Anda di halaman 1dari 22

Telah Dibacakan 14 Maret 2017

SARI PUSTAKA
DIVISI PREVENSI DAN REHABILITASI JANTUNG

Dr. Abdul Halim Raynaldo, Sp.JP(K)

AKTIVITAS SEKSUAL PADA


PASIEN PENYAKIT KARDIOVASKULAR

Presentator : dr. Zulfan Efendi


Pembimbing : dr. Abdul Halim Raynaldo, Sp.JP(K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS


KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR
RS H ADAM MALIK / FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA
2017
AKTIVITAS SEKSUAL PADA PASIEN PENYAKIT KARDIOVASKULAR

1. PENDAHULUAN
Aktivitas seksual (sexual activity = SA) merupakan konsep global yang bervariasi di
antara berbagai kultur dan mencakup beberapa perilaku yaitu berciuman (kissing=Ki),
bersentuhan (touching=T), seks oral (oral sex=O), masturbasi (masturbation=M), dan
persetubuhan (intercourse=I) vagina atau anal. Untuk selanjutnya akan digunakan
beberapa singkatan termasuk KiT untuk berciuman dan bersentuhan, KiTOM meliputi
stimulasi oral terhadap genitalia juga masturbasi, dan KiTOMI untuk aktivitas yang
sama dengan penambahan persetubuhan. SA dapat dilakukan dengan beberapa cara:
sendirian, berpasangan atau berkelompok, hetero, homo atau biseksual, hubungan
yang sudah stabil atau hanya sepintas, dalam kondisi pernikahan atau di luar
pernikahan, dan dalam kondisi pekerja seksual yang melayani pasangannya.1
Kesehatan seksual merupakan komponen mayor dari kualitas kehidupan pada
populasi umum, juga pada pasien jantung.2 Terlebih lagi, kesehatan seksual
tampaknya juga mempengaruhi kesehatan fisik baik pada individu yang bersangkutan
dan pasangannya. Bukti menunjukkan bahwa SA yang berkurang akan menyebabkan
pasien tertekan secara psikologis dan mengalami kekhawatiran akan munculnya gejala
yang tidak menyenangkan atau potensi serangan jantung sewaktu berhubungan
seksual.3,4 Sayangnya kebanyakan studi berfokus terhadap disfungsi seksual dan risiko
jantung; dan masih terbatas perhatian untuk manfaat kesehatan seksual pada pasien
jantung.
Pelayanan konseling seksual yang berdasarkan bukti ilmiah terhadap individu
dengan penyakit jantung (heart disease=HD), terutama setelah kejadian penyakit
jantung akut, merupakan faktor yang penting dalam menentukan kualitas yang
menentukan kualitas hidup dan keamanan dan harus bergabung dengan praktis klinis.5
Pasien jantung memerlukan nasihat yang berkaitan dengan dimulainya kembali SA,
sama halnya dengan panduan yang mereka terima berkenaan dengan pekerjaan,
olahraga, dan aktivitas harian lainnya. Bahkan, seks merupakan aktivitas fisik yang
terencana dan disengaja dalam bentuk yang lebih spesifik sehingga dapat
dikategorikan sebagai bentuk olahraga.6 Pengertian yang lebih baik antara risiko
potensial dan keuntungan dari SA dibutuhkan oleh profesional kesehatan untuk
menyediakan konseling seksual yang cocok untuk populasi tersebut.

2. EPIDEMIOLOGI AKTIVITAS SEKSUAL


SA sangat sering dilakukan pada orang dewasa; akan tetapi ada variasi yang
bermakna di seluruh dunia. Data pada Laporan Statistik Kesehatan Nasional AS tahun
2006-2008 mengindikasikan hubungan badan melalui vagina hampir seluruh orang
dewasa usia 2544 tahun. Kehidupan seksual suami-isteri dimulai usia 2530 tahun
dan berakhir usia 4050 tahun, dengan asumsi frekuensi rata-rata 12 kali/minggu,
maka bisa diperkirakan hubungan seksual sekitar 3.0005.000 kali dalam seumur
hidup.1
Pada kehidupan yang lebih lanjut, SA cenderung menjadi lebih jarang dan sering
kali disfungsional,7 sebagaimana dikuatkan dari data 31.742 laki-laki berusia 5390
tahun yang diikutkan dalam studi tersebut.8 Meskipun sekitar 10% laki-laki pada usia
80-an melaporkan masih memiliki fungsi seksual dengan nilai yang baik atau sangat
baik. Dalam The Global Study of Sexual Attitudes and Behaviours,9 dilakukan survey
pada laki-laki dan wanita dengan usia 4080 tahun di 29 negara dan 5 benua, usia yang
bertambah meningkatkan kemungkinan ketidaknyamanan seks secara signifikan,
termasuk kesulitan untuk ereksi dan lubrikasi.

