Anda di halaman 1dari 10

1.

Sejarah Kurikulum 1984 (CBSA)

Kurikulum 1984 TK, SD/SDLB, SMP/SMPLB, SMA/SMALB, SPG/LB dan SMK


baik yang setingkat dengan tingkat SMP maupun yang setingkat dengan tingkat SMA.
Perbaikan terhadap kurikulum mencakup:

1) Peninjauan kembali secara menyeluruh kurikulum yang berlaku melalui pendekatan


pengembangan dengan bertitik tolak pada:
a) Pilihan kemampuan dasar, baik pengetahuan maupun keterampilan yang perlu
dikuasai dalam pembentukan kemampuan dan watak peserta didik.
b) Keterpaduan dan keserasian antara matra kognitif, afektif dan psikomotorik.
c) Penyesuaian tujuan dan struktur kurikulum dengan perkembangan masyarakat,
pembangunan, ilmu pegetahuan dan teknologi.
2) Pelaksanaan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa sebagai bidang/program yang
berdiri sendiri, dari Taman Kanak-Kanak sampai dengan Sekolah Menengah Tingkat
Atas, termasuk Pendidikan Luar Sekolah.
3) Pengadaan program studi baru yang merupakan usaha memenuhi kebutuhan
perkembangan di lapangan kerja. Salah satu prinsip pengembangan kurikulum 1984
adalah prinsip dekonsentrasi yang mempunyai arti adanya pembagian kewenangan dalam
pengembangan kurikulum antara Pusat dan Daerah. Kewenangan daerah dalam hal ini
terutama terletak pada pengembangan keterampilan yang sesuai dengan perkembangan
budaya masyarakat dan lapangan kerja di daerah. Untuk maksud ini maka Staf Bidang
Dikdas dan Dikmenum, Kanwil Depdikbud memerlukan koordinasi/kerjasama dengan
Kantor Depdikbud tingkat Kabupatan dan atau Tingkat Kecamatan, Instansi lain yang
terkait, misalnya Kanwil Depnaker, KADIN, dan Perusahaan, Pemerintah Daerah antara
lain Gubernur, Walikota/Bupati, khususnya BAPPEDA.

Berdasarkan uraian di atas maka yang dimaksudkan dengan perangkat kurikulum 1984
adalah :

1) Landasan, Program, dan Pengembangan


2) Garis-Garis Besar Program Pengajaran
3) Pedoman-pedoman Pelaksanaan Kurikulum 1984

Secara umum dasar perubahan kurikulum 1975 ke kurikulum 1984 di antaranya adalah
sebagai berikut :
1) Terdapat beberapa unsur dalam GBHN 1983 yang belum tertampung ke dalam
kurikulum pendidikan dasar dan menengah.
2) Terdapat ketidakserasian antara materi kurikulum berbagai bidang studi dengan
kemampuan anak didik.
3) Terdapat kesenjangan antara program kurikulum dan pelaksanaannya di sekolah.
4) Terlalu padatnya isi kurikulum yang harus diajarkan hampir di setiap jenjang.
5) Pelaksanaan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) sebagai bidang pendidikan
yang berdiri sendiri mulai dari tingkat kanak-kanak sampai sekolah menengah tingkat
atas termasuk Pendidikan Luar Sekolah.
6) Pengadaan program studi baru (seperti di SMA) untuk memenuhi kebutuhan
perkembangan lapangan kerja.

Atas dasar perkembangan itu maka menjelang tahun 1983 antara kebutuhan atau tuntutan
masyarakat dan ilmu pengetahuan/teknologi terhadap pendidikan dalam kurikulum 1975
dianggap tidak sesuai lagi, oleh karena itu diperlukan perubahan kurikulum. Kurikulum 1984
tampil sebagai perbaikan atau revisi terhadap kurikulum 1975. Kurikulum ini banyak
dipengaruhi oleh aliran psikologi Humanistik, yang memandang anak didik sebagai individu
yang dapat dan mau aktif mencari sendiri, menjelajah dan meneliti lingkungannya. Oleh
sebab itu kurikulum 1984 menggunakan pendekatan proses, disamping tetap menggunakan
orientasi pada tujuan. Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski
mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga
sering disebut “Kurikulum 1975 yang disempurnakan”. Posisi siswa ditempatkan sebagai
subjek belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga
melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active
Leaming (SAL).

