Anda di halaman 1dari 75

1

Daftar Isi
Minyak Atsiri sebagai Bahan Aktif Konservasi
Benda Cagar Budaya
Riyanto 4 - 10

Kajian Efektivitas Teknik dan Bahan


Konservasi pada Lontar di Bali
Ida Bagus Alit Sancana 11 - 23

Efektivitas Buah Lerak (Sapindus Rarak De Candole)


sebagai Bahan Pembersih Logam Perak, Perunggu,
dan Besi
Foto sampul depan:
Lerak salah satu bahan konservan logam.
Ira Fatmawati 24 - 31
ISSN : 1978-8584
Pelindung : Konservasi Berbasis Kearifan Lokal di Situs
Prof. Kacung Marijan, Ph.D.
Direktur Jenderal Kebudayaan
Benteng Puteri Hijau, Deli Serdang, Sumatera Utara
Stanov Purnawibowo 32 - 41
Pengarah :
Dr. Harry Widianto
Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Penerapan NDT (Non-Destructive Testing)
Permuseuman untuk Analisis Pelapukan Cagar Budaya Menggunakan
Alat XRF; Studi Kasus Candi Mendut
Penanggung Jawab :
Drs. Marsis Sutopo, M.Si Nahar Cahyandaru 42 - 52
Kepala Balai Konservasi Borobudur

Pemimpin Redaksi :
Metode Isolasi dan Identifikasi
Yudi Suhartono, MA Struktur Senyawa Organik Bahan Alam
Sri Atun 53 - 61
Redaksi :
Iskandar Mulia Siregar, S.Si
Nahar Cahyandaru, S.Si Perbandingan Metode Kalibrasi dan Adisi Standar untuk
Yenny Supandi, S.Si Penentuan Timbal Terlarut dalam Air Bak Kontrol
Hari Setyawan, S.S
Candi Borobudur secara Spektrofotometri Serapan
Mitra Bestari : Atom (SSA)-Nyala
Prof. Dr. Endang Tri Wahyuni, M.Si Ida Sulistyaningrum, Melati Putri Git Utami, Reni Banowati
Prof. Dr. Inajati Adrisijanti
Dr. Anggraeni, M.A Istiningrum 62 - 67
Ir. Suprapto Siswosukarto, Ph.D

Tata Letak :
Pengelolaan Lansekap Budaya dalam Kerangka
Bambang Kasatriyanto, S.I.Kom Warisan Dunia: Studi Kasus Management Plan
Lansekap Budaya Provinsi Bali
Alamat Redaksi :
Balai Konservasi Borobudur
Panggah Ardiyansyah 68 - 73
Jl. Badrawati Borobudur
Magelang 56553
Jawa Tengah

Telp. (0293) 788225, 788175


Fax. (0293) 788367 Redaksi menerima tulisan berupa artikel, saduran, terjemahan, maupun
segala macam bentuk tulisan yang ada kaitannya dengan arkeologi, kon-
email :
balai@konservasiborobudur.org servasi dan pelestarian sumber daya arkeologi. Terjemahan atau saduran
konservasiborobudur@yahoo.com harap menyebutkan sumber referensi yang jelas.

website :
www.konservasiborobudur.org

2
SALAM REDAKSI JURNAL BOROBUDUR

Edisi kedua Jurnal Borobudur tahun 2014 hadir di akhir tahun ini. Tidak seperti jurnal edisi pertama yang terbit
dengan artikel yang bervariasi, jurnal edisi 2 ini terdiri atas beberapa artikel yang bertema sejenis. Tema yang
diangkat pada edisi ini adalah “Konservasi Berbasis Kearifan Tradisional”. Tema ini merupakan bidang kajian
konservasi yang sedang manjadi tren dan telah ditetapkan sebagai tema unggulan kajian di Balai Konservasi
Borobudur. Konservasi berbasis kearifan tradisional memiliki keunggulan relatif dibanding dengan konservasi
“modern” menggunakan bahan-bahan kimia.
Sebagai tema kajian unggulan, konservasi berbasis kearifan tradisional akan terus diteliti secara intensif dan ber-
kesinambungan. Tema jurnal mengenai konservasi tradisional tidak hanya pada edisi ini, tema tersebut sangat
terbuka untuk digunakan kembali pada jurnal-jurnal edisi mendatang.
Artikel bertema konservasi tradisional yang pertama ditulis oleh Riyanto, dengan judul “Minyak Atsiri Seb-
agai Bahan Aktif Konservasi Benda Cagar Budaya (BCB)”. Bahan tradisional berupa buah lerak yang umum
digunakan dalam pencucian kain batik, ternyata juga dapat digunakan untuk konservasi logam. Hal ini ditulis
oleh Ira Fatmawati, dengan artikel berjudul “Efektivitas Buah Lerak (Sapindus rarak) sebagai Bahan Pembersih
Logam Perak, Perunggu, dan Besi”. Bahan untuk konservasi lontar secara tradisional ditulis oleh Ida Bagus Alit
Sancana dengan judul “Kajian Efektivitas Teknik dan Bahan Konservasi pada Lontar di Bali. Bahan tradisional
mengandung senyawa bahan alam yang bersifat aktif, sehingga pengujian untuk mengetahui bahan aktif ini
penting untuk dilakukan. Artikel dengan judul “Metode Isolasi dan Identifikasi Struktur Senyawa Organik Ba-
han Alam” ditulis oleh Sri Atun untuk mendasari ekplorasi bahan alam tradisional secara scientific.
Konservasi secara tradisional tidak terbatas pada konservasi material, namun juga konservasi lingkungan, situs,
atau kawasan. Artikel mengenai konservasi lingkungan situs berupa benteng ditulis oleh Stanov Purnawibo-
wo, dengan judul “Konservasi Berbasis Kearifan Lokal di Situs Benteng Puteri Hijau, Deli Serdang, Sumatera
Utara”.
Artikel lain yang tidak secara langsung berkaitan dengan tema konservasi berbasis kearifan tradisional meru-
pakan artikel mengenai analisis kimia. Analisis kimia baik yang dilaksanakan di laboratorium dan lapangan,
merupakan bagian penting bagi evaluasi dan pelaksanaan konservasi sehingga penting untuk dikembangkan.
Ida Sulistyaningrum menulis artikel yang berjudul “Perbandingan Metode Kalibrasi dan Adisi Standar untuk
Penentuan Timbal Terlarut dalam Air Bak Kontrol Candi Borobudur Secara Spektrofotometri Serapan Atom
(SSA)-Nyala“. Sementara Nahar Cahyandaru menulis artikel “Penerapan NDT (Non-Destructive Testing) un-
tuk Analisis Pelapukan Cagar Budaya Menggunakan Alat XRF ; Studi Kasus Candi Mendut.
Selain itu satu judul untuk pengayaan jurnal Borobudur ini adalah artikel dari Panggah Ardiansyah dengan judul
“Pengelolaan Lansekap Budaya dalam Kerangka Warisan Dunia: Studi Kasus Management Plan Lansekap Bu-
daya Provinsi Bali”. Semoga semua sajian yang ada bermanfaat.

3
Minyak Atsiri sebagai Bahan Aktif Konservasi Benda Cagar Budaya

Riyanto
Prodi Kimia Fakultas MIPA Universitas Islam Indonesia
Email: riyanto@uii.ac.id

Abstrak: Konservasi dengan mencegah kerusakan benda cagar budaya akibat tumbuhnya bakteri, lumut, jamur,
dan mikroorganisme sangat perlu untuk dilakukan. Konservasi BCB selama ini menggunakan bahan kimia
berbahaya seperti 5-bromo-3-sec-butyl-6-methyluracil (Hyvar-X), xylophene, aldrin, malathion, parathion, DDT
(Dichloro Diphenyl Trichloroethane) dan CCA (Chromated Copper Arsenat). Bahan kimia berbahaya tersebut
dapat dilakukan penggantian dengan menggunakan bahan alam yang berupa minyak atsiri, yang diambil dari
tanaman sereh wangi, cengkeh, pala, jahe karena mengandung zat-zat aktif seperti sitronelal, sitronelol, geraniol,
eugenol, cineol, dan camphene yang dapat membasmi, membunuh, dan mengusir serangga, bakteri, dan jamur.
Penggunaan minyak atsiri sebagai bahan konservasi BCB aman terhadap lingkungan, manusia, dan mampu
mencegah kerusakan BCB.

Kata Kunci: Minyak atsiri, Zat aktif, Bahan Konservasi

Abstrak: Conservation for controlling damages from the growth of bacteria, moss, fungi, and microorganism
is needed to be conducted in a cultural heritage. So far the conservation has been focused on the application
of dangerous chemical such as 5-bromo-3-sec-butyl-6-methyluracil (Hyvar-X), xylophene, aldrin, malathion,
parathion, DDT (Dichloro Diphenyl Trichloroethane) and CCA (Chromate Copper Arsenate). The chemical could
be substituted by natural compound in the form of essential oil, taken from lemongrass, clove, nutmeg, and ginger,
because they have active substances such as citronellal, citronellol, geraniol, eugenol, cineol and camphene that
could exterminate, kill, and remove insect, bacteria, and fungi. The application of essential oil as conservation
material is safe for the environment and human. Moreover, it could control damages in a cultural heritage.

Kata Kunci : Essential oil, Active substance, Conservation material

Pendahuluan pelapukan (Leisen et al. 2004; Triyana dan Soesilo


Indonesia mempunyai banyak benda cagar 2013; Singh 2004; Gupta et al. 2012). Selama ini upaya
budaya warisan dari nenek moyang yang tidak ternilai konservasi masih menggunakan pestisida, fungisida, dan
harganya. Beberapa benda cagar budaya telah masuk insektisida sintetik seperti 5-bromo-3-sec-butyl-6-methyluracil
dalam warisan dunia UNESCO seperti Candi Borobudur, (Hyvar-X), xylophene, aldrin, malathion, parathion, DDT
Candi Prambanan, batik, dan wayang. Benda cagar budaya (Dichloro Diphenyl Trichloroethane), dan CCA (Chromated
terbuat dari batu, kayu, kertas, dan kain. Benda cagar Copper Arsenat) (Winkler 1994; Sing 2004; Gupta et al.
budaya harus dilindungi dari kepunahan dan kerusakan 2012). Bahan-bahan tersebut merupakan bahan berbahaya
akibat proses alam seperti hujan asam, serangan dan beracun, yang menyebabkan bahaya bagi manusia
serangga, jamur, cendawan, dan mikroba. Jenis mikroba yang melakukan konservasi, pengunjung, dan lingkungan
yang banyak tumbuh di batuan yaitu fungi, jamur, dan sekitar benda cagar budaya. Bahan-bahan tersebut dapat
alga. Mikroba tersebut mudah berkembang pada batuan, menyebabkan kanker karena bersifat karsinogenik dan
batu pasir, granit, batu kapur, dan gypsum (Burford et mutagenic sehingga dilarang digunakan untuk konservasi
al., 2003). Pertumbuhan mikroba pada batuan tergantung BCB. Oleh karena itu, penting untuk mencari bahan
pada faktor lingkungan seperti ketersediaan air, pH, konservan alternatif yang aman dan ramah lingkungan.
iklim, sumber nutrisi, komposisi batuan, porositas, dan Indonesia mempunyai keanekaragaman hayati
permeabilitas batuan. tanaman penghasil minyak atsiri seperti sereh dapur
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk minyak cengkeh (Eugenia aromatica), minyak sereh wangi
melindungi bangunan bersejarah dari kerusakan dan (Andropogon nardus) dan minyak kayu manis (Cinnamomum

4
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 4-10

spp.), yang mengandung senyawa pestisida berbasis bagi tumbuhnya organisme saprofit. Mineral-mineral
minyak atsiri telah lolos registrasi dari EPA (Environmental batuan tersebut bereaksi dengan bahan-bahan organik
Protection Agency) dan dinyatakan aman dari GRAS dan makhluk hidup saprofit sehingga terjadilah
(Generally Recognized as Safe) (Koul et al., 2008) sehingga pelapukan. Mikroorganisme penyebab kerusakan
ramah terhadap manusia dan lingkungan. Penelitian yang ditemukan di Candi Borobudur di antaranya
penggunaan minyak atsiri untuk pestisida, fungisida, adalah bakteri, alga, dan jamur. Bakteri yang tumbuh
dan insektisida telah banyak dilakukan umumnya untuk di Candi Borobudur di antaranya adalah bakteri
melindungi tanaman, benzene dan gugus OH, sehingga fotoautotrof yang dapat mensintesis senyawa organik
dapat berperan sebagai pestisida nabati. Sereh dapur dan dengan menggunakan energi cahaya matahari tidak
sereh wangi dapat digunakan sebagai penolak serangga langsung. Bakteri tersebut menghasilkan berbagai
hama dan juga nyamuk (Zanellato et al. 2009). senyawa asam yang dapat bereaksi dengan oksida
Untuk memperoleh informasi lebih lengkap batuan. Contoh bakteri yang ada pada batuan Candi
tentang jenis minyak atsiri sebagai konservan alami maka Borobudur adalah Amonifiri, SP., Aceutobacteur dan
pada makalah ini dikemukakan jenis-jenis minyak atsiri, Fictobacteur fixing.
cara isolasi, dan analisis serta, aktivitasnya yang didasarkan Alga juga ditemukan di batuan Candi Borobudur.
pada berbagai sumber literatur. Alga yang dapat hidup di Candi Borobudur atau batuan
disebut Perifiton dari kelas Cyanophyceae (alga biru)
Tinjauan Pustaka dan Chlorophyceae (Alga hijau). Alga biru merupakan
1. Proses Pelapukan Batu Candi Borobudur vegetasi perintis, yaitu merupakan tumbuhan yang
Salah satu sebab kerusakan benda cagar budaya mampu menghancurkan batuan sehingga dapat hidup di
adalah pelapukan oleh bahan-bahan organik. Pelapukan daerah tersebut. Alga dapat berfotosintesis dan mampu
organik yaitu proses penghancuran benda cagar budaya hidup pada lingkungan dengan suhu 80 C, sehingga dapat
yang diakibatkan oleh aktivitas makhuk hidup, baik hewan bertahan lama pada batuan Candi Borobudur. Spesies alga
maupun tumbuhan. Beberapa organisme penyebab yang ditemukan di Candi Borobudur adalah Nostoceae,
pelapukan yaitu bakteri dan jamur. Bakteri merupakan Gleocapsa, dan Chlorophyceae bersel satu.
salah satu jasad renik yang berbentuk seperti batang, Fungi (jamur) merupakan organisme bersifat
peluru, dan sekrup. Bakteri termasuk makhluk hidup saprofit pada Candi Borobudur. Jamur memperoleh
yang kasat mata. Untuk dapat mengamati dan mengenal makanan secara tidak langsung dari makhluk hidup.
bakteri secara seksama diperlukan mikroskop. Selain Celah-celah Candi Borobudur yang lembab, kurang
bakteri, organisme penyebab kerusakan yang lain adalah cahaya matahari, dan banyak mengandung zat-zat
jamur. Jamur dapat juga disebut fungi atau cendawan. organik, merupakan daerah yang paling tepat bagi
Jamur merupakan organisme yang tidak mempunyai pertumbuhan jamur. Beberapa jamur yang tumbuh pada
klorofil atau bersifat heterotrof. Untuk mempertahankan
dirinya, jamur hidup sebagai parasit dan saprofit. Jamur
tidak mempunyai akar, batang, dan daun, sehingga
disebut tumbuhan thalus. Jamur berkembang biak
secara kawin dan tidak kawin. Perkembangbiakan secara
kawin dilakukan dengan cara konjugasi, askospora, dan
basidiospora. Perkembangan dengan cara tidak kawin
dilakukan dengan membentuk spora, membelah diri,
fragmentasi, dan dengan kondium.
Berdasarkan hasil penelitian di Candi
Borobudur, bakteri dan jamur dapat mempercepat
proses pelapukan. Batuan Candi Borobudur yang Gambar 1. Cagar budaya berbahan batu yang ditumbuhi oleh
kaya mineral penting merupakan tempat yang tepat mikroba jenis jamur dan alga

5
Riyanto, Minyak Atsiri sebagai Bahan Aktif Konservasi Benda Cagar Budaya

batuan Candi Borobudur seperti aspergilus nigeruan dicampur dengan air menggunakan perbandingan yang
tioghom, aspergilus tlavus link, dan rhyzopus orrhyzus sesuai. Teknik ini memerlukan api yang kecil supaya
ficher. Gambar 1 menunjukkan mikroba yang tumbuh di sampel tidak hangus. Teknik yang banyak digunakan
berbagai benda cagar budaya. untuk isolasi minyak atsiri berbahan baku keras sepeti
daun, batang, dan akar yaitu destilasi uap air (Gambar 2C).
2. Minyak Atsiri Keberhasilan teknik ini sangat ditentukan dengan tekanan
Minyak atsiri adalah minyak yang diperoleh uap yang dihasilkan oleh boiler. Untuk optimasi hasil
dengan cara destilasi, ekstraksi, dan enfluorasi dari biasanya bahan baku perlu dikeringkan untuk mengurangi
bagian tanaman: akar, batang, kulit, daun, bunga, kandungan air dan dihaluskan untuk mengeluarkan
dan buah. Contoh tanaman penghasil minyak atsiri semua minyak atsiri dalam jaringan tanaman.
dapat dilihat pada Tabel. 1. Minyak atsiri yang
dengan mudah dapat dipisahkan menjadi komponen-
(A)
komponennya (dapat secara kimia atau fisika) yang
dapat merupakan bahan dasar untuk dikonversi
menjadi produk-produk lain seperti minyak sereh,
minyak daun cengkeh, minyak permen, dan minyak
terpentin. Minyak atsiri yang sukar dipisahkan
menjadi komponen-komponennya dan digunakan
secara langsung seperti minyak nilam, minyak
kenanga, dan minyak akar wangi.
2. 1 Teknik Isolasi Minyak Atsiri
Minyak atsiri dapat didestilasi dari bagian tanaman (B)
seperti daun, batang, akar, buah, kulit batang, dan bunga.
Berbagai jenis teknik isolasi minyak atsiri seperti destilasi
kukus, destilasi rebus, destilasi uap air, ekstraksi, dan
enfluorasi. Berbagai jenis destilasi ditunjukkan pada
Gambar 2. Destilasi kukus (Gambar 2A) sangat sesuai
untuk isolasi minyak atsiri sereh, kenanga, dan cengkeh.
Destilasi rebus sangat sesuai untuk isolasi minyak atsiri
empon-empon seperti jahe, kencur, kunyit, temu mangga,
dan lain-lain. Teknik dengan destilasi rebus (Gambar
2B), bahan baku harus dihancurkan sampai halus dan
Tabel 1. Tanaman penghasil minyak atsiri yang sudah umum dibudidayakan
No. Tanaman Bagian tanaman Minyak atsiri Komponen utama
1. Pohon cengkeh Bunga/daun Cengkeh Eugenol
2. Pohon lawang Kulit Lawang Eugenol dan safrol
3. Pohon pinus Kulit/batang/getah Terpentin Alfa-pinen
4. Pohon cendana Kulit batang/akar Cendana Santanol
5. Pohon kayu putih Daun Kayu putih Sineol
6. Pohon kenanga Bunga Kenanga Ester
7. Pohon kayu manis Kulit/batang Kayu manis Sinamil aldehida
8. Sereh Daun Sereh Sitronelal, sitronelol
9. Nilam Daun Nilam Patchouli alkohol
10. Menthaarvensis Daun Permen Mentol
11. Akar wangi Akar Akar wangi Vetiverol
12. Adas Biji Adas Anetol, estragol, fenson
13. Gondopuro Daun Gondopuro Metil salisilat

6
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 4-10

(C)

Gambar 3. Kromatogram minyak atsiri jahe hasil destilasi rebus

Tabel 2. Komponen senyawa aktif dalam minyak atsiri


jahe
No. Nama Senyawa Kimia Kadar (%)
Gambar 2. Jenis-jenis destilasi untuk isolasi minyak atsiri 1. a-pinene 3,57
dimana (A) destilasi kukus, (B) destilasi rebus dan (C)
destilasi uap air
2. Camphene 12,47

2.2 Analisis Komponen Senyawa Aktif dalam 3. b-pinene 0,23


Minyak Atsiri
4. 1,8-cineole 17,89
Analisis komponen senyawa aktif dalam minyak
5. Linalool 0,23
atsiri dapat dilakukan dengan menggunakan alat
kromatografi gas spektrometri masa atau GC-MS. 6. Borneol 3,10

Salah satu contoh hasil analisis minyak atsiri jahe yang 7. a-terpineol 1,15
dihasilkan dari destilasi rebus dengan perbandingan air 8. Nerol 0,23
dan jahe (1:1). Kromatogram minyak atsiri jahe dapat
9. Neral 0,21
dilihat pada Gambar 3.
Komponen senyawa aktif dalam minyak atsiri 10. Bisabolene 1,63

jahe mengandung lebih dari 25 senyawa. Nama-nama 11. Zingiberene 0,32


senyawa aktif hasil analisis dengan kromatografi
dapat diketahui dengan menggunakan spektrometri
masa ditunjukkan pada Tabel 2.
Pada Gambar 4 terlihat bahwa minyak atsiri daun
cengkeh mengandung lima senyawa aktif yaitu eugenol
76,86%, beta carryophylllene 18,90%, alpha humulene
2,53%, alpha copaene 1,03% dan delta cadinene 0,67%.
Gambar 4. Kromatogram minyak atsiri daun cengkeh hasil destilasi
uap air

3. Aktivitas Minyak Atsiri sebagai Antibakteri dan Hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa
Antijamur sejumlah minyak atsiri juga mempunyai aktivitas
Aktivitas biologi minyak atsiri terhadap mikroba terhadap jamur. Aktivitas antijamur yang dimiliki
telah banyak diteliti terutama terhadap bakteri patogen oleh minyak atsiri juga berhubungan dengan senyawa
pada manusia dan hewan. Hasil beberapa penelitian monoterpenik fenol khususnya timol, karvakrol, dan
menunjukkan bahwa sejumlah minyak atsiri mempunyai eugenol (Isman, 2000).
aktivitas terhadap bakteri patogen baik yang bersifat
gram negatif maupun positif dengan nilai MIC (Minimum 4. Aktivitas Minyak Atsiri sebagai Antivirus,
Inhibitory Concentration) yang bervariasi. Sejumlah Antinematoda, dan Antigulma
minyak atsiri juga dilaporkan mempunyai aktivitas Sejumlah minyak atsiri juga dilaporkan dapat
terhadap bakteri pathogen pada tanaman (Hartati et menghambat infeksi dari virus (Koul et al., 2008;
al., 1994; Supriadi et al., 2008; Pradhanang et al., 2003; Reichling, 2009). Hasil penelitian menunjukkan
Vasinauskiene et al.,2006; Kotan et al., 2007). bahwa minyak atsiri juga efektif terhadap virus

7
Riyanto, Minyak Atsiri sebagai Bahan Aktif Konservasi Benda Cagar Budaya

pathogen pada tanaman seperti TMV, CPMV, BCMV, menentukan intensitas bau, harum, serta nilai harga
MBMV, SBMV, CaVMV (Bishop, 1995; Reitz et al., minyak sereh wangi. Kadar komponen kimia penyusun
2008). Menurut Mustika et al. (1994), Sangwan et al. utama minyak sereh wangi tidak tetap dan tergantung
(1990), dan Tariq (2010), sejumlah minyak atsiri dan pada beberapa faktor. Komposisi minyak sereh wangi
komponennya seperti eugenol mempunyai aktivitas dapat terdiri dari beberapa komponen, ada yang
terhadap nematoda parasit tanaman. mempunyai 30-40 komponen, yang isinya antara lain
Selain aktivitasnya terhadap mikroba sejumlah alkohol, hidrokarbon, ester, alaehid, keton, oxida, lactone,
minyak atsiri juga berpotensi untuk digunakan sebagai terpene, dan sebagainya.
herbisida (Batish et al., 2008; Isman, 2000, Zanellato Beberapa jenis minyak atsiri mengandung senyawa
et al., 2009). Menurut Batish et al. (2008), minyak monoterpen yang mempunyai sifat anti mikroba seperti
Eucalyptus dapat mengendalikan gulma yang sifatnya cymene, sabinen, alpha pinen, betapinen, sitronellol,
species spesifik. Minyak cinamon dan pepermin geraniol, carvacrol, thymol, farnesol, dan caryophyllene.
dilaporkan dapat menghambat perkecambahan Struktur dan gugus fungsi yang berperan sebagai
biji beberapa jenis gulma di daerah Mediterania. antibakteri ditunjukkan pada Gambar 5 dan 6.
Sementara minyak lavender juga berpotensi sebagai Penelitian yang telah dilakukan oleh Zanellato
antigulma karena dapat menghambat pertumbuhan et al. (2009) komposisi kimia minyak atsiri bunga
gulma Vicia faba dan mikroba pengganggu tanaman cengkeh dari Turki melalui proses penyulingan uap
(Zanellato et. al., 2009). mendapatkan komponen terbesar adalah 87% eugenol,

5. Aktivitas Minyak Atsiri sebagai Antivirus,


Antinematoda, dan Antigulma
Menurut Dubey et al. (2008), Dubey et al. (2010),
Isman (2000), dan Koul et al. (2008), aktivitas biologi
minyak atsiri terhadap serangga dapat bersifat menolak
(repellent), menarik (attractant), racun kontak (toxic),
racun pernafasan (fumigant), mengurangi nafsu makan
(antifeedant), menghambat peletakan telur (oviposition
deterrent), menghambat petumbuhan, menurunkan
fertilitas, serta sebagai antiserangga vektor. Hasil dari
beberapa penelitian yang telah dilakukan tersebut di atas
menunjukkan bahwa sejumlah minyak atsiri mempunyai Gambar 5. Contoh senyawa monoterpen dan sesqueterpen dalam
minyak atsiri yang mempunyai peran sebagai antibakteri (Oyen and
aktivitas biologi yang berspektrum sangat luas baik Dung, 1999).

terhadap mikroba (bakteri, jamur, virus, nematoda)


maupun terhadap serangga hama dan vektor patogen
yang hidup di sekitar rumah serta serangga hama tanaman.

PEMBAHASAN
Minyak Atsiri Cengkeh dan Sereh untuk Bahan
Konservasi Bangunan Cagar Budaya
Potensi minyak atsiri sebagai pestisida nabati
juga sangat besar ditinjau dari aktivitas biologi, efikasi,
kompatibilitas, organisme sasaran, serta keamanannya
terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. Sebagai
contoh komponen kimia minyak sereh wangi adalah Gambar 6. Contoh senyawa aromatic dan terpenoid dalam minyak
atsiri yang mempunyai peran sebagai antibakteri (Oyen and Dung,
sitronellal dan garaniol. Kedua komponen tersebut 1999).

8
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 4-10

8,01% eugenyl asetat dan 3,56% β-caryophyllene. kimia yang berpotensi untuk membunuh bakteri, lumut,
Sangwan et al. (1990) menganalisa komposisi kimia jamur, dan mikroorganisme, sehingga dapat digunakan
dalam minyak daun cengkeh menggunakan GC-MS sebagai bahan konservan BCB berbahan batu, kayu,
didapat 23 komposisi kimia dengan kadar komponen atau kertas. Oleh karena itu disarankan untuk dilakukan
terbesar adalah eugenol (76,8%), β-caryophyllene penelitian pada BCB secara langsung.
(17,4%), R-humulene (2,1%), dan eugenylacetate (1,2
%). Kesimpulan
Beberapa jenis pestisida berbasis minyak atsiri telah Minyak atsiri dapat diperoleh dari tanaman
diproduksi dan sering digunakan untuk mengendalikan cengkeh, sereh, jahe, nilam dan lain-lain. Pada
patogen, serangga hama, dan vector patogen di lingkungan umumnya mengandung zat aktif yaitu eugenol,
rumah, rumah kaca, dan peternakan. Pestisida berbasis sitronelal, sitronelol, geraniol, sineol, kamphen
minyak atsiri juga mempunyai nilai MIC (Minimum dan pachuoli alcohol. Zat-zat tersebut berpotensi
Inhibitory Concentration) dan LD (Lethal Dose) yang untuk membunuh bakteri, lumut, jamur dan
rendah, kompatibel, dan menghasilkan produk pertanian mikroorganisme, sehingga berpotensi sebagai bahan
yang bebas residu (Hartati, 2012). koservan batu, kayu, atau kertas, yang disarankan
Berdasarkan beberapa penelitian di atas untuk diuji di lapangan pada BCB.
menunjukkan bahwa minyak atsiri mengandung senyawa

Daftar Pustaka

Batish, D. R., H. P. Singh, and R. K. Kohli. 2008. Eucalyptus Developed As Botanical Pesticides), Perspektif, 11 (1):
essential oil as a natural pesticide. Forest Ecology and 45 – 58.
Management 256: 2166-2174. Isman, M. B. 2000. Plant essential oils for pest and disease
Burford, P.E., Kierans, M., Gadd, M.G. 2003, Geomycology: management. Crop Protection. 19: 603-608.
fungi in mineral substrata, Mycologyst 17: 98-107. Koul, O., S. Walia, and G. S. Dhaliwal. 2008. Essential oils
Dubey, N. K. , B. Srivastava, and A. Kumar. 2008. Current as green pesticides: Potential and constrains. Biopesticides.
status of plant products as botanical pesticides in storage Int. 4 (1): 63-84.
pest management. J. of Biopesticides 1 (2):182-186. Kotan, R., F. Dadasoglu, S. Kordali, A. Cakir, N. Dikbas,
Dubey, N. K., R. Shukla, A. Kumar, P. Singh, and B. and R. Cakmakci. 2007. Antibacterial activity of
Prakash. 2010. Prospects of botanical pesticides in essential oils extracted from some medicinal plants,
sustainable agriculure. Current Science, 4 (25): 479- carvacrol, and thymol on Xanthomonas axonopodis pv.
480. vesicatoria (Doidge) dye causes bacterial spot disease on
Gupta, S.P., Sharma, K., and Chhabra, B.S., 2012, pepper and tomato. J. of Agricultural Technology 3 (2):
Biodeterioration and Chemical Conservation, 299-306.
Journal of Conservation Science in Cultural Heritage, Koul, O., S. Walia, and G. S. Dhaliwal. 2008. Essential oils
Vol. 12: 135-147. as green pesticides: Potential and constrains. Biopesticides.
Hartati, S. Y., E. M. Adhi, A. Asman, dan Nuri Karyani. Int. 4 (1): 63-84.
1994. Efikasi minyak cengkeh terhadap bakteri Leisen, H., Plehwe, L.E., and Warrack, S., 2004, Success
Pseudomonas solanacearum. Prosiding Seminar and limits for stone repair mortars based on tetra ethyl
Hasil Penelitian dalam Rangka Pemanfaatan silicate-conservation of the reliefs at Angkor Wat Temple,
Pestisida Nabati, Bogor. Badan Penelitian dan Cambodia. In Proc. of the 10th internet. Congr. On
Pengembangan Pertanian. Balittro. Bogor. Hlm. Deterioration and Conservation of Stone, Stockholm
37-42. 7 June-2 July, Stockholm.
Hartati, S.R., 2012, Prospek Pengembangan Minyak Atsiri Mustika, I. , dan A. Rahmat. 1994. Efikasi beberapa macam
Sebagai Pestisida Nabati (Prospect Of Essential Oils produk cengkeh terhadap nematoda lada. Prosiding

9
Riyanto, Minyak Atsiri sebagai Bahan Aktif Konservasi Benda Cagar Budaya

Seminar Hasil Penelitian dalam Rangka Pemanfaatan Tariq, R.M., Naqvi, S.N.H. Choudhary, M. I. and A.
Pestisida Nabati, Bogor. Badan Penelitian dan Abbas. 2010. Importance and Implementation of
Pengembangan Pertanian. Balittro. Hlm. 49-55. essential oil of Pakistanian Acorus calamus Linn., as a
Oyen, L.P.A and Dung, N.X., 1999, PROSEA (Plant biopesticide. Pakistanian J. Bot. 42 (3): 2043-2050.
Resource of South-East Asia) No. 19 Essential-Oil Triyono, K., dan Soesilo, H., 2012, Metode Konservasi
Plants. Backhuys Publisher, Leiden Netherlands. Benda Cagar Budaya Berbasis Elektro-osmosis, Balai
Pradhanang, P. M., M. T. Momol, S. M. Olson, and J. B. Konservasi Borobudur, Jawa Tengah, Indonesia.
Jones. 2003. Effects of plant essential oils on Ralstonia Vasinauskiene, M., J. Radusiene, I. Zitikaite, and E.
solanacearum population density and bacterial wilt Surviliene. 2006. Atibacterial activities of essential
incidence in tomato. Plant Disease 87:423-427. oils from aromatic and medicinal plants against growth
Reichling, J., P. Schnitzler, U. Suschke, and R. Saller. 2009. of phytopathogenic bacteria. Agronomy Research 4
Essential oils of aromatic plants with antibacterial, (Special issue): 437-440.
antifungal, antiviral, and citotoxic properties-an overview. Winkler, E.M., 1994, Stone in Architecture: Properties,
Forsch Komplementmed. 16: 79-90. Durability with 63 Tables, Springer Science & Business
Reitz, S. R. G. Maiorino, S. Olson, R. Sprenkel, A. Media, New York, USA.
Crescenzi, and M. T. Momol. 2008. Interesting Zanellato, M., E. Masciarelli, L. Cassori, P. Boccia, E.
plant essential oils and kaolin for the sustainable Sturcio, M. Pezzella, A. Cavalieri, and F. Caporali.
management of thrips and tomato spotted wilt on tomato. 2009. The essential oils in agriculture as an alternative
Plant Disease. 92: 878-886. strategy to herbicides: a case study. International J. of
Sangwan, N. K., B. S. Verma, K. K. Verma, and K. S. Environ. and Health. 3: 198-212.
Dhindsa. 1990. Nematicidal activity of some essential
plant oils. Pestic. Sci. 28: 331-335.
Singh, G.M., 2004, Chemical Conservation of Monuments,
Abhilekha, Vol 15: 132-139.
Supriadi, S. H. Hartati, Makmun, N. Karyani. 2008.
Aktivitas biologi minyak atsiri cengkeh-kayumanis
terhadap Ralstonia solanacearum pada jahe. Prosiding
Seminar Nasional engendalian Terpadu Organisme
Pengganggu Tanaman Jahe dan Nilam. Bogor. Hlm:
55-60

10
Kajian Efektivitas Teknik dan Bahan
Konservasi pada Lontar di Bali

Ida Bagus Alit Sancana


Email: sancana@yahoo.com

Abstrak: Naskah lontar adalah warisan budaya yang sangat rentan mengalami kerusakan. Oleh karena itu,
diperlukan suatu tindakan konservasi yang benar untuk tetap menjaga keawetan naskah lontar tersebut dari pengaruh
lingkungan sekitarnya. Berbagai cara konservasi dilakukan untuk melindungi naskah lontar dari kerusakan seperti
menggunakan minyak cengkeh, minyak sereh, minyak kemiri, minyak wijen, campuran griserin, dan etanol, dan
campuran aseton dan minyak sereh. Tulisan ini akan menguji keefektifan bahan-bahan konservasi tersebut dengan
cara melakukan eksperimen pengujian.