3. AKTIVITAS SEKSUAL DAN FISIOLOGI KARDIOVASKULAR


Masters dan Johnson mempelopori respon seksual manusia dan dipublikasikan
hampir 50 tahun yang lalu, mengusulkan empat fase psikologis: arousal (gairah),
plateau (stabil/mendatar), orgasme, dan resolusi. Data yang berhubungan dengan
seksualitas memberi kesan bahwa baik pria maupun wanita menunjukkan perbedaan
fungsi seksual; lebih jauh lagi bukti yang ada telah mengembangkan pengakuan
peningkatan dari pentingnya pendekatan yang terintegrasi, dibandingkan dengan
pendekatan psikologis semata, untuk memahami perilaku seksual.10
Selama SA, energi yang dikeluarkan serta kebutuhan oksigen meningkat, dengan
level maksimal tercapai ketika orgasme. Untuk memenuhi permintaan yang
meningkat, respon kardiorespiratori dibangkitkan dan perubahan hemodinamik serta
ventilasi muncul. Akan tetapi pengumpulan data psikologis yang valid dan terpercaya
selama SA mengalami kendala secara metodologi. Sehingga kebanyakan informasi
yang beredar didapat dari subjek yang jumlahnya terbatas.11
Boas dan Goldschimidt melaporkan pada tahun 1932 bahwa denyut jantung (heart
rate=HR) mengalami perubahan sewaktu senggama, dengan menggunakan
kardiotakometer yang belum sempurna, yang dihubungkan dengan kabel sepanjang
100 kaki dengan tiga elektroda yang ditempelkan di dada subjek. Kemudian beberapa
studi terkontrol yang lebih baik dilaporkan secara berkesinambungan dengan
menggunakan subjek yang primernya merupakan pasangan yang sudah menikah dan
melakukan hubungan badan di kamar tidur mereka sebagaimana biasanya. Studi-studi
ini mempertimbangkan berbagai tipe SA, dari masturbasi hingga berhubungan badan,
juga membedakan posisi tubuh pria dan wanita selama penetrasi.1 Bohlan dkk.
mengungkapkan bahwa pengambilan oksigen relatif rendah dan bervariasi bergantung
kepada individual setelah meneliti dengan menggunakan masker wajah untuk
mengumpulkan gas yang diekspirasikan selama senggama pada 10 pria.12
Araujo menyatakan bahwa hubungan seksual merupakan olahraga yang tak stabil
karena variabilitas posisi tubuh yang besar, irama dorongan dan dalamnya penetrasi
atau pergerakan pinggul, sehingga hampir mustahil memperkirakan rata-rata atau
puncak serapan oksigen sewaktu senggama dari pengukuran HR.6 Faktanya,
kejadian mendadak dari olahraga yang relatif simpel, seperti bersepeda cepat tanpa
rintangan atau melakukan pemeriksaan spirometri, mendorong peningkatan
substansial, yang dalam beberapa kasus melebihi 100% dari HR istirahat, dan
utamanya dimediasi oleh vagal yang terhenti dan tidak terkait dengan pengeluaran
energi. Masturbasi sendirian dan, lebih spesifik orgasme pada wanita, dihubungkan
dengan peningkatan HR yang tidak sepadan. Oleh karena itu cukup beralasan untuk
mengasumsikan bahwa saat yang bergairah yang normalnya menyertai SA, HR
sepertinya lebih merefleksikan peningkatan interaksi kardiak simpatovagal.13 Oleh
karena itu, penggunaan nilai HR untuk memperkirakan permintaan metabolik selama
SA dapat menyesatkan.
Tabel 1. Data utama dari beberapa studi paling relevan yang melaporkan data fisiologi selama aktivitas
seksual (1932 hingga 2013)

4. AKTIVITAS SEKSUAL PADA PASIEN JANTUNG: ASPEK PSIKOLOGIS


Persepsi diri dan penyesuaian seksual yang positif berhubungan langsung dengan
SA dan masalah jantung yang lebih sedikit. Impak negatif dari penyakit jantung pada
kesehatan seksual pasien secara primer berhubungan dengan distress emosional dan
implikasi psikologis dalam mengalami kondisi penyakit jantung, seperti disfungsi ereksi
dan/atau hilangnya libido.
Tren penurunan SA terjadi pada pria dan wanita yang didiagnosis penyakit jantung,
kejadian kardiovaskular mayor (KKVM), atau prosedur intervensi.14-15 Dari perspektif
psikologis, konsep diri tentang seksual yang lebih tinggi dari efikasi diri untuk seksual
yang lebih besar dan kecemasan seksual yang lebih rendah, usia yang lebih muda, dan
sudah menikah menjadi prediktor signifikan untuk SA yang lebih sehat pada pasien
penyakit jantung.16 Riwayat infark miokard akut dan kegagalan untuk menyesuaikan
diri dengan kehidupan sosial atau kembali ke kehidupan normal kelihatannya
berhubungan erat dengan distres psikologis yang memperluas penyakit jantung itu
sendiri, dan sangat mungkin mempengaruhi kehidupan seksual.17
Kecemasan jantung adalah ketakutan akan stimulasi dan sensasi yang berhubungan
dengan jantung, dipersepsikan sebagai hal yang negatif atau berbahaya, dan cukup
sering pada pasien jantung. Individu dengan sensitivitas kecemasan yang lebih tinggi
dapat lebih sensitif kepada stimulus interoseptif, sehingga menghasilkan perubahan
autonom yang mencetuskan kecemasan.3
Interpretasi menyimpang secara berulang tentang gejala kardiovaskuler yang
timbul selama SA dan dianggap sebagai potensi yang berbahaya dapat meningkatkan
gairah yang berhubungan dengan kecemasan, akibatnya memperkuat sensasi jantung
dan dan menimbulkan bencana interpretasi dan kecemasan. Kecemasan yang sudah
muncul terlebih dahulu dikombinasikan dengan misinterpretasi gejala, seperti perilaku
ketakutan yang terkondisi, menyebabkan disfungsi seksual dan penghindaran SA pada
pasien jantung.1

