Pembimbing:
dr. Kotë Noordhianta, Sp.THT-KL, M.Kes
Disusun oleh:
1
Irigasi hidung : Tindakan Medis Yang Tepat
Abstrak : Irigasi hidung (IH) adalah tindakan medis jaman kuno yang digunakan untuk
mengobati infeksi saluran napas atas yang berasal dari tradisi Ayurvedic. IH dilakukan sendiri
atau dengan terapi yang lain dalam beberapa kondisi—termasuk kronik rhinosinusitis dan rhinitis
alergi—serta untuk mengobati dan mencegah infeksi saluran napas atas, terutama di anak-anak.
Tindakan ini banyak dilakukan pada praktik kedokteran saat ini, IH tidak dimasukkan atau hanya
dibahas sekilas dalam guideline professional sebagai pengobatan untuk penyakit saluran nafas
atas. Dalam review ini, pengetahuan sekarang mengenai IH dan revelansi dalam praktik
kedokteran dibahas untuk membantu dokter mengerti bukti yang ada dan kegunaan dari
intervensi medis ini. Analisis literatur menunjukkan bahwa terapi ini efektif pada kondisi akut
dan kronik sinonasal. Beberapa tahun terakhir, banyak studi yang dilakukan menyimpulkan
bahwa IH memiliki banyak masalah metodologi. Hanya studi multisenter dengan jumlah subyek
banyak yang dapat mengatasi masalah relevansi IH dan studi ini sangat dibutuhkan. Metode
untuk menlakukaan IH harus distandarisasi untuk menentukan larutan, alat, dan durasi terapi
yang adekuat untuk mendapatkan hasil terbaik. Hal ini penting karena banyak anak yang
mengalami masalah sinonasal dan IH memiliki keuntungan yang signifikan karena murah dan
mudah dilakukan sebagai pencegahan serta terapi.
Kata kunci: rhinitis alergi; rhinosinusitis kronik; irigasi hidung; infeksi saluran nafas atas.
1. Pendahuluan
Irigasi hidung (IH) adalah tindakan medis jaman kuno yang digunakan untuk mengobati
infeksi saluran napas atas yang berasal dari tradisi Ayurvedic. Diadopsi oleh kedokteran barat
pada tahun 1990, dan semenjak itu terus meraih popularitas di seluruh dunia. IH dilakukan
sendiri atau sebagai tambahan terapi lain dalam beberapa kondisi—termasuk Kronik
Rhinosinusitis (KRS) dan Rhinitis Alergi (RA). Pada anak-anak digunakan untuk mengobati dan
mencegah Infeksi Saluran Nafas Atas (ISPA). Secara umum dokter THT dan dokter anak sering
menggunakan IH karena kegunaannya yang berhubungan untuk mengurangi tanda dan gejala
penyakit rhinosinusal dan pemberian obat secara signifikan. Walaupun sering digunakan pada
2
praktek sehari-hari, IH tidak dimasukkan atau hanya disebutkan secara sekilas pada guidelines
professional untuk terapi pada ISPA.
Banyak penelitian yang dilakukan untuk evaluasi IH dalam praktik klinis. Tetapi banyak
penelitian yang jumlah pasiennya sedikit serta usia dan penyakit yang berbeda, banyak penelitian
memiliki masalah metodologi sehingga menyebabkan hasil yang diperdebatkan.
Banyak aspek pada IH, seperti komposisi larutan, sarana irigasi, mekanisme kerja, dan
keamanan serta toleransi belum sepenuhnya dijelaskan. Dalam studi ini, pembahasan
pengetahuan mengenai IH dan relevansi dalam praktik klinis akan didiskusikan untuk membantu
dokter memahami bukti yang ada dan kegunaan IH dalam intervensi medis.
3
mukus, walaupun menambahkan bikarbonat murni ke larutan salin diperdebatkan. Keuntungan
penurunan viskositas mukus mungkin diseimbangkan dengan peningkatan pH larutan, dimana
menjadi faktor negatif. In vitro penelitian menunjukan pH asam dapat menurunkan frekuensi
gerakan silia, kebalikan akan terjadi ketika larutan alkali digunakan. Pada penelitian in vivo,
menggunakan larutan pada range pH dari 6.2 ke 8.4 tidak memiliki efek terhadap pembersihan
mukosiliar.
Tabel 1. Mekanisme kerja irigasi hidung (IH).
Mekanisme Kerja
Mekanik Pelepasan lapisan mucus
Pembersihan mediator inflamasi
Efek terhadap pembersihan mukosilier Mengurangi antigen mikroba
Menurunkan efek samping mikroba
Efek positif terhadap integritas sel epitel Magnesium merangsang perbaikan sel,
dan fungsi ion mengurangi inflamasi, mengurangi eksositosis,
dan menurunkan apoptosis sel respiratori
Zink menurunkan apoptosis sel respiratori
Potassium memiliki kerja anti-inflammasi
Bikarbonat menurunkan viskositas mukus
4
(Physiomer®) karena dengan metode ini memepertahankan seluruh mineral dari air laut. Larutan
IH dapat dipersiapkan di rumah berdasarakan petunjuk dari beberapa pengarang dan instituti.
