Anda di halaman 1dari 8

ACHALASIA ESOFAGUS

1.1 PENDAHULUAN

Akalasia esofagus, atau dikenal juga dengan nama simple ectasia, kardiospasme,
megaesofagus, Dilatasi esofagus difus tanpa stenosis atau dilatasi esofagus idiopatik adalah
suatu gangguan neuromuskular. Istilah achalasia berarti “gagal untuk mengendur” dan
merujuk pada ketidakmampuan dari lower esophageal sphincter (cincin otot antara
esophagus bagian bawah dan lambung) untuk membuka dan membiarkan makanan lewat
kedalam lambung. Kegagalan relaksasi batas esofagogastrik pada proses menelan ini
menyebabkan dilatasi bagian proksimal esofagus tanpa adanya gerak peristaltik. Penderita
akalasia merasa perlu mendorong atau memaksa turunnya makanan dengan air atau
minuman guna menyempurnakan proses menelan. Gejala lain dapat berupa rasa penuh
substernal dan umumnya terjadi regurgitasi. (1,2)

1.2 INSIDENS DAN EPIDEMIOLOGI

Prevalensi akalasia sekitar 10 kasus per 100.000 populasi. Namun, hingga sekarang,
insidens penyakit ini telah cukup stabil dalam 50 tahun terakhir yaitu sekitar 0,5 kasus per
100.000 populasi per tahun. Rasio kejadian penyakit ini sama antara laki-laki dengan
perempuan. Menurut penelitian, distribusi umur pada akalasia biasanya sering terjadi
antara umur kelahiran sampai dekade ke-9, tapi jarang terjadi pada 2 dekade pertama
(kurang dari 5% kasus didapatkan pada anak-anak). Umur rata-rata pada pasien orang
dewasa adalah 25-60 tahun.(2)

1.3 ETILOGI DAN PATOFISIOLOGI

Dasar penyebab Akalasia adalah tidak efektifnya peristaltis esophagus bagian distal
serta gagalnya relaksasi sfingter bawah. Secara histologik, ditemukan kelainan berupa
degenerasi sel ganglion plexus Auerbach sepanjang esofagus pars torakal. Dari beberapa
data disebutkan bahwa faktor-faktor seperti herediter, infeksi, autoimun, dan degeneratif
adalah kemungkinan penyebab dari akalasia(2,3,4). Menurut etiologinya, akalasia dapat
dibagi dalam 2 bagian, yaitu: (3). Akalasia primer (yang paling sering ditemukan). Penyebab
yang jelas tidak diketahui. Diduga disebabkan oleh virus neurotropik yang berakibat lesi
pada nukleus dorsalis vagus pada batang otak dan ganglia mienterikus pada esofagus.
Disamping itu, faktor keturunan juga cukup berpengaruh pada kelainan ini.
Akalasia sekunder (jarang ditemukan). Kelainan ini dapat disebabkan oleh infeksi, tumor
intraluminer seperti tumor kardia atau pendorongan ekstraluminer seperti pseudokista
pankreas. Kemungkinan lain dapat disebabkan oleh obat antikolinergik atau
pascavagotomi.
1.4 ANATOMI DAN FISILOGI

Esofagus mempunyai 3 bagian fungsional. Bagian paling atas adalah upper


esophageal sphincter (sfingter esofagus atas), suatu cincin otot yang membentuk bagian
atas esofagus dan memisahkan esofagus dengan tenggorokan. Sfingter ini selalu menutup
untuk mencegah makanan dari bagian utama esofagus masuk ke dalam tenggorokan.
Bagian utama dari esofagus disebut sebagai badan dari esofagus, suatu saluran otot yang
panjangnya kira-kira 20 cm.

Gambar 1. Esofagus (dikutip dari kepustakaan 6)

