Anda di halaman 1dari 35

BAB 1

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS

A. Identitas Pasien

Nama : Ny. DS

Umur : 25 tahun

Alamat : Jakarta

Pekerjaan : Karyawan swasta

Pendidikan : S1 Teknik Kimia

Agama : Islam

Suku : Betawi

Golongan darah :A

No. RM : 910054

Masuk tanggal : 12 November 2017

Ruangan : Hardja Samsurja 1B

B. Identitas Suami

Nama : Tn. A

Alamat : Jakarta

Pekerjaan : Polri

Pangkat : Briptu

Pendidikan : SMA

Agama : Islam

Suku : Betawu

Golongan darah :O
II. DATA DASAR
a. Anamnesis
Autoanamnesis dilakukan pada tanggal 12 November 2017 pukul 15.45 WIB
 Keluhan Utama
Pasien datang ke IGD karena keluar air-air jernih encer dari vagina sejak
pukul 13.00 WIB.

 Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RS Polri mengaku hamil anak pertama dengan usia
kehamilan 39 minggu. Pasien mengeluh keluar air-air jernih encer dan
setelah itu disertai rasa mulas sejak pukul 13.00 WIB (1 jam SMRS).
Pasien tiba di VK RS Polri pukul 15.45 WIB dan mengeluh rasa mulas
pasien semakin bertambah. Pasien mengaku tidak ada keluhan demam
maupun ketuban yang berbau. Pasien mengatakan bahwa satu hari
sebelumnya pasien berhubungan intim dengan suami pasien.

 Riwayat Penyakit Dahulu


- Hipertensi : disangkal
- Diabetes Melitus : disangkal
- Asma : disangkal
- Alergi : Tempe

 Riwayat Penyakit Keluarga:


- Hipertensi : disangkal
- Diabetes Melitus : disangkal
- Asma : disangkal
- Alergi : disangkal

 Riwayat Menstruasi
- Menarche : 13 tahun
- Siklus haid : 28 hari / teratur
- Lama haid : 7 hari
- Jumlah darah haid : 2-3 kali ganti pembalut
- HPHT : 13 Februari 2017
 Riwayat Pernikahan
Pasien menikah 1 kali pada usia 24 tahun dan pernikahan sudah
berlangsung selama 1,5 tahun.

 Riwayat Obstetrik
Pasien hamil anak pertama

 Riwayat Ante Natal Care


Pasien rutin memeriksakan kehamilannya di RS. Sentra Medika

 Riwayat Kontrasepsi
Pasien tidak menggunakan kontrasepsi

b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 12 November 2017 jam 15.45 WIB.
BB : 68 kg
TB : 160 cm
Keadaan umum: Baik
Kesadaran : Compos Mentis, GCS E4V5M6
 Tanda Vital
TD : 120/70 mmHg
Nadi : 82 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,5ºC

 Status Generalisata
Kepala : normocephal
Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil isokor,
refleks cahaya langsung +/+
Hidung : deviasi septum nasalis -, pernafasan cuping hidung –
Telinga : gangguan pendengaran –
Mulut : sianosis -, pucat –
Leher : deviasi trakea -, pembesaran KGB –, pembesaran tiroid -
Thorax :
- Jantung : S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
- Paru-paru : suara napas vesikuler, ronki (-), wheezing (-)
Abdomen:

Inspeksi : perut membuncit asimetris


Palpasi : hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan epigastrium -
Perkusi : timpani diseluruh lapang abdomen
Auskultasi : bising usus + normal
Ekstremitas
Superior : akral hangat, edema -/-
Inferior : akral hangat, edema -/-, varises -/-

 Status Obstetrik
Inspeksi : perut membuncit asimteris, striae gravidarum +,
linea nigra +
Palpasi
- Leopold I : tinggi fundus uteri 30 cm
- Leopold II : teraba lengkung kontinyu pada perut kiri ibu (puki)
- Leopold III : bagian terbawah janin teraba bulat dan keras (kepala)
- Leopold IV : bagian terbawah janin teraba 5/5 belum masuk PAP

Auskultasi : DJJ 140 x/menit

Taksiran Berat Janin :


- Rumus Johnson – Toshack.

TBJ = [ Tinggi fundus uteri (cm) – N ] x 155 gram


= [ 30 – 13 ] x 155 gram
= 2.635 gram

TBJ dari hasil USG = 3.300 gram

 Pemeriksaan Dalam
- portio tebal lunak,arah tengah, pembukaan 3 cm, selaput ketuban+,
dan kepala di Hodge 1.
- Inspekulo : lendir darah +, Lakmus -
 Pemeriksaan Penunjang
- Laboratorium
Pengambilan sampel darah di IGD 14.35
Hematologi Kimia Klinik
Hb 9,2 gr/dl SGOT 14,7 u/L
Leukosit 9.400 u/L SGPT 7,9 u/L
Hematokrit 29 % Ureum 13 mg/dl
Trombosit 387.000 /ul Creatinine 0,6 mg/dl
Masa pendarahan 3 menit GDS 72 mg/dl
Masa pembekuan 12 menit Natrium 134 mmol/l
Kalium 4,6 mmol/l
Chlorida 104 mmol/l

III. DIAGNOSIS
 Ibu : G1P0A0 Hamil 39 minggu dengan PK I fase laten dan anemia
 Janin: Janin tunggal hidup intrauterine, presentasi kepala

IV. DAFTAR MASALAH


 Pasien hamil anak pertama usia kehamilan 39 minggu dengan PK I fase laten
 Anemia dalam kehamilan.

V. URAIAN MASALAH
Persalinan kala I disebut juga persalinan dalam stadium pendataran dan dilatasi
serviks. Kala I terbagi menjadi dua fase yaitu fase laten yang ditandai dengan
pembukaan servik 1-3 cm dan fase aktif yang ditandai dengan pembukaan serviks 4-
10 cm (Prawirohardjo, 2016)
Anemia kehamilan adalah kondisi ibu hamil dengan kadar hemoglobin dibawah
11 gr/dl pada trimester 1 dan 3 atau kadar < 10,5 gr/dl pada trimester 2 (Wiknjosastro,
2009). Pada saat trimester kedua kebutuhan zat pembentuk darah terutama besi
meningkat tajam hingga dua kali lipat dibandingkan saat tidak hamil. Keadaan ini
disebabkan oleh volume darah ibu yang meningkat karena kebutuhan janin akan
oksigen dan zat gizi yang dibawa oleh sel darah merah (Soebroto, 2009).
anemia dapat menyebabkan persalinan yang lama akibat kelelahan otot rahim dalam
berkontraksi (inersia uteri) dan juga perdarahan pasca melahirkan karena tidak adanya
kontraksi otot rahim (Wiknjosastro, 2007).
VI. PENATALAKSANAAN
 Rencana Diagnosis
- Pemeriksaan USG untuk mengevaluasi keadaan janin dan jumlah cairan amnion
- Pemeriksaan CTG untuk mengevaluasi kesejahteraan janin dan kontraksi uterus
- Pemeriksaan dalam untuk mengevaluasi kemajuan persalinan

 Rencana Monitoring
- Observasi keluhan pasien
- Observasi tanda vital pasien dan DJJ
- Observasi kemajuan persalinan
- Observasi kontraksi uterus

