Anda di halaman 1dari 29

Internet dan gadget kini menjadi sesuatu yang tak lepas dari kehidupan masyarakat.

Generasi
milenial khususnya menjadi pengguna yang terbilang amat aktif berselancar di dunia maya.

Media sosial pun kini seolah menjadi rumah kedua bagi pengguna smartphone. Di Indonesia, media
sosial menjadi sumber informasi utama yang diakses oleh milenial. Berdasarkan data yang dirilis oleh
Yogrt - aplikasi berbasis lokasi, media sosial menjadi sumber informasi yang paling banyak digunakan
kalangan milenial di Indonesia, dengan persentase sekira 79%. Meski begitu, kepercayaan milenial
terhadap informasi masih lebih mengandalkan sumber dari orang terdekat, seperti keluarga dan
rekan-rekannya. Televisi juga masih memiliki peran menjadi sumber informasi yang diakses oleh
generasi milenial Indonesia. Dijelaskan Roby Muhamad, Sosiolog bidang jejaring sosial, dosen
Universitas Indonesia (UI) dan co-founder Yogrt, meski media sosial turut menyebarkan informasi,
peranan televisi tak tergantikan. Berdasarkan data dari studi Yogrt, TV menjadi sumber informasi
kalangan milenial dengan persentase sebesar 56%.

Studi ini dilakukan Yogrt kepada 5.000 milenial (usia 17-36 tahun) akar rumput (penghasilan <5 juta),
yang merupakan bagian dari pengguna aplikasi Yogrt.

Media sosial sendiri dinilai Roby bukan lagi dunia yang maya, namun justru dunia nyata saat ini.
Pasalnya mereka bersosialisasi dengan rekan-rekan dan keluarganya melalui media sosial layaknya di
dunia nyata. "Kita jangan menganggap sosial media itu maya, tapi kini nyata. Itu semua riil. Bersosial
Media sekarang menjadi bentuk bersosial karena kebutuhan sosial mereka terpenuhi," terangnya di
Jakarta, Kamis (2/11/2017).

Berdasarkan studi yang dilakukannya, Roby memprediksi milenial Indonesia saat ini ke depannya
akan semakin hidup di platform digital sehingga menimbulkan peluang ekonomi baru, meski ia tak
bisa memprediksi bentuk dari peluang tersebut.

"Dia akan semakin hidup di platform digital dan menimbulkan peluang ekonomi baru yang kita
enggak tahu," ujarnya.

Topik yang diminati milenial akar rumput sendiri masih didominasi dunia hiburan seperti film dan
musik. Tak hanya milenial di Indonesia, perilaku ini juga menurut Roby berlaku bagi milenial di
mancanegara yang juga menyukai topik hiburan yang mereka akses di internet.

Di sisi lain topik lain yang kurang diminati termasuk topik politik dan keagamaan, karena milenial
saat ini dinilai menyukai untuk hidup bersama atau berkelompok.
Generasi milenial adalah generasi yang saat ini sering diperbincangkan oleh banyak kalangan di
dunia, generasi milenial atau generasi Y adalah kelompok demografis setelah generasi X generasi Y
atau milenial generasi yang lahir diantara tahun 1980 sampai 2000, jadi kisaran antara 17 – 37 tahun.

Di dunia generasi milenial ini sudah banyak dilakukan penelitian, hanya di Indonesia belum banyak
dilakukan penelitian dari populasi penduduk Indonesia yang sudah mencapai 270 juta generasi
milenial ini menempatkan tertinggi 34.45%, hasil perhitungan sensus.

Generasi milenial agak unik dibanding generasi sebelumnya, hasil riset yang dari Pew Reseach Center
secara gamblang menjelaskan perbedaan dibanding generasi sebelumnya. Yang mencolok dari
generasi milenial dibanding generasi sebelumnya adalah soal penggunaan teknologi dan budaya.
Kehidupan generasi milenial tidak bisa dipisahkan dari teknologi, terutama internet dan sekarang
telah menjadi kebutuhan pokok.

Generasi milenial lebih tertarik membicarakan teknologi, olahraga dan musik dibanding dengan
generasi sebelumnya yang membicarakan sosial politik, ekonomi dan keagamaan.

Ketika kita berbicara dan mencoba membedah potret generasi milenial ada 5 isu utama; diantaranya
isu keagamaan, ideologi dan politik, nilai-nilai sosial, pendidikan serta gaya hidup dan teknologi.
Seperti kita tahu bahwa pada saat ini negara kita masih dipimpin generasi X yang masih
mengedepankan kehidupan demokrasi sebagai sistem negara berdasar pancasila, di dalamnya
tergantung unsur agama, sosial dan ekonomi juga menjunjung tinggi persatuan.

Di bidang keagamaan, saat ini agama masih dominan dalam melaksanakan roda pemerintahan dan
termasuk pendidikan agama yang masih kental di dalam generasi sebelumnya. Terlihat masih
banyaknya orang yang terpengaruh karena agama.

Di bidang politik, generasi sebelumnya masih kental politik dalam kehidupan bernegara dan
kehidupan sehari-hari, termasuk dalam menjatuhkan lawan-lawannya. Unsur politik masih kental di
Indonesia, masalah sosial, hubungan antar keluarga, hubungan antar teman, hubungan antar
saudara, hubungan dalam masyarakat masih kuat, termasuk hubungan kekeluargaan berdasarkan
asas ketimuran.

Di bidang pendidikan juga masih konvensional menggunakan ilmu-ilmu lama, dan selesai pendidikan
masih berusaha untuk menjadi pekerja dan pegawai baik Swasta maupun Pegawai Negeri. Jadi,
orang sekolah hanya mempunyai prinsip selesai sekolah jadi pegawai.

Di bidang teknologi generasi sebelumnya masih konvensional dalam berfikir dan bekerja. Jadi semua
yang dilakukan generasi X masih mengacu kepada kehidupan negara yang berjalan mulai Indonesia
merdeka sampai sekarang.
Beda dengan generasi milenial pada saat ini sudah mulai terlihat perbedaan yang cukup mencolok
dalam membangun karakter bangsa. Antara generasi milenial dengan generasi sebelumnya, mulai
terjadi penyimpangan terhadap pancasila, terutama dalam bidang agama, politik, sosial, pendidikan
dan teknologi.

Sedangkan dalam bidang agama sudah mulai bergeser pemahaman tentang agama atau keagamaan,
generasi milenial lebih tertarik kumpul bersama teman-teman atau lebih asik membuka gadget
dibanding mereka berkumpul untuk sembahyang atau berdoa. Kalau pun berdoa cenderung tidak
konsentrasi, mulai bergeser nilai-nilai pemahaman terhadap agama.

Di bidang politik generasi milenial sudah berani kritis terhadap pemimpin-pemimpin bangsa, mereka
berani karena banyak informasi yang mereka dapat dari teknologi, dan sudah berani mengatakan
salah terhadap yang salah dan benar terhadap yang benar.

Di bidang sosial cenderung generasi milenial cuek terhadap lingkungan dan rasa hormat terhadap
yang lebih tua, baik orang tua maupun guru sudah mulai berkurang. Sudah mulai berani melakukan
kritik kepada orang yang lebih tua.

Di bidang pendidikan cenderung lebih dominan dibanding generasi sebelumnya, dimana tehnologi
banyak membantu mereka dalam menyelesaikan masalah-masalah yang sulit. Serta kecepatan
mereka dalam menyelesaikan masalah. Dalam bidang teknologi sudah jelas generasi milenial berada
di atas generasi sebelumnya dengan berkembangnya teknologi digital; baik telekomunikasi, Televisi,
Radio dll. banyak memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan generasi milenial.

Kekurangan Generasi Milenial

Generasi yang berfikir bebas dan tak bisa jauh dari gadget. Terlalu sering menggunakan sosial media
dan cenderung kurang fokus dan cukup malas. Lebih banyak bertanya dan tidak mau mencari tahu
lebih dahulu, terpengaruh budaya kebarat-baratan yang cenderung bebas, kurangnya hormat
kepada yang lebih tua terutama orang tua, guru dan lingkungan. Tidak mau bersosialisasi dengan
lingkungan dan cenderung mengatur, tidak mengenal tata krama atau tidak ada sopan santun.

Tapi kelebihan generasi milenial lebih banyak lagi; cukup mandiri, mudah beradaptasi, bisa
diandalkan terutama dalam bekerja berkelompok, tidak takut bila tidak dapat kerja sebab dengan
teknologi mereka bisa mendapatkan uang melalui online, pertemanan mereka banyak dan
menjangkau bukan cuma di Indonesia tapi di seluruh dunia, dengan teknologi mereka mampu
membuat aplikasi yang dapat mempermudah pekerjaan; termasuk dalam pendidikan, ekonomi,
hukum dan sosial.

