Anda di halaman 1dari 11

Karl jaspers dan pemikirannya

PENDAHULUAN

Jaspers sering digolongkan dalam kelompok filsuf eksistensialis seperti Heidegger,


Gabriel Marcel, Camus dan Sartre. Tetapi, Jaspers sendiri tidak senang dengan istilah
eksistensialisme. Ia lebih suka menyebut filsafat yang digelutinya sebagai filsafat eksistensi.
Eksistensialisme tidak merenungkan “esensi“ atau hakekat abadi manusia karena hakikat itu
justru dianggap sebagai sesuatu yang belum ada. Bagi Jasper, “esensi“ manusia ditentukan
dalam eksistensi manusia. Orang yang berfilsafat harus mulai dengan elaborasi ilmu-ilmu.
Jika ilmu pengetahuan telah mencapai batas-batasnya dan jatuh pada ketidakberdayaan,
filsafat eksistensi harus menjalankan tugasnya. Filsafat eksistensi menyelidiki dasar-dasar
keputusan manusia dan keyakinan yang menjadi dasar hidupnya. Maka tidak berlebihan jika
Jaspers lantas mengajak manusia untuk menjadi dirinya sendiri. Filsafatnya bertujuan
mengembalikan manusia kepada dirinya sendiri.

Pokok-pokok pikiran filosofis Karl Jaspers sangat menukik. Ia dengan tajam menggagas
beberapa tema penting dalam khazanah filsafat yaitu eksistensi, metafisika chiffer-chiffer,
periechontologi dan kepercayaan filosofis. Dalam makalah ini penulis berusaha memaparkan
ketiga pokok pikiran tersebut. Tujuan penulis memaparkan semua itu adalah agar para
pembaca dapat mengenal lebih jauh tentang karl jaspers beserta pemikiran-pemikirannya.
Penulis hanya bisa berharap semoga para pembaca tertarik untuk membaca makalah ini.
Sehingga nantinya pembaca bisa menyimpulkan sendiri bagaimana karl jaspers, serta
bagaimana pokok-pokok pemikirannya.

PEMBAHASAN

A. BIOGRAFI KARL JASPERS

Karl Theodor Jaspers lahir di sebuah kota kecil di Jerman Utara yaitu Oldenburg pada
tanggal 23 Februari 1883. Karl Jaspers adalah putra sulung dari pasangan Carl Wilhelm
Jaspers dan Henritte Tantzen. Ayahnya seorang ahli hukum, direktur bank dan pemimpin
dewan kota. Suasana religius di dalam keluarganya adalah Protestan Liberal.

Karl Jaspers termasuk filsuf Jerman paling penting pada abad kedua puluh. Pada tahun
1892-1902 Jasper mengenyam pendidikan di Gymnasium di Oldenburg bersama Rudolf
Bultmann. Sejak kecil ia menderita penyakit paru-paru (bronchiektasis) dan kelemahan
jatung. Oleh sebab itu ia tidak senang ikut dalam kegiatan-kegiatan sosial. Di Universitas
Heidelberg ia belajar hukum, tetapi kemudian ia pindah ke München untuk belajar ilmu
kedokteran. Spesialisasinya yaitu psikiatri.

Setelah lulus kuliah Jaspers bekerja sebagai psikiater di Universitas Heildeberg. Mulai tahun
1916 ia menjadi dosen untuk psikologi di universitas yang sama dan sejak 1922 ia diangkat
menjadi guru besar untuk filsafat. Tahun 1933 Jasper dipecat oleh kaum Nazi karena ia
secara terbuka menyerang Nazi dan akhirnya ia dikenai pula larangan publikasi. Situasi
Perang Dunia Kedua merupakan periode yang amat sulit bagi Jaspers dan isterinya. Banyak
tawaran dari luar negeri sebagai dosen, tetapi isterinya dilarang meninggalkan Jerman. Pada
akhir perang tepatnya tanggal 14 April 1945 diputuskan bahwa Jaspers dan isterinya akan
dibawa ke kamp konsentrasi. Untunglah dua minggu sebelum tanggal tersebut Heildeberg
dibebaskan oleh tentara Amerika. Persahabatan dengan filsuf Heidegger yang pro-Nazi
berakhir pada periode ini.

Setelah Perang Dunia Kedua berakhir Jaspers mengalami jaman keemasan. Ia diangkat
kembali menjadi guru besar dan senator universitas. Karangan-karangan yang ditulisnya
mulai tahun 1938 dan tahun 1945 mulai diterbitkan. Di antaranya yaitu; Die Psychologie Der
Weltanschauungen. Namun situasi politik di Jerman waktu itu baginya tetap sulit. Tahun
1948 ia menerima undangan untuk pindah ke Universitas Basel di Swiss. Jaspers pindah ke
Swiss dan beberapa tahun kemudian ia menjadi warga negara Swiss.

