Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH PERUBAHAN PSIKOLOGIS, SOSIAL DAN SPIRITUAL

PADA LANSIA

Tugas ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Gerontik

Dosen pengampu: EVA LATIVA NURHAYATI, SKM,M.KES

Disusun oleh:

MAISARAH SIAHAAN (183302040035)

PROGRAM STUDI S1 – ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN

UNIVERSITAS PRIMA INDONESIA


MEDAN
2021
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena anugerah dari-Nya kami
dapat menyelesaikan makalah tentang “Perubahan Psikologis, Sosial, Spiritual dan Seksual
pada Lansia” ini. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi besar kita,
yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan kepada kita jalan yang lurus berupa
ajaran agama Islam yang sempurna dan menjadi anugerah serta rahmat bagi seluruh alam
semesta.

Kami berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan mengenaiperubahan psikologis, sosial, spiritual dan seksual pada lansia. Kami
juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari
kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan
makalah yang kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa saran yang membangun.

Semoga makalah yang kami buat ini dapat di pahami oleh siapa saja yang
membacanya, dan semoga dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan umumnya bagi siapa
saja yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf jika ada kata yang kurang berkenan,
dan Kami mohon adanya kritik dan saran agar dapat memperbaiki di saat yang akan datang.
DAFTAR ISI

i
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Semua manusia pasti akan mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan
mulai dari bayi sampai menjadi tua. Masa hidup terakhir manusia yaitu tua. Pada
masa tua seiring berjalannya waktu seseorang akan mengalami kemunduran baik
fisik, mental maupun sosial. Tubuh akan mengalami perubahan-perubahan pada
struktur dan fisiologis dari berbagai sel, jaringan ataupun organ dan sistem yang
menyebabkan involusi dan degradasi.
Menurut UU No 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan usia lanjut, lansia atau
lanjut usia adalah seseorang yang berusia 60 tahun ke atas sedangkan menurut WHO
seseorang dikatakan lansia ketika seseorang tersebut berusia 60-74 tahun.
Di Indonesia berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun
2016, jumlah lansia di Indonesia mencapai 22,4 juta jiwa atau 8,69% dari jumlah
penduduk.Kemenkes RI(2017), memperkirakan bahwa jumlah penduduk lanjut usia di
Indonesia tahun 2020 akan mencapai 27,8 juta, tahun 2025 mencapai 33,69 juta, tahun
2030 mencapai 40,95 juta dan di tahun 2035 mencapai 48,19 juta.Peningkatan jumlah
penduduk lanjut usia ini merupakan hal yang harus diperhatikan karena lansiaakan
mengalami penurunan fungsi baik dalam aspek fisik,psikologis, spiritual dan
sosialnya. Usia tua merupakan masa dimana berbagai masalah baik masalah fisik
maupun psikologis dapat muncul dikarenakan adanya perubahan-perubahan pada
berbagai aspek tersebut.
A. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat diambil rumusan masalah yaitu
“Bagaimana Perubahan Fisologis Pada Lansia?”
B. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan pembuatan makalah ini


adalah untuk Mengenal dan Mengetahui Perubahan Fisologis Pada Lansia.

1
C. Manfaat
1. Bagi Mahasiswa

Meningkatkan dan mengembangkan wawasan khususnya bagi mahasiswa


keperawatan dalam bidang Keperawatan Gerontik.

2. Bagi Dosen

Sebagai bahan referensi pegangan dan acuan perangkat pendidikan pada perkuliahan
Keperawatan Gerontik untuk mendukung perkuliahan yang lebih efektif.

3. Bagi Masyarakat

Menghasilkan informasi terkait dengan Pelayanan Kesehatan pada Usia Lanjut yang
dapat dijadikan sebagai bahan referensi.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. LANSIA DAN PERUBAHAN FISOLOGIS PADA LANSIA

