Anda di halaman 1dari 5

2.

6 Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional
(B2P2TOOT)

2.6.1 Sejarah B2P2TOOT

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional
(B2P2TOOT), Badan Litbang Kementerian Kesehatan RI pada awalnya tahun 1948 berupa
rintisan koleksi tanaman obat Hortus Medicus Tawangmangu. Pada tahun 1963-1968 berada
dibawah koordinasi Badan Pelayanan Umum Farmasi dan kemudian pada tahun 1968-1975
dibawah Direktorat Jenderal Farmasi (Lembaga Farmasi Nasional). Pada tahun 1975-1979
kebijakan Pemerintah menetapkan Hortus Medicus dibawah pengawasan Direktorat
Pengawasan Obat Tradisionil, Ditjen POM, Depkes RI. Berdasarkan SK Menteri Kesehatan
No. 149/Menkes/SK/IV/78 pada tanggal 28 April 1978 status kelembagaan berubah menjadi
Balai Penelitian Tanaman Obat (BPTO) yang merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT)
Badan Litbang Kesehatan. Selanjutnya berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI. No.
491/Per/Menkes/VII/2006 tertanggal 17 Juli 2006, BPTO meningkat status kelembagaanya 5
menjadi Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional
(B2P2TOOT). Era persaingan, globalisasi dan keterbukaan mendorong manusia dan negara,
menggali, memanfaatkan, mengembangkan budaya kesehatan dan sumber daya lokal untuk
membangun kesehatan. Ini berdampak pada transformasi B2P2TOOT, dengan permenkes no.
003 tahun 2010 pada tanggal 4 Januari 2010 Tentang Saintifikasi jamu Penelitian Berbasis
Pelayanan. Sejak tahun 2010 B2P2TOOT memprioritaskan pada Saintifikasi Jamu dalam
Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan untuk menjamin jamu aman, bermutu dan
berkhasiat. Bahan yang digunakan berupa simplisia yang telah terbukti khasiat dan
keamanannya melalui uji praklinik. Sejak tanggal 30 April 2012 klinik saintifaksi jamu “
Hortus medicus” menempati gedung baru sebagai rintisan rumah riset jamu sebagai tempat
uji klinik dilengkapi dengan rawat inap. (Anonim, 2012)

2.6.2 Profil B2P2TOOT

B2P2TOOT merupakan pusat penelitian obat tradisional dibawah naungan Badan


Litbang Kementrian Kesehatan RI yang resmi menjadi Unit Pelaksana Teknis (UPT) Depkes
RI sejak tahun 1978 dengan tugas pokok melaksanakan penelitian dan pengembangan
tanaman obat dan obat tradisional. B2P2TOOT bermula dari kebun koleksi Tanaman Obat
(TO), dirintis oleh Romo Santoso sejak awal tahun kemerdekaan, 6 menggambarkan
semangat dari seorang anak bangsa Nusantara yang tekun dan sangat mencintai budaya
pengobatan nenek moyang. Beliau mewariskan semangat dan kebun tersebut pada negara.
Mulai April 1948, secara resmi Kebun Koleksi TO tersebut dikelola oleh pemerintah di
bawah lembaga Eijkman dan diberi nama “Hortus Medicus Tawangmangu”.B2P2TOOT
berlokasi di Jl. Raya Lawu No. 11 Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah. (Anonim,
2014).

2.6.3 Struktur Organisasi

SDM di B2P2TOOT Tawangmangu berjumlah 88 orang, meliputi 77 PNS dan 11


CPNS. Bidang ilmu antara lain biologi, agronomi, agribisnis, teknologi pertanian, biokimia,
farmakologi, kedokteran, kefarmasian, analis kesehatan, kesehatan masyarakat dan
komunikasi. Sesuai dengan Panduan CPOTB yang dikeluarkan oleh BPOM personalia
hendaklah mempunyai pengetahuan, pengalaman, ketrampilan dan kemampuan yang sesuai
dengan tugas dan fungsinya, dan tersedia dalam jumlah yang cukup. (BPOM, 2012)

2.6.4 Produk B2P2TOOT

a. CPOB dan CPOTB

Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) bertujuan untuk menjamin obat dibuat
secara konsisten, memenuhi persyaratan yang ditetapkan dan sesuai dengan tujuan
penggunaannya. CPOB mencakup seluruh aspek produksi dan pengendalian mutu.(BPOM,
2012)