Jaspers mencapai usia 86 tahun. Ia meninggal di Basel pada tanggal 26 Februari 1969.
Selama hidupnya Jaspers menulis puluhan buku dan ratusan artikel serta resensi di wilayah
psikologi, politik dan filsafat. Melalui karya-karyanya Jasper memberi sumbangan besar
pada khazanah filsafat. Tidak mengherankan kalau kini masih ada kelompok-kelompok
pengagum Karl Jaspers yang terus mengelaborasi karya-karya Jaspers di Austria, Jepang,
Jerman, Swiss dan Amerika Utara. Di negara Swiss lantas didirikan juga Karl-Jaspers-
Stiftung. Yayasan ini memberikan beasiswa bagi mahasiswa-mahasiswa yang berprestasi
untuk distudikan lanjut.

B. PEMIKIRAN-PEMIKIRAN KARL JASPERS

I. PERIECHONTOLOGI

Karl Jaspers adalah seorang filsuf yang haus akan kebenaran (Jaspers: 1956, hal.3 dst.;
bdk. Jaspers: 1991, hal. 453 dst.; 1949, hal. 57). Ia terus-menerus mencari kebenaran di
tengah situasi jaman perang dan Nazi yang kejam, situasi kebohongan dan kejahatan politik.
Secara intensif ia berkutat dengan penyelidikan ilmiah yang disebutnya dengan
Philosophische Logik – logika filosofis (Jasper: 1991, hal. 3 dst.). Logika filosofis menyelidiki
batas-batas, asal dan makna kebenaran. Obyek penyelidikan bukanlah “ada”, melainkan
pertanyaan bagaimana manusia bisa dan harus berpikir mengenai “ada” (Jaspers: 1991: hal.
37).

Filsafat pertama-tama tidak mengelaborasi pertanyaan-pertanyaan tentang apa itu “ada”


atau “siapakah saya” atau “apa yang sesungguhnya yang saya inginkan”, tetapi pertama-
tama harus disadari dulu bahwa manusia berada dalam situasi yang tidak pasti. Dengannya,
manusia terbuka bagi berbagai kemungkinan. Manusia yang sadar dalam situasi demikian
ditantang untuk terus-menerus mencari “ada” sampai didapatkan kepastian akan dirinya.

Hasil penyelidikan mengenai kebenaran dimonumenkan Jaspers dalam sebuah buku yang
cukup tebal dan diterbitkan untuk pertama kalinya pada tahun 1947 dengan judul Von der
Wahrheit (mengenai kebenaran). Buku Von der Wahrheit yang amat teoritis ini bisa
dikatakan sebagai tonggak bagi kebenaran.

Dalam bukunya Von der Wahrheit Jaspers dengan gamblang menjelaskan dimensi-dimensi
kenyataan “Yang Melingkupi“ manusia. “Yang Melingkupi“ dalam bahasa Jaspers adalah
“das Umgreifende“. “Das Umgreifende“ atau “ Yang Melingkupi” mengatasi polarisasi antara
ada-obyek dan ada-subyek. Ada-obyek adalah ada yang hadir di depanku: semua hal yang
kupikirkan, kukenal atau sesuatu yang diintensionalisasi, termasuk diriku yang kuobyekkan.
Ada-subyek dapat menyatakan: “akulah”, karena ia adalah pengada. Manusia berada
dengan pengada yang lainnya. tidak dapat diobyekkan. Ia tidak dapat dikenal seperti kita
mengenal apa yang kita jadikan obyek pengenalan. Ada-subyek dalam bahasa Jaspers
adalah eksistensi.

Karakter khas “das Umgreifende“adalah kegelapannya bagi kesadaran manusia karena ia


tidak dapat diobyekkan. “Das Umgreifende“ selalu hanya mengemukakan dirinya, tapi tidak
pernah dapat ditangkap sebagai obyek. Meskipun manusia hendak menangkapnya, manusia
tidak akan mampu menangkapnya karena ia terus-menerus mundur sampai ke batas
cakrawala. Padahal, segala hal yang dapat kita kenal hanya mampu dikenal dalam batas
cakrawala atau pemandangan kita. Akhirnya bisa dimengerti dengan jelas bahwa
pengetahuan manusia ternyata dilingkupi suatu cakrawala atau horison.

Horison yang melingkupi pengetahuan manusia ini belum merupakan “das Umgreifende“ itu
sendiri, melainkan hanya ruang di mana “das Umgreifende“ mulai nyata (Jaspers: 1949: hal.
35). Orientasi dalam ruang ini tidak bersifat ontologis. Ini berarti bahwa ontologi tidak
mungkin, yang mungkin hanyalah periechontologi: pengetahuan mengenai “das
Umgreifende“ (Yang Melingkupi). Dengan kata lain, periechontologi adalah ajaran mengenai
transendensi “Yang Melingkupi” manusia (Yunani: periechein berarti “melingkupi” atau
“mengelilingi”).