Menua merupakan suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan


jaringan untuk memperbaiki, mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi
normalnya. Dengan demikian menua ditandai dengan kehilangan secara progresif lean body
mass (LBM = jaringan aktif tubuh) yang sudah dimulai sejak usia 40 tahun disertai dengan
menurunnya metabolisme basal sebesar 2% setiap tahunnya yang disertai dengan perubahan
disemua sistem didalam tubuh manusia.
Beberapa perubahan fisiologis yang terjadi ketika memasuki usia lanjut adalah :
a. Perubahan pada panca indera terutama rasa
Sekresi saliva berkurang mengakibatkan pengeringan rongga mulut. Papil-papil pada
permukaan lidah mengalami atrofi sehingga terjadi penurunan sensitivitas terhadap
rasa terutama rasa manis dan asin. Keadaan ini akan mempengaruhi nafsu makan, dan
dengan demikian asupan gizi juga akan terpengaruh. Keadaan ini mulai pada usia 70
tahun. Perubahan indera penciuman, penglihatan dan pendengaran juga mengalami
penurunan fungsi seiring dengan bertambahnya usia.
b. Esofagus
Lapisan otot polos esofagus dan sfingter gastro esofageal mulai melemah yang akan
menyebabkan gangguan kontraksi dan refluk gastrointestinal spontan sehingga terjadi
kesulitan menelan dan makan menjadi tidak nyaman
c. Lambung
Pengosongan lambung lebih lambat, sehingga orang akan makan lebih sedikit karena
lambung terasa penuh, terjadilah anoreksia. Penyerapan zat gizi berkurang dan
produksi asam lambung menjadi lebih sedikit untuk mencerna makanan. Diatas umur
60 tahun, sekresi HCl dan pepsin berkurang, akibatnya absorpsi protein, vitamin dan
zat besi menjadi berkurang. Terjadi overgrowth bakteri sehingga terjadi penurunan
faktor intrinsik yang juga membatasi absorbsi vitamin B12, Penurunan sekresi asam
lambung dan enzim pankreas, fungsi asam empedu menurun menghambat pencernaan
lemak dan protein, terjadi juga malabsorbsi lemak dan diare.

3
d. Tulang
Kepadatan tulang akan menurun, dengan bertambahnya usia. Kehilangan massa
tulang terjadi secara perlahan pada pria dan wanita dimulai pada usia 35 tahun yaitu
usia dimana massa tulang puncak tercapai. Dampaknya tulang akan mudah rapuh
(keropos) dan patah, mengalami cedera, trauma yang kecil saja dapat menyebabkan
fraktur.
e. Otot
Penurunan berat badan sebagai akibat hilangnya jaringan otot dan jaringan lemak
tubuh. Presentasi lemak tubuh bertambah pada usia 40 tahun dan berkurang setelah
usia 70 tahun. Penurunan Lean Body Mass ( otot, organ tubuh, tulang) dan
metabolisme dalam sel-sel otot berkurang sesuai dengan usia. Penurunan kekuatan
otot mengakibatkan orang sering merasa letih dan merasa lemah, daya tahan tubuh
menurun karena terjadi atrofi. Berkurangnya protein tubuh akan menambah lemak
tubuh. Perubahan metabolisme lemak ditandai dengan naiknya kadar kolesterol total
dan trigliserida.
f. Ginjal
Fungsi ginjal menurun sekitar 55% antara usia 35 – 80 tahun. Banyak fungsi yang
mengalami kemunduran, contohnya laju filtrasi, ekskresi, dan reabsorbsi oleh ginjal.
Reaksi asam basa terhadap perubahan metabolisme melambat. Pembuangan sisa-sisa
metabolisme protein dan elektrolit yang harus dilakukan ginjal menjadi beban
tersendiri.
g. Jantung dan Pembuluh darah
Perubahan yang terkait dengan ketuaan sulit dibedakan dengan perubahan yang
diakibatkan oleh penyakit. Pada lansia jumlah jaringan ikat pada jantung (baik katup
maupun ventrikel) meningkat sehingga efisien fungsi pompa jantung berkurang.
Pembuluh darah besar terutama aorta menebal dan menjadi fibrosis. Pengerasan ini,
selain mengurangi aliran darah dan meningkatkan kerja ventrikel kiri,juga
mengakibatkan ketidakefisienan baroreseptor (tertanam pada dinding aorta, arteri
pulmonalis, sinus karotikus). Kemampuan tubuh untuk mengatur tekanan darah
berkurang.
h. Paru-paru
Elastisitas jaringan paru dan dinding dada berkurang,kekuatan kontraksi otot
pernapasan menurun sehingga konsumsi oksigen akan menurun pada
lansia.Perubahan ini berujung pada penurunan fungsi paru.

