Anda di halaman 1dari 115

3

BAB II
KARAKTERISTIK FORMASI

2.1. Karakteristik Batuan

Batuan merupakan bahan pembentuk kerak bumi, sehingga mengenal


macam-macam dan sifat batuan adalah sangat penting. Batuan adalah semua
bahan yang menyusun kerak bumi dan merupakan suatu agregat (kumpulan)
mineral-mineral yang telah menghablur. Tidak termasuk batuan adalah tanah dan
bahan lepas lainnya yang merupakan hasil pelapukan kimia ataupun mekanis serta
proses erosi batuan.
Batuan dapat dibagi berdasarkan sifat-sifat tertentu yang sekaligus
menunjukkan cara terjadinya (klasifikasi genesis). Hal-hal yang penting dalam
mendeskripsikan batuan antara lain meliputi :
1. Tekstur,
2. Struktur penyusun,
3. Komposisi mineral.
Berdasarkan cara terbentuknya, batuan dibagi menjadi tiga jenis :
1. Batuan beku (Igneous rock).
Batuan yang berasal dari penghabluran mineral-mineral magma yang
mendingin, bertekstur hablur (kristalin).
2. Batuan sedimen (Sedimentary rock).
Batuan yang terbentuk dari hasil pengendapan bahan-bahan rombakan
baik secara kimiawi maupun fisik dari batuan sebelumnya, setelah mengalami
proses transportasi melalui media : angin, sungai, gelombang dan lain
sebagainya, kemudian terendapkan di suatu tempat yang lazim disebut sebagai
sedimen klastik/sedimen mekanis. Sedangkan hasil pengendapan semua
organis maupun proses kimiawi disebut batuan sedimen non-klastik.
4

3. Batuan metamorf (Metamorfic rock).


Merupakan batuan ubahan oleh proses metamorfism. Perubahan batuan
tanpa melalui fase cair terlebih dahulu, dengan tekstur hablur (kristalin).

Gambar 2.1.
Siklus Batuan 15)
2.1.1. Batuan Beku
Berdasarkan cara pembentukannya batuan beku berasal dari pembekuan
magma dari permukaan bumi, atau pembekuan magma di permukaan. Pada
umumnya sifat atau ciri batuan beku antara lain :
1. Umumnya kristalin,
2. Butirannya interlocking secara rapat,
3. Masif.
Mineral-mineral dari batuan beku yang sering dijumpai pada umumnya
terbentuk pada saat penurunan temperatur dari magma yang menerobos ke atas,
peristiwa ini dikenal dengan istilah penghabluran.

2.1.1.1. Tekstur Batuan Beku


Pengertian tekstur dalam batuan beku mengacu pada kenampakan butir-
butir mineral didalamnya yang meliputi : tingkat kristalisasi, ukuran butir, bentuk
5

butir, granularitas dan hubungan antar butir (fabric). Jika warna batuan berkaitan
dengan komposisi kimia dan mineralogi maka tekstur berhubungan dengan
sejarah pembentukan dan keterdapatannya. Pengamatan tekstur meliputi :
a. Tingkat kristalisasi.
Tingkat kristalisasi pada batuan beku tergantung pada proses pembekuan
itu sendiri. Bila pembekuan magma berlangsung lambat maka akan terdapat cukup
energi pertumbuhan kristal pada saat melewati perubahan fase cair ke padat
sehingga akan terbentuk kristal-kristal yang berukuran besar bila penurunan suhu
relatif cepat maka kristal yang dihasilkan kecil-kecil dan tidak sempurna. Derajat
kristalinitas (degree of cristalinity), merupakan keadaan proporsi antara massa
kristal dan massa gelas dalam batuan beku. Derajat kristalinitas yang dimaksud
disini adalah kuantitas rata-rata massa pembentuk dalam batuan beku, dari
proporsi massa pembentuknya, derajat kristalisasi dibagi menjadi tiga, yaitu:

1. Holokristalin, jika batuan beku tersusun seluruhnya oleh massa kristal.


2. Hipokristalin atau Merokristalin, jika batuan beku tersusun oleh massa
kristal dan massa gelas.
3. Holohialin, jika batuan beku tersusun seluruhnya oleh massa gelas.

b. Ukuran kristal.
Ukuran kristal merupakan sifat tekstural yang mudah dikenali. Ukuran
kristal ini dapat menunjukkan tingkat kristalisasi pada batuan dan dapat dilihat
pada Tabel II.1. berikut.
Tabel II.1.
Kisaran Harga Ukuran Kristal dari Beberapa Sumber 6)
Cox, Price, W.T.G Heinric
Harte
Halus < 1 mm < 1 mm < 1 mm
Sedang 1 – 5 mm 1 – 5 mm 1 – 10 mm
Kasar > 5 mm 5 – 30 mm 10 – 30 mm
Sangat kasar > 30 mm > 30 mm

Ukuran kristal (granularitas) dapat dikelompkkan menjadi 2 tipe, yaitu :


6

1. Afanitik.
Apabila ukuran butir individu kristal sangat halus, sehingga tidak dapat
dibedakan dengan mata telanjang. Batuan ini dapat tersusun oleh kristal, gelas,
atau campuran keduanya. Selain itu dikenal istilah Mikrokristalin dan
Kriptokristalin. Jika individu kristalnya dapat dibedakan dengan mikroskop
maka teksturnya disebut mikrokristalin, sedangkan jika individu kristalnya
dapat dibedakan dengan mikroskop yang memakai perbesaran yang sangat
besar disebut kriptokristalin.
2. Fanerik.
Apabila ukuran butir individu kristal relatif agak besar, sehingga dapat
dibedakan dengan mata telanjang. Batuan ini dibedakan menjadi beberapa
kelompok menurut ukuran diameter butirannya.

Derajat kristalinitas dan ukuran butiran (granularitas) suatu batuan beku


sangat tergantung dari sejarah pembentukan batuan tersebut, terutama komposisi
magmanya yang dapat mempengaruhi viskositas, kecepatan pendinginan dan
tekanan yang dikontrol oleh kedalaman. Magma yang mempunyai viskositas
rendah dibawah kondisi tekanan yang tinggi jauh dari permukaan cenderung tidak
melepaskan senyawa fugitive, hal tersebut akan tetap menjaga kondisi viskositas
magma pada kondisi minimal. Dalam kondisi seperti ini pertumbuhan kristal akan
baik, dan sebaliknya.

2.1.1.2. Struktur Batuan Beku


Struktur batuan beku merupakan kenampakan tekstur dalam skala besar,
yang dapat dilihat jelas di lapangan, di mana pengertian tekstur sendiri adalah
hubungan antara unsur-unsur mineral dengan massa gelas yang membentuk massa
yang merata dari batuan. Macam-macam struktur batuan beku adalah :
- Masif
Yaitu struktur dari batuan beku apabila tidak menunjukkan adanya sifat
aliran atau jejak gas, tidak menunjukkan adanya fragmen batuan lain yang
tertanam dalam tubuhnya.
- Pilow Lava
7

Merupakan struktur khas batuan vulkanik, dan membentuk struktur seperti


bantal.
- Joint
Yaitu struktur yang ditandai dengan adanya kekar-kekar yang tersusun
secara teratur tegak lurus arah aliran.
- Vesikuler
Merupakan struktur yang ditandai adanya lubang-lubang dengan arah
teratur. Lubang ini terbentuk akibat keluarnya gas pada saat pembekuan
berlangsung.
- Skoria
Yaitu struktur vesikuler, tetapi tidak menunjukkan arah yang teratur.
- Amigdaloidal
Yaitu struktur di mana lubang-lubang keluarnya gas terisi oleh mineral-
mineral sekunder, seperti : zeolit, karbonat dan bermacam-macam silika.
- Xenolit
Yaitu struktur yang memperlihatkan adanya suatu fragmen batuan yang
masuk, atau tertanam ke dalam batuan beku. Struktur ini terbentuk sebagai
akibat peleburan tidak sempurna dari suatu batuan gamping di dalam magma
yang menerobos.

2.1.1.3. Komposisi Mineral Batuan Beku


Pada batuan beku, mineral yang sering dijumpai dapat dibedakan menjadi
dua kelompok, yaitu :
1. Mineral felsik
Tersusun atas silika dan alumina, umumnya berwarna cerah. Contoh
mineral felsik antara lain : quartz, plagioklas, ortoklas, muskovite.
2. Mineral mafik
Tersusun atas unsur-unsur besi, magnesium, kalsium. Umumnya mineral-
mineral ini berwarna gelap, misalnya : olivin, piroksen, hornblende, biotit.
Mineral-mineral ini berada pada jalur kiri dari seri Bowen
8

Bowen membuat urut–urutan penghabluran mineral–mineral silikat


berdasarkan pada kenaikan temperatur yang mempengaruhi kondisi dari mineral
silikat, urut – urutan tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2.
Bowen Reaction Series 6)
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa jenuh tidaknya suatu magma
sangat ditentukan oleh kandungan silika di dalam magma tersebut. Berdasarkan
asosiasi mineral pembentuk batuan beku yang didasarkan pada seri reaksi Bowen,
pengelompokkan mineral dan jenis batuannya dapat diketahui seperti pada Tabel
II.2.
Tabel II.2.
Hubungan Asosiasi Mineral Pembentuk Batuan Beku Dengan Kelompok
Batuan Beku Yang Dibentuk 6)
Mineral Pembentuk Asosiasi Mineral Batuan Yang Terbentuk

Olivin Olivin 100 % Dunit (Ultra Basa)


Olivin + Piroksen Peridotit (Ultra Basa)
Piroksen Piroksen 100% Piroksenit (Ultra Basa)
Piroksen+Plagioklas+Olivin Gabro (Ultra Basa)
Plagioklas Plagioklas 100% Anortosit (Ultra Basa)
Plagioklas+Piroksen+Amphibol+ Andesit-Diorit
Feldspar (Intermediet)
Biotit Biotit+K-Feldspar+Plagioklas Granodiorit-Granit
asam+Kwarsa (asam)
9

2.1.1.4. Klasifikasi Batuan Beku


a. Klasifikasi Secara Genetik (Cara Terjadinya)
Dengan dasar genetik Rosenbusch (1877 – 1967) membagi tiga macam
batuan beku, yaitu :
1. Ekstrusif, Yaitu untuk batuan beku yang terbentuk di permukaan.
2. Intrusif, Yaitu untuk batuan beku yang terbentuk di bawah permukaan
bumi.
Di samping itu batuan beku juga dapat dibagi menjadi 3 kelompok :
1. Vulkanik yang merupakan hasil vulkanisme.
Batuan ini biasanya mempunyai ukuran kristal yang relatif halus karena
membeku di permukaan atau di dekat permukaan.
2. Plutonik yang terbentuk jauh di dalam bumi.
Mempunyai kristal-kristal yang berukuran kasar karena membeku jauh
dari permukaan bumi.
3. Hipabisal yang merupakan produk intrusi minor.
Biasanya mempunyai kristal-kristal yang berukuran sedang, pencampuran
antara kasar, dan halus karena membeku di permukaan bumi.
b. Klasifikasi Berdasarkan Komposisi Kimia
Dasar pembagian ini biasanya adalah kandungan oksida tertentu dalam
batuan, seperti : SiO2 dan Al2O3, salah satu pembagiannya antara lain :
1. Batuan Beku Asam
Yaitu apabila batuan beku tersebut mengandung lebih 66% silica.
Contoh : Granit dan Riolit.
2. Batuan Beku Menengah (intermediet)
Yaitu apabila batuan beku tersebut mengandung 52 – 66 % silica.
Contoh : Diorit dan Andesit.
3. Batuan Beku Basa
Yaitu apabila kandungan silikanya berkisar antara 45 – 52 %.
Contoh : Gabro.
4. Batuan Beku Ultra Basa
Yaitu jika mengandung kurang dari 45 % silika.
10

contoh : Peridotit, Dunit.


c. Klasifikasi Berdasarkan Susunan Mineralnya
Berdasarkan mineral penyusunnya batuan beku dapat dibedakan menjadi
empat, yaitu :
1. Kelompok Granit – Riolit berasal dari magma yang bersifat asam,
terutama tersusun oleh mineral : kuarsa, ortoklas, plagioklas Na, kadang
terdapat hornblende biotit, muskovit dalam jumlah kecil.
2. Kelompok Diorit – Andesit berasal dari magma yang bersifat intermediet,
terutama tersusun oleh mineral-mineral plagioklas, hornblende, piroksen
dan kuarsa biotit, ortoklas dalam jumlah kecil.
3. Kelompok Gabro – Basalt tersusun atas magma asal yang bersifat basa
dan terdiri atas mineral-mineral Olivin, Plagioklas, Piroksen, dan
Hornblende.
4. Kelompok Ultrabasa terutama tersusun oleh Olivin, Piroksen. mineral lain
yang mungkin adalah Plagioklas Ca dalam jumlah yang sangat kecil.
Klasifikasi lainnya adalah pembagian berdasarkan kandungan mineral mafik, S.J
Shand membagi empat macam batuan, yaitu :
1. Leocrocatic Rock, mengandung kurang 30 % mineral mafik.
2. Mesocratic Rock, mengandung 30 – 60 % mineral mafik.
3. Melanocratic Rock, mengandung 60 – 90 % unsur mineral mafik.
4. Hipermelanick Rock, mengandung lebih 90 % mineral mafik.

2.1.2. Batuan Sedimen


Batuan sedimen adalah batuan yang terjadi akibat lithifikasi hasil reaksi
kimia tertentu dari hancuran batuan lain, diendapkan dalam kenampakan berlapis,
pada permukaan lithosfer dan pada kondisi tekanan dan temperatur yang rendah.
Lithifikasi batuan adalah proses yang meliputi kompaksi, yaitu proses terubahnya
material pembentuk batuan yang bersifat lepas (unconsolidated rock forming
materials) menjadi batuan yang kompak (consilidated, ciherent rock). Batuan
sedimen dapat diklasifikasikan dengan memperhatikan tekstur maupun struktur
11

yang dimiliki batuan tersebut, salah satunya adalah menurut Huang seperti terlihat
pada Tabel II.3 berikut :

Tabel II.3.
Klasifikasi Batuan Sedimen Menurut Huang
(Diktat Petrologi, 1989)

Usual Texture Constituents Rock Diagnostic Feature


Particle and Mineral Sedimentary Rock
One of mixed constituents Conglomerate Particles mostly subrounded to rounded
especially chert, quartz,
Rudites granite, quartzite, Brecria Raticles mostly angular
2 > 250 mm limestone, etc
Any rock particles mixed Fanglomerate Lithified piedmount debris or alluvial fan
with mineral flour
Tillite Rock particles striated, practically unsorted
Quartrose,
Chielly quart Sandstone Well – sorted, mixture, and clean sands
or arenite
> 25 % feldspar Red to light gray,
Potasium feldspar or Arkose poorly sorted, immature
plagioclase
Arenites
1
/16 – 2 mm 10 – 25 % feldspar Feldspathic More mature than arkose
sandstone
Rock chips of basalt, slate, Graywacke Strongly indurated, tough, dark to greenish gray,
rhyolite, shale, etc microbreccia
> 25 % quartz, minerals Subgraywacke Intermediate between
and rock chips quartzose sandstone and graywacke
Intermediate between
Siltstone sandstone and shale
Chielly clay minerals :
Sphanitic quart, opad, Shale Characteristically fissile
Lutites chalcedony, carbonates,
1
/16 – < 1/256 pyrite, Mudstone Nonplastic
chlorite, iron ores
Claystage Plastic when wet

Dense, aphanitic, Chiefly calcite Limestone Readily react to cold HCl, Fossils rarely present, tend to
coarse-grained, be medium grained
crystalline,
porous, Not readily react to HCl, Fossils rarely present, tend to be
mosaic,oolitic Chiefly dolomite Dolomite medium grained

Finely crystalline calcite


with tests of Chalk White to light gray, very triable, fossilferous
Fine grained microorganism
Calcereous matter and Marl Light gray, friable
clay minerals
Dense, layered Mixture of colloidal silica, Cherk Variegated, hard, dull to semivitreous luster, conchoidal
opal, chalcedony, etc fracture
Chiefly gypsum Rock gypsum Evaporites, hard, dull to
Crstaline or Chiefly anhydrite Rock anhydrite semivitreous luster,
massive Chiefly halite Rock silt conchoidal fracture

Massive or bedded Phosphate minerals and Phosphorite


bone fragments Chemical test for P2O5
Coals : Brown color
Amorphous, Humus Lignite
layered, bauded Saproped Bituminous Prismatic fracture
Carbon
Moisture Anthracite Conchoidal fracture
12

Batuan sedimen dibentuk oleh proses-proses yang terjadi di permukaan


bumi. Selain klasifikasi menurut Huang, Koesoemadinata (1979) telah
membedakan batuan sedimen menjadi 5 golongan, yaitu :
1. Golongan Detritus.
Detritus merupakan material yang dihasilkan dari pemecahan dan
menahan karang yang pindah dari tempatnya yang asli. Berdasarkan ukuran,
golongan ini dibedakan menjadi 2 macam :
o Golongan detritus halus.
Golongan ini dapat dikenal melalui butiran penyusun batuan yang relatif
berukuran halus (diameter < 1/16 mm) sebagai hasil sedimentasi mekanik,
contoh : lempung (clay), lanau, serpih (shale), sedangkan untuk napal
dihasilkan oleh proses sedimentasi kimiawi.
o Golongan detritus kasar.
Golongan ini dapat dikenali butiran penyusun batuannya yang relatif
berukuran kasar (diameter > 1/16 mm) dan umumnya dihasilkan oleh proses
sedimentasi mekanis, contoh: batupasir (sandstone), breksi dan
konglomerat.

2. Golongan Karbonat.
Golongan ini terutama disusun oleh kelompok mineral karbonat (misal :
kalsit, dolomit, aragonit) dan cangkang-cangkang binatang karang. Golongan
ini terbentuk sebagai hasil :
o Sedimentasi mekanis : batugamping bioklastik, batugamping oolit.
o Sedimentasi organis : batugamping terumbu.
o Sedimentasi kimiawi : batugamping kristalin, dolomit.

3. Golongan Evaporit.
Golongan batuan ini diberikan terhadap batugaram karena asal terjadinya
disebabkan oleh proses evaporasi air laut. Umumnya golongan ini terdiri dari
13

batuan monomineralik. Nama batuan sama dengan nama mineralnya, contoh :


gypsum (CaSO4  2H2O), anhydrite (CaSO4), halite (NaCl).
4. Golongan Sedimen Silika.
Termasuk golongan ini adalah juga batuan yang bersifat monomineralik
dan umumnya tersusun oleh silika, terbentuknya secara sedimentasi kimiawi
atau organik.
o Sedimentasi kimiawi : rijang (chert).
o Sedimentasi organik : radiolaria dan diatomea.

5. Golongan Batubara.
Golongan ini terbentuk oleh adanya akumulasi zat-zat organik yang kaya
akan unsur karbon, yang umumnya terdiri dari tumbuh-tumbuhan, termasuk
sedimentasi organik. Contoh : gambut, bituminous dan antrasit.

Dalam mengenal batuan sedimen, sifat – sifat harus dipelajari termasuk


penafsiran proses pengendapannya. Sifat-sifat ini dapat dipakai untuk mengenal
batuan sedimen, suatu hal yang tidak dijumpai pada batuan beku. Sifat-sifat utama
dari batuan sedimen antara lain :
 Adanya bidang perlapisan (bedding, stratifikasi) yang menandakan adanya
proses sedimentasi, hal ini berlaku untuk semua jenis batuan sedimen.
 Sifat klastik atau fragmen yang menandakan butiran-butiran pernah lepas.
 Sifat jejak atau bekas zat hidup, seperti cangkang atau rumah organisme
(coral), terutama pada golongan karbonat.
 Jika bersifat hablur selalu monomineralik, misal : gipsum, kalsit, dolomit,
halit dan sebagainya.
Dalam proses pembentukan batuan sedimen perlu diketahui beberapa
faktor pendukunganya, antara lain :
1. Batuan sumber.
14

Komposisi batuan sedimen kurang lebih sama dengan batuan asal. Dari
kandungan mineral batuan sedimen detritus, atas dasar inklusi yang ada pada
batuan kuarsa dapat menentukan jenis batuan asalnya.
2. Lingkungan pengendapan.
Lingkungan pengendapan antara lain adalah laut, darat dan daerah transisi.
Pada kenyataannya bahwa butir, cangkang, struktur/tekstur mencerminkan
lingkungan pengendapan yang sangat berpengaruh dalam identifikasi batuan.

3. Transportasi dan sedimentasi.


Selama proses transportasi berlangsung akan terjadi proses-proses sebagai
berikut :
 Terjadi pengurangan ukuran butir (semakin kecil), perubahan bentuk dan
kebundaran butiran akibat abrasi dan perekahan (fracturing), karena
benturan antar butir-butir yang tertransport dan antar butir dengan saluran
atau jalur transportasi. Akibat transportasi tersebut, misalnya bentuk
persegiempat akan berubah menjadi lonjong (oval), yang runcing menjadi
membulat. Kalau tidak mengalami transportasi, butir akan mempunyai
bentuk yang sempurna. Butiran kasar akan mengalami abrasi yang kuat
sedangkan butiran halus kurang mengalami abrasi.
 Terjadi transportasi yang selektif (sorting), sehingga terjadi segregasi
(pemisahan) butiran berdasarkan ukuran, bentuk dan densitasnya.
4. Diagenesa.
Tekstur maupun komposisi akan mempengaruhi oleh perubahan-
perubahan yang terjadi dalam sedimen setelah pengendapan. Bila perubahan
tekstur dan kmposisi sedimen terjadi pada tekanan dan temperatur rendah
disebut diagenesis. Sedangkan diagenesis tersebut meliputi beberapa proses
sebagai berikut ini :
a. Kompaksi (compaction).
Kompaksi terjadi karena timbulnya tekanan akibat penambahan beban
sedimentasi yang terus berlangsung di bagian atas, sehingga volume
sedimen pada bagian bawah semakin mengecil dan fluida dalam ruang
antar butir tertekan keluar dan bermigrasi ke arah atas secara perlahan.
15

Sedangkan fluida yang tidak bisa keluar bermigrasi, akan terperangkap


membentuk air formasi (connate water).

b. Pelarutan (solution).
Terutama pada batuan karbonat, dimana akibat adanya pelarutan
menyebabkan terbentuknya rongga-rongga, jika tekanan cukup kuat
menyebabkan terbentuknya suatu struktur yang disebut stylolit. Stylolit
dapat memotong allochem (seperti fosil) atau butiran sehingga
menyebabkan pori-pori pada batuan sedimen.
c. Pembentukan mineral baru (authigenesis).
Mineral-mineral yang cukup stabil (seperti kuarsa) pada kondisi
diagenesis, tekanan dan temperatur rendah, akan tumbuh di lingkungan
pengendapan sebagai mineral tambahan atau muncul mneral-mineral baru
terhadap komponen endapan asli. Umumnya mineral-mineral authigenic
adalah karbonat, silika, feldspar, illite, serisit, gipsum dan anhidrit.
d. Penggantian (replacement).
Penggantian komponen sedimen oleh mineral-mineral authigenic juga
terjadi hanya pada temperatur rendah. Misalnya cangkang fosil diganti oleh
glaukonit, dan kalsit diganti oleh euhedral.
e. Sementasi (cementation) atau lithification.
Sementasi bisa terjadi akibat proses kimiawi (rekristalisasi) atau karena
tekanan yang terlalu besar (kompaksi). Biasanya selama proses kompaksi,
material sedimen yang sifatnya masih terlepas-lepas akan diikat satu sama
lain oleh mineral-mineral yang tumbuh (rekristalisasi) pada ruang antar
butir tersebut.