Bagian fungsional yang ketiga dari esofagus yaitu lower esophageal sphincter
(sfingter esophagus bawah), suatu cincin otot yang terletak di pertemuan antara esofagus
dan lambung. Seperti halnya sfingter atas, sfingter bawah selalu menutup untuk mencegah
makanan dan asam lambung untuk kembali naik/regurgitasi ke dalam badan esofagus.
Sfingter bagian atas akan berelaksasi pada proses menelan agar makanan dan saliva dapat
masuk ke dalam bagian atas dari badan esofagus. Kemudian, otot dari esofagus bagian atas
yang terletak di bawah sfingter berkontraksi, menekan makanan dan saliva lebih jauh ke
dalam esofagus. Kontraksi yang disebut gerakan peristaltik ini akan membawa makanan
dan saliva untuk turun ke dalam lambung. Pada saat gelombang peristaltik ini sampai pada
sfingter bawah, maka akan membuka dan makanan masuk ke dalam lambung.(5)
Esofagus berfungsi membawa makanan, cairan, sekret dari faring ke gaster melalui suatu
proses menelan, dimana akan terjadi pembentukan bolus makanan dengan ukuran dan
konsistensi yang lunak, proses menelan terdiri dari tiga fase yaitu :
Fase oral, makanan dalam bentuk bolus akibat proses mekanik bergerak pada dorsum lidah
menuju orofaring, palatum mole dan bagian atas dinding posterior faring terangkat.
Fase pharingeal, terjadi refleks menelan (involuntary), faring dan laring bergerak ke atas
oleh karena kontraksi m. Stilofaringeus, m. Salfingofaring, m. Thyroid dan m. Palatofaring,
aditus laring tertutup oleh epiglotis dan sfingter laring. Fase oesophageal, fase menelan
(involuntary) perpindahan bolus makanan ke distal oleh karena relaksasi m. Krikofaring,
di akhir fase sfingter esofagus bawah terbuka dan tertutup kembali saat makanan sudah
lewat.(5)
DIAGNOSIS

GambaranKlinik
Akalasia biasanya mulai pada dewasa muda walaupun ada juga yang ditemukan pada bayi
dan sangat jarang pada usia lanjut. Biasanya gejala yang ditemukan adalah
Disfagia merupakan keluhan utama dari penderita Akalasia. Disfagia dapat terjadi secara
tiba-tiba setelah menelan atau bila ada gangguan emosi. Disfagia dapat berlangsung
sementara atau progresif lambat. Biasanya cairan lebih sukar ditelan dari pada makanan
padat.
Regurgitasi dapat timbul setelah makan atau pada saat berbaring. Sering regurgitasi terjadi
pada malam hari pada saat penderita tidur, sehingga dapat menimbulkan pneumonia
aspirasi dan abses paru. Rasa terbakar dan Nyeri Substernal dapat dirasakan pada stadium
permulaan. Pada stadium lanjut akan timbul rasa nyeri hebat di daerah epigastrium dan
rasa nyeri ini dapat menyerupai serangan angina pektoris. sssssPenurunan berat badan
terjadi karena penderita berusaha mengurangi makannya unruk mencegah terjadinya
regurgitasi dan perasaan nyeri di daerah substernal. Gejala lain yang biasa dirasakan
penderita adalah rasa penuh pada substernal dan akibat komplikasi dari retensi
makanan.(3,4)

Pada anak yang paling sering adalah muntah persisten.(6)

Gambaran Radiologi

Foto Polos Thoraks

Pada pemeriksaan Foto foto polos memiliki sensitivitas dan spesifitas yang rendah
dalam menegakkan diahnosis akhalasia. Pada pemeriksaan ini dapat ditemukan dada akan
menunjukkan gambaran kontur ganda di atas mediastinum bagian kanan, seperti
mediastinum melebar dan adanya gambaran batas cairan udara (air fluid level ) tampak
retrocardia yang didapatkan pada pasien stadium lanjut. (2,3,5)

Gambar 1. Foto Thoraks dengan gambaran Akalasia esofagus dilatasi dengan


tingkat cairan udara (dikutip dari kepustakaan 7)

Esofagografi

Pemeriksaan radiologik dengan kontras menggambarkan adanya penyempitan dan


stenosis pada kardia esofagus dengan dilatasi esofagus pada bagian proksimalnya.
Pemeriksaan esofagogram barium dengan pemeriksaan fluoroskopi, tampak dilatasi pada
daerah dua pertiga distal esofagus dengan gambaran peristaltik yang abnormal serta
gambaran penyempitan di bagian distal esofagus atau esophagogastric junction yang
menyerupai seperti bird-beak like appearance.
Gambar 3. Gambaran esofagus Normal pada Esofagografi (dikutip dari kepustakaan 6)

Gambar 4. Gambar menunjukan teknik dari Timed Barium Esopphagogram (TBE)


menunjukan 3 radiograf dalam satu film pada menit ke 1,2,dan 5 setelah pemberian 250
ml Barium (dikutip dari kepustakaan 7)

Gambar 5. Barium swallow study tampak tanda klasik


bird’s beak deformity pada distal oesophagus (dikutip dari kepustakaan 8)
Pada akalasia berat akan terlihat dilatasi esofagus , sering berkelok-kelok dan memanjang
dengan ujung distal yang meruncing disertai permukaan yang halus memberikan
gambaran paruh burung (bird’s beak appearrance). Bagian esofagus yang berdilatasi
tampak hipertropi dengan dinding yang menipis dan pada stadium lanjut menunjukkan
tanda elongasi.(6,7,8)

CT Scan

Tidak biasanya digunakan untuk diagnosis. Dilihat sebagai struktur luminal melebar
dengan puing-puing dipertahankan dan penyempitan pada tingkat di mana ia memasuki
perut.

