Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH AL-ISLAM KEMUHAMMADIYAHAN IV

AKHLAK DALAM KELUARGA

Disusun Oleh :
Firly Dinda Cahyani : 201510200311047
Feby Wirasdenty A. : 201510200311061
Umi Sulaima : 201510200311122

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG


MALANG
2017
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kami kemudahan sehingga
dapat menyelesaikan makalah ini. Tanpa pertolongan-Nya mungkin kami tidak akan
sanggup menyelesaikannya dengan baik. Shalawat dan salam semoga terlimpah
curahkan kepada baginda tercinta kita yakni Nabi Muhammad SAW, yang telah
membawa kita dari alam jahiliyah menuju alam yang berilmu seperti sekarang.

Makalah yang telah kami buat berjudul “Akhlak Dalam Keluarga”. Penulis
menyusun tugas ini dalam bentuk makalah hanya bertujuan untuk memenuhi tugas
yang di berikan oleh Dosen pengampu mata kuliah Al-Islam Kemuhammadiyahan IV
dan untuk dapat dimanfaatkan kearah yang lebih baik oleh pembacanya.

Kami berharap makalah ini dapat memberikan informasi, menambah


pengetahuan dan bermanfaat bagi para pembaca. Kami menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami meminta maaf bila ada
kesalahan dalam kata-kata maupun penulisan.
Wassalamualaikum Wr. Wb.

Kelompok 2

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................... ... i

DAFTAR ISI .......................................................... Error! Bookmark not defined.

I. PENDAHULUAN .............................................. Error! Bookmark not defined.

1.1 Latar Belakang .........................................................Error! Bookmark not defined.

1.2 Rumusan Masalah ....................................................Error! Bookmark not defined.

1.3 Tujuan ......................................................................Error! Bookmark not defined.

II. PEMBAHASAN ............................................... Error! Bookmark not defined.

2.1 Urgensi Keluarga Dalam Membangun Masyarakat .Error! Bookmark not defined.

2.2 Pernikahan Sebagai Sarana Membangun Keluarga.......................................8

2.3 Syarat Sah Pernikahan.............................................................................................12

2.4 Beberapa Persoalan Seputar Pernikahan......................................................13


2.5 Pernikahan Terlarang...................................................................................15
2.6 Pacaran, Tunangan dan Nikah Siri.............................................................. 17
III. KESIMPULAN...............................................................................................18

ii
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Akhlak merupakan sesuatu yang penting dalam kehidupan manusia. Akhlak
yang dibangun baik sejak dini akan membangun kepribadian yang luhur sebagai
seorang muslim sehingga mampu melaksanakan ajaran-ajaran Islam sebagaimana
yang telah tertulis dalam Al- Quran dan Hadits serta yang dicontohkan oleh Nabi
Muhammad SAW. Di dalam Islam ada tiga aspek yang menjadi dasar ajaran agama
Islam yaitu aqidah, ibadah, dan akhlak. Akhlak sendiri dibagi menjadi beberapa
bagian, ada akhlak pribadi, akhlak dalam berkeluarga, akhlak dalam bermasyarakat,
dan akhlak dalam bernegara. Pernikahan merupakan fitrah manusia sehingga Islam
sangat menganjurkannya karena menikah merupakan gharizah insaniyah1.
Pernikahan merupakan sarana untuk menegakkan rumah tangga yang Islami,
mencari keturunan yang shalih serta untuk meningkatkan ibadah kepada Allah.
Pernikahan sebagai sarana untuk membangun keluarga yang nantinya hidup dalam
masyarakat juga dapat meningkatkan jalinan tali silaturahmi antar sesama muslim.
Membangun keluarga yang damai dan sejahtera bukanlah hal mudah. Hubungan
komunikasi yang baik antara suami dan istri dan bersikap dewasa dapat membantu
ketika terjadi masalah. Salah satu hal yang paling penting adalah bahwa ketika
berumah tangga harus menyadari apa yang menjadi hak dan kewajiban suami serta
apa yang menjadi hak dan kewaiban istri. Sehingga apabila hal tersebut dijalankan
secara seimbang maka kerukunan dalam rumah tangga insyaallah akan selalu terjaga.

1
Naluri alamiah dari manusia untuk melangsungkan pernikahan

1
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana urgensi keluarga dalam membangun masyarakat?
1.2.2 Mengapa pernikahan dijadikan sebagai sarana dalam membangun keluarga?
1.2.3 Apa saja persoalan seputar pernikahan, pacaran, nikah siri, kawin kontrak,
kawin antar agama?

1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui urgensi keluarga dalam membangun masyarakat?
1.3.2 Mengetahui pernikahan sebagai sarana dalam membangun keluarga?
1.3.3 Mengetahui persoalan seputar pernikahan, pacaran, nikah siri, kawin kontrak,
kawin antar agama.