Kata kunci: lontar, kerusakan, bahan konservasi, eksperimen, dan efektivitas

Abstract:
Palm leaf manuscript is cultural heritage which can easily deteriorate. Various ways of conservation have
been carried out in museums and people in Bali, such as by spreading the palm leaf manuscripts with clove oil,
citronella oil, candle nut oil, sesame oil, mixture of glycerin and ethanol, and mixture of aceton and citronella oil.
This research will do the test to conservation substance with experimental method.

Key word: palm leaf, deterioration, conservation substance, experiment, and effectiveness

Sebelum manusia mengenal kertas, banyak suatu tindakan konservasi yang benar untuk tetap
media yang digunakan untuk menulis, salah satunya menjaga keawetan naskah lontar tersebut dari
seperti masyarakat Bali yang menggunakan daun dari pengaruh lingkungan sekitar.
pohon siwalan (borasus flabelliformis). Media tulis ini Berbagai cara konservasi dilakukan untuk
disebut dengan nama lontar. menjaga keawetan naskah-naskah lontar yang
Naskah lontar merupakan benda budaya yang disimpan oleh masyarakat atau di museum, salah
memiliki nilai penting, seperti: satunya yaitu dengan cara melapisi naskah lontar
a. Nilai penting sejarah. Banyak manuskrip- menggunakan minyak kemiri (candle nut oil), minyak
manuskrip lontar yang dibuat oleh tokoh-tokoh wijen (sesame oil), minyak cengkeh (clove oil), minyak
terkemuka di Bali. sereh (citronella oil), campuran antara gliserin dan
b. Nilai penting pengetahuan. Isi yang terkandung etanol, dan campuran antara aseton dengan minyak
dalam naskah lontar tersebut sarat dengan berbagai sereh (citronella oil).
pengetahuan yang berguna bagi kehidupan, seperti Penelitian ini akan menguji bahan-bahan konservasi
arsitektur berupa tata cara pembuatan rumah di di atas, tujuannya adalah untuk mendapatkan teknik dan
Bali (asta kosala kosali), hukum berupa peraturan- bahan konservasi yang efektif untuk melindungi lontar
peraturan adat (awig-awig) yang harus ditaati oleh dari kerusakan. Untuk itu perlu dijelaskan bagaimana
masyarakat Bali, dan astrologi (ilmu perbintangan) kondisi lontar yang telah mengalami proses pengujian
yang banyak dipakai sebagai pedoman oleh petani teknik dan bahan konservasi apakah yang efektif
di Bali untuk memulai pekerjaannya di sawah. digunakan untuk melindungi lontar di Bali.
Jika dilihat dari daya tahannya, naskah lontar
merupakan benda budaya yang tidak memiliki daya Metode Penelitian
tahan kuat terhadap pengaruh lingkungan sekitar Metode yang digunakan dalam penelitian ini
dibandingkan dengan benda budaya yang berasal dari adalah teknik eksperimental. Penelitian eksperimental
jenis material anorganik. Maka dari itu, diperlukan adalah metode penelitian yang dilakukan untuk

11
Bagus, Kajian Efektivitas Teknik dan Bahan Konservasi pada Lontar di Bali

mengetahui akibat yang ditimbulkan dari suatu


perlakuan yang diberikan secara sengaja oleh peneliti
terhadap objek yang akan diteliti (Hadi, 1985: 12).
Adapun tahapan eksperimen, sebagai berikut:
a. Penentuan objek eksperimen
Jumlah lontar yang akan dieksperimen yaitu 352
lembar, dengan ukuran panjang 5 cm dan lebar 3,5
cm. Gambar 1. Pengujian lontar terhadap kondisi suhu tinggi
dengan menyimpan lontar di kaleng yang dipanasi lampu pijar

b. Penentuan bahan konservasi


Bahan yang digunakan untuk mengonservasi lontar
berjumlah 44 jenis bahan. Takaran yang digunakan
untuk mencampur dua atau lebih bahan konservasi
yaitu 1:1 (sama banyaknya).

Gambar 2. Pengujian ketahanan lontar terhadap kondisi udara


c. Cara eksperimen lembab dengan menyimpan lontar di kotak plastik

Sebelum dilakukan pengujian, lontar dilapisi bahan


konservasi. Pelapisan dilakukan dengan menggunakan Pengujian ini dilakukan dengan cara
kapas yang telah dibasahi bahan konservasi, kemudian menyimpan lontar di kotak plastik yang
dioleskan ke permukaan (pada sisi depan dan belakang) kedap udara, kemudian diletakan di ruangan
lontar. Setelah itu, lontar didiamkan selama 1 hari tertutup tanpa ventilasi dan jauh dari sumber
agar bahan konservasi meresap ke permukaan lontar. cahaya. Tujuannya adalah untuk mempercepat
Tahap pengujian yang akan dilakukan di antaranya: proses kerusakan pada lontar. Berdasarkan
1. Menguji ketahanan lontar terhadap kondisi pengukuran dengan menggunakan hygrometer,
suhu tinggi RH (Relative Humidity) di ruang penyimpanan
Pengujian ini dilakukan dengan cara lontar mencapai 75%. Kelembaban tersebut
menyimpan lontar di kaleng yang tertutup, sangat mendukung dalam mempercepat proses
kemudian kaleng tersebut disinari dengan pertumbuhan jamur pada lontar, karena
lampu pijar yang memiliki daya 150 watt jamur dapat tumbuh pesat dalam suasana yang
dengan suhu yang dihasilkan sebesar lembab sekitar 70% ke atas (Agrawal, 1977: 42).
31 C
0
(berdasarkan pengukuran dengan Pengujian ini dilakukan selama 34 hari.
menggunakan thermometer). Pemilihan lampu 3. Menguji ketahanan lontar terhadap pengaruh
pijar ini karena suhu yang dihasilkan di atas fluktuasi suhu
suhu ideal untuk penyimpanan koleksi bahan Pengujian ini dilakukan dengan cara menyimpan
pustaka. Menurut Jyotshna Sahoo (2004: 15) lontar di ruangan ber-AC. AC tersebut diaktifkan
idealnya suhu tempat penyimpanan koleksi selama 8 jam (dari pukul 08.00 – 16.00) dan
naskah berkisar antara 200C - 250C, sedangkan dinonaktifkan selama 16 jam (dari pukul 16.00 –
menurut IFLA (International Federation of 08.00). Suhu minimum ruangan yaitu 200C, suhu
Library Associations and Institution) idealnya maksimum ruangan 290C, dan fluktuasi suhu
berkisar antara 160C – 210C (Dureau and yang terjadi di ruangan yaitu 90C. Pengamatan
Clements, 1986: 20). Pengujian ini dilakukan suhu ruangan dilakukan dengan menggunakan
selama 18 hari. thermometer. Pengujian ini dilakukan selama 42
hari.
2. Menguji ketahanan lontar terhadap kondisi 4. Menguji ketahanan lontar terhadap pengaruh
udara yang lembab radiasi cahaya

12
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 11-23

Gambar 3. Pengujian ketahanan lontar terhadap fluktuasi suhu dengan meletakkan lontar di ruangan ber-AC
yang diaktifkan selama 8 jam

Pengujian ini dilakukan dengan cara menyinari


lontar menggunakan lampu pijar. Lampu pijar
yang digunakan untuk menyinari lontar memiliki
daya sebesar 150 watt dengan intensitas cahaya
yang dihasilkan sebesar 180 lux (berdasarkan
pengukuran dengan menggunakan lux meter) dan
suhu yang dihasilkan sebesar 310C (berdasarkan
pengukuran dengan menggunakan thermometer).
Proses penyinaran lontar ini dilakukan secara terus
menerus (24 jam). Pemilihan lampu pijar ini karena
intensitas cahaya yang dihasilkan oleh lampu ini
di atas standar intensitas cahaya untuk koleksi Gambar 4. Pengujian ketahanan lontar
terhadap pengaruh radiasi cahaya
berbahan organik yaitu 50 lux (Jessica, 2006: 35). dengan menyinari lontar menggunakan
lampu pijar
Pengujian ini dilakukan selama 18 hari.
5. Menguji ketahanan lontar terhadap serangan
serangga perusak
Pengujian ini dilakukan dengan cara meletakkan
lontar di kaleng, kemudian dimasukkan rayap
ke kaleng yang telah berisi lontar tersebut.
Pengujian lontar ini dilakukan selama 20 hari.
6. Menguji ketahanan lontar dalam kondisi nyata Gambar 5. Pengujian ketahanan lontar terhadap serangan serangga
dengan menyimpan di kaleng yang berisi rayap
Pengujian ini dilakukan dengan cara (1)
diruangan yaitu 20C. Suhu minimum ruangan
menyimpan lontar di kotak kayu, kemudian
pada percobaan kedua dan ketiga yaitu 200C,
kotak kayu tersebut disimpan di ruangan yang
suhu maximum ruangan 290C, dan fluktuasi
memiliki ventilasi udara dan (2) menyimpan
suhu yang terjadi diruangan yaitu 90C.
lontar di kotak kayu dan lemari kaca, kemudian
Pengujian ini dilakukan selama 42 hari.
kotak kayu dan lemari kaca tersebut disimpan
di ruangan ber-AC. AC ini akan diaktifkan
selama 8 jam (dari pukul 08.00-16.00) dan
d. Penentuan kode eksperimen
dinonaktifkan selama 16 jam (dari pukul 16.00-
Kode-kode eksperimen yang diberikan pada lon-
08.00). Penggunaan AC ini dilakukan selama 5
tar, terdiri dari dua kode yaitu kode huruf dan
hari dalam seminggu, sesuai dengan kebiasaan
kode angka (lihat lampiran 1). Kode huruf meru-
di museum-museum yang menjadi lokasi dalam
pakan kode pengujian yang akan dilakukan ter-
penelitian ini. Suhu minimum ruangan pada
hadap lontar, contohnya A adalah kode untuk
pecobaan pertama yaitu 270C, suhu maximum
lontar yang diuji ketahanannya terhadap kondisi
ruangan 290C, dan Fluktuasi suhu yang terjadi

13
Bagus, Kajian Efektivitas Teknik dan Bahan Konservasi pada Lontar di Bali

1. Kelenturan lontar
Kelenturan lontar dapat diamati dengan cara
membengkokkan lontar 1800. Kualitas kelen-
turan lontar baik apabila lontar dibengkokan
1800 tidak patah. Kualitas kelenturan lontar
kurang apabila lontar dibengkokan 1800 mudah
patah.

2. Warna lontar
Warna lontar dapat diamati dengan cara meli-
hat warna lontar setelah mengalami proses pen-
Gambar 6. Penyimpanan lontar di keropak gujian. Pengamatan warna lontar ini dilakukan
(kotak kayu) dan diletakan di ruangan ber-
ventilasi dengan bantuan color soil charts. Warna awal
lontar sebelum diuji berdasarkan color soil
charts adalah coklat sedang (5YR 3/4).

3. Ukuran lontar
Ukuran lontar dapat diamati dengan cara mengu-
kur panjang dan lebar lontar setelah proses pengu-
jian. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan
penggaris. Ukuran awal lontar yang diuji yaitu pan-
jang 5 cm dan lebar 3,5 cm.

4. Jamur pada lontar


Gambar 7. Penyimpanan lontar di keropak (kotak
kayu) dan diletakan di ruangan ber-AC yang Untuk mengetahui lontar ditumbuhi jamur, dapat
diaktifkan selama 8 jam
diamati dengan cara melihat pertumbuhan spora
pada permukaan lontar. Pengamatan spora yang
menempel pada lontar dapat dilihat secara ka-
sat mata. Spora yang tumbuh pada lontar awal-
nya berupa bintik-bintik berwarna putih dan jika
disentuh terasa seperti kapas.

5. Bentuk lontar
Bentuk lontar dapat diamati dengan cara
membandingkan bentuk awal lontar sebelum
diuji dan setelah mengalami proses pengujian.
Gambar 8. Penyimpanan lontar di lemari kaca
Bentuk awal lontar yaitu persegi panjang
suhu tinggi. Kode angka merupakan kode bahan dengan permukaan yang rata.
konservasi yang akan dioleskan pada lontar, con-
tohnya 1 adalah kode bahan konservasi untuk
minyak kemiri. Jadi kode A1 adalah kode lontar
Hasil Eksperimen
yang dikonservasi dengan minyak kemiri dan diuji
A. Hasil pengujian ketahanan lontar
pada suhu tinggi.
Sebelum dilakukan pengujian sudah terjadi
perubahan warna pada lontar. Perubahan warna tersebut
e. Tolok ukur pengamatan
terjadi setelah lontar didiamkan selama 1 hari. Hasil
Tolok ukur atau parameter yang digunakan untuk
pengamatan terhadap warna lontar dapat dilihat pada
mengamati kualitas lontar yang telah diuji yaitu:
Tabel 1.

14
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 11-23

Perubahan warna lontar menjadi coklat mulai berkurang setelah dipanaskan selama 18 hari.
kehitaman (5YR 2/2) karena pengaruh warna hitam Hasil pengujian lontar pada kondisi lembab
yang berasal dari minyak kemiri. Perubahan warna (75%) yaitu lontar ditumbuhi spora. Data untuk
lontar menjadi coklat sedang (5YR 3/4) ditambah pengamatan pertumbuhan spora pada lontar dapat
dengan warna merah sangat kehitaman (10R 2/2) dilihat pada tabel 3.
berbentuk bulatan-bulatan menyerupai noda Berdasarkan Tabel 3, diketahui bahwa tidak
karena minyak kemiri tidak dapat larut (tercampur) selamanya bahan-bahan konservasi yang digunakan
dengan gliserin sehingga menimbulkan bulatan- efektif untuk menghambat pertumbuhan jamur pada
bulatan berwarna merah sangat gelap tersebut. Ini lontar. Hal ini dilihat dari perbandingan antara lontar
menunjukan bahwa bahan-bahan konservasi tersebut yang diberikan bahan konservasi lebih cepat ditumbuhi
kurang efektif untuk mempertahankan warna awal spora dibandingkan dengan lontar yang tidak diberikan
lontar.
Pengujian lontar pada suhu tinggi menunjukkan
hasil; terjadi penurunan kualitas kelenturan lontar. Data
penurunan kualitas kelenturan lontar selama dipanaskan
pada suhu 310C, dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan
Tabel 2 di atas, bahan-bahan konservasi mampu
melindungi lontar dari pengaruh suhu yang tinggi. Hal
ini dapat dilihat dari perbandingan lontar yang tidak
diolesi bahan konservasi (A0) lebih mudah mengalami
penurunan kualitas kelenturan dibandingkan dengan
lontar yang telah diolesi bahan konservasi. Jika dilihat
dari ke-44 jenis bahan konservasi tersebut, 21 jenis bahan
konservasi lebih ampuh melindungi lontar dari pengaruh
suhu tinggi (310C). Hal ini karena bahan-bahan konservasi Gambar 7. (a) Lontar berwarna coklat kehitaman (5YR 2/2), (b)
lontar berwarna dasar coklat sedang (5YR 3/4) ditambah dengan
tersebut tidak cepat menguap ketika dipanaskan, sehingga warna merah sangat kehitaman (10R 2/2) berbentuk bulatan-bulatan
menyerupai noda, dan (c) lontar berwarna coklat sedang (skala
membuat lontar tidak mudah kering. Kelenturan lontar 5YR3/4)

Tabel 1. Pengamatan Warna Lontar

Kondisi Perubahan Warna Lontar No. Bahan Konservasi


Warna tidak berubah (coklat sedang (5YR 3/4)) 2, 3, 4, 5, 6, 22, 23, 24, 25, 26, 27,
28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 36, 37,
39, dan 41
Berubah menjadi coklat kehitaman 1, 7, 8, 9, 11, 14, 17, 20, 35, 38,
(5YR 2/2) 40, dan 44
Berubah menjadi coklat sedang (5YR 3/4) ditambah dengan warna 10, 12, 13, 15, 16, 18, 19, 21, 42,
merah sangat kehitaman (10R 2/2) berbentuk bulatan-bulatan dan 43
menyerupai noda

Tabel 2. Data Penurunan Kualitas Kelenturan Lontar


Selama Dipanaskan pada Suhu 310C

Lama Lontar yang Mengalami


Paparan Penurunan Kualitas Kelenturan
8 hari A0*
10 hari A1, A6, A11
12 hari A3, A4, A7, A8, A17, A24, A30, A33, A35, dan A38
13 hari A2, A9, A14, A20, A22, A27, A34, A37, A40, dan A44
18 hari A5, A10, A12, A13, A15, A16, A18, A19, A21, A23, A25, A26, A28, A29, A31, A32, A36, A39,
A41, A42, dan A43
* Keterangan: lontar yang tidak diolesi bahan konservasi

15
Bagus, Kajian Efektivitas Teknik dan Bahan Konservasi pada Lontar di Bali

bahan konservasi (B0). terdiri dari fusarium, penicillium, dan aspergillus.


Jenis-jenis jamur yang tumbuh pada lontar Untuk mengetahui jenis jamur yang tumbuh pada
Tabel 3 Data Pertumbuhan Spora pada Lontar

Lama Lontar yang diuji Jenis jamur yang tumbuh


penyimpanan pada lontar
B10 Fusarium, penicillium, dan aspergillus
B12 Penicillium, dan aspergillus
B16 Fusarium, penicillium, dan aspergillus
7 hari B18 Penicillium dan aspergillus
B19 Penicillium, dan aspergillus
B21 Fusarium, penicillium, dan aspergillus
B28 Fusarium, penicillium, dan aspergillus
B29 Fusarium, penicillium, dan aspergillus
B31 Fusarium dan penicillium
B32 Fusarium dan penicillium
B36 Fusarium dan aspergillus
B39 Fusarium, penicillium, dan aspergillus
B1 Fusarium, penicillium, dan aspergillus
10 hari
B8 Penicillium dan aspergillus
B35 Fusarium, penicillium, dan aspergillus
B41 Fusarium dan aspergillus
B42 Penicillium dan aspergillus
10 hari
B43 Fusarium, penicillium, dan aspergillus
B44 Fusarium, penicillium, dan aspergillus
B0* Penicillium, dan aspergillus
12 hari
B37 Penicillium, dan aspergillus
B38 Fusarium dan aspergillus
15 hari B11 Fusarium, penicillium, dan aspergillus
B13 Fusarium, penicillium, dan aspergillus
17 hari
B15 Fusarium dan aspergillus
B33 Fusarium, penicillium, dan aspergillus
B3 Fusarium dan penicillium
19 hari
B34 Fusarium dan penicillium
B40 Fusarium, penicillium, dan aspergillus
B9 Fusarium, penicillium, dan aspergillus
25 hari
B25 Fusarium dan aspergillus
B27 Penicillium, dan aspergillus
B6 Fusarium, penicillium, dan aspergillus
27 hari
B17 Fusarium, penicillium, dan aspergillus
B30 Fusarium, penicillium, dan aspergillus
30 hari B20 Penicillium, dan aspergillus
B26 Penicillium, dan aspergillus
B7 Fusarium dan aspergillus
32 hari
B14 Fusarium dan penicillium
B22 Fusarium, penicillium, dan aspergillus
B2 penicillium, dan aspergillus

34 hari B4 Fusarium dan penicillium


B5 Aspergillus dan Fusarium
B23 Fusarium, penicillium, dan aspergillus
B24 Penicillium, dan aspergillus

* Keterangan: lontar yang tidak diolesi bahan konservasi

16
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 11-23

d. Tahapan akhir, lontar diinkubasi di kotak


inkubator pada suhu 27-280C selama 5 hari.
Miselium yang tumbuh pada lontar selanjutnya
direisolasi pada media PDA (Potato Dextrose Agar)
sampai ditemukan jamur pada lontar. Masing-
masing jamur kemudian diamati secara morfologi
Gambar 8. Spora yang tumbuh pada Lontar
(berdasarkan warna koloni dan teksturnya) dengan
lontar-lontar tersebut, dilakukan metode inkubasi menggunakan mikroskop.
pada setiap lontar yang ditumbuhi spora. Spora- Hasil pengujian lontar pada pengaruh fluktuasi
spora yang tumbuh pada lontar merupakan hasil suhu yaitu terjadi perubahan bentuk pada lontar.
kontaminasi dari berbagai jenis jamur. Tahapan Data perubahan bentuk lontar selama disimpan di
inkubasi lontar yaitu (Samson et al., 1995: 45): ruangan ber-AC dapat dilihat pada Tabel 4.
a. Lontar dipotong kecil dengan ukuran 1 cm x 1 Berdasarkan Tabel 4 di atas, perubahan bentuk
cm yang terjadi pada lontar yaitu berbentuk gelombang,
b. Lontar dicelupkan ke beaker glass yang berisi berbentuk cekung, melengkung pada bagian ujung
alkohol 70% selama 2 menit untuk menghilangkan dan berbentuk cembung.
kontaminasi pada bagian luarnya Hasil pengujian lontar pada pengaruh radiasi
c. Lontar tersebut kemudian dibilas dengan cara cahaya yaitu terjadi perubahan warna pada lontar
mencelupkan ke akuades steril sebanyak 3 kali dan kualitas kelenturan lontar berkurang. Data hasil
dan diletakkan pada permukaan media PDA (Potato pengamatan terhadap warna lontar ketika disinari
Dextrose Agar) yang telah diisi dengan cloramfenikol lampu pijar dengan intensitas cahaya 180 lux, dapat
(100 mg/L) dilihat pada Tabel 5.
Tabel 4. Data Perubahan Bentuk Lontar Selama Penyimpanan
di Ruangan Ber-AC yang Diaktifkan Selama 8 jam
Lama Lontar yang Perubahan bentuk lontar
Penyimpanan diuji
C10 Melengkung pada bagian ujung
C12 Melengkung pada bagian ujung
C13 Melengkung pada bagian ujung
37 hari C15 Melengkung pada bagian ujung
C16 Berbentuk cembung
C18 Menyerupai bentuk gelombang
C19 Berbentuk cekung
C20 Melengkung pada bagian ujung
C21 Menyerupai bentuk gelombang
C25 berbentuk cembung
C26 Melengkung pada bagian ujung
C27 Berbentuk cekung
C28 Berbentuk cembung
C29 Melengkung pada bagian ujung
C31 Berbentuk cekung
C32 Berbentuk cekung
37 hari
C36 Menyerupai bentuk gelombang
C37 Berbentuk cekung
C38 Melengkung pada bagian ujung

C39 berbentuk cembung


C40 Berbentuk cekung
C41 Berbentuk cembung

17
Bagus, Kajian Efektivitas Teknik dan Bahan Konservasi pada Lontar di Bali

C42 Berbentuk cekung


37 hari
C43 Menyerupai bentuk gelombang
C44 Berbentuk cekung
C0* Berbentuk cembung
C5 Berbentuk cembung
C9 Melengkung pada bagian ujung
38 hari
C11 Berbentuk cembung
C14 Berbentuk cekung
C17 Melengkung pada bagian ujung
C22 Melengkung pada bagian ujung
C23 Berbentuk cembung
C24 Berbentuk cembung
C30 Berbentuk cekung
C1 Berbentuk cembung
C2 Melengkung pada bagian ujung
C3 Melengkung pada bagian ujung
42 hari
C4 Melengkung pada bagian ujung
C6 Berbentuk cembung
C7 Berbentuk cekung
C8 Berbentuk cembung
C33 Melengkung pada bagian ujung
C34 Berbentuk cekung
C35 Melengkung pada bagian ujung

* Keterangan: lontar yang tidak diolesi bahan konservasi

Berdasarkan Tabel 5, lontar yang berwarna berwarna coklat sedang (5YR 3/4) ditambah dengan
coklat kehitaman (5YR 2/2) akan berubah warnanya warna merah sangat kehitaman (10R 2/2) berbentuk
menjadi coklat pucat (5YR 5/2). Lontar yang bulatan-bulatan menyerupai noda akan berubah

Gambar 9. (a) Lontar yang berbentuk cembung,


(b) lontar yang berbentuk cekung,
(c) lontar yang melengkung pada bagian ujung, dan
(d) lontar yang bentuk gelombang

Tabel 5. Data Pengamatan Warna Lontar


Selama Disinari Lampu Pijar dengan Intensitas Cahaya 180 Lux
Lama Perubahan warna pada lontar Lontar yang diuji
penyinaran
Berubah menjadi coklat kehitaman (5YR C1, C7, C8, C9, C11, C14, C17, C20,
2/2) C35, C38, C40, dan C44

0 hari# Berubah menjadi coklat sedang (5YR 3/4) C10, C12, C13, C15, C16, C18, C19,
ditambah dengan warna merah sangat C21, C42, dan C43
kehitaman (10R 2/2) berbentuk bulatan-
bulatan menyerupai noda

18
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 11-23

Berubah menjadi jingga keabu-abuan (10YR C0*, C2, C3, C4, C5, C6, C22, C23, C24,
7/4). C25, C26, C27, C28, C29, C30, C31,
C32, C33, C34, C36, C37, C39, dan C41
Berubah menjadi coklat pucat (5YR 5/2) C1, C7, C8, C9, C11, C14, C17, C20,
C35, C38, C40, dan C44
15 hari

Berubah menjadi coklat kemerahan sedang C10, C12, C13, C15, C16, C18, C19,
(10R 4/6) ditambah dengan warna coklat C21, C42, dan C43
kemerahan gelap (10R 4/3)
berbentuk bulatan-bulatan menyerupai noda

* Keterangan: lontar yang tidak diolesi bahan konservasi


# Keterangan: hari sebelum dilakukan pengujian lontar

Gambar 10. (a) Lontar berwarna coklat pucat (5YR 5/2), (b) lontar Gambar 11. Bagian tepi lontar yang rusak karena dimakan rayap
berwarna dasar coklat kemerahan sedang (10R 4/6) ditambah
dengan warna coklat kemerahan gelap (10R 4/3) berbentuk bulatan-
bulatan yang menyerupai noda, dan (c) lontar yang berwarna jingga
keabu-abuan (10YR 7/4) penurunan kualitas kelenturan lontar ketika disinari
dengan lampu pijar yang menghasilkan suhu 310C
warnanya menjadi coklat kemerahan sedang (10R dapat dilihat pada Tabel 6.
4/6) ditambah dengan warna coklat kemerahan gelap Hasil pengujian lontar terhadap serangan rayap
(10R 4/3) berbentuk bulatan-bulatan menyerupai yaitu terjadi perubahan pada bentuk lontar. Bentuk
noda. Lontar yang berwarna coklat sedang (5YR 3/4) lontar setelah mengalami proses pengujian tidak lagi
akan berubah warnanya menjadi jingga keabu-abuan berbentuk persegi panjang. Hal ini karena bagian tepi
(10YR 7/4). Perubahan warna terjadi ketika disinari lontar mengalami kerusakan akibat dimakan oleh
selama 15 hari. rayap.
Berdasarkan pengujian ini dapat disimpulkan Data hasil pengamatan terhadap kondisi
bahwa cara yang paling ampuh untuk melindungi lontar pada pengujian ini dapat dilihat pada Tabel 7.
lontar dari pengaruh radiasi cahaya bukan Berdasarkan Tabel 7 di atas, bahan-bahan konservasi
menggunakan bahan konservasi, tetapi dengan yang digunakan mampu melindungi lontar dari
menyimpan lontar jauh dari paparan cahaya. Data serangan rayap. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan
Tabel 6. Data Penurunan Kualitas Kelenturan Lontar
Selama Disinari dengan Lampu Pijar yang Menghasilkan Suhu 310C
Lama Kode Lontar yang Mengalami
Paparan Penurunan Kualitas Kelenturan
8 hari D0*
10 hari D1, D6, D11
12 hari D3, D4, D7, D8, D17, D24, D30, D33, D35, dan D38
13 hari D2, D9, D14, D20, D22, D27, D34, D37, D40, dan D44
18 hari D5, D10, D12, D13, D15, D16, D18, D19, D21, D23, D25, D26, D28, D29, D31, D32, D36,
D39, D41, D42, dan D43

* Ket: lontar yang tidak diolesi bahan konservasi

19
Bagus, Kajian Efektivitas Teknik dan Bahan Konservasi pada Lontar di Bali

Tabel 7. Hasil Pengamatan Kondisi Lontar Terhadap Serangan Rayap


Lama Penyimpanan Kode Lontar yang Dimakan Rayap
1 hari E0*
13 hari E3, E15, E32, E22, dan E37
14 hari E12, E6, E8, E7, E10, dan E30
15 hari E4, E11, E21, E24, dan E28
16 hari E9, E13, E14, E19, E31, dan E36
17 hari E16, E17, E18, dan E29
18 hari E20, E26, E33, E40, dan E44
19 hari E2, E5, E23, E27, E35, dan E39
20 hari E25, E34, E38, E41, E42, dan E43

* Keterangan: lontar yang tidak diolesi bahan konservasi

antara lontar yang tidak diolesi bahan konservasi pengujian kondisi nyata). Poin nilai yang diberikan
(E0) lebih cepat dimakan rayap dibandingkan untuk bahan-bahan konservasi dibagi menjadi tiga
dengan lontar yang telah diolesi bahan konservasi. kategori yaitu A (sangat ampuh), B (ampuh), dan C
Kemungkinan besar ini terjadi karena zat aktif yang (kurang ampuh).
terdapat pada bahan-bahan konservasi tersebut tidak 1. Pengujian terhadap pengaruh suhu tinggi
disukai oleh rayap. Contohnya geraniol yang terdapat a. Kategori A (Sangat ampuh)
pada minyak sereh (Feriyanto, dkk, 2013: 10). Mampu mempertahankan kelenturan lontar
Hasil pengujian lontar pada kondisi nyata yaitu selama 17 hari dan mampu mempertahankan
kelenturan lontar berkurang. Lontar yang telah diuji warna awal lontar
apabila dibengkokan 1800 mudah patah. Hasil pengamatan b. Kategori B (Ampuh)
terhadap kualitas kelenturan lontar saat pengujian lontar Mampu mempertahankan kelenturan lontar
pada kondisi nyata dapat dilihat pada Tabel 8. selama 12 hari dan mampu mempertahankan
warna awal lontar
B. Hasil Penilaian Kualitas Bahan Konservasi c. Kategori C (Kurang ampuh)
Penilaian bahan konservasi dilakukan untuk • Mampu mempertahankan kelenturan
mendapatkan bahan yang paling efektif dari 44 jenis lontar ≥ 12 hari namun tidak mampu
bahan konservasi yang digunakan. Cara penilaian mempertahankan warna awal lontar
yaitu dengan menghitung poin pada setiap pengu- • Tidak mampu mempertahankan kelenturan
jian yang dilakukan (pengujian kondisi ekstrim dan lontar selama 12 hari namun mampu atau

Tabel 8. Data Pengamatan Kualitas Kelenturan Lontar


pada Pengujian Kondisi Nyata
Kondisi Lontar yang diuji Lama Penyimpanan
Kelenturan
Lontar
F0*, G0*, H0* 39 hari

Menurun F1, F6, F11, G1, G6, G11, H1, H6, dan H11 41 hari
F3, F4, FA7, F8, F17, F24, F30, F33, F35, F38, G3, G4, G7, 42 hari
G8, G17, G24, G30, G33, G35, G38, H3, H4, H7, H8, H17, H24,
H30, H33, H35, dan H38

F2, F5, F9, F10, F12, F13, F14, F15, F16, F18, F19, F20, F21,
F22, F23, F25, F26, F27, F28, F29, F31, F32, F34, F36, F37,
F39, F40, F41, F42, F43, F44, G2, G5, G9, G10, G12, G13,
Tetap/Baik G14, G15, G16, G18, G19, G20, G21, G22, G23, G25, G26, 42 hari
G27, G28, G29, G31, G32, G34, G36, G37, G39, G40, G41,
G42, G43, G44, H2, H5, H9, H10, H12, H13, H14, H15, H16,
H18, H19, H20, H21, H22, H23, H25, H26, H27, H28, H29, H31,
H32, H34, H36, H37, H39, H40, H41, H42, H43, dan H44

* Keterangan: lontar yang tidak diolesi bahan konservasi

20
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 11-23

tidak mampu mempertahankan warna awal lontar selama 15 hari


lontar. 5. Pengujian lontar terhadap serangan serangga
2. Pengujian lontar terhadap pengaruh udara lembab a. Kategori A (Sangat ampuh)
a. Kategori A (Sangat ampuh) Mampu mempertahankan bentuk awal lontar
Mampu menghambat pertumbuhan jamur selama 19 hari dan mampu mempertahankan
selama 33 hari dan mampu mempertahankan warna awal lontar
warna awal lontar b. Kategori B (Ampuh)
b. Kategori B (Ampuh) Mampu mempertahankan bentuk awal lontar
Mampu menghambat pertumbuhan jamur selama 18 hari dan mampu mempertahankan
selama 31 hari dan mempertahankan warna warna awal lontar
awal lontar c. Kategori C (Kurang ampuh)
c. Kategori C (Kurang ampuh) • Mampu mempertahankan bentuk awal
Mampu menghambat pertumbuhan jamur ≥ 31 hari lontar ≥ 18 hari namun tidak mampu
namun tidak mampu mempertahankan warna awal mempertahankan warna awal lontar
lontar 6. Tidak mampu mempertahankan bentuk awal
• Tidak mampu menghambat pertumbuhan lontar selama 18 hari namun mampu atau
jamur selama 31 hari namun mampu atau tidak mampu mempertahankan warna awal
tidak mampu mempertahankan warna awal lontarPengujian lontar pada kondisi nyata
lontar a. Kategori A (Sangat ampuh)
3. Pengujian lontar terhadap pengaruh fluktuasi suhu Mampu mempertahankan kelenturan lontar >
a. Kategori A (Sangat ampuh) 41 hari dan mampu mempertahankan warna
Mampu mempertahankan bentuk awal lontar awal lontar
selama 41 hari dan mampu mempertahankan b. Kategori B (Ampuh)
warna awal lontar Mampu mempertahankan kelenturan lontar
b. Kategori B (Ampuh) selama 41 hari dan mampu mempertahankan
Mampu mempertahankan bentuk awal lontar warna awal lontar
selama 37 hari dan mampu mempertahankan c. Kategori C (Kurang ampuh)
warna awal lontar • Mampu mempertahankan kelenturan
c. Kategori C (Kurang ampuh) lontar ≥ 41 hari namun tidak mampu
• Mampu mempertahankan bentuk awal mempertahankan warna awal lontar
lontar ≥ 37 hari namun tidak mampu • Tidak mampu mempertahankan kelenturan
mempertahankan warna awal lontar lontar selama 41 hari namun mampu atau
• Tidak mampu mempertahankan bentuk tidak mampu mempertahankan warna awal
awal lontar selama 37 hari namun mampu lontar.
atau tidak mampu mempertahankan warna Berdasarkan model penilaian bahan konservasi,
awal lontar didapatkan total poin A (sangat ampuh) terbanyak
4. Pengujian lontar terhadap pengaruh radiasi cahaya yaitu 5 poin. Bahan-bahan konservasi yang
a. Kategori A (Sangat ampuh) mendapatkan poin A (sangat ampuh) sebesar 5 poin,
Mampu mempertahankan warna awal lontar dapat dilihat pada Tabel 9.
> 15 hari Berdasarkan model penilaian bahan konser-
b. Kategori B (Ampuh) vasi (lampiran 2), dapat disimpulkan bahwa:
Mampu mempertahankan warna awal lontar 1. Bahan konservasi yang sangat ampuh untuk me-
selama 15 hari lindungi lontar dari pengaruh suhu panas yaitu:
c. Kategori C (Kurang ampuh) a. Bahan konservasi No. 5: campuran gliserin
Tidak mampu mempertahankan warna awal dan etanol.