Secara umum, air yang telah direbus dicampur dengan garam dapur yang biasa digunakan. Pada
beberapa kasus, dapat dicampur dengan soda kue. Tonisitas akhir dapat bervariasi antara 0.9%
sampai 3%, dan pHnya asam kecuali bila ditambahakan soda kue.
5
dievaluasi, IH menggunakan larutan 2.5 mL diberikan pada masing-masing hidung tiga kali
sehari selama enam minggu dengan spuit. Marchisio et al dan Chen et al. mengobati anak dengan
penyakit dan usia yang sama menggunakan 20 mL, dua kali sehari dengan spuit selama 4
minggu, dan 4–6 kali spray dua kali sehari selama 12 minggu, secara terus menerus. Seluruh
penelitian menunjukkan bahwa IH efektif tapi tidak dijelaskan mengenai cara terbaik untuk
melakukan IH.
6
atau air yang direbus di rumah, disimpan di kontainer dan digunakan setiap kali IH dilakukan
sesuai dengan jumlah cairan yang dibutuhkan. Alat dapat terkontaminasi ketika digunakan secara
terus-menerus tanpa dibersihkan secara adekuat. Lee et al. melaporkan setelah satu dan dua
minggu setelah penggunaan, botol irigasi yang digunakan dewasa yang menjalani endoscopic
sinus surgery yang dicuci dengan sabun dan air panas setiap kali digunakan terkontaminasi oleh
bakteri spectrum luas, termasuk Pseudomonas aeruginosa, Serratia marcescens, Proteus
mirabilis, and Staphylococcus aureus. Hal yang sama ditemukan pada penelitian lain,
kontaminasi bakteri sama dengan bakteri yang menyebabkan rhinosinusitis akut, hal ini
menunjukkan sumber utama kolonisasi bakteri pada alat berasal dari kavitas sinonasal. Risiko
kontaminasi tidak dipengaruhi oleh jenis alat yang digunakan. Penggunaan botol irigasi yang
one-way valve, secara teori mampu menurunkan risiko kontaminasi larutan di alat, ditemukan
inefektif.
Kontaminasi dipengaruhi oleh komposisi larutan. Hal ini menunjukkan bahwa larutan
asam, salin isotonik berhubungan dengan kontaminasi bakteri karena kontaminan tumbuh
optimal pada lingkungan yang sama. Kontaminasi ditemukan terjadi lebih sering apabila IH
dilakukan dengan durasi yang lebih lama. Penelitian melaporkan bahwa keduanya baik botol dan
spuit terkontaminasi setelah pemakaian satu atau dua minggu kira-kira 25% kasus dan 45%
setelah 4 minggu. Walaupun hal ini umum dan sering terjadi kontaminasi bakteri, dianggap
sebagai masalah yang salah oleh beberapa ahli. Ahli berpendapat bahwa kavitas hidung dipenuhi
oleh bakteri dan penambahan patogen tidak relevan secara klinis. Kesimpulan berdasarkan bukti
menunjukkan bahwa kontaminasi tidak berdampak terhadap penyakit. Mengganti alat yang lama
dengan yang baru dapat meperbaiki gejala pada pasien dewasa dengan KRS, dan diantara
semuanya, laporan mengenai dua kematian akibat amoeba meningoencephalitis berhubungan
dengan menggunkan IH yang terkontaminasi air keran memberikan perhatian terhadap masalah
kebersihan dan sterilisasi larutan dan botol untuk IH. Untuk mengurangi kontaminasi, beberpaa
metaode diajukan dan diteliti. Keen et al. membandingan beberapa ukuran dan menemukan
bahwa mencuci alat dengan air mendidih atau larutan desifektan atau menggunakan microwave
dapat menurunkan tingkat kontaminasi, walaupun tidak semua alat. Jika IH dilakukan di rumah,
seharusnya hanya menggunakan steril, destilasi, air yang difilter dan mencuci alat dengan air
destilasi atau air mendidih. Risiko kontaminasi hanya dipelajari di dewasa karena anak umumnya
menderita penyakit sinonasal karena pathogen yang berbeda dibandingkan dengan dewasa, tidak
7
ada kesimpulan risiko dan tipe kontaminasi pada anak dapat digambarkan. Pencegahan yang
direkomendasiakan sama dengan pada dewasa. Penggunaan larutan steril melalui spray atau
nebulisasi yang dijual di pasaran dan penggunaan spuit sterilsetiap kali penggunaan dapat
menurunkan risiko kontaminasi dan masalah pada anak. Jika dimungkinkan, semprotan hidung
dengan kantong hangat dicampur dengan larutan lebih direkomendasikan.