2.1.2.1. Batupasir
Batupasir termasuk golongan batuan klastik detritus dan sebetulnya yang
dimaksud batupasir disini adalah batuan detritus yang pada umumnya berkisar
dari lanau sampai konglomerat.
16

Porositas yang didapatkan didalam batupasir ini hanya bersifat


intergranular. Pori-pori ini terdapat diantara butir-butir dan khususnya terjadi
secara primer, jadi rongga terjadi pada waktu pengendapan. Batupasir merupakan
reservoir yang paling banyak di dunia, 60 % dari pada semua batuan reservoir
adalah batupasir.
A. Tekstur dan Struktur Batupasir.
a. Tekstur Batupasir
Batupasir terdiri dari framework yang primer dimana ini adalah pecahan
pasir dan kekosongan, dimana ada pori atau ruang yang kosong di dalam
framework.
Framework dibentuk oleh material yang berukuran pasir, berdiameter
antara 1/16 – 2 mm. Secara normal ini dibentuk secara bersama-sama dan setiap
butir mempunyai hubungan, jadi seluruh framework adalah struktur yang secara
mekanis stabil. Pada beberapa batupasir, elemen framework bekerja dengan unsur-
unsur yang seragam dalam ukuran dan saling memenuhi, ada kira-kira 0.85
kontak setiap butir pada segala cross section pada suatu bagian yang tipis, sebagai
contoh pada Gambar 2.3. keadaan di alam dan jumlah kontak antara setiap butir
adalah atribut yang sangat penting pada setiap batupasir.

Gambar 2.3.
Kumpulan Butir dan Pengkondensasian Batuan 8)
Distribusi ukuran dari unsur framework dapat digambarkan oleh
keseragaman ukuran dan perhitungan statistik dari ukuran. Karateristik ini
berhubungan dengan mengatur spesifik yang terbentuk dari endapan pasir.
Penafsiran analisa ukuran seperti itu dibahas di tempat lain. Suatu ukuran yang
17

kasar yang menyangkut keseragaman ukuran atau penyortiran, diberi oleh


perbandingan dari diameter yang paling besar sampai pada yang paling kecil.
Dalam pemerian ukuran butiran dipergunakan pedoman ukuran dari Skala
Wenworth, yaitu seperti pada Tabel II.4 berikut :
Tabel II.4.
Ukuran Butiran Skala Whenworth 13)
.

Butiran Ukuran Butir (mm)

Bongkah (boulder) > 256


Brangkal (couble) 256 – 64
Kerakal (pebble) 64 – 4
Kerikil (granule) 4–2
Pasir sangat besar (very coarse 2–1
sand) 1–1½
Pasir kasar (coarse sand) ½-¼
Pasir sedang (medium sand) ¼ - 1/ 8
1
Pasir halus (fine sand) /8 – 1/16
1
Pasir sangat halus (very fine sand) /16 – 1/256
Lanau (silt) < 1/256
Lempung (clay)

b. Struktur Batupasir
Batupasir bervariasi karatekternya dari well-badded sampai pada masive.
Batupasir adalah flagg jika interbedded dan tipis dengan serpihan batu. Pada
umumnya semakin kasar batupasir, semakin tebal unit beddingnya.
Struktur Internal dari unit bedding menjadi hal yang paling penting.
Biasanya unit ini ditunjukan oleh cross–bedding, dengan skala dimana beberapa
fungsi kedua-duanya berupa coarness dari pasir dan ketebalan dari unit
sedimentasi. Pasir Crossbedded biasanya juga berbentuk triple mark.
Unit sedimentasi mungkin mempunyai struktur internal yang bernilai,
beberapa pasir jarang berbentuk cross-bedded, dan seperti dicatat di tempat lain,
greded-bedding dan cross-bedding terpisah satu sama lain, hal ini menandakan
dua jenis batupasir yang berbeda facies. Salah satu menandakan perairan yang
dangkal, bergelombang atau di atas profil keseimbangan; yang lain adalah untuk
bersifat menandakan pengendapan di bawah dasar gelombang dan karakteristik
ini sebagian besar batupasir yang terbentuk di perairan dalam.
18

Batupasir biasanya mempunyai bentuk concretionary, terutama yang pada


ferruginous atau calcareous. Konsentrasi Calcareous nampak seperti
postdeposional yang sangat besar secara normal menerobos konsentrasi
Calcareous. Stylolites banyak ditemukan didalam batupasir, terutama pada variasi
quartzitic yang murni. Biasanya mereka menyajikan sepanjang hubungan yang
tegak lurus terhadap bedding dan mungkin secara umum sepanjang bedding yang
telah direncanakan.

B. Komposisi Batupasir.
Menurut Pettijohn, batupasir dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
orthoquartizes, graywacke dan arkose. Pembagian tersebut didasarkan pada
jumlah kandungan mineral yang terdapat di dalam batuannya.

a. Orthoquartzites
Orthoquartzites merupakan jenis batuan sedinen yang terbentuk dari
proses yang menghasilkan unsur silica yang tinggi, dengan tidak mengalami
metamorfosa (perubahan bentuk) dan pemadatan, terutama terdiri atas mineral
kwarsa dan mineral lainnya yang stabil. Material pengikatnya terdiri dari
carbonate dan silica. Orthoquartzites merupakan jenis batuan sedimen yang
relatif bersih terhadap kandungan shale dan clay. Tabel II.5 menunjukkan
komposisi kimia Orthoquartzites.
19

Tabel II.5.
Komposisi Kimia Orthoquartzites 8)

MINERAL A B C D E F G H I
SiO2 95,32 99,45 98,87 97,80 99,39 93,13 61,70 99,58 93,16
TiO2 .... .... .... .... 0,03 .... .... .... 0,03
Al2O3 2,85 .... 0,41 0,90 0,30 3,86 0,31 0,31 1,28
Fe2O3 0,05 0,08 0,85 0,12 0,11 0,24 1,20
0,30 0,43
FeO .... 0,11 .... .... 0,54 .... ....
MgO 0,04 T 0,04 0,15 None 0,25 .... 0,10 0,07
CaO T 0,13 .... 0,10 0,29 0,19 21,00 0,14 3,12
Na2O 0,80 0,17 0,10
0,30 .... 0,40 .... .... 0,39
K2O 0,15 .... 0,03
H2O +
1,44a) .... 0,17 .... 0,17 1,43a) .... 0,03a) 0,65
H2O -
CO2 .... .... .... .... .... .... 16,10 .... 2,01
100 99,88 99,91 100,2 100,3 99,51 99,52 99,6b) 101,1
A. Lorrain (Huronian) F. Berea (Mississippian)
B. St. Peter (Ordovician) G. “Crystalline Sandstone”, Fontainebleau
C. Mesnard (Preeambrian) H. Sioux (Preeambrian)
D. Tuscarora (Silurian) I. Average of A – H, inclusive.
E. Oriskany ( Devonian) a). Loss of ignition
b). Includes SO3, 0,13 %.

b. Graywacke
Graywacke merupakan jenis batupasir yang tersusun dari unsur-unsur
mineral yang berbutir besar, yaitu kuarsa, clay, mika flake {KAl2(OH)2 AlSi3O10},
magnesite (MgCO3), fragmen phillite, fragmen batuan beku, feldspar dan mineral
lainnya. Material pengikatnya adalah clay dan carbonat. Indikator yang dapat
digunakan untuk mengidentifikasi batuan jenis ini adalah adanya mineral illite.
Hal yang sangat penting adalah bahwa graywacke itu mempunyai matriks
dan hal ini mengurangi porositasnya. Juga pemilahannya tidak baik, sehingga
sebagai batuan reservoir greywacke tidak terlalu baik. Graywacke banyak
berasosiasi dengan turbidit ataupun diendapkan oleh arus turbidit. Di Indonesia
batuan jenis ini masih belum ditemukan sebagai batuan reservoir, akan tetapi di
Amerika Serikat pada cekungan Ventura dan cekungan Los Angeles graywacke
atau batupasir turbit diketahui sebagai lapisan reservoir yang cukup penting.
20

Secara lengkap mineral-mineral penyusun graywacke terlihat pada Tabel


II.6. Komposisi graywacke tersusun dari unsur silica dengan kadar lebih rendah
bila dibandingkan dengan rata-rata batu pasir, dan kebanyakan silica yang ada
bercampur dengan silikat. Komposisi kimia graywacke dapat dilihat pada Tabel
II.7.
Tabel II.6.
Komposisi Mineral Graywacke 8)

M I N E RAL A B C D E F
Quartz 45,6 46,0 24,6 9,0 tr 34,7
Chert 1,1 7,0 .... .... .... ....
Feldspar 16,7 20,0 32,1 44,0 29,9 29,7
Hornblende .... .... .... 3,0 10,5 ....
Rock Fragments 6,7 . . . .a 23,0 9,0 13,4 ....
Carbonate 4,6 2,0 .... .... .... 5,3
Chloride-Sericite 25,0 22,5 20,0b 25,0 46,2d 23,3
99,7 97,5 99,7 90,0 100,0 96,0
A. Average of Six (3 Archean, 1 Huronian, 1 Devonian, and 1 Late Paleozoic).
B. Krynine’s average “high-rank graywacke” (Krynine, 1948).
C. Average of 3 Tanner graywackes (Upper Devonian – Lower Carboniferous)
D. Average of 4 Cretaceous graywackes, Papua (Edwards, 1947 b).
E. Average 0f 2 Meocene graywackes, Papua (Edwards, 1947 a).
F. Average of 2 parts average shale and 1 part average Arkose.
a)
. Not separately listed.
b)
. Include 2,8 per cent “limonitic subtance”
c)
. Balance in glauconite, mica, chlorite, and iron ores.
d)
. “Matrix”
21

Tabel II.7.
Komposisi Kimia Graywacke 8)

c. Arkose
Arkose merupakan jenis batupasir yang biasanya tersusun dari quartz
sebagai mineral yang dominan, meskipun seringkali mineral arkose feldspar
jumlahnya lebih dari quartz. Biasanya cukup bersih tetapi kebundaran daripada
butirannya tidak terlalu baik karena bersudut-sudut dan juga pemilahannya tidak
22

terlalu baik. Arkose biasanya didapatkan sebagai hasil pelapukan dari batuan
granit, sebagai contoh adalah ‘granit wash’ di Pendopo Sumatera Selatan yang
biasa bertindak sebagai batuan reservoir.
Komposisi kimia arkose ditunjukkan pada Tabel II.8, dimana terlihat
bahwa arkose mengandung lebih sedikit silica, tetapi lebih banyak kandungan
alumina, lime, potash dan soda jika dibanding dengan orthoquartize.

Tabel II.8.
Komposisi Kimia Arkose 8)

M I N E RAL A B C D E F
SiO2 69,94 82,14 75,57 73,32 80,89 76,37
TiO2 .... .... 0,42 .... 0,40 0,41
Al2O3 13,15 9,75 11,38 11,31 7,57 10,63
Fe2O3 1,23 0,82 3,54 2,90 2,12
2,48
FeO .... 1,63 0,72 1,30 1,22
MnO 0,70 .... 0,05 T .... 0,25
MgO T 0,19 0,72 0,24 0,04 0,23
CaO 3,09 0,15 1,69 1,53 0,04 1,30
Na2O 3,30 0,50 2,45 2,34 0,63 1,84
K2O 5,43 5,27 3,35 6,16 4,75 4,99
H2O + 1,06
1,01 0,64 a 0,30 a 1,11 0,83
H2O – 0,05
P2O3 .... 0,12 0,30 .... .... 0,21
CO2 .... 0,19 0,51 0,92 .... 0,54
T o t a l 99,1 100,18 100 100,2 99,63 100,9
A. Portland stone, Triassic (Merrill, 1891).
B. Torridon sandstone, Preeambrian (Mackie, 1905).
C. Torridonian arkose (avg. of 3 analyses) (Kennedy, 1951).
D. Lower Old Red Sandstone, Devonian (Mackie, 1905).
E. Sparagmite (unmetamorphosed) (Barth, 1938).
F. Average of A – E, inclusive.
a)
. Loss of ignition.

C. Klasifikasi Batupasir
Sebagian besar jenis batupasir adalah graywackes, lithic sandtone, arkosic
sandstone dan orthoquartzites. Jenis-jenis tersebut berhubungan dan di bedakan
seperti pada Tabel II.9.
a. Batu pasir kwarsa
Batuan ini sangat penting dan kebanyakan reservoir batupasir adalah
kwarsa. Batupasir kwarsa biasanya merupakan batuan reservoir yang sangat baik
23

karena pemilahan yang baik, butiran terbentuk bundar dan pada padatannya tidak
terdapat matrik kecuali semen.
24

Tabel II.9.
Klasifikasi Batupasir 8)

b. Batu pasir Graywacke


Graywacke adalah suatu batuan yang keras, berwarna gelap dan
mempunyai porositas yang rendah. Umumnya mempunyai komposisi yang terdiri
dari slate atau argillite dan kaya akan mineral yang berbutir halus mikaan (seperti
muskovit) dan klorit. Biasanya tebentuk dari akibat pembebanan yang sangat kuat
(deeply buried) dan berumur sangat tua. Graywacke selain mempunyai sifat
sortasi yang buruk dan keras, juga mengandung fragmen-fragmen batuan yang
berwarna gelap (yang dimiliki oleh lithic graywacke) serta memiliki matriks
lempung 30 % yang unstable. Sebagai batuan reservoir graywacke tidak terlalu
baik, karena pemilahan dan porositasnya kurang baik.
c. Batu Pasir Arkose
Arkose dicirikan dengan banyak mengandung kwarsa dan feldspar
(ortoklas, mikrolin, perit dan non-plagioklas) dengan jumlah > 25 %. Juga
mengandung partikel batuan berukuran halus. Biasanya cukup bersih tetapi
kebundaran dari pada butirannya tidak terlalu baik karena bersudut-sudut dan
juga pemilahannya tidak terlalu baik. Arkose biasanya didapatkan sebagai hasil
pelapukan batuan granit.

Klasifilasi batupasir lain adalah berdasarkan matriksnya, batupasir dapat


dibagi menjadi 2 golongan yaitu :

1. Wacke (batupasir tidak murni).


Yaitu batupasir yang mengandung matriks lempung >10%.
25

a. Wacke immature.
o Jika feldspar < rock fragmen disebut lithic wacke.
o Jika feldspar > 25% dari rock fragmen disebut arkosit wacke.
o jika feldspar besarnya berkisar antara 10-25% dari rock fragmen
disebut feldspathic wacke.
b. Wacke mature.
Kandungannya kaya akan quartz dan chert, sedangkan feldspar dan
unstable rock fragmennya masing-masing <10% disebut quartz
wacke.

2. Arenite (batupasir murni).


Jenis arenite ini bersifat kurang mature yang dibedakan menjadi arkosic
arenite dan lithic arenite, dimana keduanya umumnya mengandung komponen
unstable. Perbedaan arkosic dan lithic terutama dibedakan dari sumber batuannya,
selain itu juga proses dan lingkungan sedimentasinya. Batupasir yang banyak
mengandung feldspar yang berasal dari batuan beku derajat tinggi disebut arkosic
arenite, tetapi biasanya juga dikenal dengan nama arkose.

Kemungkinan dalam batupasir ditemukan juga adanya macam-macam


semen yang mengkristal bersama-sama pada rongga antar pori. Jika ditemukan
kenampakan seperti itu, maka hal tersebut tersebut menunjukkan adanya urutan
proses sementasi. Sifat-sifat pembentukan sementasi pada batupasir antara lain :
1. Semen lebih cenderung terbentuk pada batupasir yang bersih (murni) atau
arenite bila dibandingkan dengan batupasir dengan sortasi yang buruk dan
mengandung lempung. Hadirnya matriks lempung akan menghambat
pembentukan semen, sebab lempung bersifat impermeable.
2. Macam atau jenis komposisi batuan akan menentukan jenis semen.
Misalnya semen kuarsa, biasanya terbentuk pada arenite yang banyak
mengandung kwarsa, dimana kwarsa akan tumbuh membesar, terutama
berkembang membentuk secondary outgrowth.
26

2.1.2.2. Batuan Karbonat


Batuan karbonat mempunyai 3 komposisi utama, yaitu Kalsite (CaCO3),
Dolomite (CaMg(CO3)2) dan Aragonite (CaCO3). Beberapa komposisi utama
mineral batuan karbonat tersebut juga dapat membentuk batuan dengan komposisi
mineral baru, misalnya batugamping (limestone) merupakan campuran antara
kalsite dan aragonite, dolimitic limestone atau calc-dolomite merupakan campuran
antara kalsit dan dolomite. Mineral-mineral pada batugamping umumnya
terbentuk pada saat permulaan hingga proses lithifikasi berlangsung. Diantaranya
kalsedon, kuarsa, glaukonit, pirite, gypsum, anhidrite dan alkali feldspar. Apabila
batugamping kaya akan mineral aksesoris maka nama batuannya glaoconotic,
sandy dan argillaceous (lempung). Proses diagenesa batuan karbonat meliputi :
1. Pelarutan (solution).
Proses pelarutan dalam batuan karbonat memerlukan air lewat jenuh dalam
jumlah banyak serta selektifitas terhadap matrik, bentuk butir, ukuran butir
dan sifat kerangka (framework). Hasil dari pelarutan akan berupa rongga pori
kosong dari material yang terlarut.
2. Penyemenan (cementation).
Merupakan pengisian ruang antar butir dan rekahan yang sering terjadi akibat
pelarutan. Jenis-jenisnya : fibrous, mosaic (blocky), drusy dan granular.
3. Rekristalisasi (rekristalitation).
Proses ini terjadi bila ada zat-zat yang terlarut diendapkan kembali di tempat
semula tanpa merubah komposisinya. Contoh: perubahan aragonite menjadi
kalsite.

4. Penggantian (replacement).
Proses penggantian mineral menjdai mineral lain dan merubah komposisi
semula. Contoh : kalsit menjadi dolomite, kalsit menjadi anhidrit.
Sedangkan untuk komponen-komponen pembentuk batuan karbonat
dikelompokkan menjadi 3, yaitu :
27

1. Alloche (butiran).
Merupakan butiran karbonat berukuran silt kasar-kerikil yang terdiri dari :
a. Fossil, fragmen-fragmen keras yang berasal dari organisme karbonat dan
cangkang-cangkang yang telah rusak. Organisme tersebut antara lain
molusca, echinoid, ostracod dan formanifera.
b. Ooid, kurang lebih berbentuk bulat, berukuran pasir, lapisan luar aragonite
atau kalsit, bagian tengahnya fibrous radial.
c. Pellet, berbentuk lonjong atau bulat, berukuran pasir, mikrokristalin
karbonat. Tidak menunjukkan struktur bagian dalam (beda dengan ooid).
d. Intraclast, merupakan fragmen yang berasal dari cekungan pengendapan
kemudian diendapkan kembali. Berukuran pebble keatas, berbeda dengan
dengan fragmen terrigenenous.
2. Microcrystalline calcite (micrite).
Agregat kalsit mikrogranular, merupakan agregat yang saling intelocking
dengan bentuk kristal euhedral, berukuran 20 m.
3. Sparry atau sapr (saprite)
Jernih, kristalin granular, terdapat pada lubang-lubang fragmen atau
mengisi ruang antar butir (semen).
Komposisi kimia dari batuan karbonat dapat menggambarkan adanya
sifat dari komposisi mineralnya, karena pada limestone sebagian besar terbentuk
dari unsur calcite yang jumlahnya bisa mencapai lebih dari 95%.
A. Tekstur Dan Struktur Batuan karbonat
Oleh karena asal polygenetic berasal dari batu karbonat yang merupakan
bagian dari detrital, pada sebagian biokimia dan kimia, dan pada sebagian
metasomatic mereka memperlihatkan berbagai struktur dan textur yang unik yang
berbeda dari kelompok batu yang lain. Karena alasan ini suatu uraian yang
terperinci hanya diberikan pada bagian yang berhadapan dengan beberapa batuan
karbonat.
Batugamping yang diendapkan secara mekanis, seperti yang telah
diharapkan, menunjukkan struktur dan tekstur yang sama seperti halnya
nonkarbonat sedimen klastik. Penyortiran, cross-bedding atau kedua-duanya baik
28

dalam skala kecil atau besar, dan bahkan graded breeding banyak ditunjukkan di
dalam batugamping.
Secara biokimia karbonat yang dibentuk mempunyai kumpulan struktur
dan tekstur berbeda. Khususnya pada biohermal dan struktur batukarang, yang
mana mungkin mempunyai ukuran besar, sediment bedding frame work yang
mana mempunyai struktur batukarang dan banyak modifikasi dari bedding yang
dihasilkan oleh sediment-secretering dan sediment-bidding algae yang dinamakan
algal struktur dan algal bedding.
Beberapa dari batugamping yang diendapkan mempunyai tekstur
membedakan, Seperti tekstur pada oolitic dan pisolitic dan struktur yang unik,
khususnya kumpulan beberapa travertines dan beberapa spongework tufas.
B. Komposisi Kimia Batuan Karbonat
Dalam hal ini yang dimaksud dengan batuan karbonat adalah limestone,
dolomite, dan yang bersifat keduannya. Limestone adalah istilah yang biasa
dipakai untuk kelompok batuan yang mengandung paling sedikit 80 % calcium
carbonate atau magnesium. Istilah dipakai untuk batuan yang mempunyai fraksi
carbonate melebihi unsure non-carbonatenya. Pada limestone fraksi disusun
terutama oleh mineral calcite, sedangkan pada dolomite mineral penyusun
utamanya adalah mineral dolomite. Tabel II.10. menunjukkan komposisi kimia
yang terkandung pada batuan limestone.
Dolomite adalah batuan yang merupakan variasi dari limestone yang
mengandung unsur carbonate lebih besar daripada 50 % sedangakan untuk
batuan-batuan yang mempunyai komposisi pertengahan antara limestone dan
dolomite akan mempunyai nama yang bermacam-macam tergantung dari unsur-
unsur yang dikandungnya. Untuk batuan yang unsur calcitenya melebihi dolomite
disebut dolomite limestone, dan untuk unsur dolomitenya lebih besar daripada
calcite dinamakan limy, calcitic, calciferous atau calcitic dolomite.
Komposisi kimia dolomite pada dasarnya hampir mirip dengan limestone,
kecuali unsur MgO merupakan unsur yang penting dan jumlahnya cukup besar,
seperti ditunjukkan pada Tabel II.11.
29

Tabel II.10.
Komposisi Kimia Limestone 8)

Tabel II.11.
8)
Komposisi Kimia Dolomite
30

C. Klasifikasi Batuan Karbonat


Endapan karbonat biasanya terjadi sebagai calcium carbonat (CaCO3),
yang mula-mula terbentuk dari sekelompok karang dan sisa-sisa organisme
marine. Karena sifat alami karbonat yang heterogen maka dibutuhkan deskripsi
detail untuk tiap-tiap reservoir karbonat.
Klasifikasi batuan karbonat berdasarkan tekstur pengendapannya menurut
Dunham (1962) dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain :
1. Butiran yang didukung lumpur (mud supported).
2. Butiran saling menyangga (grain supported).
3. Sebagian butiran didukung lumpur dan sebagian saling menyangga.
Berdasarkan faktor-faktor tersebut, Dunham membagi batuan karbonat
menjadi :

1. Butiran kandungan lumpur.


a. Jumlah butiran < 10%, disebut Mudstone.
b. Jumlah butiran > 10%, disebut Wackestone.
2. Butiran saling menyangga.
31

a. Dengan matriks, disebut Packstone.


b. Sedikit atau tanpa matriks, disebut Grainstone.
3. Komponen saling terikat pada waktu pengendapan, dicirikan oleh tekstur
tumbuh, disebut Boundstone.
4. Tekstur pangendapan tidak teramati dengan jelas disebut batugamping
kristalin.
Pada umumnya batuan karbonat dapat dibagi empat macam, yaitu :
a. Terumbu karbonat,
b. Gamping klastik,
c. Dolomite; dan
d. Gamping afanitik.
Dari keempat batuan tersebut semuanya dapat bertindak sebagai batuan
reservoir, tetapi yang sangat menarik perhatian dan sangat penting sebagai batuan
reservoir adalah batu gamping klastik dan terumbu dolomite.
a. Terumbu karbonat
Pada umumnya terumbu karbonat terdiri dari suatu kerangka koral,
ganggang dan sebagainya yang tumbuh dalam laut yang bersih, berenergi
gelombang yang tinggi dan mengalami banyak pembersihan sehingga rongga-
rongga antarnya menjadi bersih. Dalam hal ini porositas yang didapat terutama
didalam kerangka yang berbentuk rongga-rongga bekas binatang hidup yang
biasanya disemen dengan sparry calcite atau biasanya dikenal sebutan micrite,
sehingga porositasnya diperkecil. Adakalanya porositas membesar karena
mengalami pelarutan lebih lanjut sehingga mengahasilkan gerowong dan gua-gua.
Bentuk resrvoir kerangaka terumbu ini terbatas sekali karena terumbu koral yang
juga diikat oleh ganggang dan sebaginya hanya tumbuh pada beberapa keadaan
terentu. Pada umumnya dapat dibedakan 2 macam reservoir terumbu antara lain :
1. Terumbu yang bersifat “ Fringing “ atau merupakan suatu bentuk yang
memanjang dilepas pantai.
2. Terumbu bersifat terisoir disana sini yang sering disebut sebagi suatu
“pinnacle” atau “patch reef” atau secara tepat dinamakan biohrem, yang
32

muncul disana-sini dalam berbagai bentuk kecil secara berurutan atau


beraturan.
Pada Gambar 2.4 dapat dilihat bahwa suatu terumbu juga berasosiasi dengan
boiklastik lainnya dan membentuk suatu akumulasi sedimen. Kadang-kadang
terumbu ini menjadi suatu komplek terumbu.