21
Bagus, Kajian Efektivitas Teknik dan Bahan Konservasi pada Lontar di Bali

Tabel 9. Bahan Konservasi dengan Poin A (Sangat Ampuh) Terbanyak


No Jenis bahan Konservasi
Bahan
2 Minyak cengkeh
5 Campuran gliserin dan etanol
23 Campuran minyak cengkeh, gliserin, dan etanol
25 Campuran minyak cengkeh, gliserin, etanol, aseton, dan minyak sereh
41 Campuran minyak sereh, minyak cengkeh, gliserin, dan etanol

Tabel 10. Bahan Konservasi yang Paling Efektif


Berdasarkan Penghitungan Poin (A+B) Terbanyak
No Bahan Jenis Bahan Konservasi
2 Minyak cengkeh
5 Campuran gliserin dan etanol
23 Campuran minyak cengkeh, gliserin, dan etanol

b. Bahan konservasi No. 23: campuran minyak Berdasarkan model penilaian bahan konservasi (lam-
cengkeh, gliserin, dan etanol. piran 2), didapatkan bahan konservasi dengan total
c. Bahan konservasi No. 25: campuran minyak poin (A + B) terbanyak yaitu 7 poin. Bahan-bahan
cengkeh, gliserin, etanol, aseton, dan minyak konservasi tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.
sereh.
d. Bahan konservasi No. 41: campuran minyak Penutup
sereh, minyak cengkeh, gliserin, dan etanol. Berdasarkan hasil eksperimen yang dilaku-
2. Bahan konservasi yang sangat ampuh untuk kan terhadap lontar yang telah dilapisi bahan-bahan
menghambat pertumbuhan jamur pada lontar konservasi, terdapat tiga jenis bahan konservasi yang
yaitu: efektif untuk melindungi lontar dari pengaruh suhu
a. Bahan konservasi No. 2: minyak cengkeh. panas, pengaruh fluktuasi suhu, serangan serangga,
b. Bahan konservasi No. 5: campuran gliserin dan menghambat pertumbuhan jamur pada lontar,
dan etanol. yaitu:
c. Bahan konservasi No. 23: campuran minyak a. Minyak cengkeh
cengkeh, gliserin, dan etanol. b. Campuran gliserin dan etanol
3. Bahan konservasi yang sangat ampuh untuk me- c. Campuran minyak cengkeh, gliserin, dan etanol
lindungi lontar dari pengaruh fluktuasi suhu yai-
tu bahan konservasi No. 2: minyak cengkeh. Rekomendasi
4. Bahan konservasi yang sangat ampuh untuk me- Bahan konservasi ini efektif melindungi lon-
lindungi lontar dari serangan serangga yaitu: tar apabila digunakan selama sebulan. Setelah satu
a. Bahan konservasi No. 25: campuran minyak bulan proses konservasi dilakukan lagi. Sebaiknya ba-
cengkeh, gliserin, etanol, aseton, dan minyak han konservasi seperti minyak kemiri dan campuran
sereh. minyak kemiri dengan gliserin tidak digunakan kare-
b. Bahan konservasi No. 41: campuran minyak na dapat mengubah warna lontar. Cara penyimpanan
sereh, minyak cengkeh, gliserin, dan etanol. lontar dapat menggunakan kotak kayu atau lemari
Untuk mendapatkan bahan konservasi yang kaca, namun setiap satu hari sekali kotak kayu atau
efektif dari ke-5 bahan konservasi di atas, dilakukan lemari kaca tersebut harus dibuka agar terjadi sirku-
penjumlahkan poin A (sangat ampuh) dan B (ampuh). lasi udara dalam tempat penyimpanan tersebut.

22
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 11-23

Daftar Pustaka

Agrawal, O.P., 1977, Care and Preservation Johnson S Jessica, 2006, “Museum Collections
of Museum Objects. New Delhi : The Environment-Chapter 4” dalam Museum
Manager Government Of India Press, Handbook-Part 1, National Park Service.
Faridabad
Sahoo, Jyotshna, 2004, “Preservation of Library
Dureau, J.M. dan Clements D.W.G., 1986, Materials : Some Preventive Measures”,
Principles for the Preservation and OHRJ, Vol. XLVII, No. 1. orissa.gov.
Conservation of Library Materials, The in/e-magaz ine/Jour nal/jounalvol1/pdf/
Hague, IFLA. orhj-14.pdf‎.

Feriyanto, Eko Y., Sipahutar PJ., Mahfud, dan Samson, R.A., E.S. Hoekstra, J.C. Frisvad and
Prihatini P., 2013, “Pengambilan Minyak O. Filtenborg, 1995, Introduction to Food
Atsiri dari Daun dan Batang Serai Wangi Borne Fungi. 4th ed. Netherlands: Ponsen
(Cymbopogon winterianus) Menggunakan & Looyen.
Metode Distilasi Uap dan Air dengan
Pemanasan Microwave” dalam Jurusan
Teknik Kimia Volume II. No.2: 10-16,
Surabaya: Fakultas Teknologi Industri,
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
(ITS).
Hadi, Sutrisno, 1985, Metodology Research,
Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas
Psikologi UGM.

23
Efektivitas Buah Lerak (Sapindus Rarak De Candole)
sebagai Bahan Pembersih Logam Perak, Perunggu, dan Besi
Ira Fatmawati
Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur
Email: ira_fatmawati_chem@yahoo.com

Abstrak: Kearifan tradisional dengan memanfaatkan bahan-bahan yang berasal dari alam perlu dikembangkan dan
dilestarikan guna mengurangi dampak negatif dari bahan kimia sintetis. Salah satu bentuk kearifan tradisional itu
adalah penggunaan buah lerak sebagai bahan pembersih logam. Adanya kandungan saponin menjadikan buah lerak
dapat digunakan sebagai bahan baku sabun yang aman, ekonomis, reversibel, dan ramah lingkungan. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan larutan lerak serta metode yang tepat untuk membersihkan logam
perak, perunggu, dan besi menggunakan larutan tersebut. Sampel yang digunakan adalah mata uang Ma berbahan
perak, mata uang Cina berbahan perunggu, dan sabit berbahan besi. Larutan lerak dibuat dengan mencampur 60
gram buah lerak ke dalam 250 ml air panas. Selanjutnya buah ditumbuk dan didiamkan dalam air tersebut selama
24 jam kemudian disaring. Sampel dibersihkan dengan larutan lerak menggunakan dua metode, yaitu : disikat
dan direndam. Metode perendaman dilakukan selama 30 menit, 1 jam, 3 jam, 6 jam, dan 24 jam. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa larutan lerak efektif sebagai bahan pembersih logam perak dan perunggu dengan metode
perendaman selama 24 jam kemudian disikat. Namun untuk logam besi, perendaman dalam larutan lerak selama
24 jam kurang efektif karena belum mampu menghilangkan seluruh korosi yang ada di permukaannya.

Kata kunci : lerak, perak, perunggu, dan besi

Abstract: Traditional wisdom by utilizing ingredients derived from nature need to be developed and
preserved in order to reduce the negative impact of synthetic chemicals. One of traditional wisdom is the
use of lerak fruit as metal cleaning agents. The presence of saponins make lerak fruit can be used as raw
material for soap that is safe, economical, reversible, and eco friendly. This research was conducted to
determine the effectiveness lerak solution and the proper method for cleaning metal silver, bronze, and
iron using the solution. The sample used was the Ma coin made from silver, the Chinese coin made from
bronze, and sickle made from iron. Lerak solution were made by mixing 60 grams of lerak fruit into 250
ml of hot water. Furthermore, fruit is crushed and allowed to stand in the water for 24 hours and then
filtered. Samples were cleaned with a lerak solution using two methods : brushed and soaked. Soaking
method carried out for 30 minutes, 1 hour, 3 hours, 6 hours, and 24 hours. The results showed that the
lerak solution is effective as a cleansing agent for metallic silver and bronze by the method of soaking for 24
hours then brushed. But for ferrous metals, soaking in the lerak solution for 24 hours less effective because
not been able to eliminate all the existing corrosion on the surface.

Keywords : lerak, silver, bronze, and iron

PENDAHULUAN menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di


A. Latar Belakang dalam komunitas ekologi disebut kearifan tradisional
Alam menyimpan sejuta potensi yang dapat yang harus terus digali dan dikembangkan agar
dimanfaatkan untuk kelangsungan hidup manusia. kelestariannya tetap terjaga. Adapun menurut
Dengan kemajuan ilmu dan teknologi yang Moendardjito dalam Satyananda (2013), tradisi dapat
berkembang saat ini, tidak menutup kemungkinan berkembang menjadi kearifan tradisional apabila
potensi alam tersebut dapat dieksploitasi dengan lebih mampu bertahan terhadap budaya luar, memiliki
baik, meskipun tidak menampik fakta bahwa tradisi kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya
leluhur terkadang masih bersifat tepat guna dan secara luar, mempunyai kemampuan mengintegrasikan
ilmiah dapat dipertanggungjawabkan keefektifannya. unsur budaya luar ke dalam budaya asli, mempunyai
Artinya, tradisi tersebut masih relevan dengan kemampuan mengendalikan, dan mampu memberi
perkembangan zaman sehingga keberadaannya tetap arah pada perkembangan budaya.
dipertahankan hingga kini. Menurut Keraf (2002), Salah satu bentuk kearifan tradisional yang
semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman cukup dikenal oleh masyarakat adalah penggunaan
atau wawasan, serta adat kebiasaan atau etika yang lerak sebagai sabun tradisional. Namun, beredarnya
24
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 24-31

bahan-bahan kimia sintetis yang lebih praktis jenis logam apakah yang menunjukkan kenaikan
menjadikan lerak kurang banyak diminati sehingga tingkat kebersihannya dengan larutan tersebut.
ketersediaannya pun kini semakin langka. Dari 2. Untuk mengetahui metode pembersihan logam
beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh yang paling sesuai dengan menggunakan larutan
mahasiswa dan para peneliti menunjukkan bahwa lerak.
lerak memiliki berbagai manfaat mulai dari sabun D. Manfaat Penelitian
wajah, sabun pencuci batik, pembersih logam, 1. Hasil pengujian diharapkan dapat dijadikan
pembersih kamar mandi, pembasmi serangga, hingga sebagai metode alternatif pembersihan logam
pembasmi jamur. Selain memiliki keefektifan yang yang aman, ekonomis, reversibel, dan ramah
tinggi sebagai bahan pembersih, lerak juga bersifat lingkungan.
aman, ekonomis, reversibel, dan ramah lingkungan. 2. Mengurangi penggunaan bahan kimia sintetis
Dengan melihat banyaknya manfaat dan kelebihan yang terkadang menimbulkan dampak negatif
sifat yang dimiliki lerak, maka penggunaannya perlu terhadap cagar budaya.
dikembangkan terutama sebagai bahan pembersih
logam. TINJAUAN PUSTAKA
Museum Majapahit yang terletak di Kabupaten
A. Logam
Mojokerto tepatnya di daerah Trowulan merupakan
Menurut Achmad (2001), logam adalah unsur
museum arkeologi yang menyimpan berbagai artefak
yang jumlah elektron di kulit terluar atomnya lebih
tinggalan Kerajaan Majapahit. Koleksi logam yang
kecil atau sama dengan nomor periode. Hampir
dimiliki museum tersebut antara lain berbahan perak,
empat per lima dari unsur-unsur adalah logam yang
perunggu, dan besi yang dalam pembersihannya seringkali
gaya ikatnya disebabkan adanya elektron-elektron
menggunakan bahan kimia sintetis. Untuk mengurangi
yang terdelokalisasi. Derajat kohesi besar sebagai
dampak negatif penggunaan bahan kimia sintetis sebagai
akibat dari elektron-elektron yang terdelokalisasi
pembersih logam, maka bahan-bahan alami yang memiliki
menyebabkan logam memiliki titik leleh, titik didih,
keefektifan sama perlu dikembangkan yang berarti juga
dan kerapatan yang tinggi. Dan terjadinya mobilitas
melestarikan kearifan tradisional. Oleh karena itu, dalam
elektron valensi menyebabkan logam mempunyai
penelitian ini dilakukan pengujian pembersihan logam
daya hantar listrik serta panas yang baik.
perak, perunggu, dan besi menggunakan larutan lerak
Selain sifat-sifat tersebut, logam juga memiliki
dengan dua metode, yaitu : disikat dan direndam. Dengan
sifat yang tidak dimiliki oleh unsur nonlogam, antara lain
mengetahui keefektifan larutan lerak sebagai bahan
berwujud padat, keras, dan kuat pada suhu kamar, kecuali
pembersih, maka bahan alami ini dapat diaplikasikan
raksa (Hg); permukaannya licin dan mengkilap; mudah
pada benda cagar budaya berbahan logam.
ditempa dan diregangkan; dan memiliki energi ionisasi
yang kecil sehingga cenderung melepaskan elektron.
B. Rumusan Masalah
Permukaan logam umumnya mengalami oksidasi
1. Seberapa efektifkah larutan lerak sebagai bahan
ketika berada di udara pada temperatur ruang dan
pembersih logam?
membentuk lapisan oksida sangat tipis (lapisan kusam).
2. Adakah perbedaan hasil yang dicapai pada
Korosi “kering” ini sangat terbatas dan hanya merusak
sampel yang berbeda dengan perlakuan yang
sebagian kecil permukaan logam. Namun pada temperatur
sama?
tinggi, hampir semua logam dan paduan bereaksi dengan
3. Apakah metode penyikatan dan perendaman
lingkungan sekitarnya dengan laju yang cukup tinggi
mempengaruhi tingkat kebersihan logam?
dan membentuk lapisan oksida tebal (kerak) yang tidak
bersifat melindungi. Pada korosi “basah” atau korosi
C. Tujuan Penelitian
berair terjadi serangan elektrokimia karena adanya air dan
1. Untuk mengetahui keefektifan larutan lerak
dapat merusak permukaan logam serta menjadi penyebab
sebagai bahan pembersih logam dan memastikan

25
Fatmawati, Efektivitas Buah Lerak (Sapindus Rarak De Candole) sebagai Bahan Pembersih Logam Perak, Perunggu, dan Besi

berbagai permasalahan di semua cabang industri (Pinem, kusam berbentuk bulat dan keras itu dapat berukuran
2005 : 303). 1 m. Biji tanaman berbentuk bulat, keras, dan
Menurut Vlack (1991) dalam Bayuseno (2009), berwarna hitam. Buahnya berbentuk bulat, keras,
NACE (National Association of Corrosion Engineer) diameter ± 1,5 cm, dan berwarna kuning kecoklatan.
mendefinisikan korosi sebagai penurunan mutu Di dalam buah terdapat daging buah yang aromanya
suatu material (biasanya baja) atau sifat-sifatnya wangi. Tanaman lerak mulai berbuah pada umur 5 –
yang diakibatkan oleh reaksi dengan lingkungannya. 15 tahun. Pada umumnya musim berbuah pada awal
Dan menurut Cahyandaru (2012), peristiwa korosi musim hujan dan menghasilkan biji sebanyak 1.000
paling banyak terjadi pada logam besi karena hasil – 1.500 biji.
oksidasi besi menghasilkan besi oksida yang porous Berdasarkan hasil penelitian yang dimuat di
dan menyebabkan reaksi korosi lebih lanjut. Hal ini beberapa jurnal menyebutkan bahwa buah, kulit
berbeda dengan logam seng, timah, maupun timbal batang, biji, dan daun tanaman lerak mengandung
yang walaupun lebih mudah mengalami korosi, hasil saponin, alkaloid, steroid, antikuinon, flavonoid,
oksida korosinya akan menutupi permukaan sehingga polifenol, dan tanin. Menurut Widowati (2003)
korosi lebih lanjut tidak terjadi. Lain pula dengan dalam Syahroni (2013), saponin terdapat pada
tembaga, perunggu, dan paduannya yang berbahan semua bagian tanaman Sapindus dengan kandungan
dasar tembaga. Korosi yang terjadi menyebabkan tertinggi terdapat pada bagian buah. Saponin berasal
terbentuknya dua lapisan oksida. dari bahasa latin Sapo yang berarti sabun karena
sifatnya yang menyerupai sabun. Saponin merupakan
B. Lerak senyawa kimia yang berasal dari metabolit sekunder
Sapindus rarak De Candole merupakan nama yang banyak diperoleh dari tumbuh-tumbuhan.
binomial dari lerak yang dikenal di Jawa sebagai Struktur kimia saponin yang terdiri dari senyawa
klerek, di Sunda sebagai rerek, di Palembang sebagai polar dan non-polar menjadikan buah lerak dikenal
lamuran, di Kerinci sebagai kalikea, dan di Minang sebagai soapberry atau soapnut. Saponin memiliki sifat
sebagai kanikia. Lerak termasuk dalam divisi berasa pahit, berbentuk busa stabil dalam air, bersifat
Spermatophyta yang tumbuh di daerah Jawa dan racun bagi hewan berdarah dingin (seperti : ikan,
Sumatera dengan ketinggian 450 – 1500 m di atas siput, dan serangga), dapat menstabilkan emulsi, dan
permukaan air laut. Tinggi tanaman dapat mencapai menyebabkan hemolisis (rusaknya sel darah merah).
15 – 42 m dan batang kayu yang berwarna putih Menurut Sukmasari (2006), saponin temasuk
glikosida yang apabila dihidrolisis akan menghasilkan

Foto 1: Bagian luar buah lerak


Gambar 1 Struktur Steroid

Gambar 2 Struktur Triterpenoid

Foto 2: Bagian dalam buah lerak Sumber : Hanafi (2014)

26
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 24-31

sakarida (bersifat hidrofilik) dan sapogenin (bersifat 6. Larutan lerak siap digunakan.
lipofilik). Sapogenin terdiri dari dua golongan, yaitu: Prosedur penelitian :
saponin steroid dan saponin triterpenoid. Adanya Dalam penelitian ini, sampel dibersihkan dengan
kandungan saponin yang bersifat hidrofilik dan larutan lerak menggunakan dua metode, yaitu : disikat
lipofilik tersebut menjadikan buah lerak bersifat dan direndam. Prosedur penelitian untuk ketiga logam
surfaktan sehingga dapat digunakan sebagai bahan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
baku sabun. Di Jawa, khasiat buah lerak ternyata telah Metode pertama :
lama dikenal oleh masyarakat sebagai sabun pencuci 1. Sampel logam perak dapat langsung disikat
batik. Menurut Heyne (1987) dalam Fitrawati (2007) dengan larutan lerak, sedangkan untuk logam
menyebutkan bahwa buah lerak juga dapat digunakan perunggu dan besi yang di permukaannya tidak
untuk mencuci logam, sebagai obat jerawat, obat hanya berupa korosi melainkan juga tanah yang
eksim, obat kudis, serta pembunuh serangga. telah mengering, maka sebaiknya dilakukan
pembersihan terlebih dahulu menggunakan
Metode Penelitian sikat dan scalpel.
Penelitian ini menggunakan sampel dari tiga jenis 2. Kemudian sampel dibilas air mengalir dan
logam yang unsur penyusunnya berbeda, antara lain dikeringkan.
: mata uang Ma berbahan perak, mata uang Cina Metode kedua :
berbahan perunggu, dan sabit berbahan besi. Bahan, 1. Sampel logam perunggu dan besi yang telah
alat, serta prosedur penelitian dapat dijelaskan sebagai dibersihkan menggunakan scalpel selanjutnya
berikut : direndam dalam larutan lerak sedangkan logam
Bahan : perak langsung direndam dalam larutan lerak.
1. Buah lerak Perendaman dilakukan dengan variasi waktu : 30
2. Air menit, 1 jam, 3 jam, 6 jam, dan 24 jam.
Alat : 2. Selanjutnya, sampel disikat dengan larutan
1. Timbangan digital lerak dan dibilas air mengalir kemudian
2. Gelas kimia dikeringkan.
3. Cawan petri
4. Lumpang dan alu porselin HASIL DAN ANALISIS
5. pH indicator paper Pembuatan larutan lerak menggunakan air
6. Pembakar spiritus panas untuk merendam buah lerak. Hal ini bertujuan
7. Spatula agar daging buah menjadi lunak sehingga mudah
8. Scalpel dihancurkan karena umumnya buah lerak yang
9. Sikat dijumpai di pasar dalam keadaan kering. Buah lerak
10. Alat penyaring yang daging buahnya berwarna coklat kehitaman
Prosedur pembuatan larutan lerak : tersebut apabila ditumbuk akan mengeluarkan busa
1. Menyiapkan bahan dan alat yang diperlukan. yang berwarna putih kecoklatan dan beraroma wangi.
2. Menimbang buah lerak hingga mencapai massa ± Selanjutnya, buah lerak yang telah hancur
60 gram atau setara dengan ± 15 biji buah lerak. tersebut dimasukkan lagi dalam air sehingga warna
3. Memasukkan buah lerak ke dalam gelas kimia yang air berubah dari kuning kecoklatan menjadi coklat
berisi 250 ml air panas. kehitaman dan berbusa. Setelah direndam selama
4. Didiamkan beberapa saat sampai buah menjadi ± 24 jam, buah dapat dipisahkan dari larutannya.
lunak kemudian tumbuk daging buahnya Apabila diuji dengan pH indicator paper, larutan lerak
menggunakan lumpang dan alu porselin. tersebut menunjukkan angka yang berkisar antara 4
5. Membiarkan buah lerak di dalam air tersebut – 6, artinya larutan bersifat asam. Larutan lerak yang
selama ± 24 jam kemudian saring. berwarna coklat kehitaman dan beraroma wangi

27
Fatmawati, Efektivitas Buah Lerak (Sapindus Rarak De Candole) sebagai Bahan Pembersih Logam Perak, Perunggu, dan Besi

yaitu metode perendaman yang dilanjutkan dengan


penyikatan dilakukan variasi waktu perendaman
selama 30 menit, 1 jam, 3 jam, 6 jam, dan 24 jam.
Dari hasil pengamatan dapat diketahui bahwa pada
perendaman selama 30 menit, logam mulai terlihat bersih
sehingga tampak perbedaan yang signifikan antara logam
yang hanya disikat dibanding logam yang direndam
kemudian disikat. Logam yang direndam selama 1 jam
terlihat lebih bersih dan mengkilap. Tingkat kebersihan
Foto 3 Pembuatan larutan Foto 4 Larutan lerak yang
lerak siap digunakan dan kecemerlangan logam semakin meningkat seiring
inilah yang digunakan untuk membersihkan logam. dengan lamanya waktu perendaman dan mencapai hasil
Dalam penelitian ini, larutan lerak yang dibuat optimal setelah dilakukan perendaman selama 24 jam.
langsung diaplikasikan pada logam dan setelah dua hari Pembersihan logam perak menggunakan larutan
dari proses pembuatannya larutan tersebut tidak lagi lerak dengan metode perendaman, tingkat kebersihan
digunakan karena apabila lebih dari tiga hari, larutan yang ditandai dengan berkurangnya noda kehitaman pada
akan mengeluarkan bau yang kurang sedap. Oleh karena permukaan logam serta meningkatnya kecemerlangan
itu, pembuatan larutan lerak dilakukan sehari sebelum logam dapat dicapai ketika waktu perendaman semakin
pembersihan logam. lama. Pembersihan akan memberikan hasil yang maksimal
Pembersihan logam perak, perunggu, dan besi setelah logam yang direndam tersebut disikat. Dengan
menggunakan larutan lerak diperoleh hasil sebagai demikian dapat disimpulkan bahwa logam perak dapat
berikut : dibersihkan dengan larutan lerak menggunakan metode
A. Logam Perak perendaman selama 24 jam dan dilanjutkan penyikatan.
Dalam penelitian ini dilakukan dua metode Hasil perlakuan kedua metode pada logam perak dapat
pembersihan, yaitu penyikatan dan perendaman yang ditunjukkan pada Tabel 1.
dilanjutkan dengan penyikatan. Berdasarkan hasil
pembersihan logam perak menggunakan larutan lerak B. Logam Perunggu
dengan metode penyikatan menunjukkan bahwa Seperti halnya logam perak, pembersihan logam
sebagian besar noda kehitaman pada logam masih perunggu juga menggunakan dua metode. Namun
melekat dan warna tetap kusam. Ini menandakan sebelum dilakukan perlakuan, kotoran yang menempel
bahwa metode penyikatan saja kurang efektif dalam pada permukaan logam perunggu terlebih dahulu
pembersihan logam perak. Pada metode kedua, dibersihkan menggunakan scalpel. Berdasarkan hasil
Tabel 1 Hasil perlakuan larutan lerak pada logam perak
No. Metode Penelitian Sebelum Perlakuan Setelah Perlakuan

1 Disikat

2 Direndam 30 menit

3 Direndam 1 jam

4 Direndam 3 jam

5 Direndam 6 jam

6 Direndam 24 jam

28
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 24-31

Tabel 2 : Hasil perlakuan larutan lerak pada logam perunggu


No. Metode Penelitian Sebelum Perlakuan Setelah Perlakuan

1 Disikat

2 Direndam 30 menit

3 Direndam 1 jam

4 Direndam 3 jam

5 Direndam 6 jam

6 Direndam 24 jam

pembersihan logam perunggu menggunakan larutan perlu dibersihkan agar hasil yang dicapai lebih optimal.
lerak diketahui bahwa logam yang hanya dibersihkan Hasil perlakuan logam perunggu dengan larutan lerak
dengan penyikatan, hasilnya kurang maksimal, ditandai tersaji pada Tabel 2.
dengan masih melekatnya kotoran pada permukaan
logam. Ini menunjukkan bahwa metode penyikatan saja C. Logam Besi
tidak mampu membersihkan logam. Permukaan logam terlebih dahulu dibersihkan
Pada metode perendaman yang dilanjutkan menggunakan sikat dan selanjutnya direaksikan
penyikatan, tingkat kebersihan logam mulai terlihat dengan larutan lerak. Metode yang digunakan masih
setelah logam direndam selama 30 menit dan hampir sama seperti sebelumnya, yaitu: disikat dan direndam
tidak ada perbedaan yang signifikan pada logam yang kemudian disikat. Hasil pengujian menunjukkan
direndam selama 1 jam, 3 jam, dan 6 jam. Namun, ketika bahwa logam yang hanya disikat, sebagian besar
logam direndam dalam larutan lerak selama 24 jam, korosi masih melekat di permukaannya. Jadi, metode
sebagian besar kotoran yang menempel dapat terangkat ini kurang efektif dalam membersihkan logam besi.
sehingga logam terlihat lebih bersih. Hasil pembersihan Pada metode perendaman yang dilanjutkan dengan
pada logam perunggu ternyata berbeda dengan logam penyikatan dilakukan variasi waktu perendaman, yaitu:
perak yang tingkat kebersihannya terlihat jelas di tiap 30 menit; 1 jam; 3 jam; 6 jam; dan 24 jam. Logam yang
perlakuannya. telah direndam selama 30 menit kemudian disikat terlihat
Selain lamanya waktu perendaman, keberhasilan sedikit lebih bersih dibanding sebelum perlakuan. Ini
dalam pembersihan logam perunggu menggunakan terjadi karena kotoran berupa tanah yang menempel di
larutan lerak juga dipengaruhi oleh penyikatan, permukaan logam menghilang, tetapi korosi berwarna
yang mana tingkat kebersihan logam dicapai secara merah kecoklatan masih melekat. Sedangkan logam
maksimal setelah logam yang direndam tersebut yang direndam selama 1 jam ternyata tidak jauh berbeda
disikat. Selain itu, teknik pembersihan menggunakan dengan logam yang direndam selama 30 menit yang mana
scalpel sebelum dilakukan perlakuan dengan larutan korosi masih melekat di permukaannya.
lerak juga turut mendukung tercapainya kebersihan Dalam waktu 2 jam, larutan lerak yang berisi
pada logam perunggu. logam besi berubah warna menjadi hitam kecoklatan
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada bagian atas dan bagian bawah berwarna coklat
logam perunggu dapat dibersihkan dengan larutan lerak muda. Setelah direndam selama 3 jam kemudian
menggunakan metode perendaman selama 24 jam disikat, kotoran pada logam terlihat menghilang dan
dan dilanjutkan dengan penyikatan. Namun sebelum korosi berkurang. Warna putih keperakan dari logam
dilakukan perlakuan, kotoran pada permukaan logam besi mulai terlihat meskipun hanya di sebagian kecil

29
Fatmawati, Efektivitas Buah Lerak (Sapindus Rarak De Candole) sebagai Bahan Pembersih Logam Perak, Perunggu, dan Besi

Tabel 3 Hasil perlakuan larutan lerak pada logam besi


No. Metode Penelitian Sebelum Perlakuan Setelah Perlakuan

1 Disikat

2 Direndam 30 menit

3 Direndam 1 jam

4 Direndam 3 jam

5 Direndam 6 jam

6 Direndam 24 jam

permukaan logam. dapat disimpulkan bahwa :


Logam yang direndam selama 6 jam terlihat lebih a. Larutan lerak merupakan bahan pembersih
bersih karena korosi di permukaannya berkurang yang efektif untuk logam perak yang mana
sehingga tampak perbedaan yang signifikan dengan tingkat kebersihan dan kecemerlangan logam
logam yang direndam selama 3 jam. Dan ketika semakin meningkat seiring dengan lamanya
waktu rendaman ditingkatkan menjadi 24 jam, maka waktu perendaman. Seperti halnya logam
hampir seluruh korosi yang ada di permukaan logam perak, logam perunggu juga dapat dibersihkan
terangkat sehingga warna putih keperakan tampak dengan larutan lerak dengan waktu perendaman
lebih dominan. Meski logam terlihat lebih bersih selama 24 jam. Sedangkan penggunaan larutan
dibanding perlakuan sebelumnya, namun perlakuan lerak untuk logam besi kurang efektif apabila
ini masih belum mampu menghilangkan seluruh dilakukan perendaman selama 24 jam.
korosi yang ada di permukaan logam. b. Metode pembersihan logam menggunakan
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa larutan lerak dengan variasi waktu perendaman
larutan lerak kurang efektif sebagai bahan pembersih menunjukkan hasil yang hampir sama antara
logam besi dengan metode perendaman selama 24 jam logam perak dan perunggu sedangkan logam
dan dilanjutkan dengan penyikatan. Perbedaan hasil besi berbeda. Untuk logam perak dan perunggu
pembersihan logam besi dengan larutan lerak dapat tingkat kebersihan dan kecemerlangannya
terlihat pada Tabel 3. mencapai hasil optimal setelah direndam selama
24 jam. Sedangkan untuk logam besi, meskipun
PENUTUP warna putih keperakan mulai terlihat setelah
Berdasarkan hasil pembersihan logam perak, direndam selama 3 jam, namun perendaman
perunggu, dan besi menggunakan larutan lerak, maka selama 24 jam belum memberikan hasil yang

30
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 24-31

optimal. mengetahui lamanya waktu perendaman yang paling


c. Metode penyikatan saja tidak efektif dalam efektif dalam membersihkan logam besi. Dengan
membersihkan logam perak, perunggu, dan besi. mengetahui keefektifan dari larutan lerak, maka
Untuk mendapatkan hasil yang optimal, maka diharapkan bahan alami ini dapat menjadi metode
metode pembersihan yang digunakan adalah alternatif dalam pembersihan cagar budaya berbahan
perendaman dan dilanjutkan dengan penyikatan. logam.

Demikian hasil pengujian efektivitas larutan lerak


sebagai bahan pembersih logam perak, perunggu, dan
besi. Penelitian lanjutan perlu dikembangkan untuk

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, Hiskia. 2001. Kimia Unsur dan Radiokimia. Piputri, Debrita Ayu dan Dewi Lutfiati. 2014. Pengaruh
Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. Frekuensi Pencucian Dengan Menggunakan
Anonim. 2009. Lerak (Sapindus rarak) Tanaman Lerak (Sapindus rarak De Candole) pada
Industri Pengganti Sabun. Jurnal Warta Penelitian Ketajaman Warna Batik Dulit Gresik. e-Journal
dan Pengembangan Tanaman Industri Volume 15 Volume 03 Nomor 01 Tahun 2014 Edisi Yudisium
Nomor 22 Agustus 2009. Badan Penelitian dan Periode Februari 2014. Universitas Negeri
Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Surabaya.
Pengembangan Perkebunan. Sukmasari, May dan Tjitjah Fatimah. 2006. Analisis Kadar
Bayuseno, Athanasius P. 2009. Analisa Laju Korosi pada Saponin dalam Daun Kumis Kucing Dengan
Baja Untuk Material Kapal Dengan dan Tanpa Menggunakan Metode TLC-Scanner. Jurnal
Perlindungan Cat. Jurnal Rotasi Volume 11 Nomor Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian.
3 Juli 2009. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.
Cahyandaru, Nahar. 2012. Konservasi Logam Secara Umum. Syahroni, Yan Yanuar dan Djoko Prijono. 2013. Aktivitas
Balai Konservasi Peninggalan Borobudur. Insektisida Ekstrak Buah Piper aduncum
Disampaikan dalam Bimbingan Teknis L. (Piperaceae) dan Sapindus rarak DC.
Konservasi Benda-benda Logam tanggal 13 – 17 (Sapindaceae) serta Campurannya Terhadap
Juli 2012. Larva Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera
Fitrawati, Juni. 2007. Skripsi Efek Antifungal Berbagai : Crambidae). Jurnal Entomologi Indonesia Volume
Sediaan dari Buah Lerak Terhadap Candida albicans 10 Nomor 1 : 39 – 50 April 2013. Departemen
(Penelitian In Vitro). Medan : Fakultas Kedokteran Proteksi Tanaman. Fakultas Pertanian. Institut
Gigi. Universitas Sumatera Utara. Pertanian Bogor.
Hanafi, Moh. Makalah Saponin. http://www.mhanafi123. Vlack, Van dan H. Lawrence. 1994. Ilmu dan Teknologi
wordpress.com diakses tanggal 7 April 2014. Bahan (Ilmu Baja dan Bukan Baja) 5th ed. Erlangga.
Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jakarta : Widowati L. 2003. Sapindus rarak DC. In : Lemmens
Badan Litbang Kehutanan. RHMJ. Bunyapraphastsara N (Eds). Plant
Keraf, S. A. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta : Buku Resources of South-East Asia Vol 12 (3).
Kompas. Medicinal and Poisonous Plants. pp. 358-359.
Pinem, Muhamad Daud. 2005. Korosi dan Rekayasa Bogor : Prosea Foundation.
Permukaan. Jurnal Teknik Simetrika Volume 4
Nomor 1 April 2005 : 301 – 306.