2
II. PEMBAHASAN
2.1 Urgensi keluarga dalam Membangun Masyarakat
Dalam kehidupan modern sekarang ini, terdapat suatu kecenderungan kuat di
kalangan masyarakat khususnya generasi muda mengikuti gaya hidup sekuler dan
“ke-Barat-barat-an”, baik dalam kehidupan individu maupun sosial. Hal itu dapat
diamati maupun dirasakan dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan
berbangsa. Dalam konteks ini, seringkali terdengar orang mempertanyakan tentang
relevansi kehidupan berkeluarga harus dengan pernikahan. Mengapa harus menikah?
Elaborasi pertanyaan seperti ini biasanya lalu menghasilkan teori-teori transformatif
yang berfungsi untuk menjelaskan dinamika yang sedang terjadi dan memberikan
“insight” mengenai perubahan dan transformasinya.
Kehadiran Modernisasi2 yang bernuansa Westernisasi3 dan Sekularisasi4 di
samping berdampak pada tergencetnya agama secara institusional maupun intuitif,
juga menawarkan nilai-nilai baru yang lebih rasional dan pragmatis5 dari pada nilai-
nilai tradisional sebelumnya. Dalam kehidupan yang serba relatif atau didasarkan
pada nilai-nilai kenisbian, orang semakin bingung oleh cerita Romeo dan Juliet,
seraya bertanya-tanya, “ Mengapa mereka berdua tidak pergi saja dan hidup bersama
tanpa nikah (kumpul kebo), tapi yang dilakukan justru mengakhiri hidup dalam
tragedi, penuh putus asa?” Dalam apresiasi kasus ini memberikan kesan bahwa ada
realitas paradoks yang diwarnai oleh nilai-nilai tradisional dan nilai-nilai modern.

2
Suatu proses transformasi dari suatu perubahan ke arah yang lebih maju atau
meningkat di berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat
3
Suatu perbuatan seseorang yang mulai kehilangan jiwa nasionalismenya, yang
meniru atau melakukan aktivitas bersifat kebarat-baratan (budaya bangsa lain).
4
Perubahan masyarakat dari identifikasi dekat dengan nilai-nilai dan institusi agama
menjadi nilai-nilai dan institusi non-agama dan sekuler.
5
Sebuah konsep yang lebih mementingkan sisi kepraktisan dibandingkan sisi
manfaat.

3
Bagaimana Islam memberikan konsep mengenai kehidupan keluarga yang
didambakan oleh semua orang ?
2.1.1 Pengertian dan Fungsi Keluarga
Keluarga adalah ikatan laki-laki dan wanita berdasarkan hukum atau undang-
undang perkawinan yang sah. Di dalam keluarga ini lahirlah anak-anak. Dalam
keluarga pula terjadi interaksi pendidikan. Para ahli pendidikan umumnya
menyatakan pendidikan di lembaga ini merupakan pendidikan pertama dan utama.
Dikatakan demikian karena di lembaga ini anak mendapatkan pendidikan untuk
pertama kalinya. Di samping itu, pendidikan di sini (keluarga) mempunyai pengaruh
yang dalam terhadap kehidupan peserta didik dikemudian hari, karena keluarga
secara umum merupakan tempat, di mana anak didik menghabiskan sebagian besar
waktunya sehari-hari. (Zakaria, 2000).
Keluarga menurut Depkes (1988) dalam Setiawati (2008) adalah unit terkecil
dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul
dan tinggal di suatu tempat dibawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan.
Keluarga yang harmonis selalu berupaya untuk menjalankan fungsinya dengan
semestinya. Fungsi ini mengacu pada interaksi anggota keluarga terutama pada
kualitas hubungan dan interaksi mereka (Wong, 2009). Menurut Friedman (1998) ada
5 fungsi keluarga, yaitu fungsi afektif (affective function), fungsi sosialisasi dan
penempatan sosial (socialization and social placement function), fungsi reproduksi
(reproductive function), fungsi ekonomi (economic function), fungsi perawatan dan
pemeliharaan kesehatan (health care function). Keluarga merupakan fokus umum dari
pola lembaga sosial. Hampir dalam setiap masyarakat keluarga merupakan pusat
kehidupan secara individual, dimana di dalamnya terdapat hubungan yang intim
dalam derajat yang tinggi. Terlepas dari persoalan hubungan yang inti ini, keluarga
mempunyai sejumlah fungsi yang sesuai dengan harapan-harapan masyarakat.
Adapun yang menjadi fungsi keluarga, menurut Rahmat (1991) antara lain,
disebutkan paling sedikit:

4
1. Fungsi ekonomis, yakni keluarga merupakan satuan sosial yang mandiri, di mana
semua anggota keluarga tersebut mengkonsumsi barang-barang yang
diproduksinya.
2. Fungsi sosial, yakni keluarga memberikan prestise6 dan status kepada anggota-
anggotanya.
3. Fungsi edukatif, yakni keluarga memberikan pendidikan kepada anak-anak dan
remaja.
4. Fungsi protektif, yakni keluarga melindungi anggota-anggotanya dari ancaman
fisik, ekonomis, dan psiko-sosial7.
5. Fungsi religius, yakni keluarga memberikan pengalaman keagamaan kepada
anggota-anggotanya.
6. Fungsi rekreatif, yakni keluarga merupakan pusat rekreasi bagi anggota-
anggotanya.
7. Fungsi afektif, yakni keluarga memberikan kasih sayang dan melahirkan
keturunan
Menurut Muhammadiyah, keluarga merupakan tiang utama kehidupan umat
dan bangsa sebagai tempat sosialisasi nilai-nilai ajaran Islam yang paling intensif dan
menentukan. Oleh karena itu menjadi kewajiban setiap anggota keluarga untuk
mewujudkan kehidupan keluarga yang sakinah,mawaddah warahmah (Q. S. Ar-Rum
[30]: 21), atau yang dikenal dengan Keluarga Sakinah. Keluarga selain berfungsi