 Rencana Terapi
- IVFD RL 500cc 20 tpm
- Observasi kemajuan persalinan
- Melakukan augmentasi apabila terjadi inersia uteri

 Rencana Edukasi
- Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga bahwa untuk saat ini pasien
di observasi kemajuan persalinannya.
- Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga bahwa adanya anemia pada
pasien bisa menyebabkan persalinan yang lama akibat kelelahan otot rahim
dalam berkontraksi atau perdarahan pasca melahirkan karena tidak adanya
kontraksi otot rahim.
- Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga bahwa pada persalinan anak
pertama sering kali terjadi kemacetan persalinan akibat ketidaks

VII. PROGNOSIS
Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam
Ad Sanationam : dubia ad bonam
VIII. CATATAN KEMAJUAN

- Tanggal 12-11-2017 ( 15.45 WIB)


S Pasien datang ke VK dengan keluhan keluar air – air jernih encer dari vagina sejak
pukul 13.00 WIB dan rasa mulas yang semakin bertambah

O  TD 120/70 mmHg, Nadi 82x/menit, RR 20 x/menit, Suhu 36,4oC


 DJJ : 140 x/menit
 Status obstetric : perut membesar asimetris, TFU 30 cm, puki, presentasi
terbawah janin kepala, teraba 5/5 bagian belum masuk PAP
 TBJ : 2.635 gram (USG 3.300 gr)
 Inspekulo : lendir darah +, Lakmus -
 VT : porsio tebal lunak, arah tengah, pembukaan 3 cm, ketuban +,
kepala Hodge I
 CTG :
 Baseline : 150
 Variabilitas : 5 – 14
 Akselerasi : 0
 Deselerasi : 0
 Gerak Janin : 10x/20 menit
 His : 2x/10 menit selama 30 detik Adekuat
A G1P0A0 Hamil 39 minggu dengan PK I fase laten dan anemia

P - melapor ke Dr. Reino R, Sp.OG, instruksi :


 Observasi kemajuan persalinan
 Lakukan VT ulang 4 jam lagi
 CTG ulang setelah VT

- Tanggal 12-11-2017 ( 20.30 WIB)


S Pasien masih merasa mulas dan merasa seperti ada tekanan pada perut bawah

O  TD 120/70 mmHg, Nadi 86x/menit, RR 20 x/menit, Suhu 36,5oC


 VT : porsio teraba tebal lunak, arah tengah, pembukaan 3 cm, ketuban +,
kepala Hodge I
 CTG :
 Baseline : 150
 Variabilitas : 5 – 14
 Akselerasi : 0
 Deselerasi : 0
 Gerak Janin : 10x/20 menit
 His : 2x/10 menit selama 30 detik Adekuat
A G1P0A0 Hamil 39 minggu dengan PK I fase laten dan anemia

P - melapor ke Dr. Reino R, Sp.OG, instruksi :


 Observasi kemajuan persalinan
 Lakukan VT ulang 4 jam lagi
 CTG ulang setelah VT

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. KETUBAN PECAH DINI

Definisi

Ketuban Pecah Dini ( amniorrhexis – premature rupture of the membrane PROM ) adalah
pecahnya selaput korioamniotik sebelum terjadi proses persalinan. Secara klinis diagnosa KPD
ditegakkan bila seorang ibu hamil mengalami pecah selaput ketuban dan dalam waktu satu jam
kemudian tidak terdapat tanda awal persalinan, dengan demikian untuk kepentingan klinis waktu
1 jam tersebut merupakan waktu yang disediakan untuk melakukan pengamatan adanya tanda-
tanda awal persalinan. Bila terjadi pada kehamilan < 37 minggu maka peristiwa tersebut disebut
KPD Preterm (PPROM = preterm premature rupture of the membrane - preterm amniorrhexis.

Pengertian KPD menurut WHO yaitu Rupture of the membranes before the onset of
labour. Hacker (2001) mendefinisikan KPD sebagai amnioreksis sebelum permulaan persalinan
pada setiap tahap kehamilan. Sedangkan Mochtar (1998) mengatakan bahwa KPD adalah
pecahnya ketuban sebelum in partu, yaitu bila pembukaan pada primi kurang dari 3 cm dan pada
multipara kurang dari 5 cm. Hakimi (2003) mendefinisikan KPD sebagai ketuban yang pecah
spontan 1 jam atau lebih sebelum dimulainya persalinan. Sedangkan menurut Yulaikah (2009)
ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda persalinan, dan setelah
ditunggu satu jam belum terdapat tanda persalinan. Waktu sejak ketuban pecah sampai terjadi
kontraksi rahim disebut ketuban pecah dini (periode laten). Kondisi ini merupakan penyebab
persalinan premature dengan segala komplikasinya

Ada juga yang disebut ketuban pecah dini preterm yakni ketuban pecah saat usia kehamilan
belum masa aterm atau kehamilan dibawah 38 – 42 minggu. Arti klinis ketuban pecah dini :

1. Bila bagian terendah janin masih belum masuk pintu atas panggul maka kemungkinan
terjadinya prolapsus tali pusat atau kompresi tali pusat menjadi besar
2. Peristiwa KPD yang terjadi pada primigravida hamil aterm dengan bagian terendah yang
masih belum masuk pintu atas panggul sering kali merupakan tanda adanya gangguan
keseimbangan foto pelvik.
3. KPD sering diikuti dengan adanya tanda – tanda persalinan sehingga dapat memicu
terjadinya persalinan preterm.
4. Peristiwa KPD yang berlangsung lebih dari 24 jam (prolonged rupture of membrane)
seringkali disertai dengan infeksi intrauterin.
5. Peristiwa KPD dapat menyebabkan oligohidramnion dan dalam jangka panjang kejadian
ini akan dapat menyebabkan hilangnya fungsi amnion bagi pertumbuhan dan
perkembangan janin.
Epidemiologi
Ketuban pecah dini dapat terjadi pada kehamilan aterm, preterm dan pada kehamilan
midtrester. Frekuensi terjadinya sekitar 8%, 1 – 3 %, dan kurang dari 1 %. Secara umum
insidensi KPD terjadi sekitar 7 – 12 % (Chan, 2006). Insidensi KPD kira – kira 12 % dari semua
kehamilan (Mochtar, 1998), sedangkan menurut Rahmawati 2011 insidensi KPD adalah sekitar
6 – 9 % dari semua kehamilan.