Meskipun “das Umgreifende“ tidak dapat dijadikan obyek, tetapi ia adalah pokok dari apa
yang kita pikirkan manakala kita hendak berfilsafat karena “das Umgreifende“ atau “Yang
Melingkupi” menorehkan dimensi-dimensi pengetahuan manusia. “das Umgreifende”
merupakan “horison” pemikiran. Horison ini selalu hadir, tetapi selalu tak tercapai. “das
Umgreifende“ merupakan batas terakhir yang tidak dapat dilewati. “das Umgreifende“ tidak
dapat dikenal dan yang mungkin hanyalah penyelidikan dimensi-dimensinya.

Dimensi-Dimensi Das Umgreifende


Karl Jaspers memaparkan das Umgreifende (Yang Melingkupi) manusia dalam 7 dimensi
yaitu Dasein, Bewusstsein Überhaupt, Geist, Existenz, Welt, Transzendenz dan Vernunft
(Jaspers, K., 1991: hal. 48 dan 50; lih. Jasper K.,1956: hal. 15):

1 Dasein
Dasein adalah das Umgreifende. Manusia yang terus menyadari keberadaannya akhirnya
sampai pada kesadaran bahwa manusia sebagai makhluk hidup yang mempunyai awal dan
akhir (Jaspers: 1991, hal. 53). Manusia termuat dalam Dasein. Kata Dasein dalam Bahasa
Jerman dimengerti penggunaannya sebagai ada yang nyata dalam ruang dan waktu. Ada
dalam konteks ini adalah kehadiran. Manusia ada dan hadir dalam ruang dan waktu.
Manusia memiawal dan akhir. Daseinterumuskan dalam ungkapan manusia yang menyadari
keberadaannya seperti kesadaran bahwa, “saya ada”, “kita ada”, “manusia ada” Jaspers:
1991, hal. 53). Daseinyang melingkupi manusia ini sudah memuat keinginan untuk
mengatasi dirinya sendiri, untuk melompat ke dimensi-dimensi yang lebih tinggi. Dasein
hadir dalam kesadaran (Jaspers: 1991, hal. 62). Manusia memiliki dan mengenali perasaan
yang melingkupinya dan lantas bisa mengatasinya. Kenyataan ini lantas tidak hanya sebatas
seperti binatang yang hanya merasakan dan menjauhinya, tetapi pada manusia ada
kemampuan mengatasinya (Jaspers: 1991, hal. 63).

2 Bewusstsein Überhaupt
Bewusstsein Überhaupt atau dalam Bahasa Indonesianya diartikan sebagai “Kesadaran
Umum” adalah proses pengalaman (hidup batin), pemikiran obyektif (pengetahuan) dan
refleksi atas dirinya sendiri (kesadaran diri). Pada dasarnya manusia memiliki kesadaran ini.
Titik tolak ada adalah kesadaran subyek atau manusia. Segala yang disadari oleh manusia
lantas menjadi “ada” bagi manusia. Segala yang belum disadari manusia lantas juga belum
ada bagi manusia. Kesadaran ini berlaku umum bagi semua manusia. Setiap manusia
memiliki kemampuan untuk menyadari dan lantas sadar bahwa yang ia sadari itu sebagai
satu kenyataan yang “ada”. Kesadaran ini disebut umum karena berlaku untuk semua orang
secara sama. Kesadaran umum ini tanpa batas dalam arti sejauh ia mencakup segala apa
yang dapat dimengerti dan dimaksudkan oleh manusia (Jaspers: 1991, hal. 67).
-------------------------------------------------
3 Geist
Geist yang berarti “roh” dimengerti sebagai dimensi rohani. Dimensi ini mengatasi tingkat
Dasein dan Bewusstsein Überhaupt (Jaspers: 1991, hal. 71). Roh menciptakan kesatuan
dalam pemikiran, perasaan dan tindakan melalui ide-die (Jaspers: 1949, hal. 39; 1991: hal.
71). Contoh konkret dari kemampuan menciptakan kesatuan ini yaitu misalnya ide
tentang jiwa. Ide jiwa memberi kesatuan kepada macam-macam gejala psikologis. Jiwa
tidak dapat ditunjukkan, tetapi ide jiwa harus diandaikan supaya pemikiran psikologis
mendapat struktur.

4 Existenz
Eksistensi melingkupi manusia. Eksistensí itu transenden terhadap Dasein, Bewusstsein
Überhaupt dan Geist karena ketiga das Umgreifende ini menciptakan ruang yang kemudian
diisi dan dihayati oleh Existenz. Roh membutuhkan eksistensi sebagai dasar, tetapi
eksistensi tanpa roh itu tanpa isi. Eksistensi adalah kebebasan yang diisi. Eksistensi termuat
dalam waktu tetapi sekaligus mengatasi waktu, karena keputusan-keputusan bebas
eksistensi menentukan sesuatu untuk selama-lamanya. Eksistensi adalah inti dari
keberadaan manusia, “diri” manusia yang paling asli (Jaspers: 1991, hal. 76) . “Diri” ini
adalah dasar tersembuyi dari kepribadian, dimensi rahasia di mana manusia menemukan
dirinya sendiri dalam kebebasannya (Jaspers: 1949, hal. 42).