Dengan temuan-temuan mereka bisa banyak menghasilkan uang tanpa harus bekerja keras.
Membantu program-program pemerintah dalam membuat aplikasi, dan mempercepat
pembangunan melalui teknologi yang diciptakan generasi milenial.

Dalam bidang kesehatan mampu membuat managemen kesehatan yang lebih ringkas dan cepat dan
mampu meningkatkan tingkat kehidupan dari masyarakat. Yang terpenting mereka mampu
membantu program-program pemerintah yang bersinggungan dengan teknologi. Sehingga, lebih
cepat dalam menyelesaikan tugas-tugas pemerintah.

Generasi milenial adalah generasi yang bisa menciptakan perubahan drastis dalam kehidupan
bernegara, jangkauan mereka bukan cuma dalam negeri, juga luar negeri. Semakin maju teknologi,
maka tidak ada lagi batas negara, juga batas ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan; semua bisa
diatur dengan teknologi.

Hanya pemerintah perlu juga berperan dalam memanfaatkan generasi milenial. Mereka dilepaskan
begitu saja karena ini bisa membahayakan kehidupan bernegara dan persatuan. Sebab generasi
milenial cenderung tidak bisa diatur dan mereka cenderung mengatur. Bila pemerintah tidak
bertindak, maka bisa terjadi perpecahan karena mereka lumayan mengerti dalam mengatur
pemerintah dan masyarakat, pemerintah berperan mengendalikan atau melakukan kontrol terhadap
mereka seperti; Kontrol terhadap teknologi seperti media sosial. Kontrol terhadap isi Televisi dan
Radio, terutama informasi. Kontrol terhadap bisnis online. Kontrol di bidang keamanan terutama
situs-situs yang berbahaya karena generasi milenial bisa jadi monster kalau mereka menjadi hacker.
Pendidikan agama lebih ditanamkan yang moderat tidak menjadi radikal. Diperbanyak pertemuan2
anak muda dalam memahami kebangsaaan di sekolah, mulai dari SMP sampai mahasiswa.

Hal tersebut penting agar ke depan ketika generasi milenial ini tumbuh dan menggantikan para
senior mereka, jiwa kenegraan dan pemahaman pancasila tetap menjadi pegangan mereka.

Dari penjelasan di atas pertanyaaan penting yang harus di jawab adalah bagaimana generasi
millenial dapat menjadi pelopor revolusi Pancasila?. Generasi millennial untuk menjadi pelopor bagi
revolusi Pancasila dapat dilakukan secara perseorangan maupun secara berkelompok. Namun
sebelum membahas tentang bagaimana generasi millennial melakukan revolusi Pancasila maka
penting untuk mengetahui terlebih dahulu tentang kecenderungan para generasi millennial. Jika kita
mengamati maka ada beberpa hal yang nampak pada diri generasi millennial terutama terkait
dengan gaya hidup. Berikut ini merupakan sebagian dari karakteristik generasi millennial secara
umum yaitu senang nongkrong, tidak bisa dipisahkan dari gadget, senang jalan-jalan, senang
membeli barang bermerek (branded). Terkait dengan pekerjaan atau profesi kelompok millennial
cenderung memilih wirausaha (entrepreneur) sebagai profesi. Dari beberapa kebiasaan tersebut
generasi millennial dapat menjadi pelopor revolusi Pancasila melalui bebera cara sebagai berikut :

Melalui kesenangan nongkrong dapat digunakan untuk membentuk berbagai macam gerakan yang
bertujuan untuk menyemai nilai-nilai Pancasila.

Melalui profesi kewirausahaaan, generasi millennial dapat menjadi pelopor bagi terciptanya gerakan
ekonomi kerakyatan yang berkemakmuran dan berkeadilan.

Menjadi pengguna medsos/gadget yang cerdas dengan cara memanfaatkan medsos untuk menebar
inspirasi berupa karya dan prestasi serta nilai-nilai moralitas Pancasila.

Mengubah gaya hidup yang konsumtif dan hendon menjadi gaya hidup yang sederhana dan
bersahaja, dengan demikian sebagian dari materi yang dimiliki dapat dipergunakan untuk kegiatan
sosial.

Menjadi pendobrak di kalangan kelompok millennial yang sebagian besar apatis terhadap politik
sehingga menjadi lebih peduli dan terbangun kesadaran kolektif bahwa politik merupakan jalan
strategis untuk menciptakan kemanusiaan yang adil dan beradab.

Melalui kesenangannya jalan-jalan bisa dimanfaatkan untuk memperluas jaringan habitus-habitus


Pancasila di tempat lain.

Menjadi kader pengerak di sekolah atau kampus masing-masing untuk membentuk habitus
Pancasila. Internet dan gadget kini menjadi sesuatu yang tak lepas dari kehidupan masyarakat.
Generasi milenial khususnya menjadi pengguna yang terbilang amat aktif berselancar di dunia maya.

Media sosial pun kini seolah menjadi rumah kedua bagi pengguna smartphone. Di Indonesia, media
sosial menjadi sumber informasi utama yang diakses oleh milenial.

Berdasarkan data yang dirilis oleh Yogrt – aplikasi berbasis lokasi, media sosial menjadi sumber
informasi yang paling banyak digunakan kalangan milenial di Indonesia, dengan persentase sekira
79%. Meski begitu, kepercayaan milenial terhadap informasi masih lebih mengandalkan sumber dari
orang terdekat, seperti keluarga dan rekan-rekannya.

Televisi juga masih memiliki peran menjadi sumber informasi yang diakses oleh generasi milenial
Indonesia. Dijelaskan Roby Muhamad, Sosiolog bidang jejaring sosial, dosen Universitas Indonesia
(UI) dan co-founder Yogrt, meski media sosial turut menyebarkan informasi, peranan televisi tak
tergantikan. Berdasarkan data dari studi Yogrt, TV menjadi sumber informasi kalangan milenial
dengan persentase sebesar 56%.

Studi ini dilakukan Yogrt kepada 5.000 milenial (usia 17-36 tahun) akar rumput (penghasilan <5 juta),
yang merupakan bagian dari pengguna aplikasi Yogrt.

Media sosial sendiri dinilai Roby bukan lagi dunia yang maya, namun justru dunia nyata saat ini.
Pasalnya mereka bersosialisasi dengan rekan-rekan dan keluarganya melalui media sosial layaknya di
dunia nyata.

“Kita jangan menganggap sosial media itu maya, tapi kini nyata. Itu semua riil. Bersosial Media
sekarang menjadi bentuk bersosial karena kebutuhan sosial mereka terpenuhi,” terangnya di
Jakarta, Kamis (2/11/2017).

Berdasarkan studi yang dilakukannya, Roby memprediksi milenial Indonesia saat ini ke depannya
akan semakin hidup di platform digital sehingga menimbulkan peluang ekonomi baru, meski ia tak
bisa memprediksi bentuk dari peluang tersebut.

“Dia akan semakin hidup di platform digital dan menimbulkan peluang ekonomi baru yang kita
enggak tahu,” ujarnya.

Topik yang diminati milenial akar rumput sendiri masih didominasi dunia hiburan seperti film dan
musik. Tak hanya milenial di Indonesia, perilaku ini juga menurut Roby berlaku bagi milenial di
mancanegara yang juga menyukai topik hiburan yang mereka akses di internet.

Di sisi lain topik lain yang kurang diminati termasuk topik politik dan keagamaan, karena milenial
saat ini dinilai menyukai untuk hidup bersama atau berkelompok.

Sumber : https://techno.okezone.com

5 Karakter Ini Buktikan Millennial Lebih Suka Belajar Daripada Generasi Sebelumnya

Terbuka dan mementingkan kepentingan umum membuat millennial lebih gemar mempelajari
banyak hal.
Mudah dan sederhana menjadi dua hal yang mendominasi cara hidup generasi millennial. Kondisi ini
pun membuat gen Y dikenal memiliki karakter pemalas dan terlalu percaya diri. Akan tetapi, generasi
millennial tak sepenuhnya berkarakter buruk lho. Sama dengan generasi lainnya, generasi millennial
memiliki karakter unik yang dipengaruhi oleh kondisi zaman yang terus mengalami perubahan.
Teknologi yang memungkinkan generasi millennial mengakses jutaan informasi, membuat mereka
menjadi generasi yang cukup rajin mempelajari banyak hal. Berikut ini ada 5 karakter generasi
millennial yang menunjukkan mereka tidak lelah belajar!