5. RISIKO JANTUNG DARI AKTIVITAS SEKSUAL


Kematian jantung mendadak merupakan isu kesehatan publik pada umumnya, yang
sebenarnya sama saja proporsi kemunculannya sewaktu tidur atau olahraga sedang
hingga berat; yang pada konteks ini, ada manfaatnya untuk menjadi catatan bahwa
selama SA sebenarnya sangat jarang terjadi, sama seperti kematian karena olahraga
yang kurang dari 2%.18-20
Coital angina (“angina d’amour”) merupakan angina yang muncul dalam hitungan
menit atau jam setelah aktivitas seksual, dan mewakili 5% dari seluruh serangan
angina. Cukup jarang pada pasien yang tidak memiliki angina selama aktivitas fisik yang
berat dan lebih lazim dijumpai pada individu yang jarang bergerak dengan penyakit
arteri koroner yang mengalami angina dengan aktivitas fisik minimal. Jika pasien dapat
mencapai pengeluaran energi ≥3 hingga 5 METs tanpa menunjukkan iskemia selama
uji latihan, maka risiko iskemia selama SA akan sangat rendah.33
Karena seks dapat dianggap sebagai olahraga yang paling sering dilakukan pada
semua kelompok usia, maka seks dapat dianggap sebagai aktivitas yang memiliki risiko
yang sangat rendah untuk kematian jantung mendadak. Muller melakukan survey data
dari 1700 pasien dan SA diidentifikasi sebagai pemicu hanya pada 1,5% kasus, yang
merupakan persentase minimal dibandingkan dengan 14% kasus yang dipicu oleh stres
psikologis atau kemarahan.21 Parzeller dkk meneliti bahwa insidensi kematian jantung
mendadak tahunan selama SA diperkirakan 1,9 / 1000 otopsi untuk laki-laki dan 1,6 /
1000 untuk wanita, yang mengindikasikan rasio pria-wanita mendekati 10/1.22
Dahabreh dkk menemukan bahwa peningkatan risiko absolut kematian yang
dihubungkan dengan penambahan SA selama 1 jam per minggu ternyata kurang dari
1 per 10.000 orang per tahun.23
Walaupun risiko keseluruhan rendah, risiko infark miokard selama SA meningkat
secara transien sekitar tiga kali dibandingkan situasi lain yang melibatkan pengeluaran
energi yang sama. Meta analisis dari empat studi kasus crossover mengindikasikan
risiko relatif infark miokard yang muncul ketika SA adalah 2,7 dibandingkan dengan
masa periode ketika subjek tidak terlibat dalam SA dan hal ini secara substansial
menurun pada individu dengan aktivitas fisiknya baik. Analisis data dari pasien post
infak miokard menemukan bahwa SA dilaporkan sebanyak 0,7% dalam 1 jam sebelum
kejadian akut tersebut dan mengesankan bahwa SA bukanlah pemicu yang relevan
terhadap infark miokard yang terjadi. Penting juga diingat bahwa semua pasien
dengan iskemia saat berhubungan juga mengalami iskemia ketika berolahraga. Bahkan
jika pengeluaran energi tercapai ≥3 METs tanpa adanya iskemia selama pemeriksaan,
risiko iskemia miokardial secara signifikan sangat rendah selama SA.1,33
Walaupun aktivitas seksual dihubungkan dengan peningkatan risiko kejadian
kardiovaskular, rerata absolut dari kejadian adalah sangat kecil karena SA berdurasi
pendek dan merupakan persentase yang sangat kecil dari waktu keseluruhan untuk
risiko iskemi atau infark miokard. SA merupakan penyebab <1% dari semua infark akut.
Peningkatan risiko absolut untuk infark miokard yang dihubungkan dengan 1 jam SA
per minggu dengan perkiraan 2 smapai 3 per 10.000 orang-tahun. Individu dengan
kebiasaan tingkat SA lebih tinggi mengalami peningkatan risiko lebih kecil
dibandingkan indvidu dengan tingkat aktivitas lebih rendah.33
Pada tahun 2006, Parzeller dkk. meneliti otopsi 31.691 forensik dari tahun 1972-
2004 di Jerman dengan hasil kematian alami sebanyak 68 (0,22%) terjadi dalam
konteks SA, yang juga disertai penyalahgunaan alkohol. Menariknya, 92% kasus adalah
pria, dengan usia rata-rata 59 tahun, dan sangat sedikit di antara kasus tersebut yang
diketahui memiliki penyakit jantung. Senggama terjadi pada 2/3 kasus sementara
sisanya melakukan SA lainnya.22
Lee dkk. di tahun 2006 menemukan bahwa kematian yang berhubungan dengan
senggama terjadi sekitar 1% dari 1.379 otopsi di Korea Selatan antara 20012005.
Hanya satu dari 14 kasus yang diketahui memiliki penyakit jantung. Walaupun
kebanyakan kasus terjadi pada hubungan tanpa pernikahan, mereka menyangkakan
bahwa kematian senggama pada pasangan yang sudah menikah mungkin tidak
dilaporkan dibandingkan dengan kejadian di luar pernikahan, sehingga diperlukan
investigasi kriminal yang termasuk di dalamnya otopsi.20 Meskipun demikian, Fisher
dkk. mengkonfirmasikan bahwa adanya affair yang stabil di luar pernikahan
dihubungkan dengan kejadian MACE dua kali lipat pada pria.24
Rekomendasi untuk SA dengan penyakit kardiovaskular secara umum adalah: 33
a. Wanita dengan penyakit kardiovaskular seharusnya melakukan konseling
mengenai keamanan dan kelayakan metode kontrasepsi dan kehamilan apabila
layak (Kelas I; Level of Evidence C).
b. Suatu kewajaran bahwa pasien dengan penyakit kardiovaskular berkeinginan
memulai atau melanjutkan SA yang dievaluasi melalui riwayat penyakit dan
pemeriksaan fisik (Kelas IIa; Level of Evidence C).
c. SA merupakan hal yang wajar bagi pasien dengan penyakit kardiovaskular yang
pada evaluasi klinis ditetapkan memiliki risiko rendah untuk komplikasi
kardiovaskular ((Kelas IIa; Level of Evidence B).
d. Uji stres latihan merupakan hal yang wajar untuk pasien yang memiliki risiko
kardiovaskular tidak rendah atau tidak diketahui untuk menilai kapasitas latihan
dan berkembangnya gejala, iskemia, atau aritmia (Kelas IIa; Level of Evidence C).
e. SA wajar dilakukan bagi pasien yang mampu berolahraga ≥3 hingga 5 METs tanpa
angina, dispnu yang berlebihan, perubahan segmen ST iskemia, sianosis, hipotensi,
atau aritmia (Kelas IIa; Level of Evidence C).
f. Rehabilitasi jantung dan olahraga yang teratur berguna untuk mengurangi risiko
komplikasi kardiovaskular dengan SA untuk pasien dengan penyakit kardiovaskular
(Kelas IIa; Level of Evidence B).
g. Pasien dengan penyakit kardiovaskular yang tidak stabil, dekompensata, dan/atau
memiliki gejala yang berat harus menunda SA hingga kondisinya menjadi stabil dan
tertangani secara optimal (Kelas III; Level of Evidence C).
h. Pasien dengan penyakit kardiovaskular yang pernah mengalami gejala
kardiovaskular karena SA harus menunda SA hingga kondisinya menjadi stabil dan
tertangani secara optimal (Kelas III; Level of Evidence C).
Pasien yang dikatakan memiliki penyakit kardiovaskular stabil adalah pasien yang
menunjukkan gejala minimal atau tidak ada sama sekali sewaktu aktivitas rutin dan
dapat melakukan SA. Termasuk pasien ini adalah:33
 Angina kelas 1 atau 2 menurut Canadian Classification System
 Gagal jantung kelas I atau II menurut New York Heart Association (NYHA)
 Penyakit katup ringan hingga sedang
 Tidak ada gejala lagi setelah infark miokard
 Revaskularisasi koroner yang sukses
 Sebagian besar penyakit janung kongenital
 Mampu mencapai ≥3 hingga METs sewaktu uji stres latihan tanpa adnaya angina,
perubahan EKG iskemia, hipotensi, sianosis, aritmia, atau dispnu yang berlebihan.