6. Efikasi Klinis
6.1. Infeksi Saluran Nafas Atas (ISPA)
ISPA, termasuk flu dan rhinosinusitis, adalah penyakit yang umum terjadi pada anak dan
dewasa. Walaupun penyakit ringan diobservasi pada sebagian besar pasien, penyakit ini
signifikan mempengaruhi sistem kesehatan dan kualitas hidup pasien dan keluarga, terutama
pada mereka yang sering kambuh, dalam satu tahun pertama kehidupan. Untuk mengurangi
tanda dan gejala, obat antipiretik dan dekongestan sering diresepkan.
Walaupun sebagian besar disebabkan oleh virus, tetapi sering diobati dengan antibiotik
karena dikhawatirkan superimposed dengan bakteri. Hal ini menyebabkan penyalahgunaan
antibiotik dan berhubungan dengan misuse obat-obat ini. Untuk membatasi efek medis, sosial,
dan ekonomi terhadap ISPA dan mengurangi konsumsi obat, IH sering diresepkan oleh dokter
umum, THT, anak untuk tujuan pencegahan dan pengobatan. Beberapa penelitian direncanakan
untuk melihat hubungan IH dengan ISPA. Cochrane review yang terbaru dimana seluruh
penelitian yang dipublikasikan hingga Augustus 2014 membandingkan IH dengan setidaknya
satu intervensi atau placebo untuk pengobatan ISPA dimasukkan. Dari total 360 percobaan yang
ada, hanya lima—dua di dewasa dan tiga di anak—dipilih untuk dianalisis karena randomized
control trials memiliki risiko bias. Karakterisitik klinis dari pasien yang berobat, peresepan, dan
mengukur evaluasi efikasi pengobatan yang belum seragam dan hasilnya tidak dapat
dikumpulkan. Tidak terdapat informasi yang dapat disimpulkan mengenai relevansi komposisi
larutan terhadap hasil sehingga tidak dapat menggambarkan hasil yang pasti. Penulis
menyimpulkan bahwa IH mungkin efektif dalam mengurangi gejala dari ISPA akut, walaupun
dalam studi lanjutan dengan partisipan yang lebih banyak dan standarisasi IH yang lebih teliti
dan hasil yang terukur untuk konfirmasi efektifitas IH. Penelitian pada dewasa, dengan total 205
subjek, melaporkan bahwa tidak ada perbedaan gejala nasal antara yang mendapatkan
pengobatan dengan kontrol.
8
Waktu resolusi yang lebih singkat pada penelitian King et al., ditemukan waktu rata-rata
dari grup yang mendapatkan larutan isotonic salin lebih rendah (7.67 days) dibandingkan dengan
kontrol (10.48 days), walaupun perbedaan tidak mencapai perbedaan yang signifikan. Hasil dari
penelitian anak tidak seragam. Bollag et al. 46 anak usia 2 minggu sampaidua tahun dengan
ISPA dan dibagi menjadi dua intervensi (salin drop; medicated drop) dan kontrol (no nose
drops). Efektifitas dievaluasi dua hari kemudian ditemukan perbaikan yang signifikan dalam
tanda dan gejala nasal yang terjadia pada seluruh grup tanpa keuntungan yang menggunakan
salin drop. Berbeda dari itu, hasil positif dilaporkan oleh Slapak et al. yang meneliti 401 anak
usia 6–10 years dengan komplikasi cold atau influenza yang secara random dibagi menjadi dua
grup, satu dengan medikasi standar (seperti antipiretik, nasal dekongestan, dam mukolitik) dan
kelompok lain IH menggunakan larutan electrodialyzed air laut.
Efek dari pengobatan dievaluasi dengan mengukur intensitas tanda dan gejala ISPA
setelah tiga minggu. Efek preventif IH dievaluasi berdasarkan status respirasi dan insidensi ISPA
bersama dengan konsumsi obat-obatan, komplikasi, tidak masuk sekolah, dan dilaporkan hari
sakit selama sembilan minggu, selama IH yang dilakukan hanya selama tiga kali perhari
dibandingkan enam kali terapi selama periode pengobatan. Didapatkan hasil bahwa anak dengan
IH, gejala sekresi nasal dan obstruksi nasal signifikan menurun (mean scores vs. control group,
1.79 vs. 2.10 dan 1.25 vs. 1.58; p < 0.05 untuk keduanya) pada akhir periode pengobatan. IH
dittemukan memiliki efek profilaksis yang signifikan, dibandingkan dengan anak tanpa IH, anak
yang mendapatkan IH lebih dari 9 minggu penggunaan antipiretik yang lebih rendah (9% vs.
33%), nasal dekongestan (5% vs. 47%), mukolitik (10% vs. 37%), dan antibiotik sistemik (6%
vs. 21%; p < 0.05 untuk seluruhnya). Dalam periode yang sama, anak yang mendapatkan salin
dilaporkan lebih sedikit hari sakit (31% vs. 75%), absen sekolah (17% vs. 35%),dan komplikasi
(8% vs. 32%; p < 0.05 untuk seluruhnya). Penelitian Wang et al. mengenai penggunaan normal
salin pada anak dengan rhinosinusitis akut. Penulis mendaftarkan 69 anak usia 3–12 tahun.