6
Sebuah kehormatan, wibawa dan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang yang
akhirnya membuat dirinya menjadi “berbeda” atau istimewa jika dibandingkan
dengan oranglain yang ada disekitarnya.

7
Cabang ilmu psikologi yang meneliti dampak atau pengaruh sosial terhadap perilaku
manusia.

5
sebagai tempat sosialisasi nilai-nilai ajaran Islam juga sebagai tempat kaderisasi8,
sehingga anak-anak tumbuh menjadi generasi Muslim yang dapat menjadi
pelangsung dan penyempurna gerakan dakwah Islam di kemudian hari.
2.1.2 Keluarga Sebagai Pilar Utama Masyarakat
Maju mundurnya suatu bangsa seringkali ditentukan oleh kualitas
masyarakatnya, dan hal itu tidak dapat dilepaskan dari peranan yang dimainkan oleh
keluarga-keluarga. Dengan demikian kesejahteraan dan kemakmuran maupun
kebodohan dan keterbelakangan suatu bangsa sesungguhnya merupakan cerminan
keadaan yang sebenarnya dari keluarga-keluarga yang hidup pada masyarakat bangsa
tersebut. Hakikat tersebut adalah kesimpulan pandangan seluruh pakar dari berbagai
disiplin ilmu, termasuk pakar-pakar agama Islam (Shihab, 1992).
Begitu pentingnya kedudukan keluarga dalam menentukan masa depan suatu
masyarakat dan bangsa, maka Islam memberikan perhatian yang sangat besar tentang
masalah keluarga. Hal itu dapat dilihat bagaimana Allah Swt. telah menjadikan
kehidupan berkeluarga sebagai peristiwa yang mengundang manusia untuk berfikir
tentang tanda-tanda kebesaran Allah, mensyukuri nikmat-Nya, dan menghindari dari
beriman kepada yang batil9, serta memelihara diri dan kelurganya dari api neraka.
Dalam al-Qur‟an disebutkan:
“Di antara tanda-tanda kebesaran-Nya adalah menjadikan untukmu pasangan-
pasangan dari jenismu sendiri ( manusia ) supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram terhadapnya dan dijalinnya rasa kasih dan sayang (antara kamu sepasang).

8
Merupakan usaha pembentukan seorang kader secara terstruktur dalam organisasi
yang biasanya mengikuti suatu silabus tertentu.

9
Sesuatu pekerjaan yang tidak benar atau palsu, lawannya hak (yang sebenar).

6
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir”. ( Al-Rūm [30]: 21 )
“Allah menjadikan bagi kamu pasangan-pasangan dari jenis kamu sendiri dan
menjadikan bagimu dari pasangan-pasangan itu anak-anak dan cucu-cucu dan
memberikan rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada
yang batil dan mengingkari nikmat Allah?”. ( Al-Nahl [16]: 72)
Ditengah arus media elektronik dan media cetak yang makin terbuka, aktifitas
keluarga-keluarga di lingkungan muhammadiyah (1) dituntut perhatian dan
kesungguhan dalam mendidik anak-anak serta menciptakan suasana yang harmonis
agar terhindar dari pengaruh negative dan tercipta suasana pendidikan positif sesuai
dengan nilai-nilai Islam; (2) dituntut keteladanannya untuk menunjukkan
penghormatan dan perlakuan yang ihsan terhadap anak-anak dan perempuan serta
menjauhkan diri dari praktik-praktik kekerasan terhadap anggota keluarga dan
penelantaran kehidupan mereka; (3) perlu memiliki kepedulian social dan
membangun hubungan social yang ihsan10, islah11 dan ma‟ruf12 dengan tetangga-
tetangga sekitar maupun hubungan social yang lebih luas di masyarakat sehingga

10
Seseorang yang menyembah Allah seolah-olah ia melihat-Nya, dan jika ia tidak
mampu membayangkan melihat-Nya, maka orang tersebut membayangkan bahwa
sesungguhnya Allah melihat perbuatannya.

11
Berusaha mengadakan perbuatan baik berupa membantu saudara yang tertimpa
musibah dan meringankan persoalan yang terjadi atau mendamaikan yang sedang
berselisih dengan cara yang seadil-adilnya.