31
Konservasi Berbasis Kearifan Lokal
di Situs Benteng Puteri Hijau, Deli Serdang, Sumatera Utara
Stanov Purnawibowo
Balai Arkeologi Medan
Email: anop_siva@yahoo.com

Abstrak: Penanaman pohon pisang barangan (Musa paradisiaca sapientum L) pada benteng tanah yang
dinyatakan sebagai tinggalan arkeologis di situs Benteng Puteri Hijau merupakan suatu wujud kearifan
lokal dalam aktivitas konservasi material. Penelitian ini mencoba mencari formulasi bentuk kearifan
lokal pada konservasi benteng tanah di situs Benteng Puteri Hijau. Penelitian tersebut dilakukan dengan
pengamatan lapangan keberadaan tanaman pisang di gundukan tanah serta mewawancarai pemiliknya,
kemudian mengelaborasinya dengan kepustakaan yang berkaitan dengan konservasi tanah. Penelitian ini
dimaksudkan untuk mencari bentuk konservasi berbasis kearifan lokal yang bertujuan untuk menambah
ragam jenis bentuk konservasi material terhadap tinggalan arkeologi di Indonesia secara umum.

Kata kunci: benteng tanah, konservasi, pohon pisang barangan, erosi, kearifan lokal

Abstracts: Using trees of ‘barangan’ banana (Musa paradisiaca sapientum L) on earth fort – it is considered
as archaeological remains – found at Puteri Hijau Fort Site is a form of local wisdom in conservation
activities. This study attempts to formulate the pattern of local wisdom on conservation of earth fort in
Puteri Hijau Fort Site. The study was conducted by field observations where the barangan was planted on
earth fort and interviewing its owner, then elaborating with literatures related to earth conservation. This
study is intended to find the pattern of conservation based on local wisdom that aims to increase the range
of types of material to the pattern of the conservation of archaeological remains as general in Indonesia.

Key words: earth fort, conservation, barangan’s tree, erotion, local wisdom

Pendahuluan upaya konservasi material terhadap tinggalan arkeologis


1. Latar belakang berbentuk benteng tanah yang merupakan satu kesatuan
Konservasi merupakan salah satu upaya dalam utuh dengan bentanglahannya (landscape), serta memiliki
pelestarian suatu cagar budaya ataupun tinggalan cakupan luas belum dikemukakan. Salah satu bentuk
arkeologis yang belum ditetapkan sebagai cagar budaya. tinggalan arkeologis berbentuk benteng tanah adalah
Salah satunya adalah konservasi material tinggalan situs Benteng Puteri Hijau.
arkeologis dengan memanfaatkan kearifan lokal Situs Benteng Puteri Hijau merupakan tinggalan
masyarakat yang berada di sekitar tinggalan arkeologis. masa lalu hasil modifikasi bentang lahan yang
Konservasi material dilakukan agar tinggalan arkeologis dijadikan sebagai lokasi permukiman. Modifikasi
tersebut dapat dilestarikan dan terhindar dari kerusakan, tersebut tampak pada sentuhan artifisial di beberapa
atau meminimalisir kerusakan tinggalan tersebut. Upaya bagian dinding sungai yang mengelilingi situs ini.
konservasi material dapat dikatakan sebagai salah satu Sentuhan artifisial tersebut berupa pembentukan
tindakan pelindungan. Berdasarkan uraian tersebut, benteng tanah yang dilakukan dengan cara
konservasi material merupakan upaya pelindungan meninggikan bagian tebing sungai menggunakan
terhadap objek material dari masa lalu yang dilakukan tanah di bagian luarnya, sehingga tanah di bagian
agar benda-benda tersebut dapat dilestarikan. luarnya membentuk cekungan. Cekungan tersebut
Secara umum pada acara Workshop Konservasi Cagar selanjutnya difungsikan sebagai jagang/parit benteng.
Budaya Berbasis Kearifan Tradisional yang diadakan oleh Situs ini berada di bagian hulu daerah aliran Sungai
Balai Koneservasi Borobudur pada tanggal 11 hingga Deli yang pada bagian hilirnya mengalir di Kota Medan.
15 Agustus 2014 di Yogyakarta, konservasi material Gundukan tanah di lokasi tersebut sekilas akan tampak
cagar budaya dilakukan terhadap tinggalan arkeologis seperti tebing sungai yang memiliki teras. Gundukan
berbahan kayu, logam, batu, tanah liat, keramik, bata, tanah yang tampak di beberapa lokasi (lihat Gambar 2)
bambu, manik-manik, lontar, dan lain sebaginya. Adapun berbatasan langsung dengan teras dan dataran banjir

32
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 32-41

jalan (Sumarno, 2013: 3).


Adapun konsep konservasi berbasis kearifan lokal
secara umum dapat dimaknai sebagai suatu sistem yang
mengintegrasikan antara pengetahuan, kelembagaan,
serta praktik pengelolaan sumber daya yang ada pada
masyarakat dalam menyusun dan menata materi sebagai
suatu respon terhadap kondisi lingkungan dan daya
antisipatif terhadap perubahan kondisi lingkungan.
Konteks lingkungan tersebut berupa lingkungan fisik,
lingkungan budaya, ataupun lingkungan sosialnya
(Koestoro, 2010).
Gambar 1. Salah bagian dinding sungai yang mengalami
pengerjaan artifisial dibentuk menjadi benteng tanah dan parit
(sumber: Tim Penelitian, 2009) 2. Permasalahan
Sungai Deli. Pada benteng tanah tampak rimbunan Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang
pohon pisang barangan (Musa paradisiaca sapientum L) akan ditetapkan adalah “Bagaimana relasi antara
dan jenis tanaman lainnya yang sengaja ditanam oleh penanaman pisang barangan dan tanaman lainnya
penduduk di sepanjang benteng tanah tersebut. Adapun pada benteng tanah dengan upaya konservasi material
status situs tersebut, saat ini sedang dalam proses akhir struktur benteng tanah di situs Benteng Puteri Hijau?”.
untuk ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Pemerintah Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut,
Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara. pembahasan yang dilakukan dalam penelitian ini akan
Berkenaan dengan konservasi material berbasis dibatasi pada relasi antara aktivitas penanaman pisang
kearifan lokal di situs tersebut, tampak adanya barangan (Musa paradisiaca sapientum L) oleh warga
indikasi keterkaitan antara upaya penanaman pohon di lokasi situs benteng tanah dengan upaya konservasi
pisang barangan dengan sistem tumpang sari oleh benteng tanahnya.
masyarakat di sekitar situs Benteng Puteri Hijau
dengan upaya konservasi terhadap struktur benteng 3. Maksud dan tujuan
tanah tersebut. Penanaman pisang barangan dengan Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui
cara dicampur tanaman lain, serta pembiaran struktur adanya salah satu bentuk kearifan lokal di sekitar situs
benteng tanah tertutup oleh tanaman rerumputan dan Benteng Puteri Hijau berupa relasi antara penanaman
ilalang sengaja dilakukan masyarakat agar benteng pohon pisang barangan di struktur benteng tanah
tanah tidak tererosi. dengan upaya konservasi benteng tanahnya. Adapun
Erosi secara umum adalah peristiwa pengikisan tujuannya adalah untuk mengetahui jenis konservasi
padatan (sedimen, tanah, batuan, dan partikel lainnya) material terhadap benteng tanah yang berbasis
akibat transportasi angin, air atau es, karakteristik kearifan lokal di situs Benteng Puteri Hijau.
hujan, gerakan pada tanah dan material lain di bawah
pengaruh gravitasi, atau oleh makhluk hidup semisal 4. Kerangka berpikir
hewan yang membuat lubang, dalam hal ini disebut Biornstad (1990:72) mengatakan bahwa
bio-erosi. Erosi sebenarnya merupakan proses alami perlindungan suatu tinggalan masa lalu berkaitan erat
yang mudah dikenali, namun di kebanyakan tempat dengan lingkungan dan hubungannya dengan sejarah
kejadian ini diperparah oleh aktivitas manusia dan masyarakat kontemporer. Secara implisit konsep
dalam tata guna lahan yang buruk, penggundulan tersebut dapat dimaknai sebagai suatu tinggalan masa lalu
hutan, kegiatan pertambangan, teknik perkebunan yang bukan lagi milik masyarakat masa lalu dan sudah
dan perladangan yang tidak sesuai dengan kondisi tidak ada lagi yang melanjutkan, mengubah penggunaan
tanahnya, kegiatan konstruksi atau pembangunan dan pemaknaannya. Tinggalan masa lalu adalah milik
yang tidak tertata dengan baik dan pembangunan masyarakat masa sekarang, dan seiring waktu berjalan

33
Purnawibowo, Konservasi Berbasis Kearifan Lokal di Situs Benteng Puteri Hijau, Deli Serdang, Sumatera Utara

masyarakat tersebut menjelma menjadi masyarakat masa barangan dilakukan oleh Balai Pengkajian Teknologi
lalu di masa mendatang, dan kemudian akan meninggalkan Pertanian Sumatera Utara (2008) dan Fransiska Natalina
jejak fisik dan makna pada tinggalan tersebut, selanjutnya tahun 2009.
tinggalan tersebut oleh generasi penerus mereka dianggap
sebagai warisan budayanya, dan begitu seterusnya. 6. Cara penelitian
Hal inilah yang selanjutnya dapat diterjemahkan: Perolehan data dilakukan dengan dua cara.
segala aspek berkenaan dengan keberlangsungan Pertama adalah melakukan pengamatan di lapangan
tinggalan arkeologi tersebut diserahkan sepenuhnya dengan mencermati keberadaan kebun pisang barangan
kepada masyarakat sekarang yang berinteraksi langsung milik warga yang ditanam di lokasi benteng tanah,
dengan tinggalan arkeologi tersebut, salah satunya kemudian mengadakan wawancara terhadap pemilik
adalah aspek konservasi materialnya. Berdasarkan hasil kebun pisang. Aktivitas ini menghasilkan data primer
pemaknaan dan pengembangan konsep Biornstad yang dilakukan pada tahun 2008 dan 2009. Kedua adalah
tersebut, penelitian sederhana ini akan mencoba untuk dengan menelusuri data kepustakaan yang berkaitan
mendapatkan formulasi bentuk dari peran masyarakat dengan situs Benteng Puteri Hijau, pisang barangan,
sekarang dalam menjaga dan melindungi tinggalan dan konservasi tanah. Aktivitas ini menghasilkan data
masa lalu yang ada di sekitarnya melalui konsep dan sekunder. Selanjutnya fakta-fakta yang didapat di
pengetahuan masyarakat tersebut. lapangan dielaborasikan dengan hasil kajian pustaka,
untuk kemudian dipakai dalam menjawab permasalahan
5. Tinjauan pustaka yang ditetapkan dalam penelitian ini. Hasil kajiannya
Penelitian berkenaan dengan keberadaan berupa generalisasi berkenaan dengan relasi antara
Benteng Puteri Hijau (BPH) telah dilakukan oleh aktivitas penanaman pisang barangan pada struktur
BPCB Aceh Besar bersama Balai Arkeologi Medan benteng tanah dengan konservasi struktur benteng tanah
tahun 2008 yang dilakukan di dalam kawasan BPH di situs Benteng Puteri Hijau.
dan menghasilkan beberapa data arkeologi dari masa
prasejarah hingga kolonial. Pada tahun 2009 dilakukan II. Benteng Puteri Hijau
penelitian interdisiplin ilmu yang melibatkan disiplin ilmu 1. Tinggalan arkeologis
arkeologi, geologi, antropologi dan sosiologi, sejarah, Benteng Putri Hijau (BPH) terletak di sebuah
dan menejemen konflik sebagai bentuk penelitian CRM kawasan dengan morfologi bentanglahan yang relatif
(Cultural Resources Management) dan penyelamatan BPH datar berada di bagian atas lembah Sungai Deli. Secara
dari perluasan permukiman yang akan dilakukan di lokasi astronomis situs ini terletak pada batas selatan di N 3°
tersebut. Pada tahun 2011, Taufiqurrahman melakukan 28.630’ E 98˚ 40.338’ hingga paling utara di N 3° 29.693’
penelitian dengan observasi lansekap dan pengumpulan E 98°40.443’, memanjang utara-selatan di tebing barat
deposit arkeologis yang meliputi daerah BPH dan di Sungai Deli, yang mengalir ke arah selatan. Adapun batas
sekitarnya. Kajiannya menghasilkan aspek pemanfaatan bagian barat berada di N 3˚ 28.830’ E 98˚ 40.521’ dan
lingkungan untuk benteng tanah sebagai permukiman paling timur berada N 3˚ 28.913’ E 98˚ 40.521’. Secara
dan aktivitas pengaturan lalu lintas untuk permukiman di administrasi situs ini terletak di Desa Deli Tua Kampung,
lokasi benteng (Setiawan, 2011: 77). Kecamatan Namorambe, Kabupaten Deli Serdang,
Kajian konservasi tanah dan jenis-jenis konservasi Provinsi Sumatera Utara (Tim Penelitian, 2009).
tanah secara umum telah dilakukan oleh Sumarno (2013) Berdasarkan hasil penelitian tahun 2009, di
dari Universitas Brawijaya. Adapun untuk pengetahuan lokasi situs tersebut terdapat sisa artifisial manusia
mengenai kondisi tanah dan jenis konservasi tanah masa lalu berupa benteng tanah, parit benteng,
yang cocok di sekitar daerah Kabupaten Deli Serdang fragmen keramik, fragmen gerabah, koin deureuham,
dilakukan oleh Ai Dariah, Enggis Tuherkih, Achmad sisa alat pertanian. Adapun sisa struktur benteng
Rachman (2007) dari Balai Penelitian Tanah Bogor. Kajian tanah yang masih tersisa berada di sisi bagian utara
ilmiah mengenai tata cara penanaman dan tanaman pisang situs ini, sedangkan di bagian tengah dan selatan situs

34
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 32-41

ini struktur benteng tanah dan parit benteng hanya


tersisa sedikit saja, yaitu struktur yang berada di
tebing sungai. Survei dan ekskavasi di situs Benteng
Puteri Hijau tahun 2009 dilakukan pada 5 (lima)
lokasi yang dianggap mewakili situs tersebut. Adapun
perkiraan sementara luasan situs tersebut sekitar 50
Ha. Pada kelima lokasi tersebut, total dibuka 23 buah
kotak ekskavasi (lihat Gambar 2).
Benteng Puteri Hijau dapat dikatakan sebagai sebuah
situs yang di dalamnya terdapat sisa benteng tanah. Masa
hunian di situs Benteng Puteri Hijau diindikasikan pada
kurun waktu abad ke-13 hingga abad ke-17 Masehi. Sisa
tembok atau dinding tanah yang mengelilingi areal masih
tampak, begitu pula keberadaan parit keliling di bagian
tenggara. Berkaitan dengan pertapakan yang dikelilingi
bagian lahan yang masih rendah, pemanfaatan tebing
sebagai bagian perbentengan itu sendiri masih tampak
dan sebagian berkenaan dengan bantaran Sungai Deli.
Penelitian yang dilakukan tahun 2009 menyimpulkan
bahwa Benteng Puteri Hijau bukan merupakan bentukan
alam, tetapi dibuat oleh manusia. Benteng di Sektor II Gambar 2. Situs Benteng Puteri Hijau (sumber: Tim Penelitian,
2009 dimodifikasi seperlunya oleh penulis)
tanahnya diambil dari sebelah tenggara (di sekitar kotak-1)
yang digali memanjang timur laut -- barat daya. Benteng di teko. Adapun artefak berbahan logam yang ditemukan
Sektor III tanahnya diambil dari sebelah timur (di sekitar di sekitar situs berupa uang logam berbahan emas,
kotak-3) yang digali memanjang utara-selatan. Benteng di selongsong peluru, peluru bulat, alat berbahan logam
Sektor IV tanahnya diambil dari sebelah selatan (di sekitar yang diidentifikasi sebagai grathul (Jawa, alat pertanian
kotak-2) yang digali memanjang timur-barat. Berdasarkan untuk membersihkan tanaman dari gulma), serta
atas pengamatan lapangan dan analisis strata tanah kerak besi seberat 7 gram yang ditemukan di kebun
pada beberapa kotak ekskavasi di Situs Benteng Puteri coklat atau kakao (Theobroma cacao L.) milik warga
Hijau membuktikan bahwa benteng tersebut dibuat oleh pada penelitian tahun 2008. Adapun artefak alat batu
manusia dengan memanfaatkan lahan yang tersedia. Hal sumatralith berbahan batuan beku juga ditemukan
ini juga terbukti bahwa dataran-dataran di dalam benteng berjumlah 3 buah pada penelitian tahun 2008.
lebih tinggi dari dataran-dataran yang berada di luar Ditinjau dari aspek temporal, data artefaktual
benteng (Tim Penelitian, 2009: 83 -- 85). yang ditemukan berasal dari berbagai rentang masa.
Data artefaktual yang berhasil didapat dari Jenis artefak sumatralith berasal dari masa pengaruh
situs ini terdiri dari berbagai macam ragam dan jenis. budaya prasejarah yang diidentifikasi pernah ada di
Ditinjau dari aspek formal/bentuk, jenis artefak lepas situs tersebut. Adapun jenis artefak fragmen tembikar
yang dijumpai berupa tembikar, keramik, logam, dan keramik diidentifikasi berasal dari rentang masa
serta alat batu. Jenis artefak berbahan tanah yang abad ke-13 -- ke-18 Masehi. Artefak logam berupa:
dibakar seperti tembikar dan keramik ditemukan mata uang emas diduga berasal dari Aceh abad ke-
dalam kondisi fragmentaris, baik yang berasal dari 17 Masehi; selongsong peluru berasal dari masa abad
permukaan tanah maupun hasil ekskavasi. Jenis ke-20 Masehi yang digunakan untuk senapan serbu
artefak ini sebagian besar merupakan wadah yang laras panjang jenis CIPS FNC, Kaliber (KL) 5,56 mm
umum dipakai dalam aktivitas sehari-hari, seperti: buatan Belgia; proyektil bulat berbahan logam timah
mangkok, kendi, guci, tempayan, pasu, piring, serta hitam berasal dari masa abad ke-15 -- ke-20 Masehi;

35
Purnawibowo, Konservasi Berbasis Kearifan Lokal di Situs Benteng Puteri Hijau, Deli Serdang, Sumatera Utara

serta grathul (sejenis alat pertanian seperti cangkul


kecil) dari masa saat daerah tersebut dijadikan sebagai
lokasi perkebunan tembakau pada akhir abad ke-
19 hingga awal abad ke-20 Masehi (BP3, 2008; Tim
Peneliti, 2009).
Berkenaan dengan aspek spasial temuan artefaknya,
diidentifikasi berasal dari luar daerah situs. Hal tersebut
diketahui dari hasil identifikasi dan analisa penelitian di
lokasi situs belum ditemukan jejak fakta dari masa lalu
yang mengindikasikan sebagai tempat produksi berbagai
artefak tersebut. Adapun temuan fragmen keramik berasal
dari Cina dan Thailand. Mata uang emas berasal dari
Aceh, serta selongsong peluru buatan Belgia. Sedangkan
alat batu, pelor timah hitam, kerak besi dan grathul belum
dapat diketahui secara pasti (BP3, 2008).
Masyarakat masa lalu di situs Benteng Puteri Hijau
memanfaatkan lereng sungai yang relatif terjal sebagai
benteng tanah untuk melindungi permukiman mereka
dari berbagai ancaman, baik itu ancaman bencana alam
maupun serangan lawan. Pemanfaatan topografi di sekitar
situs tersebut berupa penambahan tanah sehigga struktur
tanah di bagian yang dekat dengan lereng sungai menjadi Gambar 3. Kebun pisang barangan milik warga di salah satu
gundukan tanah pada bagian benteng tanah (atas) dan tebing teras
tinggi hingga membentuk struktur benteng tanah. Sungai Deli bagian dari benteng tanah di sektor II situs Benteng
Puteri Hijau (bawah) (sumber: dok. Balar Medan, 2009; Setiawan,
Peninggian lahan tersebut dilakukan dengan mengambil 2011)
tanah dari lokasi dalam areal benteng. Hal itu dibuktikan 2009; BPPT Sumut 2008).
dengan keberadaan lapisan stratigrafi pada benteng tanah Kebun pisang barangan yang terdapat di sekitar
yang serupa jenisnya dengan lapisan tanah yang ada di lokasi situs, sebagian besar berada di sektor II (lihat
dalam areal situs benteng tanah (Tim Penelitian, 2009). Gambar 2) status kepemilikan lahannya dimiliki oleh
warga sekitarnya. Salah seorang warga pemilik kebun
2. Pohon pisang barangan di situs Benteng Puteri pisang, Surya Ginting, 45 tahun mengatakan:
Hijau “Kebun yang kami tanami dengan pohon
Pisang barangan (Musa paradisiaca sapientum L) pisang barangan dan tanaman lainnya merupakan
merupakan tanaman pisang spesifik berasal dari Provinsi warisan dari orang tua kami. Tanaman jenis pisang
Sumatera Utara. Tanaman pisang ini memiliki beberapa barangan sengaja dipilih karena daun dan buahnya
keunggulan dibandingkan jenis pisang lainnya. Beberapa bernilai ekonomi tinggi. Selain itu, tanaman pisang
keunggulan tersebut terletak pada ketebalan dan kekuatan dan tanaman lainnya yang kami tanam di tanah yang
daun, bidang penampang daun yang lebih luas, serta rasa menggunduk dapat mencegah runtuhan tanah pada
daging buahnya lebih manis. Selain dimanfaatkan buahnya, bagian tanah yang miring ketika turun hujan. Karena
bagian bunga dan bonggolnya biasanya dimanfaatkan bila tanah gundukan runtuh, maka luasan kebun
sebagai sayur, manisan, acar, dan lalapan oleh masyarakat kami akan semakin berkurang. Luasan kebun pisang
di Sumatera Utara. Adapun daunnya hingga saat ini masih keluarga kami sekitar dua rante (satu rante = 20 m x 20
dimanfaatkan sebagai alat pembungkus. Pisang barangan m). Akan tetapi, ada juga warga yang hanya memiliki
termasuk varietas unggulan dari Sumatera Utara yang kebun pisang barangan yang luasnya tidak sebesar milik
telah ditetapkan oleh SK Menteri Pertanian No. 38/ kami, karena tanahnya telah tergerus oleh air hujan.”
Kpts/TP.204/1/97 tanggal 21 Januari 1997 (Natalina S., Tanaman pisang barangan dan tanaman lainnya

36
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 32-41

yang ditanam pada struktur benteng tanah dilakukan


untuk mencegah longsornya gundukan tanah benteng
akibat hujan (Gambar 3) yang dapat mengurangi luasan
kebun milik keluarganya. Di samping itu, pada gundukan
benteng tanah tersebut juga dibiarkan tumbuh tanaman
ilalang, rerumputan, dan tanaman keras tahunan seperti
durian, kelapa, cokelat, duku, mangga, jambe, beringin,
dan jenis pohon keras lainnya.
Berdasarkan penuturan kepala dusun dan kepala
desa setempat, keberadaan tanaman di lokasi struktur
benteng tanah merupakan media dan metode untuk
menjaga agar tanah yang miring tidak tererosi ketika
turun hujan. Selain itu, keberadaan tanaman-tanaman
tersebut juga untuk menjaga kejernihan mata air yang
terdapat di beberapa bagian di luar struktur benteng
tanah, salah satunya terletak di lokasi pancuran gading
dekat sektor III (lihat Gambar 2) yang dianggap keramat
oleh masyarakat sekitar lokasi situs. Adapun keberadaan
Gambar 5. Bagian penampang benteng tanah yang telah
pohon pisang barangan dan tanaman keras lain yang mengalami erosi (sumber: dok. BPCB Aceh Besar)

ditanam berdampingan berfungsi sebagai perindang, mata air yang dikaitkan dengan mitos keberadaan situs
penahan longsor tanah, dan penahan air hujan yang jatuh BPH ini dianggap sebagai bagian yang paling sakral oleh
agar tidak langsung mengikis tanah benteng. Adapun penduduk setempat maupun peziarah yang datang ke
alasan utama mencampurkan jenis tanaman keras dengan lokasi situs BPH. Tanaman pisang barangan tidak hanya
tanaman pisang barangan menurut keduanya adalah ditanam di sekitar gundukan benteng tanah saja, tetapi di
upaya pemberdayaan lahan kebun secara efektif. bagian dalam areal benteng tanah.
Menurut Balas Munthe, 60 tahun, pancuran gading
sebagai mata air yang keluar dari bagian bawah struktur
benteng tanah di sisi luarnya, belum pernah kering dan III. Konservasi Tanah
kejernihan airnya lebih baik daripada kualitas air mineral Berkenaan dengan permasalahan yang diajukan
kemasan botol. Beberapa pohon pisang barangan ditanam dalam penelitian ini, terlebih dahulu akan diuraikan
di bagian atas pancuran gading, sedangkan beberapa mengenai metode konservasi bahan material pembentuk
lainnya ditanam di bagian bawah pancuran yang berbatasan struktur bentengnya, yaitu tanah. Konservasi material
dengan kolam warga. Pancuran gading merupakan lokasi terhadap struktur benteng yang berbahan baku tanah
dengan cakupan areal yang sangat luas menggunakan
metode umum konservasi tanah. Upaya konservasi
material benteng tanah yang memiliki kemiringan curam
adalah dengan cara mengkonservasi tanah pada bagian
gundukan untuk mencegah terjadinya erosi.
Secara umum struktur tanah di benteng tanah
situs BPH bertopografi miring dengan rata-rata
kemiringan di atas 45º (lihat Gambar 6). Hal tersebut
memungkinkan rawannya erosi tanah pada struktur
benteng tanah tersebut. Menurut Sumarno, erosi tanah
adalah peristiwa terangkutnya tanah dari satu tempat
Gambar 4. Kebun pisang barangan warga di bagian lereng tanah di ke tempat lain oleh air atau angin. Pada dasarnya ada
situs Benteng Puteri Hijau (sumber: dok. Tim penelitian 2009)

37
Purnawibowo, Konservasi Berbasis Kearifan Lokal di Situs Benteng Puteri Hijau, Deli Serdang, Sumatera Utara

tanah secara mekanis maupun kimia. Hal tersebut


antara lain karena penerapannya relatif mudah, biaya
yang dibutuhkan relatif murah, mampu menyediakan
tambahan hara bagi tanaman, menghasilkan hijauan
pakan ternak, kayu, buah maupun hasil tanaman lainnya.
Konservasi tanah secara vegetatif sejatinya merupakan
segala bentuk pemanfaatan tanaman ataupun sisa-sisa
tanaman untuk mengurangi erosi. Tanaman ataupun sisa-
sisa tanaman berfungsi sebagai pelindung tanah terhadap
daya pukulan butir air hujan maupun terhadap daya
angkut air aliran permukaan (runoff), serta meningkatkan
peresapan air ke dalam tanah. Tanah dengan penutup
tanah yang baik berupa vegetasi akan memperkecil erosi
dan limpasan permukaan (Sumarno, 2013: 6).

Gambar 6. Ilustrasi kondisi tanah pada kontur curam


yang dapat menimbulkan erosi bila tidak ada vegetasi IV. Penanaman Pisang Barangan dan Konservasi
yang menutup tanahnya (sumber: Sumarno, 2013)
Struktur Benteng Tanah
tiga proses penyebab erosi yaitu pelepasan partikel Kebun campuran (sistem tumpang sari) yang
tanah, pengangkutan, dan pengendapan. Erosi dikelola dengan baik dapat menciptakan sistem multistrata
menyebabkan hilangnya tanah lapisan atas dan unsur yang dapat menurunkan kecepatan luncuran air hujan
hara yang sangat penting bagi pertumbuhan tanaman. yang jatuh ke tanah. Oleh karena itu, penanaman pohon
Tanah-tanah di daerah dengan kemiringan tanah di pelindung perlu dipertahankan karena dapat berfungsi
atas 45º mempunyai risiko tererosi yang lebih besar sebagai tanaman konservasi tanah (Dariah, Tuherkih,
daripada tanah di daerah datar. Selain tidak stabil dan Rachman, 2007). Tanaman pisang barangan yang
akibat pengaruh kemiringan, air hujan yang jatuh ditanam oleh masyarakat setempat dengan sistem kebun
akan terus menerus memukul permukaan tanah campuran pada struktur benteng tanah di situs BPH
sehingga memperbesar risiko erosi (Sumarno, 2013: dapat dikatakan sebagai bentuk konservasi tanah dalam
1 dan 3). upaya pencegahan erosi.
Menurut Sumarno (2013: 5) Konservasi tanah Penanaman pisang barangan dengan cara
adalah penempatan tiap bidang tanah pada cara tumpang sari dengan tanaman lainnya pada struktur
penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah dan benteng tanah di situs BPH memiliki relevansi terhadap
memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang upaya konservasi tanah sebagai bahan dasar pembuatan
diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah. Secara struktur benteng tanah di situs Benteng Puteri Hijau. Hal
umum, tujuan konservasi tanah adalah meningkatkan tersebut tercermin pada pemilihan masyarakat setempat
produktivitas lahan secara maksimal, memperbaiki terhadap jenis tanaman yang ditanam. Pohon pisang
lahan yang rusak/kritis, dan melakukan upaya barangan memiliki karakteristik yang lebih unggul dalam
pencegahan kerusakan tanah akibat erosi. Sasaran hal konservasi tanah bila dibandingkan dengan jenis
konservasi tanah meliputi keseluruhan sumber daya tanaman pisang lainnya, yaitu ketebalan dan kekuatan
lahan, yang mencakup kelestarian produktivitas daun, serta bidang penampang daun yang lebih luas.
tanah dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat dan Ketebalan dan kekuatan daun pisang barangan
mendukung keseimbangan ekosistem. berpengaruh terhadap kekuatan daun pisang tersebut
Pada dasarnya teknik konservasi tanah dibedakan dalam menahan laju kecepatan air hujan yang akan
menjadi tiga yaitu: vegetatif, mekanik, dan kimia. Teknik mengenai permukaan bidang tanah di struktur benteng
konservasi tanah secara vegetatif memiliki beberapa tanah yang miring, sehingga kecepatan laju air hujan
keunggulan bila dibandingkan dengan teknik konservasi yang akan mengenai permukaan struktur benteng tanah

38
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 32-41

akan jauh berkurang. Adapun fungsi tumbuhan lainnya


yang melingkupi seluruh permukaan struktur benteng
tanah berfungsi sebagai penahan laju air hujan yang telah
mengenai daun pisang, sebelum jatuh hingga permukaan
tanah. Di samping itu, daun pisang memiliki bentuk
morfologi daun yang ditunjang oleh keberadaan tulang
daunnya yang berbentuk seperti saluran air yang dapat
berfungsi sebagai jalan air yang memasukkan air ke dalam
bilik tunas daun di bagian atas pohon pisang, sebelum
air hujan jatuh ke tanah. Hal-hal tersebut menjadikan
tanaman pisang, khususnya jenis pisang barangan dipilih Gambar 7. Sistem tumpang sari di lahan situs Benteng Puteri Hijau
(sumber: dok. BPCB Aceh Besar)
oleh masyarakat di sekitar situs BPH sebagai jenis
tanaman yang mampu menahan dan menjaga struktur bentuk struktur benteng tanah agar tetap seperti
benteng tanah tidak tererosi. sediakala pada saat awal mereka miliki dan manfaatkan.
Adapun bidang penampang daun yang lebih luas Adapun upaya tersebut sebenarnya dilandasi oleh rasa
bila dibandingkan dengan jenis tanaman pisang lainnya hormat mereka terhadap tokoh Puteri Hijau, yang
berpengaruh terhadap cakupan luas bidang tanah yang dianggap sebagai leluhur mereka. Masyarakat yang
akan dilindungi dari benturan air hujan yang akan mengenai berdomisili di dalam areal situs, tidak ingin merubah
permukaan tanah pada struktur benteng tanahnya. Selain bentuk lahan yang telah lama mereka tinggali, sebagai
memiliki akar serabut yang mampu menahan material bentuk penghormatan terhadap Tokoh Puteri Hijau
struktur tanah, daun pada pohon pisang bila dilihat dari yang sering mereka panggil dengan sebutan “Nenek”.
atas akan seperti lingkaran pelindung tanah dengan ruas- Sebagai upaya mempertahankan bentuk lahan warisan
ruas tulang daun sebagai saluran airnya. Pohon pisang Nenek Puteri Hijau tersebut adalah dengan menanam
juga termasuk tanaman yang sangat banyak mengandung pohon pisang barangan dengan cara tumpang sari.
air dalam tubuhnya, sehingga kemampuan menyimpan Upaya masyarakat tersebut merupakan bagian dari
air dalam tubuh tanaman cukup baik. melindungi tanah kebun mereka dari erosi dan menjaga
Berdasarkan uraian tersebut, dapat diketahui ketersediaan air jernih, di samping sebagai penopang
relasi antara penanaman pisang barangan dengan cara ekonominya. Penggunaan dan permintaan terhadap daun
tumpang sari dengan tanaman lainnya, khususnya pisang barangan sebagai bahan pembungkus barang
kelompok tanaman ilalang dan rumputan yang dagangan dalam transaksi jual-beli di pasar tradisional
berada di bawah pohon pisang barangan pada menjadi magnet utama menanam pohon pisang tersebut.
permukaan struktur benteng tanah di situs Benteng Kondisi tersebut didukung oleh permintaan akan
Puteri Hijau yang turut melindungi struktur benteng pisang barangan yang menjadi komoditas unggulan dari
tanah dari erosi. Aktivitas masyarakat di sekitar situs sekitaran Kota Medan, khususnya daerah Deli Serdang
Benteng Puteri Hijau yang melakukan penanaman dan Sumatera Utara pada umumnya.
pohon pisang barangan dan tanaman lainnya, serta Kondisi umum penggunaan daun pisang
membiarkan bagian permukaan benteng tanah sebagai bahan pembungkus, serta nilai jual tinggi pisang
tertutup rimbunan tanaman menjalar lainnya barangan disikapi oleh masyarakat yang memiliki
merupakan suatu wujud upaya konservasi terhadap kebun di sekitar benteng tanah di situs Benteng
struktur benteng berbahan tanah. Secara teknis, Puteri Hijau dengan menanami struktur benteng
aktivitas mereka tersebut termasuk dalam upaya tanah dengan tanaman pisang barangan. Menilik apa
konservasi vegetatif seperti yang diungkapkan oleh yang telah diungkapkan oleh Koestoro (2010) di atas,
Sumarno (2013). bentuk kearifan lokal yang terdapat di situs Benteng
Konservasi benteng tanah tersebut sebenarnya Puteri Hijau, selain benteng tanahnya sendiri, adalah
merupakan aktivitas perlindungan terhadap keawetan bentuk upaya konservasi material struktur benteng