Tokoh penting dibalik lahirnya Kurikulum 1984 adalah Profesor Dr. Conny R.
Semiawan, Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas periode 1980-1986 yang juga Rektor IKIP
Jakarta-sekarang Universitas Negeri Jakarta-periode 1984-1992. Konsep CBSA yang elok
secara teoritis dan bagus hasilnya di sekolah-sekolah yang diujicobakan, mengalami banyak
deviasi dan reduksi saat diterapkan secara nasional. Sayangnya, banyak sekolah kurang
mampu menafsirkan CBSA. Yang terlihat adalah suasana gaduh di ruang kelas lantaran siswa
berdiskusi, di sana-sini ada tempelan gambar, dan yang menyolok guru tak lagi mengajar
model berceramah. Penolakan CBSA bermunculan. Setelah berjalan selama lebih kurang
sepuluh tahun, implementasi kurikulum tahun 1984 terasa terlalu membebani guru dan murid
mengingat jumlah materi yang terlalu banyak jika dibandingkan dengan waktu yang tersedia.
Pengembangan Kurikulum 1984 perlu berpedoman pada azas-azas (1) berdasarkan Pancasila,
Undang-Undang 1945 dan GBHN, (2) Keluwesan dengan mempertimbangkan baik tuntutan
kebutuhan peserta didik pada umumnya maupun kebutuhan peserta didik secara individu
sesuai dengan minat dan bakatnya, serta kebutuhan lingkungan, (3) Pendekatan
Pengembangan yang berarti bahwa pengembangan kurikulum dilakukan secara bertahap dan
terus menerus.yaitu dengan jalan melakukan penilaian terhadap pelaksanaan dan hasil-hasil
yang telah dicapai untuk maksud perbaikan/pemantapan dan pengembangan lebih lanjut, dan
(4) Peran serta daerah dimana daerah berwewenang menjabarkan lebih lanjut materi program
keterampilan dan khususnya program B untuk Sekolah Menengah Atas. Kurikulum 1984
dilaksanakan secara bertahap mulai dari kelas I pada tahun ajaran 1984/1985, kelas I dan
kelas II pada tahun ajaran 1985/1986, dan seterusnya.

Pendidikan idiologi dalam kurikulum 1984 tetap menjadi warna yang dominan dalam
kurikulum. Pemerintah menetapkan Pendidikan Pancasila sebagai mata pelajaran wajib dalam
kurikulum sejak SD sampai ke perguruan tinggi. Dalam TAP MPR Nomor IV/MPR/1978
ditetapkan Pendidikan Pancasila sebagai mata pelajaran wajib dan diarahkan untuk
menumbuhkan jiwa, semangat dan nilai-nilai 1945. Berdasarkan TAP MPR Nomor
II/MPR/1978 ditetapkan pula Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila sebagai
“penuntun dan pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara bagi setiap
warganegara Indonesia, setiap penyelenggara Negara serta setiap lembaga kenegaraan dan
kemasyarakatan, baik di Pusat mau pun di Daerah dan dilaksanakan secara bulat dan utuh.”
Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P-4) dan juga dinamakan Ekaprasetia
Pancakarsa ditetapkan sebagai bagian dari Pendidikan Pancasila melalui TAP MPR Nomor
II/MPR/1983. Sebelum pemberlakuan kurikulum 1984, yaitu pada tahun 1983 mata pelajaran
Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) ditetapkan sebagai mata pelajaran wajib.
Penetapan ini berdasarkan keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor
0461/U/1983 yang ditandatangani Prof. Dr. Nugroho Notosusanto. Posisi PSPB sebagai
materi dan mata kuliah wajib dalam kurikulum mendapat kedudukan hukum yang lebih kuat
ketika MPR mengeluarkan TAP MPR Nomor II/MPR/1983 dimana dinyatakan PSPB sebagai
bagian dari Pendidikan Pancasila. Dengan demikian maka pendidikan idiologi dilakukan
melalui Pendidikan Pancasila yang memiliki komponen Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (P-4), Pendidikan Moral Pancasila (PMP), dan Pendidikan Sejarah
Perjuangan Bangsa (PSPB).
Kurikulum 1984 banyak dipengaruhi oleh aliran Humanistik, yang memandang anak
didik sebagai individu yang dapat dan mau aktif mencari sendiri, menjelajah, dan meneliti
lingkungannya. Pada kurikulum ini posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari
mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini
disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Learning (SAL). Tokoh
penting dibalik lahirnya kurikulum 1984 adalah Profesor Dr. Conny R. Semiawan, Kepala
Pusat Kurikulum Depdiknas periode 1980-1986 yang juga Rektor IKIP Jakarta (Universitas
Negeri Jakarta). Konsep CBSA yang elok secara teoretis dan bagus hasilnya disekolah-
sekolah yang di uji cobakan, mengalami banyak deviasi dan reduksi saat diterapkan secara
nasional.