Gambar 2.4.
Penampang dari Lingkungan Pengendapan Karbonat 6)
Terumbu yang berbentuk linier, atau yang sebagai penghalang biasanya
membentuk mamanjang juga sering kali cukup besar serta memperlihatkan suatu
asimetris dan biasanya terdapat pada suatu pinggiran cekungan. Seringkali
terumbu jenis demikian terdapat pada pinggiran suatu paparan, yaitu ditempat
dimana suatu paparan landai dan berenergi rendah tiba-tiba berubah menjadi suatu
cekungan yang dalam. Sehingga pada ujung paparan ini terbentuk kompleks
terumbu yang merupakan penghalang.
b. Gamping Klastik
Gamping klastik sering juga merupakan reservoir yang sangat baik,
terutama asosiasinya dengan oolit dan biasanya disebut dengan kalkerenit. Batuan
reservoir yang terdapat oolit merupakan pangendapan yang berenergi tinggi dan
diendapkan pada jalur sepanjang pantai atau jalur dangkal dengan arus gelombang
yang kuat. Porositas yang terdapat biasanya porositas integranular yang kadang-
kadang diperbesar oleh adanya pelarutan. Porositas dapat mencapai 32 % tetapi
mempunyai permeabilitas 5 md.
c. Dolomite
Dolomit merupakan batuan reservoir karbonat yang jauh lebih penting dari
jenis batuan karbonat lainnya. Cara terjadinya dolomit ini tidak begitu jelas, tetapi
33

pada umumnya dolomit ini bersifat sekunder, atau sedikit banyak dibentuk
sesudah sedimentasi. Masalah cara pembentukan porositas dalam dolomit banyak
menghasilkan berbagai macam interpretasi.
Salah satu teori mengenai hal ini ialah porositas timbul karena dolomitasi
batuan gamping, sehingga molekul kalsit diganti oleh molekul dolomit. Karena
molekul dolomit lebih kecil dari molekul kalsit, maka hasilnya akan merupakan
pengecilan volume sehingga timbul rongga-rongga.
Jadi jelaslah adanya hubungan antara dolomitasi dan porositas. Dolomit
yang biasanya mempunyai porositas yang baik bersifat sukrosik, yaitu berbentuk
hampir menyerupai gula pasir. Sering juga dolomit ini terdapat porositas yang
bersifat gerowong yang mungkin disebabkan karena banyak kalsit yang belum
diganti oleh dolomit, dan berbentuk patches atau berbentuk yang lebih besar dari
satu kristal. Semua bentuk itu kemudian dilarutkan dan menghasilkan porositas
gerowong ini. Dolomitasi juga terjadi dalam batuan gamping yang bersifat
terumbu. Bahkan banyak koral yang didolomitasi juga menimbulkan gerowong-
gerowong yang besar, sehingga akan memperlihatkan porositas interkristalin.
Dalam hal ini ada dua macam dolomit yang terjadi:
a) Dolomit yang bersifat primer
Terbentuk dalam suatu laguna atau laut tertutup yang sangat luas, dengan
temperatur sangat tinggi.
b) Dolomit rubahan (replacement)
Terutama terjadi pada dolomitasi gamping yang bersifat terumbu, dengan
teori yang terkenal yaitu Supratidal Seepage Reflux. Disini dijelaskan
bahwa terumbu yang bersifat penghalang akan membentuk suatu laguna
dibelakangnya. Laguna ini hanya terisi air laut pada waktu-waktu badai,
dan air laut yang terdapat dibelakang terumbu yang menghalangi itu
menjadi tinggi kegaramannya. Akan tetapi air garam yang terjebak
didalam laguna yang demikian, Mg-nya akan sangat tinggi dan juga berat
jenisnya akan meningkat. Oleh karena itu akan terjadi suatu perembesan
kembali (reflux) melalui pori-pori yang terdapat dalam gamping kerangka
ataupun terumbu tersebut kembali lagi ke laut bebas.
34

Pada waktu perembesan melalui kerangka gamping, terjadilah dolomitasi.


Sehingga jelaslah bahwa dolomitasi ini merupakan proses yang paling penting dan
asosiasianya dengan porositas sangat jelas.
d. Gamping Afanitik
Batu gamping yang bersifat afanitik dapat pula bertindak sebagai batuan
reservoir, terutama kalau porositasnya didapatkan secara sekunder. Misalnya
karena peretakan ataupun karena pelarutan dibawah suatu ketidakselarasan.
Batuan karbonat dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a) Type Compact Crystallin
Pada tipe ini matrik tersusun rapat oleh kristalin yang saling mengisi
diantara pori-pori yang non visbel, diperkirakan 1-5 % dari pori-pori ini
kurang begitu efektif. Permukaan batuannya merupakan permukaan yang
paling licin.
b) Type Chalky
Untuk tipe ini matrik batuan tersusun dari kristal-kristal kecil, sehingga
ruang pori-pori terisi rapat oleh partikel-partikel tersebut dan hanya
tampak bila dilihat dengan mikroskop. Permeabilitasnya berkisar antara
10-30 md. Dengan kenampakan batuannya yang baru dibelah akan
menunjukkan permukaan yang suram seperti kapur.
c) Type Granular satu sacharoidal
Pada tipe ini matrik tersusun dari kristal-kristal, yang hanya sebagian saja
kontak antara satu sama lainnya. Sehingga akan memberikan ruang antar
pori-pori yang saling berhubungan. Permeabilitas sangat tinggi, hingga
bisa mencapai beberapa ratus millidarcy.
Klasifikasi ukuran pori masih dibagi menjadi empat kelas, yaitu:
 Porositas yang tidak tampak oleh mata biasa maupun dengan mikroskop
yang diperbesar 10 kali.
 Porositas yang tidak dapat dilihat tanpa pembesaran, tapi terlihat pada
pembesaran 10 kali.
 Porositas yang kelihatan oleh mata biasa, tetapi garis tengahnya berkisar
antara 0,1 – 1,0 mm.
35

 Porositas yang berukuran pori-pori lebih besar dari 1,0 mm.

2.1.2.3. Batuan Shale


Shale merupakan batuan dengan tekstur berlapis (laminated), berbutir
halus, dengan kandungan mineralnya adalah lempung dan silt. Shale mempunyai
porositas yang kurang baik, tetapi jika mengalami peretakan maka
permeabilitasnya semakin besar sehingga dapat bertindak sebagai batuan
reservoir.
A. Tekstur Dan Struktur Batuan Shale
1. Ukuran Butir
Distribusi ukuran partikel atau komposisi mekanis tanah liat dan serpih
telah diteliti secara intensif. Analisis ukuran seperti bahan-bahan, bagaimanapun
juga merupakan subjek untuk menghentikan keterbatasan. Berkaca pada butirnya
yang bagus, ukuran partikel tanah liat biasanya ditentukan oleh metode yang
didasarkan pada perbedaan kecepatan pengendapan. Kecepatan ini secara harfiah
dipengaruhi oleh bentuk butiran spesifik partikel sesuai ukurannya. Kesimpulan
analitis jadi menyesatkan saat nilai ukuran diperhitungkan didasarkan pada premis
dimana partikel berbentuk bulat kwarsa. Penyebaran yang disebabkan oleh proses
fisik atau kimia mungkin menghancurkan distribusi ukuran sesungguhnya atau
paling tidak memodifikasi kurva penilaian.
Banyak tanah liat, khususnya yang terakumulasi dalam air marine adalah
dalam bentuk parsial atau flokulasi pada waktu deposisi. Kurva penilaian yang
ditentukan oleh analisis, mungkin hampir seperti sedimen awal. Sebuah
pembatasan yang lebih serius terkumpul dalam serpih yang lebih tua. Karena
bentuk divisi bahan-bahannya yang bagus dan adanya total permukaan biji yang
besar, seperti halnya instabilitas beberapa mineral tanah liat, bahan-bahan ini
cenderung berubah secara diagenetik. Seperti reorganisasi harus merubah secara
besar-besaran atas ukuran distribusi, oleh karena itu, analisa ukuran tanah liat dan
serpih harus diinterpretasikan dengan perhatian yang besar.
Banyak analisis tekstural pada klastik yang lebih baik menunjukkan relasi
antara ukuran butiran dan kemiringan distribusi ukuran. Endapan lumpur dan
36

tanah liat tidak sama dengan pasir, yang cenderung secara harfiah terendapkan.
Tabel II.12.

Tabel II.12.
Karakteristik Ukuran dari Cogenetic Coarse Dan Sedimen 8)

Alasan untuk keragaman pensortiran yang jelek dan distribusi endapan


tidak seluruhnya bisa dipahami. Itu mungkin dihubungkan dengan proses-proses
pengangkutan dan deposisi (Inman, 1949), berarti bahwa ukuran-ukuran ini
dikoagulasi dan diendapkan sebagai flokul pada saat pengendapan, sehingga
memungkinkan untuk membedakan antara tanah liat yang terflokulasi dan yang
tidak berdasarkan tingkat keseragamannya.
2. Perlapisan (Laminations)

Perlapisan dari shale memiliki ketebalan berkisar antara 0.05 – 1.00 mm,
dengan kebanyakan dari perlapisan pada kisaran 0.1 – 0.4 mm. perlapisan ini
terbentuk akibat ; (1) Pertukaran dari partikel dengan unsur/butir bagus dan kasar
seperti silt dan clay, (2) Pertukaran lapisan terang dan lapisan gelap yang
dibedakan oleh kandungan organiknya, (3) Pertukaran kandungan antara calcium
carbonat dan silt. Pertukaran ini menyangkut berbagai material sepertinya adalah
dalam kaitan dengan tingkat kecepatan pengendapan differensial beberapa unsur
yang berbeda saat mengendap pada cekungan pengendapan.
3. Porositas
Porositas tanah liat yang baru saja mengalami proses pengendapan
mempunyai harga yang sangat besar. Mungkin bisa mencapai 50 % atau bahkan
lebih (Trask, 1931). Porositas serpihan secara harfiah kecil. Walaupun rata-rata
37

tanah liat mempunyai porositas sebesar 27 %, porositas rata-rata serpihan hanya


13%.
Penurunan porositas yang menyertai konversi lumpur menjadi serpihan
adalah akibat dari pemadatan. Sebagai akibat pemadatan dari tekanan dasar-dasar
superinkumben. Athy (1930) dan lain-lain (Hedberg, 1926; Jones, 1944) telah
menunjukkan bahwa porositas adalah sebuah fungsi dari ketebalan strata yang
berlebihan Tabel II.13.
Tabel II.13.
Porositas Batu Shale Hubungannya Dengan Kedalaman 8)

B. Komposisi Kimia Batuan Shale


Pada umumnya unsur penyusun shale ini terdiri dari lebih kurang 58 %
Silicon dioxide (SiO2), 15% Alumunium trioxide (Al2O3), 3% Calcium oxide
(CaO), 3% Pottasium oxide (K2O), 1% Sodium oxide (Na2O), dan 5% air (H2O).
Sisanya adalah metal oxide dan anion seperti terlihat pada Tabel II.14.
Silica adalah penyusun dominan pada batuan shale dan clay. Ini
mencerminkan kompleksnya komposisi mineral clay. Alumina juga merupakan
penyusun yang penting pada jenis batuan ini sebagai bagian dari komponen yang
bukan detrital silicates (bagian primer feldspar).

Tabel II.14.
Komposisi Kimia Shale 8)
38

Clay merupakan mineral yang bersifat plastik yang umumnya adalah


hydrous silicate dari alumina, yang terbentuk akibat dekomposisi dari feldspar dan
mineral aluminum silikat yang lain. Mineral clay umumnya insoluble didalam air
namun terdispersi saat terjadi hidrasi. Clay merupakan bentuk gabungan dari
banyak unit layer yang menyatu secara paralel. Mineral clay terbentuk secara
baku berdasarkan struktur ikatan atom-atom yang terkait. Hal ini menghasilkan
dua kelompok utama mineral Clay, yaitu :
1. Three – layer mineral.
2. Two – layer mineral.
Jenis mineral dibagi berdasarkan analisis kimiawinya menjadi :
1. Montmorillonite atau Smectite
2. Illite
3. Kaolinite
4. Chlorite
5. Attapulgite
6. Mixed-layer Clay

1. Montmorillonite atau Smectite


Montmorillonite mempunyai struktur sheet 3 lapis (aluminica octahedral
ditengah dan 2 silica tetrahedral di sisi luar) dan atom-atom oksigen yang
39

berdekatan saling mengikat. Bilamana sebagian atau seluruh unsur Al 3+


digantikan oleh Fe2+ atau Mg2+, dan Si4+ oleh Al3+ maka permukaan partikel-
partikel montmorillonite akan bermuatan negatif. Muatan negatif ini biasanya
diimbangi dengan mengikat (ikatan kimiawi) ion-ion Ca2+ dan atau Mg2+, H+,
K+, Na+. Ikatan (fisik) antar layer (kristal) yang lemah mengakibatkan
kemudahan bagi molekul-molekul air untuk masuk terabsorbsi kedalam celah-
celah antar layer/kristal. Hal ini sebetulnya diakibatkan oleh kecenderungan
kation-kation (Ca2-, Na+ dsb.) untuk terhidrasi (yaitu mengikat molekul-
molekul H2O). Setiap unit-unit struktur / kristal montmorillonite yang
ukurannya sekitar 9 – 12 oA bisa mencapai mengembang dua kalinya pada
kondisi terhidrasi. Derajat hidrogen (swelling affinity) tergantung pada jenis
kationnya dan komposisi airnya.
2. Illite
Illite disebut juga sebagai three-layer clay seperti halnya dengan
montmorillonite karena struktur sheetnya sama (yaitu dua silica tetrahedral
sheet dan satu octahedral sheet). Bedanya adalah bahwa permukaan unit kristal
mengikat kation kalium (K+) dan sifatnya relative tetap. Walaupun K + dapat
menarik molekul-molekul H2O tetapi karena ikatan antara unit-unit kristalnya
kuat maka penyerapan molekul-molekul H2O sangat terbatas dan tidak
menyebabkan pengembangan partikel-partikel illite secara signifikan.
Partikel-partikel illite berbentuk panjang (rambut) dan montmorillonite
berbentuk pipih kecuali yang “stacked” (pelapisan). Ukuran bervariasi, mulai
dari yang lebih kecil dari 1 micron sampai beberapa micron.
3. Kaolinite
Kaolinite disebut juga two-layer clay, yaitu struktur sheetnya terdiri dari
satu tetrahedral sheet dan satu octahedral sheet. Ikatan (hydrogen bounding)
antar kristal/sheet sangat lemah dan penyerapan molekul-molekul H2O sangat
kecil sekali. Karena itu kaolinite tidak swelling pada kondisi dalam formasi.
Pengelompokkan partikel-partikel kaolinite biasanya berbuku-buku. Bentuk
partikelnya lebih teratur (persegi).
4. Chlorite
40

Chlorite termasuk jenis three-layer clay seperti montmorillonite tetapi


octahedral sheetnya mengandung Mg++ (brucite). Kemampuan pertukaran
kation sangat rendah karena ikatan antara octahedral sheet (positive charge)
dan tetrahedral sheet (negative charge) sangat kuat. Karena itu juga maka
partikel-partikel chlorite tidak menyerap air. Bentuk partikel adalah pipih.
5. Attapulgite
Attapulgite mempunyai struktur sheet yang tidak teratur. Unit sheetnya
berkemampuan melakukan pertukaran kation dan menyerap molekul H2O
tetapi dalam jumlah yang terbatas sehingga derajat swellingnya rendah.
Bentuk partikel-partikelnya panjang mirip jarum.
6. Mixed-layer Clay
Mineral ini sesungguhnya kumpulan ikatan sejumlah unit layer dari
beberapa jenis clay. Ikatan antar layer sangat kuat. Mineral ini bukan
campuran partikel-partikel clay yang tidak sejenis. Kalau campuran/kumpulan
beberapa jenis clay mudah dipisah tetapi mixed-layer merupakan jenis mineral
clay tersendiri.
C. Klasifikasi Batuan Shale
Tanah liat dan serpih bisa diklasifikasikan sebagai residu. Tanah liat
residual terbentuk pada suatu tempat dan kenyataanya merupakan tanah atau
produk proses pembentukan tanah. Meskipun beberapa jenis tanah liat
mempunyai kegunaan komersial yang penting, mereka biasanya bertemu pada
strata yang lebih tua, kecuali dan ini jarang sekali sebagai “fossil” tanah pada
permukaan yang tidak sesuai. Tapi karena kebanyakan jenis tanah liat dan serpih
mengandung bahan-bahan asal residu, penting untuk mengetahui seperti apa
bahan-bahan ini untuk menyatakan keberadaan bahan tertentu dan untuk
menginterpretasikan dengan benar signifikansinya.
P h serpih (ditentukan dengan sebuah suspensi aqueous pada bahan)
dipercaya sama dengan air dari lingkungan pengendapan (Shukri, 1942; Millot,
1949). Serpih air tawar dikatakan mempunyai rata-rata pH kira-kira 4.7, dimana
rata-rata pH serpih yang terdeposisi dalam marine, lagoonal (danau pinggir laut)
atau danau deposisi kapur adalah kira-kira 7,8.
41

Gambar 2.5.
Asal Mula Batuan Shale 8)
Istilah lumpur telah pula digambarkan sebagai suatu campuran silt-clay
(Shepard 1954). Oleh karena itu mudstone adalah suatu istilah lebih kepada
claystone untuk serpih atau kelompok argillite. Istilah argillite sendiri memiliki
pengertian tidak pasti, berlakulah istilah bagi suatu batu atau serpih yang telah
mengalami sesuatu yang lebih tinggi tingkat derajat indurasinya dibandingkan
dengan tingkatan awalnya, begitupun karakter antara sifatnya suatu shale dengan
slate. Grout (1932) menggunakan istilah argillite untuk suatu tanah liat atau
serpihan batu yang dikeraskan akibat dari pengkristalan ulang (recrystallization),
dan berlaku istilah slate untuk suatu batu karang (siltstone) serupa jika memiliki
suatu belahan sekunder (secondary cleavage).

Gambar 2.6.
Klasifikasi Hubungan Batuan Shale 8)
Klasifikasi batuan shale dapat digolongkan sebagai berikut :
42

1. Tanah Liat Residual


Tanah residual adalah hasil dari proses pembentukan oleh cuaca yang
terjadi di tempat tersebut (regolith oleh Merrill, saprolith oleh Becker, sthrolith
oleh Sederholm). Karakter pengendapan ini tergantung pada iklim, drainase, dan
bahan batuan induknya. Dalam tanah yang matang (tipe normal atau zonal) iklim
adalah faktor yang lebih penting. Dalam tanah yang belum matang (intrazonal dan
azonal) efek drainase dan alam batu induknya secara sigap dapat dilihat.
Secara umum dalam wilayah lembab bahan-bahan residual diperkaya
dalam aluminium hidroksida dan logam ferric (pedaifers) dan meminimalkan
kapur, magnesia dan alkali. Dibawah kondisi yang paling menguntungkan
walaupun silica dipindahkan, sehingga produk akhir akan mengandung lebih
sedikit daripada alumina dan logam oksida. Bahan-bahan residual ini adalah
laterit. Laterisasi membutuhkan baik curah hujan yang tinggi maupun suhu yang
tinggi pada wilayah tropis. Laterit baik ferrugmous dan bauksitis, dihilangkan
oleh struktur konkresioner, pisolit dan badan besar semacam bantal.