6. KARDIOVASKULAR DAN OBAT-OBATAN DISFUNGSI EREKSI DAN AKTIVITAS SEKSUAL


PADA PASIEN JANTUNG
Beta bloker dan tiazid memiliki implikasi pada disfungsi ereksi (erectyle
dysfunction=ED), dan diuretik loop menunjukkan SA yang negatif bagi wanita.25 Akan
tetapi tidak ada hubungan jelas yang telah terbukti antara obat-obatan kardiovaskular
modern dan ED, dan efek nocebo (harapan akan efek yang merugikan dari obat) bisa
menjadi faktor kontribusi penting terjadinya ED pada pasien jantung. Temuan
kontroversial dilaporkan antara statin dan ED dan studi lebih lanjut jelas diperlukan.26
Kombinasi data dari 6 studi, yang melibatkan 14.897 individu dengan usia rata-rata
sekitar 60 tahun, Ko dkk. menemukan bahwa frekuensi disfungsi seksual dengan beta
bloker adalah 21,6% sedangkan grup plasebo 17,5%.27 Akan tetapi, kesannya efek
negatif ini berkurang dengan nebivolol, obat beta-1 bloker baru generasi ketiga.28
Nitrat merupakan obat yang berguna untuk mengontrol gejala dan mengurangi rasa
takut akan angina yang mempengaruhi kemampuan seksual.29 Kehati-hatian
direkomendasikan jika fosfodieterase-5 inhibitor (PDE-5) digunaan secara bersamaan
untuk mengatasi ED karena ada efek eksaserbasi vasodilatasi yang menyebabkan
penurunan tekanan darah secara berlebihan.30 Walaupun avanafil mampu
mengurangi memiliki efek kombinasi tambahan ini secara bermakna,31 harus
dipertimbangkan bahwa nitrat hanyalah antiangina ringan dan tidak memiliki
keuntungan secara prognostik, sehingga terapi alternatif harus dicari jika
penatalaksanaan ED secara farmakologi diperlukan.29
Rekomendasi penggunaan obat-obatan kardiovaskular dan fungsi seksual:33
a. Obat kardiovaskular yang dapat memperbaiki gejala dan kelangsungan hidup tidak
boleh ditahan penggunaannya karena khawatir terhadap impak potensialnya
terhadap fungsi seksual (Kelas III: Bahaya; Level of Evidence C).
Rekomendasi farmakoterapi untuk disfungsi seksual:33
a. PDE5 inhibitor berguna untuk mengobati ED pada pasien dengan penyakit
kardiovaskular yang stabil (Kelas I; Level of Evidence A).
b. Keamanan PDE5 inhibitor tidak diketahui pada pasien dengan stenosis aorta berat
atau HCM (Kelas IIb; Level of Evidence C).
c. PDE5 inhibitor seharusnya tidak digunakan pada pasien yang menerima terapi
nitrat (Kelas III; Level of Evidence B).
d. Nitrat jangan diberikan kepada pasien dalam 24 jam setelah pemberian sildenafil
atau vardenafil atau dalam 48 jam setelah pemberian tadalafil (Kelas III; Level of
Evidence C).