MENGERTI DARI SEGALA SISI

Kecanggihan teknologi membuat generasi millennial mudah mengakses banyak informasi. Maka tak
heran mereka memiliki berbagai cara untuk mengerjakan satu soal saja. Keuntungan ini membuat
generasi millennial menjadi sosok yang terbuka dan melihat setiap masalah tidak hanya dengan satu
sisi. Mereka pun tidak segan untuk mencari tahu lebih detail satu per satu pekerjaan rumah yang
mereka miliki. Kegiatan ini tak membebani mereka. Semakin kemampuannya berkembang, semakin
besar pula keinginannya belajar. Dengan begitu mereka menjadi generasi yang cukup inovatif.

BERANI MENERIMA KRITIKAN

Hilangnya batas-batas privasi membuat generasi millennial mudah dikritik dengan berbagai cara,
mulai dari secara langsung hingga melalui media sosial yang mereka penuhi sehari-harinya.
Keterbukaan ini pun membuat mereka belajar banyak hal dari saran dan kritik yang terus dilontarkan
dari berbagai pihak. Bukan makin berkecil hati, mereka menjadi lebih baik untuk menempuh ilmu
dan wawasan.

SELALU OPTIMIS Tekanan yang tidak bisa dibendung baik pada lingkungan rumah, sekolah ataupun
pertemanan membuat gen Y memiliki karakter yang optimis. Pintu dunia dalam genggamannya,
membuat millennial memiliki impian yang cukup tinggi. Mereka pun sangat gigih dalam
mencapainya. Tidak hanya berhenti pada proses dasarnya saja, namun juga mengetahui bagaimana
caranya mewujudkan keinginan tersebut. Generasi millennial optimis dapat membuktikan cara-cara
yang mereka dapatkan untuk mencapai impian dan keinginannya.

KEBERSAMAAN MENJADI YANG UTAMA

Menjadi yang paling kuat di kelas atau lingkungan universitas bukanlah keinginan para generasi
millennial. Mereka lebih mengutamakan kebersamaan, misalnya menyukai cara belajar berkelompok
ketimbang menjadi yang paling pandai satu kelas. Kebersamaan yang tumbuh sedari kecil, bahkan
menjadikan generasi millennial tak lagi membedakan kawan-kawannya berdasarkan warna kulit
ataupun kepercayaan yang mereka anut. Meski sebuah penelitian mengatakan millennial lebih
mengejar materi ketimbang bidang politik dan kemasyarakatan, bisnis yang mengedepankan
kepentingan kelompok, seperti ramah lingkungan menjadi bisnis yang mereka bangun setelah
menyelesaikan studinya.

PUNYA SIKAP DISIPLINJam belajarnya yang tidak hanya di dalam kelas membuat generasi millennial
bisa belajar kapanpun dan dimanapun. Meski waktunya tidak menentu, mereka sadar mampu
mendisiplinkan diri mereka masing-masing. Belajar bukan karena tuntutan orang tuanya untuk
mendapatkan nilai sempurna. Informasi yang cukup banyak tentang studi yang dipelajari di internet
membuatnya ingin mencari tahu lebih jauh. Bagi mereka, mengerti saja tidak cukup. Millennial ingin
lebih dari sekedar memahami. (Fela)

Millennial Generation: Children of Today


Post on: November 18, 2013

Beda zaman, pasti beda juga karakterisik dan tingkah polah generasinya. Sekarang eranya
Generation Y, atau generasi millennial. Who are they and how do they behave?

Terminologi millennial generation digunakan untuk menyebut generasi yang lahir pada tahun 1980
hingga akhir 2000-an. Generasi 80-an pun disertakan dalam definisi ini karena mereka mengalami
pubertas dan tumbuh dewasa di era millennium. William Strauss dan Neil Howe menganggap
millennial generation sebagai generasi istimewa. Dalam buku mereka yang berjudul The Fourth
Turning, yang ditulis pada tahun 1997, mereka banyak menuliskan keyakinan akan hal ini.

Karakteristik Millennial Generation

Masih menurut sumber yang sama, millennial generation dikategorikan sebagai Hero, dengan
karakter yang sangat percaya kepada institusi dan kewenangan.

Ciri-ciri millennial generation pada setiap tahap kehidupannya akan sangat berbeda. Selagi muda,
mereka sangat tergantung pada kerja sama kelompok. Beranjak dewasa, mereka berubah menjadi
orang-orang yang lebih bersemangat bekerja berkelompok terutama di saat-saat krisis.

Memasuki paruh baya, mereka akan semakin energik, berani mengambil keputusan dan mampu
menjadi pemimpin yang kuat. They’ll grow old as orang tua yang mampu berkontribusi dan kritis
dalam bermasyarakat.

Namun Jean Twenge, pengarang buku Generation Me (2007), mempunyai pendapat yang berbeda
tentang millennial generation. Menurutnya, Generasi Y dan Generasi X (yang lahir 1965-1980)
merupakan Generation Me.

Jean melihat bahwa generasi ini meningkat kecenderungan narcissism-nya apabila dibandingkan
dengan riset yang dilakukan terhadap Generasi Baby Boomers (masyarakat yang hidup setelah
Perang Dunia II).

Uniknya, 61% generasi milolennium menyatakan keluarga adalah hal paling penting dalam hidup
mereka. Generasi millennium melihat keluarga sebagai sumber kekuatan dan pembimbing hidup.
Berturut-turut, responden menjawab teman (25%), pendidikan (17%), dan spiritual (13%).
Karir

Secara merata, generasi millennium mempunyai pendidikan yang lebih baik dari para orang
tuanya,familier bahkan ahli menggunakan teknologi. Mereka mempunyai kepercayaan diri yang
tinggi, luwes ber-multitasking, dan memiliki enerji yang seakan tak ada habisnya.

Dalam bekerja, generasi millennium memiliki kemampuan multitasking, kompetitif, dan


mengandalkan teknologi. Mereka technology savvy dan mampu bekerja hanya dengan bermodalkan
gadget-nya saja. Surprisingly, 87% menjawab mengecek gadget adalah hal yang pertama kali mereka
lakukan saat bangun tidur. Ketergantungan? Bisa jadi.

Musik

Perkembangan teknologi tak melulu bermakna positif. Di bidang musik, misalnya. Technology start
to take its toll. Revolusi musik digital dengan mudah membunuh toko-toko kaset, penjualan CD fisik,
bahkan memudahkan pembajakan. Mau tak mau, suka tak suka, memang lebih nyaman
mendengarkan musik di ponsel daripada harus duduk diam mendengarkan CD. Admit it.

Memasuki era 2000-an, saat teknologi berkembang dengan sangat pesat yang ditandai dengan
kehadiran smartphone dan social media. Hadirnya jenis budaya pop terbaru tidak akan pernah lepas
dari pengaruh kuatnya media, baik cetak maupun elektronik. Kedua media itulah yang berperan
besar membawa eksistensi budaya pop hingga ke dunia ketiga, seperti Indonesia. Satu media yang
juga tak bisa dipungkiri menjadi agen penyebar budaya pop ini ialah Music Television (MTV).
Jaringan stasiun televisi yang memiliki konten utama mengenai musik dan gaya hidup ini telah
sangat signifikan mempengaruhi anak-anak muda di seantero bumi sejak kehadirannya.

Genre musik yang ada pun kini semakin beragam. Saat ini di Indonesia banyak penikmat musik K-
POP, sehingga mulai bermunculan boyband dan girl band, seperti Smash atau Cherrybelle atau
bahkan JKT48. Jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya, di era millenium ini cenderung lebih
terbuka akan hal-hal baru. Jadi, tak hanya satu dua genre saja yang biasa kita dengar, namun banyak
juga re-generasi dalam industri musik.

Jika di era 70-an lebih kental dengan alunan musik Rock n Roll, alunan musik The Beatles, The Police,
Bee Gees, kini anak-anak muda era milenium jauh lebih bisa bereksperimen dengan berbagai macam
hal, salah satunya musik, memang masih tergolong indie sih, contohnya adalah Bottlesmoker, band
yang beranggotakan 2 orang ini mengusung genre Electro Pop. Selain itu, ada juga Gugun Blues
Shelter yang ber-genre blues, Payung Teduh yang mengusung genre folk jazz. Beragam musik di era
milenium ini semakin mudah dan banyak ditemukan di sekitar kita. So, are you millennials?

"Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena
melawan bangsamu sendiri." - Ir. Soekarno
Tujuh Puluh Dua Tahun Kini

Lompatan waktu telah menghadirkan Bangsa Indonesia dalam era pembaharuan. Roda pergerakan
pun akan diisi oleh generasi-generasi pembaharu. Generasi tersebut bergeser kepada generasi yang
lebih muda yang akan menjadi pemimpin di tanah khatulistiwa. Sayup-sayup Ibu Pertiwi pun
memunculkan rasa optimisme baru di dalam menitipkan masa kemerdekaan kepada generasi
berikutnya. Hal ini tidak dapat kita pungkiri, karena sadar atau tidak, Indonesia telah mengalami
perubahan pada struktur demografinya dimana perbandingan jumlah penduduk Indonesia kini
didominasi oleh generasi pembaharu tersebut. Generasi yang memiliki karakteristik yang berbeda
dengan generasi sebelumnya. Para ahli berpendapat sebagai Generasi Millennial atau Generasi Y
dan bahkan dapat dikatakan telah memasuki era Generasi Z.

Generasi Millennial adalah generasi yang lahir sekitar tahun 1980-an hingga tahun 2000. Generasi ini
tumbuh setelah generasi X dengan rentang usia saat ini sekitar 17-37 tahun. Hal ini pun didukung
dari data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2016 dimana dari 258 juta
penduduk Indonesia, populasi saat ini didominasi oleh usia produktif dengan rentang 15-34 tahun.

Generasi yang lahir pada saat mulai berkembangnya teknologi, utamanya perkembangan teknologi
informasi. Hal ini yang sering dimaksud dengan bonus demografi. Bonus demografi ini diperkirakan
akan mencapai puncaknya pada rentang tahun 2025 -- 2030. Sementara, Generasi Z merupakan
generasi yang telah mengalami masa kematangan dalam perkembangan teknologi informasi.

Tantangan dalam generasi kita saat ini bukanlah soal merebut kemerdekaan dari tangan penjajah
namun bagaimana kita bersama-sama dapat menjaga keutuhan bangsa untuk mengisi masa
kemerdekaan yang telah diraih oleh para pahlawan bangsa atau yang kini berstatus veteran. Namun,
hal tersebut tidaklah mudah.

Berbagai faktor eksternal maupun internal sangat mempengaruhi perjuangan generasi millennial
untuk menjaga keutuhan kemerdekaan bangsa kita. Bangsa ini belum sepenuhnya lepas dari
cengkaraman bangsa asing terutama dari segi penguasaan ekonomi. Kekayaan alam ibu pertiwi pun
banyak yang dikeruk oleh bangsa asing dan tentunya tidak sepenuhnya dimanfaatkan untuk
kemakmuran masyarakat Indonesia. Melimpahnya usia produktif tidak menjamin lapangan kerja diisi
oleh generasi muda kita.

Semakin banyaknya tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia mengharuskan pemerintah dan
juga masyarakat Indonesia meningkatkan kapasitas lulusan terdidik dan terlatihnya. Selain itu,
Bangsa Indonesia belum sepenuhnya selesai dengan permasalahan keberagama yang ada. Mudah
tersulutnya pertikaian antar kelompok atau golongan membuat semangat toleransi di dalam
menjaga keberagaman pun semakin memudar. Memang, ungkapan Soekarno ada benarnya.
Tantangan generasi millennial saat ini dalam mendekap kemerdekaan bangsa adalah jauh lebih sulit.

Namun, kita tidak boleh untuk berputus asa dalam kondisi sulit untuk mempertahankan
kemerdekaan Bangsa Indonesia. Generasi millennial ditambah dengan era generasi Z memiliki
keunggulan untuk mengisi masa kemerdekaan dengan keunggulan 3-Cnya (pendapat beberapa ahli).
Yang dimaksud dengan 3-C adalah Creative, Connected,dan Collaborative. Ketiga keunggulan ini
yang diharapkan tumbuh di dalam tiap individu merdeka di bumi Indonesia.

Keunggulan yang pertama adalah Creative. Generasi ini sangat suka dengan sesuatu yang baru,
tantangan baru, gagasan yang baru, cara berpikir, dan terkadang bersifat ous of the box. Mereka
dapat berkarya secara kreatif dalam menyelesaikan permasalahan yang ada di sekitarnya. Tentunya,
hal ini akan memberikan keunggulan bagi negara untuk memaksimalkan potensi dari generasi ini.

Keunggulan yang kedua adalah Connected. Koneksi menjadi unsur yang sangat penting untuk
menyambungkan potensi-potensi individu. Hal inilah yang menjadi keunggulan pada generasi ini.
Konektivitas antar pribadi menjadi keunggulan yang dimiliki oleh generasi yang lahir pada masa
teknologi informasi terutama dalam berjejaring di dunia maya. Bahkan jejaring di dunia maya ini
jauh lebih kuat dibanding di dunia nyata. Tiap individu dapat menjangkau individu yang lainnya
tanpa terhalang oleh aspek geografis satu sama lain. Dari jejaring tersebut, tidak jarang melahirkan
kelompok atau komunitas-komunitas baru yang didasarkan pada persamaan tujuan. Gerakan sosial,
co-working, start-up, maupun gerakan kerelawanan muncul berkat koneksi di dunia maya tersebut.
Walaupun perlu adanya etika yang harus diperhatikan dalam berkoneksi di dunia maya.

Keunggulan yang ketiga adalah Collaborative. Bangsa Indonesia tidak pernah lepas dari budaya yang
telah melekat pada jatidiri bangsa yaitu gotong royong. Pada generasi ini pun, semangat tersebut
tertuang dalam semangat berkolaborasi. Semangat tersebut tidak hanya pada satu golongan
melainkan telah lintas sektoral. Kolaborasi lintas sektoral tersebut tidak lagi melibatkan satu entitas
saja namun melibatkan seluruh sektor pembangunan mulai dari sektor pemerintah, sektor swasta,
sektor ketiga, akademisi, hingga media massa.

Sinergisasi antar elemen menjadi sangat penting dalam era ini agar pembangunan yang terjadi
menciptakan karya-karya yang solutif, kreatif, dan inovatif. Hal ini sudah dapat dilihat di beberapa
wilayah di Indonesia seperti Kota Bandung, Kota Surabaya, Provinsi DKI Jakarta, dan beberapa
daerah lainnya di Indonesia. Tentunya ini menjadi keunggulan dari era kini di dalam membangun
Bangsa Indonesia ke depan.
Apa yang dapat Mahasiswa lakukan dalam mengisi masa Kemerdekaan?

Mahasiswa merupakan garda terdepan di dalam menjaga masa kemerdekaan dalam era millinneal
seperti saat ini. Mahasiswa tidak boleh apatis dengan kondisi bangsa. Lakukan inovasi dan buatlah
solusi dari permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia sesuai dengan peran masing-masing. Kita
pun tidak dapat menyelesaikan permasalahan tersebut sendiri namun perlunya kolaborasi dan
sinergisasi antar elemen di negeri ini. Kita juga tidak boleh menutup diri terhadap berbagai peluang
kolaborasi yang ada di depan mata.

Selain itu, pemanfaatan yang bijak dalam menjajaki teknologi pun harus sangat diperhatikan agar
konflik yang terjadi dapat diminimalisir. Jangan lagi ujaran kebencian namun sampaikan hal-hal
positif dari apa yang dimiliki bangsa ini. Karena sejatinya Indonesia bukanlah milik satu golongan
saja, Indonesia adalah milik kita bersama. Karena kini, kitalah yang akan mendekap ibu pertiwi dalam
masa kemerdekaan ke depan. Indonesia adalah kita!

Generasi Y atau biasa disebut generasi “millenial” merupakan klasifikasi generasi bagi orang-orang
yang lahir pada kurun waktu 1980-2000an. Generasi Y adalah generasi yang hidup dalam era digital
karena generasi ini tumbuh bersamaan dengan kemajuan digital dan komputerisasi. Sebagai salah
satu bagian dari generasi Y, mahasiswa perlu mengetahui bagaimana karakteristik diri kita saat ini.
Gambaran karakteristik tersebut dapat diambil dari fakta yang ditemukan di masyarakat.
Generasi “millenial” termasuk dalam kategori usia kerja karena saat ini generasi tersebut berada
dalam usia 16-36 tahun. Dapat dikatakan bahwa generasi Y telah memberikan kontribusi langsung
dalam perekonomian negara melalui keikutsertaan dalam proses produksi dan konsumsi dalam
jumlah yang besar. Seberapa besarkah generasi ini berkontribusi terhadap perekonomian negara?
Faktanya generasi ini berjumlah sekitar 81-84,5 juta orang sehingga besarnya golongan ini akan
merubah perekonomian negara dilihat dari pola produksi dan konsumsi tersebut.

