Anda di halaman 1dari 7

PEMBAHASAN

A. Definisi Eksipien
Eksipien atau bahan penolong adalah materi yang terdapat dalam obat namun
tidak memiliki zat aktif. Fungsinya adalah sebagai pembawa atau pelarut zat aktif
sehingga memungkinkan penyampaian obat. Eksipien meningkatkan kualitas fisik obat
dengan mempengaruhi transport obat dalam tubuh, mencegah kerusakan sebelum
sampai ke sasaran, meningkatkan kelarutan dan bioavailabilitas, meningkatkan stabilitas
obat, menjaga pH dan osmolaritas, menstabilkan emulsi, mencegah disosiasi zat aktif
dan memperbaiki penampilan sediaan. Tahapan awal dalam proses pembuatan sediaan
farmasi yang berpusat pada sifat-sifat fisika kimia zat aktif, dimana dapat mempengaruhi
penampilan obat dan perkembangan suatu rancangan bentuk sediaan (Ansel, 1989).
Eksipien adalah zat tambahan yang tidak mempunyai efek farmakologi. Macam-
macam fungsi dan contoh eksipien yaitu penyalut, pelicin, pengisi, penghancur,
pewarna, pemanis, pengikat dan pengawet. Kriteria eksipien yaitu harus netral secara
fisiologis, stabil, tidak mempengaruhi bioavailibilitas obat, sesuai peraturan undang-
undang (Ansel,1989).
Eksipien farmasetika adalah bahan (substansi) yang terdapat dalam proses
pembuatan sediaan yang tidak memiliki aktivitas farmakologi atau terdapat dalam
produk obat jadi (finished pharmaceutical product dosage form) (Lachman, 1994).
1. Eksipien dapat mempengaruhi (Lieberman, 1988) :
a) Mempengaruhi transport obat dalam tubuh
b) Mencegah obat rusak sebelum sampai ke target
c) Meningkatkan kelarutan dan bioavailabilitas
d) Meningkatkan stabilitas obat
e) Menjaga pH dan osmolaritas
f) Sebagai antioksidan dan penstabil emulsi
g) Sebagai propelan dalam aerosol
h) Mencegah disosiasi zat aktif
i) Memperbaiki penampilan sediaan

2. Eksipien penting karena (Lieberman, 1988) :


a) Untuk keamanan
b) Mempermudah proses pembuatan
c) Berdampak pada kualitas produk
3. Interaksi eksipien dan zat aktif akan memberikan implikasi (Lieberman, 1988) :
a) Stabilitas produk terutama jika terdapat air
b) Produk jadi
c) Proses pelepasan obat
d) Mempengaruhi aktivitas terapeutik zat aktif
e) Mempengaruhi profil efek samping zat aktif
4. Sifat fungsional eksipien yang dapat diperbaiki (Lieberman, 1988) :
a) Meningkatkan laju alir
b) Kompressibilitas
c) Penghomogenisasian massa
d) Meningkatkan kelarutan
e) Meningkatkan sensitifitas lubrikan
f) Sebagai superdisintegran
g) Mengubah profil laju disolusi
5. Co-processed compound (Lieberman, 1988) :
a) Mengurangi sifat lengket
b) Meningkatkan retensi air
c) Mengontrol kandungan udara
d) Meningkatkan proses pembasahan dan kelarutan
e) Menambah hidrofobisitas.

B. Fungsi dan Contoh Eksipien


1. Fungsi eksipien umum
Eksipien atau bahan penolong adalah materi yang terdapat dalam obat
namun tidak memiliki zat aktif. Fungsinya adalah sebagai pembawa atau pelarut zat
aktif sehingga memungkinkan penyampaian obat. Eksipien meningkatkan kualitas
fisik obat dengan mempengaruhi transport obat dalam tubuh, mencegah kerusakan
sebelum sampai ke sasaran, meningkatkan kelarutan dan bioavailabilitas,
meningkatkan stabilitas obat, menjaga pH dan osmolaritas, menstabilkan emulsi,
mencegah disosiasi zat aktif dan memperbaiki penampilan sediaan. (Wade, A. And
P.J Weller, 1994).