5 Welt
Welt atau dunia adalah keseluruhan gejala-gejala (Jasper: 1991, hal. 85). Manusia
mengenal suatu dunia tertentu di dalam dunia kenyataan yang melingkupinya. Manusia
adalah bagian dari dunia. Manusia hidup dalam dunia, tetapi seakan-akan manusia
mendekati dunia itu dari luar. Dunia itu adalah “yang lain dari kita”. Meski demikian, dunia
bukanlah obyek. Dunia melingkupi manusia. Manusia dengan bebas dalam dunia dan juga
bebas terhadap dunia. Dunia memiliki karakter dasar untuk dapat dipahami. Dunia harus
dapat dipikirkan. Ini berarti bahwa Manusia memiliki kemampuan menemukan kemungkinan
jawaban-jawaban atas persoalan dunia dalam elaborasi dunia (Jaspers: 1991, hal. 99).

6 Transzendenz
Pada satu sisi eksistensi manusia dibatasi oleh Welt (dunia), di sisi lain manusia secara tak
terbantahkan juga dibatasi oleh Transzendenz. “Transzendenz adalah das Umgreifende
alles Umgreifende“ (Jaspers: 1991, hal 110). Pernyataan ini berarti bahwa Transendensi
adalah Yang Melingkupi segala sesuatu Yang Melingkupi. Karakter dasar dari transendensi
yaitu bahwa transendensi akan menghilang kalau manusia mencoba untuk memahaminya
(Jaspers: 1991, hal. 110).

Pada koridor pemikiran manusia transendensi adalah ada (das Sein), tetapi sejauh manusia
manusia hidup bersama transendensi, transendensi adalah “kenyataan asli“. Kalau
kenyataan ini lantas dimengerti sebagai kekuatan yang menuntun manusia, kenyataan yang
berbicara kepada manusia dan memberikan perintah-perintah, ia bisa disebut “keilahan“ dan
sebagai pribadi transendensi pada saat tertentu boleh diberinama “Allah“. Menurut Jaspers,
“Allah adalah chiffer untuk kenyataan yang tak ternamai. Chiffer adalah sandi atau simbol
yang menjadi medium antara eksistensi dan transendensi. Chiffer-chiffer (sandi-sandi)
merupakan suatu “teks” yang “ditulis” oleh transendensi dan “dibaca” oleh eksistensi
(Jaspers: 1957, hal. 93).

7 Vernunft
Vernunft atau rasio merupakan ikatan semua bentuk dari “Yang Melingkupi“. Rasio tidak
hanya menjelasi pengertian-pengertian dalam dimensi-dimensi das Umgreifende, tetapi juga
menjadi pengikat di antara mereka (Jaspers: 1991, hal. 114). Rasio memiliki kemampuan
menyatukan kembali segala hal yang tercerai-berai atau pun segala hal yang tidak memiliki
kesatuan karena rasio memiliki kemauan dan kekuatan untuk menyatukan. Rasio membuka
jalan untuk kesatuan karena dengan rasio manusia menemukan kehendaknya untuk
mengutamakan kesatuan (Jaspers: 1991, hal. 118). Kemampuan rasio tentu saja
memungkinkan kesatuan karena rasio adalah sumber dari logika filosofis (Jaspers: 1991,
hal. 119). Rasio tidak bisa dipisahkan dari pengertian pemikiran segala pengetahuan. Rasio
mengelaborasi segala sesuatu dengan nalar yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan
(Jaspers: 1991, hal. 120).

Catatan Kritis
Ketujuh dimensi dari das Umgreifende merupakan satu-kesatuan dalam periechontologi.
Periechontologi tidak memutlakkan salah satu dimensi saja. Periechontologi tidak
dimaksudkan sebagai suatu sistem yang bulat, tetapi hanya merupakan ruang di mana
segala sesuatu yang hakiki mendapat tempatnya. Periechontologi mau melindungi ruang di
mana keilahian dapat berbicara. Hal ini tentu saja berbeda dengan banyak bentuk ontologi
yang yang hanya memilih salah satu dimensi dari ketujuh dimensi tersebut di atas dan lantas
dijadikan mutlak. Rasionalisme pada kenyataannya memutlakkan Vernunft, idealisme
memutlakkan Geist, eksistensialisme memutlakkan Existenz, positivisme memutlakkan Welt,
naturalisme memutlakkan Dasein dan Akoisme (panteisme Spinoza) memutlakkan
Transzendenz.

Kebenaran pada jelajah periechontologi adalah sesuatu yang tumbuh dari bentuk-bentuk
yang das Umgreifende. Pada tataran Dasein kebenaran ditemukan dalam tindakan-tindakan
yang sejati, pada tataran Bewusstsein Überhaupt kebenaran ada dalam ketepatan
keputusan, pada tataran Geist kebenaran ditemukan dalam keyakinan, pada tataran
eksistensi ada iman dan pada tataran transendensi ada kebenaran chiffer-chiffer yang
merupakan simbol -simbol yang sesuai dari “ada“ sendiri.