2. Shale yang mengalami proses transportasi dan mudstones.


Tanah liat yang terangkut dan serpih berbeda menurut bentukan mereka
dari tiga sumber. Mereka memiliki bentuk yang beranekaragam (1) produk abrasi
(secara garis besar endapan), (2) produk akhir pengaruh cuaca (tanah liat residual)
dan (3) penambahan zat kimia dan biokimia. Penambahan zat kimia ini salah
satunya adalah bahan endapan dari larutan dan diendapkan secara berkala dengan
pengakumulasian tanah liat, seperti kapur karbonat, atau mereka adalah bahan-
bahan yang ditambahkan oleh reaksi atau perubahan dengan medium yang
mengitarinya (secara normal air laut) seperti potassium atau magnesium.
Beberapa variasi sub-kelas serpih tergantung pada rata-rata kepentingan
relatif beberapa sumber yang mempunyai kontribus. Jenis dan proporsi asal
endapan secara mekanis tergantung pada relief dan iklim daerah asal. Jika bahan-
43

bahan bersumber mekanis tiada atau jarang, batuan lumpur diperkaya dengan
bahan-bahan residual, dan dibawah kondisi tertentu mereka diperkaya dengan
presipitasi kimiawi seperti calcite, aragonite, siderite, chamosite, silica dan dalam
beberapa kasus bahan-bahan organis. Serpih dan batu yang berhubungan oleh
karena itu berjarak membentang dalam komposisi dan menunjukkan respon-
respon terhadap alam tektonik dan geomorfis dari akumulasi dasar, sebagaimana
arenit yang berhubungan dalam keluarga yang sama.
3. Hybrid shales dan Mudstones.
Pada kondisi stabilitas kekerasan yang besar dan relief yang rendah, tanah
asal bahan detrital mencapai minimum.Pada kondisi ini sedimentasi pada lembah
sungai yang berdampingan akan cenderung bersifat kimiawi. Pada kondisi
kekurangan pepeplanasi sempurna suplai klastik terrigenus menjadi kecil. Namun
walaupun kecil hal ini lebih mampu mengapresiasikan, tetapi tingkat
akumulasinya sangat rendah.
Walaupun sedimen yang dihasilkan mungkin menjadi serpih atau batuan
lumpur, ini akan lebih kaya daripada yang biasa dalam bahan-bahan endapan
kimiawi dan biokimia atau dalam bahan vulkanis. Batu hibrida dengan demikian
terbentuk memiliki komposisi kimia yang nyata dengan sesuatu yang mungkin
ditemukan. Secara normal mereka lebih kaya dalam satu konstituen atau lebih
daripada rata-rata serpih. Jika kaya akan kapur mereka adalah serpih calcareous
atau marls, jika kaya logam mereka adalah serpih ferriferous dan batuan lumpur,
jika kaya akan karbon mereka adalah serpih carbonaceous, jika kaya silika
mereka adalah serpih siliceous, dan semacamnya. Batuan hibrida disini dengan
cepat dideskripsikan. Jika komponen kimiawi di deduksi dari batuan, residunya
akan ditemukan lebih atau kurang dari serpih normal.
4. Carbonaceous Shales.
Serpih hitam adalah fosil dan banyak yang terpecah menjadi lembaran
semifleksibel tipis dalam ukuran yang besar. Mereka merupakan kekecualian
untuk bahan yang kaya organik. Mereka juga cenderung kaya akan logam sulfida,
biasanya pyrite, yang mengganti fossil, membentuk nodula, atau berada pada serat
disseminasi. Serpih hitam jarang yang mengandung fossil, atau pada yang terbaik
44

memiliki kejarangan, depauperasi dan fauna terbatas. Kecuali untuk bentuk-


bentuk fosfatis saat ini, organisme diawetkan hanya sebagai selaput grafitis atau
karbonaseus atau sebagai pengganti pyrite. Pengerasan lapisan karbonat atau
nodul, biasanya menunjukkan struktur kerucut dalam kerucut dan nodul septarian
setempat yang berlimpah akan serpih hitam.
5. Serpih Siliceus.
Siliceous shales mempunyai kandungan silikon tinggi yang abnormal.
Dimana rata-rata serpih mempunyai 58 % silikon, serpih siliceus mungkin
mengandung sebanyak 85%. Konstituen lain, secara harfiah logam ferrous dan
karbonat, adalah tiada atau kecil. Penghitungan norma, mengasumsikan mineral
silika dengan ratio silikon tertinggi, menunjukkan paling tidak 70% dari batuan
adalah silika yang tak terkombinasi. Seperti serpih yang bersilika tinggi, yang
mungkin diharapkan adalah keras dan batuan yang tahan lama yang menghalangi
disintegrasi.
6. Serpih Alumina–tinggi
Serpih rata-rata mempunyai kandungan alumina 15,4 persen. Dengan
kandungan endapan lumpur yang abnormal bisa lebih rendah lagi. Tidak seperti
tanah liat residual, beberapa serpih atau batu tulis mengandung lebih dari 20%
alumina. Sebuah serpih atau batu tulis mungkin dikatakan batau yang beralumina
tinggi jika kandungan akan konstituen ini melebihi 22 persen. Mungkin kurang
dari 5% serpih akan mempunyai alumina sebanyak ini atau malah lebih.
7. Tanah Liat Batuan besi, Chamositic, dan batuan lumpur ferriferus yang
lain.
Rata-rata serpih mempunyai kandungan logam oksida 6,47 % (4,02 %
Fe2O3; 2,45% FeO) (Clarke, 1924). Rata-rata batu tulis akhir jaman Precambrian
mengandung 8,92 % logam oksida; rata-rata batu tulis Palezoik mengandung 5,91
% konstituen ini (Nanz, 1953). Dalam batu tulis tidak seperti serpih, ferrous
oksida melebihi ferric oksida. Jelas bahwa sedimen pelitik normal mempunyai
logam oksida 6 – 8 %.

2.1.3. Batuan Metamorf


45

Batuan metamorf adalah batuan yang terjadi karena proses ubahan dari
batuan asal oleh suatu proses metamorfisme. Batuan asal tersebut dapat terdiri
dari batuan beku, batuan sedimen maupun batuan metamorf itu sendiri. Proses
metamorfisme yaitu suatu proses dimana batuan asal mengalami penambahan atau
kenaikan tekanan atau temperatur secara bersama-sama. Metamorfisme terjadi
dalam suatu lingkungan yang sangat berbeda dengan lingkungan dimana batuan
asalnya terbentuk.
Banyak mineral-mineral hanya stabil dalam batas-batas tertentu dalam
temperatur, tekanan, dan kimiawi. Jika batuan tersebut dikenakan temperatur dan
tekanan yang lebih tinggi, maka batas kestabilan mineral dapat dilampaui,
penyesuaian mekanis dan kimiawi dapat terjadi meliputi proses-proses
rekristalisasi, reorientasi batuan dan membentuk mineral-mineral baru dengan
penyusunan kembali elemen-elemen kimia yang sebelumnya sudah ada yang
stabil dalam kondisi baru dalam batas-batas tertentu. Proses ini berlangsung dari
fase padat ke fase padat tanpa tanpa melalui fase cair atau sering disebut sebagai
proses isokimia, dimana komposisi kimia batuan asal tidak berubah, tapi yang
berubah adalah susunan mineraloginya sehingga terbentuk mineral baru.
Batuan metamorf dibagi menurut kondisi tekanan dan temperatur yang
berpengaruh pada proses metamorfis dan luas penyebaran relatifnya menjadi 2
macam yaitu :

1. Metamorfisme lokal.
a. Metamorfisme thermal / lokal, Apabila magma naik ke atas (intrusi) dan
menerobos batuan sampingya maka panasnya akan diserap, selanjutnya
terjadi penurunan panas yang konstan. Pada magma yang mengalir tidak
akan pernah dijumpai proses metamorfisme karena panasnya cepat hilang.
Biasanya hanya terjadi proses oksidasi.
b. Metamorfisme kataklastik / dinamis, Jenis metamorfisme karena sesar,
dimana akibat penggerusan menimbulkan stress yang besar yang mana hal
ini sudah cukup untuk proses metamorfisis. Batuan mengalami
penggerusan, terbentuk fragmen-fragmen angular, kemudian direkrut
kembali oleh material-material disitu yang lebih halus, sehingga terbentuk
46

breksi sesar, terlihat pembentukan mineral baru akibat proses


rekristalisasi.
2. Metamorfisme regional.
a. Metamorfisme dynamo thermal, Apabila kenaikan tekanan dan temperatur,
ditunjukkan adanya gradient geothermal per satuan kedalaman
(celcius/km).
b. Metamorfisme burial, Proses metamorfisme yang terjadi karena
penambahan beban pada suatu geosinklin, penambahan beban tersebut
akan melewati zona diagenesa. Rekristalisasi pada diagenesa terjadi pada
temperatur 100°- 200°C.
Proses metamorfosis dapat menyebabkan beberapa perubahan-perubahan
pada komposisi mineral, tekstur dan struktur batuan aslinya.

2.1.3.1. Tekstur Batuan Metamorf


Tekstur merupakan kenampakan batuan yang berdasarkan pada ukuran,
bentuk dan orientasi butir mineral individual penyusun batuan metamorf.
Penamaan tekstur batuan metamorf umumnya menggunakan awalan blasto, atau
akhiran blastic yang ditambahkan pada istilah dasarnya.
a. Tekstur berdasarkan ketahanan terhadap metamorfosa
Berdasarkan ketahanannya terhadap proses metamorfosa ini tekstur batuan
metamorf dapat dibedakan menjadi :
1. Relict / Palimpset / Sisa
Tekstur batuan metamorf yang masih menunjukkan sisa tekstur batuan
asalnya, atau tekstur batuan asalnya masih tampak pada batuan metamorf
Awalan blasto digunakan untuk penamaan tekstur batuan metamorf ini.
Contohnya adalah blastofirik, yaitu: batuan metamorf yang tekstur
porfiritik batuan beku asalnya masih bisa dikenali atau sering disebut
sebagai batuan metabeku, atau metasedimen.
2. Kristaloblastik
Tekstur kristaloblastik merupakan tekstur batuan metamorf yang
terbentuk akibat proses metamorfosa itu sendiri. Batuan dengan tekstur
47

ini sudah mengalami rekristalisasi sehingga tekstur asalnya tidak tampak.


Penamaannya menggunakan akhiran blastik.
b. Tekstur berdasarkan ukuran butir
1. Fanerik, apabila butiran kristal masih dapat dilihat dengan kasat mata.
2. Afanitik, apabila butiran kristal tidak dapat dilihat dengan kasat mata.
c. Tekstur berdasarkan bentuk individu kristal
Bentuk individu kristal pada batuan metamorf dapat dibedakan menjadi :
a) Euhedral, apabila kristal dibatasi oleh bidang permukaan kristal itu
sendiri
b) Subhedral, apabila kristal dibatasi sebagian oleh bidang permukaannya
sendiri dan sebagian oleh bidang permukaan kristal disekitarnya.
c) Anhedral, apabila kristal dibatasi seluruhnya oleh bidang permukaan
kristal lain disekitarnya.
Pengertian bentuk kristal ini sama dengan yang digunakan pada batuan
beku. Berdasarkan bentuk kristal tersebut maka tekstur batuan metamorf
dapat dibedakan menjadi :
a. Idioblastik, apabila mineralnya didominasi oleh kristal berbentuk euhedral
b. Xenoblastik / hypidioblastik, apabila mineralnya didominasi oleh kristal
berbentuk anhedral.
d. Tekstur berdasarkan bentuk mineral
Berdasarkan bentuk mineralnya tekstur batuan metamorf dapat dibedakan
menjadi :
1. Lepidoblastik, apabila mineral penyusunnya berbentuk tabular.
2. Nematoblastik, apabila mineral penyusunnya berbentuk prismatik.
3. Granoblastik, apabila mineral penyusunnya berbentuk granular,
equidemensional, batas mineralnya bersifat sutured (tidak teratur) dan
umumnya mineralnya berbentuk anhedral.
4. Granuloblastik, apabila mineral penyusunnya berbentuk granular,
equidimensional, batas mineralnya bersifat unsutured (teratur) dan
umumnya kristalnya berbentuk anhedral.
48

2.1.3.2. Struktur Batuan Metamorf


a. Struktur Foliasi
Foliasi adalah sifat berlapis atau berdaun, namun harus dibedakan dari
lapisan sedimen. Di sini terjadi penyusunan kristal-kristal dari mineral secara
pertumbuhan dalam arah panjang dari mineral. Batuan ini ditunjukkan oleh
adanya penjajaran mineral – mineral penyusun batuan metamorf, antara lain :
a) Slaty cleveage
Struktur foliasi ini umumnya ditemukan pada batuan metamorf berbutir
sangat halus (mikrokristalin) yang dicirikan oleh adanya bidang-bidang
planar yang sangat rapat, teratur dan sejajar. Batuannya disebut slate
(batusabak).
b) Phylitic
Struktur ini hampir sama dengan struktur slaty cleveage, tetapi terlihat
rekristalisasi yang lebih kasar dan mulai terlihat pemisahan mineral pipih
dengan mineral granular. Batuannya disebut phyllite (filit).
c) Schistosic
Struktur schistosic terbentuk oleh adanya susunan paralel mineral-mineral
pipih prismatik, atau lentikuler (umumnya mika, atau klorit) yang
berukuran butir sedang sampai kasar. Batuannya disebut schist (sekis).
d) Gneissic / Gneissoe
Struktur gneissic terbentuk oleh adanya perselingan lapisan penjajaran
mineral yang mempunyai bentuk berbeda, umumnya antara mineral-
mineral granuler (misalnya feldspar dan kuarsa) dengan mineral tabular
atau prismatik (misalnya : mineral ferromagnesium). Penjajaran mineral
ini umumnya tidak menerus melainkan terputus-putus. Batuannya disebut
gneis.
b. Struktur Non-Foliasi
Struktur ini terbentuk oleh adanya mineral-mineral equidimensional dan
umumnya terdiri atas butiran-butiran (granular). Struktur non-foliasi yang
umumnya dijumpai antara lain :
a) Hornfelsik / Granulose
49

Struktur hornfelsik terbentuk oleh mozaic mineral-mineral


equidimensional dan equigranular dan umumnya berbentuk poligonal.
Batuannya disebut hornfels (batutanduk).
b) Cataclastic
Struktur ini terbentuk oleh pecahan / fragmen betuan atau mineral
berukuran kasar dan umumnya membentuk kenampakan breksiasi.
Struktur cataklastic ini terjadi akibat metamorfosa kataklastik. Batuannya
disebut cataclasite (kataklasit).
c) Mylonitic
Struktur mylonitic juga dihasilkan oleh adanya penggerusan mekanik pada
metamorfosa kataklatik. Ciri struktur ini adalah mineralnya berbutir halus,
menunjukkan kenampakan goresan-goresan searah dan belum terjadi
rekristalisasi mineral-mineral primer. Batuannya disebut mylonite
(milonit).

d) Phyllonitic
Struktur phyllonitic mempunyai gejala dan kenampakan yang sama
dengan struktur mylonitic, tetapi umumnya telah terjadi rekristalisasi. Ciri
lainnya adalah kenampakan kilap sutera pada batuan yang mempunyai
struktur ini. Batuannya disebut phyllonite (filonit).

2.1.3.3. Komposisi Mineral Batuan Metamorf


Batuan metamorf adalah batuan yang berasal dari batuan sebelumnya,
sehingga ada beberapa mineral dari batuan asalnya terdapat pula dalam batuan
metamorf. Mineral tersebut sebagai berikut :

1. Mineral – mineral yang biasa terdapat dalam batuan metamorf dan batuan
beku, antara lain : kuarsa, feldspar, muskovit, biotit, hornblende, piroksin,
olivine dan bijih besi.
2. Mineral – mineral yang biasa di batuan metamorf dan batuan sedimen :
kuarsa, muskovit, mineral – mineral lempung, kalsit dan dolomite.
50

3. Mineral – mineral petunjuk yang biasanya terdapat dalam batuan metamorf :


garnet, andalusit, kianit, silimanit, staurolit, kordierit, epidot dan klorit.

2.1.3.4. Klasifikasi Batuan Metamorf


Kebanyakan batuan metamorf dikelompokkan atau dinamakan
berdasarkan tekstur dan strukturnya. Selain batuan yang penamaannya
berdasarkan struktur atau tekstur batuan metamorf yang lain antara lain :
a.Amphibolit, yaitu batuan metamorf dengan besar butir sedang sampai kasar
dan mineral utama penyusunnya adalah amfibol (umumnya hornblende) dan
plagioklas. Batuan ini menunjukkan schistosic apabila mineral prismatiknya
terorientasi.
b.Eclogit, yaitu batuan metamorf dengan besar butir sedang sampai kasar dan
mineral penyusunnya utamanya adalah piroksen (diopsid kaya sodium dan
allumunium) dan garnet kaya pyrope.
c.Granulit, yaitu batuan metamorf dengan tekstur granoblastik yang tersusun
oleh mineral utama kuarsa dan feldspar serta sedikit piroksen dan garnet.
Kuarsa dan feldspar yang pipih kadang dapat menunjukkan struktur gneisic.
d.Surpentinit, yaitu batuan metamorf dengan komposisi mineralnya hampir
semuanya berupa mineral kelompok serpentin. Kadang dijumpai mineral
tambahan seperti klorit, talk dan karbonat yang umumnya berwarna hijau.
e.Marmer, yaitu batuan metamorf dengan komposisi mineral karbonat (kalsit
atau dolomit) dan umumnya bertekstur granoblastik.
f. Skarn, yaitu marmer yang tidak murni karena mengandung mineral calcium-
silikat seperti garnet dan epidot. Umumnya terjadi karena perubahan
komposisi batuan di sekitar kontak dengan batuan beku.
g.Kuarsit, yaitu bahan metamorf yang mengandung lebih dari 80% kuarsa.
h.Soapstone, yaitu batuan metamorf dengan komposisi utama talk.
i. Rodingit, yaitu batuan metamorf dengan komposisi calcium – silicat yang
terjadi akibat alterasi metasomatik batuan beku basa di dekat batuan beku
ultrabasa yang mengalami serpentinisasi.
51

2.1.4. Sifat Fisik Batuan


Pada dasarnya semua batuan memiliki karakteristik masing – masing
sesuai komposisinya, antara batuan dan lumpur pemboran terjadi interaksi
langsung. Oleh karena itu dalam identifikasi batuan selanjutnya akan banyak
berhubungan dengan sifat–sifat fisik terutama batuan sedimen, disamping batuan
beku atau metamorf.

2.1.4.1. Porositas
Porositas (  ) didefinisikan sebagai fraksi atau persen dari volume ruang
pori – pori terhadap volume batuan total (bulk volume). Besar–kecilnya porositas
suatu batuan akan menentukan kapasitas penyimpanan fluida reservoir. Secara
matematis porositas dapat dinyatakan sebagai :

Vb  Vs Vp
  ..................................................................................(2-
Vb Vb
1)
Keterangan :
Vb = Volume batuan total (bulk volume)
Vs = Volume padatan batuan total (volume grain)
Vp = Volume ruang pori-pori batuan.
Porositas batuan dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu:
1. Porositas absolut, adalah persen volume pori-pori total terhadap volume
batuan total (bulk volume).
Volume poritotal
  x 100 %...............................................................(2-
bulk volume

2)
2. Porositas effektif, adalah persen volume pori–pori yang saling berhubungan
terhadap volume batuan total (bulk volume).
Volume pori yang berhubungan
  x 100 %.........................................(2-
bulk volume

3)
52

3. Porositas total, adalah penjumlahan dari porositas absolut dengan porositas


effektif.

Gambar 2.7 menunjukkan perbandingan antara porositas effektif, non


effektif dan porositas total dari suatu batuan. Untuk selanjutnya, porositas effektif
digunakan dalam perhitungan karena dianggap sebagai fraksi volume yang
produktif. Disamping itu menurut waktu dan cara terjadinya, maka porositas dapat
juga diklasifikasikan menjadi dua, yaitu :

1. Porositas primer, adalah porositas yang terbentuk pada waktu batuan


sedimen diendapkan.
2. Porositas sekunder, adalah porositas batuan yang terbentuk sesudah batuan
sedimen terendapkan.

Gambar 2.7.
Distribusi Porositas 15)

Tipe batuan sedimen atau reservoir yang mempunyai porositas primer adalah
batuan konglomerat, batupasir dan batugamping. Porositas sekunder dapat
diklasifikasikan menjadi tiga golongan, yaitu:

1. Porositas larutan, adalah ruang pori-pori yang terbentuk karena adanya


proses pelarutan batuan.
2. Rekahan, celah, kekar, yaitu ruang pori yang terbentuk karena adanya
kerusakan struktur batuan sebagai akibat dari variasi beban, seperti :
lipatan, sesar atau patahan. Porositas tipe ini sulit untuk dievaluasi atau
ditentukan secara kuantitatif karena bentuknya yang tidak teratur.
3. Dolomitisasi, dalam proses ini batugamping (CaCO3) ditransformasikan
menjadi dolomit (CaMg(CO3)2) atau menurut reaksi kimia :
2CaCO3 + MgCl3  CaMg ( CO3 )2 + CaCl2
53

Menurut para ahli, batugamping yang terdolomitasi mempunyai porositas


yang lebih besar dari pada batu gampingnya sendiri.

Besar kecilnya porositas dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : ukuran


butir (semakin baik distribusinya, semakin baik porositasnya), susunan butir
dimana susunan butir berbentuk kubus mempunyai porositas lebih baik
dibandingkan bentuk rhombohedral, kompaksi serta faktor sementasi, seperti
terlihat pada Gambar 2.8

Gambar 2.8.
Pengaruh Susunan Butir terhadap Porositas Batuan 2)
2.1.4.2. Permeabilitas
Permeabilitas didefinisikan sebagai suatu bilangan yang menunjukkan
kemampuan dari suatu batuan untuk mengalirkan fluida. Permeabilitas batuan
merupakan fungsi dari tingkat hubungan ruang antar pori-pori dalam batuan
Definisi kuantitatif permeabilitas pertama-tama dikembangkan oleh Henry
Darcy (1856) dalam hubungan empiris dengan bentuk differensial sebagai berikut
k dP
V   ..........................................................................................(2-4)
 dL

Keterangan:
V = kecepatan aliran, cm/sec
 = viskositas fluida yang mengalir, cp
dP / dL = gradien tekanan dalam arah aliran, atm/cm
k = permeabilitas media berpori.
54

Tanda negatif pada Persamaan 2-4. menunjukkan bahwa bila tekanan


bertambah dalam satu arah, maka arah alirannya berlawanan dengan arah
pertambahan tekanan tersebut.
Beberapa anggapan yang digunakan oleh Darcy dalam Persamaan 2-4
adalah :
1. Alirannya mantap (steady state),
2. Fluida yang mengalir satu fasa,
3. Viskositas fluida yang mengalir konstan,
4. Kondisi aliran isothermal,
5. Formasinya homogen dan arah alirannya horizontal,
6. Fluidanya inkompressibel.
Permeabilitas dibedakan menjadi tiga, yaitu :
 Permeabilitas absolut, adalah permeabilitas dimana fluida yang mengalir
melalui media berpori tersebut hanya satu fasa, misal hanya minyak atau gas
saja.
 Permeabilitas effektif, adalah permeabilitas batuan dimana fluida yang
mengalir lebih dari satu fasa, misalnya minyak dan air, air dan gas, gas dan
minyak atau ketiga–tiganya.
 Permeabilitas relatif, adalah perbandingan antara permeabilitas efektif dengan
permeabilitas absolut.
Dasar penentuan permeabilitas batuan adalah hasil percobaan yang
dilakukan oleh Henry Darcy. Dalam percobaan ini Gambar 2.9, Henry Darcy
menggunakan batu pasir tidak kompak yang dialiri air. Batu pasir silindris yang
porus ini 100 % dijenuhi cairan dengan viskositas , dengan luas penampang A,
dan panjanggnya L. Kemudian dengan memberikan tekanan masuk P 1 pada salah
satu ujungnya maka terjadi aliran dengan laju sebesar Q, sedangkan P2 adalah
tekanan keluar. Dari percobaan dapat ditunjukkan bahwa Q .  . L / A . (P1 – P2)
adalah konstan dan akan sama dengan harga permeabilitas batuan yang tidak
tergantung dari cairan, perbedaan tekanan dan dimensi batuan yang digunakan.
55

Gambar 2.9.
Diagram Percobaan Pengukuran Permeabilitas 2)

Dengan mengatur laju Q sedemikian rupa sehingga tidak terjadi aliran


turbulen, maka diperoleh harga permeabilitas absolut batuan.
Q. .L
K  ....................................................................................(2-
A.( P1  P2 )

5)

Satuan permeabilitas dalam percobaan ini adalah :


Q(cm 3 / sec). (centipoise) L(cm)
K (darcy )  ...................................
A( sqcm).( P1  P2 )(atm)

....(2-6)
Dari persamaan 2-6. dapat dikembangkan untuk berbagai kondisi aliran
yaitu aliran linier dan radial, masing-masing untuk fluida yang compresibel dan
inkompresibel.
Pada prakteknya di reservoir, jarang sekali terjadi aliran satu fasa,
kemungkinan terdiri dari dua fasa atau tiga fasa. Untuk itu dikembangkan pula
konsep mengenai permeabilitas efektif dan permeabilitas relatif. Harga
permeabilitas efektif dinyatakan sebagai Ko, Kg dan Kw, dimana masing–masing
untuk minyak, gas dan air. Sedangkan permeabilitas relatif dinyatakan sebagai
berikut :
Ko Kg Kw
K ro  , K rg  , K rw 
K K K
56

Dimana masing-masing untuk permeabilitas relatif minyak, gas dan air.