Menyadari pentingnya generasi ini sebagai pelaku dalam proses pembangunan bangsa maka
beberapa waktu yang lalu Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UGM (Himiespa) melalui
Departemen Pelatihan dan Pengembangan mengadakan diskusi. Diskusi ini bertemakan Generasi
Millenial: Potret baru pembangunan bangsa. Diskusi dihadiri oleh berbagai mahasiswa dari disiplin
ilmu berbeda seperti Ilmu Ekonomi, Akuntansi, Manajemen, Psikologi, dan Teknik. Dengan kehadiran
perserta dari multidisiplin ilmu tentu perspektif diskusi akan semakin kaya. Diskusi dibagi menjadi
beberapa sub pembahasan penting yaitu mengenai peran institusi pemerintahan, perusahaan, dan
isu ketimpangan yang juga muncul beriringan dengan hal ini.

Terdapat beberapa fakta menarik yang dimiliki generasi “millenial” yang disampaikan oleh
moderator saat diskusi. Fakta-fakta tersebut antara lain:

Generasi Y lebih banyak menghabiskan waktu pada teknologi,

90% generasi Y menggunakan internet,

70% generasi Y aktif dalam media sosial,

Dalam hal intelegensi, 54% generasi Y sudah bisa merasakan dunia pendidikan yang tinggi, dan

Generasi Y lebih sering membaca berita/informasi melalui media online daripada melalui koran atau
televis

Pembahasan awal dimulai dari sub pembahasan perusahaan serta industri. Generasi “millenial”
memiliki lebih banyak jenis pekerjaan sehingga mereka lebih sering beralih pekerjaan. Hal ini
disebabkan karena generasi Y lebih mengutamakan pada kepuasan kerja selain gaji yang besar. Salah
satu indikator dari kepuasan kerja didasarkan pada kondisi lingkungan kerja serta kultur kerja yang
mendukung.

Dari hasil diskusi terdapat beberapa hal yang diinginkan generasi Y tentang lingkungan kerja.
Beberapa hal ini diharapkan dapat ditindaklanjuti oleh pelaku industri, yaitu:

Lingkungan kerja yang dinamis


Jaminan dan keamanan

Kecepatan

Fleksibel dalam hal posisi kerja dan waktu

Dinamis dalam tuntutan dan mobilitas yang tinggi

Perubahan dalam lingkungan dan kultur kerja yang dituntut oleh generasi Y tentu mengakibatkan
pelaku industri turut menuntut loyalitas generasi “millenial” dalam pekerjaan. Dalam forum terdapat
berbagai pandangan bagaimana bentuk loyalitas yang harus diberikan terhadap perusahaan. Salah
satu bentuk loyalitas generasi Y pada perusahaan yaitu dengan menunjukkan inovasi dan karya
nyata pada perusahaan. Bentuk loyalitas menurut salah satu peserta lain adalah pemberian
produktivitas kerja yang lebih besar dalam berkontribusi pada perusahaan. Seluruh peserta diskusi
menyetujui bahwa loyalitas bisa diberikan dalam berbagai bentuk tanpa mengganggu fleksibilitas
waktu kerja.

Durasi kerja dalam diskusi juga ditinjau ulang. Salah satu peserta berpendapat bahwa dengan durasi
saat ini masih banyak alokasi waktu yang tidak digunakan dengan optimal. Dari standar delapan jam
kerja yang diterapkan, salah satu peserta berpendapat bahwa waktu kerja yang efektif hanya lima
jam. Sisa waktu yang digunakan hanya untuk keperluan mengobrol atau makan. Hampir keseluruhan
peserta setuju bahwa durasi waktu dalam pekerjaaan harus ditinjau ulang untuk efektivikasi kerja.

Berubahnya wajah karakter generasi juga menyebabkan permintaan perubahan lingkungan dan
kultur pekerjaan. Perubahan dalam lingkungan kerja juga menuntut perusahaan untuk
menyesuaikan sistem perekrutan dalam pengelolaan tenaga kerja. Salah satu peserta menyarankan
beberapa indikator dalam perekrutan tenaga kerja yang mengikuti perubahan perilaku tenaga kerja
saat ini yaitu indikator IPK (Indeks Prestasi Kumulatif), indikator kesehatan, dan indikator universitas.
Menurut hasil diskusi ini indikator IPK masih diperlukan oleh perusahaan karena dapat dijadikan
bahan pertanggungjawaban dalam menilai kinerja generasi Y. Selain IPK, indikator kesehatan juga
masih diperlukan mengingat generasi Y lebih sering beraktivitas indoor dibandingkan outdoor.
Indikator universitas pun tak luput dari sorotan generasi Y. Sama halnya dengan IPK, universitas
dapat dijadikan bahan pertanggungjawaban dalam menilai kinerja.

Tidak hanya perusahaan saja yang harus bersiap untuk melakukan reformasi dalam manajerial
kinerja terhadap generasi “millenial”. Institusi yang krusial seperti institusi pemerintah tentu harus
bersiap melakukan reformasi manajerial kinerja khususnya perekrutan. Generasi Y menuntut
pemerintah untuk menyediakan pekerjaan yang sesuai dengan karakter generasi Y yaitu dinamis.
Generasi Y juga menyarankan agar pemimpin pada saat ini dan mendatang dapat lebih ‘melek’
teknologi dan dapat memberikan insentif pada pekerja sektor pemerintahan agar market power
pada sektor pemerintahan tidak hanya dikuasai oleh elit politik. Sistem perekrutan kerja harus
didasarkan pada basis meritokrasi.
Salah satu karakteristik dari generasi “millenial” yaitu sedang menempuh pendidikan tinggi serta
tinggal dikota.. Saat ini banyak generasi “millenial” yang berasal dari desa mengenyam pendidikan
yang tinggi dengan tujuan agar dapat bersaing dan mendapatkan pekerjaan di kota. Kota dalam
pandangan generasi “millenial” memberikan tantangan sekaligus masa depan yang lebih baik.
Keberagaman fasilitas di kota menjadi pertimbangan generasi ini untuk lebih memilih tinggal di kota.
Jika hal ini menjadi orientasi pemikiran semua generasi “millenial” dari desa maka akan timbul
ketimpangan antara desa-kota. Jumlah pemuda di desa akan berkurang dan jumlah pemuda di kota
akan bertambah. Namun sebenarnya pola pemikiran itu harus diubah karena ternyata ketimpangan
di kota lebih besar dibandingkan dengan desa atau penduduk miskin di kota lebih miskin daripada di
desa.

Dari hasil diskusi, generasi “millenial” mendapatkan solusi atas permasalah ketimpangan antara
desa-kota, yaitu mengadakan pembangunan ke arah desa, digitalisasi desa, ‘dari desa balik ke desa’,
dan pentingnya peran ekonom untuk mengatasi kesenjangan karena kesenjangan akan
memperburuk efektivitas sebuah perekonomian.

Generasi Millennial Indonesia: Tantangan dan Peluang Pemuda Indonesia

Posted by By Hasanuddin Ali at 30 December, at 16 : 10 PM Print

Generasi Millennial adalah terminologi generasi yang saat ini banyak diperbincangkan oleh banyak
kalangan di dunia diberbagai bidang, apa dan siapa gerangan generasi millennial itu?. Millennials
(juga dikenal sebagai Generasi Millenial atau Generasi Y) adalah kelompok demografis (cohort)
setelah Generasi X. Peneliti sosial sering mengelompokkan generasi yang lahir diantara tahun 1980
an sampai 2000 an sebagai generasi millennial. Jadi bisa dikatakan generasi millennial adalah
generasi muda masa kini yang saat ini berusia dikisaran 15 – 34 tahun.

Studi tentang generasi millenial di dunia, terutama di Amerika, sudah banyak dilakukan, diantaranya
yang studi yang dilakukan oleh Boston Consulting Group (BCG) bersama University of Berkley tahun
2011 dengan mengambil tema American Millennials: Deciphering the Enigma Generation. Tahun
sebelumnya, 2010, Pew Research Center juga merilis laporan riset dengan judul Millennials: A
Portrait of Generation Next.

Di Indonesia studi dan kajian tentang generasi millennial belum banyak dilakukan, padahal secara
jumlah populasi penduduk Indonesia yang berusia antara 15-34 tahun saat ini sangat besar, 34,45%.
Tahun lalu memang ada sebuah majalah bisnis yang tajuk utamanya membahas generasi millennial,
tapi sayang coverage liputanya masih sebatas kaitannya generasi millennial dengan dunia
pemasaran, belum masuk secara substansi ke ruang lingkup kehidupan mereka secara menyeluruh.