Periechontologi tidak memberikan kebenaran obyektif. Periechontologi hanya memberi


ruang dan jalan agar kesadaran akan adanya transendensi berkembang melalui bacaan
bahasa chiffer-chiffer. Filsafat dalam kontek ini adalah cinta akan kebenaran. Cinta hadir
dalam semua bentuk dari das Umgreifende. Kebenaran tumbuh dalam komunikasi. Dasar
komunikasi itu adalah cinta. Cinta itu sama luasnya dengan rasio, dan menjadi jiwa rasio.

II. EKSISTENSI
Kata eksistensi berasal dari kata eks (keluar) dan sintesi, yang diturunkan dari kata kerja
sisto (berdiri atau menampilkan). Oleh karena itu, kata eksisitensi diartikan manusia berdiri
sebagai diri sendiri dengan keluar dari dirinya. Manusia sadar bahwa dirinya ada.

Eksistensialisme adalah suatu filsafat yang menolak pemutlakan akal budi dan menolak
pemikiran-pemikiran abstrak murni. Karl Jaspers Memandang filsafat bertujuan
mengembalikan manusia kepada dirinya sendiri. Eksistensialismenya ditandai dengan
pemikiran yang menggunakan semua pengetahuan obyektif serta mengatasi pengetahuan
obyektif itu, sehingga manusia sadar akan dirinya sendiri. Ada dua fokus pemikiran Jasper,
yaitu eksistensi dan transendensi. Karl jasper termasuk dalam aliran eksistensi tertutup :
membatasi pandangannya pada gambaran manusia yang bercerai-berai tanpa trandentia,
atheistis dan pesimisme.

1. Jiwa dan Allah dalam bahasa filsafat disebut eksistensi dan transendensi.
Eksistensi adalah kebebasan yang diisi dan tyermuat dalam waktu tetapi sekaligus mengisi
waktu, karena keputusan-keputusan bebas eksistensi menentukan sesuatu untuk selama-
lamanya. Sedangkan adanya manusia termasuk dunia empiris disebut Dasein (beeing
there). Dasein mencapai puncaknya di dunia ini sedangkan eksistensi tidak. Eksistensi
hanya dapat diterangkan melalui tanda-tanda (signa) seperti tobat, pilhan, komunikasi dan
kebebasan. Manusia mengalami eksistensi sebagai sesuatu yang «diberikan kepadanya
(hadiah dari transendensi).

Eksistensi membutuhkan komunikasi. Penerangan eksistensi mulai dengan komunikasi


dengan eksistensi lain karena manusia tidak puas hanya mengandalkan Dasein saja. Bagi
Jasper, keinginan ini merupakan alasan terpenting untuk menjadi seorang filusuf. Ide baru
dapat disebut relevan dari segi filsafat sejauh ide tersebut memajukan komunikasi. Dasar
komunikasi itu akhirnya cinta.

2. Saat Keputusan
Kebebasan tidak dibutuhkan seandainya manusia mempunyai pengetahuan sempurna akan
segala sesuatu dan tahu konsekuensi atas tindakan serta pilihannya. Peranankehendak
bebas mulai dimana pengetahuan tidak lagi ada/manusia memutuskan karena tidak tahu.
Melalui keputusan ini eksistentis berkembang.dan dalam ketidaktahuan ini eksistensi justru
mengalami hubungan dengan transendensi.

3. Situasi-situasi Batas
Sebagai Dasein, manusia selalu dalam situasi-situasi tertentu yaitu situasi-situasi batas.
Situasi batas yang paling umum adalah faktisitas dan nasib. Di samping itu ada situasi-
situasi batas khusus, yaitu kematian, penderitaan, perjuangan, dan kesalahan.

Semua situasi batas itu mendua karena kepad eksistensi diberikan kemungkinan
berkembang atau mundur, tergantung dari keputusan manusia sendiri. Ber-eksistensi atau
berdiri di hadapan transendensi mencapai puncaknya dalam keputusan-keputusan yang
diambil dalam situasi-situasi batas.

a. Faktisitas
Kebebasan manusia tidak dimulai dari nol karenabanyak hal sudah ditentukan oleh
historisitas, latarbelakang social, jenuis kelamin, dan banyak hal yang merupakan fakta,
lepas dari pilihan manusia sendiri. Namun, dalam hal ini kehendak masih mempunyai
peranan apakah faktisitas ini diterima atau ditolak.

b. Nasib
Situasi batas yang palig umum, yaitu faktisitas histories. Manusia tidak menciptakan dirinya
sendiri. “Untung” atau “malang“ dialami manusia sebagai kehendak di luar dirinya, ini yang
disebut nasib. Sikap menerima dan mencintai dari pada mencoba untuk menolak akan
memberi kesempatan untuk berkembang.

c. Kematian
Kematian baru dapat menjadi situasi batas apabila kita kehilangan orang yang kita cintai
ataukematian kita sendiri yang tak dapat dihindari. Penderitaan karena keterpisahan,
komunikasi terhenti membuka :rwetak” dalam “Desain” yang berakibat manusia berdiri
dihadapan transendensi dan sebagai eksistensi , ia dapat berkembang. Di hadapan
kematiannya manusia menyadari bahwa ia unik dan kematiannya berbeda dengan orang
lain. Kesadaran terhadap keunikan ini dapat membangun eksistensi.