Sedangkan Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) meliputi seluruh
aspek yang menyangkut pembuatan obat tradisional, yang bertujuan untuk menjamin agar
produk yang dihasilkan senantiasa memenuhi persyaratan mutu yang telah ditentukan sesuai
dengan tujuan penggunaannya. Mutu produk 11 tergantung dari bahan awal, proses produksi
dan pengawasan mutu, bangunan, peralatan dan personalia yang menangani. Penerapan
CPOTB merupakan persyaratan kelayakan dasar untuk menerapkan sistem jaminan mutu
yang diakui dunia internasional. Untuk itu sistem mutu hendaklahdibangun, dimantapkan dan
diterapkan sehingga kebijakan yang ditetapkan dan tujuan yang diinginkan dapat dicapai.
Dengan demikian penerapan CPOTB merupakan nilai tambah bagi produk obat tradisional
Indonesia agar dapat bersaing dengan produk sejenis dari negara lain baik di pasar dalam
negeri maupun internasional. Mengingat pentingnya penerapan CPOTB maka pemerintah
secara terus menerus memfasilitasi industri obat tradisional baik skala besar maupun kecil
untuk dapat menerapkan CPOTB melalui langkahlangkah dan pentahapan yang terprogram.
Dengan adanya perkembangan jenis produk obat bahan alam tidak hanya dalam bentuk obat
tradisional (jamu), tetapi juga dalam bentuk Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka, maka
pedoman CPOTB ini dapat pula diberlakukan bagi industri yang memproduksi Obat Herbal
Terstandar dan Fitofarmaka.

b. Proses Produksi

Pembuatan produk di B2P2TOOT membutuhkan bahan baku yang berupa simplisia.


Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat tradisional yang belum
mengalami 12 pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain merupakan bahan yang
dikeringkan. ( BPOM, 2012 )

Adapun tahap – tahap proses produksi simplisia :