Dibanding generasi sebelum, generasi millennial memang unik, hasil riset yang dirilis oleh Pew
Researh Center misalnya secara gamblang menjelaskan keunikan generasi millennial dibanding
generasi-generasi sebelumnya. Yang mencolok dari generasi millennial ini dibanding generasi
sebelumnya adalah soal penggunaan teknologi dan budaya pop/musik. Kehidupan generasi
millennial tidak bisa dilepaskan dari teknologi terutama internet, entertainment/hiburan sudah
menjadi kebutuhan pokok bagi generasi ini

Dalam konteks Indonesia hal yang sama juga terjadi, hasil survei yang dilakukan Alvara Research
Center tahun 2014 menunjukkan Generasi yang lebih muda, 15 – 24 tahun lebih menyukai topik
pembicaraan yang terkait musik/film, olahraga, dan teknologi. Sementara generasi yang berusia 25 –
34 tahun lebih variatif dalam menyukai topik yang mereka perbincangkan, termasuk didalamnya
sosial politik, ekonomi, dan keagamaan. Konsumsi internet penduduk kelompok usia 15 – 34 tahun
juga jauh lebih tinggi dibanding dengan kelompok penduduk yang usianya lebih tua. Hal ini
menunjukkan ketergantungan mereka terhadap koneksi internet sangat tinggi.

Ketika kita berbicara dan mencoba membedah potret generasi millennial di Indonesia secara utuh
maka setidaknya ada lima isu utama yang perlu dikaji lebih mendalam, yakni:

Pandangan Keagamaan, Religion Beliefs

Jumlah penduduk muslim di Indonesia merupakan yang terbesar di didunia, meski demikian ternyata
Indonesia lebih memilih demokrasi sebagai sistem bernegaranya dibanding sistem kenegaraan yang
berdasarkan agama. Prinsip inilah yang dipegang teguh oleh para pendiri republik ini, bahwa sebagai
bangsa dan negara kita perlu mendasarkan pada asas dan dasar negara yang melindungi setiap
warga negara apapun asal usul dan latar belakangnya, dan dasar negara itu kita sepakati adalah
Pancasila.

Karena itu penting untuk memotret bagaimana pandangan keagamaan pemuda apakah konservatif,
moderat, atau sekuler, apa pandangan pandangan pemuda tentang hubungan agama dan negara.
Apakah ada pergeseran pandangan keagamaan pemuda dibanding generasi-generasi sebelumnya.

Ideologi dan Partisipasi Politik, Ideology and Politic Participation

Ada sebuah pandangan umum yang selalu menggelitik bahwa nilai-nilai patriotik dan nasionalisme
telah hilang dan luntur dari generasi muda kita. Apa memang demikian? Kalau kita lihat semangat
sepak bola mania di Gelora Bung Karno setiap timnas bertanding malah menunjukkan hal sebaliknya.
Juga ketika kita lihat respon mereka di social media ketika simbol-simbol kita dilecehkan negara
tetangga, mereka sangat aktif dan gigih membela martabat bangsa dan negaranya. Jadi penting bagi
kita sebenarnya untuk melihat sebetulnya apa arti nasionalisme bagi generasi millennial ini, Apakah
hanya sebatas aspek primordialisme, trend saja atau ada yang lebih substansial.

Terkait dengan dunia politik di Indonesia, penting juga melihat bagaimana pemuda melihat setiap
proses politik kenegaraan yang terjadi di Indonesia, seberepa besar tingkat partisipasi pemuda
dalam setiap proses politik di Indonesia. Survei yang dilakukan Alvara Research Center tahun 2014
menunjukkan pemilih muda Indonesia didominasi oleh swing voters/pemilih galau, dan apathetic
voters/pemilih cuek.

Nilai-Nilai Sosial, Social Values

Bagaimana pemuda memaknai arti sebuah keluarga juga penting untuk digali, bagaimana mereka
memandang hubungan antara anak dan orang tua, apakah orang tua merupakan role model bagi
mereka atau malah mereka lebih memilih role model lain diluar hubungan kekeluargaan.

Berbagai pertanyaan diatas penting diukur terkait dengan nilai-nilai sosial dikalangan pemuda,
banyak pihak juga berpandangan mulai ada pergeseran nilai-nilai sosial ketimuran kita dikalangan
pemuda, karena mereka lebih terbuka pemikirannya maka mereka juga dengan mudah mengadopsi
nilai-nilai sosial barat yang lebih modern

Pendidikan, Pekerjaan, dan Kewirausahaan, Education, Work, and Entrepreneurship


Isu paling penting yang dihadapi pemuda dari dulu sampai sekarang adalah isu pendidikan dan
pekerjaan, karena dua hal inilah yang paling berpengaruh dan menentukan masa depan mereka.
Tingkat kesuksekan mereka dimasa dewasa dan masa tua ditentukan oleh pendidikan dan pekerjaan
yang mereka terima di masa muda.

Selain itu wirausaha saat ini juga sudah menjadi alternatif kalangan muda dalam berkarya, start-up
bisnis bermunculan di berbagai kota. Begitu lulus mereka tidak lagi berburu lowongan pekerjaan,
tapi berupaya mencari peluang bisnis dan menjadikan peluang bisnis itu sebagai pintu masuk ke
dunia wirausaha.

Gaya Hidup, Teknologi, dan Internet, Lifestyle, Technology, and Internet

Gaya hidup anak muda yang cenderung hedonis terutama dikota-kota besar sudah menjadi rahasia
umum, mereka memiliki cara tersendiri untuk meluapkan ekspresi mereka, dunia hidup mereka
tidak bisa lepas dari hiburan dan teknologi terutama internet.

Bagaimana gaya hidup pemuda Indonesia?, Apa saja hobi dan olahraga yang pemuda senangi?, Apa
kebiasasan dan perilaku pemuda terhadap terknologi, terutama internet? Dan Bagaimana interaksi
pemuda di media sosial? Adalah pertanyaan yang perlu dijawab terkait hubungan gaya hidup anak
muda.

Akhirnya dengan memahami secara utuh potret generasi millennial di Indonesia maka kita memiliki
gambaran pandangan, aspirasi dan sudut pandang mereka terhadap segala aspek didalam
kehidupan mereka, sehingga pembangunan manusia Indoesia seutuhnya bisa tepat sasaran, karena
pada ujungnya nanti kepada generasi millennial inilah nasib dan masa depan bangsa dan negara
ditentukan.

Oleh:

Hasanuddin Ali

Founder and CEO Alvara Research Center

Event : “Public Relations Ala Millennials” (Memahami Generasi Millennial Masa Kini)

Posted By: Penjaga Rumah 0 Comment

MEMAHAMI KINERJA HUMAS MASA KINI: HUMAS ALA MILLENNIALS

Seorang Humas memiliki banyak program kerja yang bertujuan untuk menjalankan visi misi
perusahaan. Dengan mengikuti perkembangan zaman, seorang humas harus mempunyai strategi
baru untuk dapat menarik perhatian khalayak dan dapat langsung mencakup segmentasi dari
perusahaan tersebut. Tentunya di era Millenials, khususnya millennials yang berprofesi sebagai
humas dilintas industri dituntut untuk lebih kreatif agar dapat mencakup seluruh kalangan khalayak
sehingga program kerja yang dijalankan dapat diterima dengan baik oleh khalayak.

Salah satu kajian menarik dari fenomena millennial adalah bagaimana mereka berinteraksi dengan
lingkungan sekitarnya. Bagaimana cara mereka berkomunikasi antar sesama millennial dan generasi
diatasnya, seperti Generasi X dan Baby Boomers. Menurut Bruce Berger, Ph.D yang merupakan
seorang researcher dari ‘The Plank Center for Leadership in Public Relations’ , millennials sebagai
generasi yang lahir di era digital ternyata memiliki keinginan yang kuat untuk menjadi seorang
‘leader’ dilingkungannya, sangat menghargai keterbukaan/transparansi, memilihi tingkat kepedulian
sosial yang tinggi, memiliki rasa tanggung jawab, menghargai keberagaman dan senang berkarya
melalui komunitas. Pertanyaan berikutnya, bagaimana situasi ini sikapi oleh para millennials yang
memegang peran sebagai pemimpin diperusahaan tempat mereka bekerja ?

Rumah Millenials hadir dengan kegiatan diskusi rutin yang bernama M-Talk (Millennials Talks) untuk
mengupas kegiatan humas di era millennial dengan tema “Memahami Kinerja Humas Masa Kini”
yang dilaksanakan pada Sabtu, 26 Agustus 2017, pukul 12.00 – 17.00 WIB di Kolla Space Sabang Jl.
Haji Agus Salim No. 32B, Kebon Sirih, Jakarta.