Percobaan yang dilakukan pada dasarnya untuk sistem satu fasa, hanya disini
digunakan dua macam fluida (minyak-air) yang dialirkan bersama-sama dan
dalam keadaan kesetimbangan. Laju aliran minyak adalah Qo dan air adalah
Qw. Jadi volume total ( Qo + Qw ) akan mengalir melalui pori-pori batuan per
satuan waktu, dengan perbandingan minyak-air permulaan, pada aliran ini tidak
akan sama dengan Qo / Qw. Dari percobaan ini dapat ditentukan harga saturasi
minyak ( So ) dan saturasi air ( Sw ) pada kondisi stabil. Harga permeabilitas
effektif untuk minyak dan air adalah :
Qo . o .L
Ko  ..................................................................................(2-7)
A  ( P1  P2 )

Qw . w .L
Kw  .................................................................................(2-8)
A  ( P1  P2 )

Keterangan :
o = Viskositas minyak, Cp.
w = Viskositas air, Cp.

Gambar 2.10.
57

Kurva Permeabilitas Effektif untuk Sistem Minyak dan Air 2)


Percobaan ini diulangi untuk laju permukaan (input rate) yang berbeda
untuk minyak dan air, dengan ( Qo + Qw ) tetap kontan.

2.1.4.3. Saturasi Fluida


Pada umumnya formasi yang mengandung minyak dipercaya bahwa
dulunya merupakan batuan yang terinvasi oleh air kemudian terjebak di dalamnya.
Selanjutnya hidrokarbon berat dan mature melakukan migrasi dari posisi statis
hingga mencapai kesetimbangan dinamis (dynamic equilibrium) yang menggeser
air di sela-sela bagian teratas dari struktur reservoir. Minyak tidak bisa menggeser
seluruh air yang berada mula-mula di pori-pori batuan reservior. Sehingga batuan
reservoir secara normal terisi oleh kedua fluida tersebut, hidrokarbon dan air
(sering kali disebut connate water) pada ruang pori-pori yang sama atau
berdekatan. Untuk menentukan kuantitas akumulasi hidrokarbon dalam pori
batuan reservoir, diperlukan juga saturasi fluida (gas, minyak dan air) dari
material batuan tersebut.
Saturasi fluida batuan didefinisikan sebagai perbandingan antara volume
pori total batuan yang ditempati oleh suatu fluida tertentu dengan volume pori
total pada batuan tersebut.
Saturasi minyak (So) adalah:
volume pori  pori yang diisi olehoil …………………………….
So 
volume pori  poritotal

(2-9)
Saturasi air (Sw) adalah:
volume pori  pori yang diisi air
Sw  ……………………………….(2-
volume pori  poritotal

10)
Saturasi gas (Sg) adalah:
volume pori  pori yang diisioleh gas
Sg  ………….………………(2-
volume pori  poritotal

11)
Jika pori-pori batuan diisi oleh gas-minyak-air maka berlaku hubungan:
58

Sg + So + Sw = 1………………………………………….………...…(2-12)
Jika diisi oleh minyak dan air saja maka :
So + Sw = 1……………………………………………………………(2-13)
Terdapat tiga pengertian yang penting mengenai saturasi fluida, pengertian –
pengertian yang dimaksud adalah sebagai berikut:
o Saturasi fluida akan bervariasi dari satu tempat ke tempat lain dalam reservoir,
saturasi air cenderung untuk lebih besar dalam bagian batuan yang kurang
porous, karena air lebih berat dari minyak dan minyak lebih berat dari gas,
sehingga akan cenderung terjadi gravity segregation dari ketiga fluida
tersebut.
o Saturasi fluida akan bervariasi dengan kumulatif produksi minyak. Jika
minyak diproduksikan maka tempatnya di reservoir akan digantikan oleh air
dan atau gas bebas, sehingga pada reservoir apabila yang diproduksikan
minyak maka saturasi fluida berubah secara kontinyu.
o Saturasi minyak dan saturasi gas sering dinyatakan dalam istilah pori-pori
yang diisi oleh hidrokarbon. Jika volume contoh batuan adalah V, ruang pori-
porinya adalah V, maka ruang pori – pori yang diisi oleh hidrokarbon adalah:
So..V + Sg..V = (1-Sw)..V………….…………...………...………(2-14)
2.1.4.4. Kompresibilitas Batuan
Menurut Geerstma (1957) terdapat tiga konsep kompresibilitas batuan,
antara lain :
1. Kompresibilitas matriks batuan, yaitu fraksi perubahan volume material
padatan (grains) terhadap satuan perubahan tekanan.
2. Kompresibilitas bulk batuan, yaitu fraksi perubahan volume bulk batuan
terhadap satuan perubahan tekanan.
3. Kompresibilitas pori–pori batuan, yaitu fraksi perubahan volume pori–pori
batuan terhadap satuan perubahan tekanan.
Batuan yang berada pada kedalaman tertentu akan mengalami dua macam
tekanan, antara lain :
 Tekanan hidrostatik fluida yang terkandung dalam pori–pori batuan.
59

 Tekanan luar (external stress) yang disebabkan oleh berat batuan yang ada
diatasnya (overburden pressure).
Pengosongan fluida dari ruang pori-pori batuan reservoir akan
mengakibatkan perubahan tekanan dalam pada batuan, sehingga resultan tekanan
pada batuan akan mengalami perubahan pula. Adanya perubahan tekanan ini akan
mengakibatkan perubahan pada butir-butir batuan, pori-pori dan volume total
(bulk) batuan reservoir.
Untuk padatan (grains) akan mengalami perubahan yang serupa apabila
mendapat tekanan hidrostatik fluida yang dikandungnya.
Perubahan bentuk volume bulk batuan dapat dinyatakan sebagai
kompressibilitas Cr atau :
1 dVr
Cr  . .......................................................................................(2-
Vr dP

15)
Sedangkan perubahan bentuk volume pori-pori batuan dapat dinyatakan
sebagai kompressibilitas Cp atau :
1 dV p
Cp  . ......................................................................................(2-
V p dP *

16)
Keterangan :
Vr = Volume padatan batuan (grains).
Vp = Volume pori-pori batuan.
P = Tekanan hidrostatik fluida di dalam batuan.
P* = Tekanan luar (tekanan overburden).

2.1.4.5. Wettabilitas
Apabila dua fluida bersinggungan dengan benda padat, maka salah satu
fluida akan bersifat membasahi permukaan benda padat tersebut, hal ini
disebabkan adanya gaya adhesi. Gambar 2.11 memperlihatkan sistem air minyak
yang kontak dengan benda padat, dengan sudut kontak sebesar o(derajat). Sudut
kontak diukur antara fluida yang lebih ringan terhadap fluida yang lebih berat,
60

yang berharga 0o-180o, yaitu antara air dengan padatan, sehingga tegangan adhesi
(AT ) dapat dinyatakan dengan persamaan :
AT = so – sw = wo x cos wo ..........................................................(2-17)

Keterangan :
so = Tegangan permukaan minyak–benda padat, dyne/cm.
sw = Tegangan permukaan air–benda padat, dyne/cm.
wo = Tegangan permukaan minyak–air, dyne/cm.
wo = Sudut kontak minyak–air.
Suatu cairan dikatakan membasahi zat padat jika tegangan adhesinya
positip (  < 90o ), yang berarti batuan bersifat water wet. Sedangkan bila air tidak
membasahi zat padat maka tegangan adhesinya negatip (  > 90o ), berarti batuan
bersifat oil wet.

Gambar 2.11.
Kesetimbangan Gaya Pada Permukaan Kontak
Air-Minyak-Padatan 2)
Pada umumnya reservoir bersifat water wet, sehingga air cenderung untuk
melekat pada permukaan batuan sedangkan minyak akan terletak diantara fasa air.
Jadi minyak tidak mempunyai gaya tarik–menarik dengan batuan dan akan lebih
mudah mengalir. Distribusi cairan dalam sistem pori–pori batuan tergantung pada
kebasahan. Distribusi pendular ring adalah keadaan dimana fasa yang membasahi
tidak kontinyu dan fasa yang tidak membasahi ada dalam kontak dengan beberapa
permukaan butiran batuan. Sedangkan distribusi funiculair ring adalah keadaan
dimana fasa yang membasahi kontinyu dan secara mutlak terdapat pada
permukaan butiran.
61

2.1.4.6. Tekanan Kapiler


Tekanan kapiler ( Pc ) didefinisikan sebagai perbedaan tekanan yang ada
antara permukaan dua fluida yang tidak tercampur (cairan-cairan atau cairan-gas)
sebagai akibat dari terjadinya pertemuan permukaan yang memisahkan mereka.
Besar tekanan kapiler ini dipengaruhi oleh adanya tegangan permukaan, sudut
kontak antara minyak-air-zat padat dan jari- jari lengkungan pori. Besarnya sudut
kontak yang terjadi berkisar antara 00 – 1800, dengan demikian dikenal dua sistem
kebasahan, yaitu :
a. Water wet (basah air)
Merupakan permukaan air yang menyebar, dimana dalam penyebarannya
air mempunyai kemampuan untuk membasahi batuan (benda padat), dengan sudut
kontak yang terjadi kurang dari 900.
b. Oil wet (basah minyak)
Merupakan permukaan minyak yang menyebar dlam penyebarannya
minyak mempunyai kemampuan untuk membasahi batuan (benda padat) dengan
sudut kontak yang terjadi lebih besar dari pada 900 dan lebih kecil dari 1800.
Perbedaan tekanan dua fluida ini adalah perbedaan tekanan antara fluida
“non–wetting phase” ( Pnw ) dengan fluida “Wetting phase” ( Pw ) atau :
Pc = Pnw  Pw .......................................................................................(2-
18)
Tekanan permukaan fluida yang lebih rendah terjadi pada sisi pertemuan
permukaan fluida immiscible yang cembung. Di reservoir biasanya air sebagai
fasa yang membasahi (wetting phase), sedangkan minyak dan gas sebagai non–
wetting fasa atau tidak membasahi. Berdasarkan pada Gambar 2.12, terlihat
bahwa sebuah pipa kapiler dalam suatu bejana dengan air naik ke atas di dalam
pipa akibat gaya adhesi antara air dan dinding pipa yang arah resultannya ke atas.
Tekanan kapiler dalam batuan berpori tergantung pada ukuran pori–pori
dan macam fluidanya. Secara kuantitatif dapat dinyatakan dalam hubungan
sebagai berikut :
2    cos 
Pc      g  h ................................................................(2-19)
r
62

Keterangan :
Pc = Tekanan kapiler.
 = Tegangan permukaan antara dua fluida.
cos  = Sudut kontak permukaan antara dua fluida.
r = Jari-jari lengkung pori-pori.
 = Perbedaan densitas dua fluida.
g = Percepatan gravitasi.
h = Tinggi kolom.

Gambar 2.12.
Fluida Wetting dan Non-Wetting dalam Tabung Kapiler 2)

Dari Persamaan 2-19 dapat dilihat bahwa tekanan kapiler berhubungan


dengan ketinggian di atas permukaan air bebas (oil–water contact), sehingga data
tekanan kapiler dapat dinyatakan menjadi plot antara h banding saturasi air ( Sw ).
Perubahan ukuran pori-pori dan densitas fluida akan mempengaruhi bentuk kurva
tekanan kapiler dan ketebalan zona transisi.
Dari Persamaan 2-19 ditunjukkan bahwa h akan bertambah jika
perbedaan densitas () fluida berkurang, sementara faktor lainnya tetap. Hal ini
berarti bahwa reservoir gas yang terdapat kontak gas-air, dimana perbedaan
densitas fluidanya bertambah besar sehingga akan mempunyai zona transisi
minimum. Demikian juga untuk reservoir minyak yang mempunyai API gravity
rendah maka kontak minyak–air akan mempunyai zona transisi yang panjang.
63

Ukuran pori–pori batuan reservoir sering dihubungkan dengan besaran


permeabilitas yang besar akan mempunyai tekanan kapiler yang rendah dan
ketebalan zona transisinya lebih tipis dari pada reservoir dengan permeabilitas
yang rendah.

2.1.4.7. Densitas Batuan


Densitas batuan atau satuan berat batuan adalah spesific weight yang
dinyatakan dalam pound per cubic feet atau kilo Newton per cubic meter. Spesific
gravity suatu padatan (G) adalah perbandingan densitas padatan dengan densitas
gram-force kN MN
air, yang diperkirakan mendekati 1 / cm 3 (9.8 / m 3 atau 0.01 / m 3 ).
Densitas dibedakan menjadi dua, yaitu :
» Natural density (bobot isi asli).
» Dry density (bobot isi kering).
Masing-masing dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut :

Wn
Bobot isi asli  Pnet  =
Ww  Ws  ………………………………………..(2-
20)

Bobot isi kering  Pdry  =


Wo
Ww  Ws  …………...………. .……………...…(2-
21)

Ws
Bobot isi jenuh  Psat  = …….……….....……………..
Ww  Ws 
………..(2-22)

Keterangan:

Wn = Berat contoh asli (natural).


Wo = Berat contoh kering (sesudah dimasukkan ke dalam oven selama 24
jam dengan temperatur ± 90 C).
Ww = Berat contoh jenuh (sesudah dijenuhkan dengan air selama 24 jam).
Ws = Berat contoh jenuh dalam air.
64

Pengaruh densitas batuan terhadap lumpur pemboran adalah pada saat


pengangkatan cutting (serbuk bor) kepermukaan, dimana densitas cutting
mempengaruhi hidrolika dari lumpur bor. Jika lumpur sukar mengangkat cutting
kepermukaan, maka pembersihan dasar lubang bor (hole cleaning) tidak maksimal
dan laju pemboran (ROP) juga akan mengalami penurunan. Pada pemboran di
zona tekanan normal, densitas batuan keseluruhan yang akan dibor akan
meningkat disebabkan oleh adanya kompaksi batuan atau karena adanya
penurunan porositas batuan. Densitas dari lumpur tersebut terlihat cenderung
meningkat searah dengan pertambahan kedalaman Densitas kering dari berbagai
jenis batuan dapat dilihat pada Tabel II.15.

Tabel II.15.
Densitas Beberapa Jenis Batuan dalam Kondisi Kering 8)
Rock Dry Dry Dry
 g / cm 3
 kN / m 
3
lb / ft 
2

Nepheline Syenite 2.7 26.5 169


Syenite 2.6 25.5 162
Granite 2.65 26.0 165
65

Diorite 2.85 27.9 178


Gabro 3.0 29.4 187
Gypsum 2.3 22.5 144
Rock salt 2.1 20.6 131
Coal 0.7-2.0
(density varies with the ash content)
Oil shale 1.6-2.7
(density varies with the kerogen content,
and therefore with the oil yield in gallons per ton)
30 gal/ton rock 2.13 21.0 133
Dense limestone 2.7 20.9 168
Marble 2.75 27.0 172
Shale, Oklahomab

1000 ft depth 2.25 22.1 140

3000 ft depth 2.52 24.7 157

5000 ft depth 2.62 25.7 163

Quartz, mica schist 2.82 27.6 176


Amphibolite 2.99 29.3 187
Rhyolite 2.37 23.2 148
Basalt 2.77 27.1 173
a. Data from Clark(1966), Davis and De Weist(1966), and other sources.

b. This is the Pennsylvanian age shale listed in Table 2.1.

2.1.5. Sifat Mekanik Batuan


Sifat mekanik batuan merupakan faktor yang harus diperhitungkan dimana
akan selalu muncul ketika proses pemboran berlangsung. Hal ini berkaitan secara
langsung dengan kemampuan batuan sebagai obyek pemboran terutama
berpengaruh sekali pada sifat fisik batuan, sehingga bukan hanya kondisi mula
dan kondisi stabil statisnya saja tetapi juga kondisi selama proses pemboran dan
efek terhadap program pemboran selanjutnya.
Dalam hal ini kesinambungan kemampuan batuan (continually of rock
capability) dalam menanggung tenaga-tenaga yang terjadi pada pemboran
menjadi suatu harga parameter yang harus dijaga, sehingga dengan
memperhatikan kemampuan maksimum batuan dalam menerima beban maka
akan diperoleh screening condition batuan yang dapat dijadikan panduan dalam
perencanaan pemboran sehingga dengan begitu kelangsungan pemboran bisa terus
66

dikerjakan tanpa menimbulkan kerusakan batuan akibat kesalahan atau tidak


diperhitungkannya sifat mekanik batuan yang dibor.

2.1.5.1. Compresive Strength


Compresive strength yaitu kemampuan batuan untuk menahan
compressive stress maksimum sebelum batuan tersebut dapat hancur. Pada
umumnya, laju pemboran secara bervariasi merupakan kebalikan dari sifat
mekanik compressive strength batuan. Perhitungan Compressive Strength dapat
ditentukan oleh persamaan di bawah ini oleh Harold. L. Overton :

    CfΔ P  
Sc  Sc mak 1   e  ...............................................................(2-23)
  i  
Keterangan :
Scmak = Kekuatan batuan maksimum, psi
cf = Kompresibilitas batuan, fungsi dari komposisi batuan, psi-1
 = Porositas batuan, fungsi dari waktu dan komposisi, dari data log %.
i = Porositas awal pada saat pengendapan, fungsi dari jenis batuan, %.
P = Pf – tekanan fluida (Pi) di dalam pori batuan (Pf - Pi), psi.

Secara umum, masalah penghancuran batuan dapat disebabkan oleh dua


hal, yaitu:
a. Stress (tegangan) yang merupakan pengaruh luar batuan yang
menyebabkan pecahnya batuan.
b. Strain (regangan) yang merupakan ukuran dapat diubahnya bentuk
maupun volume batuan akibat adanya stress dan merupakan pengaruh dari
dalam batuan.
Tabel II.16.
Compressive Strength dengan Scmak, Cf, dan  f
untuk Beberapa Batuan Sedimen 5)
Jenis Scmak, psi Cf, psi-1 f , %
Batuan
67

Sandstone 150.000 6 x 10-5 40


Shale 50.000 4 x 10-5 40
Limestone 60.000 3 x 10-5 20

Tegangan dan regangan terjadi apabila ada suatu gaya yang dikenakan
pada batuan tersebut. Terdapat empat jenis kerusakan batuan yang umum, yaitu :

1. Flexure failure, Flexure failure terjadi karena adanya beban pada potongan
batuan akibat gaya berat yang ditanggungnya, karena adanya ruang pori
formasi di bawahnya.
2. Shear failure, kerusakan yang terjadi akibat geseran pada suatu bidang
perlapisan karena adanya suatu ruang pori pada formasi dibawahnya.
3. Crushing dan tensile failure, Crushing atau compression failure
merupakan kerusakan batuan yang terjadi akibat gerusan suatu benda atau
tekanan sehingga membentuk suatu bidang retakan.
4. Direct tension failure, Sedangkan direct tension, kerusakan terjadi searah
dengan bidang geser dari suatu perlapisan.

2.1.5.2. Elasticity
Elastisitas formasi sangat dipengaruhi oleh tekanan dimana batuan berada,
dapat ditunjukan pada batuan shale, karena semakin sukar diukur pada kedalaman
yang semakin bertambah. Adanya lumpur diatas formasi dengan tekanannya
mempersulit pemboran karena dengan tekanan ini maka strength batuan akan
bertambah. Elastisitas batuan menurut Onyia dijabarkan sebagai:

9 KpV2
E
3 K  V s
…………...………………………………………….(2-24)
2 2
K = V s - 4/3V s ………………………………………….……………………..(2-25)
2
G = V s ……………………………………………………………...(2-26)
2 2 2 2
V = ½ (V c /V s )2 / (V c /V s )1 ..……….……………………...….......(2-27)
Keterangan :
68

E = Modulus young.
K = Bulk modulus.
G = Rigidity modulus.
Vc = Compression velocity, ft/sec.
Vs = Shear velocity, ft/sec.
 = Bulk density, gr/cc.
v = Poisson’s Ratio.

2.1.5.3. Drillability
Drillability batuan merupakan ukuran kemudahan batuan untuk dibor,
yang besarnya dinyatakan dalam satuan besarnya volume batuan yang dibor pada
setiap unit energi yang diberikan pada batuan tersebut. Drillabilitas batuan dapat
ditentukan dari data pemboran (drilling record).
Drillabilitas batuan dapat dirumuskan melalui persamaan-persamaan
berikut ini dengan anggapan bahwa energi mekanik yang dibutuhkan pahat dalam
satu menit adalah:

E = W x 2r x N ………………………………………………......... (2-28)

Serta volume batuan yang dipindahkan dengan persamaan:

V = (r)2 x R …………………………………………….…………. (2-29)

Keterangan:
E = Energi mekanik yang dibutuhkan, lb-in

W = Weight on bit, lbf

r = Jari-jari pahat, in

R = Laju pemboran, ft/hr

N = Kecepatan putar, rpm

V = Volume batuan yang dihasilkan, in3


69

Secara umum persamaan drillabilitas tersebut dinyatakan dengan satuan


in3/lb-in, yang diperlihatkan sebagai berikut:

V
 ……………........…………………….………………........…(2-30)
E

(r 2 ) xR
 ………………………………………………............ (2-
Wx 2rxN
31)

Dalam penerapannya, penentuan drillabilitas tersebut menggunakan data


ukuran pahat yang digunakan, sehingga dari Persamaan 2-31 dapat diubah
menjadi:

4
D 2 xR
 4 ……………………………………………………...…(2-
WxDxN
32)

1
RD 2
 4 ………………………………………………………......(2-33)
WDN

keterangan :

R = Laju penembusan batuan, ft/hr

D = Diameter pahat, in

W = Beratan pada pahat, lb

N = Putaran pada pahat, rpm

Pada umumnya drillability akan berkurang dengan semakin bertambahnya


kedalaman, dimana dengan bertambahnya kedalaman, lapisan (batuan) akan
semakin kompak sehingga lebih sukar untuk dibor.

2.1.5.4. Hardness
Hardness adalah ketahanan mineral terhadap goresan. Mineral yang
mempunyai kekerasan yang lebih kecil akan mempunyai bekas goresan pada
70

tubuh mineral tersebut. Untuk menentukan ketahanan ini digunakan skala


kekerasan Mohs yang memiliki 10 pembagian skala, dimulai dari skala 1 untuk
mineral yang terlunak dan skala 10 untuk mineral terkeras. Berikut ini urutan
skala kekerasan Mohs.

1. Talc; 2. Gypsum; 3. Calsite; 4. Fluorite; 5. Apatite; 6. Orthoclase; 7. Quartz;

8. Topaz; 9. Corundum dan 10. Diamond.

Berdasarkan skala Mohs tersebut, kekerasan dapat dibagi menjadi 3


kelompok yaitu :
1. Batuan lunak (Soft) : shale, clay, salt, soft limestone (unconsolidated)
memiliki skala kekerasan relatif lebih kecil dari 4.
2. Batuan sedang (Medium) : medium limestone, unconsolidated dan shally
sand, salt, anhydrite memiliki skala kekerasan relatif antara 4 – 7.
3. Batuan keras (Hard) : dolomite, hard limestone (consolidated), chert,
quartzite memiliki skala kekerasan relatif lebih besar dari 7.

2.1.5.5. Abrasiveness
Abrasiveness formasi merupakan sifat menggores dan mengikis dari
batuan, sehingga sering menyebabkan keausan pada gigi pahat dan diameter
pahat. Setiap batuan mempunyai sifat abrasivitas yang berbeda-beda, pada
umumnya batuan beku mempunyai tingkat abrasivitas sedang sampai tinggi, batu
pasir lebih abrasif daripada shale, serta limestone lebih abrasif dari batu pasir
ataupun shale.