Pendekatan CBSA menitik beratkan pada keaktifan siswa yang merupakan inti dari
kegiatan belajar yang diwujudkan dalam berbagai bentuk kegiatan seperti mendengarkan,
berdiskusi dan sebagainya. Pengemasan bahan ajar berdasarkan kedalaman dan keluasan
materi pelajaran sesuai dengan tingkat dan jenjang pendidikan. Menanamkan pengertian
terlebih dahulu sebelum diberikan latihan. Materi disajikan berdasarkan tingkat kesiapan atau
kematangan siswa. melalui pendekatan konkret, semikonkret, semiabstrak, dan abstrak
dengan menggunakan pendekatan induktif. Kurikulum 1984 menggunakan pendekatan
proses, disamping tetap menggunakan orientasi pada tujuan. Kurikulum 1984 mengusung
process skill approach. Metode pembelajaran menggunakan konsep CBSA atau dengan kata
lain siswa menjadi subjek dalam pembelajaran karena siswa diberikan kesempatan untuk
aktif secara fisik, mental, intelektual dan emosional.

2. Hakikat CBSA

Keaktifasn dalam rangka CBSA menunjuk kepada keaktifan mental, meskipun untuk
mencapai maksud ini dalam hal di persyaratkan keterlibatan langsung dalam perlbagai bentuk
keaktifan fisik. Salah satu cara untuk meninjau derajat ke CSBSA-an di dalam peristiwa
belajar mengajar adalah dengan menkonsepsikan rentangan antara dua kutub gaya mengajar.
McKeachie mengemukakakn tujuh dimensi di dalam proses belajar mengajar,yang
didalamnya dapat terjadi variasi kadar ke CBSA-san. Adapun dimensi-dimensi yang
dimaksud adalah :

1) Partisipasi siswa di dalam menteapkan tujuan kegiatan belajar mengajar


2) Tekanan pada aspek afektif dalam pengajaran.
3) Partispasi siswa dalam kegiatan belajar mengajar.
4) Penerimaan (acceptance) guru terhadap perbuatan atau kontribusi siswa yang kurang
relevan atau bahkan sama sekali salah.
5) Kekohesifan kelas sebagai kelompok.
6) Kebebasan atau lebih tepat kesempatan yang diberikan kepada siswa untuk mengambil
keputusan -keputusan penting dalam kehidupan sekolah.
7) Jumlah waktu yang dipergunakan untuk menanggulangi masalah pribadi siswa baik aatau
tidak maupun yang berhubungan dengan pelajaran(Hasibuan, 1995:9)

3. Ciri-ciri Umum dari Kurikulum CBSA:

1) Berorientasi pada tujuan instruksional


2) Pendekatan pembelajaran adalah berpusat pada anak didik; Pendekatan Cara Belajar
Siswa Aktif (CBSA)
3) Pelaksanaan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB)
4) Materi pelajaran menggunakan pendekatan spiral, semakin tinggi tingkat kelas semakin
banyak materi pelajaran yang di bebankan pada peserta didik
5) Menanamkan pengertian terlebih dahulu sebelum diberikan latihan. Konsep-konsep yang
dipelajari siswa harus didasarkan kepada pengertian, baru kemudian diberikan latihan
setelah mengerti. Untuk menunjang pengertian alat peraga sebagai media digunakan
untuk membantu siswa memahami konsep yang dipelajarinya.