Pembicara yang akan hadir diantaranya adalah :

Ananda Wondo (PR Cordinator Hotel Indonesia)

Rahmat Fitra Wibowo (PR Net TV)

Ridho Dwi Laksono (Humas Kemenhub)

Tania Amalia (PR Director Leo Burnett Indonesia)

Andy M.Saladin (PR Manager Lion Air Group)

Jessica Theresia (Senior PR Executive Zalora)

Arninta Puspitasari (PR dan Event Manager Nutrifood)

Acara ini dilaksanakan dengan tujuan agar dapat memfasilitasi khalayak khususnya generasi
millennial yang berasal dari berbagai bidang agar dapat berjejaring, belajar, berbagi cerita serta
membuka peluang untuk bekerjasama.
Dengan adanya acara M-Talks ini diharapkan dapat menjadi momentum positif yang dapat
dimanfaatkan bagi akademis maupun praktis. Acara ini diperuntukkan bagi mahasiswa, praktisi,
pemerintah dan media yang ingin menambah ilmu di dunia kehumasan. Format diskusi langsung
dengan pembicara akan memudahkan peserta dalam bertukar pikiran dan pendapat.

Lalu bagaimana cara mereka mengelola konten komunikasi yang kreatif ?

Bagaimana humas atau komunikator muda harus berbicara dengan bahasa dan kebiasaan mereka
sehingga tercipata harmonisasi dalam pekerjaan ?

Bagaimana riset dapat membantu mereka bekerja dalam berinteraksi sesama millennial atau antar
generasi ?

Bagaimana para humas mudamenyampaikan pengalamannya mengelola krisis di perusahaannya ?

Bagaimana kemampuan mengelola PR di era digital dan teknologi informasi ?

Bagaimana para humas muda bekerja harus memperhatikan etika yang juga diatur lembaga atau
asosiasi profesi ?

RumahMillennials.com | Di era globalisasi dimana teknologi digital dapat diakses oleh hampir semua
kalangan, informasi berkembang dengan pesat dan penyebarannya semakin cepat. Di era digital
sekarang ini, media konvensional masih tetap eksis, namun telah ditinggalkan oleh generasi yang
lahir di era digital, yaitu generasi Millennial.
Generasi millennial beralih pada media baru, dan penelitian mendapati bahwa mayoritas millennial
mendapatkan berita bersumber dari media sosial seperti facebook dan twitter (dikutip dari How
Millennials, 2015), dimana kredibilitas sumber berita sangat sulit untuk diukur. Popularitas media
digital ini merupakan akibat dari mudahnya akses internet, dan penyajian informasi dalam bentuk
yang lebih sederhana (dan juga menarik) dengan gaya bahasa yang ‘a la kadarnya,’ sehingga lebih
mudah dicerna oleh generasi millennial yang lebih muda (orang – orang yang lahir pada tahun 1990
– 2000).

Bentuk berita yang disajikan juga bermacam – macam, mulai dari ciutan sepanjang 140 karakter
sampai dengan visualisasi melalui platform video. Mudahnya akses informasi dan pemberitaan
memiliki dampak positif yaitu mengedukasi dan meningkatkan kesadaran akan hal – hal yang terjadi
di lingkungan sekitar sampai dengan lingkup dunia. Namun, kredibilitas informasi yang disediakan
bisa saja bias dan dikarang oleh pihak – pihak tertentu yang berniat memprovokasi.

Sebuah contoh kasus yang terjadi pada masa kampanye pemilihan presiden Republik Indonesia
tahun 2014. Akun twitter dengan nama pengguna triomacan2000 dengan ratusan ribu pengikut yang
mayoritasnya adalah generasi millennial, menyebarkan informasi yang berbau black campaign
mengenai salah satu calon presiden yang ternyata adalah hasil rekaan. Ciutan akun tersebut dengan
cepat menjadi viral dan mendapat sorotan media nasional.

Penelitian lain menunjukkan bahwa generasi millennial cenderung malas untuk memvalidasi
kebenaran berita yang mereka terima dan cenderung menerima informasi hanya dari satu sumber,
yaitu media sosial.

Masih merupakan hal yang mustahil untuk menghitung seberapa banyak jumlah berita yang
mengandung informasi palsu atau bahkan mengestimasikan jumlah yang tersebar secara online di
media sosial. Karena media sosial merupakan forum publik gratis, semakin besar kemungkinan
penyebaran informasi palsu, di luar konteks, dan tidak akurat.

Bagi generasi millennial untuk melindungi diri dari informasi yang tidak akurat, bersifat provokasi,
pola perilaku penggunaan media harus dievaluasi dan diperbaiki.

Merupakan sebuah hal yang memalukan bagi kita, generasi yang lahir di era digital untuk jatuh pada
informasi hoax yang bersumber dari opini satu orang ataupun berita viral yang tidak diketahui
darimana berita bersumber.
Saat ini, untuk memvalidasi berita yang tersebar melalui media sosial cenderung sulit. Namun,
kemudahan teknologi akan banyak membantu kita untuk membuktikan kebenaran sebuah
informasi. Platform mesin pencari mempermudah kita untuk memperoleh informasi yang akurat,
bahkan anda dapat memperoleh data hasil penelitan maupun jurnal yang dipublikasikan oleh
lembaga – lembaga kredibel.

Tidak lagi menjadi alasan untuk mempercayai satu sumber berita karena sebagai generasi yang lahir
di era digital, kita telah diberikan kemudahan untuk menjadi orang – orang yang “melek media” dan
menjadi lebih kritis dalam menyaring informasi yang disajikan kepada kita.

Ellysabeth Ratih Dwi Hapsari W.

(Mahasiswi Ilmu Komunikasi UNDIP)

Coba jujur, kamu sering nggak sih merasa wajib mempunyai atau mengikuti sesuatu yang sedang
ramai diperbincangkan orang? Entah itu gawai, pakaian, tempat nongkrong, sampai sosial media.
Seolah kamu lupa belum tentu apa yang kata orang sedang hits itu benar-benar dirimu butuhkan.
Contoh sederhananya soal gawai, kenapa kamu harus terburu-buru menggantinya? Sementara
ponsel lamamu masih berfungsi dengan baik serta tampilan pun masih mulus-mulus saja!

Sebenarnya tahu perkembangan zaman itu perlu, tapi bukan berarti harus mengikuti. Mungkin kamu
tak merasa lelah mengikuti segala hal yang muncul silih berganti. Tapi coba renungkan baik-baik,
bagaimana dampaknya ke dirimu sendiri?

Siapa sih yang nggak ingin dianggap keren oleh orang lain? Kamu, dia, mereka hampir setiap orang
pasti memiliki kebanggaan tersendiri ketika menyandang predikat itu. Seolah keren bagian dari
prestasi. Tapi apa iya keren sebatas kekinian saja? Di sini kamu harusnya berpikir ulang, jangan dulu
berbangga hati ketika orang menganggapmu keren cuma karena mengikuti tren. Mengingat di luar
sana ada banyak orang yang tak berbeda jauh darimu.

Lalu keren seperti apa yang harusnya membuatmu bangga? Keren saat tulisanmu memenangkan
sebuah lomba. Keren saat kamu bisa lolos di perusahaan besar. Keren itu saat kamu benar-benar
melakukan sesuatu yang belum tentu orang lain bisa melakukannya.

Milenial dan Politik


Jika memang hegemoni informasi terus dilanggengkan, siapa yang jadi penikmatnya? Tentu saja para
Milenial yang mengisi sebagian besar kategori usia produktif.

Menurut survei Alvara Research pada 2016, penduduk usia 15-34 tahun mencapai 34,45 persen dari
total populasi dan akan terus bertambah dalam tahun-tahun mendatang. Data ini dibenarkan oleh
Badan Pusat Statistik yang menyatakan bahwa Indonesia memiliki 125,44 juta angkatan kerja
produktif.

Besarnya angka demografis tersebut menunjukkan posisi Generasi Milenial sebagai satu kekuatan
sentral dalam konteks politik, terutama dalam kontestasi pemilihan umum. Apabila disandingkan
dengan pilpres 2014, jumlah ini hampir mendekati jumlah suara sah, yaitu 133 juta suara. Hitungan
ini belum termasuk jumlah pemilih pemula pada pemilu 2019.

Dengan data yang ada, tak berlebihan menyatakan bahwa barang siapa berhasil menguasai
preferensi politik anak muda hari ini berpeluang besar memenangkan pemilu nanti. Kemunculan
generasi muda atau generasi dengan usia produktif sebagai kekuatan politik melebihi analisis bahwa
kekuatan politik Indonesia terdiri dari: rezim yang sedang berkuasa, militer, dan kelompok Islamis.