2. Fungsi eksipien semi solid


a) Pelarut
Berfungsi sebagai pembawa untuk melarutkan suatu jenis obat atau lebih
yang kemudian digunakan sebagai obat dalam, obat luar, maupun untuk
dimasukkan ke dalam rongga tubuh (Depkes RI, 1978).
b) Pengental
Bahan pengental digunakan agar diperoleh struktur yang lebih kental
(meningkatkan viskositas) sehingga diharapkan akan lebih baik daya lekatnya.
Bahan-bahan yang umum ditambahkan sebagai pengental yaitu polimer
hidrofilik, baik yang berasal dari alam (natural polimer) seperti agar, selulosa,
tragakan, pektin, natriumalginat. polimer semisintetik seperti metil selulosa,
hidroksi etil selulosa, dan CMC Na serta polimer sintetik seperti karbopol
(karbomer, karboksipolimetilen) (Ansel, 2005).
c) Pembawa
1) Basis hidrokarbon, seperti vaselin putih, vaselin kuning (vaselin flavum),
malam putih (cera album), malam kuning (cera flavum), atau campurannya.
2) Basis absorpsi (basis serap), seperti vaselin putih, campuran 3 bagian
kolesterol, 3 bagian steril-alkohol, 8 bagian malam putih, campuran 30
bagian malam kuning dan 70 bagian minyak wijen.
3) Basis yang dapat dicuci dengan air, misalnya emulsi minyak dalam air (M/A).
4) Basis larut dalam air, misalnya PEG atau campurannya (Syamsuni, 2006).
d) Pengawet
Berfungsi sebagai sebagai pelindung sediaan semi solid, khususnya yang
mengandung sediaan yang terdiri dari air terhadap serangan mikroba (Syamsuni,
2006).
e) Emulgator
Emulgator adalah suatu bahan yang dalam strukturnya memiliki bagian
yang lyofilik maupun lyofobik, yang mampu mengakomodasi droplet-droplet
cairan yang tidak saling campur, untuk dapat terdispersi dengan stabil. Contoh
dari emulgator adalah Pulvis Gummi Arabicum (PGA), Tween, dan Span
(Lachman, 1994).
Emulgator atau surfaktan dapat berfungsi sebagai penurun tegangan muka,
lapisan pelindung antar muka dan membentuk lapisan ganda listrik (Johanes,
1973).
f) Suspending agent
Berfungsi : Memperlambat pengendapan, mencegah penurunan partikel,
dan mencegah penggumpalan resin dan bahan berlemak. Suspendng agent
bekerja dengan cara meningkatkan kekentalan. Kekentalan yang berlebihan akan
mempersulit rekonstitusi dengan pengocokan. Suspensi yang baik mempunyai
kekentalan yang sedang dan partikel yang terlindung dari gumpalan/aglomerasi.
Hal ini dapat dicapai dengan mencegah muatan partikel, biasanya muatan partikel
ada pada media air atau sediaan hidrofil. Contoh susppending agent yaitu
gomarab, tragakan, strach, karagen, Na CMC, Na alginat (Lachman, 1994).
g) Humektan
Humektan yang ditambahkan dalam suatu produk berfungsi sebagai
pengikat air yang mampu meningkatkan kekompakan ikatan jaringan matriks
(ikatan hidrogen) sehingga akan meningkatkan kadar air dari produk
(Arvanitoyannis et al., 1997).
h) Antioksidan
Antioksidan ditambahkan ke dalam salep bila diperkirakan terjadi
kerusakan basis karena terjadinya oksidasi. Sistem antioksidan ditentukan oleh
komponen formulasi dan pemilihannya tergantung pada beberapa faktor seperti
toksisitas, potensi, kompatibel, bau, kelarutan, stabilitas dan iritasi. Sering kali
digunakan dua antioksidan untuk mendapatkan efek sinergis. Contoh antioksidan
yang sering ditambahkan: Butylated Hydroxyanisole (BHA), Butylated
Hydroxytoluene (BHT), Propylgallate, dan Nordihydroguaiareticacid (NCGA)
(Sulaiman, T.N.S dan Rina Kuswahyuning, 2008).
Dalam sediaan krim, vitamin C aktif dalam bentuk L-asam askorbat. Namun L-
asam askorbat sangat tidak stabil karena mudah teroksidasi, sehingga turunan ester