Ukuran dan bentuk dari partikel batuan menyebabkan berbagai tipe


keausan, seperti juga torsi dan daya tekan pada pahat.

Abrasiveness dapat dinyatakan dengan persamaan :

Tf  i
Af  .......................................................................................(2-34)
m

Keterangan :

Tf = Waktu pemboran, jam.


71

m = 1359,1 – 714,19 log Wek

Wek = Ekuivalen beban pada mata bor, lb.

i = Pengaruh RPM terhadap laju keausan gigi mata bor.

2.2. Karakteristik Fluida Reservoir


Fluida reservoir yang terdapat dalam ruang pori-pori batuan reservoir pada
tekanan dan temperatur tertentu, secara alamiah merupakan campuran yang sangat
kompleks dalam susunan atau komposisi kimianya. Sifat-sifat dari fluida
hidrokarbon perlu dipelajari untuk memperkirakan cadangan akumulasi
hidrokarbon, menentukan laju aliran minyak atau gas dari reservoir menuju dasar
sumur, mengontrol gerakan fluida dalam reservoir dan lain-lain.
Fluida reservoir minyak dapat berupa hidrokarbon dan air (air formasi).
Hidrokarbon terbentuk di alam, dapat berupa gas, zat cair ataupun zat padat.
Sedangkan air formasi merupakan air yang dijumpai bersama-sama dengan
endapan minyak.

2.2.1. Komposisi Kimia Fluida Reservoir


Fluida reservoir terdiri dari hidrokarbon, non hidrokarbon, dan air formasi.
Pada Tabel II.17. dapat dilihat komposisi dari fluida reservoir. Dalam
pembahasannya akan dibicarakan mengenai sifat-sifat kimia dan fisika ketiga
jenis fluida reservoir tersebut.

Tabel II.17.
Komposisi Fluida Reservoir 16)
72

2.2.1.1. Komposisi Kimia Hidrokarbon


Hidrokarbon adalah senyawa yang terdiri dari atom karbon dan hidrogen.
Senyawa karbon dan hidrogen mempunyai banyak variasi yang terdiri dari
hidrokarbon rantai terbuka, yang meliputi hidrokarbon jenuh dan tak jenuh serta
hidrokarbon rantai tertutup, meliputi hidrokarbon cyclic aliphatic / naftena dan
hidrokarbon aromatic. Keluarga hidrokarbon dikenal sebagai seri homolog.
Anggota dari seri homolog ini mempunyai struktur kimia dan sifat-sifat fisiknya
yang dapat diketahui dari hubungan dengan anggota deret lain yang sifat fisiknya
sudah diketahui. Sedangkan pembagian tingkat dari seri homolog tersebut
didasarkan pada jumlah atom karbon pada struktur kimianya.
A. Golongan Hidrokarbon Jenuh
Seri homolog dari hidrokarbon ini mempunyai rumus umum CnH2n+2 dan
mempunyai ciri dimana atom-atom karbon diatur menurut rantai terbuka dan
masing-masing atom dihubungkan oleh ikatan tunggal, dimana tiap-tiap valensi
dari satu atom C berhubungan dengan atom C disebelahnya. Sehingga batas
kejenuhan dengan atom-atom hidrogen telah tercapai.
73

Tabel II.18.
Alkana (CnH2n+2) 15)
No. Nama
Karbon, n
1 Methane
2 Ethane
3 Propane
4 Butane
5 Pentane
6 Hexane
7 Heptane
8 Octane
9 Nonane
10 Decane
20 Eicosane
30 Triacontane

Seri homolog hidrokarbon ini biasanya dikenal dengan nama alkana


(Inggris : alkene) dimana penamaan anggota seri homolog ini disesuaikan dengan
jumlah atom karbon dalam sebutan Yunani dan diakhiri dengan akhiran “ana”
(Inggris : “ane”). Senyawa dari golongan ini (alkana) disebut juga sebagai
hidrokarbon golongan paraffin. Tabel II.18. menunjukkan contoh-contoh nama-
nama anggota alkana sesuai dengan jumlah atom karbonnya.
Pada alkana dikenal juga istilah “rumus bangun” dalam hal ini
memberikan gambaran tentang bangun (struktur) dari molekulnya. Berikut ini
diberikan contoh rumus bangun dari metana dan etana.
H H H
H - C - H H -C-C- H
H H H
Metana Etana
Rumus-rumus bangun diatas bukanlah merupakan bentuk yang
sesungguhnya yang menunjukkan keadaan struktur sebenarnya dari molekul-
molekul tersebut. Keempat valensi dari atom karbon sebenarnya diarahkan ke
sudut-sudut dari bidang empat teratur (regular tetrahedron). Akibatnya atom-atom
hidrogen tidak terletak dalam satu bidang dan atom karbon tersusun menurut
rantai yang lurus. Rumus bangun hanya memperlihatkan kenyataan bahwa
sejumlah atom karbon tertentu digabung bersama oleh ikatan tunggal untuk
74

membentuk suatu rantai terbuka dan sisa valensi lainnya membentuk ikatan-ikatan
dengan hidrogen.
Didalam senyawa hidrokarbon sering dijumpai membentuk molekul yang
berlainan susunannya, tetapi rumus kimianya sama, atau dengan kata lain rumus
kimia sama tetapi struktur molekulnya berbeda. Hal semacam ini dikenal dengan
nama “isomeri”. Masing-masing senyawa hidrokarbon yang mempunyai sifat
isomeri disebut isomer, dan pada isomer hidrokarbon ini biasanya menunjukkan
adanya sifat-sifat fisika dan kimia berlainan. Sebagai contoh misalnya butana
yang mempunyai rumus kimia C4H10, tetapi struktur molekulnya dapat disusun
sebagai CH3CH2CH2CH3 yang disebut normal butana (n-butana) dan sebagai
CH3CHCH3 yang disebut isobutana.
Alkana dengan rantai bercabang memperlihatkan gradasi sifat-sifat fisik
yang berlainan dengan n-alkana, dimana untuk rantai bercabang memperlihatkan
sifat-sifat fisik yang kurang beraturan. Perubahan dalam struktur menyebabkan
perubahan didalam gaya antar molekul (inter molekuler force) yang menghasilkan
perbedaan pada titik lebur dan titik didih diantara isomer-isomer alkana.

Tabel II.19.
Sifat – sifat Fisik n-Alkana 18)

N Name Boiling Melting Specific


o Point Point Gravity
o o
F F 60o/60 oF
1 Methane -258.7 -296.6
2 Ethane -127.5 -297.9
3 Propane -43.7 -305.8 0.508
4 Butane 31.1 -217.0 0.584
75

5 Pentane 96.9 -201.5 0.631


6 Hexane 155.7 -139.6 0.664
7 Heptane 209.2 -131.1 0.688
8 Octane 258.2 -70.2 0.707
9 Nonane 303.4 -64.3 0.722
10 Decane 345.5 -21.4 0.734
11 Undecane 384.6 -15 0.740
12 Dodecane 421.3 14 0.749
15 Pentadeca 519.1 50 0.769
ne
20 Eicosane 648.9 99
30 Triacontan 835.5 151
e

Seri n-alkana yang diberikan pada Tabel II.19. memperlihatkan gradasi


sifat-sifat fisik yang tidak begitu tajam. Pada golongan seri alkana atau parafin
atau golongan hidrokarbon jenuh ini mempunyai sifat kimia dan fisika yang khas.
Parafin mempunyai sifat kelembaman kimia, yang mana sifat ini menyebabkan
parafin dapat bertahan di dalam hidrokarbon, karena untuk bertahan selama
berabad-abad di dalam hidrokarbon tersebut maka setiap senyawa akan
membutuhkan kestabilan yang tinggi. Parafin yang berada di dalam ruangan yang
mengandung udara atau oksigen, bila dinyalakan akan terbakar dengan
memberikan sejumlah kalor yang besar dan dalam keadaan pembakaran yang
sempurna maka pengeluaran panas yang disertai ledakan dapat terjadi. Reaksi
parafin dengan oksigen hanya dapat terjadi pada suhu tinggi (elevated
temperature). Dalam keadaan standard (60o F; 14,7 psia) seri parafin dapat berada
dalam keadaan gas, cair, atau padat tergantung jumlah atom C dalam satu
molekulnya. Untuk empat jumlah nomor atom yang pertama , C 1 – C4 berbentuk
gas, kemudian C5 – C17 berbentuk cair dan untuk C18 keatas berupa benda padat
yang tak berwarna. Sifat-sifat alkana yang lain diantaranya adalah titik didih dan
titik cair akan makin tinggi pada bobot molekul yang juga makin besar, suku-suku
yang berbentuk gas tidak berbau dan semua alkana pada umumnya larut dalam air
76

B. Golongan Hidrokarbon Tak Jenuh


Hidrokarbon ada yang mempunyai ikatan rangkap dua ataupun rangkap
tiga (triple), yang digunakan untuk mengikat dua atom C yang berdekatan. Oleh
karena itu, valensi yang semula tersedia untuk mengikat atom hidrokarbon telah
digunakan untuk mengikat atom C yang berdekatan, dengan cara ikatan rangkap
dua atau rangkap tiga yang mengikat dua atom C, maka hidrokarbon seperti ini
disebut hidrokarbon tak jenuh atau disebut juga sebagai keluarga alkena (Inggris :
alkene) dengan rumus umum CnH2n.
Dalam keadaan yang menguntungkan, hidrokarbon tak jenuh dapat
menjadi jenuh dengan penambahan atom-atom hidrokarbon pada rantai ikatan
tersebut.
Secara garis besar, sifat-sifat fisik alkena sama seperti sifat-sifat fisik
alkana, sebagai bahan perbandingan sifat-sifat fisik alkena, dapat dilihat pada
Tabel II.20. Sebagaimana pada alkana, maka untuk alkena terjadi juga
peningkatan titik didih dengan bertambahnya kandungan atom karbon, dimana
peningkatannya mendekati 20 - 30 oC untuk setiap penambahan atom karbon.
Secara kimiawi, karena alkena merupakan ikatan rangkap, maka alkena
lebih reaktif bila dibandingkan dengan alkana. Senyawa hidrokarbon tak jenuh
yang telah dijelaskan diatas hanya mempunyai satu ikatan rangkap yang lebih
dikenal dengan deretan olefin, tetapi ada juga diantara senyawa-senyawa
hidrokarbon yang mengandung dua atau lebih ikatan ganda (double bond), seperti
alkadiena, alkatriena, serta alkatetraena.

Tabel II.20.
Sifat-sifat Fisik Alkena 18)
Name Formula Boiling Melting Specific
Point, Point, Gravity,
o o
F F 60o/60 oF
CH2 =CH2 -154.6 -272.5
Ethylene
Propylene CH2=CHCH3 -53.9 -301.4
1-butene CH2=CH CH2CH3 20.7 -301.6 0.601
1-pentene CH2=CH(CH2)2CH3 86 -265.4 0.646
77

1-hexene CH2=CH(CH2)3CH3 146 -216 0.675


1-heptene CH2=CH(CH2)4CH3 199 -182 0.698
1-octene CH2=CH(CH2)5CH3 252 -155 0.716
1-nonene CH2=CH(CH2)6CH3 295 0.731
1-decene CH2=CH(CH2)7CH3 340 0.743

Selain ikatan ganda, senyawa hidrokarbon tak jenuh ada juga yang
mempunyai ikatan rangkap tiga (triple bond) yang dikenal sebagai deretan
asetilen. Rumus umum deretan asetilen adalah CnH2n-2, dimana dalam tiap molekul
terdapat ikatan rangkap tiga yang mengikat dua atom karbon yang berdekatan.
Pemberian nama untuk deret ini sama dengan untuk deret alkena dengan memberi
akhiran “una” (Inggris : “yne”).
Sifat-sifat fisik deret asetilen ini hampir sama dengan alkana dan alkena,
sedang sifat-sifat kimianya hampir sama dengan alkena, dimana keduanya lebih
reaktif dari alkana.Yang termasuk dalam hidrokarbon tak jenuh ini adalah seri
olefin, seri diolefin, dan seri asetilen.
a. Seri Olefin
Seri atau deretan olefin memiliki rumus umum CnH2n. Di dalam
hidrokarbon tak jenuh seri ini mempunyai ciri khusus yaitu di dalam
molekulnya terdapat satu ikatan rangkap dua. Sebagai contoh sebagai
berikut :
- Propilena : CH2 CH CH3
- Butilena : CH2 CH CH2 CH3
Golongan ini memiliki jumlah atom lebih sedikit daripada golongan
parafin. Tetapi tata cara penamaannnya sama dengan seri alkana hanya
akhiran “ana” diganti dengan “ena”.
b. Seri Diolefin
Seri atau deretan diolefin memiliki rumus umum C nH2n-2. Karakteristiknya
adalah dalam setiap molekul terdapat dua ikatan rangkap. Penamaannya
dengan menggunakan akhiran “adiena” dan letak kedua ikatan rangkapnya
dinyatakan dengan dua nomor yang diletakkan setelah nama dasar, sebagai
contoh sebagai berikut :
78

- Butadiena-1,3 : CH2 CH CH CH2


- Butadiena-1,2 : CH2 C CH CH3
c. Seri Asetilen
Seri atau deretan asetilen memiliki rumus umum seperti pada seri diolefin
CnH2n-2. Sifat dari seri ini bahwa setiap molekul terdapat ikatan rangkap
tiga dimana mngikat dua atom C yang berdekatan. Penamaannya dengan
akhiran “una”. Sebagai contoh : Etuna (asetilen) : CH  CH
Sifat fisika dan kimia dari hidrokarbon tak jenuh adalah, karena adanya
ikatan rangkap dua yang mana menyebabkan lebih mudah diikat oleh unsur kimia
lain maka golongan ini lebih reaktif dibandingkan dengan golongan hidrokarbon
jenuh. Karena sifatnya yang sangat reaktif maka golongan ini sangat jarang atau
hampir tidak pernah terdapat dalam minyak mentah yang terbentuk di alam, tetapi
ikatan ini terbentuk dalam jumlah besar pada proses peretakan (cracking) dari
crude oil dan sangat berguna dalam industri.
a. Golongan Naftena
Senyawa golongan ini disebut juga sikloparafin dan merupakan senyawa
hidrokarbon siklis. Contoh struktur sikloparafin terdapat pada Gambar 2.13.
Biasanya beberapa seri sikloparafin terdiri dari 5 sampai 6 anggota lingkaran atau
kombinasinya dalam struktur polisiklis. Kadar sikloparafin di dalam minyak bumi
di seluruh dunia bervariasi antara 30 – 60 % sehingga sikloparafin merupakan
penyusun utama minyak bumi.

Gambar 2.13.
Seri Naftena sebagai Seri Homolog Hidrokarbon Utama dalam Minyak Bumi 15)
79

Dasar utama dalam variasi struktur naften ialah jumlah lingkaran yang
dapat bergabung menjadi suatu jaringan. Misalnya, mono-naften dan naften
bisiklis merupakan bagian utama dalam minyak bumi. Dalam fraksi titik didih
yang lebih tinggi lagi struktur ini dapat terdiri dari sepuluh lingkaran atau sepuluh
cincin dalam satu molekul. Diantara susunan naftena yang monosiklis, terutama
kisaran C1 – C11 paling banyak didapatkan.
b. Golongan Aromatik
Aromat adalah suatu hidrokarbon siklis berstruktur khas cincin aromat.
Pada deret ini hanya terdiri dari benzena dan senyawa-senyawa hidrokarbon
lainnya yang mengandung benzena. Rumus umum dari golongan ini adalah
CnH2n-6, dimana cincin benzena merupakan bentuk segi enam dengan tiga ikatan
tunggal dan tiga ikatan rangkap dua secara berselang-seling.
Adanya tiga ikatan rangkap pada cincin benzena seolah-olah memberi
petunjuk bahwa golongan ini sangat reaktif. Tetapi pada kenyataannya tidaklah
demikian, walaupun golongan ini tidak sestabil golongan parafin. Jadi deretan
benzena tidak menunjukkan sifat reaktif yang tinggi seperti olefin. Secara
sederhana dapat dikatakan bahwa sifat benzena ini pertengahan antara golongan
parafin dan olefin. Ikatan-ikatan dari deret hidrokarbon aromatik terdapat dalam
minyak mentah yang merupakan sumber utamanya.
Pada suatu suhu dan tekanan standard, hidrokarbon aromatik ini dapat
berada dalam bentuk cairan atau padatan. Benzena merupakan zat cair yang tidak
berwarna dan mendidih pada temperatur 176 oF. Nama hidrokarbon aromatik
diberikan karena anggota deret ini banyak yang memberikan bau harum.

2.2.1.2. Komposisi Kimia Non Hidrokarbon


A. Senyawa Belerang
Senyawa belerang biasanya terdapat dalam jumlah lebih banyak di dalam
fraksi molekular yang lebih tinggi. Kadarnya dapat mencapai 5 % dan oleh
karenanya ada minyak bumi yang mengandung 30 - 40 % senyawa belerang,
disamping yang terdapat dalam resin dan aspalten. Senyawa-senyawa belerang
yang banyak dijumpai dalam minyak dan gas bumi adalah senyawa H2S,
80

mercaptan dan alkyl sulfide, Tiofin, sulfon, asam sulfonat, sulfoksil dan lain
sebagainya. Struktur molekul senyawa belerang dapat dilihat lebih jelas pada
Gambar 2.14

Gambar 2.14.
Struktur molekul Senyawa Belerang 15)
H2S merupakan gas tak berwarna yang memiliki titik didih -59,6 oC. H2S
ini berbau tidak enak dan tidak sedap. H2S ini merupakan gas beracun, dan dengan
adanya H2S dalam industri perminyakan merugikan, karena menimbulkan
kerusakan pada peralatan refinery, atau menyebabkan karat pada peralatan
produksi permukaan serta peralatan industrialisasi proses refinery. H 2S diserap
atau dipisahkan dari gas alam dengan ethanolamines. Gas alam yang mengandung
konsentrasi belerang disebut sour gas sedangkan yang tidak mengandung belerang
disebut sweet gas.
B. Senyawa Nitrogen
Senyawa nitrogen terdapat dalam minyak bumi terutama dalam residu atau
molekul berat dan sebagian terdapat dalam benzen dan aspalten. Kadar senyawa-
senyawa nitrogen dalam fluida reservoir bervariasi antara 0,01 % - 0,02 % berat
dan kadang-kadang bisa mencapai 0,65 %, misalnya dari lapangan minyak
Willmington, California, yang senyawa nitrogennya bisa melebihi 10 %. Senyawa
nitrogen yang terdapat dalam proses distilasi terutama ialah homolog piridin
dalam jangkauan C6 , C10 , quinolin dalam jangkauan C10 – C17 , dan turunan yang
berhidrogen, dan juga senyawa carbozol, indol dan pyrol. Asal nitrogen ini adalah
biogenik, misalnya dari protein dan pigmen. Fermentasi (peragian) protein
menghasilkan asam dan juga senyawa nitrogen yang mengandung cincin pyrol.
Semakin tinggi konsentrasi senyawa nitrogen maka akan memperbesar titik didih
81

fluida reservoir. Struktur molekul senyawa nitrogen dapat dilihat lebih jelas pada
Gambar 2.15.

Gambar 2.15.
Struktur molekul Senyawa Nitrogen 15)
Senyawa-senyawa nitrogen yang ada dalam fluida reservoir antara lain
NO2, Piridin (C5H5N), Qinolin (C9H9N), Pirol (C4H4N), Indol (C6H6NHC2H2), dan
Karbosol (C12H6NH).
C. Senyawa Oksigen
Minyak bumi dapat juga mempunyai senyawa oksida sampai 2 % dalam
bentuk asam fenol. Ini biasanya dalam residu atau derivat tinggi. Beberapa jumlah
kecil fenol didapatkan dalam kerosin dan minyak solar. Minyak bumi dari formasi
paling muda biasanya mengandung asam yang paling tinggi. Asal asam ini tidak
begitu banyak diketahui. Ada yang berpendapat berasal dari hasil oksidasi
hidrokarbon, atau merupakan sebagian dari gugusan asam yang ada sebelumnya,
sebelum bergenerasi menjadi minyak. Kadar oksigen dalam minyak bumi
bervariasi antara 1 % - 2 % berat. Oksidasi minyak bumi dengan oksigen karena
kontak lama dengan udara dapat menaikkan konsentrasi dalam minyak bumi.
Senyawa ini dalam reservoir banyak terdapat sebagai senyawa asam organik yang
terdistribusi kedalam fasa khususnya fasa gas. Asam organik ini utamanya
terdapat sebagai asam naftena dan asam alifatik. Struktur molekul senyawa
oksigen dapat dilihat lebih jelas pada Gambar 2.16.
82

Gambar 2.16.
Struktur molekul Senyawa Oksigen 15)

D. Senyawa Karbondioksida
Kadar karbondioksida lebih besar daripada senyawa nitrogen, yaitu sekitar
2 %. Senyawa karbondioksida sebagai senyawa impuritis yang harus dihindari
karena sifatnya sangat korosif yang mana karbondioksida bentuknya dalam
carbonic acid dan terdapat unsur air didalamnya. Dengan adanya senyawa
karbondioksida dalam industri perminyakan merugikan, karena menimbulkan
korosi pada peralatan produksi permukaan serta kerusakan pada peralatan
industrialisasi proses refinery.

2.2.1.3. Komposisi Kimia Air Formasi


Air formasi atau disebut “connate water” atau “interstitial water”adalah air
yang terproduksi bersama-sama dengan minyak dari suatu reservoir. Elemen-
elemen di dalam senyawa air formasi adalah merupakan kesetimbangan ion-ion
positif dan negatif. Ion-ion tersebut akan bergabung dengan satu atau lebih ion-ion
elemen lain dan akan membentuk garam-garam. Kemudian bila dibandingkan
dengan air laut, umumnya air formasi mengandung konsentrasi padatan yang
lebih besar walaupun diketahui pula kandungan padatan total dari air formasi
berkisar dari 200 ppm – 300000 ppm, sedangkan air laut mengandung kira-kira
35000 ppm padatan total.
Air formasi mempunyai komposisi kimia yang berbeda-beda antara
reservoir yang satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu analisa kimia pada air
formasi perlu sekali dilakukan untuk menentukan jenis dan sifat-sifatnya.
Dibandingkan dengan air laut, maka air formasi ini rata-rata memiliki kadar
garam yang lebih tinggi. Sehingga studi mengenai ion-ion air formasi dan sifat-
sifat fisiknya ini menjadi penting artinya karena kedua hal tersebut sangat
83

berhubungan dengan terjadinya plugging (penyumbatan) pada formasi dan korosi


pada peralatan di bawah dan di atas permukaan.
Air formasi tersebut terdiri dari bahan-bahan mineral, misalnya kombinasi
metal-metal alkali dan alkali tanah, belerang, oksida besi, dan aluminium serta
bahan-bahan organis seperti asam nafta dan asam gemuk. Sedangkan komposisi
ion-ion penyusun air formasi seperti terlihat pada Tabel 2.13. terdiri dari kation-
kation Ca, Mg, Fe, Ba, dan anion-anion chlorida, CO3, HCO3, dan SO4.
Air formasi mempunyai kation-kation dan anion-anion dengan jumlah
tertentu yang biasanya dinyatakan dalam satuan part per million (ppm) seperti
yang ditunjukkan pada Tabel II.21. Kation-kation air formasi antara lain adalah :
Calcium (Ca++), Magnesium (Mg++), Natrium (Na+), Ferrum (Fe+), dan Barium
(Ba++). Sedangkan yang termasuk anion-anion air formasi adalah Chloride (Cl -),
Carbonate (CO3) dan Bicarbonate (HCO3), serta Sulfat (SO4).
Tabel II.21.
Komposisi Kimia Air Formasi 18)

Connate Water
From well # 23
Stover Faria,
McKean Country, Pa. Sea Water
Composition Ion Parts per million Parts per million
Ca++ 13,260 420
Mg++ 1,940 1,300
Na+ 31,950 10,710
K+ 650 ………….
SO4- 730 2,700
Cl 77,340 19,410
Br- 320 ………….
I- 10 ………….