12
Sebuah perintah untuk mengajak atau menganjurkan hal-hal yang baik dan
mencegah hal-hal yang buruk bagi masyarakat.

7
tercipta Qaryah Thayyibah13 dalam masyarakat setempat, (4) pelaksanaan sholat
dalam kehidupan keluarga harus menjadi prioritas utama, dan kepala keluarga jika
perlu memberikan sanksi yang bersifat mendidik.
Gambaran aktifitas keluarga seperti diatas tidak dapat dijumpai dalam
pengertian disiplin ilmu apapun, kecuali dalam Islam. Jika aktifitas tersebut dapat
terpenuhi dengan baik dalam kehidupan keluarga muslim, maka jadilah kehidupan
keluarga tersebut bagaikan di “surga” sebagaimana digambarkan oleh Rasulullah
Saw. tentang keluarganya. Tapi sebaliknya jika karakteristik tersebut tidak dapat
terpenuhi, maka kehidupan keluarga tersebut bagaikan di dalam “ neraka”.
Oleh sebab itu, hakikat mengenai suatu masyarakat dari berbagai sisinya
sesungguhnya tidak lain merupakan cerminan dari realitas kehidupan masing-masing
keluarga dalam masyarakat itu sendiri. Jika kehidupan keluarga itu baik dan benar,
maka baik dan benarlah kehidupan masyarakatnya, demikian pula sebaliknya.
2.2 Pernikahan Sebagai Sarana Membangun Keluarga
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan, bahwa kata “pernikahan“
mengandung makna; (1) perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami
istri (dengan resmi) dan (2) perkawinan. Meskipun pengertian ini sejalan dengan al-
Qur‟an, tapi istilah yang digunakan agak berbeda, yakni dengan kata “zawwaja” yang
berarti “berpasangan” antara dua jenis kelamin yang berbeda.
Berdasarkan karakteristik keluarga muslim, maka sesungguhnya pernikahan
itu terjadi tidak hanya karena unsur cinta (kasih sayang) semata-mata, tapi juga
karena taqwa dan akhlak karimah. Oleh karena itu, dalam kisah Umar ibn al-
Khaththab ketika beliau menasihati seseorang yang ingin menceraikan istrinya karena

13
Suatu perkampungan atau desa di mana masyarakatnya menjalankan ajaran Islam
secara kaffah baik dalam hablun minallah maupun hablun minannas dalam segala
aspek kehidupannya yang meliputi bidang akidah, ibadah, akhlak, dan mu‟amalah
duniawiyah.

8
cintanya telah memudar, beliau berkata : “Sungguh jelek (niatmu). Apakah semua
rumah tangga (hanya dapat) terbina dengan cinta? Di mana taqwamu dan janjimu
kepada Allah? Di mana pula rasa malumu kepada-Nya? Bukankah kamu sebagai
sepasang suami istri, telah saling bercampur (menyampaikan rahasia) dan mereka
(istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat ?” (Shihab,1992: 254).
Pernikahan yang berarti perkawinan atau berpasangan, sesungguhnya
merupakan sunnatullah yang berlaku bagi semua makhluknya. Hal itu dijelaskan
dalam al-Qur‟an sebagai berikut:
“Segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu menyadari
(kebesaran Allah)”. (Al-Dzariyāt [51]:49 )
“Maha suci Allah yang telah menciptakan semua pasangan, baik dari apa yang
tumbuh di bumi, dan dari jenis mereka (manusia) maupun dari (makhluk-makhluk)
yang tidak mereka ketahui”. (Yāsin [36]:36 ).
Dalam berkeluarga, mengapa harus menikah terlebih dahulu? Islam
memberikan jawabannya seputar pernikahan sebagai berikut:
2.2.1 Berpasangan dan Bercinta adalah Fitrah Manusia.
Kecenderungan manusia untuk tertarik kepada lawan jenisnya, kemudian
mencari pasangannya dan saling bercinta adalah merupakan fitrahnya yang mulia.
Peristiwa tersebut seringkali dimulai oleh pertimbangan lahiriyah (jasmaniyah).
Tahap ini dalam bahasa Arab disebut “mahabbah”, yang merupakan tingkatan paling
rendah atau “primitif” yang dalam psikologi Freud berkaitan dengan libido, yakni
lebih banyak merupakan hasrat untuk memenuhi kebutuhan biologis semata. Sedang
tahap yang paling tinggi disebut “mawaddah”, yakni berpasangan atau bercinta yang
tidak semata-mata karena faktor lahiriyah, melainkan karena adanya hal-hal yang
lebih abstrak, seperti; kepribadiannya atau kepemimpinannya, dan seterusnya. Pada
tingkatan “mawaddah” tersebut pada umumnya berpotensi untuk bertahan lebih kuat
dan lama, karena memliki unsur kesejatian yang lebih mendalam, sehingga mampu
memberi rasa bahagia yang lebih tinggi dari pada “mahabbah”. Dari tingkatan
“mawaddah” dapat naik lagi menjadi tingkatan “rahmah”, yakni merupakan jenis