Etiologi

Penyebab KPD menurut Manuaba 2009 meliputi :

1. Serviks inkopemten menyebabkan dinding ketuban yang paling bawah mendapatkan


tekanan yang semakin tinggi.
2. Faktor keturunan (ion Cu serum rendah, vitamin C rendah, dan kelainan genetik)
3. Pengaruh dari luar yang melemahkan ketuban seperti infeksi genitalia dan meningkatnya
enzim proteolitik. Masa interval sejak ketuban pecah sampai terjadinya kontraksi disebut
fase laten. Makin panjang fase laten makin tinggi kemungkinan infeksi. Makin muda usia
kehamilan, makin sulit upaya pemecahannya tanpa menimbulkan morbiditas janin dan
komplikasi ketuban pecah dini meningkat.
4. Multipara, pada kehamilan yang terlalu sering akan mempengaruhi proses embriogenesis
sehingga selaput ketuban yang terbentuk akan lebih tipis dan yang akan menyebabkan
selaput ketuban pecah sebelum tanda – tanda inpartu.
5. Overdistensi uterus pada hidramnion, kehamilan ganda, makrosomia dan sevalopelvik
disproporsi. Hidramnion atau sering disebut polihidramnion adalah banyaknya air
ketuban melebihi 2000 cc. Hidramnion dapat terjadi pada kasus anensefalus, atresia
esophagus, gemeli, dan ibu yang mengalami diabetes melitus gestasional. Ibu dengan
diabetes melitus gestasional akan melahirkan bayi dengan berat badan berlebihan pada
semua usia kehamilan sehingga kadar cairan amnion juga akan berlebih. Kehamilan
ganda adalah kehamilan dengan dua janin atau lebih sehingga kemungkinan terjadinya
hidramnion bertambah 10 kali lebih besar.
6. Kelainan letak yaitu letak lintang.
7. Usia ibu yang lebih tua
8. Riwayat KPD sebelumnya
9. Merokok selama kehamilan
Patofisiologi

Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan oleh kontraksi uterus dan
peregangan berulang. Selaput ketuban pecah karena pada daerah tertentu terjadi perubahan
biokimia yang menyebabkan selaput ketuban inferior rapuh, bukan karena seluruh selaput
ketuban rapuh.

Dua belas hari setelah ovum dibuahi , terrbentuk suatu celah yang dikelilingi amnion
primitif yang terbentuk dekat embryonic plate. Celah tersebut melebar dan amnion
disekelilingnya menyatu dengan mula-mula dengan body stalk kemudian dengan korion yang
akhirnya menbentuk kantung amnion yang berisi cairan amnion. Cairan amnion , normalnya
berwarna putih , agak keruh serta mempunyai bau yang khas agak amis dan manis. Cairan ini
mempunyai berat jenis 1,008 yang seiring dengan tuannya kehamilan akan menurun dari 1,025
menjadi 1,010. Asal dari cairan amnion belum diketahui dengan pasti , dan masih membutuhkan
penelitian lebih lanjut. Diduga cairan ini berasal dari lapisan amnion sementara teori lain
menyebutkan berasal dari plasenta.Dalam satu jam didapatkan perputaran cairan lebih kurang
500 ml

Amnion atau selaput ketuban merupakan membran internal yang membungkus janin dan
cairan ketuban. Selaput ini licin, tipis, dan transparan. Selaput amnion melekat erat pada korion
(sekalipun dapat dikupas dengan mudah). Selaput ini menutupi permukaan fetal pada plasenta
sampai pada insertio tali pusat dan kemudian berlanjut sebagai pembungkus tali pusat yang tegak
lurus hingga umbilikus janin. Sedangkan korion merupakan membran eksternal berwarna putih
dan terbentuk dari vili – vili sel telur yang berhubungan dengan desidua kapsularis. Selaput ini
berlanjut dengan tepi plasenta dan melekat pada lapisan uterus.
Gambar 2.1. Gambar skematik struktur selaput ketuban saat aterm.

Dalam keadaan normal jumlah cairan amnion pada kehamilan cukup bulan sekitar 1000 –
1500 cc, keadaan jernih agak keruh, steril, bau khas, agak manis, terdiri dari 98% - 99% air, 1- 2
% garam anorganik dan bahan organik (protein terutama albumin), runtuhan rambut lanugo,
verniks kaseosa, dan sel – sel epitel dan sirkulasi sekitar 500cc/jam

Fungsi cairan amnion

1. Proteksi : Melindungi janin terhadap trauma dari luar dan kemungkinan infeksi
2. Mobilisasi : Memungkinkan ruang gerak bagi bayi
3. Hemostatis : Menjaga keseimbangan suhu dan lingkungan asam basa (Ph)
4. Mekanik : Menjaga keseimbangan tekanan dalam seluruh ruang intrauteri
5. Pada persalinan, membersihkan atau melicinkan jalan lahir dengan cairan steril sehingga
melindungi bayi dari kemungkinan infeksi jalan lahir

Patogenesis

Terdapat keseimbangan antara sintesis dan degenerasi ekstraseluelr matriks. Perubahan


struktur, jumlah sel, dan katabolisme kolagen menyebabkan aktivasi kolagen berubah dan
menyebabkan selaput ketuban pecah.
Faktor resiko untuk terjadinya ketuban pecah dini adalah:

1. Berkurangnya asam askorbik sebagai komponen kolagen

2. Kekurangan tembaga dan asam askorbik yang berakibat pertumbuhan struktur


abnormal karena antara lain merokok

Degradasi kolagen dimediasi oleh matriks metalloproteinase (MMP) yang dihambat oleh
inhibitor jaringan spesifik dan inhibitor protease. Mendekati waktu persalinan, terdapat
keseimbangan antara MMP dan inhibitor of matrix metalloprotease (TIMPs) yang mengarah
pada degradasi proteolitik dari matriks ekstraseluler dan membrane janin. Aktivitas proteolitik
ini meningkat menjelang persalinan.

MMP adalah kumpulan proteinase yang terlibat dalam remodeling tissue dan degenerasi
kolagen. MMP – 2, MMP – 3, dan MMP – 9 ditemukan dengan konsentrasi tinggi pada
kehamilan dengan ketuban pecah dini. Aktivasi protease ini diregulasi oleh TIMPs. TIMPs ini
pula rendah dalam cairan amnion pada wanita dengan ketuban pecah dini. Peningkatan enzim
protease dan penurunan inhibitor mendukung bahwa enzim ini mempengaruhi kekuatan
membran fetal.

Indikasi terjadi infeksi pada ibu dapat ditelusuri metode skrining klasik, yaitu temperatur
rektal ibu dimana dikatakan positif jika temperatur rektal lebih 38°C, peningkatan denyut jantung
ibu lebih dari 100x/menit, peningkatan leukosit dan cairan vaginal berbau.

Tabel 2.1. Frekuensi gejala yang berhubungan dengan infeksi intra-amniotik.

Diagnosis

Diagnosis dapat ditegakan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium.

1. Anamnesis
Dari anamnesis dapat menegakkan 90% dari diagnosis. Kadang kala cairan seperti urin dan
vaginal discharge bisa dianggap cairan amnion. Penderita merasa basah dari vaginanya atau
mengeluarkan cairan banyak dari jalan lahir.

2. Inspeksi
Pengamatan biasa akan tampak keluarnya cairan dari vagina, bila ketuban baru pecah, dan
jumlah airnya masih banyak, pemeriksaan ini akan makin jelas.

