Anda di halaman 1dari 57

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. PERCOBAAN 1 (Pembayangan Pada Bangunan)
1. Tinjauan Umum
a. Penggunaan Elemen Bayangan
Peunggunaan Elemen pembayangan merupakan langkah
lanjutan yang di tempuh setelah mengendalikan orientasi dan
bukaan. Jika orientasi dan bukaan dapat ditoleransi di karenakan
kebutuhan perancangan, maka elemen pembayangan sangat
penting. Elemen pembayangan dapat dirancang sesuai dan posisi
arah kedatangan radiasi matahari sehingga bukaan dapat
terlindung dari sinar matahari langsung.
Terdapat dua klarifikasi, yaitu :
1. Elemen pembayangan permanen (Shading element)
Disini termasuk dalam posisi eksternal antara lain dalam bentuk
overhang vertical fing kombinasi horizontal dan vertical (egg
crate type), balkon jika dalam posisi internal antara lain dalam
bentuk light shelves dan louvne diatas jendela.
2. Elemen yang dapat di atur (adjustable shading elements)
Yang termasuk elemen eksternal adalah tanda awning blinds
dan internal curtains, roners dan sebagainya. Oprasional dari
elemen – elemen tersebut sangat tergantung dari kebutuhan
ruangan tersebut. Factor diluar bangunan yang juga dapat
berfungsi sebagai elemen pembayangan adalah vegetasi
disekitar bangunan vegetasi yang berada dekat dengan jendela
dapat memberikan efek pembayangan dan mengakibatkan
berkurangnya radiasi.
(1944/200, Lipsneller, Goerge (1944) : Bangunan tropis.
Jakarta, Penerbit Erlangga)
a. Aspek perancangan sub – sub ini memberikan pedoman perancangan
yang perlu pembayangan sinar matahari merupakan satu – satunya cara
eifisien untuk mengurangi beban panas maupun perambatan panas juga
dapat di control dengan perancangan luas jendela. Banyak alternative cara
yang dapat digunakan antara lain yang bias disebutkan adalah tabir surya
yang terjadi atas :
1. Natural devices
2. Internal devices
3. Eksternal devices
Perambatan panas dapat dikontrol dengan perancangan luas
jendela, masalah ini berbeda dengan adanya ikilim yang
bersangkutan misalnya pada daerah radiasi matahari justru
sangat diperlukan pada waktu musim dingin berbeda dengan
iklim tropis. Perembatan panas kedalam ruangan harus
diperhatikan kenaikan suhu udara didalam ruangan.
Melindungi permukaan bangunan panas pada matahari
yang mampu memancarkan kedalam bangunan. Factor yang
harus bangunan dipenuhi antara lain, yaitu :
1. Tidak silau
2. Lindungi bangunan dari hujan
3. Memberikan view keluar yang cukup
4. Mampu memancarkan sirkulasi yang masuk
5. Estetika memenuhi
(http:// Auliana.wordpress.com/mataharikulya).
1. Pembayangan
Pembayangan sinar matahari adalah salah satu satunya cara
yang eifisien untuk mengurangi beban panas, walaupun rambatan
panas juga dapat dikontrol dengan rancangan luas jendela
Pembayangan sinar matahari yang masuk kedalam bangunan
dengan menggunakan SHUN SHADDING (pembayangan matahri).
Hal – hal yang perlu diperhatikan, yaitu :
1. Sinar langsung yang membawa panas harus di bayangi :
a. Sinar diffuse (yang tidak menyilaukan) bila masuk kedalam
bangunan untuk kebutuhan penerangan alami.
b. Kita perlu mempelajari SBV (sudut bayangan vertical dan
SBH (sudut bayangan horizontal)
Matahari terbit di timur terbenam di barat, hanya pada tanggal
21 september dan 21 maret (panjang siang-panjang malam)
Seperti bola dunia ditengah dan kita melihat dari atas.
a. Azimuth (sudut bayangan horizontal)
b. Attitude (sudut baingan vertical)
Hal – halnya yang perlu di perhatikan dalam perancangan sinar
matahari adalah :
a) Mampu mengontrol hantaran panas
b) Jumlah sinar yang masuk di perlukan untuk penerangan
alami
c) Sulai yang terjadi
d) Waktu penyinaran matahari
1) Waktu dimana matahari mencapai titik di sebelah
selatan katulistiwa 21 desember
2) Waktu dimana matahari mencapai titik terjatuh di
sebelah utara katulistiwa 21 juni
3) Waktu matahari mencapai / mulai memancarkan
radiasinya yang di anggap sudah mulai panas jam 08.20
– 09.00 pagi
4) Waktu matahari mengumpulkan radiasi terbanyak
selama sehari (15.00)
Sudut pembayangan sendiri berubah – ubah pada setiap
saat tergantung pada posisi matahari. Oleh sebab itu ada 3
macam pembayangan yaitu :
a. Pembayangan vertical
b. Pembayangan horitzontal
c. Kombinasi antara pembayangan horizontal dan vertical
secara terinci aspek – aspek penting yang harus di
perhatikan dalam perancangan pada bangunan atau
matahari adalah :
1) Pembayangan akan lebih eifisien apabila ada pada
bagian luar dari pada bangunan luar bangunan
2) Perbedaan eifisien ini akan lebih apa bila mempunyai
warna gelap
3) Pembayangan luar akan lebih eifisien apabila
mempunyai warna gelap
4) Pembayangan pada bangunan akan menyebabkan
penambahan apabila menggunakan warna gelap
5) Pembayangan matahari sebaiknya dari bahan yang
mempunyai kapasitas thermis yang rendah
6) Pembayangan matahari tidak saja berfungsi
menghalangi masuknya radiasi matahari kedalam
bangunan, namun juga jangan sampai berfungsi sebagai
penangkap radiasi matahari
7) Pembayangan matahari tidak selalu berupa sirip vertical
atau horizontal atau keduanya sama – sama tetapi ide
self shading juga merupakan suatu potensi rancang
arsitektur. Sehingga bentuk bangunan lebih bisa
memberikan arti
(Martin, ervams, 1980 : Holding, climate and comfort,
London, Architecture press)
B. PERCOBAAN II ( PERPINDAHAN KALOR PADA BANGUNAN)
1. Tinjauan Umum
A. Perpindahan Kalor
Perpindahan kalor (heat transfer) ialah ilmu untuk meramalkan
perpindahan energi yang terjadi karena adanya perbedaan suhu di
antara benda atau material. Dari termodinamika telah kita ketahui
bahwa energi yang pindah itu dinamakan kalor atau panas (heat).
Ilmu perpindahan kalor tidak hanya mencoba menjelaskan
bagaimana energi kalor itu berpindah dari suatu benda ke benda
lain, tetapi juga dapat meramalkan laju perpindahan yang terjadi
pada kondisi-kondisi tertentu. Kenyataan di sini yang menjadi
sasaran analisis ialah masalah laju perpindahan, inilah yang
membedakan ilmu perpindahan kalor dari ilmu termodinamika.
Termodinamika membahas sistem dalam keseimbangan, ilmu ini
dapat digunakan untuk meramal energi yang diperlukan untuk
mengubah sistem dari suatu keadaan seimbang ke keadaan
seimbang lain, tetapi tidak dapat meramalkan kecepatan
perpindahan itu. Hal ini disebabkan karena pada waktu proses
perpindahan itu berlangsung, sistem tidak berada dalam keadaan
seimbang. Ilmu perpindahan kalor melengkapi hukum pertama dan
kedua termodinamika, yaitu dengan memberikan beberapa kaidah
percobaan yang dapat dimanfaatkan untuk menentukan
perpindahan energi. Sebagaimana juga dalam ilmu
termodinamika, kaidah-kaidah percobaan yang digunakan dalam
masalah perpindahan kalor cukup sederhana, dan dapat dengan
mudah dikembangkan sehingga mencakup berbagai ragam situasi
praktis. (Holman,1983)