4
i. Kelenjar endokrin
Terjadi perubahan dalam kecepatan dan jumlah sekresi,respon terhadap stimulasi serta
struktur kelenjar endokrin. Pada usia diatas 60 tahun terjadi penurunan sekresi
testosteron,estrogen,dan progesteron.
j. Kulitdanrambut
Kulit berubah menjadi tipis,kering,keriput dan tidak elastis lagi.Rambut rontok dan
berwarna putih,kering dan tidak mengkilat.
k. Fungsi imunologik
Penurunan fungsi imunologik sesuai dengan umur yang berakibat tingginya
kemungkinan terjadinya infeksi dan keganasan. Ada kemungkinan jika terjadi
peningkatan pemasukan vitamin dan mineral termasuk zinc, dapat meniadakan reaksi
ini.
B. KASUS (INKONTENENSIA URIN)
1. Defenisi
inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang tidak
terkendali atau terjadi diluar keinginan (Brunner and Suddarth, 2002).
Inkontinensia urine adalah ketidakampuan mengendalikan evakuasi urine. (kamus
keperawatan).
Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar antara 15 – 30% usialanjut
di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit mengalami
inkontinensia urin, dan kemungkinan bertambah berat inkontinensia urinnya 25-30%
saa tberumur 65-74 tahun. Masalah inkontinensia urin ini angka kejadiannya
meningkat dua kali lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria. Perubahan-perubahan
akibat proses menua mempengaruhi saluran kemih bagian bawah. Perubahan tersebut
merupakan predisposisi bagi lansia untuk mengalami inkontinensia, tetapi tidak
menyebabkan inkontinensia. Jadi inkontinensia bukan bagian normal proses menua.

2. Etiologi & Faktor Resiko


1)      Persalinan pervaginan
Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat
regangan otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat
meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urine.
2)      Proses menua

5
Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia menopause (50
tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran
kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia urine. Semakin
tua seseorang semakin besar kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena
terjadi perubahan struktur kandung kemih dan otot dasar panggul.
3)      Gangguan urologi (peningkatan pada produksi urine (DM))
4)      Infeksi saluran kemih
Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi infeksi
saluran kemih bisa menyebabkan inkontinensia urine

3. Fatofisiologi
Proses berkemih normal merupakan proses dinamis yang memerlukan
rangkaian koordinasi proses fisiologik berurutan yang pada dasarnya dibagi menjadi 2
fase. Pada keadaan normal selama fase pengisian tidak terjadi kebocoran urine,
walaupun kandung kemih penuh atau tekanan intra-abdomen meningkat seperti
sewaktu batuk, meloncat-loncat atau kencing dan peningkatan isi kandung kemih
memperbesar keinginan ini. Pada keadaan normal, dalam hal demikian pun tidak
terjadi kebocoran di luar kesadaran. Pada fase pengosongan, isi seluruh kandung
kemih dikosongkan sama sekali. Orang dewasa dapat mempercepat atau
memperlambat miksi menurut kehendaknya secara sadar, tanpa dipengaruhi kuatnya
rasa ingin kencing. Cara kerja kandung kemih yaitu sewaktu fase pengisian otot
kandung kemih tetap kendor sehingga meskipun volume kandung kemih meningkat,
tekanan di dalam kandung kemih tetap rendah. Sebaliknya otot-otot yang merupakan
mekanisme penutupan selalu dalam keadaan tegang. Dengan demikian maka uretra
tetap tertutup. Sewaktu miksi, tekanan di dalam kandung kemih meningkat karena
kontraksi aktif otot-ototnya, sementara terjadi pengendoran mekanisme penutup di
dalam uretra. Uretra membuka dan urine memancar keluar. Ada semacam kerjasama
antara otot-otot kandung kemih dan uretra, baik semasa fase pengisian maupun
sewaktu fase pengeluaran. Pada kedua fase itu urine tidak boleh mengalir balik ke
dalam ureter (refluks).
Proses berkemih normal melibatkan mekanisme dikendalikan dan tanpa
kendali. Sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul berada dibawah control
volunter dan disuplai oleh saraf pudenda, sedangkan otot detrusor kandung kemih dan
sfingter uretra internal berada di bawah kontrol sistem safar otonom,yang mungkin