Kebijakan dalam penyusunan Kurikulum 1984 adalah sebagai berikut:

1) Kurikulum 1984 terdapat enam belas mata pelajaran inti. Mata pelajaran yang termasuk
kelompok inti tersebut adalah : Agama, Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Sejarah
Perjuangan Bangsa, Bahasa dan Kesusasteraan Indonesia, Geografi Indonesia, Geografi
Dunia, Ekonomi, Kimia, Fisika, Biologi, Matematika, Bahasa Inggris, Kesenian,
Keterampilan, Pendidikan Jasmani dan Olahraga, Sejarah Dunia dan Nasional.
2) Penambahan mata pelajaran pilihan yang sesuai dengan jurusan masing-masing.
3) Perubahan program jurusan. Kurikulum 1984 jurusan dinyatakan dalam program A dan
B. Program A terdiri dari:
a) A1, penekanan pada mata pelajaran Fisika
b) A2, penekanan pada mata pelajaran Biologi
c) A3, penekanan pada mata pelajaran Ekonomi
d) A4, penekanan pada mata pelajaran Bahasa dan Budaya.
Sedangkan program B adalah program yang mengarah kepada keterampilan kejuruan
yang akan dapat menerjunkan siswa langsung berkecimpung di masyarakat. Tetapi mengngat
program B memerlukan 93 sarana sekolah yang cukup maka program ini untuk sementara
ditiadakan. Kurikulum SD 1984 memiliki struktur sama dengan kurikulum SD 1975. Semua
mata pelajaran tidak dibagi dalam kelompok-kelompok. Jumlah mata pelajaran bertambah
menjadi 11 dengan adanya tambahan mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa
(PSPB) dan Bahasa Daerah. PSPB untuk SD tidak diberikan di setiap catur wulan tetapi
diberikan pada setiap catur wulan III. Jumlah jam pelajaran per minggu dapat dikatakan sama
dengan kurikulum SD 1975 yaitu kelas I 26/27 jam, kelas II 26/27 jam, kelas III 33/33 jam,
kelas IV, V, dan VI masing-masing 36/37 jam. Jika diperhatikan jumlah jam pelajaran ini
berkurang dibandingkan dengan kurikulum SD 1975 karena jam mata pelajaran Bahasa
Daerah tidak dihitung dalam kurikulum SD 1975. Bahasa Daerah hanya berlaku untuk di
sejumlah daerah Indonesia seperti propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timut, dan Bali.
Jam pelajaran untuk Bahasa Indonesia pada catur wulan 3 berkurang 1 jam untuk diberikan
kepada PSPB. Struktur kurikulum SMP 1984 sama dengan struktur kurikulum SMP 1975
yaitu Program Pendidikan Umum, Program Pendidikan Akademis, dan Program Pendidikan
Ketrampilan. Dalam kelompok Program Pendidikan Umum terdapat mata pelajaran
Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa sehingga jumlah mata pelajaran di kelompok ini
bertambah satu dari kurikulum SMP 1975.