39
Purnawibowo, Konservasi Berbasis Kearifan Lokal di Situs Benteng Puteri Hijau, Deli Serdang, Sumatera Utara

tanahnya. Caranya adalah dengan menanam pohon lalu tersebut. Konservasi berbasis kearifan lokal yang
pisang barangan yang ditumpangsarikan dengan dilakukan masyarakat di sekitar situs Benteng Puteri
tanaman lain. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai Hijau dapat dikatakan sebagai bentuk pemanfaatan
salah satu bentuk upaya konservasi vegetatif berbasis tinggalan masa lalu yang berbasis perlindungan
kearifan lokal untuk melindungi benteng tanah dari terhadap tinggalan tersebut.
erosi.
2. Rekomendasi
Penutup Bentuk praktik konservasi berbasis kearifan lokal
1. Kesimpulan dalam bentuk pembudidayaan tanaman bernilai ekonomi
Bentuk konservasi material dengan menggunakan tinggi dapat dikembangkan potensinya. Selain ikut
pohon pisang barangan yang ditanam secara tumpang menjaga dan melindungi objek budaya material tinggalan
sari dengan ilalang dan rumputan pada struktur benteng masa lalu, juga memberikan potensi pengembangan
tanah di situs BPH dapat dikatakan sebagai aktivitas ekonomi bagi masyarakatnya. Hal ini memungkinkan
konservasi material berbasis kearifan lokal. Penanaman kelak akan lebih menyentuh kepentingan peningkatan
pohon pisang barangan yang dipilih oleh masyarakat di kesejahteraan masyarakat yang hidup di sekitar tinggalan
sekitar situs dalam upaya konservasi tanah pada struktur masa lalu untuk menjaga, melindungi, sekaligus terhidupi
benteng tanahnya dilakukan karena pohon pisang oleh tinggalan masa lalu yang ada disekitarnya. Konsep ini
barangan dianggap memiliki keunggulan pada kekuatan memungkinkan adanya pemberdayaan masyarakat secara
dan ketebalan daun serta luasan penampang daun yang simultan dan berkelanjutan dalam kerangka pemanfaatan
lebih unggul dibandingkan dengan jenis tanaman pisang cagar budaya, tanpa melupakan aspek pelestariannya
lainnya. Adapun inti dari keseluruhan aktivitas tersebut sebagai komponen utamanya. Satu hal yang perlu diingat,
bertujuan untuk melindungi tanah dari erosi, menjaga bahwa konservasi berbasis kearifan lokal tidak dapat
ketersediaan air jernih, serta bentuk penghormatan berjalan sendiri dalam kerangka besar pelestarian situs
kepada tokoh Puteri Hijau. Aktivitas tersebut dapat tersebut. Konservasi berbasis kearifan lokal tidak akan
dikategorikan dalam konservasi vegetatif dalam ranah ada artinya bila tidak didukung oleh upaya konservasi
kajian ilmu tanah dan ilmu pertanian. teknis perlindungan situs, misalnya: pembuatan batas
Upaya tersebut, selain secara teknis yang tegas dan jelas terhadap zonasi situs (inti, penyangga,
mengkonservasi benteng tanahnya, juga dapat pengembangan), serta penetapan dan pengangkatan juru
memberikan dampak pada usaha peningkatan pelihara situs.
pendapatan ekonomi warga di sekitar tinggalan masa

Daftar Pustaka

BP3 Banda Aceh, 2008. Laporan Penggalian Penyelamatan Biornstad, Margareta. 1990. “The ICOMOS
Situs Benteng Putri Hijau Desa Deli Tua, Kecamatan Internastional Committee on Archaelogical
Namorambe, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Management (ICAHM)”. dalam Henry
Sumatera Utara. Departemen Kebudayaan dan F. Cleere (Ed.). Archaeological Heritage
Pariwisata: Direktorat Jenderal Sejarah dan Management in The Modern World. Unwim-
Purbakala. Hyman. London. Hlm. 70-78.
BPTP, Sumatera Utara. 2008. Teknologi Penanaman Dariah, Ai., Enggis Tuherkih, Achmad Rachman.
Pisang Barangan Sistem Dua Jalur (Doble Raw). 2007. “Teknologi Pemupukan Spesifik Lokasi
Dalam http://pustaka.litbang.deptan.go.id/agritek/ dan Konservasi Tanah, Desa Talun Kenas,
smut0908.pdf. Diunduh 21 Juli 2014, Pukul 22.30 Kecamatan STM Hilir, Kab. Deliserdang”.
WIB. Bogor: Balai Penelitian Tanah. Dalam http://

40
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 32-41

pustaka.litbang.deptan.go.id/agritek/smut0908.pdf. Sumarno, 2013. “Vegetasi Untuk Konservasi Tanah


Diunduh 21 Juli 2014, Pukul 21.30 WIB. dan Air”. Dalam http://marno.lecture.ub.ac.
Koestoro, Lucas P. 2010. “Benteng dan Kearifan Lokal”, id/files/2013/11/VEGETASI-untuk-
dalam Seri warisan Sumatera Bagian Utara No.0510. KONSERVASI-TANAH-DAN-AIR.docx.
Medan: Balai Arkeologi Medan. hlm 96 -- 133. Diunduh 21 Juli 2014, Pukul 20.30 WIB.
Natalina S., Fransiska. 2009. “Analisis Komparasi Tim Peneliti, 2009. Laporan Penelitian Komprehensif Pada
Usahatani Pisang Barangan Antara Sistem Situs Yang Diduga Sebagai Benteng Putri Hijau di
Konvensional dengan Sistem Dobel Raw”. Desa Delitua, Kecamatan Namorambe, Kabupaten
Skripsi. Medan: Departemen Sosial Ekonomi Deli Serdang. Laporan Penelitian. Lubukpakam:
Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten
Sumatera Utara. Dalam http://repository. Deli Serdang.
usu.ac.id/bitstr eam/123456789/7497/1/0
9E01511.pdf. Diunduh 21 Juli 2014, Pukul
20.45 WIB.
Setiawan, Taufiqurrahman, dkk. 2011. Penelitian Situs
Dunia Di Sumatera Utara Benteng Puteri Hijau.
Medan: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata,
Museum Negeri Provinsi Sumatera Utara.

41
Penerapan NDT (Non-Destructive Testing) untuk Analisis
Pelapukan Cagar Budaya Menggunakan Alat XRF;
Studi Kasus Candi Mendut
Nahar Cahyandaru
Balai Konservasi Borobudur
nhrcahyandaru@yahoo.com

Abstrak: Cagar budaya merupakan tinggalan budaya yang bernilai tinggi sehingga sangat penting untuk
dilestarikan. Cagar budaya umumnya dijumpai dalam jumlah yang sangat terbatas dan telah mengalami
pelapukan. Usaha konservasi material diperlukan untuk mempertahankan kelestariannya. Konservasi
yang dilakukan memerlukan analisis sebagai dasar tindakan. Mengingat pentingnya cagar budaya maka
sangat dibutuhkan metode pengujian yang bersifat tidak merusak bendanya (non-destruktif). Metode
pengujian non-destruktif yang dikenal antara lain XRF (X-Ray Fluorescene). Kajian ini menguji penerapan
alat XRF untuk memahami pelapukan cagar budaya, subjek yang dikaji adalah Candi Mendut.
Hasil kajian menunjukkan bahwa analisis dengan alat XRF menghasilkan data yang relatif akurat,
cepat, dan mudah dilaksanakan di lapangan. Berdasarkan kandungan silika dalam sampel, batu-batu
Candi Mendut belum mengalami pelapukan yang serius, kecuali bagian bilik dalam yang telah mengalami
pelapukan dengan tingkat yang bervariasi. Pelapukan batu bilik diperkirakan akibat aktivitas mikroba
karena tingginya kandungan phospat dan sulfat dalam batu. Pelapukan pada dinding bagian luar yang
cukup banyak diamati adalah terbentuknya endapan garam, penggaraman yang terjadi merupakan proses
pengendapan garam silikat dan karbonat dengan kation yang dominan adalah kalsium. Pertumbuhan
organisme pada permukaan batu terjadi pada batu jenis-jenis tertentu dengan komposisi yang
berbeda. Batu yang ditumbuhi organisme mengandung besi, kalium, dan phospor yang relatif rendah
karena unsur-unsur tersebut merupakan nutrisi bagi metabolisme organisme. Udara tercemar turut
mempengaruhi pelapukan batu Candi Mendut, ditandai dengan kandungan sulfur pada batu-batu candi.
Namun kandungan tersebut belum menunjukkan adanya gelaja pelapukan yang signifikan. Kandungan
sulfur dalam endapan garam juga relatif rendah sehingga dampak udara tercemar tidak mempengaruhi
penggaraman. Berdasarkan pengolahan dan interpretasi data yang dilakukan maka permasalahan
pelapukan Candi Mendut dapat dipahami dengan lebih baik. Hasil analisis permasalahan pelapukan ini
dapat menjadi acuan dalam pengambilan tindakan konservasi yang diperlukan.
Kata kunci : Analisis Non-Destuktif, XRF, Pelapukan batu, Candi Mendut

Abstract: Cultural heritage, as a valuable cultural remain, is very important to preserve. Cultural heritage
is generally limited in number dan have experienced deterioration/weathering. Material conservation
efforts are needed to maintain thesustainability of the object. Conservation process requires a precise
analysis. Given the importance of the cultural heritage, testing methods that are non-destructive are
needed. Non-destructive testing methods are still limited, although the technology is already developed.
One of the non-destructive testing can be used is XRF (X-Ray Fluorescene) equipment. This study
tested the XRF application for understanding the deterioration/weathering of cultural heritage, with the
subject studied is Candi Mendut.
The study result shows that the XRF equipment can produce relatively fast and accurate data,
while easily applied on the field. Based on the silica in the sample, stones of Mendut Temple has no yet
experienced severe deterioration, except for the chamber that has undergone deterioration in varied
level. The deterioration in chamber’s stones is assumed to be caused by microbe activity ignited by high
phospat and sulfure in the stone. Deterioration in outer wall mostly is salt deposit, in which sometimes
is followed by formation of postule and alveol. The deposit is formed by precipitation process of silica
and carbonit salt and calcium, which is the most dominant cation. The growth of microorganism on
stone’s surface occurs in certain stone type with varied composition. The stones with microorganisms
has relatively low iron, potassium, and phospor. These compounds are nutrient for the microorganism’s
growth. Polluted air has effect also on the stone deterioration in Mendut Temple. The pollution is
shown by the content of sulfur, although the content is not showing significant deterioration process
yet. The sulfur in salt deposit is relatively low, which shows that the polluted air has no effect on the
deposit. Based on the data analysis and interpretation, Candi Mendut material deterioration problems
can be better understood. The results of the deterioration problem analysis can become a reference in
determining the necessary conservation measures.
Keywords : Non-destructive analysis, XRF, Stone deterioration, Candi Mendut

42
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 42-52

A. PENDAHULUAN Fluorescence (XRF). Pengujian dengan alat XRF


1. Latar Belakang dapat memberikan data komposisi unsur secara semi-
Kegiatan pelestarian cagar budaya merupakan kuantitatif. Pengujian yang dilakukan tidak bersifat
pekerjaan yang harus dapat dipertanggungjawabkan merusak benda, dapat dilakukan di lokasi, dan cepat.
secara ilmiah. Tindakan konservasi yang diambil Hasil penngujian berupa komposisi unsur, meskipun
harus didasarkan pada hasil analisis terhadap masih semi-kuantitatif namun data yang dihasilkan
permasalahan yang terjadi. Berbagai metode analisis sudah mendekati kuantitatif. Kelebihan tersebut
dapat dipergunakan untuk memahami permasalahan membuat metode ini menarik untuk diterapkan pada
konservasi secara komprehensif, sehingga dapat analisis terhadap material cagar budaya. Pada kajian
dirumuskan rencana pelaksanaa konservasi yang ini dilakukan pengujian batu Candi Mendut dengan
sesuai. alat XRF, dan dilanjutkan dengan analisis pelapukan
Pelapukan cagar budaya merupakan salah yang terjadi. Dengan pengujian non-destruktif ini
satu permasalahan yang perlu ditangani dengan diharapkan telah dapat dilakukan analisis sehingga
suatu metode konservasi. Metode konservasi yang dapat diketahui proses dan faktor pelapukan yang
tepat dapat diperoleh berdasar analisis kimia fisika, terjadi. Hasil analisis diharapkan dapat dipergunakan
petrografi, dan lain-lain. Umumnya metode tersebut sebagai dasar untuk melakukan tindakan konservasi
bersifat destruktif, karena memerlukan pegambilan yang diperlukan.
sampel dan proses destruksi dalam analisisnya.
Cagar budaya merupakan kekayaan yang harus 2. NDT (Non-Destructive Testing)
dijaga kelestariannya karena memiliki nilai penting NDT (Non-Destructive Testing)  adalah salah
yang tinggi. Oleh karena itu sebisa mungkin analisis satu teknik pengujian material tanpa merusak benda
yang dilakukan bersifat non-destruktif. Analisis yang ujinya. Pengujian tak rusak (NDT) dapat memainkan
menggunakan metode pengujian non-destruktif saat beberapa peran penting dalam analisis benda-benda
ini sangat diperlukan. Perkembangan teknologi saat dan bangunan bersejarah. Hal ini yang menyebabkan
ini memungkinkan berbagai teknik pengujian non- penerapan metode ini menarik di bidang arkeologi
destruktif dilakukan. Berbagai peralatan pengujian karena bermanfaat untuk konservasi. Metode non-
non-destruktif saat ini telah tersedia dan mampu destruktif testing terbatas pada beberapa metode
menghasilkan data analisis secara akuarat. Data saja yang memang bersfat tidak merusak benda uji.
yang dihasilkan belum dapat selengkap dan seakurat Pengujian non-destruktif dapat dikelompokkan
metode analisis destruktif, namun untuk keperluan seperti gambar berikut, yang membagi dalam empat
pemahaman terhadap permasalahan konservasi kelompok utama, yaitu: suara, penetrasi radiasi,
seringkali sudah cukup memadai. elektromagnetisme dan optik (Livingstone, 2001).
Salah satu metode analisis non-destruktif yang Pengetahuan dan hasil diagnosis status konservasi
dapat digunakan dalam analisis pelapukan cagar benda/bangunan bersejarah dapat digunakan untuk
budaya adalah pengujian dengan instrumen X-Ray memahami permasalahan material dan struktural

43
Cahyandaru, Penerapan NDT (Non-Destructive Testing) untuk Analisis Pelapukan Cagar Budaya Menggunakan Alat Xrf.....

yang terjadi serta mengarahkan pada pilihan model beberapa kasus perlu merusak secara mikro (misalnya
intervensi yang sesuai. Model penanganan yang perlu uji ketahanan pengeboran mikro). Apabila semua
dilakukan misalnya usulan perbaikan atau perkuatan tes dilakukan akan sangat mahal dan membutuhkan
struktural dapat diketahui dari analisis struktural dan pengalaman. Konservator harus memperhatikan
material non-destruktif. Analisis yang tepat terhadap kriteria dan persyaratan, serta harus memilih metode
struktural dan material dapat membantu dalam yang menghasilkan data optimal ketika merancang
memahami tingkat kerapuhan dan meramalkan sebuah program analisis (Svahn, 2006).
kondisinya di masa depan. (Binda and Saisi, 2001). Penerapan teknik analisis non-destruksi awalnya
Dalam konservasi, metode analisis ilmiah dikembangkan di bidang ilmu material. Selanjutnya
digunakan untuk mengevaluasi material cagar budaya bidang arkeologi, seni, dan sejarah menerapkan
dan proses konservasinya. K. Janssens dan R. van metode ini untuk mengetahui komposisi bahan, serta
Grieken dalam Svahn (2006) membagi metode mengetahui dari mana, kapan, atau oleh siapa artefak
analisis yang digunakan dalam konservasi menjadi tersebut dibuat. Analisis non-destruktif ini juga
tiga kelompok, sebagai berikut: berharga dalam beberapa kasus yang sangat diperlukan
- Analisis terhadap material pembuat cagar untuk kegiatan konservasi, untuk membedakan
budaya, yang meliputi semua komponen bagian-bagian asli atau penambahan dari objek, dan
penyusunnya, pengujian pemalsuan. Fenomena ini harus dipelajari
- Keadaan perubahan (di permukaan dan atau secara ekstensif untuk memahami kinetika pelapukan
internal) benda sebagai hasil dari proses dan untuk mengembangkan cara-cara konservasi
terpapar kondisi lingkungan tertentu dalam dan untuk mencegah atau memperlambat proses ini
jangka pendek, menengah, dan panjang, (Janssens et al, 2000).
- Efek / efektivitas pelaksanaan konservasi / Kapsalas, et al (2007) melakukan penelitian yang
restorasi yang dilaksanakan, baik sebelum, diarahkan untuk menyelidiki pelapukan batu secara
selama, dan setelah aplikasi. kuantitatif dengan deteksi non-destruktif. Permukaan
Penelitian modern pada material cagar budaya yang diteliti dipantau melalui bantuan beberapa
biasanya melibatkan penggunaan berbagai metode model pencitraan. Lebih khusus, digunakan Fiber
analisis dan teknik untuk memperoleh informasi dari Optik Microscope (FOM), kamera digital, dan sistem
bahan-bahan tersebut; dalam banyak kasus, komposisi reflectography yang beroperasi pada spektrum pita
kimia (elemen utama) merupakan informasi utama sinar tampak. Beberapa algoritma selanjutnya diuji
yang diperlukan (Schreiner, 2004). untuk mendeteksi pola pelapukan yang terjadi.
Ada banyak metode yang berbeda yang
dapat dilakukan, pemilihan metode yang akan 3. Permasalahan Pelapukan Candi Mendut dan
dipergunakan tergantung pada tujuan analisis. Hal ini Faktornya
penting karena tidak mungkin untuk mendapatkan Candi Mendut dan juga Candi Pawon
semua informasi yang diperlukan dari satu metode merupakan candi yang tidak bisa dipisahkan dari Candi
analisis tunggal. Konservator harus memilih dan Borobudur, tidak hanya pada konsteks religi tetapi
merancang serangkaian tes yang memberikan juga pada sejarah pembangunan dan pemugarannya.
informasi komplementer (saling melengkapi). Candi Mendut dibangun pada masa yang tidak
Persyaratan metode analisis yang diperlukan cukup jauh dari Candi Borobudur, diperkirakan dibangun
banyak, seperti tes harus non destruktif, cepat, terlebih dahulu dibanding Candi Borobudur. Riwayat
universal, ekonomis, mampu reproduksi, mudah Candi Mendut hingga pemugaran pertama pada awal
digunakan, sesuai tujuan, tersedia, sensitif dan tidak abad 20 serupa dengan Candi Borobudur. Dengan
berbahaya bagi lingkungan (Lahanier et al. dalam demikian usia dan riwayat pemugarannya identik
Schreiner, 2004). Seperti disebutkan di atas, tidak dengan Candi Borobudur. Yang berbeda adalah
semua tes sesuai dengan persyaratan tersebut, dalam Candi Borobudur kemudian mengalami pemugaran

44
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 42-52

kedua pada 1973-1983. memerlukan pengambilan sampel dari permukaan


Candi Mendut yang telah berusia sangat batu, namun alat XRF langsung ditembakkan pada
tua mengalami berbagai permasalahan pelapukan permukaan batu secara langsung dilapangan. Langkah
material. Berbagai gejala pelapukan terjadi pada pertama setelah pemilihan batu sampel adalah dengan
bagian dinding luar dan dinding dalam (bilik) candi. mengkondisikan alat sesuai material yang diukur,
Kerusakan struktural juga terjadi, yaitu berupa yaitu untuk batu menggunakan setingan alat mode
penggelembungan, keretakan struktur, dan beberapa “Soil-plus”. Kalibrasi dilakukan terhadap alat sebelum
bagian yang mengalami deformasi. Pelapukan digunakan menggunakan keping standar bawaan alat.
material yang teridentifikasi telah terjadi di Candi Pengukuran dilakukan dengan menempelkan unjung
Mendut adalah : alat pada permukaan batu dan diaktifkan melalui
a. Penggaraman layar sentuh pada alat. Posisi alat ditahan agar stabil
b. Postule dan alveol pada permukaan batu selama kurang lebih satu menit
c. Pertumbuhan organisme sampai proses pembacaan alat selesai. Setiap selesai
d. Kerapuhan dan pengelupasan pengukuran dilakukan penyimpanan data (save) dan
e. Kerusakan/pelapukan jenis lain setelah selesai semua pengukuran data yang diperoleh
Berdasarkan pengamatan struktur bangunan diunduh dan disimpan dalam format MS-Excel.
serta lokasi dan keberadaan Candi Mendut, beberapa Data yang dihasilkan dari XRF berupa data
faktor teridentiikasi turut berperan pada terjadinya komposisi, namun masih perlu untuk diolah karena
pelapukan batu. Faktor-faktor tersebut dapat berasal harus mengkoreksi unsur dari komponen lain yang
dari internal material atau bangunan serta dari mengganggu. Beberapa komponen akan masuk
faktor eksteral karena Candi Borobudur terletak di sebagai bagian tidak terukur, yaitu unsur oksigen,
lingkungan terbuka. Berikut ini faktor-faktor yang hidrogen, nitrogen dan bahan organik, air dalam hal
teridenfikasi berperan secara signifikan dalam proses ini juga termasuk komponen yang tidak terukur dan
pelapukan batu Candi Mendut. harus dikoreksi.
a. Faktor Internal Setelah dilakukan koreksi, untuk mengeliminir
1) Jenis batu komponen tidak terukur maka dilakukan pengolahan
2) Struktur bangunan data lebih lanjut dengan mengubah konponen silikon
3) Material lain dalam bangunan (Si) menajadi silika (SiO2). Hal ini karena yang terukur
b. Faktor Eksternal pada alat adalah unsur, sementara kondisi sebenarnya
1) Suhu dan Kelembaban silikon dalam batuan mayoritas adalah dalam bentuk
2) Penyinaran Matahari senyawaan silika. Sedangkan unsur lainnya tetap
3) Air sebagai unsurnya meskipun dalam batuan juga berupa
4) Organisme mineral. Data hasil analisis kimia yang diperoleh
5) Udara dan pengaruh emisi kendaraan ditampilkan di Tabel 1.
6) Asap dupa dalam bilik Data pada Tabel 1. merupakan data komposisi
7) Manusia sampel batu hasil konversi dan koreksi, data tersebut
menggambarkan kandungan unsur-unsur yang ada.
B. METODE / PENGAMBILAN DATA Analisis dengan XRF menghasilkan data pengukuran
Untuk menghasilkan data yang valid, maka untuk unsur-unsur tertentu terutama logam, sedang
setiap kelompok sampel terdiri atas 5 batu yang unsur lain non logam tidak terukur. Unsur yang
mewakili populasi, dan setiap batu diambil 3 data dominan namun tidak terukur antara lain oksigen,
untuk selanjutnya di rata-rata. Pengambilan data hidrogen, nitrogen, dan senyawa organik. Sehingga
dilaksanakan langsung dilapangan terhadap batu- data tersebut bukanlah kadar sesungguhnya (bukan
batu yang dianggap mewakili kelompok populasi. prosentase berat unsur per berat sampel) dari unsur-
Pengukuran dengan alat Handheld XRF tidak unsur yang ditampilkan, tetapi menggambarkan

45
Cahyandaru, Penerapan NDT (Non-Destructive Testing) untuk Analisis Pelapukan Cagar Budaya Menggunakan Alat Xrf.....

komposisi unsur yang ada.


Tabel 1. Kompilasi Data Hasil Pengukuran dengan XRF
Jenis sampel Komposisi (%)
No Unsur
SiO2 Al Fe Ca K P S Ti Mn Total
lain
1 Batu sehat porus 75,82 8,25 7,38 5,59 1,57 0,10 0,13 0,77 0,16 0,23 100,00
2 Batu sehat porus 74,66 6,96 7,14 8,09 1,20 0,20 0,49 0,66 0,19 0,41 100,00
3 Batu sehat porus 70,33 11,27 7,32 7,01 1,95 0,34 0,38 0,74 0,20 0,46 100,00
4 Batu sehat porus 76,52 9,06 6,46 5,28 1,44 0,14 0,10 0,61 0,18 0,22 100,00
5 Batu sehat porus 71,27 11,27 6,80 4,62 1,85 2,64 0,61 0,58 0,19 0,19 100,00
6 Batu sehat kompak 73,91 11,99 6,05 4,93 1,18 0,61 0,13 0,58 0,17 0,45 100,00
7 Batu sehat kompak 71,34 11,38 6,14 7,36 1,64 0,96 0,18 0,61 0,18 0,22 100,00
8 Batu sehat kompak 68,85 10,10 7,96 8,36 1,37 0,44 0,62 0,70 0,21 1,38 100,00
9 Batu sehat kompak 70,47 9,51 7,32 7,98 1,57 0,35 1,27 0,75 0,20 0,60 100,00
10 Batu sehat kompak 67,38 5,72 5,65 17,09 0,78 0,56 1,04 0,49 0,21 1,06 100,00
11 Batu sehat kompak 65,78 5,15 7,15 18,00 0,67 0,42 1,00 0,48 0,20 1,14 100,00
12 Lapisan kuning 78,06 9,20 3,93 6,32 0,47 0,66 0,44 0,30 0,18 0,44 100,00
13 Lapisan kuning 78,53 8,12 4,62 6,25 0,45 0,66 0,50 0,32 0,17 0,39 100,00
14 Lapisan kuning 78,90 9,30 4,96 4,44 0,88 0,36 0,43 0,38 0,16 0,19 100,00
15 Lapisan kuning 76,75 7,14 5,17 5,23 0,85 0,44 0,40 0,46 0,19 3,37 100,00
16 Lapisan kuning 78,06 8,19 4,92 5,31 0,73 0,49 0,44 0,39 0,17 1,32 100,00
17 Batu yang bergaram 77,40 7,67 5,05 5,27 0,79 0,46 0,42 0,42 0,18 2,34 100,00
18 Batu yang bergaram 81,20 5,36 5,15 6,04 1,07 0,18 0,04 0,49 0,16 0,31 100,00
19 Batu yang bergaram 82,33 3,34 4,38 6,99 0,67 0,29 1,15 0,41 0,17 0,27 100,00
20 Batu yang bergaram 80,16 6,67 5,89 4,72 0,90 0,08 0,18 0,48 0,16 0,76 100,00
21 Garam pada batu 81,02 1,16 2,83 14,03 0,15 0,05 0,25 0,18 0,17 0,15 100,00
22 Garam pada batu 79,80 1,19 2,36 15,79 0,08 0,00 0,28 0,19 0,17 0,15 100,00
23 Garam pada batu 89,11 1,46 1,70 7,01 0,08 0,00 0,13 0,15 0,15 0,21 100,00
24 Garam pada batu 83,31 1,27 2,30 12,27 0,10 0,02 0,22 0,17 0,16 0,17 100,00
25 Garam pada batu 86,59 1,67 3,57 7,11 0,15 0,00 0,11 0,24 0,09 0,47 100,00
26 Batu dengan organisme 87,78 2,90 3,19 4,36 0,34 0,10 0,62 0,27 0,16 0,27 100,00
27 Batu dengan organisme 86,70 1,82 2,69 7,69 0,17 0,03 0,27 0,21 0,14 0,28 100,00
28 Batu dengan organisme 86,10 1,91 2,94 7,86 0,19 0,04 0,31 0,22 0,14 0,30 100,00
29 Batu dengan organisme 84,26 2,54 3,32 8,71 0,25 0,00 0,42 0,24 0,08 0,18 100,00
30 Batu dengan organisme 91,07 0,64 1,82 5,39 0,04 0,04 0,47 0,13 0,05 0,35 100,00
31 Batu baru pemugaran I 86,59 1,67 3,57 7,11 0,15 0,00 0,11 0,24 0,09 0,47 100,00
32 Batu baru pemugaran I 73,20 8,10 7,11 8,69 1,42 0,09 0,37 0,63 0,19 0,21 100,00
33 Batu baru pemugaran I 76,42 4,72 6,23 9,22 1,09 0,11 1,34 0,51 0,17 0,20 100,00
34 Batu baru pemugaran I 68,98 2,21 4,80 17,65 0,21 0,02 5,46 0,32 0,14 0,21 100,00
35 Batu baru pemugaran I 85,60 4,66 3,96 3,60 0,67 0,47 0,37 0,34 0,10 0,22 100,00
36 Batu baru 76,08 10,23 5,29 4,79 2,54 0,10 0,08 0,57 0,17 0,14 100,00
37 Batu baru 73,99 10,59 5,96 6,52 1,88 0,10 0,00 0,58 0,19 0,19 100,00
38 Batu baru 73,04 10,46 6,20 6,63 2,37 0,13 0,23 0,59 0,18 0,18 100,00
39 Batu baru 74,68 10,93 5,48 5,92 1,97 0,08 0,00 0,56 0,19 0,20 100,00
40 Batu baru 74,70 10,18 6,82 4,70 2,48 0,08 0,00 0,63 0,20 0,21 100,00
41 Batu dinding bilik dalam 72,69 8,35 3,70 4,61 2,33 6,08 0,87 0,43 0,09 0,85 100,00
42 Batu dinding bilik dalam 56,87 21,02 4,35 3,53 1,39 10,00 2,07 0,36 0,09 0,31 100,00
43 Batu dinding bilik dalam 43,56 2,78 1,70 27,83 0,16 7,77 13,31 0,17 0,35 2,39 100,00
44 Batu dinding bilik dalam 48,72 18,99 3,10 6,33 0,75 13,53 8,04 0,19 0,13 0,22 100,00
45 Batu dinding bilik dalam 23,95 29,64 2,18 5,79 3,35 28,60 5,29 0,19 0,17 0,85 100,00

46
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 42-52

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN cukup tebal. Endapan tersebut merupakan produk
Berdasarkan data di atas, selajutnya dilakukan proses pelapukan sehingga memiliki komposisi yang
analisis data untuk mengetahui gejala pelapukan berbeda dengan batu. Adanya senyawa organik yang
yang terjadi dan memprediksi faktor-faktor yang tinggi pada permukaan juga akan menyebabkan
mempengaruhi. Hasil analisis diharapkan dapat kandungan silika menjadi rendah. Senyawa organik
digunakan sebagai dasar untuk merumuskan program tersebut bersumber dari proses pelapukan dan
penanganan konservasi ke depan. endapan asap dari pembakaran dupa dan lilin yang
1. Kandungan SiO2 dalam Batu berlangsung terus-menerus.
Batu andesit merupakan batuan baku dari
produk vulkanik yang secara petrografi merupakan 2. Kandungan Aluminium
batuan berbasis mineral yang memiliki kandungan Kandungan aluminium dalam batu digambarkan
dominan silika. Oleh karena itu kandungan silika dalam grafik perbandingan kandungan silika dengan
akan mencerminkan karakter batu, sehingga perlu aluminium pada Gambar 2. Berdasarkan grafik pada
dilakukan analisis perbandingan kandungan silika Gambar 2 dapat terlihat adanya pengelompokan
antar kelompok sampel. Data tersebut dituangkan kandungan silika versus aluminium yang
dalam grafik pada Gambar 1. tergambarkan dari titik-titik yang saling berkelompok.
Dari grafik pada Gambar 1terlihat perbedaan Kelompok titik-titik tersebut menunjukkan bahwa
kandungan silika dari berbagai sampel yang dianalisis. sampel yang diambil memiliki karakteristik yang
Batu yang sehat (tidak mengalami pelapukan) berada tidak jauh berbeda. Dari grafik tersebut kandungan
pada kisaran 70-76,5 % untuk batu porous dan 65,78- aluminium terlihat tidak terpola pada sampel batu
73,91 %. Kandungan silika yang tinggi ditunjukkan bilik dalam, hal ini karena batu tersebut sudah
pada sampel batu yang ditumbuhi organisme (84,26- mengalami pelapukan dengan tingkat yang bervariasi.
91,07 %). Kandungan silika yang rendah ditemukan Kondisi yang tidak berpola menunjukkan bahwa
pada batu bilik dalam dengan kandungan silika kondisi pelapukan batu bilik dalam berbeda-beda, baik
23,95-72,69 %. Hal ini disebabkan karena kondisi tingkat maupun jenis pelapukannya. Pelapukan yang
permukaan batu bilik dalam yang lapuk dan terlihat paling tinggi terjadi pada sampel no.45 yaitu sebesar
adanya endapan garam yang sangat tebal. Batu yang 29,64 %. Batu andesit yang mengalami pelapukan akan
mengalami pelapukan akan kandungan silikanya berubah komposisi mineralnya. Mineral penyusun
rendah. Karena silika merupakan kerangka penguat andesit akan berubah menjadi mineral lainnya, dan
material, maka batu yang kandungan silikanya rendah bentuk terakhir dari mineral yang sangat lapuk
lebih rapuh. Kandungan silika yang rendah ini juga adalah lempung/clay. Lempung merupakan mineral
disebabkan lapisan garam pada permukaan batu yang tanah yang lunak dengan kandungan utama alumina

Gambar 1. Kandungan SiO2 dalam Sampel untuk Setiap Kelompok Gambar 2. Grafik Perbandingan Unsur Aluminium terhadap Silika
Populasi Batu Candi Mendut

47
Cahyandaru, Penerapan NDT (Non-Destructive Testing) untuk Analisis Pelapukan Cagar Budaya Menggunakan Alat Xrf.....

dan silikat. (lempung merupakan mineral yang kesamaan karakteristik setiap kelompok sampel.
tersusun oleh lapisan alumina dan silikat atau rasio Kandungan besi pada sampel bilik dalam terlihat
Si/Al = 1 (kaolin ) dan Si/Al = 2 (monmorilonit), paling acak, hal ini disebabkan karena sampel bilik
jadi komponen utama lempung adalah Si dan dalam sudah mengalami pelapukan sehingga masing-
Al). Oleh karena itu batu-batu pada bilik dalam masing memiliki kandungan yang berbeda sesuai
mengandung aluminium dengan kadar tinggi karena dengan tingkat pelapukannya. Batu yang sehat baik
telah mengalami pelapukan tingkat lanjut sehingga porous maupun kompak dan batu baru yang segar dan
telah banyak terbentuk mineral clay. Namun hal ini dari pemugaran pertama, semuanya menunjukkan
masih merupakan hipotesis dan masih membutuhkan kandungan besi yang relatif tinggi. Hal ini karena
analisis lain untuk memastikan, misalnya dengan batu-batu tersebut relatif belum mengalami pelapukan
XRD. sehingga besi yang ada belum terdekomposisi dari
Kandungan aluminium terendah ditunjukkan batu. Kandungan besi pada batu dengan organisme
pada sampel endapan garam yaitu pada kisaran 1,16- relatif lebih rendah. Rendahnya kandungan besi ini
1,67 %. Hal ini sangat jelas karena endapan garam dimungkinkan karena batu jenis ini rentan terhadap
terbentuk dari proses kimia pelarutan garam yang pertumbuhan organisme, selain itu besi juga salah
kemudian mengendap di permukaan. Peristiwa satu jenis unsur nutrisi dari metabolisme organisme
pengendapan garam umumnya melibatkan senyawa sehingga menjadi dapat berkurang akibat diserap
silikat dan karbonat, dengan gabungan beberapa untuk aktivitas organisme. Mekanisme ini masih
kation terutama kalsium, magnesium, dan besi. perlu pengkajian lebih lanjut untuk mengetahui jenis
Dalam prosesnya aluminium tidak terlibat karena andesit yang rentan pertumbuhan organisme.
senyawa aluminium umumnya tidak mudah larut,
sehingga larutan yang akan mengering membentuk 4. Kandungan Kalsium
garam juga memiliki kandungan aluminium yang Kalsium merupakan unsur yang ada dalam batu
rendah. Oleh karena itu komposisi aluminium dalam andesit, jumlahnya tidak dominan. Kalsium dominan
endapan garam sangat rendah. pada batu kapur dan material yang dibuat dengan
campuran kapur seperti mortar/plester. Kandungan
3. Kandungan Besi kalsium pada batu andesit yang tinggi biasanya
Kandungan besi ditunjukkan pada grafik dipengaruhi oleh material lain. Kandungan kalsium
perbandingan kandungan besi terhadap kandungan dapat dilihat pada grafik pada Gambar 4.
silika pada Gambar 3. Berdasarkan grafik pada Gambar Dari grafik pada Gambar 4 terlihat bahwa
3 dapat terlihat bahwa masing-masing jenis sampel kandungan kalsium yang tinggi ditemukan pada
juga terlihat berkelompok, karena sesuai dengan sampel endapan garam dan sampel batu bilik dalam.

