasien yang kehilangan gigi hanya
sebesar 1/6 dibandingkan pasien yang masih memiliki gigi. Hal ini yang
menyebabkan pasien tersebut mengalami kesulitan dalam mengunyah makanan
yang keras. Proses pengunyahan merupakan suatu proses gabungan gerak antara
dua rahang yang terpisah termasuk biofisik dan biokimia dari penggunaan bibir,
gigi, pipi, lidah, palatum, serta seluruh struktur pembentuk oral untuk mengunyah
makanan agar dapat mudah ditelan. Fungsi dari proses mengunyah adalah untuk
memotong dan menggiling makanan, membantu mencerna selulosa, merangsang
sekresi saliva, melindungi mukosa, serta mempengaruhi pertumbuhan jaringan
mulut. Selain disebabkan oleh kehilangan gigi, gangguan pengunyahan juga dapat
disebabkan oleh penurunan fungsi dari lidah, mukosa mulut, otot-otot
pengunyahan, kelenjar ludah, dan sistem saraf. Gangguan psikologis akibat
kehilangan gigi juga dapat mempengaruhi selera makan dan kegiatan mengunyah.
Gangguan pengunyahan tersebut dapat mempengaruhi asupan makanan dan status
gizi pada lansia.14
Menurut Fiske dan Lewis (1995), kesehatan gigi dan mulut merupakan hal
yang penting pada lansia dalam hubungan dengan kemampuan pengunyahan dan
mendapatkan asupan makanan yang sehat. Lansia yang banyak kehilangan
giginya berdampak negatif terhadap pemilihan dan kualitas makanan. Jumlah
kehilangan gigi yang banyak akan menyebabkan penurunan kemampuan
pengunyahan dan pemilihan jenis makanan tertentu. Keadaan tidak bergigi
mempengaruhi penurunan berat badan karena masalah pengunyahan. Dampak
fungsional yang lainnya dari kehilangan gigi yaitu berupa gangguan pada proses
bicara. Gigi geligi memiliki peranan penting dalam proses bicara. Beberapa huruf
dihasilkan melalui bantuan bibir dan lidah yang berkontak dengan gigi-geligi
sehingga dihasilkan pengucapan huruf tertentu. Huruf-huruf yang terbentuk dari
kontak gigi-geligi dan lidah adalah huruf konsonan, seperti S, Z, X, D, N, L, J, T,
TH, CH, SH. Huruf-huruf tersebut sulit dihasilkan oleh pasien yang mengalami
kehilangan gigi-geligi sehingga dapat mengganggu proses berkomunikasi.14

21
2.3.3 Dampak psikologis
Dampak psikologis merupakan suatu reaksi atau perasaan yang ditunjukan
oleh pasien sehubungan dengan status kehilangan gigi yang dialaminya.
Kehilangan gigi dapat menimbulkan berbagai dampak psikologis dalam
kehidupan sehari-hari. Beberapa dampak yang terjadi adalah hilangnya rasa
percaya diri dan adanya anggapan bahwa kehilangan gigi merupakan hal yang
tabu dan tidak patut dibicarakan kepada orang lain. Keadaan yang lebih kompleks
dari dampak psikologis yang terjadi yaitu timbulnya perasaan sedih dan depresi,
merasa kehilangan bagian dari dirinya serta merasa tua. Berdasarkan suatu
penelitian, diketahui bahwa 45% pasien di London sulit menerima kehilangan gigi
dan mengungkapkan adanya dampak psikologis yang signifikan akibat kehilangan
gigi.15 Hilangnya gigi-geligi juga dapat mengakibatkan terjadinya perubahan
bentuk wajah, tinggi muka dan vertikal dimensi, serta rahang yang prognosis. Hal
ini berdampak pada psikologis seseorang, sehingga dapat menimbulkan reaksi-
reaksi psikologis seperti sedih dan depresi, tidak percaya diri, serta adanya
perubahan tingkah laku dalam bersosialisasi.

2.3.4 Dampak sistemik


Kehilangan gigi dapat mengakibatkan timbulnya penyakit sistemik seperti
defisiensi nutrisi, osteoporosis, dan penyakit kardiovaskular (atherosclerosis). Hal
ini disebabkan oleh status gizi yang buruk dan adanya perubahan pola konsumsi.
Kurangnya konsumsi kalsium dan vitamin D yang berasal dari buah-buahan dan
sayur-sayuran akibat kehilangan gigi dapat meningkatkan resiko terjadinya
osteoporosis. Selain itu, penyakit kardiovascular juga dapat disebabkan oleh
bersatunya agen infeksius dalam bentuk atheroma dan faktor presdisposisi genetic
terhadap penyakit periodontal akan masuk sirkulasi pembuluh darah sehingga
dapat menimbulkan resiko sistemik.16
Dampak sistemik akibat kehilangan gigi juga dapat menyebabkan
timbulnya penyakit gestational seperti kanker esofagus, kanker lambung, dan
kanker pankreas. Resiko timbulnya penyakit gestational seperti kanker esofagus
dan kanker lambung meningkat seiring dengan buruknya kondisi kesehatan