asam askorbat dalam formulasi digunakan untuk meningkatkan stabilitas vitamin C.
Derivat yang paling umum adalah Magnesium askorbil fosfat dan askorbil-6-palmitat,
derivate vitamin C ini akan terhidrolisis menjadi L-askorbat dengan adanya enzim fosfate
pada kulit (Colven dan Pinnell, 1996).
Setelah dilakukan penelitian lebih lanjut ternyata magnesium askorbil fosfat dan
askorbil palmitat tidak efektif sebagai formulasi sediaan topical, walaupun derivate
vitamin C ini efektif untuk penggunaan oral, mereka ternyata tidak efektif untuk
meningkatkan konsentrasi vitamin C dijaringan ketika diaplikasikan pada kulit. Studi
mengenai absorbsi perkutan dari magnesium askorbil fosfat ternyata tidak mampu
menembus stratum korneum, walaupun dapat masuk kedalam kulit, tapi konversinya
menjadi L-asam askorbal tidak efisien (Pinnell, et al., 2001).
Penelitian lain dengan menggunakan sistem silikon anhidrat yang digabungkan
dengan gliserin dapat meningkatkan stabilitas asam askorbat secara signifikan.
Formulasi dalam vitamin C dalam gliserin-silikon dapat mempercepat laju absorbs
dikulit, kurang berminyak dan terasa lebih kering. Stabilitas vitamin C dalam sistem
gliserin-silikon anhidrat secara visual tidak mengalami fenomena browning jika
dibandingkan dengan formulasi gliserin-air-silikon dan air-silikon. Formulasi vitamin C
dalam sistem silicon anhidrat mulai dikembangkan untuk pelepasan vitamin C dikulit
guna memperoleh efek yang maksimum (Eeman, M., Rose B., dan Isabelle VR. 2012).
Vitamin C sangat tidak stabil dalam bentuk larutan. Larutan vitamin C mudah
teroksidasi oleh udara. Oksidasi dapat dipercepat dengan adanya cahaya, panas, basa
dan ion logam terutama CU2+ dan Fe3+. Degradasi vitamin C dapat terjadi pada kondisi
aerob dan anaerob. Pada kondisi aerob, vitamin C akan teroksidasi manjadi asam
dehidroaskorbat dan reaksi ini bersifat reversible. Asam dehidroaskorbat ini dapat
mengalami hidrolisis yang bersifat irreversibel menjadi asam 2,3-diketogulonat dan
kemudian teroksidasi menjadi asam oksalat yang tidak aktif. Pada kondisi anaerob
vitamin C akan mengalami dehidrasi dan hidrolisis menghasilkan furfural dan
karbondioksida. Stabilitas maksimum terjadi dekat PH 3 dan PH 6. Stabilitas asam
askorbat dalam sediaan padat cukup baik, asal kelembabanya dikendalikan (Connors,
Gordon, dan Valentino, 1992).
Dalam formulasi topikal, polimer silikon memberikan beberapa sifat yang unik
karena perbedaanya secara fisikokimia. Silicon memiliki kemampuan menyebar pada
kulit. Silicon memberikan efek halus, mulus dan tidak berminyak, sehingga memberikan
kenyamanan maksimal pada kulit (Sene, 2003).
Sebagai eksipien, silicon dapat digunakan pada tiga bentuk topikal krim, salep,
dan hidrogel. Pada emulsi air dalam minyak O/W, silikon dapat mengurangi kelicinan
dan kilau, tetapi meningkatkan kemampuan menyebar dan membasahi dengan cepat
saat diaplikasikan. Dibandingkan dengan petrolatum, salep yang mengandung 25%
volatile silikon lebih mudah untuk menyebar dan lebih bersih, tidak berminyak, lebih liin
(menunjukan pelumasan yang lebih baik) dan lebih halus (Sene, 2003).
Keuntungan lain dari basis silikon adalah tidak berninyak sehingga dapat
diterima oleh pengguna, dan dengan adanya siklosilikon memberikan sensasi
menyegarkan, tidak toksik bagi kulit, stabil dan viskositas produk akhir mudah
dimodifikasi. Silikon sangat kompatibel dengan bahan lain yang digunakan dalam
kosmetik (Bequerizo, V. Gallardo, A. Parera dan M.A. Ruiz, 1999).
DAFTAR PUSTAKA