Seluruhnya mendapatkan terapi standar. Tiga puluh anak diobati dengan NI normal salin
diberikan satu sampai tiga kali perhari selama tiga minggu. Efikasi pengobatan nasal dievaluasi
dengan nasal peak expiratory flow rate (nPEFR) tes, pemeriksaan nasal smear, radiografi
(proyeksi Water’s), dan kualitas hidup. Sesudah tiga minggu, dibandingkan dengan kontol, anak
dengan IH menunjukkan perbaikan nPEFR test (p > 0.05) dam terdapat penuruan rhinorrhea,
kongesti nasal, gatal tenggorokan, batuk, dan perbaikan kualitas tidur. Hasil yang sama juga
9
didapatkan pada subgroup pasien anak yang menderita atopi. Setelah publikasi Cochrane review,
penelitian mengenai IH dan ISPA dipublikasi. Penelitian Regab et al. mengkonfirmasi efikasi IH
sebagai terapi ISPA. 62 anak dengan akut rhinosinusitis tanpa komplikasi diteliti, randomized,
dengan studi placebo-controlled. Pasien dibagi menjadi dua grup, grup pertama yang
mendapatkan amoxicillin dan HI dengan normal salin dan grup kedua pasien yang diobati hanya
dengan IH. Respon klinis dan bakeriologis dan sitologi meatus media yang sama di kedua grup
menunjukkan bahwa IH sama efektifnya dengan terapi antibiotik pada rhinosinusitis akut di
anak. Kesimpulan penulis Cochrane review menyebutkan: penggunaan IH untuk terapi ISPA
mungkin efektif tetapi tidak deiketahui bagaiman hal itu berkerja, bagaimana seharusnya
dilakukan, larutan apa yang terbaik untuk digunakan, dan berapa lama harus digunakan untuk
pencegahan dan pengobatan.
10
pembersihan mukosilier, rhinomanometry, dan olfaktometri dilakukan oleh Bachman et al., yang
mengobati 40 pasien dengan 200 mL larutan dua kali sehari. Hal berbeda ditemukan oleh
Hauptman and Ryan, yang melakukan percobaan pada 80 pasien dengan pemberian 1 mL larutan
hipertonik atau normal salin yang diberikan melalui metered-dose spray bottle pada hidung yang
bergejala. Dibandingan dengan kondisi awal, kedua larutan memperbaiki pembersihan
mukosilier dan gejala obstruksi hidung. Hanya larutan fisiologis buffer yang mampu
memperbaiki aliran udara nasal. Tetapi salin hipertonik lebih iritatif.
Hal yang sama didapatkan pada percobaan yang dilakukan oleh pasien post op. Liang et
al. melaporkan bahwa salin isotonik pada post operasi debridemen sinus menunjukkan perbaikan
gejala pada pasien RSK ringan. Freeman et al. membandingkan 23 pasien menggunakan 2 mL of
normal salin melalui alat atomisasi mukosa selama 6 minggu tanpa IH. Hasil yang didapat
efeknya transien karena perbaikan secara endoskopik dan mucociliary clearance dalam tiga
minggu. Tiga bulan setelah intervensi, hasil yang didapat hanya minimal dan tidak signifikan,
perbaikan pada krusta dan edema tetapi tidak ada perbaikan pada adhesi, sekresi, dan polip. Pinto
et al. melaporkan tidak ada perbedaan antara normal dan hipertonik salin pada pasien yang
mendapatkan IH 30 mL empat kali per hari. Cochrane review menyatakan bahwa penelitian
mengenai RSK terhadap IH tidak terlalu baik dan tidak terdapat kesimpulan yang jelas.
11
yang lebih buruk dan perbaikan gejala yang lebih lama dibandingkan dengan larutan isotonik.
Beberapa penelitian meta analisis menunjukkan kesimpulan yang berbeda-beda. Efektifitas IH
dalam mengurangi tanda dan gejala RA tidak dapat diverifikasi, larutan hipertonik dilaporkan
lebih efektif. De Souza Campos Fernanades et al. membandingkan 40 anak dengan AR
kortikosteroid nasal spray diberikan Ih dengan salin isotonik. Hasil kurva peak nasal inspiratory
flow (PNIF) dan hasil klinis selama delapan minggu terapi dan dua minggu setelah keluar dari
bangsal. Pemberian kortikosteroid efektif dalam meningkatkan persentase PNIF dan perbaikan
gejala klinis. IH menunjukkan efktifitas yang buruk: kurva PNIF tidak mengalami perbaikan dan
gejala klinis hanya turun 18%. Chen et al. menunjukkan hasil yang tidak memuaskan. Penulis
membandingkan pemeberian kortikosteroid nasal, IH, dan kombinasi IH dan kortikosteroid
menggunakan larutan air laut fisiologis. Terapi diberikan 12 minggu dan efikasi diukur melalui
tanda dan gejala serta eosinofil kuantitatif melalui nasal smear. Kombinasi terapi paling efektif ,
tetapi NI saja kurang efektif dibandingkan kortikosteroid saja. Pada anak yang dilakukan NI,
gejala nasal hanya menurun 10% dan hitung eosinofil hanya turun sedikit. Penggunaan larutan
hipertonik signifikan efektif oleh Marchisio et al. yang mengonfirmasi Garavello et al. laporkan.