Gambar 3. Pemeriksaan Computed tomography scan dengan kontras menunjukan


akalasia Esofagus (dikutip dari kepustakaan 9)

Gambar 4. Pemeriksaan Computed tomography scan dengan kontras menunjukan dilatasi


pada Esofagus distal(dikutip dari kepustakaan 9)

Fluoroskopi

Pada pemeriksaan dengan fluoroskopi terlihat tidak adanya kontraksi korpus


esofagus. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah skintigrafi dengan memberikan
makanan yang mengandung radioisotop dan akan memperlihatkan dilatasi esofagus tanpa
kontraksi. Di samping itu, terdapat pemanjangan waktu pemindahan makanan ke dalam
lambung akibat gangguan pengosongan esofagus.(8,9)

Gambar 7. Dalam akalisia klasik, esofagus membesar dengan kontraksi yang buruk
semakin rendah esophageal spinchter yang menghasilkan penampilan paruh burung
(dikutip dari kepustakaan 9)

C. Endoskopi
Esofagoskopi merupakan pemeriksaan yang dianjurkan untuk semua pasien
akalasia oleh karena beberapa alasan yaitu untuk menentukan adanya esofagitis retensi dan
derajat keparahannya, untuk melihat sebab dari obstruksi, dan untuk memastikan ada
tidaknya tanda keganasan. Pada pemeriksaan ini, tampak pelebaran lumen esofagus dengan
bagian distal yang menyempit, terdapat sisa-sisa makanan dan cairan di bagian proksimal
dari daerah penyempitan, Mukosa esofagus berwarna pucat, edema dan kadang-kadang
terdapat tanda-tanda esofagitis akibat retensi makanan. Sfingter esofagus bawah akan
terbuka dengan melakukan sedikit tekanan pada esofagoskop dan esofagoskop dapat
masuk ke lambung dengan mudah. 3 Pada kebanyakan pasien, dengan pemeriksaan
esofagoskopi ditemukan gambaran mukosa normal, kadang-kadang didapatkan hiperemia
ringan difus di bagian distal esofagus. Juga didapatkan gambaran bercak putih pada
mukosa, erosi dan ulkus akibat retensi makanan. Dengan pemeriksaan ini dapat
disingkirkan kelainan karena striktur atau keganasan. Endoskopi pada akalasia selain untuk
diagnosis juga dapat membantu terapi,sebagai alat pemasangan kawat penunjuk arah
sebelum tindakan dilatasi pneumatik.3Gambar 8. Gambaran esofagus normal pada
pemeriksaan Endoskopi. (dikutip dari kepustakaan 11)

Patologi Anatomi

Gambaran histopatologik akalasia ditandai dengan degenerasi ganglia pleksus


Auerbach yang mengatur motilitas esofagus. Selain itu, terjadi dilatasi dan hipertrofi
esofagus.
Bila hasil dalam pemeriksaan radiologi masih membingungkan, maka dapat dilakukan
pemeriksaan manometri.(4,11)
Kriteria Manometrik :
Keadaan normal :
Tekanan SEB 10-26 mmHg dengan relaksasi normal
Amplitudo peristaltik esofagus distal 50-110 mmHg
Tidak dijumpai kontraksi spontan, repetitif, atau simultan
Gelombang tunggal
5 waktu gelombang peristaltik esofagus distal rata-rata 30 detik
Pada akalasia :
Tekanan SEB meningkat >26 mmHg atau >30 mmHg
Relaksasi SEB tidak sempurna
Aperistaltik korpus esofagus
Tekanan intraesofagus meningkat (>lambung)

DIFFERENSIAL DIAGNOSIS
Diagnosis banding akalasia primer adalah : (3)
Penyakit Chagas juga dapat memberikan gambaran akalasia, akan tetapi biasanya disertai
megakolon, megaureter, dan penyakit miokardial.