1. Perpindahan Kalor Konduksi

Perpindahan kalor konduksi adalah perpindahan tenaga


sebagai kalor melalui sebuah proses medium stasioner , seperti
tembaga, air, atau udara. Di dalam benda-benda padat maka
perpindahan tenaga timbul karena atom-atom pada
temperatur yang lebih tinggi bergetar dengan lebih bergairah,
sehingga atom-atom tersebut dapat memindahkan tenaga
kepada atom-atom yang lebih lesu yang berada di dekatnya
dengan kerja mikroskopik, yakni kalor. Di dalam logam-logam,
elektron-elektron bebas juga membuat kontribusi kepada
proses hantaran kalor. Di dalam sebuah cairan atau gas,
molekul-molekul juga giat (mudah bergerak), dan tenaga juga
dihantar oleh tumbukan-tumbukan molekul. (Reynold dan
Perkins, 1983)

Perpindahan kalor konduksi satu dimensi melalui padatan


diatur oleh hukum Fourier, yang dalam bentuk satu dimensi
dapat dinyatakan sebagai,
di mana q adalah arus panas, k konduktivitas termal medium, A
itu penampang luas untuk aliran panas, dan dT / dx gradien
suhu, membutuhkan penyisipan tanda minus di persamaan
untuk menjamin panas positif
aliran q. Perbedaan suhu yang dihasilkan dari difusi steady-
state panas dengan demikian berkaitan dengan konduktivitas
termal dari material, luas penampang A, dan panjang jalur L,
menjadi,

Bentuk persamaan (2.2), dimana k dan A diduga konstan,


menunjukkan bahwa dengan cara yang analog dengan hukum
Ohm mengatur aliran arus listrik melalui hambatan,adalah
mungkin untuk menentukan hambatan konduksivitas termal.

Persamaan (2.1) merupakan persamaan dasar tentang


konduktivitas termal. Berdasarkan rumusan itu maka dapatlah
dilaksanakan pengukuran dalam percobaan untuk menentukan
konduktivitas termal berbagai bahan. Untuk gas-gas pada suhu
agak rendah, pengolahan analitis teori kinetik gas dapat
dipergunakan untuk meramalkan secara teliti nilai-nilai yang
diamati dalam percobaan. (Bejan dan Kraus, 1948)

Mekanisme konduksi termal pada gas cukup sederhana. Energi


kinetik molekul dutunjukkan oleh suhunya, jadi pada bagian
bersuhu tinggi molekul-molekul mempunyai kecepatan yang
lebih tinggi daripada yang berada pada bagian bersuhu rendah.
Molekul-molekul itu selalu berada dalam gerakan rambang
atau acak, saling bertumbukkan satu sama lain, di mana terjadi
pertukaran energi dan momentum. Jika suatu molekul bergerak
dari daerah bersuhu tinggi ke daerah bersuhu rendah, maka
molekul itu mengangkut energi kinetik ke bagian sistem yang
suhunya lebih rendah, dan di sini menyerahkan energinya pada
waktu bertumbukkan dengan molekul yang energinya lebih
rendah. Jika aliran kalor dinyatakan dalam watt, satuan untuk
konduktivitas termal itu ialah watt per meter per derajat
Celsius. Nilai konduktivitas termal itu menunjukkan berapa
cepat kalor mengalir dalam bahan tertentu.

Energi termal dihantarkan dalam zat padat menurut salah satu


dari dua modus berikut : melalui getaran kisi ( lattice vibration)
atau dengan angkutan melalui elektron bebas. Dalam
konduktor listrik yang baik, dimana terdapat elektron bebas
yang bergerak di dalam struktur kisi bahan-bahan, maka
elektron, di samping dapat mengangkut muatan listrik, dapat
pula membawa energi termal dari daerah bersuhu tinggi ke
daerah bersuhu rendah, sebagaimana halnya dalam gas. Energi
dapat pula berpindah sebagai energi getaran dalam struktur kisi
bahan. Namun, pada umumnya perpindahan energi melalui
getaran ini tidaklah sebanyak dengan cara angkutan elektron.
Karena itu penghantar listrik yang baik selalu merupakan
penghantar kalor yang baik pula, seperti halnya tembaga,
aluminium dan perak. Sebaliknya isolator listrik yang baik
merupakan isolator kalor. (Holman,1983)
Nilai kondukitivitas thermal suatu bahan menunjukkan laju
perpindahan panas yang mengalir dalam suatu bahan
onduktivitas thermal kebanyakan baha
merupakan fungsi suhu, dan bertambah sedikit kalau suhu naik,
akan tetapi variasinya kecil dan sering kali diabaikan. Jika nilai
konduktivitas thermal suatu bahan makin besar, maka makin
besar juga panas yang mengalir melalui benda tersebut. Karena
itu, bahan yang harga k-nya besar adalah penghantar panas
yang baik, sedangkan bila k-nya kecil bahan itu kurang
menghantar atau merupakan isolator.
Tabel 2.1. Nilai Konduktivitas Bahan

Bahan Bahan k
k (W/m.C) (W/m.C)
Logam Non Logam
Perak 410 Kuarsa 41,6
Tembaga 385 Magnesit 4,15
Aluminium 202 Marmar 2,08 – 2,94
Nikel 93 Batu pasir 1,83
Besi 73 Kaca, jendela 0,78
Baja karbon 43 Kayu 0,08
Timbal 35 Serbuk gergaji 0,059
Baja krom-nikel 16,3 Wol kaca 0,038
Emas 314 Karet 0,2
Polystyrene 0,157
Polyethylene 0,33
Polypropylene 0,16
Polyvinyl
Chlorida 0,09
Kertas 0,166
Perpindahan panas pada suatu dinding datar seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 2.1, dapat diturunkan dengan
menerapkan Persamaan 2.1.

Gambar 2.1. Konduksi pada Bidang Datar

Jika Persamaan 2.1 diintegrasikan :

∫ =−∫

Maka akan diperoleh :


∆ =− ∆

=− ∆ ( − ) (2.4)

Dimana : T1 = Suhu Dinding Sebelah Kiri (0C)

T2 = Suhu Dinding Sebelah Kanan (0C)


Δx = Tebal Dinding (m)
Apabila pada suatu sistem terdapat lebih dari satu macam

bahan, misalnya dinding berlapis-lapis (gambar 2.5), maka

aliran kalor dapat digambarkan sebagai berikut

=− ∆ ( − )=− ∆ ( − )=− ∆ ( −) (2.5)

Gambar 2.2. Konduksi pada Dinding Berlapis (Lebih Dari Satu


Bahan)
Persamaan 2.5 mirip dengan Hukum Ohm dalam aliran listrik.

Dengan demikian perpindahan panas dapat dianalogikan

dengan aliran arus listrik seperti pada gambar 2.3.