Marchisio et al. mengevaluasi anak dengan seasonal grass pollen-berhubungan dengan AR dapat
memberikan keuntungan dengan pemberian IH dengan larutan salin normal atau hipertonik
(2.7% NaCl solution) dengan menilai efek tanda dan gejala nasal, efusi telinga tengah dan
hipertrofi adenoid. Terapi berlangsung selama 4 minggu, sebagai control adalah anak-anak tanpa
RA. 220 anak ikut dalam penelitian ini (normal salin: 80; salin hipertonik: 80; tidak ada terapi:
60). Setelah 4 minggu, salin hipertonick (p < 0.0001) menunjukkan hasil yang signifikan, pada
grup yang mendapatkan normal salin, hanya rhinorrhea (p = 0.0002) dan bersin (p = 0.002) yang
mengalami perbaikan. Tidak ada perubahan signifikan pada grup kontrol. Durasi antihistamin
oral yang diberikan lebih rendah pada anak yang mendapatkan salin hipertonik dibandingkan
yang mendapatkan normal salin atau control. Berdasarkan data ini tidak menggambarkan
kesimpulan yang tepat, frekuensi hasil yang positif menunjukkan kegunaan IH pada terapi RA.
7. Kesimpulan
Tabel 2 menyimpulkan larutan, cara dan indikasi irigasi hidung. Hanya satu penelitian adekuat
untuk evaluasi efikasi pada IH pada akut dan kronik sinonasal. Beberapa tahun terakhir
penelitian menunjukkan bukti-bukti yang kurang kuat karena memiliki masalah metodologi.
12
Jumlah subjek yang dievaluasi IH dan dimasukkan dalam Cochrane reviews. Hanya penelitian
multisenter yang memiliki jumlah subjek penelitian yang banyak, termasuk penyakit kronik
seperti cystic fibrosis atau diskinesia siliar primer, dapat mewakili relevansi penelitian. Metode
melaksanakan IH harus distandarisasi utnuk menetukan larutan, alat, dan durasi terapi untuk
mendapatkan hasil yang diharapkan. IH penting untuk anak yang mengalami masalah sinonasal
dan mendapatkan hasil yang menguntungkan secara signifikan karena tidak mahal dan teknik
pencegahan serta pengobatan yang efektif seperti IH.
13
TINJAUAN PUSTAKA
RHINOSINUSITIS KRONIK
1. Definisi
Rhinosinusitis kronik (RSK) adalah kondisi inflamasi pada kavum nasi dan sinus
paranasal yang terjadi lebih dari 12 minggu. Patofisiologi RSK masih belum diketahui
sepenuhnya, tetapi diyakini bahwa multifaktorial, dari genetik, anatomi, dan lingkungan.
3. Epidemiologi
Prevalensi rinosinusitis 2 kali lebih banyak pada wanita (20,9%) dibandingkan dengan
pria (11,6%). Faktor demografis lainnya mungkin memiliki peranan juga. Frekuensi
rinosinusitis lebih rendah di Western United States (12,1%) daripada negara bagian selatan
14
(19,5%). Orang kulit putih non-Hispanics (17,5%) dan orang kulit hitam non-Hispanics
(15,7%) memiliki prevalensi rinosinusitis 2 kali lebih tinggi daripada Hispanics (8,6%).
Data survey tidak menunjang releveansi antara kemiskinan dengan frekuensi rinosinusitis,
namun beberapa faktor yang mungkin berperan adalah kualitas udara termasuk polutan
dan alergen.
4. Patofisiologi
Tidak seperti pada rhinosinusitis akut yang disebabka oleh agen infeksius, tidak ada
faktor penyebab pasti pada RSK. Ada beberapa faktor yang memperngaruhi RSK.
- Biofilm
Biofilm bakteri memegang peranan penting dalam RSK yang tidak berespon terhadap
terapi medikamentosa dan operasi. Biofilm adalah agregasi bakteri yang melekat di
suatu permukaan dan diselimuti oleh ekstraseluler matriks yang protektif. Bakteri
yang umum pada RSK adalah P. aeruginosa. S. aureus, dan H. influenza. Biofilm
bakteri membuat bakteri lebih resisten terhadap sistem imun tubuh seperti fagositosis
dan lebih resisten terhadap antibiotic. Pasien postoperasi RSK memilki efek samping
dengan peningkatan inflamasi mukosa.
- Osteitis
Perubahan tulang secara klinis dan radiologi di RSK. Terdapat inflamasi dan
remodeling tulang pada sinus paranasal. Secara histologi terlihat adanya infiltrate
inflamasi dan sclerosis tulang, karena peningkatan mediator inflamasi. Penelitian
menunjukkan bahwa sel inflamasi menyebar melalui sistem Haversian di tulang yang
15
melibatkan sinus. Pengobatan yang agresif pada mukosa sinus, tetapi inflamasi kronik
tetap terjadi pada tulang dan berhubungan dengan RSK.