1. Pengumpulan bahan baku


Pengadaan bahan baku diperoleh melalui proses penanaman di B2P2TOOT
dilakukan pada lahan seluas 19 hektar yang terdiri dari 950 spesies tanaman obat.
Berbagai jenis spesies tanaman obat ini berasal dari Indonesia dan juga luar
negeri. Lahan tersebut tersebar di beberapa daerah tergantung dari kebutuhan tiap
tanaman akan suhu yang optimum dan kondisi tanah yang sesuai. Hal ini
mempengaruhi kandungan zat aktif yang terdapat di dalam tanaman obat tersebut.
Penanaman yang dilakukan oleh B2P2TOOT bekerjasama dengan para petani
binaan di daerah sekitar sehingga dapat memberikan lapangan pekerjaan untuk
penduduk sekitar dan meningkatkan taraf hidupnya. Penanaman yang dilakukan di
B2P2TOOT dilakukan pada du 13 di lahan terbuka. Penanaman yang dilakukan di
rumah kaca berujuan untuk adaptasi dan pelestarian tanaman.
2. Sortasi basah
Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan
asing lainnya dari bahan simplisia. Misalnya pada simplisia yang dibuat dari akar
suatu tanaman obat, bahanbahan asing seperti tanah, kerikil, rumput, batang, daun,
akar yang telah rusak, serta pengotoran lainnya harus dibuang. Sortasi basah
dilakukan langsung setelah bahan baku datang dari petani tanaman obat dilakukan
dilaboratorium pasca panen.
3. Pencucian
Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotoran lainnya yang
melekat pada bahan simplisia. Pencucian dilakukan dengan air bersih, misalnya
air dari mata air, air sumur atau air PAM. Bahan simplisia yang mengandung zat
yang mudah larut didalam air yang mengalir, pencucian agar dilakukan dalam
waktu yang sesingkat mungkin. Proses pencucian di B2P2TOOT dilakukan
dengan sumber air mengalir. Kemudian setelah dicuci simplisia ditiriskan lebih
dahulu sebelum dilakukan perajangan.
4. Perajangan
Beberapa jenis bahan simplisia perlu mengalami proses perajangan.Perajangan
bahan simplisia dilakukan untuk mempermudah proses pengeringan, pengepakan
dan penggilingan. Di B2P2TOOTsendiri perajangan dilakukan dengan mesin
perajang khusus. Proses perajangan ini mempengaruhi proses pengeringan.
Semakin tipis bahan yang akan dikeringkan, semakin cepat penguapan air,
sehingga mempercepat waktu pengeringan. Akan tetapi irisan yang terlalu tipis
juga dapat menyebabkan berkurangnya atau hilangnya zat berkhasiat yang mudah
menguap.
5. Pengeringan
Tujuan pengeringan ialah untuk mendapatkan simplisia yang tidak mudah
rusak,sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama. Dengan mengurangi
kadar air dan menghentikan reaksi enzimatik akan dicegah penurunan mutu atau
perusakan simplisia. Di B2P2TOOT pengeringan dilakukan dengan matahari
tetapi tidak secara langsung yaitu dibagian atapnya ada lapisan kaca bening, hal
ini dilakukan untuk mencegah terjadinya face hardening yaitu simplisia hanya
kering sebagian. Pengeringan dilakukan di dalam oven dengan suhu 300 – 450 C.
6. Sortasi kering
Sortasi setelah pengeringan sebenarnya merupakan tahapan akhir dari pembutan
simplisia. Tujuan sortasi adalah untuk memisahkan benda-benda asing seperti
bagian tanaman yang tidak diinginkan dan pengotoran-pengotoran lain yang yang
masih ada dan tertinggal pada simplisia kering. Proses ini dilakukan sebelum
simplisia dibungkus untuk kemudian disimpan.
7. Pengepakan dan penyimpan
Setelah dilakukan sortasi kering simplisia di bungkus dan disimpan. Cara
menyimpan simplisia dalam wadah yang kurang sesuai memungkinkan terjadinya
kerusakan pada simplisia karena dimakan kutu atau ngengat yang temasuk
golongan hewan serangga atau insekta. Di B2P2TOOT sendiri simpisia disimpsn
dalam wadah plastik tertutup rapat dan diletakan di gudang penyimpanan.
Penyebab utama pada kerusakan simplisia yang utama adalah air dan kelembaban.
Kelemaban udara di ruang penyimpanan simplisia kering, sebaiknya diusahakan
serendah mungkin untuk mencegah terjadinya penyerapan uap air. (Bambang,
1997)
c. Hasil Produksi B2T2OOT
Tanaman obat hasil panen yang telah diolah sesuai dengan cara pembuatan obat
tradisional yang baik (CPOTB) akan menghasilkan simplisia yang berkualitas dan terstandar.
B2P2TOOT hanya menerima tanaman obat sebagai bahan baku yang ditanam oleh para
petani binaan dengan lokasi penaman di sekitar wilayah B2P2TOOT. Tanaman obat tersebut
akan di olah segera setelah bahan baku ini datang. Setelah bahan baku mengalami
serangkaian proses produksi akan menghasilkan simplisia yang sudah kering. Simplisia –
simplisia tersebut akan di simpan dan di distribusikan ke klinik Hortus Medicus. Diklinik
tersebut simplisia akan racik dan diserahkan pada pasien. Beberapa contoh jamu diklinik
hortus medicus antara lain :
a. Jamu Hipertensi
b. Jamu Hiperglikemi
c. Jamu Hiperkolesterolemi
d. Jamu Hiperurisemi

1. Anonim. 2012. B2P2TOOT. http://www.b2p2toot.litbang.depkes.go.id/. Diakses pada


tanggal 11 Maret 2018.
2. Anonim. 2014. Javapalant gebrakan diindustri ekstrak herbal.
http://www.javaplant.co.id/. Diakses pada tanggal 11 Maret 2018.
3. Badan Pengawasan Obat dan Makanan [BPOM]. 2012. Cara pembuatan obat yang
baik.Indonesia. BPPOM RI
4. Badan Pengawasan Obat dan Makanan [BPOM]. 2012. Cara pembuatan obat tradisional
yang baik. Indonesia, BPPOM RI
5. Sutrisno, Bambang. 1997. Ikhtisar Farmakognosi Edisi IV. Jakarta. Pharmascience pasific.

Anda mungkin juga menyukai