3. Pemeriksaan Inspekulo
Merupakan langkah pertama untuk mendiagnosis KPD karena pemeriksaan dalam seperti
vaginal toucher dapat meningkatkan resiko infeksi, cairan yang keluar dari vagina perlu
diperiksa : warna, bau, dan PH nya, yang dinilai adalah

 Keadaan umum dari serviks, juga dinilai dilatasi dan perdarahan dari serviks. Dilihat
juga prolapsus tali pusat atau ekstremitas janin. Bau dari amnion yang khas juga
harus diperhatikan.
 Pooling pada cairan amnion dari forniks posterior mendukung diangnosis KPD.
Melakukan perasat valsava atau menyuruh pasien untuk batuk untuk memudahkan
melihat pooling
 Cairan amnion di konfirmasikan dengan menggunakan nitrazine test. Kertas lakmus
akan berubah menjadi biru jika PH 6 – 6,5. pH cairan ketuban sekiar 7,1-7.3 Sekret
vagina ibu memiliki PH 4 – 5, dengan kerta nitrazin ini tidak terjadi perubahan
warna. Kertas nitrazin ini dapat memberikan positif palsu jika tersamarkan dengan
darah, semen atau vaginisis trichomiasis.
4. Mikroskopis (tes pakis). Jika terdapat pooling dan tes nitrazin masih samar dapat
dilakukan pemeriksaan mikroskopis dari cairan yang diambil dari forniks posterior.
Cairan diswab dan dikeringkan diatas gelas objek dan
dilihat dengan mikroskop. Gambaran “ferning”
menandakan cairan amnion

Gambar 2.2. Tes pakis


5. Dilakukan juga kultur dari swab untuk chlamydia, gonnorhea, dan stretococcus group B
Pemeriksaan Lab

1. Pemeriksaan alpha – fetoprotein (AFP), konsentrasinya tinggi didalam cairan amnion


tetapi tidak dicairan semen dan urin
2. Pemeriksaan darah lengkap dan kultur dari urinalisa
Pemeriksaan USG

Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan ketuban dalam kavum uteri.
Pada kasus KPD terlihat jumlah cairan ketuban sedikit (Oligohidramnion atau anhidramnion).
Oligohidramnion ditambah dengan hasil anamnesis dapat membantu diagnosis tetapi bukan
untuk menegakkan diagnosis rupturnya membran fetal. Selain itu dinilai amniotic fluid index
(AFI), presentasi janin, berat janin, dan usia janin.

Penatalaksanaan

1. Konservatif
Rawat di rumah sakit, berikan antibiotik (ampisilin 4x500mg atau eritromisin bila tidak
tahan dengan ampisilin dan metronidazol 2 x 500mg selama 7 hari). Jika umur kehamilan
kurang dari 32 – 34 minggu, dirawat selama air ketuban masih keluar. Jika usia
kehamilan 32 – 37 minggu belum inpartu, tidak ada infeksi, tes busa negatif berikan
dexametason, observasi tanda – tanda infeksi, dan kesejahteraan janin. Terminasi pada
usia kehamilan 37 minggu. Jika usia kehamilan 32 – 37 minggu, sudah inpartu, tidak ada
infeksi, berikan tokolitik (salbutamol), deksametason, dan induksi setelah 24 jam. Jika
usia kehamilan 32 – 37 minggu, ada infeksi, beri antibiotik dan lakukan induksi, nilai
tanda – tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda – tanda infeksi intrauterin). Pada usia
kehamilan 32 – 37 minggu berikan steroid untuk kematangan paru janin, dan bila
memungkinkan periksa kadar lesitin dan spingomietin tiap minggu. Dosis betametason
12mg sehari dosis tunggal selama 2 hari, deksametason IM 5 mg setiap 6 jam selama 4
kali.

2. Aktif
Kehamilan > 37 minggu, induksi dengan oksitoksin. Bila gagal seksio sesarea. Bila tanda – tanda
infeksi berikan antibiotik dosis tinggi dan terminasi persalinan. Bila skor pelvik < 5, lakukan
pematangan pelviks, kemudian induksi. Jika tidak berhasil lakukan seksio sesarea. Bila skor
pelviks > 5 lakukan induksi persalinan

Gambar 2.3. Alur penatalaksanaan ketuban pecah dini

Komplikasi

Persalinan Prematur
Setelah ketuban pecah biasanya segera disusul oleh persalinan. Periode laten tergantung
umur kehamilan. Pada kehamilan aterm 90% terjadi dalam 24 jam setelah ketuban pecah. Pada
kehamilan antara 28-34 minggu persalinan dalam 24 jam.Pada kehamilan kurang dari 26 minggu
persalinan terjadi dalam 1 minggu.

Infeksi

Resiko infeksi ibu dan anak meningkat pada Ketuban Pecah Dini.Pada ibu terjadi
korioamnionitis.Pada bayi dapat terjadi septicemia, pneumonia, omfalitis.Umumnya terjadi
korioamnionitis sebelum janin terinfeksi.Pada Ketuban Pecah Dini prematur, infeksi lebih sering
daripada aterm. Secara umum insiden infeksi sekunder pada Ketuban Pecah Dini meningkat
sebanding dengan lamanya periode laten.

Hipoksia dan Asfiksia

Dengan pecahnya ketuban terjadi oligohidramnion yang menekan tali pusat hingga terjadi
asfiksia atau hipoksia. Terdapat hubungan antara terjadinya gawat janin dan oligohidramnion,
semakin sedikit air ketuban, janin semakin gawat.

Sindrom Deformitas Janin

Ketuban Pecah Dini yang terjadi terlalu dini menyebabkan pertumbuhan janin terhambat,
kelainan disebabkan oelh kompresi muka dan anggota badan janin serta hipoplasi pulmonary.

Pencegahan

Pada pasien perokok, diskusikan tentang pengaruh merokok selama kehamilan usaha
untuk menghentikan, motivasi untuk menambah berat badan yang cukup selama hamil, anjurkan
pasangan agar menghentikan koitus pada trimester akhir.
Prognosis

Prognosis pada ketuban pecah dini sangat bervariatif tergantung pada :

 Usia kehamilan
 Adanya infeksi / sepsis
 Factor resiko / penyebab
 Ketepatan Diagnosis awal dan penatalaksanaan

Prognosis dari KPD tergantung pada waktu terjadinya, lebih cepat kehamilan, lebih sedikit bayi
yang dapat bertahan. Bagaimanapun, umumnya bayi yang lahir antara 34 dan 37 minggu
mempunyai komplikasi yang tidak serius dari kelahiran premature.