Baca juga: Kontras Dua Generasi: Millenial Versus Baby Boomer

Perbedaan paling kentara: kelompok rezim yang sedang berkuasa, militer, dan Islamis secara politik,
pada level tertentu, terkonsolidasi, dan mereka memiliki ideologi mapan serta kepentingan yang
tinggi. Sebaliknya, kelompok anak muda bukan kelompok politik yang terkonsolidasi secara matang
atau, dengan kata lain, bukan kelompok yang mengonsolidasikan diri secara sengaja berbasis
kesadaran atas preferensi politik tertentu (terutama sebagai gerakan politik baru).

Hal ini memang tidak menyingkirkan fakta bahwa sebagian besar anak muda memiliki preferensi
politik, baik sadar atau tidak sadar. Misalnya, sebagian besar anak muda yang lain juga bergabung
dan memiliki pandangan politik yang sama secara implisit dengan organisasi atau kelompok
keagamaan tertentu.

Keberagaman preferensi politik dan posisi ideologis ini menjadikan kelompok muda semakin
berpeluang terseret menjadi area perebutan dominasi, terutama oleh ideologi yang mapan. Dengan
kata lain, kelompok muda masih berposisi menjadi objek, bukan subjek penentu. Perebutan
dominasi itu sejalan dengan karakteristik kelompok muda yang kaya minat, tetapi samar dalam
ideologi (secara sadar dan terkonsolidasi). Premis itu salah satunya bisa diurai dari perilaku anak
muda dalam berinternet. Menurut survei APJII 2016, kategori usia produktif adalah penikmat
internet paling besar.

Baca juga: Milenial Tua versus Milenial Muda

Lebih dalam lagi, 97,5 persen pengguna internet setuju jika aktivitas mereka di internet adalah untuk
berbagi informasi: 90,4 persennya untuk sosialisasi kebijakan pemerintah dan 75,6 persennya untuk
berpolitik. Karena itu, semakin sah bahwa pengguna internet terbesar ada pada kalangan usia
produktif, lebih khususnya lagi para Milenial. Media sosial adalah sumber informasi paling utama
yang sering diakses. Konten informasi paling banyak beredar pun adalah berbagi informasi,
sosialisasi kebijakan pemerintah, dan berpolitik.

Setidaknya, dengan ukuran aktivitas di dunia maya, minat politik yang cukup tinggi ini meruntuhkan
asumsi bahwa Generasi Milenial berwatak apatis. Survei Litbang Kompas pada September 2017 juga
mematahkan asumsi bahwa generasi muda Indonesia hari ini apolitis. Premis Milenial memiliki minat
politik tetapi minim ideologi, ditambah dengan pengalaman pemilu 2014 lalu yang menempatkan
mereka sebagai swing voters terbesar, sebenarnya menegaskan Milenial adalah penentu sekaligus
sasaran empuk asupan informasi menjelang kontestasi pemilu 2019.

Baca juga: Selamat Tinggal Generasi Milenial, Selamat Datang Generasi Z

Kecenderungan tersebut didukung dengan fakta jika Milenial adalah generasi yang tidak mengalami
fase-fase historis bangsa secara langsung. Jadi, seperti ada masa yang terputus (unconnected links)
antara Milenial dan pengenalan peristiwa-peristiwa historis. Perjumpaan dengan peristiwa historis
ini diperoleh dari sumber informasi yang dominan, yaitu pelajaran sejarah yang didapatkan lewat
pendidikan formal atau media-media arus utama.

Ketidakhadiran sejarah yang benar secara patut dalam pelajaran formal maupun media lain
menambah sempitnya pilihan soal kebenaran sejarah. Ruang informasi alternatif tak sama besarnya
dengan ruang informasi yang mendominasi. Tidak heran jika salah satu contoh yaitu Tragedi 1965
yang kerap dikaitkan dengan isu kebangkitan komunisme, selalu berulang dan terus berulang.

Sejalan produksi informasi dari sumber yang “itu-itu saja”, kelompok tersebut yang mendominasi
wacana informasi dan preferensi pilihan politik anak muda. Di sini, kepentingan penguasaan
informasi menemukan relevansi. Kelompok anak muda jadi arena pertarungan wacana dan
informasi. Pada tingkat tertentu, anak muda pun menjadi lapangan pertarungan bagi kelompok
politik papan atas. Maka, kelompok anak muda mengambil dua posisi sekaligus: subjek dan objek
politik.

Milenial dan Politik Ketakutan

Satu isu yang melanggengkan hegemoni informasi itu adalah politik ketakutan. Caranya dengan
menyebarkan ketakutan agar muncul kebutuhan akan solusi berupa rasa aman. Rasa aman
membutuhkan aktor pengaman. Si aktor pengaman karena dibutuhkan menjadi aktor politik.
Hubungan dependensi ini menjadikan politik ketakutan berpeluang diproduksi terus-menerus.

Situasi itu memuncak sebagai dominasi politik, yang dipakai untuk kepentingan tertentu. Bisa jadi
untuk pelanggengan, bisa jadi untuk kembali pada area politik yang dahulu dimiliki. Kedua kondisi ini
bergantung pada siapa aktor pengaman dan apa dominasi politik yang ingin dijalankan.

Polemik film Pengkhianatan G30S PKI (1984) berikut isu kebangkitan komunisme adalah contoh
kasus paling mutakhir bin menarik belakangan ini. Ia adalah polemik yang tidak baru-baru amat,
tetapi terus didaur ulang secara rutin.

Baca juga:

Jenderal Gatot dan Imajinasi Proxy War

Mempropagandakan Film Seram G30S PKI

Berdasarkan survei SMRC pada September 2017, 88,8 persen responden menilai "aman-aman saja"
dengan kondisi saat ini. Ditambah 86,8 persen "tidak setuju" akan adanya kebangkitan PKI. Namun,
39,9 persen menyatakan "setuju" jika PKI berbahaya.

Data ini dapat menjadi preferensi bagi kita untuk melihat bahwa ancaman PKI dirasa tidak nyata
tetapi isu PKI menjadi langgeng karena dianggap membahayakan. Ini adalah bentuk nyata
bekerjanya politik ketakutan yang terorganisir dan sistematis. Boleh setuju atau tidak dengan hasil
survei itu, tetapi satu yang menarik adalah persepsi ketakutan PKI tidak lahir secara alamiah
melainkan hasil dari mobilisasi opini politik.

Sulit untuk menghindarkan bahwa propaganda kebangkitan PKI memang sengaja diciptakan sebagai
manifestasi politik ketakutan. Lalu, siapa aktor yang menjalankan atau setidaknya paling
diuntungkan dari politik ketakutan ini?
Apabila dilihat dari karakternya yang terstruktur dan sistematis, sulit untuk tidak menunjuk militer
sebagai aktor yang paling diuntungkan dari polemik pemutaran film propaganda Orde Baru tersebut
dan isu kebangkitan komunisme. Perintah Panglima TNI Gatot Nurmantyo yang mewajibkan untuk
menonton film tersebut, disertai agitasi anti-komunisme yang beredar, cukup menegaskan hal
tersebut.

Isu komunisme adalah soal mekanisme pertahanan bersama secara naluriah: bersatu melawan
musuh bersama. Politik ketakutan menempatkan komunisme sebagai musuh bersama dan harus
dilawan bersama pula.

Pada konteks lain, isu komunisme adalah pertautan platform antara militer dan kelompok Islam yang
paling mungkin dijalin. Hal yang sulit terjadi jika mengandalkan isu nasionalisme, seperti pada kasus
Perppu Ormas yang bertujuan membubarkan organisasi kemasyarakatan yang bertentangan dengan
Pancasila, misalnya. Isu Perppu Ormas yang bernuansa "nasionalis" justru menjauhkan pertemuan
kepentingan militer dengan kelompok Islam. Maka, pada isu kebangkitan komunisme-lah, pertautan
itu bisa terjadi.

Baca juga: Generasi Z, Intoleransi, dan Pembaharuan Pendidikan Agama Islam

Momentum pemilu bisa jadi hanya pintu masuk untuk segenap kepentingan lain. Rentetan napas
panjang reformasi dengan penghapusan Dwifungsi ABRI bisa jadi sasaran berikutnya. Dengan kata
lain, ini persoalan merebut kembali apa yang pernah dinikmati di masa lalu. Milenial yang diperdaya
dengan politik ketakutan, sehingga membutuhkan aktor pengaman yang baru, adalah sasaran paling
empuk sekaligus paling menentukan.

Begini saja, kita bisa balik narasinya: 2019, Ayu, Demus, dan Milenial lain adalah penentu dengan
menjadi pemutus politik ketakutan. Persoalannya, kita harus mulai dari mana?

Anda mungkin juga menyukai