Anief, Moh. 2002. Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Anonim. 2011. Japanese Pharmacopeia Sixteenth Edition. Japan: Minister of Health,
Labour and Welfare.
Anonim. 2013. British Pharmacopeia. London: Council of Europe.
Ansel, H.C.1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, edisi keempat. Jakarta : UI
Press
Ansel, H. C. 2005. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta : UI Press.
Arvanitoyannis, Psomiadou E., Nakayama A., Alba S. and Yamamoto N. 1997. Edible
Film from Gelatin, Solube Starch and Polyol. Journal Food Chemistry, 60(4).
Asfi, Dzul. 2011. Ilmu Resep. Makassar: Smk Kesehatan Terpadu Mege Rezky.
Austria, R., A. semenzato, A. Bettero. (1996) . Stability of vitamin C derivatives in
solution and topical Formulations Centro di Cosmetologia Chimica dell’Universith
di Padova, Dipartimento di Scienze Farmaceutiche, Via Marzoh Padova, Italy.
International Journal of Pharmaceutics 271-279.
Aulton, M. E. 2002. Pharmaceutics The Science of Dosage Form Design, Second
Edition. ELBS Fonded by British Government.
Aulton, M. E. 2003. Pharmaceutics The Science of Dosage Form Design,
Second Edition, 408, ELBS Fonded by British Goverment.
Barel, O. A., Paye, M., Mailbach, H. I. 2001. Handbook of Science and Technology.
New York: Marcel Dekker Inc.
Boylan, J. C. 1986. Handbook of Pharmaceutical Excipient. Washington DC: American
Pharmaceutical Association and The Pharmaceutical Society of Great Britain.
Cable, C.G. 2006. Oleic Acid, in Handbook of Pharmaceutical Excipients, Fifth Edition.
Rowe, R.C., Sheskey, P. J., Owen,S.C, Pharmacutical Press, London, 412.
Cooper, J. W., Gunn. 1975. Dispensing for Pharmaceutical Students, Twelfth Ed.10.
London: Pitman Medical Publishing Co. Ltd.
Departemen Kesehatan RI . 1978. Formularium Nasional Edisi Kedua. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI.
Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
Han, C., et al. 2004. Edible Coatings to Improve Storability and Enhance Nutritional
Value of Fresh and Frozen Strawberries (Fragaria ananassa) and Raspberries
(Rubusideaus). Postharvest Biology Technology, 33:67-78.
Jenkins, G.L., Don, E.F., edward, A.B., Gleen, J.S., 1957. Scoville’s The Art Of
Compounding. London: McGraw-Hill Book Company.
Johanes, H. 1973. Pengantar Kimia Koloid dan Kimia Permukaan. Yogyakarta: UGM
Press.
Kanikkannan, N., R. J. Babu, and M. Singh. 2006. Penetration Enhancer
Classification, in: Percutaneous Penetration Enhancer, 2nd ed. Taylor and
Francis Group.
Karim, Djuniasti. 2014. Farmasetika Dasar. Makassar: Politeknik Kesehatan Kemenkes
Jurusan Farmasi.
Lieberman et al., 1990, Pharmaceutcal Dosage Form. New York: Marcel Dekker Inc.
Martindale, W. 1997. Martindale : The Extra Pharpacopoeia, 27th Editions. London:
The Pharmaceutical Press.
Pahan, Iyung. 2006. Panduan Lengkap Kelapa Sawit. Bogor : Penebar Swadaya, 244.
Rowe, R.C., Sheskey, P.J., dan Weller, P.J. 2003. Hand Book of Pharmaceutical
Excipient 4th Edition. London: Pharmaceutical Press and American
Pharmaceutical Association.
Rowe, Raymond C; Paul J Sheskey; Marian E Quinn. 2009. Handbook of
Pharmacetical Exipients sixth edition. London: Pharmaceutical Press.
Sagarin, E. 1957. Cosmetics Science and Technology. New York: Interscience
Publishers Inc.
Saifullah, T.N, dan Rina Kuswahyuning. 2008 .Teknologi dan Formulasi Sediaan.
Setyaningtyas, Anggraeni Gigih. 2008. Formulasi Produk Pangan Darurat Berbasis
Tepung Ubi Jalar, Tepung Pisang, Dan Tepung Kacang Hijau Menggunakan
Teknologi Intermediate Moisture Foods (Imf). (Skripsi). Institut Pertanian Bogor.
Titaley, Stany, Fatimawali dan Widya A. Lolo. 2014. Formulasi dan Uji Efektifitas
Sediaan Gel Ekstra Etanol Daun Mangrove Api-Api (Avicennia marina) sebagai
Antiseptik Tangan. Pharmacon, 3(2): 99-106.
Sulaiman,T.N.S dan Rina Kuswahyuning. 2008. Sediaan Cair Semi Padat. Yogyakarta:
Laboratorium Teknologi Formulasi Fakultas Farmasi Gadjah Mada University.
Syamsuni, A. 2006.Ilmu Resep. Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.
Swarbrick, J. dan Boylan, J. 1995. Percutaneous Absorption, in Encyclopedia of
Pharmaceutical Technology, Volume 11. New York: Marcel Dekker Inc.
Trommer, H., dan Neubert, R.H.H. 2006. Overcoming The Stratum Corneum: The
Modulation of Skin Penetration. Skin Pharmacology and Physiology. 19: 106-
121.
Wade, Ainley and Paul J. Weller. 1994. Handbook of Pharmaceutical Excipients, edisi
kedua. London: The Pharmaceutical Press.
Williams, A. C., dan Barry. 2004. Penetration Enhancer. Advanced Drug Delivery
Review, 56: 603-618.

Anda mungkin juga menyukai