- Alergi
Yang paling sering berhubungan adalah rhinitis alergi yaitu inflamasi mukosa nasal
disebabkan oleh faktor allergen yang diperantarai oleh IgE. Orang yang memiliki
alergi meningkatkan prevalensi RSK dan keparahan RSK. Penatalaksanaan alergi
dapat memperbaiki gejala RSK dan mukosa.
- Superantigen Staphylococcus aureus
Eksotoksin yang dikeluarkan oleh S. aureus merupakan patofisologi utama pada
pasien RSK dengan polip nasal. Superantigen memiliki kemampuan untuk aktivasi
30% T sel. Superantigen menyebabkan aktivasi imun, pelepasan sitokin, dan
inflamasi. Sehingga superantigen berhubungan dengan pembentukan polip dan pasien
RSK dengan polip nasal.
- Fungi
Penelitian dari Mayo clinic menunjukkan bahwa 96% pasien dengan RSK ditemukan
hifa fungi. Alternaria dan Candida meregulasi IL-5 dan IL-13 yang memicu respon
eosinofil. Teori ini menunjukkan bahwa pada host, respon imunologi termasuk
proliferasi eosinofil yang menyebabkan manifestasi klinis dari RSK.
- Faktor host
Genetik dan defisiensi imun mempengaruhi kerentanan seseorang menderita RSK
yang memicu inflamasi mukosa sinonasal. Inflamasi menyebabkan obstruksi ostium
sinus yang menyebabkan gangguan pergerakan mukosilier, stasis mucus, dan
overgrowth bakteri. Penyakit sistemik seperti Wagener’s granulomastosis, aspirin
sensitivity triad (Samter’s triad), kistik fibrosis, imunodefisiensi dan diskinesia silia.
- Infeksius
Infeksi bakteri, viral dan jamur dapat menyebabkan inflamasi sinonasal pada RSK.
Bakteri dapat menjadi direk dan indirek seperti pada superantigen dan biofilm teori.
Organisme yang paling umum adalah S. aureus, koagulase negatif Staphylococcus,
anaerob dan P. aeruginosa.
16
5. Diagnosis
Tanda dan gejala RSK bervariasi, yang sering terjadi adalah obstruksi nasal (81-
95%), nyeri kongesti wajah terasa penuh (70-85%), sekret nasal purulent (51-83%), dan
hiposmia (61–69%). Demam tinggi jarang terjadi, hanya lemas dan myalgia yang umum
terjadi.
Selain gejala penyakit yang sedang terjadi, klinisi perlu menanyakan kondisi
komorbid seperti DM, penyakit pulmoner, kelainan kongenital, riwayat atopi atau rinitis
alergi perennial, riwayat medikasi untuk perencanaan terapi. Tanyakan pula riwayat
trauma wajah atau hidung, operasi wajah, operasi sinonasal yang mungkin akan
menyebabkan perbedaan pengalaman nyeri pada pasien. Tanyakan pula riwayat sosial
pasien seperti kebiasaan merokok, kondisi rumah, kondisi lingkungan kerja untuk
kepentingan konseling pasien, karena faktor tersebut dapat menjadi predisposisi
terjadinya RSK.
5.2.Pemeriksaan fisik
17
Tanda-tanda vital
Pemeriksaan kepala dan leher
Edem, eritem, atau edema terlokalisasi di area pipi atau edema periorbital mungkin
menandakan komplikasi rinosinusitis bakterial akut ke jaringan lunak
Palpasi dan perkusi di area wajah dan maksilaris untuk menilai nyeri lokal
Pemeriksaan mata: konjungtiva, tes penglihatan, fungsi otot ekstraokuler, proptosis,
atau funduskopi jika perlu
Pemeriksaan telinga: otitis media serosa atau otitis media akut
Rinoskopi anterior: untuk mendeteksi keadaan patologis di pasase sinonasal.
Pemeriksaan hidung dilakukan sebelum dan setelah pemberian dekongestan topikal.
Pemeriksa melakukan penilaian pasase nasal dan meatus inferior sebelum diberikan
dekongestan (seperti oxymetazoline atau neosynephrine). Kemudian setelah diberikan
dekongestan, meatus media biasanya dapat terlihat kemudian lakukan inspeksi pus,
keadaan hiperemis, edem, atau krusta pada regio meatus media. Penyulit
pemeriksaan antara lain meatus yang melebar, polip nasal, tumor nasal, atau deviasi
septum.
Pemeriksaan auskultasi perlu menjadi perhatian pada pasien dengan riwayat penyakit
pulmoner, karena inflamasi saluran napas bawah dapat terjadi bertepatan dengan
infeksi saluran napas atas.
Lakukan pemeriksaan neurologis jika terdapat kecurigaan komplikasi RSK ke
intrakranial
18
purulen di kavum nasi atau sinus untuk dievaluasi kultur aerob, anaerob, fungal, dan
bakteri tahan asam untuk menentukan terapi yang tepat.