Dalam kelompok Program Pendidikan Akademis, IPA untuk kurikulum SMP 1984
langsung dibagi atas Biologi dan Fisika dengan alokasi waktu terpisah masing-masing 3 jam
pelajaran per minggu. IPS tidak dipisahkan dan tetap memiliki jam pelajaran per minggu 4
jam sama dengan kurikulum sebelumnya. Di sini tampak adanya pergeseran konsep dan
filosofis dimana para pengembang kurikulum SMP 1984 terbagi dalam kelompok yang
berbeda. Pengembang kurikulum SMP 1984 masih tetap mempertahankan pendidikan IPS
sedangkan kelompok pengembang IPA sudah tidak lagi mempertahankan pikiran semula
yang digunakan dalam kurikulum SMP 1975. Mungkin saja kesulitan mendapatkan guru
yang mampu mengajar Biologi dan Fisika dalam satu mata pelajaran IPA menjadi alasan
utama pemisahan tersebut. Mata pelajaran yang masuk dalam kelompok Pendidikan
Ketrampilan di kurikulum SMP 1984 mengalami perubahan dibandingkan kurikulum SMP
1975. Jika dalam kurikulum SMP 1975 terdapat mata pelajaran yang dikategorikan sebagai
pilihan terikat dan pilihan bebas yang diberikan secara bergantian pada semester ganjil dan
genap maka dalam dalam kurikulum SMP 1984 hanya terdapat mata pelajaran yang
dinamakan Pendidikan Ketrampilan diberikan pada setiap semester dengan jam pelajaran 4
setiap minggunya. Walaupun ada perbedaan dalam organisasi mata pelajaran Pendidikan
Ketrampilan, ide pendidikan ketrampilan pada kedua kurikulum tetap sama.

Sebagaimana pada kurikulum SMP 1975 maka mata pelajaran Pendidikan Ketrampilan
di kurikulum SMP 1984 memberikan pilihan program ketrampilan pada salah satu semester
di setiap kelas. Program pendidikan ketrampilan dapat dirancang untuk semester ganjil atau
semester genap untuk setiap kelas. Di sini sekolah memiliki kebebasan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya. Pikiran dasar kurikulum SMP 1984 tidak
berbeda dari kurikulum 1975 dari pandangan filosofis pendidikan walau pun terjadi
perbedaan teoritik pada kelompok Pendidikan Akademis dan Pendidikan Ketrampilan.
Penambahan mata pelajaran PSPB juga tidak mengubah pikiran dasar tersebut. Keberadaan
mata pelajaran PSPB memperkuat bukti bahwa kurikulum tidak mungkin lepas dari
kekuasaan. Jumlah jam pelajaran per minggu tidak berbeda besar. Sebaliknya, kurikulum
SMP 1984 makin memberikan bukti bahwa orientasi pendidikan akademik dalam artian
disiplin ilmu semakin kuat. Posisi IPA yang dibagi dalam masing-masing disiplin ilmu secara
“discrete” memperkuat bukti pemikiran tersebut. Struktur kurikulum SMA 1984 mengalami
perubahan yang cukup mendasar dibandingkan dengan kurikulum SMA 1975.

Pada kurikulum SMA 1984 mata pelajaran dikelompokkan Program Inti yang harus
diikuti seluruh peserta didik dan Program Pilihan yang mengganti istilah penjurusan.
Perubahan terjadi juga dalam penjurusan baik mengenai waktu mau pun mengenai jumlah
penjurusan. Peserta didik baru memilih jurusan yang dinamakan Program Pilihan pada saat
mereka naik ke kelas II dan bukan pada semester II.Dalam hal waktu penjurusan, kurikulum
SMA 1984 sama dengan kurikulum SMA 1968. Nama Program Pilihan adalah Program
Ilmu-Ilmu Fisik, Program Ilmu-Ilmu Biologi, Program Ilmu-Ilmu Sosial, dan Program
Pengetahuan Budaya. Nama Ilmu Pasti yang selalu disejajarkan dengan Pengetahuan Alam
dalam kurikulum sebelumnya tidak digunakan lagi.