6
dimodulasi oleh korteks otak. Kandung kemih terdiri atas 4 lapisan, yakni lapisan
serosa, lapisan otot detrusor, lapisan submukosa dan lapisanmukosa. Ketika otot
detrusor berelaksasi, pengisian kandung kemih terjadi dan bila otot kandung kemih
berkontraksi pengosongan kandung kemih atau proses berkemih berlangsung. otot
detrusor adalah otot kontraktil yang terdiri atas beberapa lapisan kandung kemih.
Mekanisme detrusor meliputi otot detrusor,saraf pelvis, medula spinalis dan pusat
saraf yang mengontrol berkemih. Ketikakandung kemih seseorang mulai terisi oleh
urin, rangsangan saraf diteruskan melalui saraf pelvis dan medula spinalis ke pusar
saraf kortikal dan subkortikal. Pusat subkortikal (pada ganglia basal dan serebelum)
menyebabkan kandung kemih berelaksasi sehingga dapat mengisi tanpa menyebabkan
seseorang mengalami desakan untuk berkemih. Ketika pengisian kandung kemih
berlanjut,rasa penggebungan kandung kemih disadari, dan pusat kortikal (pada
lobusfrontal), bekerja menghambat pengeluaran urin. Gangguan pada pusat
kortikaldan subkortikal karena obat atau penyakit dapat mengurangi kemampuan
menunda pengeluaran urin. Komponen penting dalam mekanisme sfingter adalah
hubungan urethra dengan kandung kemih dan rongga perut. Mekanisme
sfingter berkemih memerlukan agulasi yang tepat antara urethra dan kandung
kemih.Fungsi sfingter urethra normal juga tergantung pada posisi yang tepat dari
urethra sehiingga dapat meningkatkan tekanan intra-abdomen secara
efektif ditrasmisikan ke uretre. Bila uretra pada posisi yang tepat, urin tidak akan
keluar pada saat tekanan atau batuk yang meningkatkan tekanan intra-abdomen.
Mekanisme dasar proses berkemih diatur oleh refleks-refleks yang berpusat dimedula
spinalis segmen sakral yang dikenal sebagai pusat berkemih. Pada fase pengisian
kandung kemih, terjadi peningkatan aktivitas saraf otonom simpatis yang
mengakibatkan penutupan leher kandung kemih, relaksasi dinding kandung kemih
serta penghambatan aktivitas parasimpatis dan mempertahankan inversisomatik pada
otot dasar panggul. Pada fase pengosongan, aktivitas simpatis dan somatik menurun,
sedangkan parasimpatis meningkat sehingga terjadi kontraksi otot detrusor dan
pembukaan leher kandung kemih. Proses reflek ini dipengaruhi oleh sistem saraf yang
lebih tinggi yaitu batang otak, korteks serebri dan serebelum. Pada usia lanjut
biasanya ada beberapa jenis inkontinensia urin yaitu ada inkontinensia urin tipe stress,
inkontinensia tipe urgensi, tipe fungsional dan tipe overflow..
Inkontinensia urine dapat terjadi dengan berbagai manifestasi, antara lain:
Fungsi sfingter yang terganggu menyebabkan kandung kemih bocor bila batuk atau

7
bersin. Terjadi hambatan pengeluaran urine dengan pelebaran kandung kemih, urine
banyak dalam kandung kemih sampai kapasitas berlebihan. Seiring dengan
bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan fungsi organ kemih,
antara lain : melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan berkali-kali, kebiasaan
mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak dapat
menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding
kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah
menimbulkan rasa ingin berkemih. Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain
terkait dengan gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi
urin meningkat atau adanya gangguan kemampuan/keinginan ke toilet. Gangguan
saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Inkontinensia Urine juga bisa terjadi
karena produksi urine berlebih karena berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik,
seperti diabetes melitus, yang harus terus dipantau
Selain hal-hal yang disebutkan diatas inkontinensia urine juga terjadi akibat
kelemahan otot dasar panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan
(obesitas), menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina. Penambahan
berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan melemahnya otot dasar
panggul karena ditekan selama sembilan bulan. Proses persalinan juga dapat membuat
otot-otot dasar panggul rusak akibat regangan otot dan jaringan penunjang serta
robekan jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia
urine. Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia menopause
(50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran
kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia urine. Faktor risiko
yang lain adalah obesitas atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya
juga berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua seseorang semakin besar
kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan struktur
kandung kemih dan otot dasar panggul.
4. Manifestasi klinis
1)      Desakan berkemih, di sertai ketidakmampuan mencapai kamar mandi karena
telah berkemih
2)      Frekuensi, dan nokturia.
3)      Inkontinensia stres, dicirikan dengan keluarnya sejumlah kecil urin  ketika
tertawa, bersin, melompat, batuk atau membungkuk.