5.4. X-Ray
Radiologi foto polos terdiri dari 3 proyeksi, yaitu posisi lateral, Caldwell atau
posterior-anterior (central ray angle 15°), dan Waters atau proyeksi oksipitomental (garis
orbitomeatal bersudut 37° terhadap bidang horizontal). Gambaran radiologi diambil
ketika pasien dalam posisi upright. Fitur primer diagnosis rinosinusitis akut dengan foto
polos adalah adanya air-fluid levels. Gambaran lain yang mungkin ditemukan: sinus opak
dan penebalan mukosa. Kelebihan: harga murah dan dosis radiasi rendah (1,4 cGy per
film). Gambaran sinus oprak, air-fluid levels pada antral puncture atau foto polos sinus
maksilaris memiliki sensitivitas 73% dan spesifisitas 80%. Gambaran normal pada
radiologi foto polos tidak menyingkirkan kemungkinan sinusitis. : Caldwell (untuk
visualisasi sinus frontal dan ethmoid), Waters (untuk sinus maxilla), lateral (untuk
dinding anterior dan superior sinus frontal, maxilla, dan sphenoid), dan submental vertex
(untuk sinus ethmoid dan sphenoid).
5.5. CT Scan
Gold standard untuk evaluasi radiografi sinus paranasal. CT tanpa kontras dengan
potongan 3-mm koronal memberikan informasi mengenai anatomi tulang dan struktur
kompleks sinus paranasal, ditemukan opasifikasi cavum sinus, air-fluid levels, dan
penebalan mukosa sedang hingga berat. Potongan koronal memberikan visualisasi
optimal kompleks osteomeatal untuk membantu dokter menentukan rencana operasi.
Potongan sagittal memmbantu menjelaskan anatomi sinus dan gambaran Onodi
cells.Kekurangan: harga mahal dan dosis radiologi lebih tinggi (5-6 cGy). Walaupun
gambaran CT-scan dapat menunjang diagnosis rinosinusitis akut, namun ia tidak dapat
membedakan penyebabnya, antara virus atau bakteri. Indikasi CT-scan: kemungkinan
terjadinya komplikasi RSK (orbital, intrakranial, atau keterlibatan jaringan lunak) dan
adanya kecurigaan terhadap diagnosis lain (misalnya neoplasma). Penggunaan kontras
iodine dapat dipertimbangkan untuk identifikasi penyebaran penyakit ke ekstrasinus.
19
5.6. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Tampilan anatomi tulang dengan MRI tidak sebaik CT-scan, namun MRI
memperlihatkan diferensiasi jaringan lunak lebih baik. Dengan MRI, klinisi dapat
membedakan penyebab fungal dengan neoplasma. MRI merupakan modalitas terbaik
dalam menemukan penyebaran penyakit ke luar sinus paranasal, seperti ke area orbita
atau intrakranial. CT-scan tetap menjadi modalitas pilihan dalam mendiagnosis sinusitis
dengan kemungkinan komplikasi, namun MRI adalah gold standard untuk diagnosis
komplikasi intrakranial.
20
6. Terapi
6.1. Antibiotik
Pemberian antibiotik terbaik diberikan setelah kultur melalui oral, intravena, atau
topikal. Antibiotik oral adalah pilihan utama untuk RSK. Pada rhinosinusitis akut
antibiotik diberikan 3-4 minggu dan baru dilakukan kultur setelah tidak berhasi dengan
pengobatan. Antibiotik topikal memiliki keuntungan level lokal yang tinggi dengan
penyerapan sistemik minimal, harga lebih murah dan menurunkan angka kematian
dibanding IV antibiotik. Antifungal untuk RSK masih kontroversial karena ada penelitian
yang menunjukkan bahwa tidak ada perbaikan.
21
Irigasi hidung adalah pembilasan hidung dengan larutan salin dengan cara
memasukkan larutan salin ke dalam satu lubang hidung dan membiarkan larutan
tersebut keluar melewati lubang hidung lainnya
22
6.4. Dekongestan, dan antagonis leukotriene, dan Terapi Lain
Sistemik dekongestan dan agen mukolitik seperti guaifenesin memberikan
perbaikan gejala. Antagonis leukotrien reseptor (montelukast, zafirlukast) dan antibiotik
makrolid, yang memiliki efek anti-inflammasi, juga merupakan terapi yang berguna.
Budesonide digunakan untuk terapi maintenance pada asma dan terapi profilaksis untuk
anak usia 12 bulan-8 tahun. FDA tidak memperbolehkan terapi RSK menggunakan
budesonide respul (Pulmicort Respules; AstraZeneca LP, Wilmington, Delaware) untuk
pasien nasal pilip dan edema mukosa. Penelitian terbaru pasien dengan sinusitis kronik
yang menggunakan budesonide 0.25 mg satu kali per hari selama 30 hari terdapat
perbaikan skor SNOT-20 tanpa supresi hypothalamic–pituitary–adrenal axis. Budesonide
dapat digunakan sebagai capuran irigasi hidung. Oxymetazoline hydrochloride dan
dekongestan nasal spray menyebabkan vasokonstriksi mukosa nasal. Oxymetazoline
23
spray dapat digunakan dalam waktu singkat (kurang dari 3 hari) untuk perbaikan gejala
eksasebasi akut pada RSK.