9
kecintaan Ilahi, karena bersumber dari sifat Tuhan yang “Rahman dan Rahim”. Inilah
suatu kualitas kecintaan yang tiada terbatas, sejalan dengan makna firman Allah:
Rahmat-Ku meliputi segala sesuatu ( Q. S. Al-A‟raf [7]:156 ).
Dengan kualitas kecintaan yang mencapai tahap tertinggi, yakni “rahmah”,
maka perkawinan yang sah akan dapat mencapai keluarga yang “sakinah”, yaitu
keluarga yang mampu mencapai kebahagiaan hidup.
2.2.2 Sebuah Perjanjian yang Berat
Pernikahan yang seringkali menampakkan suasana kebahagiaan, karena telah
terpadunya cinta secara sah antara sepasang manusia, ternyata juga menuntut adanya
unsur kesadaran yang tinggi dan pemikiran yang mendalam. Kesadaran tersebut lahir
dari suatu pemahaman tentang hakikat makna pernikahan yang merupakan perjanjian
luhur antara suami-istri dan kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah
Swt. Sebagai ujung dari kesadaran yang tinggi tersebut adalah tercapainya jiwa
“taqwallah” yang akan melahirkan “akhlak al-karimah14”. Sedangkan pemikiran
yang mendalam adalah terkait dengan hakikat di balik suatu pernikahan yang
merupakan tanda-tanda kebesaran Allah Swt. Dari pemikiran tersebut diharapkan
mampu mencapai kesadaran baru tentang keyakinan terhadap penciptaan.
Tahapan jiwa “taqwallah” sangat urgen untuk dicapai oleh setiap pasangan
suami-istri, karena hubungan keduanya membutuhkan “akhlak al-karimah” dalam
mencapai kehidupan yang bahagia. Dan hal itu tidak dapat dicapai tanpa jiwa
“taqwallah” tersebut. Adapun dari hasil pemikiran tentang pernikahan yang
merupakan tanda-tanda kebesaran Allah Swt. diharapkan tidak saja mencapai
pengakuan akan kebenaran penciptaan, tapi juga mampu mencegah seluruh anggota
keluarga dari siksa api neraka (Q. S. Al-Tahrīm [66] :8).

14
Sama dengan akhlak yang baik atau terpuji.

10
Berikut penjelasan Nurcholis Madjid (1997: 105-109) mengenai pernikahan
sebagai perjanjian berat yang didasarkan pada ayat-ayat al-Qur‟an surat al-Nisā‟ [4]:
19-27. Itulah petunjuk Allah tentang persoalan pernikahan yang merupakan
perjanjian berat bagi yang melakukannya. Dan dari penjelasan tersebut dapat
ditangkap beberapa catatan penting sebagai berikut:
1. Dilarang mewarisi wanita secara paksa seperti terjadi pada zaman jahiliyah di
Arabia.
2. Dilarang berlaku kasar kepada wanita hanya karena soal harta benda.
3. Keharusan menggauli wanita dengan cara yang baik dan benar.
4. Jika suami benci atas perilaku istri, maka janganlah terburu-buru mengambil
keputusan negatif (menceraikan), karena mungkin di balik semua itu Allah
menyediakan kebaikan yang banyak.
5. Jika harus berganti istri (dengan cara yang sah dan benar), maka harta yang telah
diberikan kepadanya tidak boleh diminta kembali sedikitpun, sebab hal itu
merupakan perbuatan jahat yang jelas dan juga keonaran.
6. Pernikahan yang sah adalah merupakan sebuah perjanjian yang berat, karena itu
hubungan suami istri harus dijaga dengan baik dan tidak dianggap enteng, serta
disikapi sembrono.
7. Telah dijelaskan siapa-siapa yang boleh dinikahi dan yang tidak boleh dinikahi.
Ketentuan ini penting karena berkaitan dengan aspek hukum Islam yang lain,
seperti; persoalan nasab, warisan dan kemanusiaan.
8. Hubungan lelaki-perempuan harus didasarkan pada pernikahan yang sah dan
terbuka (diketahui umum), dan tidak boleh dilakukan dalam bentuk hubungan
rahasia atau “gelap”.
9. Jika (zaman dahulu) tidak mampu kawin dengan wanita merdeka dan harus kawin
dengan budak yang diperoleh secara sah sesuai ketentuan yang berlaku, maka
dalam hal itu harus dilakukan dengan seijin keluarga wanita.