Total
126,200 34,540

A. Jenis Kandungan Ion


84

Ion-ion penyusun air formasi terdiri dari ion-ion positif (kation) dan ion-
ion negatif (anion) yang membentuk garam.
 Kation
Kation-kation yang terkandung dalam air formasi dapat dikelompokkan
sebagai berikut :
- Alkali : K+, Na+, dan Li+ yang membentuk basa kuat.
- Metal alkali tanah : Br++, Mg++, Ca++, Sr++, Ba++, dan Ra yang
membentuk basa lemah
- Ion Hidrogen
- Metal berat : Fe++, Mn++, membentuk basa yang berdissosiasi.
Calcium (Ca) merupakan penyusun terbesar pada air formasi yaitu
mencapai 30000 mg/lt. Bila bertemu dengan ion karbonat atau sulfat akan
bereaksi dan membentuk scale yang tersuspensi dalam air formasi. Begitu
juga dengan Magnesium (Mg) akan membentuk scale bila bertemu dengan
ion karbonat tetapi konsentrasi ion Mg dalam air formasi lebih kecil
daripada ion Calcium.
 Anion
Anion-anion yang terkandung dalam air formasi adalah sebagai berikut :
- Asam kuat : Cl-, SO4=, NO3-
- Asam lemah : CO3=, HCO3-, S-
Chlorida (Cl) merupakan anion terbanyak dalam air formasi, sumber
terbesarnya NaCl. Konsentrasi ion Chlorida sebagai pengukur tingkat
keasaman air formasi. Sedangkan anion Carbonate (CO3) dan Bicarbonate
(HCO3) dapat membentuk scale
Ion-ion tersebut diatas (kation dan anion) akan bergabung berdasarkan
empat sifat, yaitu :
- Salinitas primer, yaitu bila alkali bereaksi dengan asam kuat, misalnya NaCl
dan Na2SO4
- Salinitas sekunder, yaitu bila alkali tanah bereaksi dengan asam kuat, misalnya
CaCl2, MgCl2, CaSO4, MgSO4
85

- Alkalinitas primer, yaitu bila alkali bereaksi dengan asam lemah, misalnya
Na2CO3 dan Na(HCO3)2
- Alkalinitas sekunder, yaitu bila alkali tanah bereaksi dengan asam lemah,
misalnya CaCO3, MgCO3, Ca(HCO3)2 dan Mg(HCO3)2
B. Jumlah Kandungan Ion
Konsentrasi padatan yang terdapat di dalam air formasi dinyatakan dalam
beberapa cara yang berbeda. Diantaranya adalah parts per million, milligram per
liter dan persen padatan. Umumnya satuan part per million dan milligram per liter
dapat digunakan secara bertukaran. Kedua satuan ini identik bila dianggap bahwa
density air formasi adalah satu. Anggapan ini tidak tepat benar tetapi biasanya
memenuhi kelayakan untuk perhitungan engineering.
Satuan persen padatan dapat diperoleh dengan pembagian per million
dengan 10000. Satuan lain yang kadang-kadang digunakan adalah milli
equivalents per liter. Part per million dapat dikonversikan kedalam milli
equivalent per liter bila dibagi dengan berat equivalentnya. Untuk reaksi ionisasi,
berat equivalent diperoleh dengan membagi berat atom ion dengan valensinya.

2.2.2. Sifat Fisik Fluida Reservoir


Beberapa sifat fisik fluida reservoir yang perlu diketahui adalah : berat
jenis, viskositas, faktor volume formasi, dan kompressibilitas.

2.2.2.1. Sifat Fisik Gas


A. Viskositas Gas
Viskositas adalah suatu ukuran tahanan fluida terhadap aliran.Viskositas
gas tergantung pada tekanan, temperatur, dan komposisi dari gas tersebut. Dimana
dengan bertambahnya berat molekul dari gas maka akan menyebabkan
berkurangnya harga viskositas. Viskositas gas akan naik dengan bertambahnya
suhu, dalam hal ini tabiat gas akan berlainan dengan cairan, untuk gas sempurna
viskositasnya tidak tergantung dari tekanan. Gas sempurna berubah menjadi gas
tidak sempurna bila tekanannya dinaikkan dan tabiatnya mendekati tabiat zat cair.
Ada 2 jenis viskositas, yaitu :
86

 Viskositas Dinamik, µ adalah perbandingan antara tegangan geser


terhadap gradien kecepatan dengan satuan poise atau centipoise.
 Viskositas Kinematik, v adalah perbandingan antara viskositas dinamik
terhadap kerapatan dengan satuan stoke atau centistoke.
Dalam perhitungan-perhitungan reservoir maupun produksi umumnya
digunakan viskositas dinamik. Salah satu cara untuk menentukan viskositas gas
yaitu dengan korelasi grafis (Carr et al), dimana cara ini untuk menentukan
viskositas gas campuran pada sembarang tekanan maupun suhu dengan
memperhatikan adanya gas-gas ikutan, seperti H2S, CO2, dan N2. Adanya gas-gas
non-hidrokarbon tersebut akan memperbesar viskositas gas campuran. Gambar
2.17. menunjukkan viskositas gas pada tekanan atmosphire.

Gambar 2.17.
Viscositas Gas pada Tekanan Atmosphire 1)
87

B. Densitas Gas
Densitas didefinisikan sebagai perbandingan antara rapatan gas tersebut
dengan rapatan suatu gas standart. Kedua rapatan diukur pada tekanan dan
temperatur yang sama. Biasanya yang digunakan sebagai gas standart adalah
udara kering massa tiap satuan volume dan dalam hal ini massa dapat diganti oleh
berat gas, m. Secara sistematis densitas gas dapat dirumuskan sebagai berikut :
g
BJ gas = u ,..................................... ........................................... (2-35)

Keterangan :
ρg = rapatan gas, gr/cm3
ρu = rapatan udara, gr/cm3
Definisi dari rapatan gas ρg = MP/RT, dimana M adalah berat molekul gas,
P adalah tekanan, R adalah konstanta dan T adalah temperatur, sehingga bila gas
dan udara dianggap sebagai gas ideal, maka BJ gas dapat dituliskan dengan
persamaan sebagai berikut :

Mg .P
R.T  Mg
BJ gas = ……..........................................................(2-
Mu.P 28,97
R.T
36)
Apabila gas merupakan gas campuran, maka berat jenis gas dapat dihitung
dengan menggunakan persamaan berikut :
( BMtampak ) gas
BJ gas = ...............................................................(2-
28,97

37)

C. Faktor volume Formasi Gas


Faktor volume formasi gas adalah perbandingan volume dari sejumlah gas
pada kondisi reservoir dengan kondisi standard (60 oF, 14,7 psia) dapat dituliskan:
88

Z .n.R.T
Vres P
Bg  = Zsc.n.R.T …………………………………...…………(2-
Vsc
Psc
38)
Sehingga dari persamaan diatas faktor volume formasi gas menjadi :
Z .T .Psc
Bg = ………………………………………………….….(2-
Zsc.Tsc .P
39)
dimana :
Z = Faktor kompressibilitas gas pada kondisi reservoir
Zsc = Faktor kompressibilitas gas pada kondisi standart
T = Suhu reservoir, oR
P = Tekanan reservoir, psia
Tsc = Suhu standart = 60 oF = 520 oR
Psc = Tekanan standart = 14,7 psia
Persamaan (2.39) dapat dituliskan sebagai berikut :
Z .T .(14,7) Z .T  cuft 
Bg   0,0282   ……………………………….(2-
(1).(520).P P  scf 
40)
atau
Z .T  res .bbl 
Bg  0,00504   …………………………………..…….
P   scf


(2-41)

D. Kompressibilitas Gas
Kompressibilitas gas didefinisikan sebagai perubahan volume gas yang
disebabkan oleh adanya perubahan tekanan yang mempengaruhinya.
Kompresibilitas gas dapat dinyatakan dengan persamaan :
1  dV 
Cg     , ..................................................................................(2-42)
v  dP 

Dalam pembahasan mengenai kompressibilitas gas terdapat dua


kemungkinan penyelesaian, yaitu :
89

a. Kompressibilitas gas ideal


Persamaan gas ideal adalah sebagai berikut :
n.R.T
PV = nRT atau V =
P
 dV  nRT
    2 ………………………………………………………(2-43)
 dP  P
Kombinasi antara persamaan (2.42) dan persamaan (2.43) sebagai berikut:
 1  nRT  1
Cg      2   ………………………………..………….(2-44)
 V  P  P
b. Kompressibilitas gas nyata
Pada gas nyata, faktor kompressibilitas diperhitungkan. Persamaannya
adalah sebagai berikut :
Z
V  nRT ………………………………………………………......(2-45)
P
Bila dianggap konstan, penurunan persamaan tersebut menghasilkan
persamaan sebagai berikut :
dZ
P Z
 dV  dP
   nRT
 dP  P2

 1  dV 
Cg     
 V  dP 
P nRT  dZ 
Cg   2 
P Z
nRTZ P  dP 
1 1 dZ
Cg  
P Z dP
Cara lain untuk menentukan kompressibilitas gas adalah dengan
menggunakan hukum keadaan berhubungan, yaitu :
C pr
Cg  ……………………………………………………………(2-46)
Ppc

keterangan :
Cpr = pseudo-reduced compressibility
Ppc = pseudo-critical pressure, psia
E. Faktor Deviasi Gas
90

Penyelesaian masalah aliran gas, baik di reservoir, tubing, dan pipa


produksi membutuhkan hubungan yang menerangkan tekanan, volume, dan
temperatur. Untuk gas yang ideal hubungan tersebut dinyatakan oleh persamaan
keadaan :
P V = n R T……………………………………………………(2-47)
keterangan :
P = tekanan, psia
V = volume, scf
n = jumlah mol, lb-mol
T = temperatur, oR
R = konstanta gas = 10.73 , cuft/lb-mol
Gas yang bersifat sebagai gas nyata / real gas tidak memenuhi persamaan
(2.47), tetapi memberi penyimpangan sebesar z (faktor deviasi), sehingga
persamaan (2.47), menjadi :
P V = n z R T……………………………………………………(2-48)
91

Gambar 2.18.
Faktor Kompressibilitas untuk Natural Gas 1)

Penentuan harga z dari suatu gas alam dapat dilakukan melalui pengukuran
langsung, menggunakan korelasi Standing dan Katz, dan menggunakan “equation
of state”
Dengan diketahuinya harga Ppc dan Tpc, maka harga Pr dan Tr dapat
dihitung. Untuk menentukan harga z (deviation faktor), Katz dan Standing telah
membuat korelasi berupa grafik : z = f (Pr,Tr) dapat dilihat pada Gambar 2.18.
Grafik tersebut memberikan hasil yang memuaskan bila gas tidak mengandung
CO2 dan H2S. Untuk gas yang mengandung kedua unsur tersebut perlu dilakukan
korelasi untuk harga Ppc dan Tpc dahulu sebelum menghitung Pr dan Tr.

2.2.2.2. Sifat Fisik Minyak


A. Viskositas Minyak
Viskositas minyak adalah suatu ukuran tentang besarnya keengganan
minyak untuk mengalir. Viskositas minyak dipengaruhi oleh beberapa faktor
sebagai berikut :
 Temperatur, viskositas akan turun seiring dengan naiknya temperatur
 Tekanan, pada tekanan dibawah Pb (bubble point) maka viskositas turun
dengan naiknya tekanan tetapi tekanan diatas Pb (bubble point) maka
viskositas akan naik seiring dengan naiknya tekanan.
 Jumlah gas terlarut, viskositas akan turun dengan semakin banyaknya gas
didalam cairan.
Viskositas dinyatakan dengan persamaan :
92

F
  A ….……………………………………………………………(2-49)
dv
dy

keterangan :
 = viskositas, gr/(cm.sec)
F = shear stress, dyne
A = luas bidang paralel terhadap aliran, cm2
dv
dy
=

gradient kecepatan, cm/(sec.cm).


Hubungan antara viskositas minyak (o) terhadap P dan T dapat dilihat
pada Gambar 2.19.
Bila tekanan mula-mula diatas tekanan gelembung, maka penurunan
tekanan akan menyebabkan viskositas minyak berkurang karena pengembangan
volume minyak, berarti gas yang terkandung di dalam minyak cukup besar.
Kemudian bila tekanan diturunkan sampai tekanan gelembung maka penurunan
tekanan di bawah tekanan gelembung (Pb) akan menaikkan viskositas minyaknya,
karena pada keadaan ini mulai dibebaskan sejumlah gas dari larutan minyak.

Gambar 2.19.
Pengaruh Viskositas Minyak terhadap berbagai Tekanan 16)
93

B. Densitas Minyak
Densitas Minyak sering dinyatakan dalam Spesific Gravity. Densitas
minyak adalah perbandingan antara berat fluida terhadap volume. Hubungan
antara Densitas Minyak dengan Spesific Gravity didasarkan pada berat jenis air,
dengan persamaan yang dapat dituliskan sebagai berikut :

o
SG minyak = ..............................................................................(2-
w
50)

keterangan :
o = densitas minyak, gr/cm3
w = densitas air, gr/cm3
Didalam dunia perminyakan, Spesific Gravity minyak sering dinyatakan
dalam satuan 0API. Hubungan antara SG minyak dengan 0API dapat dirumuskan
sebagai berikut :

141,5
0
API =  131,5 ,.......................................................................(2-
SG
51)

Harga-harga untuk beberapa jenis minyak :


 Minyak ringan (light crude) ,  30 oAPI
 Minyak sedang , berkisar antara 20 – 30 oAPI
 Minyak berat , berkisar antara 10 – 20 oAPI

C. Kelarutan Gas dalam Minyak


Kelarutan gas (Rs) adalah banyaknya volume gas yang terbebaskan (pada
kondisi standart) dari suatu minyak mentah di dalam reservoir, yang di permukaan
volumenya sebesar satu stock tank barrel ditunjukkan pada Gambar 2.20.
Faktor-faktor yang mempengaruhi Rs adalah :
94

 Tekanan, pada suhu tetap, kelarutan gas dalam sejumlah zat cair tertentu
berbanding lurus dengan tekanan .
 Komposisi minyak dalam gas, kelarutan gas dalam minyak semakin besar
dengan menurunnya specific gravity minyak.
 Temperatur, Rs akan berkurang dengan naiknya temperatur.

Rumus empiris yang digunakan untuk mencari harga Rs telah


dikemukakan oleh Standing, persamaannya adalah sebagai berikut :
1, 2048
 P  
Rs   g   1,4 10 0, 0125 API 0, 000091 T  460   ……………………….……
 18,2  
(2-52)
keterangan :
T = temperatur, oF
P = tekanan sistem, psia

Gambar 2.20.
Kelarutan Gas (Rs) sebagai Fungsi Tekanan 18)
D. Faktor Volume Formasi Minyak
Faktor volume formasi minyak adalah volume dalam barrel pada kondisi
reservoir yang ditempati oleh stock tank barrel minyak termasuk gas yang terlarut.
95

Atau dengan kata lain adalah perbandingan antara volume minyak termasuk gas
yang terlarut pada kondisi reservoir dengan volume minyak pada kondisi standart
(14,7 psia, 60 oF), dengan satuan bbl/stb.
Perubahan faktor volume formasi minyak terhadap tekanan untuk minyak
mentah jenuh ditunjukkan oleh Gambar 2.21. Tekanan reservoir awal adalah Pi
dan harga awal faktor volume formasi minyak adalah Boi. Dengan turunnya
tekanan reservoir dibawah tekanan bubble point (Pb), maka gas akan keluar serta
harga Bo turun.
Standing melakukan perhitungan Bo secara empiris adalah sebagai berikut :

Volume . min yak  gas.terlarut. pada.tekanan.dan.temperatur.reservoir


Bo 
Volume . min yak. pada.tekanan.dan.temperatur.stock . tan k

Bo = 0,972 + 0,000147.F1,175 …………………………………….…(2-53)


g
F  R s .    125
. T ………………………………………………...(2-
o

54)
keterangan :
Rs = kelarutan gas dalam minyak, scf/stb
o = specific gravity minyak, lb/cuft
g = specific gravity gas, lb/cuft
T = temperatur, oF.
96

Gambar 2.21.
Grafik Hubungan Harga Bo terhadap Tekanan 11)
Harga Bo dipengaruhi oleh tekanan, dimana :
 Tekanan dibawah Pb (P < Pb), Bo akan turun akibat sebagian gas terbebaskan.
 Tekanan diantara Pi dan Pb (Pb< P < Pi), Bo akan naik sebagai akibat terjadinya
pengembangan gas.
Sedangkan untuk proses pembebasan gas tedapat dua proses, yaitu :
 Differential Liberation
Merupakan proses pembebasan gas dimana gas yang terlarut dibebaskan
secara kontinyu. Didalam proses ini penurunan tekanan sistem disertai
mengalirnya sebagian fluida meninggalkan sistem. Minyak hanya berada
dalam kesetimbangan dengan gas yang dibebaskan pada tekanan tertentu
saja dan tidak dengan gas yang meninggalkan sistem. Jadi selama proses
ini berlangsung komposisi total sistem akan terus berubah.

 Flash Liberation
Merupakan proses pembebasan gas dimana tekanan dikurangi dalam
jumlah tertentu dan setelah kesetimbangan dicapai, gas baru dibebaskan.
Harga Bo yang diperoleh dari kedua proses diatas akan berbeda sesuai
dengan keadaan reservoir selama proses produksi berlangsung. Harga Bo pada
proses flash liberation lebih kecil dibandingkan dengan proses differential
liberation.
Proses produksi minyak dari reservoir sampai ke permukaan dapat
dianggap mendekati proses flash liberation, karena pembebasan gas yang terjadi
dalam tubing dan peralatan-peralatan di permukaan mendekati sistem flash
liberation.
E. Kompressibilitas Minyak
97

Kompressibilitas minyak didefinisikan sebagai perubahan volume minyak


akibat adanya perubahan tekanan, secara matematis dapat dituliskan sebagai
berikut:
1  dV 
Co     …….……………………………………………….(2-55)
V  dP 

Kompressibilitas minyak dibagi menjadi dua berdasarkan kondisi kejenuhannya,


yaitu :
a. Kompressibilitas minyak tak jenuh (undersaturated oil )
Besarnya harga kompressibilitas minyak tak jenuh ini tergantung dari
berat jenis, tekanan, dan temperatur. Dapat dinyatakan dengan persamaan
sebagai berikut :
C pr
Co  …………………………………………………………….(2-
Ppc

56)
keterangan :
Co = kompressibilitas minyak, psi-1
Cpr = pseudo reduced compressibility
Ppc = pseudo critical pressure, psi

Untuk menentukan harga Cpr dilakukan dengan menggunakan grafik pada


Gambar 2.22. Sebelumnya menentukan harga Tpr dan Ppr dahulu, yaitu :
T
T pr  …………………………………………………………….(2-
T pc

57)
P
Ppr  …………………………………………………………………
Ppc

……...(2.42)
keterangan :
P = tekanan waktu pengukuran, psia
Ppc = tekanan kritik semu, psia
98

T = temperatur waktu pengukuran, oF


Tpc = temperatur kritik semu, oF

b. Kompressibilitas minyak jenuh (saturated oil)


Harga kompressibilitas minyak jenuh umumnya lebih besar dibandingkan
harga kompressibilitas minyak tak jenuh. Penentuan harga
kompressibilitas ini dengan persamaan sebagai berikut :
1 dRs  dBo 
Co   Bg   …………………………………………...(2-58)
Bo dP  dRs 

Gambar 2.22.
Grafik Hubungan Cpr vs Ppr dan Tpr untuk Minyak 11)

2.2.2.3. Sifat Fisik Air Formasi


A. Viskositas Air Formasi
Viskositas air formasi (w) akan meningkat terhadap turunnya temperatur
dan terhadap kenaikan tekanan seperti terlihat pada gambar 2.23. yang merupakan
hubungan antara kekentalan air formasi terhadap tekanan dan temperatur.
99

Gambar 2.23.
Viskositas Air Formasi sebagai Fungsi Temperatur 11)
Manfaat dengan diketahuinya viskositas air formasi adalah untuk mengetahui
perilaku kekentalan air formasi pada kondisi reservoir terutama untuk mengontrol
gerakan air formasi di dalam reservoir.
B. Densitas Air Formasi
Densitas air formasi (brine) pada kondisi standart yang merupakan fungsi
total padatan. Densitas air formasi (w) pada reservoir dapat ditentukan dengan
membagi w pada kondisi standart dengan faktor volume formasi (B w) dan
perhitungan itu dapat dilakukan bila air formasi jenuh terhadap gas alam pada
kondisi reservoir. Faktor yang sangat mempengaruhi densitas air formasi adalah
kadar garam dan temperatur reservoir.
Persamaan densitas air formasi dapat dituliskan sebagai berikut :
 w.st
 w.res  …………………………………………………………(2-
Bw

59)
keterangan :
 w.res = densitas air formasi pada kondisi reservoir, lb/cuft
 w. s tan dart = densitas air formasi pada kondisi standart, lb/cuft

Bw = faktor volume air formasi (brine water), bbl/STB


C. Faktor Volume Formasi Air Formasi
Faktor volume formasi air formasi (B w) menunjukkan perubahan volume
air formasi dari kondisi reservoir ke kondisi permukaan. Faktor volume formasi
air formasi ini dipengaruhi oleh pembebasan gas dan air dengan turunnya tekanan,
pengembangan air dengan turunnya tekanan dan penyusutan air dengan turunnya
suhu. Gambar 2.24. menunjukkan hubungan faktor volume formasi air-formasi
dengan tekanan. Peningkatan faktor volume formasi air formasi disebabkan oleh
pengembangan air formasi pada tekanan di bawah tekanan jenuh. Hal ini
100

disebabkan karena terbebaskannya gas dari larutan, tetapi karena rendahnya


kelarutan gas dalam air formasi, maka penyusutan fasa cair relatif kecil. Biasanya
penyusutan ini tidak cukup untuk mengimbangi pengembangan air formasi pada
penurunan tekanan, sehingga faktor volume formasi air formasi terus meningkat
di bawah tekanan jenuh. Harga faktor volume formasi air formasi (Bw) berkisar
antara 0,98 – 1,07 bbl/stb atau dianggap sama dengan 1,00

Gambar 2.24.
Faktor Volume Formasi Air Formasi sebagai Fungsi Tekanan 11)

Faktor volume formasi air-formasi bisa ditentukan dengan


menggunakan persamaan sebagai berikut :
Bw = (1 + Vwp)(1 + Vwt) …………………………………………..(2-60)
dimana :
Vwt = penurunan volume sebagai akibat penurunan suhu, faktor ini ditentukan
dengan menggunakan Gambar 2.25.
Vwp = penurunan volume selama penurunan tekanan, faktor ini ditentukan
dengan menggunakan Gambar 2.26.
Faktor volume formasi air formasi meningkat, hal ini disebabkan oleh
pengembangan air formasi pada tekanan dibawah tekanan jenuh, gas keluar dari
larutan tetapi karena rendahnya kelarutan gas dalam air formasi, maka penyusutan
fasa cair relatif kecil. Dan biasanya penyusutan ini tidak cukup untuk
101

mengimbangi pengembangan air formasi pada penurunan tekanan, sehingga faktor


volume formasi air formasi terus meningkat dibawah tekanan jenuh.