II. PERSALINAN PERVAGINAM


a.Definisi
Persalinan adalah suatu proses pengeluaran janin yang viable dari dalam uterus melalui
vagina kedunia luar. Persalinan dimulai dengan munculnya HIS persalinan. Menjelang
persalinan terjadi perubahan-perubahan yang sifatnya fisiologis yang pada ibu/maternal
yang nantinya berperan mendukung proses persalinan. Berikut akan dibahas proses dalam
persalinan normal.
b. Etiologi
Karena persalinan merupakan suatu proses fisiologis yang memang diperlukan untuk
mengeluarkan hasil konsepsi berupa janin, maka tubuh materna mengalami perubahan-
perubahan baik secara fisiologis, anatomis maupun hormonal guna mempersiapkan diri
menghadapi persalinan. Ada banyak teori yang menerangkan bagaimana
terjadinya/dimulainya persalinan pada gravida. Adapun teori-teori yang menjadi penyabab
persalinan antara lain:
1. Perubahan pada struktur uterus dan sirkulasi uterus (sirkulasi uteroplasenta)
Pada minggu-minggu akhir kehamilan bagian otot-otot uterus makin membesar dan
menegang. Hal ini menyebabkan terganggunya aliran darah menuju otot uterus
terutama pada bagian arteri spiralis yang mensuplai darah keplasenta. Hal ini
menyebabkan gangguan sirkulasi uteroplasenta yang mengakibatkan degradasi plasenta
dan menurunnya nutrisi untuk janin. Mulai menurunya asupan nutrisi janin akan
memberi rangsangan untuk dimulainnya proses persalinan.
2. Faktor neurologis
Selain itu, tegangan rahin yang semakin meningkat seiring bertambah besarnya janin
menyebabkan terjadinya penekanan pada ganglion servikale dari pleksus
Frankenhauser dibelakang serviks. Perangsangan ganglion ini mampu membangkitkan
kontraksi uterus yang merupakan awal dari proses partu.
3. Perubahan Hormonal dan kimiawi
Adapun studi yang dilakukan mengenai hormon yang bekerja dalam kehamilan
menunjukkan adanya perubahan menjelang parturitas yang diduga kuat berperan untuk
induksi persalinan. Secara umum hormon progesteron dan relaxin bekerja terutama
untuk mempertahankan kehamilan dengan cara meredam aktivitas/kontraksi
miometrium. Dalam kehamilan, kerja progesteron mampu mengimbangi efek estrogen
yang meski berperan dalam proliferasi kelenjar, juga memiliki efek meningkatkan
kontraksi uterus. Sehingga keberadaan kedua hormon ini selama kehamilan dalam
keadaan seimbang sangat penting artinya. Menjelang parturitas, dimana meski plasenta
semakin tua pembentukan kedua hormon ini tidak berubah. Perubahan terutama terjadi
pada reaktifitas jaringan terhadap hormon terkait dengan keberadaan reseptornya.
Dimana efek akhirnya adalah terjadi peningkatan kerja estrogen dan penurunan efek
progesteron.

c. Fisiologi Persalinan Pervaginam

Menjelang persalinan terjadi perubahan pada ibu hamil yang berperan


mendukung/menginduksi proses persalinan. Adapun perubahan-perubahan tersebut meliputi
perubahan pada sistem hormonal, struktur anatomi dan fisiologi pada tubuh ibu, terutama
pada sistem reproduksi.
1. Perubahan Hormonal

Tidak banyak terjadi perubahan pada kadar hormon estrogen dan progesteron
menjelang partus. Meski didapat peningkatan kerja hormon estrogen dan insufisiensi efek
progesteron, hal ini lebih disebabkan perubahan pada reseptor hormon. Menjelang partus,
PRA (progesteron reseptor A) yang bekerja menginhibisi efek progesteron, jumlahnya
meningkat sedang PRB (progesteron receptor B) yang kerjanya berkebalikan dengan PRA
malah menurun. Hal inilah yang menyebabkan fungsi utama progesteron untuk menjaga
kehamilan jadi berkurang.

Hal ini juga didukung dengan peningkatan reseptor estrogen α (ERA). ERA selama
kehamilan dihambat kerjanya oleh progesteron, sehingga peningkatan jumlah reseptor ini
akan membantu peningkatan aktifitas estrogen. Dimana estrogen sangat berperan untuk
merangsang kontraksi uterus. Efek estrogen yang berperan menunjang kontraksi adalah
efeknya dalam aktivasi formasi gap-junction, meningkatkan reseptor oxytocin dan COX-2
serta meningkatkan sintesis prostaglandin.

Prostaglandin dan oxytocin juga meningkat menjelang partus. Selain dipengaruhi


peningkatan estrogen, sekresi PG juga berasal langsung dari paru janin yang juga
mensekresikan PAF. Membran janin juga mensekresi PAF (platelets activating factors) yang
berperan menginisiasi kontraksi uterus.

2. Perubahan Anatomi

Perubahan anatomi yang penting terjadi menjelang persalinan adalah pada jalan lahir
dan jaringan lunak rongga panggul. Dibawah pengaruh estrogen jaringan otot dan ligamen
berelaksasi sehingga memudahkan akomodasi dari panggul ketika bayi melewati rongga
panggul. Pada uterus, miometrium membesar dan menjelang persalinan akan mulai muncul
HIS (kontraksi uterus). Setiap selesai kontraksi HIS, miometrium akan memendek. Hal ini
akan menyebabkan tarikan pada SBR (ismus) yang memiliki jaringan otot yang lebih
sedikit, dan selanjutnya akan menyebabkan tarikan pada serviks sehingga serviks akan
mulai menipis dan berdilatasi.

3. Perubahan Fisiologis

Menjelang persalinan akan dimulai suatu kontraksi uterus yang disebut HIS
persalinan. Selain itu, karena pengaruh estrogen dan prostaglandin serviks akan menjadi
makin lunak hipermukus dan hipervaskularisasi. Hal ini akan menyebabkan sekresi lendir
oleh kelenjar yang nantinya akan memberikan tampakan bloody show (mukus bercampur
darah) yang merupakan salah satu tanda in partu. Apabila pembukaan sudah lengkap, ibu
akan mulai memiliki refleks meneran yang nantinya dapat membantu kelahiran bayi.

Perubahan-perubahan diatas adalah perubahan yang terjadi pada ibu dalam rangka
persiapan diri untuk proses persalinan/kelahiran bayi. Adapun dalam proses
kelahiran/partus, ada beberapa aspek yang berpengaruh, yaitu power, passage, passenger
dan provider. Power adalah segala tenaga yang mendorong bayi keluar melalui jalan lahir.
Terdiri atas tegangan kontraksi HIS dan tenaga meneran dari ibu. Passage adalah jalan lahir,
termasuk didalamnya perubahan anatomi pada jalan lahir menjelang persalinan. Passenger
adalah bayi itu sendiri. Sedang provider lebih terkait dalam manajemen persalinan.

 Power

HIS adalah kontraksi uterus yang datang secara teratur menjelang persalinan.
Adapun HIS yang sempurna memiliki sifat kejang otot paling tinggi terdapat di fundus uteri,
dan puncak kontraksi terjadi simultan disemua bagian uterus. Selain itu, diikuti relaksasi
yang tidak sempurna. Artinya, meskipun otot relaksasi, tapi tidak pernah kehilangan tonus
ototnya. Sehingga tegangan ruang amnion tetap dipertahankan sebesar 6-12 mmHg. Pada
tiap akhir kontraksi, akan terjadi retraksi fisiologis pada otot-otot uterus. Retraksi ini
menyebabkan terikan pada serviks yang menyebabkan serviks semakin menipis dan
berdilatasi seiring pemendekan otot-otot uterus.

Adapun HIS umumnya dimulai pada bagian uterus dekat muara tuba falopii. Tapi,
sebenarnya kontraksi HIS tidak memiliki struktur anatomi tertentu dimana ia disinkronisasi.
Kontraksi menyebar dari sel-kesel melalui area dengan resistensi lebih rendah. Area dengan
resistensi lebih rendah ini dikaitkan dengan adanya gap-junction yang meningkat menjelang
aterm akibat pengaruh estrogen yang meningkat dan menurunnya progesteron. Gap-junstion
ini diduga terdapat lebih banyak pada muara tuba faloppii, sehingga seolah-olah terdapat
pacemaker yang memulai kontraksi uterus pada bagian ini.