Gambar 3. Grafik Perbandingan Unsur Besi terhadap Silika Batu Gambar 4. Grafik Perbandingan Unsur Kalsium terhadap Silika
Candi Mendut Batu Candi Mendut

48
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 42-52

Sampel endapan garam merupakan material baru 5 kandungan kalium terhadap silika.
yang merupakan hasil pelapukan batu. Sehingga Dari grafik tersebut terlihat dengan jelas bahwa
komposisi endapan garam akan berbeda dengan batu kelompok sampel batu baru (segar) memiliki kandungan
andesit. Dari proses pembentukannya, garam pada kalium yang relatif paling tinggi dibanding sampel batu
permukaan batu umumnya merupakan senyawa lainnya. Demikian juga dengan sampel batu sehat baik
silikat dan karbonat yang berikatan dengan kation. yang porous dan kompak juga relatif tinggi. Kandungan
Kation yang paling banyak ditemukan adalah kalium yang tinggi dalam batu andesit menunjukkan
kalsium. Hal ini sejalan dengan data yang ada dimana bahwa mineral penyusun andesit yang mengandung
kandungan kalsium pada sampel endapan garam kalium masih cukup stabil dan belum mengalami
relatif tinggi dibanding sampel lainnya. Sampel batu pelapukan.
bilik dalam juga demikian, karena sampel batu bilik Pada sampel endapan garam kandungan kalium
dalam kondisinya juga tertutup endapan garam. Batu relatif rendah karena garam kalium merupakan
bilik dalam merupakan batu yang sudah mengalami garam yang mudah larut sehingga tidak mengendap di
pelapukan sehingga komposisinya merupakan permukaan membentuk endapan sebagaimana garam
campuran antara batu dan produk pelapukan, kalsium. Batu yang ditumbuhi organisme memiliki
tergantung tingkat pelapukannya. kandunga kalium yang rendah, hal ini dimungkinkan
Sumber kalsium yang membentuk endapan karena kalium merupakan salah satu nutrisi yang
garam pada Candi Mendut dapat berasal dari mortar sangat dibutuhkan oleh organisme terutama organisme
yang ada bagian dalam struktru bangunan. Air fotosintetik. Sehingga kandungan kalium dalam batu
yang meresap ke dalam bangunan dapat melarutkan yang ditumbuhi organisme akan menurun karena diserap
kalsium yang ada dalam mortar dan mengendap di oleh organisme untuk metabolismenya.
permukaan. Oleh karena itu penting untuk menjaga
agar Candi Mendut tidak mengalami kebocoran di 6. Kandungan Phospor
bagian atap. Sela-sela batu atap telah ditutup agar air Phospor pada dasarnya bukanlah unsur dalam
tidak masuk, namun sistem ini harus dimonitor agar mineral penyusun batu andesit. Unsur phospor bisa
tidak mengalami kerusakan. ada dalam batu dalam bentuk senyawa phospat yang
mungkin terbentuk dalam proses pelapukan batu dan
5. Kandungan Kalium pengaruh lingkungan. Data menunjukkan bahwa
Kalium merupakan unsur yang ada secara kandungan phospos relatif rendah untuk semua
alamiah dalam mineral penyusun batu andesit. sampel kecuali sampel dari bilik dalam. Berikut
Kalium pada dasarnya merupakan unsur yang mudah ini grafik pada Gambar 6 yang menggambarkan
larut dan mudah bereaksi. Sehingga batu andesit yang kandungan phospor dalam sampel.
sudah cukup tua dan lapuk akan memiliki kandungan Pada grafik pada Gambar 6 sampel batu dinding
kalium yang rendah. Berikut ini grafik pada Gambar

Gambar 5. Grafik Perbandingan Unsur Kalium terhadap Silika Batu Gambar 6. Grafik Perbandingan Unsur Fosfor terhadap Silika Batu
Candi Mendut Candi Mendut

49
Cahyandaru, Penerapan NDT (Non-Destructive Testing) untuk Analisis Pelapukan Cagar Budaya Menggunakan Alat Xrf.....

dalam tidak digambarkan karena kandungannya ditumbuhi organisme akan kehilangan kandungan
relatif sangat tinggi dibanding sampel lainnya. phospatnya.
Kandungan yang sangat ini terjadi karena batu
bilik dalam sudah mengalami pelapukan. Tingginya 7. Kandungan Belerang
kandungan phospor dalam batu tersebut dapat Kandungan belerang dalam sampel batu dapat
dijadikan petunjuk penyebab pelapukan batu bilik dilihat pada Gambar 7. Belerang merupakan unsur
dalam. Phospor banyak dihasilkan dari aktivitas yang tidak secara alami terdapat dalam mineral batu
binatang yang mungkin dahulu tinggal di dalam andesit. Sulfur ada dalam batu andesit akibat faktor
bilik Candi Mendur. Binatang yang umum tinggal eksternal, yaitu udara yang tercemar dan aktivitas
di dalam bilik candi adalah kelelawar dan burung. mikroorganisme. Udara yang tercemar dapat
Kotoran kelelawar yang menumpuk di bagian dalam bersumber dari alam seperti erupsi gunung api dan
bilik akan diuraikan oleh mikroba menghasilkan sumber non alam terutama pembakaran bahan bakar
bahan yang mengandung phospat. Jika kotoran yang minyak yang mengandung sulfur. Untuk Candi
menempel pada batu semakin tebal maka kandungan Mendut sumber-sumber tersebut memungkinkan
phospor dalam batu akan meninggkat meskipun terjadi karena erupsi gunung api cukup sering
permukaan batu sudah dibersihkan. Dengan terjadi dan lokasi candi yang berada di dekat jalan
demikian depat disimpulkan bahwa pelapukan yang raya. Faktor mikroorganisme juga berpengaruh
terjadi pada bilik dalam Candi Mendut terutama terutama batu bilik dalam, sebagaimana diuraikan
disebabkan oleh aktivitas binatang yang tinggal pada analisis kandungan phospor di atas. Bilik Candi
dalam bilik di masa lalu. Sumber lain yang mungkin Mendut kemungkinan pernah di huni binatang
adalah asap pembakaran dupa dan lilin. Asap tersebut dan kotorannya diuraikan oleh mikroorganisme
mengandung berbagai gas hasil pembakaran dan gas menghasilkan senyawa sulfat dan phospat yang
lain termasuk senyawa aromatik. Perlu pengkajian masuk ke pori-pori batu.
lebih lanjut untuk mengetahui komposisi asap dupa Jika kita perhatikan grafik di atas, maka
dan lilin serta perkiraan dampaknya terhadap batu dapat dilihat bahwa kandungan sulfur yang rendah
candi. terdapat pada batu baru (segar). Hal ini karena batu
Kandungan phospor yang rendah dijumpai tersebut masih alami dan belum terkena faktor-faktor
pada sampel batu yang ditumbuhi organisme dan eksternal yang meningkatkan kandungan sulfur.
endapan garam. Endapan garam yang ada di Candi Sedangkan sampel-sampel lainnya mengandung sulfur
Mendut merupakan endapan silikat dan karbonat, relatif lebih tinggi. Oleh karena itu dapat disimpulkan
sehingga phospat tidak ditemukan dalam hal ini. bahwa pengaruh eksternal turut berpengaruh
Phospat merupakan senyawa yang dibutuhkan pelapukan batu Candi Mendut. Pengaruh udara
oleh tumbuhan sebagai nutrisi, sehingga batu yang tercemar telah turut memberikan dampak pelapukan,
meskipun perlu dikaji secara lebih mendalam
kecepatan dampak tersebut. Perlu kajian lebih lanjut
untuk mengetahui dampak udara tercemar terutama
akibat lalu lintas kendaraan di jalan raya yang dekat
dengan Candi Mendut terhadap pelapukan batu
candi. Dari grafik tersebut terlihat bahwa kandungan
sulfur dalam endapan garam relatif rendah, sehingga
dapat dikatakan bahwa sulfat tidak berperan secara
signifikan dalam pembentukan endapan garam,
namun pada gejala pelapukan lainnya.
Gambar 7. Grafik Perbandingan Unsur Belerang terhadap Silika
Batu Candi Mendut

50
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 42-52

8. Rumusan Hasil Analisis dampak udara tercemar tidak mempengaruhi


Hasil analisis pelapukan batu Candi Mendut pelapukan dalam bentuk penggaraman. Perlu
yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut : kajian lebih lanjut untuk mengetahui dampak
a. Berdasarkan kandungan silika dalam sampel, udara tercemar terhadap pelapukan batu Candi
batu-batu Candi Mendut belum mengalami Mendut termasuk dampak emisi gas buang
pelapukan yang serius, kecuali bagian bilik dalam kendaraan dari jalan raya yang dekat dengan
yang telah mengalami pelapukan dengan tingkat candi.
yang bervariasi. Berdasar permasalahan, analisis data, dan
b. Pelapukan batu bilik diperkirakan akibat rumusan di atas maka dapat direkomendasikan
aktivitas mikroba karena tingginya kandungan beberapa program/kegiatan yang perlu dilaksanakan
phospat dan sulfat dalam batu. Aktivitas mikroba ke depan. Program/kegiatan tersebut yaitu:
tersebut dapat terjadi karena di masa lalu bilik a. Melaksanakan kegiatan monitoring
Candi Mendut menjadi tempat tinggal binatang keterawatan batu-batu candi secara detail dan
seperti kelelawar yang menghasilkan kotoran. kontinyu, untuk mengetahui perkembangan
Asap yang ditimbulkan dari pembakaran lilin dan pelapukan yang terjadi
dupa secara terus-menerus juga dapat berperan b. Melaksanakan kegiatan perawatan batu-batu
dalam pelapukan meskipun perlu kajian lebih candi berupa pembersihan dan perbaikan
mendalam. c. Melaksanakan perawatan atap untuk
c. Pelapukan pada dinding bagian luar yang cukup mencegah terjadinya kebocoran
banyak diamati adalah terbentuknya endapan d. Melaksanakan pemeliharaan kebersihan candi
garam yang sebagian diikuti dengan terbentuknya dari sampah dan pengotor lainnya
postule dan alveol. Penggaraman yang terjadi e. Melaksanakan pemeliharaan lingkungan
merupakan proses pengendapan garam silikat dan berupa pembersihan dan perawatan taman
karbonat dengan kation yang dominan adalah f. Penanaman pohon untuk tamanisasi sekaligus
kalsium. Tingginya kandungan kalsium dalam meningkatkan kualitas udara
endapan garam menunjukkan adanya faktor g. Penanaman pohon untuk penghalang emisi
material lain yang mengandung kapur, dalam gas kendaraan dari jalan raya
hal ini adalah adanya mortar di dalam struktur h. Melaksanakan kajian dampak emisi gas buang
bangunan yang dipasang pada pemugaran. terhadap pelapukan batu candi
d. Pertumbuhan organisme pada permukaan batu i. Melaksanakan kajian dampak asap lilin dan
terjadi pada batu jenis-jenis tertentu dengan dupa terhadap pelapukan batu candi
komposisi yang berbeda. Batu yang ditumbuhi j. Melaksanakan kajian pelapukan batu dinding
organisme mengandung besi, kalium, dan bilik dalam dan motode penanganannya
phospor yang realatif rendah karena unsur-unsur
tersebut merupakan nutrisi bagi metabolisme C. KESIMPULAN
organisme tersebut. Perlu kajian lebih dalam Berdasarkan analisis data dan pembahasan di atas,
untuk mengetahui jenis dan karakter batu yang maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
mudah mengalami pertumbuhan organisme dan 1. Alat XRF dapat diterapkan untuk analisis
pengendaliannya. pelapukan cagar budaya, dalam hal ini batu Candi
e. Udara tercemar turut mempangaruhi pelapukan Mendut. Analisis dengan alat XRF bersifat non-
batu Candi Mendut, ditandai dengan kandungan destruktis dan dapat menghasilkan data yang
sulfur pada batu-batu candi. Namun kandungan relatif akurat, cepat, dan mudah dilaksanakan di
tersebut belum menunjukkan adanya gelaja lapangan.
pelapukan yang signifikan. Kandungan sulfur 2. Berdasarkan pengolahan dan interpretasi data
dalam endapan garam juga relatif rendah sehingga yang dilakukan maka permasalahan pelapukan

51
Cahyandaru, Penerapan NDT (Non-Destructive Testing) untuk Analisis Pelapukan Cagar Budaya Menggunakan Alat Xrf.....

Candi Mendut dapat dipahami dengan lebih


baik. Hasil analisis permasalahan pelapukan ini
dapat menjadi acuan dalam pengambilan tindakan
konservasi yang diperlukan.

Datar Pustaka

Kapsalas P, Zervakis M, Maravelaki-Kalaitzaki P, Delegou Janssens K, Vittiglio G, Deraedt I, Aerts A, Vekemans B,


E.T, Moropoulou A, (2007), NDT Detection of Vincze L, Wei F, Deryck I, Schalm O, Adams F,
Decay Areas and Evaluation of Their Attributes, XXI Rindby A, Kn¨ochel A, Simionovici A, Snigirev
International CIPA Symposium, Athens, Greece A, (2000), Use of Microscopic XRF for Non-
Svahn H, (2006), Non-Destructive Field Tests in Stone destructive Analysis in Art and Archaeometry,
Conservation; Literature Study, Final Report X-Ray Spectrom. 29, 73–91
for the Research and Development Project,
Riksantikvarieämbetet Schreiner M, Frühmann B, Jembrih-Simbürger D, Linke
Livingston R A, (2001), Nondestructive Testing of R, (2004), X-Rays In Art And Archaeology – An
Historic Structures, Archives and Museum Overview, Advances in X-ray Analysis, Volume 47,
Informatics 13: 249–271, Kluwer Academic International Centre for Diffraction Data
Publishers.
Binda L and Saisi A, (2001), Non Destructive
Testing Applied to Historic Buildings: The
Case of some Sicilian Churches, Historical
Constructions, Guimarães

52
Metode Isolasi dan Identifikasi Struktur Senyawa Organik Bahan Alam

Sri Atun
Jurusan Pendidikan Kimia, FMIPA, Universitas Negeri Yogyakarta
Email : Atun_1210@yahoo.com

Abstrak: Beberapa penelitian etnomedika yang tercatat dalam dokumen kuno dari beberapa wilayah Indonesia
menunjukkan adanya beberapa jenis tumbuhan yang dapat digunakan sebagai obat untuk menyembuhkan berbagai
penyakit, maupun dapat diterapkan pada benda yang mengalami permasalahan akibat aktivitas suatu organisme.
Senyawa bioaktif dapat berkhasiat sebagai anti bakteri, anti jamur, anti serangga dan lain-lain. Namun demikian,
agar tumbuhan tersebut dapat dikembangkan dan dilestarikan perlu dilakukan penelitian yang berkelanjutan,
sehingga dapat diketahui jenis senyawa bioaktifnya. Untuk mengetahui kandungan senyawa aktif dari tumbuhan
perlu dilakukan isolasi, sehingga diperoleh senyawa murni. Selanjutnya dari senyawa murni yang diperoleh belum
memiliki makna apabila belum diketahui struktur molekulnya. Dalam artikel ini akan dibahas mengenai metode
isolasi dan penentuan struktur senyawa alam.

Kata kunci: Isolasi, Identifikasi, Senyawa bioaktif

Abstract: Some ethno-medical studies, which have been written in ancient documents from several regions in
Indonesia, shows that there are several types of plant used as medicines to cure diseases as well as to be applied in an
object that has problem with organism’s growth. The bioactive compound could be used as anti-bacteria, anti-fungi,
anti-insect, etc. Nevertheless, continuous study is needed to investigate the type of its bioactive compound. Thus,
the plant could be developed and preserved. In identifying the active compound from a plant, isolation is needed to
gain pure compound. The pure compound has no meaning if its molecular structure has not been identified. The
article discuss about isolation methodology and determination on the structure of natural compound.

Keywords: Isolation, Identification, Bioactive compound

Pendahuluan bahan bangunan maupun yang lainnya. Sebagian


Indonesia termasuk salah satu negara informasi tersebut ada yang tercatat dalam dokumen
“megadiversity” yang kaya keanekaragaman hayati. Di kuno yang berasal dari beberapa wilayah Indonesia,
dunia terdapat kurang lebih 250.000 jenis tumbuhan tinggi, namun ada juga yang hanya sebagai cerita dari mulut
dan lebih dari 60 % dari jumlah ini merupakan tumbuhan ke mulut. Namun demikian, agar tumbuhan tersebut
tropika. Diperkirakan sekitar 30.000 tumbuhan ditemukan dapat dikembangkan dan dilestarikan perlu dilakukan
di dalam hutan hujan tropika, dan sekitar 1.260 spesies di penelitian yang berkelanjutan, sehingga dapat
antaranya diketahui berkhasiat sebagai obat. Namun, baru diketahui jenis senyawa bioaktifnya serta khasiatnya
sekitar 180 spesies yang telah digunakan untuk berbagai untuk mengobati penyakit-penyakit tersebut maupun
keperluan industri obat dan jamu, dan baru beberapa sebagai bahan pengawet kayu maupun yang lainnya
spesies saja yang telah dibudidayakan secara intensif [1]. [2-4].
Keanekaragaman hayati Indonesia tersebut terutama Penerapan bahan aktif dari tumbuhan tidak
tersebar di setiap pulau besar, seperti Kalimantan, Papua, terbatas pada pengobatan terhadap penyakit manusia.
Sumatra dan Jawa. Di samping itu terdapat organisme Khasiat bioaktif tersebut selain sebagai obat pada
lain seperti jamur maupun mikroba yang belum banyak penyakit manusia juga dapat diterapkan pada benda
tersentuh oleh peneliti. Keanekaragaman hayati tersebut yang mengalami permasalahan akibat aktivitas suatu
merupakan sumber biomolekul senyawa-senyawa organik organisme. Senyawa bioaktif dapat berkhasiat sebagai
yang tidak terbatas jumlahnya [1]. anti bakteri, anti jamur, anti serangga dan lain-
Sejak dahulu kala, nenek moyang kita telah lain. Salah satu material yang terancam pelapukan
mengetahui sifat-sifat yang berguna dari berbagai akibat aktivitas organisme adalah benda-benda cagar
jenis tumbuhan untuk mengobati penyakit, budaya. Cagar budaya merupakan tinggalan budaya
pembunuh jamur maupun pengawet kayu sebagai yang memiliki nilai penting sehingga perlu untuk

53
Atun Metode Isolasi dan Identifikasi Struktur Senyawa Organik Bahan Alam.....

dilestarikan, umumnya sudah berumur tua dan telah


lapuk. Pelestarian cagar budaya dapat dilakukan H3C
O O H
O
dengan mengendalikan faktor-faktor perusaknya, O
dengan cara-cara konservasi menggunakan berbagai O H
N O H
O
bahan termasuk bahan tradisional. Masyarakat O H
H
O O O H
C
tradisional selain meninggalkan cagar budaya dalam O 3

O
bentuk benda, juga mewariskan berbagai praktek
yang bertujuan memelihara atau mengawetkan
Taxol
benda-benda tersebut. Cara-cara tradisional tersebut
menggunakan bahan-bahan alam termasuk dari H3C
tumbuh-tumbuhan. Penelitian mengenai isolasi H
C 3

H3C
senyawa aktif pada tumbuhan yang digunakan sebagai O H
C 3
O H
O
O O
bahan konservan tradisional pada cagar budaya juga
O H
N O
penting untuk dilakukan. H
O
O
Perkembangan dalam penelitian bahan alam O
H
O
H
O H
C 3
mengalami kemajuan yang semakin cepat dengan O
O
ditemukannya teknik-teknik pemisahan secara
Taxoter
kromatografi dan penentuan struktur molekul secara
spektroskopi pada pertengahan abad ke-20. Dengan spesies berasal dari Indonesia, di antaranya obat anti
menggunakan metode tersebut beberapa struktur kanker vinblastin dan vinkristine dan obat hipertensi
senyawa bioaktif berhasil ditemukan, misalnya reserpine yang berasal dari pulai pandak (Rauvolfia
penemuan alkaloid seperti vinblastin dan vinkristin serpentina). Pada tahun 1983–1994 lebih dari 40%
dari tumbuhan Catharanthus roseus (tapak dara) obat baru yang disetujui oleh FDA adalah senyawa
sebagai obat kanker. Demikian juga penemuan taksol alam, dan saat ini lebih dari 30% bahan obat yang
dari tumbuhan Taxus brevifolia, serta taxoter hasil beredar diperdagangan juga berasal dari senyawa
modifikasinya yang dapat digunakan sebagai obat alam. Dengan demikian, di masa yang akan datang
kanker kandungan. Hal ini mendorong perusahaan- akan lebih banyak lagi ditemukan obat-obat baru
perusahaan farmasi untuk mengeksplorasi senyawa- yang berasal dari alam, baik dari tumbuhan, hewan,
senyawa bioaktif dari tumbuhan sebagai lead maupun organism[5].
compounds penemuan obat baru[3-5]. Hasil metabolisme suatu organisme hidup
Di Amerika Serikat terdapat sekitar 45 macam (tumbuhan, hewan, mikroorganisme) berupa
obat penting berasal dari tumbuhan obat tropika, 14 metabolit primer dan sekunder. Senyawa metabolit
primer umumnya sama untuk setiap organisme, terdiri
dari molekul-molekul besar seperti polisakarida,
H
O protein, asam nukleat, dan lemak. Fungsi senyawa
N
metabolit primer adalah sebagai sumber energi untuk
kelangsungan hidup organisme atau sebagai cadangan
N
e
M
O
C N energi bagi organisme itu sendiri. Metabolit sekunder
H berupa molekul-molekul kecil, bersifat spesifik,
H
O
artinya tidak semua organisme mengandung senyawa
sejenis, mempunyai struktur yang bervariasi, setiap
H
O 3C N c
A
O
H senyawa memiliki fungsi atau peranan yang berbeda-
R e
M
O
C
beda[6].
R = Me, Vinblastin Pada umumnya senyawa metabolit sekunder
R = CHO, Vinkristin
berfungsi untuk mempertahankan diri atau untuk

54
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 53-61

mempertahankan eksistensinya di lingkungan biasanya dibutuhkan waktu 1-6 hari. Selain metanol
tempatnya berada. Dalam perkembangannya atau etanol pelarut yang lain yang biasa digunakan
senyawa metabolit sekunder tersebut dipelajari antaralain aseton, klroform, atau sesuai dengan
dalam disiplin ilmu tersendiri yaitu kimia bahan alam kebutuhan. Setelah waktu tertentu ekstrak yang
(natural product chemistry). Metabolit sekunder disebut maserat dipisahkan dengan cara penyaringan.
merupakan biomolekul yang dapat digunakan sebagai Maserasi biasanya dilakukan pengulangan dengan
lead compounds dalam penemuan dan pengembangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan
obat-obat baru. maserat yang pertama yang disebut remaserasi.
Remaserasi biasanya dilakukan tiga kali atau sampai
Metode Isolasi Senyawa Organik Bahan Alam senyawa yang diinginkan dalam sampel benar-benar
1. Ekstraksi sudah habis. Apabila dalam proses maserasi dilakukan
Senyawa metabolit sekunder biasanya terdapat pengadukan terus menerus maka disebut juga dengan
dalam organisme dalam jumlah yang sangat sedikit. maserasi kinetik. Sedangkan apabila dalam maserasi
Oleh karena itu biasanya dalam proses isolasi dimulai kinetik tersebut dilakukan di atas suhu kamar,
dari sampel yang jumlahnya banyak, minimal 2 kg biasanya 40-50 oC disebut digesti. Cara yang biasa
sampel kering yang sudah dihaluskan. Pekerjaan dilakukan adalah dengan menempatkan sejumlah
isolasi membutuhkan ketrampilan dan pengalaman bahan ditempatkan pada wadah tertutup, ditambah
dalam memadukan berbagai teknik pemisahan. dengan pelarut dengan perbandingan kira-kira 1:7,
Untuk mendapatkan senyawa murni biasanya atau sedikitnya semua sampel tercelup. Diamkan
peneliti menggunakan beberapa teknik ekstraksi dan selama 1-6 hari pada suhu kamar dan terlindung dari
kromatografi. Teknik ekstraksi senyawa organik cahaya dengan sesekali diaduk. Setelah itu, cairan
bahan alam yang biasa digunakan antara lain maserasi, dipisahkan, buang bagian yang mengendap. Pada saat
perkolasi, infudasi, dan sokhletasi. Sedangkan teknik proses perendaman senyawa organik yang terkandung
kromatografi yang biasanya digunakan antara lain dalam sampel berdifusi melewati dinding sel untuk
kromatografi lapis tipis (KLT), kromatografi kolom melarutkan konstituen dalam sel dan juga memacu
vakum (KVC), kromatografi kolom gravitasi (KKG), larutan dalam sel untuk berdifusi keluar. Sistem yang
dan kromatotron (Centrifugal Chromatography). digunakan dalam metode ini adalah sistem statis,
Pemilihan jenis metode biasanya dilakukan kecuali saat digojog, proses ekstraksi berjalan dengan
berdasarkan pengalaman peneliti maupun hasil difusi molekuler, sehingga proses ini berlangsung
penelitian yang telah dilaporkan sebelumnya[7-10]. secara perlahan. Setelah ekstraksi selesai, residu dari
Langkah pertama yang biasanya dilakukan sampel harus dipisahkan dengan pelarut dengan
dalam isolasi senyawa organik bahan alam adalah didekantir atau disaring. Maserasi dengan pengulangan
ekstraksi sampel menggunakan pelarut organik. (remaserasi) akan lebih efisien dari pada hanya sekali
Ada beberapa metode ekstraksi sampel bahan alam, saja, hal ini terjadi karena ada kemungkinan sejumlah
antara lain maserasi, infusdasi, digesti, perkolasi dan besar komponen aktif masih tertinggal dalam proses
soxletasi. Maserasi merupakan teknik ekstraksi dari maserasi yang pertama. Sejumlah filtrat (maserat) dari
sampel padat menggunakan pelarut tertentu biasanya hasil pengulangan maserasi selanjutnya dicampur dan
digunakan metanol atau etanol. Metanol memiliki dipekatkan.
kelebihan memiliki titik didih yang lebih rendah Infusdasi merupakan metode ekstraksi dengan
sehingga mudah diuapkan pada suhu yang lebih pelarut air. Pada waktu proses infusdasi berlangsung,
rendah, tetapi bersifat lebih toksik. Sedangkan etanol temperatur pelarut air harus mencapai suhu 90ºC
memiliki kelemahan memiliki titik didih yang relatif selama 15 menit. Rasio berat bahan dan air adalah
tinggi sehingga lebih sulit diuapkan, tetapi relatif tidak 1 : 10, artinya jika berat bahan 100 gr maka volume
toksik dibanding metanol. Proses maserasi dilakukan air sebagai pelarut adalah 1000 ml. Cara yang biasa
selama waktu tertentu dengan sesekali diaduk, dilakukan adalah serbuk bahan dipanaskan dalam

55
Atun Metode Isolasi dan Identifikasi Struktur Senyawa Organik Bahan Alam.....

panci dengan air secukupnya selama 15 menit 2. Kromatografi


terhitung mulai suhu mencapai 90ºC sambil sekali- Langkah berikutnya setelah diperoleh ekstrak
sekali diaduk. Saring selagi panas melalui kain flanel, dalam isolasi senyawa organik bahan alam adalah
tambahkan air panas secukupnya melalui ampas pemisahan komponen-komponen yang terdapat
hingga diperoleh volume yang diinginkan. Apabila dalam ekstrak tersebut. Teknik yang banyak
bahan mengandung minyak atsiri, penyaringan digunakan adalah kromatografi. Kromatografi
dilakukan setelah dingin. adalah teknik pemisahan campuran berdasarkan
Dekoksi merupakan proses ekstraksi yang mirip perbedaan kecepatan perambatan komponen dalam
dengan proses infusdasi, hanya saja infus yang dibuat medium tertentu. Pada kromatografi, komponen-
membutuhkan waktu lebih lama (≥ 30 menit) dan komponennya akan dipisahkan antara dua buah
suhu pelarut sama dengan titik didih air. Caranya, fase yaitu fase diam dan fase gerak. Fase diam akan
serbuk bahan ditambah air dengan rasio 1 : 10, menahan komponen campuran sedangkan fase
panaskan dalam panci enamel atau panci stainless steel gerak akan melarutkan zat komponen campuran.
selama 30 menit. Bahan sesekali sambil diaduk. Saring Komponen yang mudah tertahan pada fase diam akan
pada kondisi panas melalui kain flanel, tambahkan air tertinggal. Sedangkan komponen yang mudah larut
panas secukupnya melalui ampas hingga diperoleh dalam fase gerak akan bergerak lebih cepat. Beberapa
volume yang diinginkan. teknik kromatografi yang banyak digunakan antara
Perkolasi adalah proses ekstraksi dengan pelarut lain kromatografi lapis tipis (KLT), kromatografi
yang dialirkan melalui kolom perkolator yang diisi kolom vakum (KVC), kromatografi kolom gravitasi
dengan serbuk bahan atau sampel, dan ekstraknya (KG), dan kromatotron.
dikeluarkan melalui keran secara perlahan. Secara Kromatografi lapis tipis adalah suatu teknik
umum proses perkolasi ini dilakukan pada temperatur pemisahan komponen-komponen campuran suatu
ruang. Parameter berhentinya penambahan pelarut senyawa yang melibatkan partisi suatu senyawa di
adalah perkolat sudah tidak mengandung komponen antara padatan penyerap (adsorbent, fasa diam) yang
yang akan diambil. Pengamatan secara fisik pada dilapiskan pada pelat kaca atau aluminium dengan
ekstraksi bahan alam terlihat tetesan perkolat sudah suatu pelarut (fasa gerak) yang mengalir melewati
tidak berwarna. Caranya, serbuk bahan dibasahi adsorbent (padatan penyerap). Pengaliran pelarut
dengan pelarut yang sesuai dan ditempatkan pada dikenal sebagai proses pengembangan oleh pelarut
bejana perkolator. Bagian bawah bejana diberi sekat (elusi). KLT mempunyai peranan penting dalam
berpori untuk menahan serbuk. Cairan pelarut pemisahan senyawa organik maupun senyawa
dialirkan dari atas kebawah melalui serbuk tersebut. anorganik, karena relatif sederhana dan kecepatan
Cairan pelarut akan melarutkan zat aktif dalam sel-sel analisisnya. Di dalam analisis dengan KLT,
yang dilalui sampai keadaan jenuh. sampel dalam jumlah yang sangat kecil ditotolkan
Soxkletasi merupakan proses ekstraksi menggunakan pipa kapiler di atas permukaan pelat
dengan menggunakan pelarut yang selalu baru yang tipis fasa diam (adsorbent), kemudian pelat diletakkan
umumnya dilakukan dengan alat khusus soxklet dengan tegak dalam bejana pengembang yang berisi
sehingga terjadi ekstraksi konstan dengan adanya sedikit pelarut pengembang. Oleh aksi kapiler, pelarut
pendingin balik. Caranya, serbuk bahan ditempatkan mengembang naik sepanjang permukaan lapisan pelat
pada selongsong dengan pembungkus kertas saring, dan membawa komponen-komponen yang terdapat
lalu ditempatkan pada alat soxklet yang telah dipasang dalam sampel.
labu dibawahnya. Tambahkan pelarut sebanyak 2 Pemilihan fasa gerak yang tepat merupakan
kali sirkulasi. Pasang pendingin balik, panaskan labu, langkah yang sangat penting untuk keberhasilan
ekstraksi berlangsung minimal 3 jam dengan interval analisis dengan KLT. Umumnya fasa gerak dalam
sirkulasi kira-kira 15 menit. KLT ditemukan dengan coba-coba dan jarang sekali
yang didasarkan pada pengetahuan yang mendalam.