7. AKTIVITAS SEKSUAL PADA PENYAKIT JANTUNG DENGAN KONDISI KHUSUS


Pada pasien gagal jantung, left ventricle assist devise (LVAD) meningkatkan status
hemodinamik. Akan tetapi dampaknya tidak baik untuk fungsi endotel dan kesehatan
psikologi. Data-datanya sendiri masih jarang dan sampel yang terbatas atau sedikit.32
Pasien dengan implantable cardioverter defibrilator (ICD) bisa saja mengalami
permasalahan menantang yang cukup aneh, khususnya yang berkaitan dengan
keamanan SA. Rasa takut jika ICD menyala atau kematian apabila ICD tidak menyala,
ED, menurunnya libido dan kemesraan suami-isteri seringkali dihubungkan oleh pasien
yang dilakukan implantasi ICD. Idealnya, penyelia layanan kesehatan mampu
menyediakan konseling SA setelah penempatan ISD yang meliputi:33
 Kapan waktu yang aman untuk melanjutkan SA
 Potensi syok ICD selama SA
 Apa yang harus dilakukan jika syok muncul sewaktu bersenggama
 Tingkat SA yang aman
 Efek obat-obatan terhadap fungsi seksual
Risiko aritmia ventrikel kompleks selama bersenggama pada pasien dengan ICD
kelihatannya tidak lebih besar daripada sewaktu intensitas olahraga yang sebanding,
dan dapat diberikan rekomendasi kepada pasien yang dianggap mampu untuk
berpartisipasi dengan aman untuk beraktifitas pada waktu luang secara aktif dapat
juga aktif secara seksual.34
Pasien dengan fibrilasi atrium atau flutter atrium dan respons ventrikel yang
terkontrol baik, riwayat atrioventricular nodal reentrant tachycardia, atrioventricular
reentry tachycardia, atau takikardi atrium yang dianggap aman untuk berperan serta
dalam olahraga di waktu luang atau aktivitas olahraga juga mampu berpartisipasi
sepenuhnya dalam SA (KiTOMI). Akan tetapi pasien dengan fibrilasi atrium dan laju
ventrikel yang sulit dikontrol, aritmia supraventrikel yang tidal terkontrol atau memiliki
gejala, dan takikardia ventrikel spontan atau diinduksi olahraga, harus lebih ketat
untuk melakukan KiTOM hingga kondisi klinis yang stabil tercapai, khususnya jika
gejala yang relevan atau episode fibrilasi atrium diinduksi oleh senggama.1
Rekomendasi SA pada pasien dengan penyakit arteri koroner adalah:33
a. SA wajar bagi pasien dengan angina minimal atau tidak ada (Kelas IIa; Level of
Evidence B).
b. SA wajar dilakukan setelah seminggu atau lebih pada infark miokard yang tidak
mengalami komplikasi jika pasien tidak memiliki gejala sewaktu aktivitas fisik
ringan hingga sedang (Kelas IIa; Level of Evidence C).
c. SA wajar bagi pasien yang telah menjalani revaskularisasi koroner komplit (Kelas
IIa; Level of Evidence B) dan dapat diteruskan (i) beberapa hari setelah intervensi
koroner perkutan jika tempat akses vaskular tidak memiliki komplikasi (Kelas IIa;
Level of Evidence C) atau (ii) 6 hingga 8 minggu setelah coronary artery bypass graft
standar dengan syarat sternotomi telah sembuh dengan baik (Kelas IIa; Level of
Evidence B).
d. SA wajar bagi pasien yang telah menjalani bedah jantung nonkoroner terbuka dan
dapat diteruskan 6 hingga 8 minggu setelah prosedur, dengan syarat sternotomi
telah sembuh dengan baik (Kelas IIa; Level of Evidence C).
e. Bagi pasien dengan revaskularisasi koroner yang tidak komplit, uji stres latihan
dapat dipertimbangkan untuk menilai perluasan dan beratnya sisa iskemia (Kelas
IIb; Level of Evidence C).
f. SA harus ditunda bagi pasien dengan angina tak stabil atau refrakter hingga
kondisinya stabil dan tertangani dengan baik (Kelas III; Level of Evidence C).
Rekomendasi SA bagi pasien dengan gagal jantung:33
a. SA wajar untuk pasien dengan gagal jantung terkompensasi dan/atau ringan (NYHA
kelas I atau II) (Kelas IIa; Level of Evidence B).
b. SA tidak dianjurkan bagi pasien dengan gagal jantung yang dekompensata atau
tingkat lanjut hingga kondisinya stabil dan dikelola dengan optimal (Kelas III; Level
of Evidence C).
Rekomendasi SA bagi pasien dengan penyakit jantung katup:
a. SA wajar bagi pasien dengan penyakit jantung katup ringan atau sedang dengan
gejala yang ringan atau tanpa gejala.
b. SA wajar bagi pasien dengan katup prostetik yang berfungi normal, perbaikan
katup yang sukses, dan intervensi katup transkateter yang sukses (Kelas IIa; Level
of Evidence C).
c. SA tidak disarankan bagi pasien dengan penyakit katup dengan gejala yang berat
atau signifikan kondisinya stabil dan dikelola dengan optimal (Kelas III; Level of
Evidence C).
Rekomendasi SA bagi pasien dengan aritmia, alat pacu jantung, dan ICD:33
a. SA wajar untuk pasien dengan fibrilasi atrium (AF) atau atrial flutter dengan rate
ventrikel yang terkontrol baik (Kelas IIa; Level of Evidence C).
b. SA wajar bagi pasien dengan riwayat atrioventricular nodal reentry tachycardia,
atrioventricular reentry tachycardia, atau atrial tachycardia dengan aritmia yang
terkontrol (Kelas IIa; Level of Evidence C).
c. SA wajar untuk pasien dengan alat pacu jantung (Kelas IIa; Level of Evidence C).
d. SA wajar untuk pasien dengan ICD yang tertanam sebagai pencegahan primer
(Kelas IIa; Level of Evidence C).
e. SA wajar bagi pasien dengan ICD sebagai pencgahan sekunder dan pada aktivitas
fisik sedang (≥3 hingga 5 METs) tidak menimbukan takikardia ventrikel atau fibrilasi
dan tidak sering menerima syok yang memang pantas (Level of Evidence C).
f. SA harus ditunda untuk pasien dengan pasien dengan fibrilasi atrium dan rate
ventrikel yang sulit dikontrol, aritmia supraventrikel yang tidak terkontrol atau
memiliki gejala, dan takikardi ventrikel spontan atau diinduksi oleh olaraga hingga
kondisinya dikelola dengan baik (Kelas III; Level of Evidence C).
g. SA harus ditunda pada pasien dengan ICD yang menerima beberapa syok hingga
penyebab aritmia distabilkan dan dikontrol secara optimal (Kelas III; Level of
Evidence C).
Rekomendasi SA bagi pasien dengan penyakit jantung kongenital:33
a. SA wajar untuk kebanyakan pasien penyakit jantung kongenital degan gagal
jantung yang bukan dekompensata atau tingkat lanjut, penyakit katup yang berat
dan/atau bergejala yang signifikan, atau aritmia yag tak terkontrol (Kelas IIa; Level
of Evidence C).
Rekomendasi SA bagi pasien dengan kardiomiopati hipertrofi:33
a. SA wajar untuk kebanyakan pasien dengan kardiomiopati hipertrofi (HCM) (Kelas
IIa; Level of Evidence C).
b. SA harus ditunda untuk pasien HCM dengan gejala yang berat hingga kondisinya
distabilkan (Kelas IIa; Level of Evidence C).

8. HAL-HAL YANG SALING MEMPENGARUHI ANTARA LATIHAN OLAHRAGA,


KEBUGARAN FISIK, DAN AKTIVITAS SEKSUAL
Komponen aerobik dan non-aerobik tingkat tinggi dari kebugaran fisik
berhubungan sangat kuat dengan rerata semua penyebab kematian yang lebih rendah
pada usia pertengahan dan usia dewasa, walaupun jika penyakit jantung dijumpai.
Bukti menunjukkan setelah program olahraga dijalankan, jantung pasien menunjukkan
perbaikan dalam melakukan beberapa aktivitas sehari-hari, penurunan HR yang
sewaktu senggama dan ambilan oksigen maksimal yang signifikan, dan frekuensi ED
Gambar 1. Algoritme penentuan aktivitas seksual pada pasien jantung.

yang berkurang secara signifikan. Sehingga menjadi jelas hubungan yang


saling mempengaruhi antara kemampuan jantung pasien untuk menikmati masa
bersenang-senang dan SA yang lebih aman jika bugar secara fisik dan berolahraga
teratur. Meskipun hubungan seksual sebagai latihan mungkin akan menjadi jenis
olahraga yang paling menyenangkan dan bermanfaat dilakukan selama sepanjang
perjalanan hidup, SA tidak bisa menjadi satu-satunya olahraga yang dilakukan oleh
pasien jantung, karena tidak cukup untuk mempertahankan atau mencapai tingkat
kebugaran fisik yang optimal.