Mekanisme terjadinya HIS sangat dipengaruhi oxytocin dan PG. Kedua senyawa ini
akan terikat pada reseptornya di miometrium yang selanjutnya kan mengaktifasi
phosfolipase C. Phosfolipase C akan menghidrolisis lipid membran (phosphatidylinositol
4,5-biphosphate) menjadi diacylglycerol dan inositol triphosphate. Selanjutnya, inositol
triphosphate akan menginduksi pelepasan dari kalsium dari retikulum sarkoplasma.
Sehingga terjadi peningkatan kalsium intraselular yang nantinya akan merangsang dari
kontraksi myofibril.

Gambar 2.4 Mekanisme terjadinya HIS

Selain HIS, tenaga lain yang berperan dalam persalinan adalah tenaga meneran ibu
yang membantu memperkuat dorongan. Serta tegangan dari cairan amnion. Tegangan cairan
amnion tidak pernah menjadi nol. Bahkan ketika relaksasi otot-otot uterus diantara kontraksi
HIS, tonus otot tetap dipertahankan rendah. Hal ini menyebabkan tegangan cairan amnion
tetap dipertahankan sebesar 6-12 mmHg. Seperti sifat sebuah cairan, ia akan menekan
kesegala arah. Demikian pula halnya dengan cairan amnion. Karena dinding uterus tidak
sama komposisi dan ketebalannya, sehingga pada arah SBR dan serviks, tegangan cairan
amnion ini menyebabkan terdorongnya serviks dan membantu penipisan dan dilatasi serviks
serta penurunan bagian terbawah janin ke rongga panggul.

Gambar 2.5 Mekanisme terjadinya HIS


 Passage

Passage terkait dengan anatomi jalan lahir. Terutama yang berperan dalam
menentukan dapat tidaknya kelahiran pervaginam adalah anatomi dari pelvic minor. Yang
perlu diperhatikan dalam anatomi pelvis adalah bidang-bidang khusus yang membentuk
struktur pelvic. Ukuran bidang pelvis sangat mempengaruhi dapat tidaknya kelahiran
pervaginam terkait dengan ukuran pelvic dibanding ukuran bayi.

Adapun bidang yang penting dalam anatomi pelvis adalah:

1. PAP (pelvic inlet) dibatasi oleh promontorium vertebra, alla sacrum, linea terminalis, ramus
horizontal os. Pubis dan simfisis pubis. Ukuran diameter bidang PAP yang tidak sesuai/lebih
kecil dari normal dapat menyebabkan tidak dapat menyebabkan abnormalitas dalam
presentasi janin. Adapun bidang PAP memiliki beberapa diameter yaitu konjugata vera (true
conjugate) yang menghubungkan promontorium dengan bagian atas simfisis, konjugata
obstetrika (obstetric konjugate) yang menghubungkan promontorium dengan bagian tengah
simfisis, dan diameter transversal yang menghubungkan dua sisi linea terminalis.
2. Midpelvic adalah ruang/bidang setinggi spina isciadika dan merupakan bidang tersempit
dari panggul. Hal ini dikarenakan adanya spina isciadika yang menonjol kerongga panggul.
Adapun ukuran diameter yang penting adalah diameter AP, bispinosus dan posterior sagital.
3. Pelvic outlet merupakan bidang terbawah rongga panggul yang dibatasi/ dibentuk oleh
ujung terbawah sacrum, sisi ligamentum sacrosciatic, dan ischial tuberosities.

Tabel 2.2. Diameter dalam bidang pelvic

Adapun secara umum, bentuk dari pelvic minor dibagi atas empat tipe utama tiap
tipe berbeda-beda dalam hal prognosisnya dalam persalinan.
Gambar 2.6. Diameter dalam bidang pelvic

 Passenger

Passenger terkait dengan ukuran dan posisi janin menjelang kelahiran. Adapun untuk
ukuran, yang penting diperhatikan adalah ukuran kepala janin yang memang merupakan
bagian tubuh terbesar janin. Adapun bagian dan ukuran kepala janin yang penting adalah
diameter suboksipito-bregmatikus (9,5 cm), sumento-bregmatikus (9,5), oksipito-mentalis
(13,5) dan oksipito-frontalis (11,5).

Gambar 2.7 kepala janin

Selain ukuran diameter kepala, anatomi janin juga digambarkan dalam 5 kategori
yaitu letak, posisi, habitus, presentasi, dan variasi.

o Letak, menggambarkan axis janin terhadap axis ibu. Dapat longitudinal, horizontal atau
obliq. Letak normal ketika mulai memasuki PAP adalah longitudinal

o Presentasi, menggambarkan bagian janin yang menempati posisi terbawah (pertama masuk
pelvis). Dapat presentasi kepala, bokong atau melintang. Presentasi normal adalah pesentasi
kepala belakang/UUK.

o Habitus/sikap, berupa gerakan/ posisi tubuh janin dan letak/posisi ekstremitas. Normal
kepala janin fleksi, tangan terlipat kedada, kaki fleksi pada lutut dan pangkal paha.
o Posisi, menggambarkan bagian tertentu dalam presentasi apakah berada di dekstra atau
sinistra. Normal UUK bisa berada dibagian dekatra maupun sinistra

o Variasi, terkait dengan posisi dan presentasi janin. Ada beberapa variasi dalam posisi, yaitu
posisi kanan dapat posterior, anterior atau transversal.

Semua hal diatas, power, passage dan passenger sangat penting artinya dalam
kelahiran pervaginam. Ketidaknormalan atau ketidaksesuaian salah satu komponen dapat
menyebabkan gangguan dan komplikasi dalam persalinan.

d. Mekanisme Partus Pervaginam


Hampir 96% janin berada dalam uterus dengan presentasi kepala dan pada
presentasikepala ini ditemukan ± 58% ubun-ubun kecil terletak di kiri depan, ± 23% di
kanandepan, ± 11% di kanan belakang, dan ± 8% di kiri belakang. Keadaan ini
mungkindisebabkan terisinya ruangan di sebelah kiri belakang oleh kolon sigmoid
danrektum.
1. Kala Persalinan
Mekanisme persalinan terdiri dari 4 kala, yaitu :
Kala I: kala pendataran dan dilatasi serviks, dimulai ketika telah tercapai kontraksi uterus
yang cukup untuk menghasilkan pendataran dan dilatasi serviks, dan berakhir ketika serviks
sudah membuka lengkap (sekitar 10 cm)
Kala II: Kala pengeluaran janin (ekspulsi janin), dimulai ketika dilatasi serviks sudah
lengkap, dan berakhir ketika janin sudah lahir.
Kala III : Waktu untuk pelepasan dan ekspulsi plasenta
Kala IV: Satu jam setelah plasenta lahir lengkap

A. Kala I (Kala Pembukaan)


Pada kala pembukaan, his belum begitu kuat, datangnya setiap 10-15 menit dan tidak
seberapa mengganggu ibu, sehingga ibu seringkali masih dapat berjalan. Lambat laun his
bertambah kuat, interval menjadi lebih pendek, kontraksi juga menjadi lebih kuat dan lebih
lama. Lender berdarah bertambah banyak.
Secara klinis dapat dikatakan partus dimulai apabila timbul his dan wanita tersebut
mengeluarkan lendir yang bersemu darah (bloody show). Lendir yang bersemu darah ini
berasal dari lendir kanalis servikalis mulai membuka atau mendatar. Proses membukanya
serviks sebagai akibat his dibagi dalam 2 fase :
1. Fase laten : Berlangsung selama 8 jam. Pembukaan terjadi sangat lamba tsampai
mencapai ukuran diameter 3 cm
2. Fase aktif : Dibagi dalam 3 fase lagi yakni:
- Fase akselerasi: dalam waktu 2 jam pembukaan 3 cm tadi menjadi 4 cm
- Fase dilatasi maksimal: dalam waktu 2 jam pembukaan berlangsung sangat cepat,
dari 4cm, menjadi 9 cm
- Fase deselerasi: pembukaan menjadi lambat kembali. Dalam waktu 2 jam
pembukaan dari 9 cm menjadi lengkap.
Fase-fase tersebut dijumpai pada primigravida. Pada multigravida pun terjadi
demikian, akan tetapi fase laten, fase aktif, dan fase deselerasi terjadi lebih pendek.