Q
RA RB RC
∆ ∆ ∆
T1 T2 T3 T4
Gambar 2.3. Analogi Perpindahan Panas Dalam Aliran
Listrik.
Menurut analogi di atas perpindahan panas sama dengan :

= (2.6)

Jadi persamaan 2.5 dipecahkan serentak, maka aliran panas
adalah :

( − )

=∆ ∆ ∆ (2.7)
+ +
C. PERCOBAAN III (PENCAHAYAAN ALAMI DALAM RUANGAN
1.TINJAUAN UMUM
A. Sifat-Sifat Cahaya Alami

Cahaya matahari yang masuk ke dalam bangunan dapat


dibedakan menjadi tiga, yaitu:
a. Cahaya matahari langsung
b. Cahaya difus dari terang langit
c. Cahaya difus dari pantulan tanah atau bangunan lainnya

Pada kondisi iklim tropis, cahaya matahari langsung harus


selalu dihindari karena membawa panas masuk ke dalam
bangunan, caranya dapat melalui desain bentuk bangunan dan
elemen pembayangan (shading devices) baik yang bergerak
maupun yang tetap. Komponen pencahayaan yang dapat
digunakan yaitu komponen 2 dan 3.
Banyak studi di area Asia Tenggara menunjukkan bahwa
menggunakan strategi pencahayaan alami dapat mengurangi
kebutuhan konsumsi energi sebesar 20% dan membantu untuk
mengatasi masalah meningkatnya beban panas sensibel dari AC
(air conditioning). Iklim tropis hanya memiliki dua musim (musim
kemarau dan hujan) yang menyebabkan sebagian besar bangunan
publik dengan

Szokolay, Steven V., 2014, Introduction to Architectural Science


(Third Edition): The Basis of Sustainable Design, New York:
Routledge.
rentang atrium yang panjang dan bangunan domestik jarang memiliki
pencahayaan atap karena dapat mengakibatkan ketidaknyamanan
termal pada pengguna.
Kondisi lingkungan yang nyaman bagi semua pengguna
bangunan harus diperhatikan dalam menyediakan pencahayaan

alami pada bangunan di iklim tropis. Kroelinger (2005) 7


menunjukkan pada strategi pencahayaan alami harus dapat
mengurangi dan mengontrol tingkat radiasi matahari, terutama dari
pencahayaan samping dan atas, untuk mengatasi masalah
penyebaran panas dengan cara menyediakan alat pembayang dan
meletakkan atau menyesuaikan ukuran jendela agar mendapatkan
sinar matahari tidak langsung dan juga mencegah paparan dari arah
timur atau barat. Desain pencahayaan alami juga bertujuan untuk
mengeahui bagaimana mengontrol kualitas dan kuantitas
pencahayaan alami secara umum dari berbagai sumber pada lokasi

spesifik. Penelitian yang dilakukan Al-Obaidi (2013)8 menunjukkan


bahwa sangat mungkin untuk meletakkan pencahayaan alami dari
atap secara merata dan tingkat terang yang seragam, yang diteliti
pada negara beriklim tropis dengan melakukan beberapa modifikasi
pada konstruksi atap, bukaan, dan plafon.
Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Pengkuran
Pencahayaan Alami Berikut ini merupakan faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap pengukuran pencahayaan alami pada ruang
multifungsi jika menggunakan skylight yang dimodifikasi dengan
teknologi perforated metal untuk memasukkan cahaya alami
ke dalamnya.
a. Iluminasi atau tingkat penerangan
Tingkat penerangan adalah jumlah cahaya yang jatuh pada permukaan
bidang kerja, dengan satuan Lux. Besarnya nilai iluminasi tergantung
dari fungsi ruang tersebut
B. Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Pengkuran
Pencahayaan Alami
Berikut ini merupakan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
pengukuran pencahayaan alami pada ruang multifungsi jika
menggunakan skylight yang dimodifikasi dengan teknologi
perforated metal untuk memasukkan cahaya alami
ke dalamnya.

a. Iluminasi atau tingkat penerangan


Tingkat penerangan adalah jumlah cahaya yang
jatuh pada permukaan bidang kerja, dengan satuan Lux.
Besarnya nilai iluminasi tergantung dari fungsi ruang
tersebut
dan tergantung pula pada jenis pekerjaan, durasi pekerjaan yang
dilakukan, tingkat ketelitian, dan usia pengguna ruang.

1. Daylight factor
Iluminan yang diterima pada suatu titik di dalam
ruangan, diperoleh dari langit atau diasumsikan sebagai
distribusi luminasi yang dinyatakan dalam persentase
iluminasi horisontal luar ruang terhadap belahan buni yang
tidak terhalang pada kondisi lanngit yang sama.

2. Reflectance factor
Perbandingan antara luminous flux yang dipantulkan
dari sebuah permukaan dengan yang di atasnya. Reflektansi
tergantung pada bagaimana sebuah permukaan diterangi,
khususnya arah dan distribusi dari kondisi cahaya tersebut.

3. Difraksi cahaya
Difraksi merupakan pembelokan cahaya di sekitar
suatu penghalang atau suatu celah. Jika muka gelombang
bidang tiba pada suatu celah sempit (lebarnya lebih kecil
dari panjang gelombang), maka gelombang ini akan
mengalami lenturan sehingga terjadi gelombang-
gelombang setengah lingkaran yang melebar di belakang
celah tersebut, peristiwa ini dikenal dengan difraksi.
Difraksi merupakan fenomena gelombang lain yang
bergantung pada panjangnya gelombang. Fenomena ini
dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut.
Gambar 6. Pola cahaya yang terbentuk pada layar akibat cahaya
dari suatu sumber yang melewati lubang kecil (titik) obyek buram
(tidak tembus cahaya)
Sumber: Materi Mata Kuliah “Tata Cahaya” Program Studi Teknik
Arsitektur Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Jika semakin banyak celah pada kisi yang memiliki lebar sama, maka
semakin tajam pola difraksi dihasilkan pada layar.

Gambar 7. Pola cahaya yang terbentuk akibat cahaya dari suatu


sumber melewati banyak lubang kecil obyek buram (tidak tembus
cahaya)
Sumber: Materi Mata Kuliah “Tata Cahaya” Program Studi Teknik
Arsitektur Universitas Atma Jaya Yogyakarta
4. Silau
Silau (glare) merupakan suatu ukuran
ketidaknyamanan pada pengguna yang disebabkan oleh
kelebihan pencahayaan atau kontras dalam suatu area atau
pandangan tertentu. Silau terjadi jika kecerahan dari suatu
bagian dari interior jauh

melebihi kecerahan dari interior tersebut pada umumnya.


Sumber silau yang paling umum yaitu kecerahan yang
berlebihan dari armatur dan jendela, baik yang terlihat
langsung atau melalui pantulan.

Silau dibedakan menjadi dua jenis, yaitu disability glare


dan discomfort glare. Disability glare merupakan silau yang
tidak menimbulkan ketidaknyamanan tetapi dapat
mengurangi kemampuan melihat obyek. Discomfort glare
merupakan silau yang menimbulkan ketidaknyamanan
tetapi tidak mengurangi kemampuan melihat obyek.
Discomfort glare terjadi karena dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu adanya luminasi dari sumber cahaya menuju
titik pengamat, intensitas cahaya yang terlihat dari titik
pengamatan (sudut ruang), posisi bagian sumber cahaya
yang terlihat dari arah pandangan, dan luminasi rata-rata
lingkungan (terang langit).