9. KONSELING SEKSUAL: STATUS TERKINI, TANTANGAN, DAN SARAN PRAKTIS


Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan kesehatan seksual sebagai
“suatu keadaan kesejahteraan fisik, emosional, mental, dan sosial dalam kaitannya
dengan seksualitas; bukan hanya ketiadaan penyakit, disfungsi, atau kelemahan.
Kesehatan seksual memerlukan pendekatan positif dan penuh hormat terhadap
seksualitas, termasuk kemungkinan memiliki pengalaman seksual yang
menyenangkan dan aman”.
Profesional kesehatan harus berhati-hati menentukan karakter pasien dalam
motivasi seksual dan aktivitasnya sebagaimana memahami bagaimana konteks
pengalaman seksual dan aspek lain mengenai keintiman fisik yang berhubungan
dengan perilaku seksual. Kecerdasan individu dalam memproses situasi seksual dapat
menimbulkan keadaan emosional yang berbeda. Durasi dari fase yang berbeda, posisi
senggama, dan kebiasaan yang berhubungan dengan SA (alkohol atau penggunaan
obat-obatan terlarang, pengobatan, merokok, jumlah pasangan dan partisipasi dalam
permainan seksual) juga harus dipertimbangkan. Dalam pengertian seperti itu,
pendekatan banyak profesional yang komprehensif sering dibutuhkan untuk
mendapatkan konseling seksual yang adekuat untuk tiap individu. Sebagai contoh,
untuk beberapa pasien dengan fungsi sistol ventrikel kiri yang sangat menurun, posisi
berbaring rata di tempat tidur mungkin tidak tahan, tetapi posisi setengah berbaring
mungkin lebih dapat dipertahankan.1

Gambar 2. Perbandingan antara SA dan aktivitas berjalan

Untuk kepentingan praktik, dalam menyediakan konseling SA kepada pasien


jantung, De Busk dkk. melakukan stratifikasi untuk komplikasi yang berhubungan
dengan seks sebagai berikut:35
a. Risiko rendah
Yaitu pasien dengan:
 Pernah mengalami infark miokard
 Revaskularisasi miokardal jantung terbuka yang sukses
 Penggantian katup lebih dari satu hingga dua bulan
 Penyakit jantung kongenital usia dewasa atau dewasa muda
yang saat ini tidak memiliki gejala untuk aktivitas sehari-hari atau olahraga sedang
dan memiliki fungsi global ventrikel kiri yang preserved.
Berdasarkan bukti yang tersedia, KiTOMI seharusnya tidak dilarang atau dibatasi
pada pasien risiko rendah ini; jika cocok, nasihat bagaimana mengatasi ED juga
seharusnya disediakan
b. Risiko sedang
Yaitu pasien dengan:
 Intervensi hemodinamik atau prosedur elektrofisiologi yang sukses di minggu
pertama hingga kedua
 Mengalami kejadian jantung yang tidak ada komplikasi di minggu kedua
hingga keempat, seperti infark miokard atau episode angina tak stabil, atau
bedah jantung terbuka
 Memiliki angina tipikal (terutama angina saat senggama) atau
terdokumentasi iskemia miokard yang diinduksi dengan olahraga atau
dispnue pada 3 hingga 4 METs atau berjalan cepat beberapa blok.
Pasien ini juga harus dirujuk ke rehabilitasi jantung. Hubungan seksual sebaiknya
dihindari hingga kontrol klinis yang lebih baik untuk mengatasi masalah yang
mendasarinya dapat dicapai. KiTOMI sepertinya kurang menginduksi komplikasi
yang relevan dan normalnya ditoleransi dengan baik oleh pasien ini, khususnya
ketika melakukan kebiasaan intim dengan pasangan di rumah sendiri.
c. Risiko tinggi
Pasien yang secara khas menampilkan prognosis klinis tambahan, seperti 3 kali
peningkatan risiko kematian kardiovaskular, seperti:
 Gagal jantung NYHA kelas IV
 Aritmia yang mengancam jiwa
 Resipien transplantasi jantung (pada tahap awal)
 Angina tak stabil atau refrakter
 Stenosis aorta dengan gejala atau kardiomiopati hipertrofi obstruktif
 Mengalami kejadian jantung mayor atau prosedur jantung pada minggu
pertama atau kedua
Risiko absolut untuk kejadian kardiovaskular yang merugikan selama SA tetap
sangat rendah; KiT normalnya dipebolehkan, dan lebih baik menunda hubungan
seksual hingga kondisi jantung sudah terkontrol atau stabil dengan lebih baik.
Pada individu dengan pendekatan yang disesuaikan, saran dari profesional dapat
disediakan bergantung kepada tipe SA yang cukup aman untuk diteruskan atau
dipertahankan.
Untuk selanjutnya, pertimbangan praktis lainnya disampaikan sebagai berikut:
a. Pasien jantung tidak boleh melewati atau menukar regimen yang sudah biasa dari
obat-obatan kardiovaskularnya, walaupun pasien mempercayai bahwa SA
dipengaruhi secara merugikan, tanpa mendiskusikannya terlebih dahulu dengan
penyelia layanan kesehatannya.36
b. Jika revaskularisasi inkomplit terjadi secara signifikan atau disangkakan ada
kegagalan cangkok, uji stres latihan dapat menjadi alat yang berguna untuk
mengkuantifikasi kehadiran atau keparahan iskemi residual dengan lebih tepat dan
menyediakan jaminan bagi pasien sebelum memulai kembali hubungan seksual.
Pada skenario ini, KiTOM tampaknya relatif aman dan dianjurkan, khususnya jika
tidak dijumpai angina atau iskemia signifikan yang diinduksi oleh pengujian
latihan.1
c. Setelah intervensi koroner perkutan atau ablasi, KiTOMI dapat dilanjutkan kembali
dalam beberapa hari, jika tidak dijumpai komplikasi vaskular. Akan tetapi, jika
dijumpai perdarahan atau lebam besar yang muncul pada akses femoral, evaluasi
klinis lebih lanjut direkomendasikan sebelum senggama diperbolehkan.1
d. Sikap yang lebih liberal mengenai SA berlaku bagi wanita dengan penyakit jantung
berdasarkan fakta bahwa wanita memiliki risiko sangat rendah untuk munculnya
MACE selama SA sebagaiman ketika berpartisipasi dalam olahraga.37
e. Meskipun keinginan seksual menurun, ketertarikan seksual tetap ada pada pasien
usia tua.38 Ketika wanita beranjak lanjut usia, KiT menjadi relatif lebih penting
daripada bersenggama.39
f. Meskipun studi sains yang menyelidiki respon hemodinamik terhadap penggunaan
vibrator dan objek seksual lainnya tidak ada, penggunaannya untuk stimulasi
tubuh dan alat genital dianggap menggunakan energi yang sangat rendah.
Sehingga secara teori hal ini dianggap sebagai pilihan yang aman untuk melakukan
SA bagi pasien jantung pria dan wanita, termasuk pasien yang dilakukan
pemasangan alat jantung seperti alat pacu jantung, synchronizer, defibrilator, dan
LVAD.1
g. Data sains untuk aspek kardiovaskular spesifik atau SA yang berisiko di antara
subjek pria atau wanita homoseksual atau biseksual sangat terbatas. Oleh karena
itu, cukup beralasan untuk mengasumsikan bahwa model KiTOMI juga dapat
diaplikasikan pada aktivitas homoseksual, karena tidak ada bukti untuk tuntutan
fisik dan respon hemodinamik aktiitas homoseksual harus secara substansial
berbeda dengan konteks heteroseksual.1