Gambar 2.8 . Berbagai fase pembukaan serviks pada kala I

Pendataran serviks adalah pemendekan kanalis servikalis uteri yang semula


berupasebuah saluran dengan panjang 1-2 cm, menjadi satu lubang saja dengan pinggir yang
tipis.Pembukaan serviks adalah pembesaran ostium externum yang tadinya berupa
suatulubang dengan diameter beberapa millimeter, menjadi lubang yang dapat dilalui anak
dengandiameter sekitar 10 cm. Pada pembukaan lengkap, tidak teraba lagi bibir portio,
segmenbawah rahim, serviks dan vagina telah merupakan suatu saluran.
Mekanisme membukanya serviks berbeda pada primigravida dan multigravida. Pada
primigravida, ostium uteri internum akan membuka lebih dulu, sehingga serviks akan
mendatar dan menipis. Baru kemudian ostium uteri eksternum membuka. Sedangkan pada
multigravida ostium uteri internum sudah sedikit terbuka. Ostium uteri internum dan
eksternum serta penipisan dan pendataran serviks terjadi dalam saat yang sama. Kala I selesai
apabila pembukaan serviks uteri telah lengkap. Pada primigravida kala I berlangsung kira-
kira 12 jam, sedangkan pada multipara kira-kira 7 jam.

Gambar 2.9. Pendataran dan pembukaan serviks pada primigravida dan multipara

B. Kala II (Kala Pengeluaran Janin)


Fase ini dimulai ketika dilatasi serviks lengkap dan berakhir dengan pelahiran janin.
Durasi sekira 50 menit untuk nulipara dan sekitar 20 menit multipara, tetapi sangat
bervariasi. Pada kala II his menjadi lebih kuat dan lebih cepat, kontraksi selama 50-100 detik,
kira-kira tiap 2-3 menit. Karena biasanya kepala janin sudah masuk di ruang panggul, maka
pada his dirasakan tekanan pada otot-otot dasar panggul, yaitu secara reflektoris
menimbulkan rasa mengedan. Ibu merasa pula
1. Tekanan pada rectum
2. Hendak buang air besar
3. Perineum mulai menonjol dan melebar
4. Anus membuka
5. Labia mulai membuka dan tidak lama kemudian kepala janin tampak dalamvulva pada
waktu his.
Dengan his dan kekuatan mengedan maksimal kepala janin dilahirkan dengan
suboksiput di bawah simfisis dan dahi, muka, dan dagu melewati perineum. Setelah istirahat
sebentar, his mulai lagi untuk mengelurakan badan dan anggota bayi.
C. Kala III (Kala Pengeluaran Plasenta)
Terdiri dari 2 fase, yaitu:
(1) fase pelepasan plasenta,
(2) fase pengeluaran plasenta.
Setelah anak lahir, his berhenti sebentar, tetapi timbul lagi setelah beberapa menit.
His ini dinamakan his pelepasan plasenta. Pada masa ini, uterus akan teraba sebagai tumor
yang keras, segmen atas melebar karena mengandung plasenta, dan fundus uteri teraba
sedikit di bawah pusat. Lamanya kala III kurang lebih 8,5 menit, dan pelepasan plasenta
hanya memakan waktu 2-3 menit
Tanda-tanda pelepasan plasenta
- Uterus menjadi bundar dan lebih kaku
- Keluar darah yang banyak (±250 cc) dan tiba-tiba
- Memanjangnya bagian tali pusat yang lahir
Pelahiran plasenta sebaiknya tidak boleh dipaksa sebelum pelepasan plasenta karena
dapat menyebabkan inverse uterus

D. Kala IV (Kala Pengawasan)


Merupakan kala pengawasan selama 1 jam setelah bayi dan plasenta lahir untuk
mengamati keadaan ibu terutama terhadap bahaya perdarahan postpartum. Pokok penting
yang harus diperhatikan pada kala 4 :
1) kontraksi uterus harus baik,
2) tidak ada perdarahan pervaginam atau dari alat genital lain,
3) plasenta dan selaput ketuban harus sudah lahir lengkap,
4) kandung kencing harus kosong,
5) luka-luka diperineum harus dirawat dan tidak ada hematoma,
6) resume keadaan umum bayi, dan
7) resume keadaan umum ibu.
BAB III

PEMBAHASAN

Pasien datang ke IGD dengan keluhan keluar air-air jernih encer dari vagina sejak 2 jam
SMRS. Pasien mengeluh mulas hilang timbul. Keadaan pasien tersebut dicurigai sebagai tanda
dari terjadinya Ketuban Pecah Dini. Ketuban Pecah Dini adalah keadaan dimana ketuban pecah
sebelum terjadinya inpartu. Pasien datang ke VK 03.10 WIB dan dilakukan anamnesis
didapatkan keluhan pasien keluar air jernih encer dari vagina. Pada pemeriksaan fisik ditemukan
tidak ada nyeri tekan, tinggi fundus uteri 32 cm, punggung janin di kiri perut ibu, presentasi
terbawah janin kepala sudah masuk PAP, teraba 4/5 bagian. Dilakukan pemeriksaan dalam dan
didapatkan porsio tebal kaku, pembukaan 1 cm, kepala hodge 1, selaput ketuban -. Dilakukan tes
lakmus hasilnya positif yaitu adanya perubahan warna kertas lakmus dari merah menjadi biru.