56
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 53-61

Sifat-sifat pelarut pengembang juga merupakan faktor kolom, sehingga proses pemisahan berlangsung lebih
dominan dalam penentuan mobilitas komponen- cepat. Penggunaan tekanan dimaksudkan agar laju
komponen campuran. Umumnya kemampuan suatu aliran eluen meningkat sehingga meminimalkan
pelarut pengembang untuk menggerakkan senyawa terjadinya proses difusi karena ukuran silika gel yang
pada suatu adsorben berhubungan dengan polaritas biasanya digunakan pada lapisan kromatografi KLT
pelarut. sebagai fasa diam dalam kolom yang halus yaitu
Kemampuan ini disebut kekuatan elusi, dan 200-400 mesh. Kolom yang digunakan berukuran
urutan kekuatan elusi beberapa pelarut yaitu air lebih pendek dari pada kolom kromatografi gravitasi
> metanol > etanol > aseton > etil asetat > dengan diameter yang lebih besar (5 -10 cm). Kolom
kloroform > dietil eter > metilen diklorida > KVC dikemas kering dalam keadaan vakum agar
benzena > toluena > karbon tetraklorida > heksan diperoleh kerapatan kemasan maksimum. Sampel
> petroleum eter. Identifikasi senyawa yang telah yang akan dipisahkan biasanya sudah diadsorbsikan
terpisah pada lapisan tipis dapat dilakukan dengan ke dalam silika kasar terlebih dahulu (ukuran silika
menggunakan reaksi penampak noda maupun kasar 30-70 mesh) agar pemisahannya lebih teratur dan
dideteksi menggunakan lampu UV (254 atau 356 nm) menghindari sampel kangsung menerobos ke dinding
untuk senyawa-senyawa yang dapat menyerap warna. kaca tanpa melewati adsorben terlebih dahulu, yang
Kromatografi vakum cair digunakan untuk dapat berakibat gagalnya proses pemisahan. Pelarut
fraksinasi ekstrak total secara cepat. Teknik ini dapat yang kepolarannya rendah dituangkan ke permukaan
dilakukan dengan menggunakan kolom kromatografi penyerap yang sebelumnya sudah dimasukkan
yang dihubungkan dengan pompa vakum, dengan sampel. Kolom dihisap perlahan-lahan ke dalam
isian kolom silika gel untuk TLC (10 -40 μm). Sebagai kemasan dengan memvakumkannya. Kolom dielusi
eluen digunakan campuran pelarut dari yang non dengan campuran pelarut yang cocok, mulai dengan
polar secara bertahap ke yang polar. Hasil pemisahan pelarut yang kepolarannya rendah lalu kepolaran
dari kromatografi vakum cair adalah fraksi-fraksi yang ditingkatkan perlahan-lahan. Kolom dihisap sampai
dapat dikelompokkan menjadi kelompok senyawa kering pada setiap pengumpulan fraksi, sehingga
non polar, semi polar, dan polar. kromatografi vakum cair disebut juga kolom
Kromatografi vakum cair merupakan fraksinasi.
modifikasi dari kromatografi kolom gravitasi. Kromatografi gravitasi dapat digunakan untuk
Metode ini lebih banyak digunakan untuk fraksinasi pemisahan dan pemurnian senyawa yang telah
sampel dalam jumlah besar (10-50 g). Kolom yang difraksinasi menggunakan kromatografi vakum cair.
digunakan biasanya terbuat dari gelas dengan lapisan Teknik ini dapat dilakukan dengan kolom diameter
berpori pada bagian bawah. Ukuran kolom bervariasi ukuran 1-3 cm dan panjang kolom 50 cm. Sebagai
tergantung ukurannya. Kolom disambungkan dengan adsorben digunakan silika gel GF 60 (200-400 mesh).
penampung eluen yang dihubungkan dengan pompa Tinggi adsorben yang biasa digunakan berkisar 15-20
vakum. Pompa vakum akan menghisap eluen dalam cm. Eluen yang digunakan menggunakan campuran

A B C
Gambar 1. Beberapa teknik kromatografi KVC (A); KG (B); kromatotron (C)

57
Atun Metode Isolasi dan Identifikasi Struktur Senyawa Organik Bahan Alam.....

pelarut polar dan non polar dengan perbandingan dapat dilihat dalam gambar 1.
yang sesuai. Pemisahan dengan kromatografi kolom Hasil pemisahan secara kromatografi selanjutnya
gravitasi biasanya akan diperoleh hasil yang baik diperoleh fraksi-fraksi yang ditampung dalam botol
apabila digunakan campuran pelarut yang dapat atau tabung dan dianalisis secara kromatografi lapis
memisahkan komponen pada Rf kurang dari 0,3 pada tipis (KLT), yang biasa disebut kromatogram.
uji coba dengan KLT. Kromatogram yang diperoleh selanjutnya dianalisis
Kromatotron atau sentrifugal kromatografi dengan lampu UV pada panjang gelombang 254
merupakan kromatografi menggunakan alat atau 356 nm atau disemprot dengan reagen warna.
yang disebut kromatotron, teknik pemisahannya Salah satu reagent warna yang banyak digunakan
menggunakan gaya sentrifugal dan gravitasi. Dalam antara lain serium sulfat yang dapat mendeteksi
teknik ini digunakan silika gel for TLC yang hampir semua senyawa bahan alam, maupun reagen
berflourecent. Prinsip pemisahan dengan kromatotron yang khusus seperti Lieberman Burchard untuk
sama dengan kromatografi yang lainnya, tetapi mendeteksi terpenoid dan steroid. Fraksi-fraksi yang
pemisahan akan berlangsung lebih cepat, oleh karena telah dinalisis secara KLT selanjutnya dikelompokkan
ada gaya sentrifugal yang akan mempercepat proses berdasarkan jumlah senyawa maupun Rfnya yang
penyerapan pelarut yang membawa komponen yang sama digabungkan untuk dianalisis lebih lanjut.
dipisahkan. Pemisahan dianggap cukup apabila sudah diperoleh
Penggunaan gabungan sedikitnya tiga macam fraksi yang menunjukkan noda tunggal pada beberapa
teknik kromatografi di atas sudah dapat digunakan uji KLT dengan menggunakan berbagai variasi eluen
untuk memisahkan dan memurnikan senyawa yang berbeda. Adanya noda tunggal pada beberapa uji
organik bahan alam. Namun diperlukan ketrampilan KLT tersebut menunjukkan bahwa sudah diperoleh
dalam penggunaan serta ketepatan dalam memilih senyawa dengan tingkat kemurnian tinggi.
jenis kromatografi, serta ketepatan pemilihan eluen C. Identifikasi Senyawa Organik Bahan Alam
yang sesuai. Beberapa teknik kromatografi tersebut 1. Menggunakan Pereaksi Warna

A B

C D
Gambar 2. Fraksi-fraksi hasil pemisahan (A); analisis dengan KLT (B); kromatogram (C); dan kromatogram senyawa yang sudah
murni pada berbagai campuran pelarut (D)

58
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 53-61

Pengujian kandungan kimia secara kualitatif terbentuknya buih yang stabil. Buih itu dicampur
terhadap ekstrak atau senyawa murni dapat dilakukan dengan 3 tetes minyak zaitun dan dikocok dengan
secara sederhana untuk menentukan golongan kuat setelah itu diamati untuk pembentukan
senyawa yang diperoleh. Secara rinci beberapa emulsi.
pengujian sederhana yang dapat dilakukan adalah d. Uji flavonoids: Sampel dilarutkan dalam pelarut
sebagai berikut : yang sesuai, sebanyak 2 ml dimasukkan ke dalam
a. Uji sterol dan triterpenoids: ekstrak metanol tabung reaksi dan tambahkan beberapa tetes
dilarutkan dalam kloroform, disaring dan filtrat larutan FeCl3, apabila terbentuk warna ungu
diuji untuk sterol dan triterpenoids menunjukkan positif terhadap flavonoid.
1) Uji Salkowski : Beberapa tetes asam sulfat
pekat ditambahkan ke larutan kloroform dan 2. Identifikasi struktur molekul menggunakan
diamati untuk warna merah di lapisan bawah metode spektroskopi
untuk sterol dan warna kuning keemasan Elusidasi struktur molekul senyawa organik
menunjukkan adanya Triterpenoid. merupakan tahapan terpenting dari penggunaan
2) Libermann Buchard test: Beberapa tetesan analisis spektroskopi modern. Dalam elusidasi
hidrida asetat ditambahkan ke dalam larutan struktur molekul untuk menentukan struktur
kloroform, kocok dan teteskan 1 ml asam sulfat senyawa hasil sintesis jauh lebih mudah dari
pekat dengan hati-hati ditambahkan dari sisi pada elusidasi senyawa hasil isolasi. Oleh karena
tabung reaksi. Jika berwarna coklat kemerahan analisis struktur molekul dari hasil sintesis sudah
menunjukkan adanya sterol dan cincin merah dapat diprediksi struktur molekulnya berdasarkan
menunjukkan adanya triterpenoid. reaktan yang digunakan serta mekanisme reaksinya.
b. Uji alkaloid: 0,5 g ekstrak diencerkan secara Sedangkan dalam elusidasi struktur molekul senyawa
terpisah untuk 10 ml dengan alkohol asam, direbus hasil isolasi relatif lebih rumit, karena struktur
dan disaring. 5 ml filtrat ditambahkan 2 ml encer molekul yang sangat banyak kemungkinannya.
amonia. 5 ml kloroform ditambahkan dan kocok Untuk mempermudah analisis struktur senyawa hasil
dengan lembut untuk mengekstrak alkaloid. isolasi biasanya diperlukan pengetahuan sebelumnya
Lapisan kloroform diekstraksi dengan 10 ml asam mengenai keragaman struktur senyawa yang telah
asetat, dan dibagi dalam 3 bagian, dan diuji sebagai diperoleh dari tumbuhan yang memiliki kekerabatan
berikut: yang dekat, misalnya merupakan tumbuhan dalam
1) Uji Dragendroff : (kalium nitrat- bismut): genus atau famili yang sama. Biasanya senyawa yang
Beberapa tetes larutan Dragendroff ditemukan dari tumbuhan dalam satu genus atau
ditambahkan ke dalam larutan kloroform, famili memiliki hubungan kekerabatan senyawa
endapan coklat kemerahan menunjukkan metabolit sekundernya. Selanjutnya sebagai tambahan
adanya alkaloid. informasi untuk mempermudah dalam analisis
2) Uji Mayer : (Kalium iodida- merkuri) : Beberapa struktur senyawa hasil isolasi juga diperlukan data
tetes reagent Mayer ditambahkan ke dalam sifat fisik, seperti kelarutan, titik leleh, maupun jenis
larutan kloroform , jika terbentuk endapan pelarut yang digunakan dalam proses pemisahan.
putih menunjukkan adanya alkaloid. Metode spektroskopi yang biasanya digunakan
3) Uji Wagner : (Yodium- kalium iodida dalam) untuk identifikasi struktur yang biasa digunakan
: Beberapa tetes larutan Wagner ditambahkan antara lain spektroskopi ultraviolet (UV), infra
ke dalam larutan kloroform, jika terbentuk merah (IR), NMR (Nuclear magnet resonance), dan
endapan coklat menunjukkan adanya alkaloid. massa. Spektroskopi UV untuk identifikasi adanya
c. Uji Saponin: Foam Test : Untuk 0.5 g ekstrak gugus kromofor (fenolik; ikatan rangkap; dll) ,
ditambahkan 5 ml air suling dalam tabung spektroskopi IR untuk identifikasi adanya gugus
reaksi. Larutan dikocok dengan kuat dan diamati fungsional ( hidroksil; aromatik; karbonil; dsb),

59
Atun Metode Isolasi dan Identifikasi Struktur Senyawa Organik Bahan Alam.....

spektroskopi NMR (1H dan 13 C), 1H NMR untuk Selanjutnya untuk menentukan struktur yang paling
menentukan jumlah dan lingkungan proton (atom sesuai dibuktikan dengan data fragmentasi dari
H dalam senyawa), 13 C NMR untuk menentukan spektroskopi MS[10-13].
jumlah atom karbon dalam senyawa , sedangkan
untuk menentukan massa atom relatif (Mr) digunakan D. Penutup
MS[10-13]. Sejalan dengan keberadaan organisme di
Namun demikian, dalam elusidasi struktur alam yang tidak terbatas jumlahnya, maka topik
molekul yang kompleks baik senyawa hasil sintesis penelitian bahan alam juga tidak akan pernah
maupun isolasi tidak cukup hanya menggunakan data habis. Penelitian bahan alam biasanya dimulai
spektroskopi UV, IR, 1H NMR, 13C NMR, dan MS, dari ekstraksi, isolasi dengan metode kromatografi
tetapi masih diperlukan data spektroskopi NMR dua sehingga diperoleh senyawa murni, identifikasi
dimensi seperti HMQC (Heteronuclear Multiple struktur dari senyawa murni yang diperoleh dengan
Quantum Coherence), HMBC (Heteronuclear metode spektroskopi, dilanjutkan dengan uji aktivitas
Multiple Bond Connectivity), 1H-1H COSY biologi baik dari senyawa murni ataupun ekstrak
(Homonuclear Correlated Spectroscopy), maupun kasarnya. Setelah diketahui struktur molekulnya
NOESY (Nuclear Overhauser Effect Spectroscopy). biasanya juga dilanjutkan dengan modifikasi struktur
Spektroskopi dua dimensi HMQC dapat digunakan untuk mendapatkan senyawa dengan aktivitas dan
untuk mengetahui proton-karbon dengan jarak kestabilan yang diinginkan. Di samping itu, dengan
satu ikatan, sehingga dapat diketahui karbon yang kemajuan bidang bioteknologi, dapat juga dilakukan
mengikat proton dan karbon yang tidak mengikat peningkatan kualitas tumbuhan atau organisme
proton. Spektroskopi HMBC dapat mengetahui melalui kultur jaringan, maupun tumbuhan
proton-karbon dengan jarak dua atau tiga ikatan, transgenik yang tentunya juga akan menghasilkan
sehingga dapat digunakan untuk mengetahui karbon- berbagai jenis senyawa metabolit sekunder baru yang
karbon tetangga yang memiliki jarak dua sampai beraneka ragam dan mungkin juga dengan struktur
tiga ikatan dengan suatu proton tertentu. Untuk molekul yang berbeda dengan yang ditemukan dari
mengetahui proton-proton yang berdampingan tumbuhan awalnya.
digunakan data spektroskopi 1H-1H COSY, Penentuan struktur molekul merupakan bagian
sedangkan untuk mengetahui struktur konfigurasi yang tidak dapat dipisahkan dari isolasi senyawa kimia
cis-trans digunakan data spektroskopi NOESY. bahan alam. Senyawa hasil isolasi belum memiliki
Dengan menggunakan data spektroskopi dua dimensi makna jika belum diketahui struktur molekulnya.
elusidasi struktur menjadi semakin mudah dan secara Metode penentuan struktur senyawa organik yang
tepat dapat menentukan kerangka struktur molekul banyak digunakan adalah metode spektroskopi,
senyawa organik serumit apapun. yang meliputi UV, IR, NMR (1H dan 13C), dan
Dalam elusidasi struktur molekul biasanya MS. Untuk menentukan struktur senyawa organik
dimulai dari data yang paling sederhana, misalnya yang relatif sederhana metode tersebut sudah cukup
spektroskopi UV (kalau ada), selanjutnya IR, analisis memadai, namun untuk senyawa dengan kerangka
data 1H NMR dan 13C NMR, dengan memperhatikan karbon yang cukup kompleks penggunaan NMR dua
data massa molekul dari spektroskopi MS. Dari data- dimensi yang meliputi HMQC, HMBC, COSY, dan
data tersebut biasanya sudah dapat memprediksi NOESY mutlak diperlukan[7-13].
struktur kerangka senyawa yang dianalisis, ada
kemungkinan memiliki beberapa alternatif struktur.

60
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 53-61

Daftar Pustaka

Syamsul A.A., E.H. Hakim, L.D. Juliawati, L. Hostettman, K., Hostettman, M., & Marston, A.
Makmur, S. Kusuma, Y.M. Syah, (1995), (1986). Cara Kromatografi Preparatif. (Alih
Eksplorasi kimia tumbuhan hutan tropis bahasa: Kosasih P). Bandung: ITB.
Indonesia : beberapa data mikromolekuler Harborne, J.B. (2006). Metode Fitokimia: Penuntun
tumbuhan Lauraceae sebagai komplemen Cara Modern Menganalisis Tumbuhan (alih
etnobotani, Prosiding Seminar Etnobotani bahasa: Kosasih Padmawinata & Iwang
Tanggal 24-25 Januari 1995, Fakultas Biologi Soediro). Bandung : Penerbit ITB.
UGM, Yogyakarta, 8 -12. Sudjadi. 1988. Metode Pemisahan. Yogyakarta: KANISIUS.
Dalimarta, S. (2003), Atlas tumbuhan obat Indonesia, Hardjono Sastrohamidjojo. (2005). Kromatografi.
jilid 2, Trubus Agriwidya Yogyakarta : Liberty
Dharma AP., (1985), Tanaman Obat Tradisional Silverstein R.M.; Webster F.X., 1998, Spectrometric
Indonesia, P.N. Balai Pustaka, Jakarta, hal. Identification of Organic Compounds, sixth
265-266. edition,New York: John Wiley & Sons, Inc.
Heyne K. (1987), Tumbuhan berguna Indonesia, Harjono Sastrohamidjojo. (2007). Spektroskopi. Yogyakarta
Badan Litbang Kehutanan, Jakarta, jilid III, : Penerbit Liberty.
1390 – 1443. Pavia, D.L, Lampman G.M, Kriz G.S, 2007,
Grabley R.T., (1999), Drug discovery from nature, Introduction to spectroscopy, Australia :
Springer-Verlag, Berlin Brook/Cole.
Cannell, Richard J.P. (1998). Natural Products Isolation
Methods in Biotechnology ; 4. Totowa : Humana
Press.

61
Perbandingan Metode Kalibrasi dan Adisi Standar untuk Penentuan Timbal Terlarut
dalam Air Bak Kontrol Candi Borobudur Secara Spektrofotometri Serapan Atom
(SSA)-Nyala
Ida Sulistyaningrum, Melati Putri Git Utami, Reni Banowati Istiningrum
D III Analis Kimia Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
Email: ida.sulistyaningrum@ymail.com

Abstrak: Telah dilakukan perbandingan metode kalibrasi dan adisi standar untuk penentuan timbal terlarut
dalam sampel air bak kontrol Candi Borobudur. Studi dilakukan untuk mengembangkan metode adisi
standar dalam penentuan kadar timbal terlarut yang sangat rendah menggunakan Spektrofotometri Serapan
Atom (SSA)-Nyala. Pengambilan sampel dilakukan di lima titik, yaitu satu titik sisi selatan, satu titik sisi
barat daya, dan tiga titik sisi utara Candi Borobudur. Metode adisi standar memiliki sensitivitas metode yang
lebih baik daripada kalibrasi standar. Linearitas (R) kurva kalibrasi yang diperoleh sebesar 0,957, sementara
linearitas kurva adisi standar ≥0,995 (kecuali sampel kode AS). Kedua metode memberikan kadar timbal
terlarut yang berbeda dengan hasil metode kalibrasi lebih besar daripada hasil metode adisi standar.

Kata Kunci: timbal terlarut, air bak kontrol, Candi Borobudur, metode kalibrasi, metode adisi standar

Abstract: Calibration and standard addition method of dissolved lead determined in Borobudur’s control
tanks water were compared. The aim of the study was to develop standard addition method to determine
dissolved lead in a very low concentration using Flame Absorbtion Spectrophotometry (F-AAS). Samples
were taken from five places: a point at south side, a point at south west, and three points at north of
Borobudur Temple. Linearity of both curved were compared. The linearity of calibration curved was
0,957092, while standard addition had linearity ≥0,995 (except sample AS). Both method gave different
dissolved lead concentration. The result of calibration method was higher than standard addition method.

Keywords: dissolved lead, control tanks water, Borobudur Temple, calibration method, standard addition
method
I. Latar Belakang terutama oleh adanya HNO3. Air hujan yang bersifat
Candi Borobudur merupakan salah satu asam dapat meresap dan terakumulasi pada lapisan
peninggalan umat Buddha yang menjadi ikon timbal. Kontak langsung yang lama antara air hujan
Indonesia. Dalam perjalanan sejarahnya, Candi dan lapisan timbal dapat menyebabkan pelarutan
Borobudur telah mengalami dua kali pemugaran yang lapisan timbal membentuk Pb(NO3)2. Timbal
dilakukan untuk menangani kerusakan candi akibat terlarut ini dapat terbawa aliran air dan masuk ke
beberapa faktor, antara lain korosi, efek kerja mekanis, sistem saluran air yang berakhir di bak kontrol
serta kekuatan tekanan dan tegangan dalam batu-batu sebelum dibuang ke lingkungan.
candi (Soekmono, 1983). Hal ini tidak terlepas dari Metode utama penentuan kadar timbal terlarut
masalah sistem pembuangan air dan rembesan air ke dalam air bak kontrol secara Spektrofotometri Serapan
permukaan batuan, mengingat letak geografis Candi Atom (SSA)-Nyala di Balai Konservasi Borobudur
Borobudur yang beriklim basah dengan curah hujan adalah metode kalibrasi. Spektrofotometer serapan
yang tinggi (Winarno, 1995). Salah satu upaya untuk atom (SSA)-Nyala sendiri memiliki kelemahan untuk
mengatasi masalah tersebut adalah dengan penggunaan mendeteksi kadar timbal yang rendah, sehingga
lapisan timbal pada lapisan kedap air di bawah relief- penggunaan metode kurva kalibrasi tidak mampu
relief setinggi lorong untuk mencegah perembesan air meningkatkan sensitivitas metode. Oleh karena itu,
ke permukaan batuan (Soekmono, 1983). Sifat timbal pengembangan metode adisi standar perlu dilakukan
yang lunak dan antikorosi menyebabkan timbal dan diharapkan mampu meningkatkan sensitivitas
digunakan sebagai pelapis. metode.
Penggunaan timbal dalam konstruksi Candi Studi ini dilakukan untuk membanding-kan
Borobudur berpotensi menimbulkan pencemaran. sensitivitas metode, linearitas dan kadar Pb terlarut
Timbal mudah larut dalam air yang bersifat asam, yang dihasilkan dari metode adisi standar dengan

62
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 62-67

metode kalibrasi. Sensitivitas metode dapat diketahui HNO3 pekat hingga pH<2 sesuai SNI 6989.8-2009.
dari kemiringan (slope) kurva kalibrasi dan kurva Pengsaman ini yang mampu mengawetkan sampel
adisi standar. Sementara itu, linearitas ditentukan dari hingga 6 bulan pada temperatur ruang.
nilai korelasi regresi linear yang mengacu pada SNI
6989.8-2009, yaitu R≥0,995. b. Penentuan kadar Pb terlarut secara kurva
kalibrasi
II. Metodologi Larutan standar Pb dibuat dari larutan baku Pb 10
Kadar timbal terlarut dalam sampel air bak mg/L yang berasal dari Titrisol Pb. Seri larutan standar
kontrol Candi Borobudur diuji dengan dua metode timbal yang digunakan adalah 0,0; 0,1; 0,2; 0,4; 0,6; dan
yang berbeda. Metode yang digunakan adalah metode 0,8 mg/L. Absorbansi larutan standar kalibrasi Pb dan
kurva kalibrasi dan metode adisi standar dengan sampel diukur menggunakan SSA-Nyala Analytik Jena
pengujian yang dilakukan di Laboratorium Kimia novAA 350 pada panjang gelombang spesifik dari Hollow
Balai Konservasi. Adapun bahan, peralatan dan cara Cathode Lamp HCL Pb 283,3 nm.
kerja pengujian diuraikan di bawah ini. c. Penentuan kadar Pb terlarut sesuai metode adisi
1. Bahan standar
Bahan-bahan yang digunakan meliputi sampel Larutan adisi standar Pb dibuat dalam 100 mL
air bak kontrol Candi Borobudur, Titrisol Pb 1000 dengan cara menambahkan masing-masing 10 mL
mg (Merck) untuk membuat larutan standar kalibrasi sampel ke dalam 0; 1; 2; 4; 6; dan 8 mL larutan Pb 10
dan larutan standar adisi timbal, akuabides (PT mg/L. Larutan standar adisi Pb diukur absorbansinya
Ikapharmindo Putramas) sebagai pelarut, dan HNO3 menggunakan SSA-Nyala Analytik Jena novAA 350
(70,5%; ρ 1,42 g/mL, Merck) untuk mengawetkan pada panjang gelombang 283,3.
sampel.
III. Pembahasan
2. Alat 1. Pengambilan dan Preparasi Sampel
Peralatan pengambilan sampel air bak kontrol antara Pemeriksaan parameter timbal terlarut
lain timba plastik 1 L, botol sampel 1 L, dan waterproof dilakukan selama musim penghujan. Hal ini bertujuan
portable meter (Eutech Instruments CyberScan PC 650). mengetahui adanya pelarutan lapisan timbal dalam
Pengujian kadar timbal terlarut secara metode kalibrasi air hujan yang bersifat asam (Winarno, 1995). Hasil
dan adisi standar menggunakan Spektrofotometer pengujian kualitas sampel air bak kontrol disajikan
Serapan Atom (SSA)-Nyala (Analytik Jena novAA 350). dalam Tabel 1. Berdasarkan baku mutu sesuai
KEPMENLH 51/1995 dan KEPMENKLH 02/1988,
3. Cara Kerja hasil pengukuran pH, temperatur, total padatan
a. Pengambilan dan Preparasi Sampel terlarut, dan daya hantar listrik dari kelima sampel
Pengambilan sampel air bak kontrol dilakukan telah memenuhi baku mutu tersebut.
pada Bulan Februari 2014 di lima bak kontrol Candi Gambar 1 menunjukkan hubungan antara
Borobudur menggunakan timba. Sampel air bak kontrol TDS dan salinitas sampel air. Sampel air yang
diambil dari lima titik, yaitu satu titik di sisi selatan (S), memiliki kandungan TDS tinggi juga mengandung
satu titik di sisi barat daya (BD), dan tiga titik di sisi salinitas yang tinggi. Sesuai Gambar 1, garam NaCl
utara (U1, U2, U3). Kualitas sampel diuji menggunakan merupakan komponen utama TDS dalam sampel
waterproof portable meter dengan parameter keasaman (pH), air. Sisanya berupa garam anorganik terlarut lainnya,
temperatur, total padatan terlarut (TDS), salinitas (NaCl), seperti garam-garam klorida, karbonat, dan sulfat
dan konduktivitas. dari amonium, kalsium dan magnesium. Menurut
Sampel disaring dengan saringan berpori 0,45 Winarno (1995), unsur kalsium, magnesium, dan
μm untuk menghilangkan padatan tersuspensi dan natrium berasal dari pelapukan batuan, sedangkan
koloid. Selanjutnya, sampel diasamkan dengan ion karbonat, klorida, dan sulfat dapat berasal dari

63
Sulistyaningrum, Perbandingan Metode Kalibrasi dan Adisi Standar untuk Penentuan Timbal Terlarut.....

Tabel 1. Hasil Pengujian Kualitas Sampel


Parameter Baku Mutu Satuan Keterangan Kode Sampel
S BD U1 U2 U3
pH 6–9 KEPMENLH 7,08 6,97 7,19 7,22 7,48
51/1995
T ≤ 38 °C 28 28 28 28 28
TDS 2000 ppm 93,86 96,37 81,87 104,4 67,72
NaCl ppm 91,79 94,3 80,68 101,6 67,69
DHL 1750 – 2250 μS/cm KEPMENKLH 100,8 103,4 87,88 112 72,72
2/1988
pH : keasaman S : Titik Selatan
T : temperatur BD : Titik Barat Daya
TDS : total dissolved solid (total padatan terlarut) U1 : Titik Utara 1
NaCl : salinitas sebagai kadar natrium klorida U2 : Titik Utara 2
DHL : daya hantar listrik U3 : Titik Utara 3

Tabel 2. Absorbansi Larutan Standar Pb


Konsentrasi Pb Abs Abs 0
(mg/L)
0 -0,000090 0,000000
0,1 0,000361 0,000451
0,2 0,000849 0,000939
0,4 0,001554 0,001644
0,6 0,002960 0,003050
0,8 0,006026 0,006116
Abs: absorbansi keluaran alat
Abs 0: absorbansi setelah dikurangi absorbansi
blanko
Gambar 1.Hubungan TDS dan Salinitas

akumulasi air hujan.

2. Penentuan Pb Terlarut dengan Metode Kalibrasi


Metode kalibrasi merupakan metode umum
yang digunakan untuk menentukan konsentrasi
karena cocok untuk menganalisis banyak sampel
secara cepat. Metode ini menggunakan seri larutan
standar dengan konsentrasi tertentu (García dan
Báez, 2012).
Hasil absorbansi larutan standar kalibrasi Pb
Gambar 2. Kurva Kalibrasi Standar Pb
dapat dilihat dalam Tabel 2. Absorbansi blanko
keluaran alat tidak sama dengan nol, sehingga semua konsentrasi dengan absorbansi, sementara koefisien
absorbansi larutan standar harus dikurangi dengan determinasi (R2) menunjukkan kedekatan garis
absorbansi blanko. regresi linear dengan titik data sebenarnya.
Absorbansi larutan standar kalibrasi Pb dengan
diplotkan terhadap seri konsentrasi larutan standar 3. Penentuan LoD dan LoQ
Pb dalam bentuk kurva kalibrasi standar Pb Gambar Limit deteksi (Limit of Detection, LoD)
2. menunjukkan batas konsentrasi terkecil analit yang
Kurva kalibrasi standar Pb memberikan dapat terdeteksi dalam sampel disertai estimasi bias
persamaan garis y = 7,04.10-3 x - 4,30.10-4. Analisis dan ketidakpresisian pada konsentrasi analit yang
regresi linear menunjukkan korelasi (R) sebesar 0,957 sangat kecil (Armbruster dan Pry, 2008). Limit deteksi
dan koefisien determinasi (R2) 0,916. Nilai korelasi ditentukan melalui garis regresi linear kurva kalibrasi
(R) digunakan untuk mengetahui hubungan antara melalui persamaan LoD = (3sy/x)/ slope, dengan

64
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 62-67

Tabel 3. Standar Deviasi Residual


xi yi ŷi (yi-ŷi)2
0,0 0,0 -4,30.10-4 1,85.10-7
0,1 4,5.10-4 2,74.10-4 3,14.10-8
0,2 9,4.10-4 9,78.10-4 1,49.10-9
0,4 1,64.10-3 2,38.10-3 5,50.10-7
0,6 3,05.10-3 3,79.10-3 5,52.10-7
0,8 6,12.10-3 5,20.10-3 8,38.10-7
Jumlah 2,16.10-6

sy/x adalah standar deviasi residual (Harmita, 2004).