10. KESIMPULAN
Kekhawatiran mengenai keamanan SA lazim dijumpai diantara pasien jantung dan
dokternya, terutama setelah MACE atau prosedur intervensi / bedah jantung.
Meskipun klaim dari studi-studi sebelumnya, hubungan seksual, khususnya pada
hubungan pernikahan stabil yang sudah lama, dapat dipertimbangkan sebagai
olahraga dengan intensitas sangat ringan atau ringan (sekitar 2 hingga 3 METs, dengan
intensitas tertinggi minimal dan masa puncak sekitar 10 hingga 30 detik selama
orgasme). Pengeluaran energi lebih rendah diharapkan terjadi pada SA yang tidak
termasuk senggama. Pasien dengan jantung yang sehat secara fisik cenderung
memiliki prevalensi yang lebih rendah untuk terjadi disfungsi seksual dan SA yang lebih
bervariasi dan aman.
Secara umum, SA benar-benar merupakan olahraga yang aman dan memiliki risiko
absolut kematian atau MACE yang sangat rendah. Risiko rendah ini mungkin benar
untuk kebanyakan pasien jantung, terutama pada wanita tanpa memandang usia dan
pria dan wanita yang bebas gejala. Aktivitas KiTOMI dengan pasangan yang sudah
biasa sangat direkomendasikan sebagai bagian dari gaya hidup sehat. Untuk pasien
jantung yang lebih berat sakitnya, batasan untuk senggama, sering hanya bersifat
sementara pada minggu-minggu pertama setelah suatu prosedur atau kejadian, yang
memang seharusnya ditunda hingga lebih baik secara klinis. Aktivitas KiTOM
cenderung relatif aman dan ditoleransi dengan baik selama periode tersebut. Uji
latihan dapat menyediakan informasi yang relevan dan jaminan baik untuk pasien dan
dokter, terutama pada pasien dengan risiko sedang atau tidak jelas. Konseling seksual
yang sesuai adalah penting untuk pasien jantung dan pasangannya. Aktivitas KiT
seharusnya menjadi komponen perilaku seksual yang positif terhadap kehidupan
seksual yang lebih sehat dan harusnya direkomendasikan untuk hampir seluruh pasien
jantung tanpa memandang orientasi seksualnya. Karena sering dianggap tabu, diskusi
yang objektif mengenai perilaku seksual pada pasien jantung seringkali
dikesampingkan. Penyelia layanan kesehatan harus dapat memutuskan lingkaran
setan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