Gambar 2.25.
 Vwt sebagai Fungsi Suhu Reservoir 11)
102

Gambar 2.26.
 Vwp sebagai Fungsi Tekanan Reservoir 11)

D. Kompresibilitas Air Formasi


Kompresibilitas air murni tergantung pada suhu, tekanan, dan kelarutan
gas dalam air. Kompresibilitas air murni tanpa adanya gas terlarut didalamnya
ditunjukkan pada gambar 2.22.
Kompresibilitas air murni pada suhu konstan dinyatakan dalam persamaan
berikut :
1  V 
C wp     .………………………………………….……….(2-61)
V  P 
keterangan :
Cwp = kompressibilitas air murni, psi-1.
V = volume air murni, bbl
V = perubahan volume air murni, bbl
P = perubahan tekanan, psi.
Selain itu kompresibilitas air formasi dapat ditentukan dengan persamaan :
Cw = Cwp(1 + 0.0088 Rsw) …………………………………………...(2-62)
keterangan :
Rsw = kelarutan gas dalam air formasi
Cwp = kompressibilitas air murni, psi-1
Cw = kompressibilitas air formasi, psi-1
Pengaruh temperatur dan tekanan terhadap kompressibilitas air formasi
dapat ditentukan dengan menggunakan Gambar 2.27.
103

Gambar 2.27.
Kompresibilitas Air Formasi sebagai Fungsi Tekanan dan Temperatur 3)
E. Kelarutan Gas dalam Air Formasi
Kelarutan gas dalam air formasi akan lebih kecil bila dibandingkan dengan
kelarutan gas dalam minyak di reservoir pada tekanan dan temperatur yang sama.
Pada temperatur tetap, kelarutan gas dalam air formasi akan naik dengan naiknya
tekanan. Sedangkan pada tekanan tetap, kelarutan gas dalam air formasi mula-
mula menurun sampai harga minimum kemudian naik lagi terhadap naiknya suhu,
dan kelarutan gas dalam air formasi akan berkurang dengan bertambahnya kadar
garam. Kelarutan gas dalam air formasi akan berkurang dengan bertambahnya
berat jenis gas. Untuk lebih jelasnya hubungan antara tekanan, temperatur, dan
kelarutan gas dalam air formasi terlihat pada gambar 2.28.

Gambar 2.28.
Kelarutan Gas dalam Air Formasi sebagai
104

Fungsi Temperatur dan Tekanan 11)


F. Sifat Kelistrikan Air Formasi
Air formasi dapat bersifat konduktif atau resistivitas tergantung ada atau
tidaknya ion-ion garam yang terlarut didalamnya. Sifat ini sangat penting untuk
diketahui, karena ini sangat berguna dalam operasi logging, sehingga dapat
mengidentifikasi formasi yang mengandung air dan formasi yang mengandung
hidrokarbon. Semakin banyak kadar garam yang terkandung, maka air formasi
bersifat mudah mengalirkan arus listrik (bersifat sebagai konduktor), dan
sebaliknya jika mengandung sejumlah kecil kadar garam maka air formasi
semakin sulit untuk menghantarkan arus listrik. Gambar 2.29. menunjukkan lebih
jelas hubungan antara resistivity dengan kandungan garam dalam air formasi.

Gambar 2.29.
105

Hubungan Antara Resistivity dengan Kandungan Garam


dalam Air Formasi 1)

2.3. Kondisi Formasi


Tekanan dan temperatur merupakan besaran yang sangat penting dan
berpengaruh terhadap kondisi formasi, baik terhadap batuan maupun pada
fluidanya (air, minyak dan gas bumi). Tekanan dan temperatur dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu adanya faktor kedalaman, letak dari lapisan serta kandungan
fluidanya.

2.3.1. Tekanan Hidrostatik


Tekanan hidrostatik adalah tekanan yang disebabkan oleh berat kesatuan
dan tinggi vertikal kolom fluida. Ukuran dan bentuk kolom fluida ini tidak
berpengaruh pada besarnya tekanan ini. Tekanan hidrostatik (Ph) sama dengan
jumlah dari densitas fluida rata-rata dan tinggi vertikalnya, maka:
P =  . g . h……………………………………..…………………....(2-63)
Keterangan :
P = Tekanan, Psi.
 = Densitas rata-rata, ppg.
g = Nilai gravitasi.
h = Tinggi kolom, ft.

Gambar 2.30.
Ilustrasi Tekanan Hidrostatik 11)
106

Dalam operasi pemboran dapat ditulis sebagai:


Ph (psi) = C.MW.D………………………………………………......(2-64)
Keterangan:
D = tinggi vertikal kolom fluida, feet
MW = densitas fluida atau berat lumpur, lb/gal atau lb/ft3
C = konstanta = 0.052 jika MW, lb/gal; dan
= 0.00695 jika MW, lb/ft3
Dalam sistem metric,
Phy = 0.093 MW  D……………………………………………..…(2-65)
Keterangan :
D = tinggi kolom fluida dalam meter dan
MW = berat lumpur dalam kg/dm3

Gradien tekanan hidrostatik dipengaruhi oleh padatan-padatan yang


terpisah (seperti garam) dan gas-gas dalam kolom fluida dan perbedaan gradient
temperature. Dengan kata lain, bertambahnya padatan-padatan yang terpisah
(seperti kadar garam yang tinggi) cenderung menambah gradien tekanan normal.
Oleh karena itu banyaknya gas dalam sistem dan temperatur yang tinggi akan
mempengaruhi gradien tekanan hidrostatik normal.
Umumnya gradient hidrostatik rata-rata yang dijumpai selama operasi
pemboran minyak dan gas ditunjukkan pada Tabel II.22. Penentuan gradient
tekanan hidrostatik (psi/ft) dapat didefinisikan dengan persamaan:
P  0.433  SG ….……………………………......………………......(2-66)
Dimana, SG adalah spesific gravity dari kolom yang mewakili air.

Tabel II.22.
Tipe Gradien Hidrostatik Rata-rata 12)
Typical average hydrostatic gradient
Geologic basin Hydrostatic pressure gradient Areas in U.S.A
-1 -1
(psi/ft) (kg.cm m )

Fresh and 0.433 0.19 Rocky Mountain,


brackish Mid-Continent
107

Water
0.465 0.1074 Gulf Coast
Salt water

2.3.2. Tekanan Overburden


Tekanan overburden adalah besarnya tekanan yang diakibatkan oleh berat
seluruh beban yang berada di atas kedalaman tertentu tiap satuan luas.
berat material  berat cairan
Pob = …..............…..........….…………(2-
luas
67)
Gradien tekanan overburden adalah yang menyatakan tekanan overburden
pada tiap satuan kedalaman.
Pob
Gob  …………………………….……………………………….(2-
D
68)
Secara praktis dalam penentuan gradien tekanan overburden ini selain dari
analisa log juga dapat ditentukan sebagai berikut :

 I
i 1
i .d i 
....................………………………………….
Gobn  .0,433
Dn

(2-69)
Keterangan :
Gobn = Gradien tekanan overburden, psi/ft
Ii = Ketebalan ke – i , ft
di = Berat jenis rata-rata ke – i, gr/cc
Dn = Kedalaman, ft
108

Gambar 2.31.
Penentuan Gradient Tekanan Overbuden 11)
Menurut Christman, gradien tekanan overburden dapat dinyatakan sebagai
berikut:
0,433
Gob   d w . Dwt  d b Db  …….……………………………….…
D
(2-70)
Keterangan :
D = Kedalaman, ft
Dwt = Ketebalan cairan, ft
dw = Berat jenis cairan, gr/cc
Db = Berat jenis rata-rata batuan, gr/cc
Db = Kedalaman batuan (D – Dwt), ft.

Besarnya gradien tekanan overburden yang normal biasanya dianggap


sebesar 1 psi/ft, yaitu diambil dengan menganggap berat jenis batuan rata-rata
sebesar 2,3 dari berat jenis air. Sedangkan besarnya gradien tekanan air adalah
0,433 psi/ft maka gradien tekanan overburden sebesar 2,3 x 0,433 psi/ft.
Besarnya pertambahan tekanan overburden meningkat secara merata
sebanding dengan bertambahnya kedalaman. Besar gradient tekanan adalah 1,0
psi/ft per kedalaman (0,231 kg cm-2 m--1). Berdasarkan pengalaman diindikasikan
bahwa gradient overburden maksimum dalam batuan klastik sebesar 1,35 psi/ft
(0,312 kg cm-2 m-1).
109

2.3.3. Tekanan Formasi


Tekanan diilustrasikan sebagai massa molekul-molekul fluida dalam
pound yang saling mendesak yang menyebabkan suatu gaya menekan pada suatu
luasan area per feet. Konsep tekanan adalah gaya persatuan luas yang diterapkan
oleh suatu fluida.
Derajat tekanan yang terjadi di pori-pori batuan serta fluida yang
dikandung di dalamnya disebut tekanan formasi atau tekanan reservoar. Dengan
adanya tekanan formasi yang disebabkan oleh adanya gradien kedalaman tersebut,
maka akan menyebabkan terjadinya aliran fluida di dalam formasi ke dalam
lubang sumur yang mempunyai tekanan relatif lebih rendah.
Tekanan reservoir dapat terjadi oleh salah satu dari ketiga sebab-sebab
berikut:
 Tekanan hidrostatik, yang disebabkan oleh fluida (terutama air) yang mengisi
pori-pori batuan diatasnya.
 Tekanan kapiler, yang disebabkan oleh adanya gaya yang dipengaruhi
tegangan permukaan antara fluida yang bersinggungan, besarnya volume dan
bentuk pori serta sifat kebasahan dari batuan reservoir.
 Tekanan overburden, yang disebabkan oleh berat batuan di atasnya serta
kandungan fluidanya.
Pada saat pemboran berlangsung, tekanan lumpur yang digunakan harus
mengimbangi tekanan formasi dengan diberikan kelebihan berkisar antara 2-10%
dari tekanan formasi. Persamaan yang digunakan adalah:
Pf = Gf x D…………………………………………………………...(2-71)
Keterangan :

Pf = Tekanan fluida formasi, Psi.

Gf = Gradien tekanan, Psi/ft.

D = Kedalaman, Ft
110

Gambar 2.32.
Kisaran Gradien Tekanan Fluida 16)
Pada Gambar 2.33. menggambarkan kisaran gradien tekanan fluida (Gf),
yaitu :
1. 0.433 psi/ft < GF < 0.465 psi/ft disebut Tekanan Normal,
2. Gf > 0.465 psi/ft disebut Tekanan Abnormal,
3. Gf < 0.433 psi/ft disebut Tekanan Subnormal.

2.3.3.1. Tekanan Formasi Normal


Tekanan formasi adalah besarnya tekanan yang diberikan cairan yang
mengisi rongga formasi, secara hidrostatik untuk keadaan normal sama dengan
tekanan kolom cairan yang ada dalam dasar formasi ke permukaan. Bila dari
kolom terisi oleh berbeda-beda cairannya, maka besar tekanan hidrostatiknya pun
berbeda, untuk kolom air tawar (fresh water) memiliki gradien tekanan hidrostatik
sebesar 0,433 psi/ft dan untuk kolom air asin (salt water) gradien tekanan
hidrostatiknya sebesar 0,465 psi/ft.
Sehingga gradien tekanan normal berkisar antara 0,433 psi/ft – 0,465 psi/ft.
Setiap tekanan formasi di atas atau di bawah gradien tekanan tersebut disebut
dengan tekanan abnormal atau tekanan subnormal. Penentuan dari tekanan
formasi dapat ditentukan dari analisa log ataupun dari data Drill Stem test (DST).
111

2.3.3.2. Tekanan Formasi Abnormal


Yang dimaksud dengan tekanan formasi abnormal biasanya tekanan
formasi yang lebih besar dari yang diperhitungkan pada gradien hidrostatik
(>0,465 psi/ft). Hal ini disebabkan karena kompaksi batuan oleh sedimen yang ada
di atasnya sedemikian rupa sehingga air yang keluar dari lempeng tidak langsung
menghilang dan tetap berada dalam batuan semula.
Pada proses kompaksi normal, mengecilnya volume pori akibat dari
pertambahan berat beban diatasnya dapat mengakibatkan fluida yang ada didalam
pori terdorong keluar dan mengalir ke segala arah menuju formasi di sekitarnya.
Sehingga berat batuan diatasnya akan ditahan oleh partikel-partikel sedimen.
Kompaksi normal umumnya menghasilkan suatu gradien tekanan formasi yang
normal.
Kompaksi abnormal (Gambar 2.33), akan terjadi jika pertambahan berat
beban diatasnya tidak menyebabkan berkurangnya ruang pori. Ruang pori tidak
mengecil karena fluida didalamnya tidak dapat mengalir keluar. Tersumbatnya
fluida didalam ruang pori disebabkan karena formasi itu terperangkap didalam
formasi lain yang menyebabkan permeabilitas menjadi sangat kecil.
P  Pob  S ...…………….……..…………………………...….........(2-72)

Keterangan :
P = Tekanan formasi, psi
Pob = Tekanan overburden, psi
S = Tekanan kekuatan batuan, psi
112

Gambar 2.33.
Ilustrasi Tekanan Abnormal 11)

Bila tekanan overburden (Pob) membesar sementara kekuatan batuan (S)


sudah tidak bisa membesar lagi, maka batuan akan menerima tekanan simpanan
yang besar sekali :
P
  …………………..………………………………………….(2-
Pob

73)
Beberapa mekanisme terbentuknya tekanan abnormal adalah sebagai
berikut :
a. Incomplete Sediment Compaction.
Sedimentasi clay atau shale yang berlangsung cepat mengakibatkan
terbatasnya waktu bagi fluida untuk membebaskan diri. Di bawah kondisi
normal porositas awal yang tinggi ( 50%) berkurang karena air terbebaskan
melalui permeable sand atau penyaringan melalui clay atau shale. Jika proses
sedimentasi berlangsung cepat maka proses membebaskan fluida tidak dapat
terjadi, sehingga fluida terjebak di dalamnya.
b. Faulting
Patahan dapat menyebabkan redistrusi sedimen dan menempatkan zona-
zona permeable berlawanan dengan zona-zona impermeable, sehingga
membentuk penghalang bagi aliran fluida. Hal ini akan mencegah keluarnya
air dari shale, hal ini dapat menyebabkan tekanan dalam shale di bawah
kondisi terkompaksi.
c. Perubahan Fasa Selama Kompaksi
Mineral-mineral dapat mengalami perubahan fasa dengan bertambahnya
tekanan seperti: Gypsum+Anhydrite+freewater. Hal ini telah diperkirakan
bahwa gypsum setebal 50 ft akan menghasilkan kolom air setinggi 24 ft.
Sebaliknya anhydrite dapat terhindari pada kedalaman tertentu untuk
menghasilkan gypsum yang meningkatkan volume batuan sebesar 40%.
d. Pengendapan Batuan Garam Yang Padat.
113

Pengendapan garam dapat terjadi di beberapa tempat. Karena garam


bersifat impermeable maka fluida pada formasi di bawahnya menjadi over
pressure. Tekanan abnormal sering dijumpai pada zona-zona yang berada di
bawah lapisan garam.
e. Kubah garam (Salt Diaperism)
Gerakan ke atas (intrusi) kubah garam dengan densitas rendah karena
buoyancy (gaya apung) yang menerobos perlapisan sedimen normal akan
menghasilkan anomali tekanan. Garam juga dapat berfungsi sebagai penyekat
impermeable untuk dewatering clays secara lateral.
f. Kompresi Tektonik
Kompresi sedimen secara lateral dapat menghasilkan pengangkatan
sedimen atau rekahan/patahan untuk sedimen yang lebih kuat. Biasanya
formasi terkompaksi pada kedalaman tertentu dapat muncul pada level yang
lebih tinggi. Jika tekanan mula-mula tetap terjaga maka pengangkatan formasi
dapat menyebabkan adanya over pressure.
g. Repressuring From Deeper Levels
Disebabkan oleh adanya migrasi fluida dari zona bertekanan tinggi ke
zona bertekanan rendah pada zona yang tidak terlalu dalam. Hal ini terjadi
karena adanya patahan atau casing / cement job yang jelek. Tekanan tinggi ini
dapat menyebabkan terjadinya kick karena tidak ada lithologi yang
mengindikasikan. Tekanan yang tinggi ini dapat terjadi pada batu pasir yang
dangkal jika dialiri gas dari formasi di bawahnya.
h. Generation of Hidrocarbons
Shale yang terendapkan dengan sejumlah besar kandungan material
organik akan menghasilkan gas karena adanya proses kompaksi. Ketika gas
terperangkap akan menyebabkan terjadinya overpressure. Produk organik juga
akan membentuk garam di dalam ruang pori, yang dapat menyebabkan
berkurangnya porositas dan membentuk suatu penyekat.

2.3.3.3. Tekanan Formasi Subnormal


114

Tekanan formasi subnormal adalah tekanan adalah tekanan formasi yang


ada dibawah tekanan hidrostatik normal (< 0.433 psi/ft), kejadiannya bisa akibat
proses geologi naik turunnya formasi ataupun karena hal-hal lain, sebagai contoh
dapat dilihat pada Gambar 2.34. pada bagian A dan C terjadi tekanan abnormal
dan pada B terjadi tekanan sub normal.

Gambar 2.34.
Ilustrasi Tekanan Subnormal 11)

Mekanisme terjadinya tekanan subnormal dapat diuraikan sebagai berikut.


a. Thermal Expansion
Karena batuan sedimen dan fluida dalam pori dipengaruhi oleh adanya
temperatur, jika fluida mengalami pengembangan maka densitas akan
berkurang dan juga tekanan akan berkurang.
b. Formation Foreshortening (Pengerutan Formasi)
Selama kompresi akan ada beberapa lapisan yang melengkung perlapisan
teratas melengkung keatas sementara perlapisan terbawah melengkung
kebawah sedangkan lapisan tengah mengembang sehingga dapat
menghasilkan zona tekanan subnormal. Pada kondisi ini juga menyebabkan
terjadinya overpressure pada lapisan teratas dan terbawah.
c. Potentiometric Surface
Mekanisme ini menunjukkan adanya relief struktur suatu formasi yang
dapat menghasilkan baik zona bertekanan subnormal maupun zona
overpressured. Potentiometric surface didefinisikan sebagai ketinggian dimana
air yang terperangkap akan muncul dalam sumur-sumur yang di bor pada
115

aquifer yang sama. Potentiometric surface dapat mencapai ribuan feet dibawah
atau diatas ground level.

2.3.3.4. Tekanan Rekah Formasi


Tekanan rekah adalah tekanan hidrostatik formasi maksimum yang dapat
ditahan tanpa menyebabkan terjadinya pecah (rekah). Besarnya gradient tekanan
rekah dipengaruhi oleh besarnya tekanan overburden, tekanan formasi, dan
kondisi kekuatan batuan.
Mengetahui gradient tekanan rekah sangat berguna ketika merencanakan
atau meneliti kekuatan dasar pipa selubung (casing), sedangkan bila gradien
tekanan rekah tidak diketahui maka akan kesulitan dalam pekerjaan penyemenan
dan penyelubungan sumur atau perencanaan lumpur yang akan digunakan.
Selain dari hasil log, gradient tekanan rekah dapat ditentukan dengan
memakai prinsip ‘leak-off test’, yaitu memberikan tekanan sedikit-sedikit
sedemikian rupa sampai melihat tanda-tanda mulai pecah, yaitu ditunjukkan
dengan kenaikan tekanan terus-menerus kemudian tiba-tiba turun. Penentuan
gradient tekanan rekah ini juga menggunakan perhitungan, persamaan yang
digunakan antara lain adalah menurut Hubbert and Willis, yang menganggap 1/3
sampai ½ dari tekanan overburden berpengaruh effektif terhadap tekanan rekah.

Pf 1  Pob 2P 
    …..………………………………………………(2-
D 3 D D 
74)
Keterangan :
Pf = Tekanan rekah, psi
Pob = Tekanan overburden, psi
P = Tekanan formasi, psi
D = Kedalaman, ft
Bila dianggap gradient tekanan overburden (Pob/D) adalah 1 psi
/ft, maka
persamaan (2-46) menjadi :
116

Pf 1  P
 1  2  ..………………………………………….....……..(2-
D 3 D
75)
2.3.4. Temperatur Bawah Permukaan
Temperatur dipengaruhi jauh dekatnya suatu titik dari pusat magma,
temperatur merupakan suatu fungsi terhadap kedalaman (gradient geothermal).
Temperatur juga dapat berpengaruh pada jenis minyak mentah yang terbentuk
antara 5,000 dan 20,000 kaki kedalaman, temperatur pada 20,000 kaki biasanya
temperatur terlalu tinggi dan hanya menghasilkan gas. Kondisi-kondisi pada
lapisan seperti akibat vulkanik dan tektonik (lipatan dan patahan) dapat
mempengaruhi terhadap gradien temperatur.
Dalam kenyataannya temperatur akan bertambah terhadap kedalaman,
yang mana sering disebut sebagai gradient geothermal seperti terlihat pada grafik
Gambar 2.35. Besaran gradien geotermis ini bervariasi pada satu tempat dan
tempat lain, dimana harga rata–ratanya adalah 2 oF /100 ft. Gradient geothermal
yang tertinggi adalah 4 oF /100ft, sedangkan yang terendah adalah 0.5 oF /100 ft.
Variasi yang kecil dari gradient geothermal ini disebabkan oleh sifat konduktivitas
thermal pada beberapa jenis batuan. Besarnya gradien geothermal pada suatu
daerah dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan :
T formasi  Ts tan dard
Gradien geothermal  ………………...….(2-76)
Kedalalaman Formasi

Harga gradien geothermal berkisar antara 0,5 oF/100 ft sampai 2,0 oF /100 ft.
Seperti diketahui temperatur sangat berpengaruh terhadap sifat–sifat fisik fluida
reservoir. Hubungan temperatur terhadap kedalaman dapat dinyatakan dengan
persamaan berikut :
Td = Ta + @ x D………………………………...…………...….…....(2-77)
Keterangan :
Td = Temperatur reservoir pada kedalaman D, oF
Ta = Temperatur pada permukaan, oF
@ = Gradien temperatur, oF/100 ft
D = Kedalaman, ratusan ft.
117

Gambar 2.35.
Grafik Pengaruh Kedalaman Terhadap Temperatur 15)

Pengukuran temperatur formasi dilakukan setelah ‘completion’ dan


temperatur formasi ini dapat dianggap konstan selama kehidupan reservoir,
kecuali bila dilakukan proses stimulasi. Kegunaan data temperatur formasi adalah
untuk mengetahui sifat fisik fluida formasi yang ada.
Kegunaan data temperatur formasi juga dapat digunakan untuk
merencanakan dan menentukan sifat-sifat fisik fluida pemboran. Temperatur
formasi perlu diketahui atau diperkirakan sebelum menentukan program lumpur
yang digunakan sehingga dapat diprediksi sejauh mana pengaruhnya terhadap
stabilitas dan sifat lumpur pemboran itu sendiri. Kehadiran mineral ubahan dapat
juga menggambarkan temperatur bawah permukaan, pada lapangan panasbumi
misalnya. Adanya mineral ubahan dapat mencerminkan kondisi temperatur bawah
permukaan yang dapat membantu untuk perencanaan program pemboran pada
daerah tersebut.

Anda mungkin juga menyukai