8
4)      Inkontinensia overflow, dicirikan dengan aliran urin buruk atau melambat dan
merasa menunda atau mengedan.
5)      Inkontinensia fungsional, dicirikan dengan volume dan aliran urin yang adekuat
6)      Higiene buruk atau tanda- tanda infeksi

5. Komplikasi
a) Meningkatkan efek samping dari penggunaan obat-obatan
b) Meningkatkan peluang infeksi karena pajanan urin terus-menerus
c) Komplikasi bedah seperti perdarahan, kerusakan sekitar pembuluh darah dan
nervus.

6. Penatalaksanaan
Latihan otot-otot dasar panggul Latihan penyesuaian berkemih Obat-obatan untuk
merelaksasi kandung kemih dan estrogen Tindakan pembedahan memperkuat muara
kandung kemih
1.        Inkontinensia urgensi
a. Latihan mengenal sensasi berkemih dan penyesuaiayan
b. Obat-obatan untuk merelaksasi kandung kemih dan estrogen
c. Tindakan pembedahan untuk mengambil sumbatan dan lain-lain keadaan
patologik yang menyebabkan iritasi pada saluran kemih bagian bawah.
d. Kateterisasi, bila mungkin secara intermiten, dan kalau tidak mungkin secara
menetap.
e. Tindakan pembedahan untuk mengangkat penyebab sumbatan
2.        Inkontensia overflow
a.         Kateterisasi, bila mungkin secara intermiten, dan kalau tidak mungkin
secara menetap
b.         Tindakan pembedahan untuk mengangkat penyebab sumbatan
3.        Inkontinensia tipe fungsional
a.         Penyesuaian sikap berkemih antara lain dengan jadwal dan kebiasaan
berkemih
b.         Pekaian dalam dan kain penyerap khusus lainnya
c.         Penyesuaian/modifikasi lingkungan tempat berkemih
d.        Kalau perlu digaunakan obat-obatan yang merelaksasi kandung kemih

9
7. Pemeriksaan Penunjang

Tes diagnostik pada inkontinensia urin (Menurut Ouslander)


Tes diagnostik pada inkontinensia perlu dilakukan untuk mengidentifikasi faktor yang
potensial mengakibatkan inkontinensia, mengidentifikasi kebutuhan klien dan
menentukan tipe inkontinensia.
1.      Mengukur sisa urine setelah berkemih
Dilakukan dengan cara : Setelah buang air kecil, pasang kateter, urin yang
keluar melalui kateter diukur atau menggunakan pemeriksaan ultrasonik
pelvis, bila sisa urin > 100 cc berarti pengosongan kandung kemih tidak
adekuat. Urinalisis, dilakukan terhadap spesimen urine yang bersih untuk
mendeteksi adanya factor yang berperan terhadap terjadinya inkontinensia urin
seperti hematuri, piouri, bakteriuri, glukosuria, dan proteinuria. Tes diagnostik
lanjutan perlu dilanjutkan bila evaluasi awal didiagnosis belum jelas.
2.      Tes lanjutan tersebut adalah :
a)      Tes laboratorium tambahan seperti kultur urin, blood urea nitrogen,
creatinin, kalsium glukosa sitologi. Tes urodinamik adalah untuk
mengetahui anatomi dan fungsi saluran kemih bagian bawah
b)      Tes tekanan urethra adalah mengukur tekanan di dalam urethra saat
istirahat dan saat dinamis
3.      Imaging adalah tes terhadap saluran perkemihan bagian atas dan bawah.
Pemeriksaan penunjang Uji urodinamik sederhana dapat dilakukan tanpa
menggunakan alat-alat mahal. Sisa-sisa urine pasca berkemih perlu
diperkirakan pada pemeriksaan fisis. Pengukuran yang spesifik dapat
dilakukan dengan ultrasound atau kateterisasi urine. Merembesnya urin pada
saatdilakukan penekanan dapat juga dilakukan.
Evaluasi tersebut juga harus dikerjakan ketika kandung kemih penuh dan
ada desakan keinginan untuk berkemih. Diminta untuk batuk ketika sedang
diperiksa dalam posisi litotomi atau berdiri. Merembesnya urin sering kali
dapat dilihat. Informasi yang dapat diperoleh antara lain saat pertama ada
keinginan berkemih, ada atau tidak adanya kontraksi kandung kemih tak
terkendali, dan kapasitas kandung kemih.
4.      Laboratorium Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji
untuk menentukan fungsi ginjal dan kondisi yang menyebabkan poliuri.