24
External frontoethmoidectomy
Pendekatan eksternal ke sinus etmoidalis pada rinosinusitis akut terbatas pada
kasus komplikasi etmoidoitis akut seperti selulitis orbital atau abses orbital. Prosedur
dilakukan dengan cara dekompresi dan drainase sinus, termasuk abses subperiosteal dan
retro-orbital. Akhir-akhir ini, prosedur dapat dilakukan secara endoskopik pada sebagian
besar pasien.
25
- FESS (Functional Endoscopic Sinus Surgery)
Pengenalan endoskopi dalam operasi sinus membawa revolusi dalam pendekatan
operasi sinus melalui cavum nasi. Prosedur ini dilakukan dengan ventilasi dan drainase
sinus yang terinfeksi/terinflamasi dan restorasi pembersihan mukosilier. Namun prosedur
ini bukan menjadi pilihan untuk mengatasi komplikasi akut karena kecenderungan
perdarahan tinggi. FESS terbukti sangat efektif untuk mengatasi sinusitis rekuren dan
kronis.
7. Komplikasi
26
7.1. Komplikasi ekstrakranial
Sequela yang relatif tidak berbahaya dari rinosinusitis akut adalah anosmia.
Rinosinusitis akut berperan dalam 18-36% kejadian anosmia. Pott puffy tumor (PPT)
adalah abses subperiosteal tulang frontalis yang berkaitan dengan osteomyelitis frontalis.
Etiologi paling sering adalah: S. aureus, Streptococcus non-enterococcal, dan bakteri
anaerob oral, seringkali polimikroba, menyebar dari sinus frontalis ke tulang frontalis dan
menyebabkan inflamasi dan supurasi vena diploik tanpa katup, kemudian merambat ke
sistem Haverian, menghasilkan demineralisasi lokal dan nekrosis. Kejadian ini dapat
menyebabkan perforasi sinus frontalis, berkumpulnya pus subperiosteal, dan
pembentukan jaringan granulasi sebagai karakteristik PPT.
Ekstensi ke area orbita merupakan komplikasi paling sering rinosinusitis akut
pada anak-anak maupun orang dewasa. Menurut klasifikasi Chandler, komplikasi orbital
akibat rinosinusitis dibagi menjadi: selulitis preseptal (I), selulitis postseptal (II), abses
subperiosteal (III), dan abses orbital (IV). Selulitis preseptal atau periorbital paling sering
terjadi pada semua kelompok usia. Terapi selulitis preseptal antara lain antibiotik oral
spektrum luas, elevasi kepala, kompres hangat, dekongestan topikal, dan irigasi salin.
Untuk penyakit yang lebih berat, dapat diberikan antibiotik beta-laktamase dosis tinggi
atau sefalosporin generasi 3. Indikasi intervensi operasi adalah:
Pada stage I atau II, pasien gagal mengalami perbaikan secara signifikan dalam 24-
48 jam walaupun sudah diberikan antibiotik
Ketajaman penglihatan menurun
Pasien mengalami perburukan proptosis dan/atau oftalmoplegia
Tampak abses pada CT-scan
Selain itu, pasien dengan abses subperiosteal butuh pemantauan ketat. Kriteria
manajemen abses subperiosteal adalah: visus normal, pupil normal, retina normal, tidak
ada oftalmoplegia, tekanan intraokuler < 20 mmHg, proptosis 5 mm atau kurang, dan
lebar abses 4 mm atau kurang. Jika mereka mengalami perburukan atau gagal perbaikan
secara klinis dalam 48-72 jam, sebaiknya dilakukan imaging ulang dan intervensi operasi
(FESS) untuk drainase sinus dan memperoleh kultur.
27
7.2. Komplikasi intrakranial
Komplikasi intrakranial terjadi pada 0,5-24% pasien yang dibawa ke rumah sakit
dengan rinosinusitis. Komplikasi tersebut antara lain meningitis, abses ekstradural,
empyema subdural, abses intraserebral, dan trombosis sinus sagitalis superior dan
kavernosa. Infeksi sinus paranasal dapat menyebar ke kompartemen intrakranial secara
langsung melalui osteomyelitis tengkorak, tromboflebitis retrograd, dan emboli septik,
atau melalui defek post-trauma, kongenital, atau post-surgikal yang menghubungkan
sinus dengan konten intrakranial. Morbiditas komplikasi intrakranial adalah defisit
neurologis jangka panjang, gangguan kognitif, lumpuh nervus kranial, afasia, epilepsi,
hidrosefalus, kebutaan, dan ketulian. Sedangkan mortalitas berkisar antara 5-40%.
28
DAFTAR PUSTAKA
29