Ketuban pecah dini atau spontaneus/early/premature rupture of membrans (PROM)


merupakan pecahnya selaput ketuban secara spontan pada saat belum menunjukkan tanda-tanda
persalinan / inpartu (keadaan inpartu didefinisikan sebagai kontraksi uterus teratur dan
menimbulkan nyeri yang menyebabkan terjadinya efficement atau dilatasi serviks) atau bila satu
jam kemudian tidak timbul tanda-tanda awal persalinan atau secara klinis bila ditemukan
pembukaan kurang dari 3 cm pada primigravida dan kurang dari 5 cm pada multigravida.
Etiologi dari KPD antara lain imfeksi, defisiensi Vitamin C, factor selaput ketuban, factor umur
dan paritas, factor tingkat sosio dan ekonomi

Ketuban Pecah Dini pada kehamilan dapat merupakan suatu tanda persalinan dan dapat
juga mengakibatkan infeksi. Infeksi yang terjadi pada pasien dengan ketuban pecah dini dapat
berupa infeksi intrauterine dan infeksi intrapartum. Dalam menangani kasus ini, yang dilakukan
adalah mengevaluasi ada tidaknya tanda – tanda infeksi. Tanda – tanda infeksi antara lain ibu
mengeluhkan demam dengan suhu lebih dari 38 C, takikardia pada ibu dan janin, ketuban keruh
dan berbau, adanya peningkatan leukosit atau leukositosis serta leukosit esterase positif. Pada
pasien ini didapatkan suhu tubuh ibu dalam batas normal, nadi ibu 84x/menit, ketuban jernih
encer dan tidak berbau, tidak adanya peningkatan leukosit. Pasien diberikan anrtibiotik Injeksi
Ceftriaxone setelah 2 jam setelah KPD.
Penatalaksaan pada pasien dengan KPD dapat dilakukan dengan dua cara yakni
penanganan konservatif dan penanganan aktif. Penanganan konservatif dilakukan pada pasien
dengan usia kehamilan <32 minggu – 37 minggu. Sedangkan pada pasien dengan kehamilan >37
minggu dilakukan dengan penanganan aktif. Pada pasien dilakukan penanganan dengan cara
aktif. Pada penanganan aktif yang diperhatikan adalah ada tidaknya tanda – tanda infeksi dan
terminasi kehamilan.

Pemberian antibiotik pada pasien KPD juga termasuk dalam hal yang harus diperhatikan.
Pada pasien KPD tanpa adanya tanda – tanda infeksi, dan sudah inpartu pemberian antibiotic
dilakukan setelah 12 jam terjadinya KPD, namun bila tidak didapatkan kemajuan persalinan
antibiotic dapat diberikan kurang dari 12 jam setelah terjadi KPD. Pada pasien KPD dengan
tanda – tanda infeksi diberikan antibiotic segera setelah diketahui terjadinya infeksi.

Saat datang di VK, pasien sedang dalam PK 1 fase laten dan diobservasi ketat tanda
persalinan. Tanda persalinan itu adalah adanya his adekuat, terjadi pembukaan dan pendataran
servix, adanya lendir dan darah dari jalan lahir dan penurunan bagian terbawah janin. Kemudian
pasien dipasang CTG dan hasilnya reaktif. Anak pertama dan kedua pasien lahir secara
pervaginam. Dilakukan observasi persalinan pervaginam pada pasien dan tidak ada kemajuan
persalinan, sehingga dilakukan SC.
TEORI KASUS

Anamnesis Secara klinis diagnosa KPD ditegakkan bila Pasien mengeluhkan


seorang ibu hamil mengalami pecah selaput keluar air-air jernih encer
ketuban dan dalam waktu satu jam kemudian dari vagina 2 jam SMRS.
tidak terdapat tanda awal persalinan.

Pemeriksaan KPD adalah pecahnya ketuban sebelum in Pada pemeriksaan dalam


fisik partu, yaitu bila pembukaan pada primi kurang didapatkan: porsio tebal
dari 3 cm dan pada multipara kurang dari 5 cm. kaku, pembukaan 1 cm,
selaput ketuban -, kepala
di Hodge 1.

Indikasi terjadi infeksi pada ibu dapat Pada pemeriksaan


ditelusuri metode skrining klasik, yaitu didapatkan:
temperatur rektal ibu dimana dikatakan positif - suhu 36,3OC
jika temperatur rektal lebih 38°C, peningkatan - Nadi 84 x/menit
denyut jantung ibu lebih dari 100x/menit, - Ketuban jernih dan
peningkatan leukosit dan cairan vaginal tidak berbau
berbau.


Pemeriksaan Cairan amnion di konfirmasikan dengan Dilakukan tes Nitrazin
penunjang menggunakan nitrazine test. Kertas lakmus (Kertas lakmus) di IGD
akan berubah menjadi biru jika PH 6 – 6,5. pH pada pasien dan hasilnya
cairan ketuban sekiar 7,1-7.3 Sekret vagina ibu kertas lakmus berubah
memiliki PH 4 – 5, dengan kerta nitrazin ini warna dari merah menjadi
tidak terjadi perubahan warna. biru.

Indikasi terjadi infeksi pada ibu dapat Pada pasien ditemukan:


ditelusuri metode skrining klasik, yaitu - Leukosit 11.100 u/L
temperatur rektal ibu dimana dikatakan positif - DJJ 142 x / menit
jika temperatur rektal lebih 38°C, peningkatan
denyut jantung ibu lebih dari 100x/menit,
peningkatan leukosit dan cairan vaginal
berbau.
Tatalaksana Kehamilan > 37 minggu, induksi dengan Pada kasus tidak
oksitoksin. Bila gagal seksio sesarea. Bila dilakukan augmentasi
tanda – tanda infeksi berikan antibiotik dosis dengan oksitosin. Pasien
tinggi dan terminasi persalinan. Bila skor diobservasi apakah bayi
pelvik < 5, lakukan pematangan pelviks, sudah lahir 5 jam setelah
kemudian induksi. Jika tidak berhasil lakukan KPD. Bila tidak lahir
seksio sesarea. dilakukan SC. Setelah 5
jam bayi tidak lahir, maka
pasien dilakukan SC.

Pada pasien KPD tanpa adanya tanda – tanda Tidak ada tanda-tanda
infeksi, dan sudah inpartu pemberian antibiotic infeksi pada pasien.
dilakukan setelah 12 jam terjadinya KPD Diberikan antibiotik inj.
Ceftriaxone 2 x 1 gr 2 jam
setelah KPD.
BAB 1V

KESIMPULAN

Penanganan yang dilakukan pada pasien ini kurang sesuai dengan teori. Teori
menyebutkan bila usia kehamilan > 37 minggu maka dilakukan penanganan aktif untuk terminasi
kehamilan yaitu dilakukan induksi dengan oksitosin, bila gagal maka dapat dilakukan seksio
sesarea. Pada pasien ini dilakukan observasi kemajuan persalinan 5 jam setelah KPD, jika bayi
belum lahir maka dilakukan SC. Setelah 5 jam KPD, bayi belum lahir juga sehingga dilakukan
SC. Pada pasien tidak dilakukan augmentasi menggunakan oksitosin. Diberikan antibiotik inj.
Ceftriaxon 2x1 gr 2 jam setelah KPD, sementara teori menyebutkan pada pasien KPD tanpa
adanya tanda – tanda infeksi, dan sudah inpartu pemberian antibiotic dilakukan setelah 12 jam
terjadinya KPD.
DAFTAR PUSTAKA

Gabbe, S.G., Niebyl, J.R., Simpson, J.L. 2002. Obstetrics Normal and Problem
Pregnancies, ed.4, Churchill Livingstone, New York.

Manuaba.I.B.G. 2001. Ketuban Pecah Dini dalam Kapita Selekta Penatalaksanaan


Obstetri Ginekologi dan KB, EGC, Jakarta, hal : 221 – 225.

Saifudin, Abdul B. 2002. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal &
Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Saifuddin, Abdul B. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.

Soewarto S. 2016. Ketuban Pecah Dini dalam Ilmu Kebidanan. Edisi Keempat. Cetakan
Kelima. Jakarta. PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. hal 677-82.

Anda mungkin juga menyukai