Mencintai hidup dan menilai hidup fana, takut akan kematian dan menyadari hakekat diri
dihadapan kematian, tidak memahami sekaligus percaya kematian bukan sebuah
kontradiksi. Kematian temas sekaligus musuh manusia.

d. Penderitaan
Semua bentuk penderitaan merusak Dasein sedikit demi sedikit. TApi penderitaan mendua
karena dapat menjadi kesempatan eksistensi berkembang asal berani menerimanya. Dalam
penderitaan manusia lebih mudah menjadi dirinya sendiri dari pada dalam keberuntungan.
Manusia yang selalu beruntung cenderung menjadi dangkal.

e. Kesalahan
Tindakan manusia mempunyai akibat-akibat entah disadari maupun tidak. Manusia dapat
berkembang melalui pengalaman situasi batasyang berupa kesalahan kalau ia mau
menerima akibat-akibat tindakannya juga akibat0akibat yang tidak dikehendaki. Manusia
harus mau mwenerima tanggung jawabnya. Orang yang melarikan diri atau mengatakan
bahwa tidak ada kemungkinan lain mungkin hidup dengan tenang, tapi kehilangan
kesempatan untuk mengembangkan eksistensi.

4. Kekurangan-kekurangan Dunia
Di dunia keutuhan kesempurnaan tidak dapat dicapai. Sela sesuatu yang termasuk
Dasein penuh pertentangan, cacat, dan kekerangan dan karena itu ketyentraman tidak
pernah tercapai. Ketidaksempurnaan Dasein menimbulkan pertanyaan mengapa Dasein
ada. Mengapa di dunia ini tidak hanya berisi hal yang baik atau sempurna saja?
Pertannyaan ini menimbulkan situasi batas yang baru yang mencakup yang lain. Situasi
batas ini timbul kalau eksistensi dan transendensi terikat pada historisitas Dasein. Manuisia
hanya dapat mengalami eksistensi dan transendensi melalui gejala-gejala dalam dunia
Dasein. Tanpa itu yang ada kekosongan.

5. Kegagalan
Kegagalan meupakan tempat pertemuan dengan transendensi. Dalam kegagalan
manusia terdampar dalam pantai transendensi. Kegagalan dan keterbatasan
memperlihatkan ada sesuatu yang tak terbatas. Pemikiran ini memperlihatkan bahwa filsafat
pada hakekatnya bersifat religius.

III. KEPERCAYAAN FILOSOFIS


Jasper percaya bahwa metafisika dan kepercayaan filosofis sangat penting dalam
mempersatukan orang. Kepercayaan filosofis dapat menggantikan agama dan ilmu yang
dogmatis (positif). “Percaya” tidak sama dengan “mengetahui”. Kepercayaan berarti hidup
dengan berpangkal pada “Yang melingkupi”. Kepercayaan filosofis tidak menggunakan
dogma-dogma, ia melayang, tetapi merupakan dasar tindakan, dasar keputusan dan dasar
ketentraman manusia.

Menurut agama wahyu (Kristen), Allah menampakkan diri (dalam Yesus). Kata Jasper:
hanya kenyataan empiris menampakkan diri dalam fenomin-fenomin (gejala-gejala);
eksistensi dan transendensi tidak. Eksistensi menampakkan diri dalam signa (seperti
kebebasan), dan Transendensi menampakkan diri dalam chiffer-chiffer. Keberatan Jasper
adalah; agama wahyu tidak membedakan antara Chiffer transendensi dengan Transendensi
itu sendiri. Ia percaya bahwa Yesus sebagai manusia (Chiffer inkarnasi) yang unik dan
sangat bernilai, tetapi ia tak percaya akan Yesus sebagai Kristus. Chiffer Trinitas itu yang
paling aneh menurut Jasper, itu hanya kecendrungan untuk berfikir menurut struktur
dialektis, dan hanya hasil pemikiran spikulasi.

IV. METAFISIKA JASPER


Pada batas dasein dan pada batas-batas pemikiran, transendensi membukakan diri, tetapi
transendensi itu juga hilang lagi. Untuk eksistensi (bukan dasein), objek-objek dapat menjadi
“bahasa” atau sekurang-kurangnya gema transendensi. Dalam bahasa lain kita dapat
mengetahui kilatan-kilatan Tuhan dalam eksistensi kita lewat tajallinya (penampakan-
penampakan) dari objek-objek duniawi.
Jasper mengatakan Chiffer sebagai transendensi yang imanen (= tajalliat, penampakan
Tuhan dibumi). “kehadiran transendensi tanpa isi”, kehadiran dan ketidak hadiran jadi satu
dalam Chiffer. Seperti konsep “nol” memainkan peranan penting dalam matematika,
walaupun konsep ini tanpa isi. Penampakan itu ada yang jelas dan tidak. Chiffer hanya
memberitahu bahwa Ia ada, bukan bagaimana Ia itu.

