Pengertian Privasi
Privasi merupakan tingkatan interaksi atau keterbukaan yang dikehendaki seseorang pada
suatu kondisi atau situasi tertentu. Tingkatan privasi yang diinginkan itu menyangkut
keterbukaan atau ketertutupan, adanya keinginan untuk berinteraksi dengan orang lain, atau
justru ingin menghindar atau berusaha supaya sukar dicapai oleh orang lain (Dibyo Hartono,
1986).
Rapoport (dalam Soesilo, 1988) mendefinisikan privasi sebagai suatu kemampuan untuk
mengontrol interaksi, kemampuan untuk memperoleh pilihan-pilihan dan kemampuan untuk
mencapai interaksi yang diinginkan. Privasi jangan dipandang hanya sebagai penarikan diri
seseorang secara fisik terhadap pihak-pihak lain dalam rangka menyepi saja.
Marshall (dalam Wrightman & Deaux, 1981) dan ahli-ahli lain (seperti Bates, 1964; Kira,
1966 dalam Altman, 1975) mengatakan bahwa privasi menunjukkan adanya pilihan untuk
menghindarkan diri dari keterlibatan dengan orang lain dan lingkungan sosialnya. Sedangkan
menurut Altman (1975) privasi adalah proses pengontrolan yang selektif terhadap akses
kepada diri sendiri dan akses kepada orang lain.
Fungsi Privasi
fungsi pertama privasi adalah pengatur dan pengontrol interaksi interpersonal yang
berarti sejauh mana hubungan dengan orang lain diinginkan, kapan waktunya
menyendiri dan kapan waktunya bersama-sama dengan orang lain. privasi dibagi
menjadi 2 macam, yaitu privasi rendah (terjadi bila hubungan dengan orang lain
dikehendaki), dan privasi tinggi (terjadi bila ingin menyendiri dan hubungan dengan
orang lain dikurangi).
fungsi kedua privasi adalah merencanakan dan membuat strategi untuk berhubungan
dengan orang lain, yang meliputi keintiman / jarak dalam berhubungan dengan orang
lain.
fungsi ketiga privasi adalah memperjelas identitas diri.
Terdapat faktor yang mempengaruhi privasi yaitu faktor personal, faktor situasional, faktor
budaya.
Faktor Situasional. Beberapa hasil penelitian tentang privasi dalam dunia kerja,
secara umum menyimpulkan bahwa kepuasaan terhadap kebutuhan akan privasi
sangat berhubungan dengan seberapa besar lingkungan mengijinkan orang-orang di
dalamnya untuk menyendiri (Gifford, 1987).
Faktor Budaya. Penemuan dari beberapa peneliti tentang privasi dalam berbagai
budaya (seperti Patterson dan Chiswick pada suku Iban di Kalimantan, Yoors pada
orang Gypsy dan Geertz pada orang Jawa dan Bali) memandang bahwa tiap-tiap
budaya tidak ditemukan adanya perbedaan dalam banyaknya privasi yang diinginkan,
tetapi sangat berbeda dalam cara bagaimana mereka mendapatkan privasi (Gifford,
1987).
Maxine Wolfe dan kawan-kawan (dalam Holahan, 1982) mecatat bahwa pengelolahan
hubungan interpersonal adalah pusat dari pengalaman tentang privasi dalam kehidupan
sehari-hari. Menurutnya, orang yang terganggu privasinya akan merasakan keadaan yang
tidak mengenakkan. Sedangkan Schwartz (dalam Holahan, 1982) menemukan bahwa
kemampuan untuk menarik diri ke dalam privasi (privasi tinggi) dapat membantu membuat
hidup ini lebih mengenakkan saat harus berurusan dengan orang-orang yang “sulit”.
Sementara hal yang senada diungkapkan oleh westin bahwa saat-saat kita mendapatkan
privasi seperti yang kita inginkan, kita dapat melakukan pelepasan emosi dari akumulasi
tekanan hidup sehari-hari dan kita juga dapat melakukan evaluasi diri serta membantu kita
mengembangkan dan mengelola perasaan otonomi diri. Otonomi ini meliputi perasaan bebas,
kesadaran memilih dan kemerdekaan dari pengaruh orang lain.