Secara umum, tingkat silau dapat dihitung dengan rumus


perhitungan sebagai berikut :
Keterangan:
Lesp = luminan dari
sumber silau mci =
ukuran besar
sumber silau Lesp =
luminan pada obyek

Konsep dasar pengukuran tingkat silau sesuai dengan banyak


kriteria ruang dan jenis pengukuran yang berbeda, sehingga
menghasilkan banyak indikator silau yang berbeda. Pada program
Evalglare, tingkat silau dibedakan menjadi lima jenis,

SNI 03-6575-2001 Tata Cara Perancangan Sistem Pencahayaan


Buatan pada Bangunan Gedung. 10 Jakubiec, Alstan and Christoph
Reinhart, 2010, The Use of Glare Metrics in the Design of Daylit
Spaces: Recommendations for Practice, 9th International Radiance
Workshop; September 20-21, Harvard Design School, p.6.

yaitu Daylight Glare Probability, Daylight Glare Index, Unified Glare


Rating, Visual Comfort Probability, dan CIE Glare Index.

n
L1.6m0.8
DGI = 10 × ci poc.ci
log10 0.48 Σ

Lb + (0.07m0.5Lci)
i=1
ci

Rentang nilai DGI yaitu lebih dari 31 (> 31) tidak tertahankan dan
kurang dari 18 (< 18) hampir tidak terasa. DGI hanya dapat
diaplikasikan dengan kondisi di mana sinar matahari langsung tidak
masuk ke dalam ruang. Bagaimanapun juga DGI menyediakan data
yang relatif mendekati ketika memprediksi ketidaknyamanan pada
skenario terburuk.
ci ci
0.44 avg
P×E
Rentang nilai VCP berupa presentasi pengguna yang diprediksi
merasa nyaman di ruang tersebut. Di bawah kondisi sinar
matahari, VCP memproduksi nilai yang sejajar dengan pengukuran
lain. Karena dibentuk hanya untuk kondisi yang sangat.

spesifik, VCP tidak direkomendasikan untuk digunakan


pada kondisi pencahayaan alami.

CIE Unified Glare


n 2
Rating (UGR)14 L m

CGI = 8 × log10 Σ ci ci

Rentang nilai UGR yaitu lebih dari 28 (> 28) tidak


tertahankan dan kurang dari 13 (< 13) hampir tidak terasa. Seperti
DGI, UGR hanya berguna jika kondisi sinar matahari langsung
tidak masuk ke dalam ruang.

Daylight Glare
n 2
Probability (DGP)15 L m

DGP = 5.87 × 10–5Ev + 9.18 × 10–5 log10 (1 + Σ ci ci )


Rentang nilai DGP yaitu lebih dari 0,45 (> 0,45) tidak
tertahankan dan kurang dari 0,3 (< 0,3) hampir tidak terasa. Peneliti
menemukan bahwa DGP merupakan alat ukur yang mempunyai
hasil yang paling umum di bawah kondisi pencahayaan alami. DGP
merespon prediksi untuk situasi pencahayaan alami termasuk dari
sumber langsung dengan sudut yang banyak atau besar atau tidak
beraturan. Untuk alasan ini, banyaknya tahap iterasi pada simulasi
secara otomatis dapat dicapai dan memiliki sedikit kesempatan
menghasilkan hasil error16.
Batas toleransi dari masing-masing jenis silau pada simulasi
menggunakan program komputer dijabarkan sebagai berikut.
Tabel 1. Batas Tingkat Kenyamanan Indeks Silau pada Simulasi Multi Arah
Tingkat Indeks Silau
Warn Keterangan
a D DGI UGR CGI VCP
G
P
Hijau < 0,35 < 18 < 13 < 13 80 – Silau tidak terasa
100
Kuning 0,35 – 18 – 13 – 13 – 60 – 80 Silau dapat
0,40 24 22 22 dirasakan
Oranye 0,4 – 0,45 24 – 22 – 22 – 40 – 60 Silau mengganggu
31 28 28
Merah > 0,45 > 31 > 28 > 28 < 40 Silau tidak
tertahankan
Sumber: Jakubiec, Alstan and Christoph Reinhart, 2010, The Use of Glare
Metrics in the Design of Daylit Spaces: Recommendations for Practice, 9th
International Radiance Workshop; September 20-21, Harvard Design School,
p.18.

Gambar 8. Contoh hasil simulasi yang menunjukkan batas kenyamanan


tingkat indeks silau Sumber: Jakubiec, Alstan and Christoph Reinhart, 2010,
The Use of Glare Metrics in the Design of Daylit Spaces: Recommendations for
Practice, 9th International Radiance Workshop; September 20-21, Harvard
Design School, p.17.

Sesuai dengan perbandingan masing-masing indeks silau di


atas, maka analisis tingkat silau pada pencahayaan alami dalam
ruang paling tepat menggunakan indeks silau DGP. Selain itu
17
beberapa penelitian seperti yang dilakukan David Appelfeld juga
menggunakan DGP berdasarkan beberapa evaluasi studi efek silau
terhadap manus
D.PERCOBAAN IV (PENCAHAYAAN BUATAN)

1. TINJAUAN UMUM

a. Pencahayaan Buatan

Pencahayaan buatan adalah pencahayaan yang berasal dari


sumber cahaya buatan manusia yang dikenal dengan lampu atau
luminer. Pada cuaca yang kurang baik dan malam hari, pencahayaan
buatan sangat dibutuhkan. Perkembangan teknologi sumber cahaya
buatan memberikan kualitas pencahayaan buatan yang memenuhi
kebutuhan manusia (Lechner, 2001, p.472).
Pencahayaan buatan membutuhkan energi untuk diubah
menjadi terang cahaya. Segi efisiensi menjadi pertimbangan yang
sangat penting selain menjadikan pencahayaan buatan sesuai dengan
kebutuhan manusia. Pencahayaan buatan yang efisien mempunyai
fokus kepada pemenuhan pencahayaan pada bidang kerja. Satwiko
(2004, p.78) menyatakan pentingnya mengarahkan cahaya ke titik yang
membutuhkan pencahayaan sebagai prioritas.

b. Pencahayaan Bidang Kerja

Dalam performansi visual, dipemerlukan identifikasi bidang kerja


yang diharapkan untuk menentukan karakteristik pencahayaan
buatan (IESNA, 2000, bab 3).

Permukaan yang berkaitan dengan bidang kerja adalah


permukaan yang menjadi area penglihatan selama bekerja. Dalam teori
iluminasi pada bidang kerja, desainer perlu mengetahui berapa tinggi
bidang kerja yang akan mendapatkan pencahayaan optimum kemudian
mengukur berapa besar area bidang kerja yang perlu diberi
pencahayaan optimum dan area yang hanya perlu pencahayaan
umum. Dengan demikian, diharapkan pencahayaan menjadi efisien.
Beberapa faktor yang perlu dihindari untuk mendapatkan
kenyamanan penglihatan pada bidang kerja dalam IESNA (2000,
p.127):

1. Silau (Glare)
Terdapat dua buah silau disability glare dan discomfort glare.
Disability Glare adalah silau yang menyebabkan mata tidak
mampu melihat apapun akibat dari pancaran sinar yang besar ke
arah mata seperti ditunjukkan Gambar 2.2, salah satu contoh
saat melihat ke arah sinar matahari langsung. Untuk
menghindari masalah ini, letak luminer tidak berada langsung
pada area penglihatan atau luminer diberi pengarah agar cahaya
yang dikeluarkan menjadi lebih lembut.
Discomfort Glare adalah silau yang ditimbulkan akibat pantulan
sinar terhadap bidang kerja atau unsur-unsur di sekitarnya yang
menuju mata. Umumnya masalah potensi silau (discomfort
glare) berasal dari unsur-unsur yang berada pada bidang kerja.

2. Bayangan (Shadow)
Gambar 2.3 bagian b menunjukkan pembayangan terjadi karena
pancaran sinar cahaya ke bidang kerja tertutupi oleh suatu obyek
(tangan). Hal ini terjadi juga karena pancaran sinar terlalu kuat
sementara tidak terdapat sumber cahaya dari arah lain yang
dapat mengurangi efek pembayangan tersebut. Cara yang
termudah adalah meletakkan sumber cahaya dari arah yang
tidak tertutupi oleh obyek baik dari obyek tetap atau bergerak.

3. Cahaya Kejut (Flicker)


Flicker adalah ketidakstabilan suplai cahaya yang dihasilkan
sumber cahaya yang menyebabkan perubahan intensitas cahaya
dengan cepat. Akibat dari perubahan yang cepat, mata harus
beradaptasi dengan cepat pula sehingga terjadi
ketidaknyamanan. Beberapa sumber cahaya mempunyai
kekurangan ini dan juga dapat disebabkan suplai tegangan listrik
yang kurang stabil. Flicker dapat diminimalisasi dengan memilih
sumber cahaya yang mempunyai resiko kecil terjadi flicker.
Lampu CFL termasuk sumber cahaya yang kecil terjadi flicker.