Transendensi (adalah mengatasi yang imanen), keilahian menampakkan dalam chiffer-


chiffer. Manusia tidak mengenal yang transenden, tetapi melalui kebebasnnya ia
berhubungan dengannya. Kehadiran transendensi tanpa ketersembunyiannya meniadakan
kebebasan. Keilahian ingin manusia bebas: oleh karena itu ia tersembunyi.

Transendensi (Allah) tak dapat dipikirkan, dikatakan. Kata Augustinus; “Yang dapat disebut
Tak-terkatakan, sudah tidak ter-katakan lagi”. Tetapi kata Jasper kita bisa melewati itu, ia
mengatakan, manusia bisa memilki kesimpulan; “Manusia dapat memikirkan bahwa yang tak
dapat dipikirkan itu ada” (Es ist denkbar dass es gibt, was nich denkbar ist). Penamaan Yang
Transendental itu pasti berbau tautology. Tetapi itu perlu karena manusia selalu berusaha
untuk berkembang sebagai eksistensi.

Semua nama untuk keilahian merupakan Chiffer-chiffer, Chiffer ini merupakan naskah yang
penuh dengan ketidakpastian. Kerananya pembacaan atau penafsiran chiffer terus menerus
berubah, tergantung sikap eksistensi yang membacanya. Pembacaan ini ada empat
kemungkinnan;

1. Penyerahan dan Perlawanan


Manusia diperintah untuk menyerah pada Yang Transendental, tetapi Manusia karena haus
akan kebenaran banyak yang tak mau menyerah begitu saja. Mereka minta penjelasan,
rasionalisasi. Mengapa harus begini dan begitu, kadang manusia protes kepada Tuhan
karena menurutnya itu salah, tak adil dan lain-lain. Keluarlah teodise (ajaran atau ilmu yang
berupaya membenarkan cara-cara tuhan bagi manusia). Contoh; Gnosis, Manicheisme,
Zoroaster dan lain-lain.

Teodise membuktikan bahwa manusia tidak mau menyerahkan diri terlalu cepat, dan
Transendensi seakan-akan menginginkan penyerahan buta. Penyerahan harus lahir dari
perlawanan.

2. Naik Turun
Manusia dalam pergaulannya dengan Transendensi kadang naik (Baca untuk
mempermudah imannya), kadang turun. Kadang jelas kadang kabur dan seterusnya.

3. Hukum Siang dan Nafsu Malam


Tuhan punya dua wajah, “Baik”-“Buruk”. “Kuasa” dan “Adil”. Kita kadang ingin
menggabungkan kedua sifat itu, walau tetap ada celah.

4. Kesatuan dan Kekayaan Keanekaragaman


Walau penampakan Transendensi ini banyak, maka sebenarnya “Yang Ilahi” itu satu
kesatuan. Walau seakan awalnya adalah Politeisme tetapi dalam perkembangannya mereka
Monoteisme.

V. FILSAFAT SEBAGAI TINDAKAN BATIN


Jasper mempunyai perhatian besar terhadap kehidupan yang baik dan jiwa yang mengambil
keputusan-keputusan. Pada manusia, eksistensi mendahului esensi. Dalam segala sesuatu
yang lain essensi dapat dipikirkan lepas dari essensi, dan sebagai sesuatu yang mendahului
eksistensi. Essensi “rumah” dapat hidup dalam pemikiran kita lepas dari suatu rumah
kongkrit. Hanya pada manusia essensi dibentuk sedikit demi sedikit selama hidupnya. Yang
ada hanyalah orang yang unik dan kongkret itu. ‘manusia pada umumnya’ itu tidak ada,
maka juga tidak dapat dikatakan bagaimana essensi manusia pada umumnya. Inilah
pandangan umum kaum filsafat eksistensial.

Usulan kepercayaan filosofis Karl Jasper, banyak dikritik khususnya kaum beragama, juga
Keirkegaard, bapak spiritual Eksistensialis. Walau banyak yang menerapkannya, utamanya
kaum ilntelektual (ilmuan).