22
rongga mulut. Kehilangan gigi merupakan suatu gambaran dari kondisi kesehatan
rongga mulut yang buruk sehingga memperantarai penumpukan bakteri pada gigi
dan menandai adanya bakteri endogen, khususnya flora gastrointestinal. Pasien
yang kehilangan gigi memiliki jumlah flora mulut yang lebih banyak sehingga
lebih selektif dalam mereduksi nitrat menjadi nitrit. Nitrit tersebut kemudian
bereaksi secara langsung dengan amina dan diubah menjadi
carsinogenicnitrosamines. Nitrosamin inilah yang dapat menimbulkan penyakit
gastrointestinal.3

2.4 Kualitas hidup


WHO mendefinisikan sehat sebagai kesejahteraan, yang merupakan
gabungan dari kesehatan fisik, mental, dan sosial, tidak hanya tergantung dari ada
tidaknya penyakit gangguan. Tidak ada satupun definisi yang cukup memuaskan
tentang kesejahteraan. Para psikolog mengatakan bahwa konsep kesejahteraan
mengandung komponen subjektif dan objektif. Komponen objektif ini yang
kemudian dikenal sebagai standar of living atau bisa juga disebut standar
kehidupan atau saat ini lebih dikenal dengan tingkat kehidupan, sedangkan
komponen subjektif (yang diekspresikan masing-masing individu) disebut kualitas
hidup.17
Salah satu instrumen yang sering digunakan untuk mengukur kesehatan
gigi dan mulut terkait kualitas hidup adalah Oral Health Impact Profile (OHIP).
Tahun 1997, Slade GD menyederhanakan OHIP yang terdiri dari 49 butir
pertanyaan (OHIP-49) menjadi OHIP dengan 14 butir pertanyaan (OHIP-14).
Penelitian ini dilakukan di Australia Selatan dan menggunakan 1217 sampel.
OHIP-14 ini juga berhubungan dengan tujuh dimensi (keterbatasan fungsi, rasa
sakit fisik, ketidaknyamanan psikis, ketidakmampuan fisik, ketidakmampuan
psikis, ketidakmampuan sosial dan handikap) dimana setiap dimensi terdiri dari
dua pertanyaan, dan menggunakan lima skala likert yaitu : 0 = tidak pernah, 1 =
38
sangat jarang. 2 = kadang-kadang, 3 = sering, dan 4 = sangat sering. Total skor
yang tinggi menunjukkan kualitas hidup rendah begitu pula sebaliknya.
Pertanyaan pada OHIP-14 ini dinyatakan seberapa sering dialami dalam satu
bulan terakhir berkaitan dengan keluhan pada gigi, rongga mulut, dan atau

23
struktur terkait. Apabila terdapat tiga atau lebih pertanyaan OHIP-14 yang tidak
dijawab tidak tahu, maka OHIP-14 tidak dapat digunakan dalam analisis.16,17
Tabel 1. Oral Health Impact Profile-14 16
Dimensi kualitas hidup Butir pertanyaan
Keterbatasan fungsi 1. Kesulitan dalam mengucapkan kata-kata
2. Tidak dapat mengecap rasa dengan baik
Rasa sakit fisik 3. Sakit yang sangat dirongga mulut
4. Tidak nyaman ketika mengunyah
Makanan
Ketidaknyamanan 5. Merasa khawatir
Psikis 6. Merasa tegang
Ketidakmampuan fisik 7. Diet (jumlah makanan yang dikonsumsi)
kurang memuaskan
8. Terhenti saat makan
Ketidakmampuan psikis 9. Sulit merasa rileks
10. Merasa malu
Ketidakmampuan sosial 11. Mudah tersinggung
12. Kesulitan melakukan pekerjaan sehari-
Hari
Handikap 13. Hidup terasa kurang memuaskan
14. Sama sekali tidak dapat berfungsi

Kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan gigi dan mulut


mencakup fungsi fisik yang sesuai terkait dengan mengunyah dan menelan
berfungsi dengan baik, tidak adanya ketidaknyamanan dan rasa sakit, fungsi
social terkait dengan peran normal sebagai makhluk sosial, persepsi tentang
kesehatan mulut yang baik, kepuasan dengan kesehatan mulut, dan tidak ada
kerugian sosial dan budaya karena status mulut yang buruk. Jika salah satu fungsi
dari kualitas hidup itu hilang atau tidak dimiliki maka akan sangat mempengaruhi
kehidupan sehari-hari tak terkecuali ketika akan melakukan perawatan gigi.18