Faktor-faktor yang perlu diperhatikan untuk kenyamanan


penglihatan pada bidang kerja adalah:

(1) Kontras Warna (Color Contrast)


Pada kontras warna yang baik, mata mampu dengan mudah
membaca obyek terhadap latar. Dalam penjelasan Arditi (2009)
tentang guidelines for making effective color choices that work
for nearly everyone, memberi penjelasan pentingnya paduan
warna, tingkat terang dan ketajaman warna dalam membantu
kejelasan penglihatan manusia.

(2) Ukuran Detail (Detail Size)


Menurut standar IESNA (2000, p.112) kemampuan penglihatan
pada bidang kerja dipengaruhi oleh jarak objek, besar dan
kerumitan bentuk dari suatu motif. Jarak yang konsisten dapat
membantu penglihatan karena tidak dibutuhkan waktu
penyesuaian dari lensa mata. Besar obyek akan mempengaruhi
ketajaman mata manusia, pada gambar yang cukup besar tingkat
ketajaman lensa mata tidak perlu maksimum sehingga kelelahan
mata dapat berkurang. Semakin kecil dan rumit gambar akan
berdampak pada kelelahan mata yang cepat.
(3) Kecepatan Kerja (Work Speed)
Kecepatan pekerjaan menentukan tingkat iluminasi cahaya
karena kemampuan mata dalam mengikuti kecepatan obyek
mempunyai keterbatasan. IESNA (2000, p.143) menyatakan
semakin cepat pergerakan obyek membutuhkan iluminasi yang
lebih terang

(4) Renderasi & Temperatur warna (Color Rendering & Color


Temperature) Renderasi warna (Color rendering) didefinisikan
dalam IESNA (2000, p.112) sebagai kejelasan warna pada obyek
hasil dari pancaran sumber cahaya yang dapat diperbandingkan
antara beberapa sumber cahaya. Renderasi warna ini sangat
berpengaruh kepada performa obyek dan tidak semua sumber
cahaya memiliki renderasi warna yang baik seperti ditunjukkan
Tabel 2.1. Nilai renderasi yang baik atau CRI (Color Rendering
Index) adalah lebih besar dari 85.
Sedangkan yang dimaksud temperatur warna (Color
temperature) adalah tingkat warna cahaya tampak yang
cenderung ke arah warna tertentu, yaitu kemerahan atau
kebiruan. Temperatur warna cahaya putih matahari bernilai
5000 derajat Kelvin. Nilai yang kurang dari 5000 derajat Kelvin,
menghasilkan warna kemerahan dan bila nilai lebih dari itu
menghasilkan warna kebiruan. Temperatur warna dipilih
berdasarkan pilihan konsumen yang dipengaruhi persepsinya
akan pengalaman sebelumnya.
c. Pencahayaan Ruang dari Bidang Kerja

Berkaitan dengan kualitas pencahayaan bidang kerja


terdapat aspek lain yang perlu diperhatikan pada ruang, yaitu:
(1) Kontras Terang (Brightness Contrast)
Kontras terang adalah perbandingan tingkat iluminasi antara
bidang kerja dengan daerah di sekelilingnya. Dengan
pengendalian kontras yang tepat dapat mengurangi pengaruh
dari silau dan kelelahan pada mata. Kontras terang yang baik
dapat menghasilkan color ambience (suasana warna) yang
berkualitas. Secara umum tingkat kontras area kurang lebih
sepertiga dari pencahayaan bidang kerja (Fordergemeinscaft
Gutes Licht,2008, p.6).
(2) Reflektansi Ruang (Room Reflectance)
Reflektansi ruang adalah pengaruh pembatas ruang sebagai
pemantul cahaya yang mengarahkan cahaya ke arah bidang kerja
maupun bagian ruang lainnya yang mempengaruhi kondisi
pencahayaan dalam ruang. Pengaruh reflektansi ruang sangat
besar terutama pada ruang yang terbatas. Reflektansi ruang ini
juga sangat dipengaruhi oleh jenis dan warna material pembatas
seperti pada
(3) Kombinasi Pencahayaan (Combined Ilumination)
Beberapa luminer yang disusun demikian rupa akan
bekerjasama menghasilkan pencahayaan yang membentuk
combined ilumination. Combined ilumination ini juga akan
sangat menguntungkan (efisiensi) dan membantu mengatasi
masalah silau.
Rumus yang berkaitan pencahayaan bidang kerja,
berdasarkan kepada sudut yang jatuh pada titik kerja dari
beberapa luminer adalah sebagai berikut:

ET = I1/d1 2Cosß + …+ In/dn 2Cosß lux (2.1)


ET = Iluminasi total, lux (lumen/m2)
I1…In = Intensitas Sumber Cahaya ke suatu titik
d1…dn = Jarak dari Sumber Cahaya ke suatu titik
ß1…ß2 = Sudut datang cahaya
Selain itu, elemen-elemen dalam ruang juga
mempengaruhi terang cahaya dari suatu sumber
cahaya. Dalam disain interior (Suptandar,1999, p.
menyebutkan elemen-elemen tersebut adalah:
Kondisi ruang (tertutup atau terbuka)
a. Letak penempatan lampu
b. Jenis dan daya lampu
c. Jenis permukaan benda-benda dalam ruang

Faktor-faktor dalam ruang dan teknologi


pencahayaan merupakan kombinasi
perencanaan bidang kerja penglihatan yang
nyaman.

Pendekatan teori-teori di atas akan menjadi


panduan dalam melakukan langkah-langkah
penyelesaian pencahayaan buatan untuk
ruang membatik.
E.PERCOBAAN V (KENYAMANAN TERMAL)
1. Tinjauan Umum

a. Kenyamanan dalam ruang


Kenyamanan termal menurut Szokolay (1973) pada
‘Manual of Tropical Housing and Building’ merupakan proses
yang melibatkan kondisi fisik fisiologis dan
psikologis.Kenyamanan termal adalah hasil pemikiran
seseorang yang mengekspresikan mengenai kepuasan dirinya
terhadaplingkungan termalnya. ASHRAE (American Society of
Heating Refrigating AirConditioning Engineer) mendefinisikan
kenyamanan termal sebagai suatu kondisi dimana ada
kepuasan terhadap keadaan termal di sekitarnya. Sedangkan
kenyamanan termal menurut Snyder (1989)merupakan
keadaan lingkungan/alam yang dapat mempengaruhi
manusia. Dari pernyataan tersebut dapat dinyatakan bahwa
kenyamanan termal merupakan rumusan empirik yang
merupakan sebuah pengalamaan terhadap rasa dimana
kondisi yang dirasakan dapat berbeda antara satu orang
dengan yang lainnya.Dalam menentukan kenyamanan sebuah
zona / area, dapat dinyatakan dengan melihat persepsi
dominan yang dirasakan oleh sekelompok sampel pada area
tersebut.
b. Faktor kenyamanan dalam ruang