11
10. Dan budak perempuan itu pun harus dinikahi secara terbuka, dan tetap tidak boleh
dilakukan sebagai hubungan gelap dalam bentuk hubungan tersembunyi atau
sebagai “wanita simpanan”.
11. Jika diduga terjadi penyelewengan, maka hukuman tetap harus ditegakkan, bagi
wanita budak mendapatkan separuh hukuman wanita merdeka, sesuai dengan
kondisi sosial budaya pada waktu itu.
12. Hal itu dilakukan untuk mencegah terjadinya perzinahan. Namun seseorang tidak
perlu tergesa-gesa menuduh, dan lebih baik bersabar sampai ada bukti yang nyata.
13. Itu semua merupakan hukum hubungan lelaki-perempuan yang bersifat universal
yang telah berlaku pada umat-umat terdahulu, dengan beberapa variasi.
Dari beberapa catatan tersebut, jika dicermati akan tampak jelas dari tujuan
setiap pernikahan, yakni persoalan perlindungan hak-hak asasi, serta harkat dan
martabat wanita.
Dalam al-Qur‟an tidak ada penjelasan yang lebih rinci daripada persoalan
pernikahan dan implikasi hukumnya, karena memang unit keluarga merupakan sendi
utama masyarakat dan pilar negara. Jika kondisi setiap keluarga baik, maka baiklah
masyarakat dan tegaklah negara dengan kokohnya.
2.3 Syarat Sah Pernikahan
Menurut Qurais Shihab (2003: 201-2003) bahwa para ulama‟ atau madzhab
telah merumuskan sekian banyak rukun atau syarat tentang sahnya pernikahan,
meskipun dalam rinciannya terdapat perbedaan antara mereka. Selanjutnya
disebutkan atara lain, yakni:
1. Adanya calon suami dan istri,
2. Adanya wali (dari calon istri),
3. Adanya dua orang saksi (laki-laki),
4. Adanya mahar (maskawin ),
5. Terlaksananya ijab dan kabul (akad nikah).
Status seorang calon istri haruslah tidak sedang terikat oleh beberapa norma
berikut ini:

12
1. Tidak sedang terikat pernikahan dengan pria lain,
2. Tidak sedang masa “iddah”, yakni masa menunggu, karena wafat suaminya,
dan dicerai atau hamil,
3. Tidak termasuk wanita yang dilarang untuk dinikahi.
Adapun keberadaan seorang wali bagi calon suami tidak diperlukan, tetapi
bagi calon istri dinilai mutlak keberadaannya maupun izinnya oleh kebanyakan
ulama‟ berdasarkan hadis Rasulullah Saw: “Tidak sah pernikahan seseorang kecuali
dengan (izin) wali”. ( HR. Ahamd dari Abu Hurairah )
2.4 Beberapa Persoalan Seputar Pernikahan
2.4.1 Pernikahan Lintas Agama
Dalam hal pernikahan lintas agama, terdapat perbedaan pendapat sebagai
berkut:
1. Perkawinan dengan orang musyrik dilarang/haram hukumnya berdasarkan
firman Allah Swt. dalam surat al-Baqarah, ayat 221:
“Janganah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman,
sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik walaupun
dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman, sesungguhnya budak yang mukmin
lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke
neraka. Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya
mereka mengambil pelajaran”.
2. Adapun pernikahan dengan Ahlul kitab, maka ada yang berpendapat haram
hukumnya berdasarkan al-Qur‟an:
a. Surat al-Maidah, ayat 72-73:
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: Sesungguhnya Allah
adalah Al-Masih putera Maryam, padahal Al-Masih (sendiri) berkata : Hai Bani
Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Sesungguhnya orang-orang
yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan

13
kepadanya surga dan tempatnya ialah di neraka, dan tiadalah bagi orang-orang
yang dzalim itu seorang penolongpun. Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang
mengatakan: Bahwasanya Allah salah satu dari tiga, padahal sekali-kali tidak
ada Tuhan selain Tuhan yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang
merekan katakanitu, pasti orang-orang kafir diantara mereka akan ditimpa
siksaan yang pedih”.
b. Surat al-Baqarah [2]: 120:
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu
mengikuti agama mereka. Katakanlah : Sesungguhnya petunjuk Allah itulahn
petunjuk (yang benar). Dan sesungguhnya setelah pengetahuan datang
kepadamu, maka Allah tidak lagi menjdi pelindung dan penolong bagimu”.
c. Surat al-Bayyinah, ayat 1 dan 6:
“Orang-orang kafir Yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan
bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada
mereka bukti yang nyata”. (Al-Bayyinah [98]: 6)
“Sesungguhnya orang-orang kafir, yakni Ahlul kitab dan orang-orang musyrik
(akan masuk) neraka Jahanam, mereka kekal didilamnya. Mereka itu adalah
seburuk-buruk makhluk”. (Al-Bayyinah [98]: 6)

3. Sedang pendapat yang mengatakan bahwa pernikahan dengan Ahlul kitab adalah
mubah hukumnya, didasarkan pada al-Qur‟an :
a. Surat al-Maidah [5]:5:
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-
orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi
mereka. ( Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan
diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu, bila
kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak
dengan berzina dan tidak (pula) menjdikannya gundik-gundik”.