Kebebasan
Menurut Sartre manusia bebas karena Allah tidak ada. Menurut Jasper manusia bebas
karena Allah. Kebebasan itu “sama dengan eksistensi”, dan ‘tidak ada eksistensi tanpa
transendensi”. Tetapi manusia hanya bebas selama Transendensi tersembunyi. Hanya
boleh diketahui bahwa Allah ada. Kalau jarak antara Allah dan manusia dikurangi, seperti
terjadi dalam agama wahyu (Kristen, dengan Yesus), maka bukan hanya Transendensi yang
padam, tetapi kebebasan manusia pun dikurangi. Kebebasan hanya ada bersama
transendensi, dan kebebasan hilang juga bersama transendensi.
Paham kebebasan dalam filsafat Jasper (Kata Harry Hamersme, 1985:57) kelihatannya
Paradoksal. Kadang tercipta kesan bahwa inisiatif hanya datang dari eksistensi, kadang
justru dari transendensi. “Eksistensi memutuskan didalam waktu bagaimana ia mau menjadi
abadi.” Tetapi “Kesadaran bahwa adanya kita merupakan sesuatu yang diberikan”. Manusia
tidak mencipta dirinya sendiri, namun ia ikut menentukan nasibnya. Manusia “menemukan
dirinya sendiri” dan sekaligus ‘menentukan dirinya sendiri”. Chiffer-chiffer
(penampakan=tajalliat. Ayat-ayat Tuhan) ditulis oleh Transendensi, tetapi sekaligus benar
bahwa eksistensi menentukan apakah sesuatu menjadi chiffer atau tidak. Pencarian Filsafat
Jasper hampir sama dengan para sufi agama-agama; tema besarnya sama., itu yang
disebut Philosophia Perrennis (Filsafat aabadi). Semua kelompok, semua manusia kembali-
kembali kemasalah-masalah itu.

Menurut Aldous Huxley (1894-1963) ada empat prinsip filsafat abadi (Philosophia Perennis).
1) Bahwa dunia fenomenal (dunia gejala-gejala, dunia yang kelihatan) merupakan
“manifestasi” (“penampakan”) dasar ilahi didunia. Segala sesuatu yang diamati oleh manusia
mengambil bagian dalam kenyataan yang lebih tinggi daripada kenyataan fenomenal. 2)
Bahwa manusia dapat mengetahui sesuatu tentang dasar ilahi melalui pemikiran biasa,
tetapi lebih-lebih melalui intuisi. 3) Bahwa manusia mempunyai kodrat sebagai ‘aku’ tetapi
juga sebagai “diri” abadi. “Aku” termasuk fenomenal, “diri” abadi merupakan bunga api ilahi
dalam jiwa. 4) Bahwa tujuan manusia adalah: menjadi satu dengan diri abadinya, dan
memperoleh pengetahuan intuitif tentang dasar ilahi.
Empat prinsip diatas bisa kita temukan dalam jasper; 1) Kelihatan dalam distingsi antara
dunia (Welt) dan Transendensi. Dunia biasa kata Jasper mendapat suatu dimensi kedua
dalam Chiffer-chiffer, kenyataan bisa menjadi “bahasa Transendensi” . 2) Muncul dalam
distingsi antara pengetahuan akal budi (Verstand) dan pengetahuan rasio (vernunft). 3)
Kelihatan dalam distingsi antara manusia sebagai dasein dan manusia sebagai “Eksistensi”.
4) Terdapat dalam panggilan diri dalam waktu, yang terjadi melalui bacaan dan penghayatan
chiffer-chiffer transendensi.

Tujuan abadi filsafat, The Perennial Scope of Philosophi (Karya Jasper) adalah kepercayaan
bahwa manusia melebihi yang diketahui tentang dia dalam ilmu-ilmu, dan kepercayaan
bahwa dunia ini tidak merupakan kenyataan terakhir. Singkatnya ada “eksistensi dan
Transendensi”. Manusia harus menghayati kepercayaan ini melalui tindakan batin-nya.
Karena manusia menjadi sebagaimana ia percaya (Ich werde wei ich glaube), manusia
menjadi sebagaimana ia menentukan nilai-nilai (Ich werde wei ich werte), dan manusia ada
sebagaimana ia mencintai (Ich bin wei ich liebe).

KESIMPULAN
Dari pemaparan di atas maka penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa tujuan filsafat
kata jasper adalah mengembalikan manusia kepada dirinya sendiri. Baginya filsafat
bukanlah “doktrin”, melainkan tindakan batin, cara berfikir yang membebaskan manusia.
Itulah mengapa dia tidak berfilsafat sebagai system. Filsafatnya disebut filsafat eksistensi. Ia
mengatakan; orang yang mau berfilsafat harus mulai dengan mempelajari ilmu-ilmu. Baru
bila ilmu pengetahuan telah mencapai batas-batasnya maka mulailah ketidaktahuan, mulai
juga tugas filsafat eksistensi. Dalam ketidaktahuan manusia terpaksa memilih. Ia harus
mengisi kebebasannya dengan keputusan-keputusan. Melalui keputusan-keputusan itu
manusia menentukan bagaimana ia akan menjadi dirinya sendiri. Filsafat Jasper menyelidiki
dasar keputusan-keputusan manusia, serta keyakinan yang menjadi dasar hidupnya.

Daftar pustaka

Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta : Kanisius, 2002


Http://staff.blog.ui.ac.id
Http://gendhotwukir.multiply.com
Http://humanisme-kebenaran.blogspot.com
Lapar, Jan Hendrik. Pengantar filsafat. Yogyakarta : Kanisius, 1996
Rasjidi. Persoalan-Persoalan Filsafat. Jakarta PT. Bulan Bintang, 1984
Salam, Burhanudin. Pengantar Filsafat. Jakarta : Bumi Aksara, 1995
Surajiyo. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2007

Anda mungkin juga menyukai