Menurut Fanger(1972)kondisi kenyamanan termal juga


dipengaruhi oleh faktor iklim dan faktor individu. Faktor iklim
yang mempengaruhi kondisi termal terdiri dari: suhu udara,
suhu radiasi rata-rata, kelembaban udara relatif, dan
kecepatan angin serta pergerakan udara di dalam ruang.
Sedangkan faktor individu yang menentukan keadaan suhu
nyaman adalah jenis aktivitas serta jenis pakaian yang
digunakan.
a. Temperatur udara
Temperatur udara antara suatu daerah dengan
daerah lainnya sangat berbeda. Perbedaaan ini
disebabkan adanya beberapa faktor, seperti sudut
datang sinar matahari, ketinggian suatu tempat,
arah angin, arus laut, awan, dan lamanya
penyinaran.Satuan yang umumnya digunakan untuk
temperatur udara adalah Celcius, Fahrenheit,
Reamur dan Kelvin.
Adapun batas-batas kenyamanan akibat faktor
temperatur udara untuk daerah khatulistiwa adalah
19°C TE (batas bawah) - 26°C TE (batas
atas)(Lippsmeier, 1994). Pada temperatur 26°C TE
umumnya manusia sudah mulai berkeringat. Pada
temperatur 26°C TE – 30°C TE daya tahan dan
kemampuan kerja manusia mulai menurun.
Temperatur lingkungan mulai cukup sulit diterima
dirasakan pada suhu 33,5°C TE– 35,5 °C TE, dan pada
suhu 35°C TE – 36°C TE kondisi lingkungan tidak
dapat ditolerir lagi. Kondisi udara yang tidak nyaman
cenderung akan menurunkan tingkat produktifitas
seperti halnya terlalu dingin atau terlalu
panas, sedangkan produktifitas kerja manusia dapat
meningkat pada kondisi suhu (termis) yang nyaman
(Talarosha, 2005).

b. Kelembaban udara dan kelembaban relatif


Kelembaban udara adalah kandungan uap air yang
ada di udara. Kelembaban udara menjadi faktor
penting dalam kenyamanan termal pada saat suhu
udara mendekati atau melampaui ambang batas
kenyamanan dan kelembanan udara lebih dari 70%
serta kurang dari 40%. Pada kondsi di dalam ruang,
kelembaban udara ini mempengaruhi pelepasan
kalor dari tubuh manusia. Kelembaban udara yang
tinggi akan menyebabkan kalor di dalam tubuh
manusia sulit dilepaskan, sehingga kondisi ini akan
menciptakan rasa tidak nyaman. Untuk
mengimbangi kondisi kelembaban yang tinggi ini
dibutuhkan kecepatan angin yang cukup di dalam
ruang, sedangkan kelembaban relatif adalah rasio
antara jumlah uap air di udara dengan jumlah
maksimum uap air dapat ditampung di udara pada
temperatur tertentu. Adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi kelembaban udara, yakni radiasi
matahari, tekanan udara, ketinggian tempat, angin,
kerapatan udara, serta suhu.
c. Kecepatan angin
Angin adalah udara yang bergerak yang disebabkan
adanya gaya yang diakibatkan perbedaan tekanan dan
perbedaaan suhu (Satwiko, 2009 :5). Kecepatan angin
pada daerah beriklim tropis lembab cenderung sangat
minim. Kecepatan angin umumnya terjadi pada siang
hari atau pada musim pergantian. Peranan udara yang
bergerak ini sangat membantu.

c. Air change rate (ACH)

Pergantian udara per-jam (Air Change per Hour)


merupakan jumlahpergantian seluruh udara dalam
ruangan dengan udara segar dari luar setiap jam-
nya(Satwiko 2009 : 4).Bangunan di negara tropis
lembab pada umumnya menggunakan bukaan dengan
jendela untuk memasukkan udara segar dari luar
bangunan. Proses pergantian udara dalam bangunan
sangat tergantung pada aspek bangunan itu sendiri dan
pengaruh lingkungan di luar bangunan. Aspek pada
bangunan tersebut meliputipenempatan jendela (baik
secara vertikal maupun horisontal), dimensi ukuran
jendela dan tipe jendela yang digunakan. Sedangkan
aspek luar bangunan terdiri dari arah dan kecepatan
angin di luar bangunan, suhu, dan kelembaban udara di
dalam dandi luar bangunan, spesifikasi lubang ventilasi
(posisi inlet dan outlet, dimensi ukuran ventilasi) Givoni
(1976).
Faktor-faktor tersebut harus saling berkaitan
dan saling mendukung agar tercipta pertukaran udara
yang baik. MenurutMoore (1993)letak inlet sebagai
media memasukkan udara sebaiknya sama tingginya
dengan ketingian penghuni yang sedang beraktifitas di
dalam ruang tersebut, dan untuk mempermudah

pengeluaran udara (outlet)di dalam ruang, outlet


sebaiknya diletakkan lebih tinggi dari aktivitas
penghuni.

mempercepat pelepasan kalor pada permukaan kulit.


Angin membantu mengangkat uap-uap air yang
menghambat pelepasan kalor. Akan tetapi jika angin
ini terlalu kencang maka kalor yang dilepaskan tubuh
menjadi berlebih sehingga akan timbul kondisi
kedinginan yang mengurangi kenyamanan termal.
F. PERCOBAAN 6 (Pergerekan Angin Pada Pola Tata Masa Bangunan)
1. Tinjauan Umum
a. Pengertian Ruang, Tata Ruang, dan Penataan Ruang
Menurut D.A. Tisnaadmidjaja, yang dimaksud dengan ruang
adalah “wujud fisik wilayah dalam dimensi geografis dan geometris
yang merupakan wadah bagi manusia dalam melaksanakan kegiatan
kehidupannya dalam suatu kualitas kehidupan yang layak”.22 Tata
ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.23 Struktur ruang
adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan
prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan
sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan
fungsional.

Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang,


pemanfaatan tata ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.25
Hal tersebut merupakan ruang lingkup penataan ruang sebagai
objek Hukum Administrasi Negara. Jadi, hukum penataan ruang
menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 yaitu hukum yang
berwujud struktur ruang (ialah sususnan pusat-pusat pemukiman
dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai
pendukung kegiatan.

b. Asas dan Tujuan Penataan Ruang

Menurut Herman Hermit “sebagaimana asas hukum yang paling

utama yaitu keadilan, maka arah dan kerangka pemikiran serta

pendekatan-pendekatan dalam pengaturan (substansi peraturan

perundang-undangan) apa pun, termasuk Undang-Undang

Penataan Ruang, wajib dijiwai oleh asas keadilan”.


Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007

ditegaskan bahwa penataan ruang diselenggarakan berdasarkan

asas:

1. Keterpaduan
Keterpaduan adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan

dengan mengintegrasikan berbagai kepentingan yang bersifat lintas

sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan. Pemangku

kepentingan antara lain, adalah pemerintah, pemerintah daerah,

dan masyarakat.

2. Keserasian, keselarasan, dan keseimbangan.

Keserasian, keselarasan, dan keseimbangan adalah bahwa

penataan ruang diselenggarakan dengan mewujudkan keserasian

antara struktur ruang dan pola ruang, keselarasan antara kehidupan

manusia dengan lingkungannya.

3. Keberlanjutan.

Keberlanjutan adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan

dengan menjamin kelestarian dan kelangsungan daya dukung dan

daya tampung lingkungan dengan memperhatikan kepentingan

generasi mendatang.

4. Keberdayagunaan dan keberhasilgunaan.

Keberdayagunaan dan keberhasilgunaan adalah bahwa

penataan ruang diselenggarakan dengan mengoptimalkan manfaat

ruang dan sumber daya yang terkandung di dalamnya serta

menjamin terwujudnya tata ruang yang berkualitas.


5. Keterbukaan.

Keterbukaan adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan

dengan memberikan akses yang seluas-luasnya kepada

masyarakat untuk mendapatkan informasi yang berkaitan

dengan penataan ruang.

6. Kebersamaan dan kemitraan.

Kebersamaan dan kemitraan adalah bahwa penataan ruang

diselenggarakan dengan melibatkan seluruh pemangku

kepentingan.