Orientasi pendidikan disiplin ilmu pada kurikulum SMA 1984 makin kental
dibandingkan kurikulum sebelumnya. Orientasi pendidikan disiplin ilmu tampak pada nama-
nama mata pelajaran yang disamakan dengan nama disiplin ilmu dan pada mata pelajaran
Program Inti yang tidak saja terdiri dari mata pelajaran umum seperti agama, PMP, dan
pendidikan jasmani terdapat pula mata pelajaran untuk landasan pendidikan akademik. Mata
pelajaran Sejarah (Indonesia dan Dunia), Geografi, Bahasa, Matematika, Biologi, Fisika,
Kimia, dan Bahasa Inggeris menjadi mata pelajaran dalam Program Inti. Jumlah jam
pelajaran per minggu untuk kurikulum SMA 1984 tidak berbeda dari kurikulum sebelumnya.
Jumlah mata pelajaran dalam Program Pilihan lebih sedikit dibandingkan kurikulum SMA
1975, masing-masing berkurang 1 mata pelajaran untuk setiap jurusan tetapi jumlah jam
pertemuan bertambah secara signifikan.

Dalam Kurikulum SMA 1984, untuk Program Pilihan Ilmu-Ilmu Fisik dan Ilmu-Ilmu
Biologi masing-masing 19, 21, 25, dan 23 dibandingkan dengan 8, 8, 12, dan 12 pada
kurikulum SMA 1975. Untuk Program Pilihan Ilmu-Ilmu Sosial pada kurikulum SMA 1984
jumlah jam pertemuan setiap minggu adalah 19, 21, 25 dan 23 dibandingkan dengan program
IPS pada kurikulum SMA 1975 yang hanya 10 jam setiap semester. Peningkatan yang sangat
tajam terjadi juga pada program Bahasa pada kurikulum SMA 1975 yang hanya memiliki jam
pertemuan 6, 6, 11 dan 11 sedangkan di kurikulum SMA 1984 memiliki jampertemuan 19,
21, 25 dan 23. Kurikulum 1984 pada dasarnya tidak banyak mengubah posisi belajar peserta
didik. Peserta didik harus memegang peran aktif dalam belajar terus dipertahankan. Bahkan
kurikulum baru menambah peran aktif itu dengan memperkenalkan ketrampilan proses. Pesta
didik harus melaksanakan ketrampilan proses sehingga mereka memiliki kemampuan dalam
mengembangkan masalah berdasarkan apa yang telah dibaca, diamati, dan dibahas.

Kemudian mengembangkan proses belajar aktif dalam memecahkan masalah yang telah
dirumuskan tersebut. Sayangnya, kesalahan sama seperti yang dilakukan dengan model
CBSA dan kurikulum 1975 diulangi lagi. Ketrampilan proses tidak dikembangkan dalam
desain kurikulum sehingga konten kurikulum hanya mencantumkan hal-hal yang bersifat
substantif seperti konsep, teori, peristiwa, dan sebagainya. Ketrampilan yang terdapat dalam
Ketrampilan Proses dan CBSA tidak pernah dijadikan konten kurikulum dan dirajut bersama
dengan materi substantif dalam suatu desain. Akibatnya, sama seperti nasib CBSA maka
ketrampilan proses menjadi slogan dan tidak pernah menjadi ketrampilan nyata sebagai hasil
belajar yang dimiliki peserta didik. Ini suatu kesalahan fatal dan harus dibayar mahal oleh
bangsa Indonesia. Pada tahun 1989 Indonesia memiliki undang-undang pendidikn baru yaitu
Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Undang-
Undang ini pasal 12 ayat (1) menetapkan bahwa wajib belajar menjadi 9 tahun. Wajib belajar
yang diartikan sebagai pendidikan minimal yang harus dimiliki bangsa Indonesia.
Sebelumnya wajib belajar tersebut hanya 6 tahun. Oleh karena itu maka kurikulum SMP yang
dalam Undang-Undang nomor 2 tahun 1989 diubah namanya menjadi SLTP adalah bagian
dari wajib belajar 9 tahun. Konsekuensinya adalah kurikulum SLTP haruslah merupakan
kurikulum untuk umum dan tidak berorientasi akademik. Sementara itu SMA atau SMU
adalah kurikulum yang dipersiapkan untuk mereka yang memiliki minat dan kemampuan
untuk melanjutkan pelajaran ke jenjang yang lebih tinggi.