14
b. Surat Ali Imran [3]: 113:
“Mereka itu tidak sama, di antara Ahlul kitab itu ada golongan yang berlaku
lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari,
sedang mereka juga bersujud”.
Menurut sementara ulama‟, meskipun ada ayat membolehkan perkawinan pria
Muslim dengan wanita Ahlul kitab15 ,yakni surat al-Maidah [5]: 5, tetapi izin tersebut
telah digugurkan oleh surat al-Baqarah [2]: 221 diatas. Dengan demikian dapat
disimpulkan, bahwa pernikahan beda agama adalah haram hukumnya.
2.5 Pernikahan Terlarang
Syekh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi dalam bukunya: Pedoman Hidup Seorang
Muslim (1419 H: 666-673) menjelaskan, bahwa Rasulullah Saw. melarang jenis-jenis
pernikahan seperti berikut ini:
1. Pernikahan Mut‟ah, yakni pernikahan untuk sementara waktu. Misalnya;
seorang laki-laki menikahi seorang wanita untuk waktu sebulan atau setahun.
Hal itu didasarkan pada hadis dari Ali r.a., bahwa Rasulullah Saw. melarang
pernikahan mut‟ah serta daging keledai liar pada saat perang Khaibar (HR.
Muslim). Pernikahan mut‟ah hukumnya tidak sah. Oleh sebab itu pernikahan
tersebut harus dibatalkan, sedang mahar (mas kawin) tetap harus diberikan
jika suami tersebut telah menggauli istrinya, tapi bila belum menggaulinya,
maka tidak wajib memberikan mahar.
2. Pernikahan Sighār, yaitu pernikahan yang dilakukan sesama orang tua atas
nama anak masing-masing yang masih kecil, baik keduanya saling memberi
mahar atau hanya salah satunya saja, maka hal itu dilarang berdasarkan sabda
Rasulullah Saw: Tidak ada nikah syighār dalam Islam ( HR. Muslim ). Abu
Hurairah berkata: Rasulullah Saw. melarang nikah syighar. Adapun yang

15
Wanita penganut agama yahudi dan nasrani.

15
dimaksud dengan nikah syighar adalah seseorang berkata: Nikahkanlah aku
dengan putrimu niscaya aku menikahkanmu dengan putriku, atau ia berkata :
Nikahkanlah aku dengan saudara perempuanmu niscaya aku menikahkanmu
dengan saudara perempuanku ( HR. Muslim ). Abdullah bin Umar r.a. berkata
: Sesungguhnya Rasulullah Saw. melarang nikah syighar. Adapun nikah
syighar ialah seorang bapak menikahkan seseorang dengan putrinya dengan
syarat bahwa orang itu harus menikahkan dirinya dengan putrinya, tanpa
mahar di antara keduanya. ( HR. Muttafaq „alaih )
3. Pernikahan Muhallil, yaitu suatu pernikahan seorang wanita yang telah
dithalaq tiga oleh suaminya, yang karenanya suaminya diharamkan untuk
rujuk kepadanya. Hal itu berdasarkan firman Allah dalam surat al-Baqarah
[2]: 230:“Kemudian jika suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua),
maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami
yang lain”. Abdullah bin Mas‟ud r.a. berkata: Rasulullah Saw. melaknat
muhallil (orang yang menikahi mantan istrinya) dan muhalli lahu (orang
yang menjadi perantaranya. (HR. Al-Tirmidzi)
4. Pernikahan orang yang ihram, yaitu pernikahan orang yang sedang
melaksanakan ihram haji maupun umrah dan belum memasuki waktu tahallul.
Hal itu didasarkan pada hadis Rasulullah Saw. sebagai berikut: Orang yang
sedang menunaikan ihram tidak boleh menikah dan tidak boleh menikahkan
(HR. Muslim ).
5. Pernikahan dalam masa iddah, yaitu suatu pernikahan dimana sang istri
sedang menjalani masa iddah (tunggu), karena penceraian atau suaminya
meniggal dunia. Hal itu berdasarkan firman Allah dalam surat al-Baqarah,
ayat 235.
6. Pernikahan tanpa wali, yaitu pernikahan yang dilakukan seorang laki-laki
dengan seorang wanita tanpa seizin walinya. Larangan itu berdasarkan hadits
Rasulullah Saw. sebagai berikut: Tidak ada nikah tanpa wali ( HR. Ahmad ).

16
7. Pernikahan dengan wanita kafir selain wanita-wanita Ahlul kitab, berdasarkan
firman Allah dalam surat al-Baqarah [2]: 221, “Dan janganlah kamu nikahi
wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman”. Jadi seorang muslim
haram menikahi wanita kafir dari kalangan agama majusi, komunis atau
penyembah berhala. Demikian pula wanita muslimah haram menikah dengan
laki-laki dari kalangan Ahlul kitab atau orang kafir dari non-ahlul kitab,
berdasarkan firman Allah dalam surat al-Mumtahanah [60]: 10 sebagai
berikut: “Mereka (wanita–wanita muslimah) itu tidak halal bagi orang-orang
kafir dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka”.
8. Menikahi Mahram (wanita yang haram dinikahi, sebagaimana telah tercantum
dalam surat An-Nisa‟: 23-24 ).
2.6 Pacaran, Tunangan dan Nikah Siri
Istilah pacaran , tunangan dan nikah siri dalam agama Islam tidak ada , istilah
itu muncul karena budaya masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia. Karena
pengaruh globalisasi yang begitu dasyat, maka pacaran, tunangan dan nikah siri jadi
membudaya di lingkungan masyarakat kita. Ada dua potensi yang dimiliki setiap
manusia dalam mengikuti tuntunan Islam, yaitu menolak atau ingkar ataukufur dan
taat/iman/taqwa . Sikap ini ada dalam Al-Qur‟an Surat Asy-syam (91) : 8 : Artinya :
Maka dia mengilhamkan kepada manusia kejahatan/keburukan dan ketaqwaan.
Agama Islam memberi tuntunan tersendiri bagi dua sejoli yang sedang
dimabuk cinta dalam mewujudkan impinannnya dengan melalui ta‟aruf16 yang sesuai
dengan tuntunan Islam, misalnya kalau mau ketemuan/berpergian harus mengajak
muhrim/teman yang dapat dipercaya untuk menemani sehingga tidak berduaan. Ada
prinsip yang harus ditaati yaitu jangan mendekati zina. Allah meninggikan
kedudukan manusia agar tidak terjerumus dalam nafsu hewani atau binatang, dimana