7. Perlindungan kepentingan umum.

Perlindungan kepentingan umum adalah bahwa penataan

ruang diselenggarakan dengan mengutamakan kepentingan

masyarakat.

8. Kepastian hukum dan keadilan.

Kepastian hukum dan keadilan adalah bahwa penataan

ruang diselenggarakan dengan berlandaskan hukum/ketentuan

peraturan

perundang-undangan dan bahwa penataan ruang

dilaksanakan dengan mempertimbangkan rasa keadilan

masyarakat serta melindungi hak dan kewajiban semua pihak

secara adil dengan jaminan kepastian hukum.


9. Akuntabilitas.

Akuntabilitas adalah bahwa penyelenggaraan penataan

ruang dapat dipertanggungjawabkan, baik prosesnya,

pembiayaannya, maupun hasilnya.

c. Klasifikasi Penataan Ruang

Klasifikasi penataan ruang ditegaskan dalam Undang-Undang

Penataan Ruang bahwa penataan ruang diklasifikasikan berdasarkan

sistem, fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan

kawasan, dan nilai strategis kawasan.29 Selanjutnya ditegaskan sebagai

berikut:30

1. Penataan ruang berdasarkan sistem terdiri atas sistem wilayah dan

sistem internal perkotaan.

2. Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan terdiri dari

kawasan lindung dan kawasan budi daya.

3. Penataan ruang berdasarkan wilayah administrasi terdiri atas penataan


ruang wilayah nasional, penataaan ruang wilayah provinsi, dan
penataan ruang wilayah kabupaten/kota.

4. Penataan ruang berdasarkan kegiatan kawasan terdiri atas penataan


ruang kawasan perkotaan, dan penataan ruang kawasan perdesaan.

5. Penataan ruang berdasarkan nilai strategis kawasan terdiri atas


penataan ruang kawasan strategis nasional, penatan ruang kawasan
strategis provinsi, dan penataan ruang kawasan strategis
kabupaten/kota.
Penyelenggaraan penataan ruang harus memperhatikan hal
sebagai berikut.
a. Kondisi fisik wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
rentan terhadap bencana.

b. Potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber


daya buatan, kondisi ekeonomi, sosial, budaya, politik, hukum,
pertahanan keamanan, lingkungan hidup, serta ilmu
pengetahuan dan teknologi sebagai satu kesatuan.

c. Geostrategi, geopolitik, dan geoekonomi.


Penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah
provinsi, dan penataan ruang wilayah kabupaten/kota harus
dilakukakn secara berjenjang dan komplementer.
Komplementer yang dimaksud disini adalah bahwa penataan
ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi, dan
penataan ruang wilayah kabupaten/kota saling melengkapi
satu sama lain, bersinergi, dan dalam penyelenggaraannya
tidak terjadi tumpah tindih kewenangan.

d. Tugas dan Wewenang Pemerintah/Pemerintah Daerah dalam


Penataan Ruang

Tugas negara dalam penyelenggaraan penatan ruang meliputi


dua hal, yaitu; (a) police making, ialah penentuan haluan
negara; (b) task executing, yaitu pelaksanaan tugas menurut
haluan yang telah ditetapkan oleh negara.33 Dalam pelaksanaan
tugas sebagaimana dimaksud di atas, negara memberikan
kewenangan penyelenggaraan penataan ruang kepada
pemerintah dan pemerintah daerah. Penyelenggaraan
penataan ruang itu dilakukan dengan tetap menghormati hak
yang dimiliki orang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Wewenang pemerintah dalam penyelenggaraan penataan ruang meliputi :

1. Pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap


pelaksanaan penataan ruang wilayah nasional, provinsi, dan
kabupaten/kota, serta terhadap pelaksanaan penataan ruang
kawasan strategis nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.

2. Pelaksanaan penataan ruang wilayah nasional.

3. Pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis nasional.

4. Kerja sama penataan ruang antarnegara dan pemfasilitasan kerja sama


penataan ruang antarprovinsi.
Wewenang pemerintah daerah provinsi dalam penyelenggaraan penataan
ruang meliputi:
1. Pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan
ruang wilayah provinsi, dan kabupaten/kota, serta terhadap pelaksanaan
penataan ruang kawasan strategis provinsi dan kabupaten/kota.

2. Pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi.

3. Pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis provinsi.

4. Kerja sama penataan ruang antarprovinsi dan pemfasilitasan kerja sama


penataan ruang antarkabupaten/kota.

Wewenang pemerintah daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan


penataan ruang meliputi:36
1. Pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan
ruang wilayah kabupaten/kota dan kawasan strategis kabupaten/kota.

2. Pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota.

3. Pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota.

4. Kerja sama penataan ruang antarkabupaten/kota.

Wewenang pemerintah daerah kabupaten/kota dalam pelaksanaan penataan


ruang wilayah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
meliputi:37

1. Perencanaan tata ruang wilayah kabupaten/kota.

2. Pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota.

3. Pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota.


G. PERCOBAAN 7 (Perambatan Bunyi Dalam Ruang)
1. Tinjauan Umum
a. Gelombang dan Bunyi

Bunyi adalah getaran mekanis oleh partikel


zat perantara serta ditimbulkan oleh sumber bunyi
yang mengalami getaran (Khuttruf, 2007).
Gelombang bunyi adalah getaran yang merambat
dari suatu medium alastis seperti padat, cair atau gas
yang dapat diserap, dipantulkan, atau diteruskan
dengan nilai intensitas yang berbeda-beda saat
melalui bidang batas. Gelombang bunyi erat
hubungannya dengan ilmu akustik yang berasal dari
bahasa Yunani akoustik, artinya segala yang
bersangkutan dengan pendengaran pada suatu
kondisi ruang yang dapat mempengaruhi mutu bunyi
(Suptandar, 2004).

Persamaan gelombang diperoleh dari uraian


penerapan hukum Newton dan hukum Hooke.
Diasumsikan gas dengan massa tetap m menempati
ruangan V0 dengan tekanan P0 dan massa jenis . Nilai-
nilai tersebut menunjukkan keadaan kesetimbangan.
Bila gas mengalami deformasi akibat peregangan
atau kompresi gelobang bunyi, maka:

tekanan menjadi
volumenya menjadi
Massa menjadi

Perbandingan perubahan volume disebut dilatasi, dimana dan

perbandingan perubahan masa jenis disebut


kondensasi, dimana Diasumsikan m0 mewakili massa
gas dalam keadaan setimbang dam m mewakili massa
gas dalam keadaan tidak setimbang, maka:

Harga dan menunjukkan sifat keelastisan gas. Karena


gas dapat dimampatkan, maka volumenya berubah
sesuai perubahan tekanan. Akibatnya, konstanta
untuk kasus perambatan bunyi di dalam medium gas
adalah modulus Bulk.

mendifinisikan simpangan. Untuk mendapatkan


persamaan gelombang bunyi, ditinjau gerakan dari
sebuah elemen tipis gas dengan ketebalan.

b. Material akustik

Material akustik dapat dapat dibagi ke dalam


tiga kategori dasar, yaitu material penyerap (absorber
material), material penghalang (barrier material),
material peredam (damping material). Sedangkan
material penyerap bunyi Pada umumnya material
penyerap secara alami bersifat resitif, berserat
(fibrous), berpori (porous) atau dalam kasus khusus
bersifat resonator aktif (Eido, 2011).
Gelombang bunyi yang menjalar dari suatu
medium ke medium lain maka gelombang akan dapat
diserap (absorb), dipantulkan (refleksi) dan
diteruskan (transmisi).

MEDIUM MEDIUM 2
Z1 Z2
GELOMBANG DATANG
TRANSMIS
REFLEKSI

X=

Gambar 2.2 Fenomena gelombang melalui bidang batas dua medium.