Gambar 10. Esofagografi penyakit Chagas (dikutip dari kepustakaan 6)

Skleroderma juga dapat memberikan gambaran seperti akalasia, akan tetapi gangguannya
hanya pada kontraksi saja tanpa gangguan SEB.

Gambar 11. Skleroderma dengan striktur peptikum. Kontras menunjukan segmen yang
relatif panjang menyempit yang meruncing di esofagus distal (panah) yang dihasilkan
dari lambung ditandai jaringan parut pada pasien dengan keterlibatan esophageal oleh
skleroderma (dikutip dari kepustakaan6)
Akalasia sekunder seperti adenokarsinoma gaster yang meluas ke esofagus.

Gambar 12. Tmpak massa di lumen esofagus sehingga menyebabkan penyempitan lumen
dan tepi yang ireguler. (dikutip dari kepustakaan 8)

KOMPLIKASI
Beberapa komplikasi dan akalasia sebagai akibat an retensi makanan pada esophagus
adalah sebagai berikut:1 Obstruksi saluran pethapasan
Bronkhitis
Pneumonia aspirasi
Abses paru
Divertikulum
Perforasi esofagus
Small cell carcinoma
Sudden death

PENATALAKSANAAN

Sifat terapi pada akalasia hanyalah paliatif, karena fungsi peristaltik esofagus
tidak dapat dipulihkan kembali. Terapi dapat dilakukan dengan memberi diet tinggi
kalori, medikamentosa, tindakan dilatasi, psikoterapi, dan operasi esofagokardiotomi
(operasi Heller) (12)
Terapi Non Bedah
Terapi Medikasi
Pemberian smooth-muscle relaxant, seperti nitroglycerin 5 mg SL atau 10 mg PO, dan
juga methacholine, dapat membuat sfingter esofagus bawah relaksasi dan membantu
membedakan antara suatu striktur esofagus distal dan suatu kontraksi sfingter esofagus
bawah. Selain itu, dapat juga diberikan calcium channel blockers (nifedipine 10-30
mgSL) dimana dapat mengurangi tekanan pada sfingter esofagus bawah. Namun
demikian hanya sekitar 10% pasien yang berhasil dengan terapi ini. Terapi ini sebaiknya
digunakan untuk pasien lansia yang mempunyai kontraindikasi atas pneumatic dilatation
atau pembedahan.
Injeksi Botulinum Toksin
Suatu injeksi botulinum toksin intrasfingter dapat digunakan untuk menghambat
pelepasan asetilkolin pada bagian sfingter esofagus bawah, yang kemudian akan
mengembalikan keseimbangan antara neurotransmiter eksitasi dan inhibisi. Dengan
menggunakan endoskopi, toksin diinjeksi dengan memakai jarum skleroterapi yang
dimasukkan ke dalam dinding esophagus dengan sudut kemiringan 45°, dimana jarum
dimasukkan sampai mukosa kira-kira 1-2 cm di atas squamocolumnar junction. Lokasi
penyuntikan jarum ini terletak tepat di atas batas proksimal dari LES dan toksin tersebut
diinjeksi secara caudal ke dalam sfingter. Dosis efektif yang digunakan yaitu 80-100
unit/mL yang dibagi dalam 20-25 unit/mL untuk diinjeksikan pada setiap kuadran dari
LES. Injeksi diulang dengan dosis yang sama 1 bulan kemudian untuk mendapatkan hasil
yang maksimal. Namun demikian, terapi ini mempunyai penilaian terbatas dimana 60%
pasien yang telah diterapi masih tidak merasakan disfagia 6 bulan setelah terapi;
persentasi ini selanjutnya turun menjadi 30% walaupun setelah beberapa kali penyuntikan
dua setengah tahun kemudian. Sebagai tambahan, terapi ini sering menyebabkan reaksi
inflamasi pada bagian gastroesophageal junction, yang selanjutnya dapat membuat
miotomi menjadi lebih sulit. Terapi ini sebaiknya digunakan pada pasien lansia yang
kurang bisa menjalani dilatasi atau pembedahan.1,2
Pneumatic Dilatation
Pneumatic dilatation telah menjadi bentuk terapi utama selama bertahun-tahun. Suatu
balon dikembangkan pada bagian gastroesophageal junction yang bertujuan untuk
merupturkan serat otot dan membuat mukosa menjadi intak. Persentase keberhasilan awal
adalah antara 70% dan 80%, namun akan turun menjadi 50% 10 tahun kemudian,
walaupun setelah beberapa kali dilatasi. Rasio terjadinya perforasi sekitar 5%. Jika terjadi
perforasi, pasien segera dibawa ke ruang operasi untuk penutupan perforasi dan miotomi
yang dilakukan dengan cara thorakotomi kiri. Insidens dari gastroesophageal reflux yang
abnormal adalah sekitar 25%. Pasien yang gagal dalam penanganan pneumatic dilatation
biasanya di terapi dengan miotomi Heller.
Terapi Bedah
Suatu laparascopic Heller myotomy dan partial fundoplication adalah suatu prosedur
pilihan untuk akalasia esofagus. Operasi ini terdiri dari suatu pemisahan serat otot (mis:
miotomi) dari sfingter esofagus bawah (5 cm) dan bagian proksimal lambung (2 cm),
yang diikuti oleh partial fundoplication untuk mencegah refluks.

