Pangeran Antasari
Pangeran Antasari
Pangeran Antasari
Pangeran Antassarie
kekuasaan
Anak
1. ♂ Panembahan Muhammad Said (anak dengan
Ratu Antasari)
2. ♂ Sultan Muhammad Seman(anak dengan Nyai
Fatimah)
3. ♀ Putri Kaidah
Pangeran Antasari (lahir di Kayu Tangi, Kesultanan Banjar, 1797[1][2] atau 1809[3][4][5][6] – meninggal
di Bayan Begok, Hindia Belanda, 11 Oktober 1862pada umur 53 tahun) adalah seorang Pahlawan
Nasional Indonesia.
Ia adalah Sultan Banjar.[7] Pada 14 Maret 1862, dia dinobatkan sebagai pimpinan pemerintahan
tertinggi di Kesultanan Banjar (Sultan Banjar) dengan menyandang gelar Panembahan Amiruddin
Khalifatul Mukminin dihadapan para kepala suku Dayak dan adipati (gubernur) penguasa
wilayah Dusun Atas, Kapuas dan Kahayan yaitu Tumenggung Surapati/Tumenggung Yang Pati
Jaya Raja.[8]
Daftar isi
[sembunyikan]
“ ”
Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah!
Seluruh rakyat, para panglima Dayak, pejuang-pejuang, para alim ulama dan bangsawan-
bangsawan Banjar; dengan suara bulat mengangkat Pangeran Antasari menjadi "Panembahan
Amiruddin Khalifatul Mukminin", yaitu pemimpin pemerintahan, panglima perang dan pemuka
agama tertinggi.[2]
Tidak ada alasan lagi bagi Pangeran Antasari untuk berhenti berjuang, ia harus menerima
kedudukan yang dipercayakan oleh Pangeran Hidayatullah kepadanya dan bertekad melaksanakan
tugasnya dengan rasa tanggung jawab sepenuhnya kepada Allah dan rakyat.
Lanting Kotamara semacam panser terapung di sungai Barito dalam pertempuran dengan Kapal Celebes
dekat pulau Kanamit, Barito Utara
Perang Banjar pecah saat Pangeran Antasari dengan 300 prajuritnya menyerang tambang batu
bara milik Belanda di Pengaron tanggal 25 April 1859. Selanjutnya peperangan demi peperangan
dikomandoi Pangeran Antasari di seluruh wilayah Kerajaan Banjar. Dengan dibantu para panglima
dan pengikutnya yang setia, Pangeran Antasari menyerang pos-pos Belanda di Martapura, Hulu
Sungai, Riam Kanan, Tanah Laut, Tabalong, sepanjang sungai Barito sampai ke Puruk Cahu.[15]
Pertempuran yang berkecamuk makin sengit antara pasukan Pangeran Antasari dengan pasukan
Belanda, berlangsung terus di berbagai medan. Pasukan Belanda yang ditopang oleh bala bantuan
dari Batavia dan persenjataan modern, akhirnya berhasil mendesak terus pasukan Pangeran
Antasari. Dan akhirnya Pangeran Antasari memindahkan pusat benteng pertahanannya di Muara
Teweh.
Berkali-kali Belanda membujuk Pangeran Antasari untuk menyerah, namun dia tetap pada
pendiriannya. Ini tergambar pada suratnya yang ditujukan untuk Letnan Kolonel Gustave
Verspijck di Banjarmasin tertanggal 20 Juli 1861.
“ ”
...dengan tegas kami terangkan kepada tuan: Kami tidak setuju terhadap usul minta ampun dan
kami berjuang terus menuntut hak pusaka (kemerdekaan)...
Dalam peperangan, Belanda pernah menawarkan hadiah kepada siapa pun yang mampu
menangkap dan membunuh Pangeran Antasari dengan imbalan 10.000 gulden. Namun sampai
perang selesai tidak seorangpun mau menerima tawaran ini.[16] Orang-orang yang tidak mendapat
pengampunan dari pemerintah Kolonial Hindia Belanda:[17]