2.5 Perawatan Gigi pada Geriatri


Merawat gigi lansia yaitu memiliki jadwal kunjungan rutin ke dokter gigi
adalah bagian penting untuk hidup sehat, selain itu mencegah atau mengurangi
segala jenis penyakit gigi mulut yang ditimbulkan.
Klasifikasi pencegahan yaitu 1) Pencegahan primer, yaitu penggunakan
strategi- strategi dan bahan-bahan untuk mencegah permulaan terjadinya penyakit,
untuk membalikkan proses perkembangan penyakit atau untuk menghentikan

24
proses penyakit, sebelumnya pencegahan sekunder perlu dilakukan. Misalnya
fluoridasi air minum, menghindari makanan yang lengket-lengket terutama
diantara waktu makan dan nutrisi dengan standar yang baik, 2) pencegahan
sekunder, menggunakan metode-metode perawatan secara rutin untuk
menghentikan proses penyakit dan atau untuk memperbaiki kembali jaringan
supaya sedapat mungkin mendekaati normal. Sebagai contoh perawatan pulpa,
dan pencabutan gigi bila tindakan perbaikan gagal. 3) Pencegahan tersier, yaitu
menggunakan tindakan- tindakan yang diperlukan untuk mengganti jaringan yang
hilang dan untuk merehabilitasi pasien kesuatu keadaan sehingga kemampuan
fisik dan atau sikap mentalnya sedapat mungkin mendekati normal setelah
gagalnya pencegahan sekunder. Sebagai contoh adalah pembuatan gigi palsu bagi
pasien. Menurut beberapa penelitian dikemukakan bahwa perawatan prostodontik
yang optimal dapat meningkatkan kenyamanan dan kualitas hidup lansia.
Tujuan perawatan prostodontik antara lain adalah untuk mengembalikan
fungsi mastikasi, fungsi bicara, fungsi estetika serta mempertahankan jaringan
yang masih ada. Tujuan utama dari perawatan prostodonsia pada lansia adalah :
 Jika memungkinkan kondisi oklusi yang stabil dipertahankan.
 Dimensi vertikal oklusal dipertahankan atau diperbaiki.
 Sequele langsung maupun jangka panjang akibat pembuatan gigi tiruan
diminimalkan
 Pengaplikasian prosedur perawatan sederhana dengan hasil nyaman dan
estetis.
 Pemilihan rencana perawatan yang dapat diterima secara finansial.

Dokter gigi dan pasien harus bekerja sama untuk mendapatkan perawatan
prostodontik yang optimal. Berbagai restorasi prostodontik seperti gigi tiruan
lepas (GTL) baik gigi tiruan lepas (GTSL) atau gigi tiruan penuh (GTP), gigi
tiruan cekat (GTC) dan gigi tiruan dukungan implan dapat menjadi pilihan
perawatan pada lansia. Pilihan perawatan hendaknya sesuai dengan kebutuhan
individu dari segi kenyamanan, estetik, fungsi pengunyahan dan kemampuan
menjaga kebersihan rongga mulutnya.16

25
BAB 3
PENUTUP

Penuaan merupakan suatu proses alami yang dihadapi oleh seluruh


manusia dan tak dapat dihindarkan. Proses menua akan terjadi terus menerus
secara alamiah dimulai sejak lahir dan umumnya dialami oleh semua makhluk
hidup. Lanjut usia merupakan periode akhir dari kehidupan seseorang dan setiap
individu akan mengalami proses penuaan dengan terjadinya perubahan pada
berbagai aspek fisik/fisiologis, psikologis, dan sosial. Secara biologis, penduduk
lanjut usia adalah penduduk yang mengalami proses penuaan secara terus
menerus, yang ditandai dengan menurunya daya tahan fisik disebabkan terjadinya
perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem organ.
Menurut World Health Organization (WHO), batasan-batasan usia lanjut
terdiri dari empat golongan, yaitu usia pertengahan (middle age) yang merupakan
kelompok usia antara 45-59 tahun; lanjut usia (elderly age) yang merupakan
kelompok usia antara 60-74 tahun; usia tua (old age) yang merupakan kelompok
usia antara 75-90 tahun; dan usia sangat tua (very old) yang merupakan kelompok
usia diatas 90 tahun.
Merawat gigi lansia yaitu memiliki jadwal kunjungan rutin ke dokter gigi
adalah bagian penting untuk hidup sehat, selain itu mencegah atau mengurangi
segala jenis penyakit gigi mulut yang ditimbulkan. Klasifikasi pencegahan yaitu
1) Pencegahan primer, yaitu penggunakan strategi- strategi dan bahan- bahan
untuk mencegah permulaan terjadinya penyakit, untuk membalikkan proses
perkembangan penyakit atau untuk menghentikan proses penyakit, sebelumnya
pencegahan sekunder perlu dilakukan. Misalnya fluoridasi air minum,
menghindari makanan yang lengket- lengket terutama diantara waktu makan dan
nutrisi dengan standar yang baik, 2) pencegahan sekunder, menggunakan metode-
metode perawatan secara rutin untuk menghentikan proses penyakit dan atau
untuk memperbaiki kembali jaringan supaya sedapat mungkin mendekaati
normal.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.


Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, 2007.
2. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar(RISKESDAS) Provinsi Kalimantan
SelatanTahun 2007. Jakarta: Departemen KesehatanRI, 2009.
3. Mcintyre JM. Dental Caries – The Major Cause of Tooth Damages. In
Graham J. Mount& W. R. Mount (ed). Preservation and Restoration of
Tooth Structure 2nd ed.Queensland: Knowledge Book and Software, 2015
4. Kuntjoro ZS. Masalah Kesehatan Jiwa Lansia. [Internet]. Available from:
URL: http://www.e-psikologi.com/epsi/lanjutusia_detail.asp?id=182.
Accesed October 28, 2009
5. Spackman SS, Janet GB. Periodontal Treatment for Older Adults, in
Carranza’s Clinical Periodontology. 10th ed. St.louis: WB Saunders
Company; 2006. p.93
6. Parjiyono Y. 2,7 Juta Lansia Rawan Bermasalah Sosial. [Internet].
Available from: URL: http://www.suarakarya-
online.com/news.html?id=228285 Accesed October 28, 2009
7. Achir YA. Memahami Makna Lansia. [Internet]. Available from: URL:
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/03_MemahamiMaknaUsiaLanjut.pdf/
03_MemahamiMaknaUsiaLanjut.html. Accesed October 28, 2009
8. Akhmadi. Permasalahan Lanjut Usia. [Internet]. Available from: URL:
http://www.rajawana.com/artikel/kesehatan/326-permasalahan-lanjut-usia-
lansia.html Accesed October 28, 2009
9. Yenni. Depresi Lansia, Ayo Kita Atasi. [Internet]. Available from: URL:
http://www.tanyadokteranda.com/artikel/umum/2008/06/depresi-lansia-ayo-
kita-atasi. Accesed October 28, 2009
10. Achir YA. Memahami Makna Lansia. [Internet]. Available from: URL:
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/03_MemahamiMaknaUsiaLanjut.pdf/
03_MemahamiMaknaUsiaLanjut.html. Accesed October 28, 2009

27
11. Perubahan Fisiologis Pada Lansia. [Internet]. Available from: URL:
http://www.smallcrab.com/lanjut-usia/470-perubahan-fisiologis-pada-usia-
lanjut-. Accesed October 28, 2009
12. Lumbantobing. Neurogeriatri. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2001. Hal : 1,135-138
13. Moore MC. Terapi Diet dan Nutrisi. Edisi II. Alih bahasa: Oswari LD.
Jakarta: Hipokrates;1997. Hal : 76-84
14. Oral Manifestation of Geriatric Dental Patient. [Internet]. Available from:
URL:http://yukiicettea.blogspot.com/2009/08/oral-manifestation-of-
geriatric-dental.html Accesed November 11, 2009
15. Jubhari EH. Proses Menua Sendi Temporomandibula pada Pemakai
Gigitiruan Lengkap. Cermin Dunia Kedokteran. No. 137. 2002. Hal:
142,143,144. Available from:
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15_ProsesMenuaSendiTemporomandi
bula.pdf/15_ProsesMenuaSendiTemporomandibula.html Accesed October
28, 2009
16. Kelainan Sendi TMJ. [Internet]. Available from: URL:
http://medicastore.com/penyakit/123/Kelainan_Sendi_Temporomandibuler.
html Accesed November 11, 2009
17. Bajpai. Osteologi Tubuh Manusia. Alih bahasa: Harrianto R. Jakarta:
Binarupa Aksara; 1991. Hal: 142
18. Kesehatan Tim. Gangguan Sendi Rahang (TMJ). [Internet]. Available from:
URL: http://assep.wordpress.com/2008/07/05/gangguan-sendi-rahang-tmj/
Accesed November 11, 2009
19. TMJ Disorders Prevention and Treatment. Available from:
http://www.wellness.com/reference/conditions/TMJ-joint-tmj-
disorders/prevention-and-treatment accesed November 11, 2009

28

Anda mungkin juga menyukai