Gambar 13. Postoperative barium meal dari pasien dengan akalasia setelah Heller
myotomy dan prosedur anti-reflux Belsey-Mark IV (dikutip dari kepustakaan 13)
Pasien dirawat di rumah sakit selama 24-48 jam, dan kembali beraktfitas sehari-hari
setelah kira-kira 2 minggu. Secara efektif, terapi pembedahan ini berhasil mengurangi
gejala sekitar 85-95% dari pasien, dan insidens refluks postoperatif adalah antara 10%
dan 15%. Oleh karena keberhasilan yang sangat baik, perawatan rumah sakit yang tidak
lama, dan waktu pemulihan yang cepat, maka terapi ini dianggap sebagai terapi utama
dalam penanganan akalasia esofagus. Pasien yang gagal dalam menjalani terapi ini,
mungkin akan membutuhkan dilatasi, operas kedua, atau pengangkatan esofagus (mis:
esofagektomi).(10,13)
PROGNOSIS

Prognosis Achalasia bergantung pada durasi penyakit dan banyak sedikitnya


gangguan motilitas, semakin singkat durasi penyakitnya dan semakin sedikit gangguan
motilitasnya maka prognosis untuk kembali ke ukuran esofagus yang normal setelah
pembedahan (Heller) memberikan hasil yang sangat baik.(14)

DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, Prasetyono TOH, Rudiman R, editors. . Buku Ajar
Ilmu Bedah. EGC. Jakarta.1997.hal. 593-676
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Edisi IV jilid I. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI; 2006. hal : 322-4
3. Price SA, Wilson LM. Esofagus. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit.
4th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1995. hal. 357-8,363-5.
4. Robbins SL, Kumar V. Traktus gastrointestinalis. Buku ajar patologi II. 4th ed.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1995. hal. 235-6.
5. Netter. Esophagus. Update 2011 November; [cited 2013 December 10] Available from
URL: http://www.netterimages.com/image/14331.htm
6. Rasad, Syahriar. 2005. Radiologi Diagnostik. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. Hal. 406
7. Meschan I. Oropharynx, laringopharynx, and esophagus. Roentgen sign in diagnostic
imaging. 2nd ed. Philadelphia: W. B. Saunders Company; 1984. p. 522,525-6.
8. Sawyer MAJ. Achalasia. [Online]. 2006 Jun 22 [cited 2007 September 29]; Available
from: URL: http://www.emedicine.com/radio/topic6.htm\
9. Paschalidis N, Voulstos M, Baltagiannis N, Riszoz S. Oesophageal Achalasia. Update
2012. [cited 5 december 2013]. Available from URL:
http://www.jama.net/hellenicJournalofSurgery/84-5
10. Teplick JG, Marvin E. Haskin. Disease of the Digestive System. in Rontgenologic
Diagnosis vol 2. 3rd ed.Phyladelphia; WB Saunders Company ; 1976. p.889 – 91.
11. Levine, M.Achalasia and diffuse esophageal spasm: Spectrum of findings and
complementary roles of barium studies and manometry. [updated: May 2006]; [cited: 4
Dec 2013]. Available from URL:
http://www.appliedradiology.com/uploadedfiles/Issues/2006/05/Articles/AR_05-
06_Levine.pdf
12. Ahmad Z, Bhargava R, Pandey DK, Sharma DK, Beg M. An Uncommon
Presentation of Achalasia Cardia. [cited 2013]; Available from URL:
http://www.jiacm.com/journal/radio/topic6.htm
13. Goyal, Raj K.. Diseases of The Esophagus. In: Jeffers, J. D., Boynton, S. D.
Harrison’s Principles of Internal Medicine, 16th edition. New York : McGraw-Hill, Inc.
2005.p.1358

Anda mungkin juga menyukai