10
5.      Catatan berkemih (voiding record)
Catatan berkemih dilakukan untuk mengetahui pola berkemih. Catatan ini
digunakan untuk mencatat waktu dan jumlah urin saat mengalami
inkontinensia urin dan tidak inkontinensia urin, dan gejala berkaitan dengan
inkontinensia urin. Pencatatan pola berkemih tersebut dilakukan selama 1-3
hari. Catatan tersebut dapat digunakan untuk memantau respon terapi dan juga
dapat dipakai sebagai intervensi terapeutik karena dapat menyadarkan pasien
faktor-faktor yang memicu terjadinya inkontinensia urin pada dirinya.
6.      Urinalisis
Digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah dan glukosa dalam urine.
7.      Uroflowmeter
Digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan menunjukkan obstruksi
pintu bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika pasien
berkemih.
8.      Cysometry
Digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuskular kandung kemih dengan
mengukur efisiensi refleks otot destrusor, tekana dan kapasitas intravesikal,
dan reaksi kandung kemih terhadap rangsangan panas.
9.      Urografi ekskretori bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran
ketika pasien berkemih :
a.      Urografi ekskretorik
Disebut juga pielografi intravena, digunakan untuk mengevaluasi
struktur dan fungsi ginjal, ureter dan kandung kemih.
b.      Kateterisasi residu pascakemih
Digunakan untuk menentukan luasnya pengosongan kandung kemih dan
jumlah urine yang tersisa dalam kandung kemih setelah pasien berkemih.
10.  Sistometrogram dan elektromiogram.
Dilakukan untuk mengevaluasi otot detrusor, spingter dan otot perineum.
11.  USG kandung kemih, sistoskopi dan IVP.
Dilakukan untuk mengkaji struktur dan fungsi saluran kemih.

8. ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
a.      Identitas klien

11
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan,
alamat, suku bangsa, tanggal, jam MRS, nomor registrasi, dan diagnosa medis.
b.      Riwayat kesehatan
1)      Riwayat kesehatan sekarang
Berapakah frekuensi inkonteninsianya, apakah ada sesuatu yang
mendahului inkonteninsia (stres, ketakutan, tertawa, gerakan), masukan cairan,
usia/kondisi fisik, kekuatan dorongan/aliran jumlah cairan berkenaan dengan
waktu miksi. Apakah ada penggunaan diuretik, terasa ingin berkemih sebelum
terjadi inkontenin, apakah terjadi ketidakmampuan.
2)      Riwayat kesehatan dahulu.
Apakah klien pernah mengalami penyakit serupa sebelumnya, riwayat urinasi
dan catatan eliminasi klien, apakah pernah terjadi trauma/cedera
genitourinarius, pembedahan ginjal, infeksi saluran kemih dan apakah dirawat
dirumah sakit.
3)      Riwayat kesehatan keluarga.
Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit serupa
dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit bawaan atau keturunan,
penyakit ginjal bawaan/bukan bawaan.

c.       Pemeriksaan fisik


1)      Keadaan umum
Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena respon
dari terjadinya inkontinensia.
2)      Pemeriksaan Sistem
a)      B1 (breathing)
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena suplai
oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada perkusi.
b)      B2 (blood)
Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah
c)      B3 (brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
d)      B4 (bladder)
Inspeksi:

12
Periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat karena adanya
aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih serta disertai
keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder, pembesaran daerah supra
pubik lesi pada meatus uretra,banyak kencing dan nyeri saat berkemih
menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah klien terpasang kateter
sebelumnya.
Palpasi :
Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis, seperti rasa terbakar di
urera luar sewaktu kencing / dapat juga di luar waktu kencing.
e)      B5 (bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan
abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan palpasi
pada ginjal.
f)       B6 (bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas yang
lain, adakah nyeri pada persendian.

B. Analisa data
Data Masalah etiologi
DS: Gangguan eliminasi urine Gangguan sensori motor
Biasanya pasien
mengatakan sering
berkemih.
DO:
Inkontinensia urin
Retensi urin

DS: Gangguan citra tubuh Kehilangan fungsi tubuh,


Biasanya klien perubahan keterlibatan
mengungkapkan perasaan sosial
yang mencerminkan
perubahan pandangan
tentang tubuh individu.