Nilai faktor 3 merupakan rekomendasi IUPAC sesuai
tingkat kepercayaan 90% (Thomsen dkk., 2003).
Gambar 3. Kurva Adisi Standar Pb Sampel AU22
Standar deviasi residual yang diperoleh dari
persamaan sy/x = adalah memberikan persamaan regresi yang telah memenuhi
7,30.10-4. Limit deteksi pengukuran sesuai persamaan syarat korelasi minimal SNI 6989.8:2009 (≥0,995),
kurva kalibrasi standar Pb dengan slope 7,04.10-3 kecuali sampel kode AS. Persamaan regresi yang
adalah 0,3130 mg/L. diperoleh digunakan untuk menentukan xintersep,
Limit kuantitasi (LoQ) ditentukan dari yaitu nilai x pada y = 0. Konsentrasi analit ditentukan
persamaan LoQ = (10sy/x)/slope. Limit kuantitasi dari nilai xintersep dikalikan faktor pengenceran 10
menunjukkan kuantitasi konsentrasi terendah analit kali.
yang pasti terdeteksi secara presisi dan akurasi. Limit
kuantitasi (LoQ) sesuai persamaan kurva kalibrasi 5. Perbandingan Linearitas Kurva Kalibrasi dan
standar Pb adalah 1,0371 mg/L. Adisi Standar
Harmita (2004) memaparkan bahwa
4. Penentuan Pb Terlarut dengan Metode Adisi kemampuan metode analisis untuk memberikan
Standar respon yang proporsional terhadap konsentrasi analit
Metode adisi standar adalah salah satu dapat dinyatakan dalam linearitas. Linearitas dapat
metode standardisasi yang dapat digunakan untuk diketahui dari koefisien korelasi kurva.
menentukan konsentrasi sampel. Larutan standar Kurva kalibrasi standar Pb sesuai Gambar 2
adisi dibuat dengan cara menambahkan larutan memberikan korelasi (R) 0,957 tidak memenuhi nilai
standar ke dalam sampel (García dan Báez, 2012). korelasi minimal SNI 6989.8:2009 (R ≥ 0,995), tetapi
Sinyal analitik seri larutan adisi standar diplotkan masih dapat diterima secara statistik (R > 0,950).
terhadap konsentrasi sehingga diperoleh persamaan Hal ini disebabkan karena sensitivitas metode yang
linear Y = bX + yintersep. Nilai xintersep (x saat y = rendah (slope kurva kalibrasi 0,007039) dengan LoD
0) dinyatakan sebagai xintersep = -CAVo/Vf, dengan yang tinggi (0,3130 mg/L) sehingga alat tidak mampu
volume sampel yang ditambahkan Vo dan volume mendeteksi kadar timbal yang sangat rendah secara
akhir larutan standar adisi Vf, sehingga konsentrasi akurat.
analit CA dapat ditentukan. Di sisi lain, nilai korelasi semua kurva adisi
Salah satu contoh kurva adisi standar standar ≥0,995 telah memenuhi syarat korelasi regresi
ditunjukkan dalam Gambar 3. Larutan standar adisi linear SNI 6989.8:2009, kecuali kurva adisi sampel
0 mg/L memberikan respon serapan (absorbansi > kode AS. Penambahan analit sampel dalam larutan
0) karena larutan tersebut telah mengandung analit standar timbal menyebabkan konsentrasi timbal
sampel. dalam larutan standar bertambah sehingga sinyal
Pengukuran sampel S, BD, U1, U2, dan U3 yang terukur juga bertambah. Hal ini menyebabkan
secara adisi standar dengan pengulangan lima kali sensitivitas metode adisi standar lebih baik daripada

65
Sulistyaningrum, Perbandingan Metode Kalibrasi dan Adisi Standar untuk Penentuan Timbal Terlarut.....

sensitivitas metode kalibrasi. Inilah keunggulan Tabel 6. Konsentrasi Pb Terlarut oleh LPPT UGM
Kode Sampel Konsentrasi Pb (mg/L)
metode adisi standar karena mampu menentukan
U1 <0,096
kadar analit yang sangat rendah.
U2 <0,096
U3 <0,096
6. Perbandingan Hasil Metode Kalibrasi dan Adisi LoD = 0,096 mg/L
Standar
Tabel 4 menunjukkan hasil penentuan kadar timbal ditunjukkan dalam Tabel 4. Persamaan regresi
timbal terlarut dalam sampel air kode S, BD, U1, yang diperoleh y = 0,01230 x - 0,0002535 dengan
U2, dan U3 secara metode kalibrasi dan adisi standar. koefisien korelasi (R) 0,994, koefisien determinasi
Kedua metode memberikan hasil yang berbeda (R2) 0,987, dan LoD 0,096 mg/L.
sehingga tidak diperlukan uji statistika. Hasil kadar Linearitas kurva kalibrasi hasil pengujian di
timbal terlarut sesuai metode kalibrasi lebih besar LPPT UGM lebih baik daripada yang dilakukan di
daripada hasil metode adisi standar. Namun, kedua BKB. Hal ini dipengaruhi oleh nilai LoD alat SSA-
hasil tersebut masih memenuhi baku mutu limbah nyala LPPT UGM yang lebih kecil daripada LoD
cair golongan II sesuai KEPMENLH Nomor 51 alat SSA-nyala BKB. Selain faktor LoD, sensitivitas
tahun 1995 (kadar timbal < 1 mg/L). kedua alat juga berpengaruh terhadap linearitas kurva
kalibrasi. Sensitivitas kedua alat ditentukan dari
7. Hasil Penentuan Pb Terlarut oleh LPPT UGM persamaan S = 0,004.C1/A1 dengan C1 0,4 mg/L dan
Parameter timbal terlarut dalam sampel air A1 adalah absorbansi larutan standar Pb 0,4 mg/L
bak kontrol Candi Borobudur juga diujikan di masing-masing alat. Hasil perhitungan menunjukkan
Laboratorium Penelitian dan Pengujian Universitas bahwa alat SSA-nyala LPPT UGM peka terhadap
Gadjah Mada (LPPT UGM). Pengujian ini dilakukan konsentrasi timbal 0,4313 mg/L, sementara SSA-
sebagai pembanding terhadap hasil pengujian timbal nyala BKB peka terhadap konsentrasi timbal 1,0296
terlarut yang dilakukan di BKB. mg/L. Hal ini menunjukkan bahwa alat SSA-nyala
Pengujian timbal terlarut oleh LPPT UGM LPPT UGM lebih sensitif atau peka daripada alat
dilakukan dengan metode kalibrasi secara SSA-Nyala SSA-nyala di BKB dalam hal pengukuran timbal.
dengan seri larutan standar Pb 0,0; 0,1; 0,2; 0,4; 0,6; Hasil pengujian sampel U1, U2, dan U3
0,8 dan 1,0 mg/L. Hasil pengukuran larutan standar yang dilakukan oleh LPPT UGM pada Tabel 5
Tabel 4. Konsentrasi Pb Terlarut Sesuai Metode Kalibrasi menunjukkan bahwa kadar timbal ketiga sampel
dan Adisi Standar
berada di bawah LoD (<0,096 mg/L). Hal ini dapat
Kode Sampel Rerata Konsentrasi Pb (mg/L)
memperkuat hasil adisi standar yang dilakukan di
Kalibrasi Adisi Standar
S 0,1943 0,1628 BKB, terutama untuk sampel kode U1, U2, dan U3.
BD 0,2492 0,0591 Dalam hal ini, hasil metode adisi standar lebih baik
U1 0,3915 0,0335 daripada metode kalibrasi untuk penentuan kadar
U2 0,5336 0,0902 timbal terlarut yang sangat rendah.
U3 0,6263 0,0460

LoD = 0,3130 mg/L


IV. Kesimpulan
Tabel 5. Absorbansi Larutan Standar Pb di LPPT UGM
Masing-masing metode memberikan kadar
Konsentrasi Pb (mg/L) Absorbansi
timbal terlarut yang berbeda dengan hasil metode
0 0,00020
0,1 0,00109 kalibrasi yang lebih besar daripada metode adisi
0,2 0,00208 standar. Dilihat dari segi hasil dan linearitas kurva,
0,4 0,00371 metode adisi standar lebih baik daripada metode
0,6 0,00710 kalibrasi untuk penentuan kadar timbal terlarut yang
0,8 0,01026
sangat rendah menggunakan alat SSA-Nyala yang
1 0,01193
kurang sensititf terhadap timbal.

66
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 62-67

Daftar Pustaka

Armbruster, D.A. dan Pry, T., 2008, Limit of Soekmono, 1983, Pelita Borobudur Laporan Kegiatan
Blank, Limit of Detection, and Limit of Proyek Pemugaran Candi Borobudur Seri A
Quantitation, Clin Biochem Rev, 29, 49-52. No. 5: Laporan Kerja Proyek Pemugaran Candi
Boniyem, 2013, Verfikasi Metode Uji Penentuan Borobudur Tahun Anggaran 1972/1973,
Kandungan Timbal Terlarut pada Sampel Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Air Filter Layer Candi Borobudur dengan Thomsen, V., Schatzlein, D., dan Mercuro, D.,
Spektrofotometer Serapan Atom, Laporan 2003, Limits of Detection in Spectroscopy,
PKL, FMIPA, Yogyakarta: Universitas Islam Spectroscopy, 18, 12, 112-114, www.
Indonesia (UII). spectroscopyonline.com.
Harmita, 2004, Petunjuk Pelaksanaan Validasi Winarno, S., 1995, Analisa Masalah Air pada
Metode dan Cara Perhitungannya, Majalah Candi Borobudur, Magelang: Departemen
Ilmu Kefarmasian, 3, I, 117-135. Pendidikan dan Kebudayaan Proyek
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Konservasi Candi Borobudur.
Nomor 51 Tahun 1995, Baku Mutu Limbah
Cair bagi Kegiatan Industri, 23 Oktober 1995,
Jakarta.
SNI 6989.8-2009, Air dan Air Limbah - Bagian 8:
Cara Uji Timbal (Pb) secara Spektrofotometri
Serapan Atom (SSA)-Nyala, 2009, Jakarta:
Badan Standardisasi Nasional.

67
Pengelolaan Lansekap Budaya dalam Kerangka Warisan Dunia: Studi Kasus
Management Plan Lansekap Budaya Provinsi Bali
Panggah Ardiyansyah
Balai Konservasi Borobudur
Email : panggah.ardi@gmail.com
Abstrak: Lansekap Budaya Provinsi Bali telah ditetapkan sebagai Warisan Dunia oleh UNESCO
pada tahun 2012. Situs ini dianggap memenuhi 3 kriteria, yaitu kriteria (iii) karena tradisi budaya
yang membentuk lansekap Bali, sejak paling tidak abad ke-12, merupakan konsep filosofi kuno Tri
Hita Kirana, kriteria (v) karena keempat situs didalamnya merupakan bukti eksepsional dari sistem
subak, sebuah sistem yang demokratis dan egaliter yang berpusat di pura tirta dan pengelolaan irigasi
yang telah membentuk lansekap selama lebih dari ribuan tahun, dan kriteria (vi) karena pura tirta
di Bali merupakan institusi yang khas, yang selama lebih dari ribuan tahun telah terinspirasi oleh
beberapa tradisi religius kuno. Kurang lebih setahun setelah ditetapkan, Lansekap Budaya Provinsi Bali
mendapatkan catatan negatif dari World Heritage Committee karena dianggap bahwa situs ini tidak
dikelola dengan baik. Rencana pengelolaan yang telah disusun tidak dilaksanakan dan badan pengelola
yang dibentuk pun tidak berjalan.
Kajian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hambatan dalam implementasi rencana pengelolaan
sehingga World Heritage Committee sampai memberikan komentar bahwa badan pengelola yang
telah dibentuk tidak berjalan sebagai mestinya. Setelah hambatan berhasil diidentifikasi, saran akan
dirumuskan untuk menjalankan rencana pengelolaan dengan baik. Data diperoleh melalui pengamatan
langsung di lapangan dan wawancara dengan beberapa stakeholders terkait. Ruang lingkup kajian
hanya pada faktor internal yang menonjol dan tidak mengidentifikasi faktor eksternal yang mungkin
berpengaruh.
Dari pengamatan dan wawancara yang dilakukan, diketahui beberapa hambatan yang muncul,
yaitu: ego sektoral yang masih besar, aleniasi masyarakat lokal, kegagapan pengelola, dan wewenang dari
Balai Pelestarian Cagar Budaya yang terbatas pada pelestarian fisik. Untuk itu, perlu adanya penegasan
kembali akan komitmen bersama semua stakeholders yang terlibat, tentu saja dengan memberikan
peran utama dalam pengelolaan kepada masyarakat masyarakat lokal.

Kata kunci: Lansekap Budaya Provinsi Bali, rencana pengelolaan, ego sektoral, aleniasi

Abstract: Cultural Landscape of Bali Province has been enlisted as World Heritage by UNESCO
in 2012. The property meets three criteria, which are criteria (iii) because the cultural tradition that
shaped Bali landscape, since 12th century, is an ancient concept of Tri Hita Kirana, criteria (v) because
the four sites included are exceptional estimony from subak system; a system which is democratic
and egaliterian that is centered in water temple and irrigation management, which have shaped the
landscape form thousand years, and criteria (vi) because water temple in Bali is a unique institution and
inspired by several ancient religious traditions for thousand years. A year after it was enlisted, World
Heritage Committee has given a warning that the property is not well managed. The management plan
is useless and the governing body is not working.
The study is aimed to identify challenges in implementing the management plan, thus raising
concern from World Heritage Committee. Recommendation will be drafted based on the challenges.
Data was obtained through field observation and interview. The study only focus on the significant
internal factor, and do not identify the external factor which may have influence on the implementation
of management plan.
Based on the field observation and interview, several challenges have been identified, which are
big sectoral ego, alienation of local community, unprepared governing assembly, and limited authority
given to Cultural Heritage Preservation Office. Thus, all stakeholders must state their commitment
once again, with bigger involvement of local community.

Keywords: Cultural Landscape of Bali Province, management plan, sectoral ego, alienation

A. Pendahuluan Fowler, 2003). Lebih lanjut, dalam Operational Guidelines


Cultural landscape (selanjutnya disebut sebagai for the Implementation of the World Heritage Convention,
lansekap budaya) merupakan lingkungan alam yang dikatakan bahwa lansekap budaya merepresentasikan
didesain oleh kebudayaan manusia (Sauer, 1926, dalam hasil kerja bersama antara manusia dan alam. Dari

68
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 68-73

pengertian tersebut, dapat kita pahami bersama bahwa di beras, air, dan sistem subak telah bersama-sama
dalam lansekap budaya terdapat tiga unsur utama, yaitu membentuk lansekap yang ada sejak ribuan tahun
lingkungan alam, kebudayaan, dan di tengah-tengahnya yang lalu dan merupakan bagian tak terpisahkan
adalah manusia. Seperti dikatakan oleh Sauer, manusia dari kehidupan beragama komunitasnya. Sejak abad
merupakan pelakunya, dengan lingkungan alam sebagai ke-11, jejaring pura tirta telah mengelola lingkungan
medianya, yang hasilnya adalah lansekap budaya. Definisi persawahan sebagai bagian dari daerah aliran sungai,
yang lebih pragmatis disampaikan oleh Wagner dan yang menjadi bukti unik dari respons komunitas
Mikesell (1962, dalam Fowler, 2003), yang mengatakan terhadap tantangan untuk menyediakan makanan
bahwa lansekap budaya merupakan sebuah produk beras bagi permukiman padat penduduk di bawah
yang konkret dan khas dari interaksi antara komunitas kaki gunung api.
manusia, yang mempunyai preferensi dan potensi budaya Sistem subak merupakan gambaran sejati dari
tertentu, dan serangkaian kondisi alam. Mereka juga filosofi Tri Hita Kirana yang menggabungkan dunia
berpendapat bahwa lansekap budaya merupakan warisan sprritual, manusia, dan alam. Setiap ritual yang diadakan
budaya dari banyak generasi perilaku manusia dan banyak di pura tirta memberikan bukti mengenai hubungan yang
periode evolusi alam. Pendapat ini mengisyaratkan harmonis antara manusia dan lingkungannya melalui
bahwa lansekap budaya merupakan gambaran dari partisipasi aktif komunitas dalam konsep ritual, dengan
evolusi manusia dengan permukimannya yang sudah menggantungkan kemampuan bertahan hidupnya kepada
berjalan cukup lama, yang di dalamnya terdapat adaptasi alam. Sebagai warisan dunia, Lansekap Budaya Provinsi
terhadap berbagai batasan yang ditimbulkan oleh kondisi Bali terdiri dari 4 situs, yang menunjukkan koneksi erat
lingkungan dan juga pemanfaatan terhadap potensi yang antara komponen alam, religi, dan budaya dari sistem
tersembunyi. subak. Keempat situs tersebut adalah Pura Ulun Danu
Setelah kemunculannya, gagasan lansekap budaya Batur, yang berkedudukan sebagai pura tirta paling utama
mulai dipertimbangkan dalam kerangka warisan dunia dan terletak di tepi Danau Batur yang dianggap sebagai
mulai sekitar tahun 1980-an. Akan tetapi, gerakan ini sumber utama dari semua mata air dan sungai yang ada
masih belum intensif dilakukan sampai kemudian pada di Bali, Lansekap Subak DAS Pakerisan sebagai salah
akhir tahun 1980-an, nominasi Lake District di Inggris satu sistem subak tertua, Lansekap Subak Catur Angga
gagal untuk masuk dalam Daftar Warisan Dunia. Batukaru sebagai contoh utama dari arsitektur Bali Klasik,
Kegagalan ini akhirnya memicu perdebatan lebih lanjut dan Pura Taman Ayun sebagai gambaran perkembangan
untuk mengakui lansekap budaya yang dipengaruhi oleh sistem subak di bawah kerajaan Bali paling besar pada
manusia. Perdebatan ini mendesak World Heritage Centre abad ke-19.
(WHC) untuk mengumpulkan para ahli internasional Dalam pengajuan nominasi Lansekap Budaya
pada Oktober 1992 dan merumuskan kembali Operational Provinsi Bali, management plan (selanjutnya disebut
Guidelines. Tujuan dari rumusan baru tersebut adalah dengan rencana pengelolaan) telah dilampirkan di
untuk mengakomodasi lansekap budaya dalam kerangka dalamnya. Rencana pengelolaan tersebut telah diadopsi
warisan dunia. Rekomendasi dari panel tersebut kemudian oleh Pemerintah Provinsi Bali dan di dalamnya memuat
disetujui oleh World Heritage Committee, sehingga para state- kebijakan, kerangka institusional dan strategi utama dalam
party dapat mengajukan nominasi situs lansekap budaya melestarikan nilai universal yang dikandung oleh situs ini.
ke dalam Daftar Warisan Dunia. Secara legal, Badan Pengelola Warisan Budaya Bali
Lansekap Budaya Provinsi Bali: Sistem telah dibentuk dan disahkan melalui Peraturan Gubernur
Subak sebagai Manifestasi Filosofi Tri Hita Kirana Bali No. 32 Tahun 2010. Peraturan tersebut telah
(selanjutnya disebut sebagai Lansekap Budaya mengatur komposisi Badan Pengelola yang di dalamnya
Provinsi Bali) telah masuk dalam Daftar Warisan terdapat perwakilan dari berbagai instansi terkait dan
Dunia pada tahun 2012. Sistem subak sendiri memberikan peran utama bagi komunitas subak dalam
merupakan sistem pengelolaan air bagi persawahan pengelolaan situsnya. Sistem ini mempunyai konsep
yang ada di Bali, sehingga dapat dikatakan bahwa manajemen adaptif bersama oleh berbagai stakeholders,

69
Ardiansyah, Pengelolaan Lansekap Budaya dalam Kerangka Warisan Dunia: Studi Kasus Management Plan...

yang kemudian dimodifikasi untuk disesuaikan dengan mempunyai tujuan utama sebagai berikut:
konteks masyarakat Bali. Secara gamblang disebutkan 1. Memastikan semua aset budaya dan alam yang
dalam dokumen rencana pengelolaan, sistem ini dikatakan termasuk dalam Lansekap Budaya Provinsi Bali
mengadopsi badan pengelola yang telah terbentuk di terlestarikan bagi generasi mendatang melalui
Taman Nasional Bunaken, yang di dalamnya terdapat pola konservasi dan dukungan sosial dan
perwakilan desa, pariwisata lokal, nelayan, instansi ekologis yang sesuai;
pemerintah, asosiasi olahraga air, dan universitas lokal. 2. Meningkatkan kesadaran, apresiasi, dan
Sidang tahunan World Heritage Commiitte ke- partisipasi publik dalam pelestarian Lansekap
38, yang dilaksanakan di Doha, Qatar pada 15-25 Budaya Provinsi Bali melalui peningkatan
Juni 2014, memutuskan untuk memberikan catatan edukasi dan presentasi situs;
mengenai pengelolaan Lansekap Budaya Provinsi 3. Membantu menyamakan visi dari beragam
Bali. Catatan paling utama adalah mengenai tidak stakeholders bagi pelestarian dan pengembangan
berjalannya Badan Pengelola Warisan Budaya Bali Lansekap Budaya Provinsi Bali;
sehingga mengakibatkan tidak terimplementasikannya 4. Menyusun petunjuk pengelolaan yang dapat
rencana pengelolaan yang telah disusun. Sebelum digunakan oleh stakeholders untuk berpartisipasi
keputusan ini keluar, World Heritage Centre dan dalam pelestarian dan pengembangan nilai universal
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik luar biasa yang dikandung oleh Lansekap Budaya
Indonesia saling berkirim surat mengenai isu yang Provinsi Bali;
muncul bahwa Badan Pengelola tidak pernah 5. Mengidentifikasi prioritas untuk alokasi
melakukan pertemuan untuk menjalankan rencana dari sumber daya yang ada dalam pelestarian
pengelolaan Lansekap Budaya Provinsi Bali. Lansekap Budaya Provinsi Bali;
Catatan ini pun menimbulkan pertanyaan besar, 6. Menjamin bahwa lansekap budaya akan terus
karena baru saja setahun diakui sebagai Warisan Dunia, diawasi dan dievaluasi secara berkala;
Lansekap Budaya Provinsi Bali sudah mendapatkan 7. Menyediakan dasar bagi rencana ke depan sehingga
catatan negatif dari World Heritage Committee. Berangkat semua perubahan di dalam situs warisan budaya
dari permasalahan tersebut, kajian sederhana ini bertujuan dapat dikontrol.
mengidentifikasi hambatan dalam implementasi rencana
pengelolaan yang telah disusun. Data didapatkan Untuk mengelola Lansekap Budaya Provinsi
melalui pengamatan di lapangan dan wawancara dengan Bali, Badan Pengelola Warisan Budaya Bali telah
stakeholders terkait pada bulan Juni 2014. Data tersebut dibentuk dan merupakan lembaga demokratis yang
dirangkum dan dijadikan dasar untuk memberikan saran mempunyai perwakilan dari berbagai stakeholders
praktis dalam mengatasi hambatan yang ada. Kajian sebagai berikut:
ini dibatasi pada faktor internal yang menghambat 1. Perwakilan dari semua subak yang masuk dalam
implementasi rencana pengelolaan, sehingga ke depan, Lansekap Budaya Provinsi Bali;
untuk lebih melengkapi kajian sederhana ini, perlu dilihat 2. Perwakilan dari semua desa adat yang masuk
juga apa saja faktor eksternal yang mempunyai pengaruh dalam Lansekap Budaya Provinsi Bali;
kuat dalam tidak berjalannya rencana pengelolaan 3. Perwakilan dari instansi pemerintah, baik
Lansekap Budaya Bali. provinsi maupun kabupaten/kota.

B. Hambatan dalam Implementasi Rencana Badan Pengelola diketuai oleh Kepala


Pengelolaan Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, dan dibantu
Rencana pengelolaan yang disusun memuat oleh Sekretariat, yang terdiri dari Unit Program
kebijakan, kerangka institusional, dan strategi utama (terkait dengan perencanaan), Unit Keuangan dan
dalam melestarikan nilai universal yang dikandung SDM (terkait dengan staf dan penganggaran), dan
oleh Lansekap Budaya Provinsi Bali. Rencana tersebut Unit Monitoring Lapangan (terkait dengan sistem

70
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 68-73

informasi geografis dan monitoring serta evaluasi). konservasi dan pengelolaan Lansekap Budaya Provinsi
Ketua Badan Pengelola bertugas mengkoordinasi Bali. Akan tetapi, peraturan ini juga harus dibarengi
dan mengawasi enam kelompok kerja, yaitu dengan penegasan komitmen kembali dari berbagai
Pokja Pelestarian Budaya, Pokja Ekosistem dan stakeholders yang terlibat, sehingga apabila rancangan
Lingkungan, Pokja Pengunjung dan Edukasi, Pokja tersebut telah disetujui dapat dilaksanakan secara optimal.
Pembangunan Pertanian, Pokja Pembangunan Sosial Salah satu akibat dari tidak berjalannya Badan
dan Infrastruktur, Pokja Hukum dan Legislasi. Pengelola adalah tidak adanya “saluran” bagi komunitas
Informasi yang didapat dari wawancara dengan lokal anggota subak untuk berperan dan terlibat aktif
Dinas Kebudayaan Bali, yang juga berfungsi sebagai dalam pengambilan keputusan serta manajemen dari
Sekretariat bagi Badan Pengelola, menyebutkan Lansekap Budaya Bali. Padahal, pelibatan komunitas
bahwa pertemuan Badan Pengelola telah dilaksanakan lokal, dalam hal ini anggota subak, sebagai stakeholder
secara berkala. Akan tetapi, permasalahan yang utama merupakan salah satu prinsip utama dalam
muncul adalah ketika pertemuan tersebut hanya pengelolaan lansekap budaya, seperti disampaikan oleh
dihadiri oleh staf, dan tidak dihadiri oleh kepala Mitchell, Rossler, dan Tricaud (2009). Selain harus
instansi terkait, pertemuan tersebut akhirnya tidak inklusif dalam pelibatan semua pihak, manajemen yang
dapat menghasilkan keputusan strategis yang dapat dibentuk juga harus transparan, sehingga membuka
mendukung berjalannya rencana pengelolaan. Selain dialog dan kesepahaman dari semua pihak yang terlibat.
itu, tampak bahwa instansi terkait mempunyai Selain itu, transparansi juga akan mendorong kesetaraan
program masing-masing yang tidak dikoordinasikan di antara pihak yang terlibat.
dan dijalankan dalam kerangka pengelolaan bersama Terkait isu pelibatan komunitas lokal, menarik
Lansekap Budaya Provinsi Bali. Hal ini menegaskan dicermati mengenai pembentukan Badan Pengelola Desa
rendahnya komitmen dari stakeholders terkait, Wisata Jatiluwih. Subak Jatiluwih sendiri merupakan
sehingga Dinas Kebudayaan sebagai salah satu salah satu subak yang termasuk dalam Lansekap
stakeholder utama tampak kesulitan karena harus Subak Catur Angga Batukaru. Badan ini dibentuk oleh
“bekerja sendiri” dalam mengelola situs tersebut. Pemerintah Kabupaten Tabanan pada awal tahun 2014
Adanya ego sektoral tampaknya masih menjadi untuk mengelola dan mempromosikan Jatiluwih dalam
isu utama sehingga memunculkan masalah umum kerangka pariwisata. Menjadi anomali ketika ternyata
yang sering muncul dalam pengelolaan warisan dunia, dalam Badan Pengelola tersebut tidak mengikutsertakan
yaitu kurangnya koordinasi antar instansi. Untuk komunitas Subak Jatiluwih dalam struktur organisasinya,
mengatasi isu ini, Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi padahal atraksi utama dari Desa Wisata Jatiluwih adalah
Bali, selaku Ketua Badan Pengelola, memutuskan lansekap subaknya. Tentu hal ini menjadi pertanyaan,
untuk membentuk forum komunikasi Warisan bagaimana berharap mempertahankan keindahan
Dunia Bali. Pembentukan forum ini, yang diketuai lansekap Subak Jatiluwih apabila komunitas penggarapnya
oleh Sekretaris Daerah Provinsi Bali, diharapkan tidak dilibatkan dalam pengelolaannya. Hal ini dapat
dapat mengurangi ego sektoral yang sering terjadi berdampak pada ancaman pembangunan pariwisata yang
pertemuan Badan Pengelola. Harapannya adalah para merusak serta teraleniasinya komunitas subak dengan
kepala instansi akan bersedia menghadiri pertemuan, pemerintah setempat, yang keduanya dapat berakibat
apabila yang memimpin pertemuan tersebut adalah negatif terhadap pelestarian Subak Jatiluwih. Menarik
Sekretaris Daerah. untuk dikaji lebih lanjut, apakah permasalahan aleniasi
Selain itu, Pemerintah Provinsi Bali saat ini komunitas lokal oleh pemerintah daerah ini juga terjadi
juga sedang menyusun rancangan peraturan daerah di situs lain yang termasuk di dalam Lansekap Budaya
mengenai pelindungan warisan budaya Bali, seperti Provinsi Bali.
telah disampaikan oleh Kementerian Pendidikan dan Dari dua isu utama di atas yang disebutkan oleh
Kebudayaan kepada World Heritage Centre. Rancangan World Heritage Committee, dapat disimpulkan bahwa terdapat
diharapkan menjadi landasan bagi implementasi dari “kegagapan” dari pengelola Lansekap Budaya Provinsi

71
Ardiansyah, Pengelolaan Lansekap Budaya dalam Kerangka Warisan Dunia: Studi Kasus Management Plan...

Bali dalam melestarikan situs tersebut. Pengelolaan Terlepas dari hambatan yang ada, sistem manajemen
lansekap budaya yang kompleks dan dinamis tentu terpadu seperti tercantum dalam rencana pengelolaan
berbeda dengan pengelolaan cagar budaya material yang Lansekap Budaya Provinsi Bali dapat dikatakan sebagai
“hanya” fokus ke konservasi fisiknya. Balai Pelestarian sebuah sistem ideal bagi pengelolaan lansekap budaya.
Cagar Budaya (BPCB) Bali, sebagai UPT dari Direktorat Akan tetapi, beberapa strategi khusus diperlukan untuk
Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan dapat menggerakan roda organisasi Badan Pengelola
Kebudayaan, mempunyai tugas dan fungsi terbatas Warisan Budaya Bali. Dengan melihat banyaknya
kepada pelestarian budaya materialnya saja. Padahal, stakeholders yang terlibat, kiranya perlu adanya penegasan
nilai utama dari lansekap budaya terdapat pada interaksi kembali akan komitmen bersama dalam pelestarian situs
antara masyarakat dengan lingkungannya (Mitchell, warisan dunia ini. Komitmen bersama dibutuhkan untuk
Rossler, dan Tricaud, 2009). Nilai ini bersifat intangible, melepaskan ego sektoral sehingga dapat bersama-sama
sehingga merupakan kewenangan dari instansi lain. Yang menjalankan roda organisasi Badan Pengelola.
menjadi permasalahan adalah di luar instansi BPCB, Pelibatan masyarakat juga menjadi kunci
tidak banyak yang menyadari akan keberadaan dan nilai penting dalam pengelolaan Lansekap Budaya Provinsi
penting Warisan Dunia. Contoh kecil dapat dilihat dari Bali. Hal ini sebenarnya telah disadari dengan benar
pembentukan Badan Pengelola Desa Wisata Jatiluwih. oleh stakeholders, karena disebutkan secara jelas
Badan ini dibentuk setelah Lansekap Budaya Provinsi dalam dokumen rencana pengelolaan bahwa setiap
Bali dimasukkan ke dalam Daftar Warisan Dunia, tetapi usaha pelestarian tidak akan berjalan efektif tanpa
perlu diperhatikan bahwa badan pengelola ini dibentuk adanya partisipasi dari komunitas lokal. Akan tetapi,
untuk mengelola Jatiluwih sebagai desa wisata, bukan dalam prakteknya, usaha pelibatan ini masih jauh dari
sebagai situs warisan dunia. Hal ini menggambarkan sempurna. Terdapat indikasi akan adanya aleniasi
bahwa diseminasi informasi dan nilai penting warisan komunitas lokal dari pengelolaan lansekap subak. Hal
dunia masih belum tersampaikan dengan baik, terutama ini harus benar-benar dicermati dan ditangani dengan
kepada pemerintah kabupaten/kota. Untuk mengatasi hati-hati sehingga indikasi ini tidak meluas.
ini, ke depan promosi dari nilai-nilai warisan dunia harus Seperti definisi yang telah dijabarkan diatas,
lebih ditingkatkan melalui berbagai media formal maupun lansekap budaya terbentuk karena adanya interaksi
informal. antara manusia dengan alam. Untuk itu, nilai utama
yang harus dilestarikan adalah hubungan komunitas
C. Kesimpulan lokal dengan lingkungan, serta nilai budaya yang
Dari pengamatan dan wawancara dengan dikandungnya. Manajemen harus mempunyai basis
beberapa stakeholders Lansekap udaya Provinsi Bali, data dan alat monitoring yang kuat. Dari data yang
terdapat hambatan implementasi rencana pengelolaan dikumpulkan, manajemen menyepakati batas-
sebagai berikut: batas perubahan yang masih dapat ditoleransi. Dari
1. Ego sektoral yang masih besar dalam struktur kesepakatan itu, perubahan dapat dikontrol sehingga
Badan Pengelola Warisan Budaya; tidak merusak nilai penting dari lansekap budaya. Hal
2. Aleniasi masyarakat lokal dalam mengelola ini penting mengingat lansekap budaya merupakan
kawasan di Lansekap Budaya Provinsi Bali; sebuah situs yang sangat dinamis, dimana hubungan
3. Kegagapan stakeholders kebudayaan dalam antara manusia dengan alam masih dimungkinkan
mengelola sebuah lansekap budaya yang harus untuk terus berkembang. Dengan usaha pelestarian
melibatkan pihak yang lintas sektoral; yang jelas dan tepat, diharapkan dapat melindungi
4. Kantor Balai Pelestarian Cagar Budaya yang nilai budaya yang terkandung dalam lansekap,
biasanya diandalkan sebagai ujung tombak dalam sehingga pada akhirnya tidak menjadikan lansekap
pelestarian Warisan Dunia oleh Kementerian budaya hanya sebagai, meminjam istilah dari Mitchell,
Pendidikan dan Kebudayaan tidak mempunyai Rossler, dan Tricaud, fossilized outdoor museum.
wewenang di luar pemeliharaan fisik material.

72
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, Hal 68-73

Daftar Pustaka

Directorate General of Culture, Ministry of Education World Heritage Centre. (2013). Operational Guidelines for the
and Culture. (2014). State of Conservation in General Implementation of World Heritage Convention. Paris:
of the State of Conservation of Cultural Landscape of UNESCO World Heritage Centre.
Bali Province (C 1194Rev), World Heritage Property, http://whc.unesco.org/en/soc/2815. Diakses pada
Indonesia. Tidak dipublikasikan. tanggal 31 Agustus 2014, pukul 09.14 WIB.
Fowler, P.J. (2003). World Heritage Cultural Landscapes 1992- http://whc.unesco.org/en/decisions/6002/. Diakses
2002. Paris: UNESCO World Heritage Centre. pada tanggal 31 Agustus 2014, pukul 09.29
The Ministry of Culture and Tourism of the Republic WIB.
of Indonesia dan the Government of Bali
Province. (2011). Nomination for the Inscription
on the UNESCO World Heritage List Cultural
Landscape of Bali Province. Tidak dipublikasikan.
Mitchell, Nora, Mechtild Rossler, Pierre-Marie Tricaud
(Authors/Ed.). (2009). World Heritage Cultural
Landscapes, A Handbook for Conservation and
Management. Paris: UNESCO.

73
PEDOMAN BAGI PENULIS
1. Naskah yang diajukan oleh penulis merupakan karya ilmiah orisinal, yang belum pernah
diterbitkan, merupakan hasil penelitian, tinjauan/pemikiran dan komunikasi pendek tentang
konservasi cagar budaya .
2. Judul harus harus singkat, jelas dan mencerminkan isi naskah. . Nama penulis ditulis lengkap
tanpa gelar, di bawahnya diikuti nama lembaga tempat bekerja, alamat lembaga, dan e-mail.
3. Abstrak merupakan ringkasan utuh dan lengkap yang menggambarkan esensi isi tulisan, tidak lebih
dari 350 kata. Disajikan dalam bahsa Indonesia dan bahasa Inggris. Isi abstrak meliputi tujuan,
metode, dan hasil akhir.
4. Kata Kunci harus ada, mencerminkan satu konsep yang dikandung dalam tulisan antara 3--5 kata
(dapat berupa kata tunggal dan kata majemuk), ditampilkan dalam bahasa Indonesia dan bahasa
Inggris.
5. Penyajian instrumen pendukung berupa gambar, foto, grafik, bagan, tabel dan sebagainya harus
bersifat informatif dan komplementer terhadap isi tulisan. Penyajiannya dengan dilengkapi
keterangan (termasuk sumber/rujukan) di bawah instrumen pendukung.
6. Naskah berbahasa Indonesia atau bahasa Inggris, diketik 1.5 spasi, jenis huruf arial 11, jumlah
halaman minimal 10 halaman dan diketik pada kertas A4,.

7. Sistematika Penulisan meliputi:


Rangkuman hasil penelitian Makalah / artikel
- Judul - Judul
- Abstrak - Abstrak
- Latar belakang - Latar Belakang
- Metode - Pembahasan
- Pembahasan - Penutup
- Penutup - Daftar Pustaka
- Daftar pustaka

8. Daftar pustaka disusun berdasarkan abjad tanpa nomor urut dengan urutan sebagai berikut : nama
pengarang (dengan cara penulisan yang baku), tahun penerbitan, judul artikel, judul buku/nama
dan nomor jurnal, penerbit dan kotanya, serta jumlah/nomor halaman.
9. Naskah diserahkan dalam bentuk file tipe Microsoft Word 2003/2007 Document (*.doc/*.docx)
dan print out-nya ke alamat redaksi :
Dewan Redaksi Jurnal Borobudur
d/a Balai Konservasi Borobudur
Jalan Badrawati, Borobudur, Magelang 56553
dan dikirim melalui e-mail: jurnalborobudur@gmail.com
10. Dewan Redaksi mengatur pelaksanaan penerbitan (menerima, menolak, dan menyesuaikan
naskah tulisan dengan format Jurnal Borobudur).

74
75

Anda mungkin juga menyukai