4. Implikasi Cbsa Bagi Sistem Penyampaian

Pokok-pokok pikiran yang dikemukakan dalam bagian-bagian terdahulu menyarankan


implikasi perubahan perencanaan dan pelaksanaan penyajian kegiatan belajar mengajar yang
cukup mendasar. Pengalaman belajar yang diberikan kepada calon guru atau instruktor
hendaknya jangan memisahkan komponen akademik dengan komponen profesional, jangan
diceraikan teori dan praktek.Disamping itu faktor guru sendiri (filosofinya, ketrampilannya,
serta faktor-faktor kepribadian lainnya) serta faktor-faktor eksternal seperti tersedianya
fasilitas dan besarnya kelas, ikut pula menentukan pilihan cara penyampaian. Salah satu
kemungkinan strategi pengkajian ke CBSA-an suatu kegiatan belajar mengajar sudah barang
tentu sekaligus implisit termasuk pengkajian keserasian dengan tujuan yang mau dicapai
melalui kegiatan yang dimaksud, dilukiskan dalam diagram. Akhirnya filosofi guru agaknya
patut memperoleh sorotan khusus, CBSA bertolak darri anggapan bahwa siswa memiliki
ptensi tersebut hanya dapat diwujudkan apabila mereka diberi babnyak kesempatan untuk
berpikir sendiri. Oleh karena itu maka cara memandang dan menyikapi tugas guru harus
berorientasikan bukan lagi sebagai sang mahatahu yang siap untuk memebri
kebijaksanaan (Hasibuan, 1995:10)

5. Teknik Evaluasi Hasil Belajar

Evaluasi yang serempak dilaksanakan per semester, dimana masih lebih menekankan
pada evaluasi terhadap tingkat penguasaan pengetahuan, prinsip dan konsep-konsep.
Penilaian terhadap penguasaan keterampilan masih bersifat sebagai unsur penunjang.
Penilaian terhadap praktek biasanya dilakukan pada semester ke 5 atau semester 1 di tingkat
3.

6. Kelebihan kurikulum 1984

1) Kurikulum ini memuat materi dan metode yang disebut secara rinci, sehingga guru dan
siswa mudah untuk melaksanakannya.
2) Prakarsa siswa dapat lebih dalam kegiatan belajar yang ditunjukkan melalui keberanian
memberikan pendapat
3) Keterlibatan siswa di dalam kegiatan-kegiatan belajar yang telah berlangsung yang
ditunjukkan dengan peningkatan diri dalam melaksanakan tugas.
4) Anakdapatbelajardaripengalamanlangsunglangsung.
5) Kualitas interaksi antara siswa sangat tinggi, baik intelektual maupun sosial.
6) Memasyarakatkan keterampilan berdiskusi yang diperlukan dengan berpartisipasi secara
aktif

7. Kelemahan kurikulum 1984

1) Banyak sekolah kurang mampu menafsirkan CBSA. Yang terlihat adalah suasana gaduh
di ruang kelas lantaran siswa berdiskusi, di sana-sini ada tempelan gambar, dan yang
menyolok.
2) Adanya ketergantungan pada guru dan siswa pada materi dalam suatu buku teks dan
metode yang disebut secara rinci, sehingga membentuk guru dan siswa tidak kreatif
untuk menentukan metode yang tepat dan memiliki sumber belajar sangat terbatas.
3) Dapat didominasi oleh seorang atau sejumlah siswa sehingga dia menolak pendapat
peserta lain.
4) Siswa yang pandai akan bertambah pandai sedangkan yang bodoh akan ketinggalan.
5) Peranan guru yang lebih banyak sebagai fasilitator, sehingga prakarsa serta tanggung
jawab siswa atau mahasiswa dalam kegiatan belajar sangat kurang.
6) Diperlukan waktu yang banyak dalam pembelajaran menyebabkan materi pelajaran
tidak dapat tuntas dikuasai siswa.
7) Guru kurang berperan aktif

Anda mungkin juga menyukai