13
DO:
Respon nonverbal terhadap
perubahan actual pada
tubuh.
Perubahan actual pada
fungsi danstruktur tubuk
DS: Ansietas Perubahan dalam status
Biasanya klien kesehatan
mengatakan gelisah.
Klien mengeluhkan
kekhawatiran karena
perubahan dalam peristiwa
hidup.
Klien mengatakan susah
tidur.

DO:
Klien tampak cemas.
Klien tampak gelisah.
Klien insomnia.

C. Diagnosa keperawatan
a.      Gangguan eliminasi urine b/d gangguan sensori motor.
b.      Gangguan citra tubuh b/d kehilangan fungsi tubuh, perubahan keterlibatan
sosial.
c.       Ansietas b/d perubahan dalam status kesehatan.

D. NCP
Diagnose Criteria hasil Intervensi Aktivitas NIC
keperawata berdasarkan NOC keperawatan
n berdasarkan
NIC
I Urinary contiunence Urinary 1.      Lakukan penilaian
Criteria Hasil: retention care kemih yang komprehensif

14
1. Kandung kemih kosong berfokus pada
secara penuh. inkontinensia(misalnya,
2. Tidak ada residu urine output urin, pola
>100-200 cc. berkemih, fungsikognitif)
3. Intake cairan dalam 2.      Pantau penggunaan obat
rentang normal. dengan sifat
4. Balance cairan antikolinergik
seimbang. 3.      Memantau intake dan
output
4.      Memantau tingkat
distensi kandung kemih
dengan palpasi atau
perkusi
5.      Bantu dengan toilet
secara berkala
6.      Kateterisasi
II Body image Body image
1.      kaji secara verbal dan
Criteria Hasil: enhancement non verbal respon klien
1.      Body image positif terhadap tubuhnya
2.      Mampu 2.      jelaskan tentang
mengidentifikasi pengobatan dan
kekuatan personal perawatan penyakit
3.      Mendeskripsikan 3.      identifikasi arti
secara factual pengurangan melalui
perubahan fungsi tubuh pemakaian alat bantu.
4.      Mempertahankan 4.      Fasilitasi kontak dengan
interaksi sosial individu lain dalam
kelompok lain
III Anxiety self control
Criteria hasil:
1.      klien mampu
mengidentifikasi dan
mengungkapkan gejala
cemas.

15
2.      Mengidentifikasi,
mengungkapakan dan
menunjukkan teknik
untuk mengontrol
cemas.
3.      Postur tubuh, ekspresi
wajah, bahasa tubuh
dan tingkat aktifitas
menunjukkan
berkurangnya
kecemasan.

E. IMPLEMENTASI
Untuk Implementasi dilakukan sesuaikan dengan Intervensi yang sudah ada.

BAB III
PENUTUP

16
A. Kesimpulan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki, mengganti diri dan mempertahankan
struktur dan fungsi normalnya. Dengan demikian menua ditandai dengan kehilangan
secara progresif lean body mass (LBM = jaringan aktif tubuh) yang sudah dimulai sejak
usia 40 tahun disertai dengan menurunnya metabolisme basal sebesar 2% setiap tahunnya
yang disertai dengan perubahan disemua sistem didalam tubuh manusia.
B. Saran
Kebutuhan fisiologi, psiko-spiritual tiap lansia berbeda - beda maka dari itu peran
perawat sangat penting dalam rangka pemberian pelayanan kesehatan untuk lansia,
dan dianjurkan perawat memberikan asuhan keperawatan yang baik dan membantu
lansia dalam pemenuhan kebutuhan individu nya.

DAFTAR PUSTAKA

17
Depkes RI (2005). Pedoman pembinaan Kesehatan Lanjut Usia. Jakarta Nugroho,
http://materikeilmuankeperawatan.blogspot.co.id/2015/09/asuhan-keperawatan inkontinensia-
urin.html
Nurarif, Amin Huda,dkk. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis
& NANDA NIC NOC.
Syahrul, S. (2013). Pelaksanaan Posyandu Lansia, Pengisian KMS, Pencatatan &

Rekapitulasi Hasil Kegiatan Posyandu Lansia. Diunduh dari

http://http://repository.unhas.ac.id, tanggal 16 November 2016.

Wahjudi. (2000). Keperawatan Gerontik. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

18

Anda mungkin juga menyukai