16
Kegiatan berkunjung ke rumah seseorang untuk berkenalan dengan penghuninya.

17
manusia harus punya rasa malu, karena ada hadits Nabi yang mengatakan bahwa
“Malu adalah bagian dari Iman”. Perbuatan zina seharusnya bukan perbuatan
manusia, akan tetapi perbuatan manusia yang mengikuti nafsu hewani sehingga tidak
punya rasa malu khususnya pada diri sendiri dan pada Allah SWT.
Biasanya setelah lama pacaran, akan dilanjutkan dengan tunangan atau
ikatan yang disetujui oleh kedua belah pihak keluarga dengar berbagai cara,
misalnya dengan tukar cincin. Ajaran Islam memberikan tuntunan dengan cara
meminang atau melamar sebagai penghargaan bagi wanita , agar kedudukan wanita
sebagai istri diakui secara hukum, sehingga punya hak dan kewajiban yang sama
dengan suami. Sebagian masyarakat Islam masih ada yang mengikuti budaya diatas,
sehingga sering kita lihat kalau sudah tunangan , boleh dibawa kemana-mana
bahkan tidak pulangpun tidak mengapa, Inilah yang terjadi di masyarakat kita , oleh
karena itu yang ada di dalam Islam bukan tunangan akan tetapi pinangan atau
lamaran. kemudian setelah pinangan atau lamaran , akan berlanjut ke pernikahan.
Ajaran Islam menuntunkan bahwa dalam pernikahan walimatul urus harus
di syiarkan atau dipublikasikan agar tidak menimbulkan fitnah. Tetapi istilah nikah
siri adalah pernikahan yang terjadi di masyarakat hanya dihadiri oleh keluarga
kedua pihak atau didepan seorang yang dianggap kyai dan beberapa saksi tanpa
tercatat di pemerintah sehingga tidak punya bukti secara syah ( buku nikah) menurut
hukum Agama dan Negara. Dan apabila punya anak , tentu akan kesulitan dalam
mendapatkan akte kelahiran bagi si anak, juga dalam pembagian hak waris apabila
mau menuntut secara hukum maka si anak dan istri dalam posisi lemah secara
hukum. Kondisi seperti ini hendaknya manjadi perhatian bagi para wanita,
berfikirlah yang jernih dalam melangkah kearah pernikahan siri, meskipun secara
agama sah, tetapi Muhammadiyah mengajak semua umat islam agar menghindari
pernikahan siri, karena persoalan nikah siri ini terjadi karena ketidaktahuan atau
dibuat tidak tahu oleh orang-orang yang punya kepentingan pribadi demi
kesenangan sendiri dan sesaat.

18
III. KESIMPULAN
Pernikahan merupakan sarana untuk menegakkan rumah tangga yang Islami,
mencari keturunan yang shalih serta untuk meningkatkan ibadah kepada Allah.
Pernikahan sebagai sarana untuk membangun keluarga yang nantinya hidup dalam
masyarakat juga dapat meningkatkan jalinan tali silaturahmi antar sesama muslim.
Selain itu membangun keluarga sejahtera merupakan upaya mutlak yang harus
dilakukan keluarga – baik secara mandiri maupun dengan dukungan pemerintah –
jika kita menginginkan keluarga dapat menghasilkan individu yang berkualitas. Di
samping keluarga itu sendiri mampu menjadi institusi pembangunan yang handal,
dan mampu menjadi aset yang tak ternilai harganya dalam memberikan kekuatan
bagi pembangunan.

19
DAFTAR PUSTAKA
https://www.coursehero.com/file/14691726/AIK-akhlak-keluarga/
Setiawati, Penuntun Praktis Asuhan Keperawatan Keluarga, Jakarta: Trans Info
Media, 2008.
Wong, Buku Ajar Keperawatan Pediatrik, Ed. 6 Vol. 1. Jakarta, EGC, 2009.
Zakaria, Teuku Ramli, Pendidikan Budi Pekerti, dalam Jurnal Pendidikan dan
Kebudayaan, No. 021, Tahun ke-5, Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional, Januari. 2000.
Qurais Shihab. 2003. Tafsir Al-Misbah.
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur‟an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Masyarakat. (Cet. I: Bandung: Mizan Media Utama. 2007).
Nurcholis Madjid. 1997. Masyarakat Religius. Jakarta: Paramadina

20

Anda mungkin juga menyukai