(Olfield, 2006)

Gambar (2.2) memperlihatkan peristiwa refleksi dan


transmisi yang terjadi pada bidang batas dari dua medium. Hal
tersebut dapat terjadi bergantung pada impedansi akustik dan
kecepatan penjalaran bunyi pada kedua medium, serta sudut
datangnya sumber bunyi dari dua material yang berbeda (Kinsler
and Frey, 1962). Impedansi di permukaan didefinisikan sebagai
perbandingan tekanan akustik dalam medium terhadap kecepatan
partikel medium.

c. Peredaman Material Berpori


Peredam suara adalah material yang mampu
meredam energi akustik dari gelombang suara saat gelobang
tersebut melewatinya dan terjadi peristiwa peredaman
(Sedeq, 2009). Material peredam suara mampu meredam
sebagian besar energi suara yang mengenainya. (Arenas et
al,. 2010). Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
pori adalah lubang (liang) renik pada kulit atau rongga kecil-
kecil pada benda padat. Di bidang akustik, material berpori
dapat dimanfaatkan sebagai peredam. Meskipun material
peredam berbeda-beda, mekanisme dan karakteristik
akustik dari peredam tersebut sama. (Kuczmarski et al
,.2011)

a. Mekanisme dan Karakteristik Peredaman


Peredam berpori digunakan untuk mengatasi
permasalahan akustik seperti mengurangi resonansi pada
partisi ganda untuk meningkatkan kemampuan mengisolasi
suara, untuk meredam suara dan untuk meredam
kebisingan. Ketika suara merambat pada celah sempit, maka
energi suara tersebut akan berkurang karena viscous
damping effect.

F(t
Massa

n r v(t), a(t)

Gambar 2.3 Ilustrasi viscous damping yang terdiri atas massa,


r (damping) dan n (compiance) ( Uchenna, et al,. 2012 ).
(2.26)
Sehingga besar energi W yang diredam, Selain itu,
energi suara juga berkurang atau hilang karena konduksi
termal (Arenas, et al., 2010). Mekanisme peredaman akan
lebih efektif jika masing-masing pori saling terhubung satu
sama lain sehingga antar celah diperlukan celah terbuka
(Cox, 2004). Berikut ini perbedaan celah terbuka dan celah
tertutup:

Gambar 2.4 Pori-pori dengan celah tertutup (atas) dan pori-pori


dengan celah terbuka (bawah) (Cox,2004)

Secara umum, semakin bartambahnya ketebalan peredam , maka


kemampuan peredam untuk menyerap frekwensi rendah juga akan
meningkat. Jika menginginkan peredam dapat
melakukan penyerapan pada rentang frewensi yang
signifikan, maka peredam harus berada di tempat dimana
partikel memiliki kecepatan tinggi.

Frekuensi (Hz)

Gambar 2.5 Peningkatan koefisien absorbsi terhadap frekwensi


pada peredam berbahan wool (Cox,2004).

Peredam berpori memiliki kekurangan yaitu mudah


kotor, dan jika pori-pori tertutup, maka kemampuan
absorbsi akan berkurang. Untuk mengatasi hal tersebut
diperlukan pelapis bagi peredam . Pelapis yang mungkin
untuk digunakan adalah membran seperti plastik atau
sejenisnya. Efek dari pemasangan membran akan
meningkatkan penyerapan pada frekwensi rendah meskipun
nilai penyerapannya kecil. Akan tetapi dengan pemasangan
membran tersebut dapat menurunkan kemampuan absorbsi
suara pada frekwensi tinggi, namun penurunannya kecil.

Peredam tidak diberi cat sebagai pelapis karena cat akan


menutup dan mengisi celah pori-pori sehingga kemampuan
absorbs akan hilang karena tidak mampu lagi menyerap
energi suara.

b. Peredam Suara Hasil Daur Ulang


Saat ini para peneliti memiliki ketertarikan untuk
membuat peredam dari material daur ulang untuk
memanfaatkan sampah yang oleh sebagian orang tidak
lagi bermanfaat. Material tersebut seperti foam, kayu, atau
plastik. Dengan memanfaatkan material yang sudah
menjadi sampah, diharapkan sampah tersebut dapat
menjadi material baru yang bermanfaat dan memiliki nilai
tersendiri. (Cox, 2004)
c. Perforated Absorber (PA)

Perforated absorber (PA) merupakan panel akustik


yang memiliki pori-pori/lubang dengan diameter
tertentu. PA adalah salah satu terobosan dalam
pembuatan panel peredam suara yang ramah
lingkungan. (Maa,1987). Berdasarkan hasil penelitian, PA
kurang efektif pada frekuensi tinggi, namun mampu
melakukan peredaman dengan lebih baik pada frekuensi
rendah (Lee and Swenson, 1992). Kunci dari peredaman
yang dilakukan oleh PA sehingga mampu meredam pada
frekuensi rendah terapat pada rongga udara yang berada
di antara PA dan dinding (Kang & Fuchs, 1999). Rongga
tersebut dianalogikan

sebagai pegas yang akan menimbulkan efek


resonansi menurut teknik resonator Helmholtz. (Lee, et
al., 2005).

Gambar (2.6) menunjukan tiga elemeen akustik yaitu massa (ma), pegas
(na), dan peredam (ra). (Blauert and Xiang, 2006)

Gambar 2.6 . Elemen dasar pada elemen akustik, a. massa (ma), b. pegas (na)
dan c. damping (ra) (Blauert & Xiang, 2006)
a. Tekanan pada gambar (2.6 a)

b. Tekanan pada gambar (2.6 b)

c. Tekanan pada gambar (2.6 c)


Dari tiga elemen tersebut, akan dapat menjelaskan
mengenai resonator Helmholtz dengan skema gambar (2.6)

Gambar 2.7. Resonator Helmholtz (Blauert and Xiang.2006)

Gambar (2.7) meperlihatkan bahwa elemen massa, pegas, dan


peredaman saling terkait sehingga total tekanan daris resonator Helmholtz (p∑)

d. Sound Transmission Loss (STL)

Sound transmission loss (STL) adalah kemampuan


suatu bahan untuk mereduksi suara seperti ilustrasi
gambar (2.8). Nilainya disebut dengan decibel (dB).
Semakin tinggi nilai TL, semakin bagus bahan tersebut
dalam mereduksi suara (Bpanelcom 2009). Untuk
memudahkan dalam menentukan besarnya penyekatan
suara maka didefinisikan suatu besaran angka tunggal
Sound Transmission Class (STC) yang dilakukan dari
pengukuran STL dengan filter 1/3 oktaf pada rentang
frekuensi 125 Hz s.d. 4000 Hz.

STC adalah kemampuan rata-rata STL dari suatu


bahan dalam mereduksi suara dari berbagai frekuensi.
Semakin tinggi nilai STC, semakin bagus bahan tersebut
dalam mereduksi suara. Nilai STC ditetapkan
berdasarkan baku mutu ASTM E 413 (FTI ITB 2009).
Deskripsi dari nilai STC adalah sebagai berikut
(Bpanelcom 2009) :

50-60 Sangat bagus sekali, suara keras terdengar sangat lemah


40-50 Sangat bagus, suara terdengar lemah
35-40 Bagus, suara keras terdengar tapi harus lebih didengar
30-35 Cukup, suara keras cukup terdegar
25-30 Buruk, suara normal mudah atau jelas didengar
20-25 Sangat buruk, suara pelan dapat terdengar

Gelombang P Gelombang
datang transmisi
A
N
E
L 75dB
100dB

Gambar 2.8 Sound Transmission Loss sebesar 25dB


H. PERCOBAAN 8 (Artifisial Light As Color Impact)
1. Tinjauan Umum

Anda mungkin juga menyukai