1. Stein R, Sardinha A, Araújo CGS, Sexual Activity and Heart Patients: A Contemporary
Perspective, Canadian Journal of Cardiology (2015), doi: 10.1016/j.cjca.2015.10.010.
2. Brannstrom M, Kristofferzon ML, Ivarsson B, et al. Sexual knowledge in patients with
a myocardial infarction and their partners. J Cardiovasc Nurs. 2014;29:332-339.
3. Sardinha A, Araujo CG, Nardi AE. Psychiatric disorders and cardiac anxiety in exercising
and sedentary coronary artery disease patients: a case-control study. Braz J Med Biol
Res. 2012;45:1320-1326.
4. Kazemi-Saleh D, Pishgoo B, Farrokhi F, Fotros A, Assari S. Sexual function and
psychological status among males and females with ischemic heart disease. J Sex Med.
2008;5:2330-2337.
5. Bispo GS, de Lima Lopes J, de Barros AL. Cardiovascular changes resulting from sexual
activity and sexual dysfunction after myocardial infarction: integrative review. J Clin
Nurs. 2013;22:3522-3531.
6. Araujo CGS. Sexual activity: An exercise to prevent cardiovascular morbidity and
mortality? Expert Rev Cardiovasc Ther. 2009;7:1033-1036.
7. Mulhall J, King R, Glina S, Hvidsten K. Importance of and satisfaction with sex among
men and women worldwide: results of the global better sex survey. J Sex Med.
2008;5:788-795.
8. Bacon CG, Mittleman MA, Kawachi I, Giovannucci E, Glasser DB, Rimm EB. Sexual
function in men older than 50 years of age: results from the health professionals
follow-up study. Ann Intern Med. 2003;139:161-168.
9. Laumann EO, Nicolosi A, Glasser DB, et al. Sexual problems among women and men
aged 40-80 y: prevalence and correlates identified in the Global Study of Sexual
Attitudes and Behaviors. Int J Impot Res. 2005;17:39-57.
10. Leiblum SR. After sildenafil: bridging the gap between pharmacologic treatment and
satisfying sexual relationships. J Clin Psychiatry. 2002;63 Suppl 5:17-22; discussion 23-
15.
11. Stain RA. Cardiovascular response to sexual activity. Am J Cardiol. 2000;86:27F-29F.
12. Bohlen JG, Held JP, Sanderson MO, Patterson RP. Heart rate, rate-pressure product,
and oxygen uptake during four sexual activities. Arch Intern Med. 1984;144:1745-
1748.
13. Yeragani VK, Pohl R, Balon R. Complex demodulation of cardiac interbeat intervals:
increased cardiac sympathovagal interaction during human sexual activity. Arch Sex
Behav. 2004;33:65-69.
14. Drory Y, Kravetz S, Weingarten M. Comparison of sexual activity of women and men
after a first acute myocardial infarction. Am J Cardiol. 2000;85:1283-1287.
15. Shi H, Zhang FR, Zhu CX, Wang S, Li S, Chen SW. Incidence of changes and predictive
factors for sexual function after coronary stenting. Andrologia. 2007;39:16-21.
16. Steinke EE, Wright DW, Chung ML, Moser DK. Sexual self-concept, anxiety, and
selfefficacy predict sexual activity in heart failure and healthy elders. Heart & Lung.
2008;37:323-333.
17. Friedman S. Cardiac disease, anxiety, and sexual functioning. Am J Cardiol.
2000;86:46F-50F.
18. Reddy PR, Reinier K, Singh T, et al. Physical activity as a trigger of sudden cardiac arrest:
the Oregon Sudden Unexpected Death Study. Int J Cardiol. 2009;131:345-349.
19. Niederseer D, Moller J, Niebauer J. Increased rates of myocardial infarction and deaths
in men after sexual activity. Int J Cardiol. 2012;156:234-235.
20. Lee S, Chae J, Cho Y. Causes of sudden death related to sexual activity: results of a
medicolegal postmortem study from 2001 to 2005. J Korean Med Sci. 2006;21:995-
999.
21. Muller JE. Sexual activity as a trigger for cardiovascular events: what is the risk? Am J
Cardiol. 1999;84:2N-5N.
22. Parzeller M, Bux R, Raschka C, Bratzke H. Sudden cardiovascular death associated with
sexual activity : A forensic autopsy study (1972-2004). Forensic Sci Med Pathol.
2006;2:109-114.
23. Dahabreh IJ, Paulus JK. Association of episodic physical and sexual activity with
triggering of acute cardiac events: systematic review and meta-analysis. JAMA.
2011;305:1225-1233.
24. Fisher AD, Bandini E, Corona G, et al. Stable extramarital affairs are breaking the heart.
Int J Androl. 2012;35:11-17.
25. Steinke EE, Hill TJ, Mosack V. Medication use and predictors of sexual activity in men
and women with CVD. J Am Assoc Nurse Pract. 2015. DOI: 10.1002/2327-6924.12253
26. Davis R, Reveles KR, Ali SK, Mortensen EM, Frei CR, Mansi I. Statins and male sexual
health: a retrospective cohort analysis. J Sex Med. 2015;12:158-167.
27. Ko DT, Hebert PR, Coffey CS, Sedrakyan A, Curtis JP, Krumholz HM. Beta-blocker
therapy and symptoms of depression, fatigue, and sexual dysfunction. JAMA.
2002;288:351-357.
28. Nicolai MP, Liem SS, Both S, et al. A review of the positive and negative effects of
cardiovascular drugs on sexual function: a proposed table for use in clinical practice.
Neth Heart J. 2014;22:11-19.
29. Jackson G. Sexual intercourse and stable angina pectoris. Am J Cardiol. 2000;86:35F-
37F.
30. Schwartz BG, Kloner RA. Drug interactions with phosphodiesterase-5 inhibitors used
for the treatment of erectile dysfunction or pulmonary hypertension. Circulation.
2010;122:88-95.
31. Swearingen D, Nehra A, Morelos S, Peterson CA. Hemodynamic effect of avanafil and
glyceryl trinitrate coadministration. Drugs Context. 2013;2013:212248.
32. Steinke EE. How can heart failure patients and their partners be counseled on sexual
activity? Curr Heart Fail Rep. 2013;10:262-269.
33. Levine GN, Steinke EE, Bakaeen FG, et al. Sexual activity and cardiovascular disease: a
scientific statement from the American Heart Association. Circulation. 2012;125:1058-
1072.
34. Fries R, Konig J, Schafers HJ, Bohm M. Triggering effect of physical and mental stress
on spontaneous ventricular tachyarrhythmias in patients with implantable
cardioverter-defibrillators. Clin Cardiol. 2002;25:474-478.
35. DeBusk R, Drory Y, Goldstein I, et al. Management of sexual dysfunction in patients
with cardiovascular disease: recommendations of the Princeton Consensus Panel. Am
J Cardiol. 2000;86:62F-68F.
36. Steinke EE, Jaarsma T, Barnason SA, et al. Sexual counseling for individuals with
cardiovascular disease and their partners: a consensus document from the American
Heart Association and the ESC Council on Cardiovascular Nursing and Allied
Professions (CCNAP). Circulation. 2013;128:2075-2096.
37. Marijon E, Bougouin W, Perier MC, Celermajer DS, Jouven X. Incidence of sports
related sudden death in France by specific sports and sex. JAMA. 2013;310:642-643.
38. Beutel ME, Weidner W, Brahler E. Epidemiology of sexual dysfunction in the male
population. Andrologia. 2006;38:115-121.
39. Ginsberg TB, Pomerantz SC, Kramer-Feeley V. Sexuality in older adults: behaviours and
preferences. Age Ageing. 2005;34:475-480.

Anda mungkin juga menyukai