Trauma Maksilofasial
Trauma Maksilofasial
BAB I
PENDAHULUAN
Trauma maksilofasial merupakan trauma fisik yang dapat mengenai jaringan keras
dan lunak wajah. Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas,
kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api. Trauma pada wajah sering
mengakibatkan terjadinya gangguan saluran pernafasan, perdarahan, luka jaringan lunak,
hilangnya dukungan terhadap fragmen tulang dan rasa sakit. Oleh karena itu, diperlukan
perawatan kegawatdaruratan yang tepat dan secepat mungkin.1
Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab dengan persentase yang tinggi terjadinya
kecacatan dan kematian pada orang dewasa secara umum dibawah usia 50 tahun dan angka
terbesar biasanya mengenai batas usia 21-30 tahun. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72%
kematian oleh trauma maksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas.
Pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal harus menjalani rawat inap di rumah sakit dan
dapat mengalami cacat permanen. Oleh karena itu, diperlukan perawatan kegawatdaruratan
yang tepat dan secepat mungkin. 1
Cedera maksilofasial, juga disebut sebagai trauma wajah, meliputi cedera pada wajah, mulut
dan rahang. Hampir setiap orang pernah mengalami seperti cedera, atau mengetahui
seseorang yang memiliki.1
Sebagian besar fraktur yang terjadi pada tulang rahang akibat trauma maksilofasial dapat
dilihat jelas dengan pemeriksaan dan perabaan serta menggunakan penerangan yang baik.
Trauma pada rahang mengakibatkan terjadinya gangguan saluran pernafasan, perdarahan,
luka jaringan lunak,hilangnya dukungan terhadap fragmen tulang dan rasa sakit. Namun,
trauma pada rahang jarang menimbulkan syok dan bila hal tersebut terjadi mungkin
disebabkan adanya komplikasi yang lebih parah, seperti pasien dengan kesadaran yang
menurun tidak mampu melindungi jalan pernafasan dari darah, patahan gigi.1
Prinsip-prinsip untuk mengobati patah tulang wajah adalah sama seperti untuk patah lengan
atau kaki. Bagian-bagian dari tulang harus berbaris (dikurangi) dan ditahan dalam posisi
cukup lama untuk memungkinkan mereka waktu untuk menyembuhkan. Ini mungkin
membutuhkan enam minggu atau lebih tergantung pada usia pasien dan kompleksitas fraktur
itu.2
Menghindari cedera merupakan hal yang terbaik, ahli bedah mulut dan maksilofasial
menganjurkan penggunaan sabuk pengaman mobil, penjaga pelindung mulut, dan masker
yang tepat dan helm untuk semua orang yang berpartisipasi dalam kegiatan atletik di tingkat
manapun.2
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan jaringan sekitarnya.
Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mencakup jaringan lunak dan jaringan keras. Yang
dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah jaringan lunak yang menutupi jaringan keras
wajah. Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan keras wajah adalah tulang kepala yang
terdiri dari : tulang hidung, tulang arkus zigomatikus, tulang mandibula, tulang maksila,
tulang rongga mata, gigi, tulang alveolus. Yang dimaksud dengan trauma jaringan lunak
antara lain :
5. Cedera telinga.
6. Cedera hidung.3,4
Pertumbuhan kranium terjadi sangat cepat pada tahun pertama dan kedua setelah lahir dan
lambat laun akan menurun kecepatannya. Pada anak usia 4-5 tahun, besar kranium sudah
mencapai 90% cranium dewasa. Maksilofasial tergabung dalam tulang wajah yang tersusun
secara baik dalam membentuk wajah manusia.1
Daerah maksilofasial dibagi menjadi 3 bagian. Bagian pertama adalah wajah bagian atas, di
mana patah tulang melibatkan frontal dan sinus. Bagian kedua adalah midface tersebut.
Midface dibagi menjadi bagian atas dan bawah. Para midface atas adalah di mana rahang atas
Le Fort II dan III Le Fort fraktur terjadi dan / atau di mana patah tulang hidung, kompleks
nasoethmoidal atau zygomaticomaxillary, dan lantai orbit terjadi. Bagian ketiga dari daerah
maksilofasial adalah wajah yang lebih rendah, di mana patah tulang yang terisolasi ke rahang
bawah.1
Os Lacrimal (tulang mata) letaknya disebelah kiri/kanan pangkal hidung disudut mata. Os
Nasal (tulang hidung) yang membentuk batang hidung sebelahatas. Dan Os Konka nasal
(tulang karang hidung), letaknya di dalam ronggahidung dan bentuknya berlipat-lipat.
Septum nasi (sekat rongga hidung) adalahsambungan dari tulang tapis yang tegak.3,4
Os Maksilaris (tulang rahang atas), Os Zigomaticum, tulang pipi yangterdiri dari dua tulang
kiri dan kanan. Os Palatum atau tulang langit-langit, terdiridari dua dua buah tulang kiri dan
kanan. Os Mandibularis atau tulang rahangbawah, terdiri dari dua bagian yaitu bagian kiri
dan kanan yang kemudian bersatudi pertengahan dagu. Dibagian depan dari mandibula
terdapat processus coracoids tempat melekatnya otot.3,4
Secara anatomi, wajah memiliki beberapa serabut-serabut saraf yang tersebar di beberapa
lokasi di wajah, ada 7 lokasi-lokasi penting di sekitar wajah yang apabila terjadi trauma atau
kesalahan dalam penanganan trauma maksilofasial akan berakibat fatal, lokasi-lokasi tersebut
disebut dengan facial danger zone.3,6
2.3 Epidemiologi
Dari data penelitian itu menunjukan bahwa kejadian trauma maksilofasial sekitar 6% dari
seluruh trauma yang ditangani oleh SMF Ilmu Bedah RS Dr.Soetomo. Kejadian fraktur
mandibula dan maksila terbanyak diantara 2 tulang lainnya, yaitu masing-masing sebesar
29,85 %, disusul fraktur zigoma 27,64 % dan fraktur nasal 12, 66 %. Penderita fraktur
maksilofasial ini terbanyak pada laki-laki usia produktif,yaitu usia 21-30 tahun, sekitar 64,38
% disertai cedera di tempat lain, dan trauma penyerta terbanyak adalah cedera otak ringan
sampai berat, sekitar 56%. Penyebab terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas dan sebagian
besar adalah pengendara sepeda motor.1,4
2.4 Etiologi Trauma Maksilofasial
Trauma wajah di perkotaan paling sering disebabkan oleh perkelahian, diikuti oleh kendaraan
bermotor dan kecelakaan industri. Para zygoma dan rahang adalah tulang yang paling umum
patah selama serangan. Trauma wajah dalam pengaturan masyarakat yang paling sering
adalah akibat kecelakaan kendaraan bermotor, maka untuk serangan dan kegiatan rekreasi.
Kecelakaan kendaraan bermotor menghasilkan patah tulang yang sering melibatkan midface,
terutama pada pasien yang tidak memakai sabuk pengaman mereka. Penyebab penting lain
dari trauma wajah termasuk trauma penetrasi, kekerasan dalam rumah tangga, dan pelecehan
anak-anak dan orang tua.1,3,4
Bagi pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal menjadi masalah karena harus rawat
inap di rumah sakit dengan cacat permanen yang dapat mengenai ribuan orang per tahunnya.
Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian oleh trauma maksilofasial paling banyak
disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas (automobile).3,4
Persentase (%)
40-45
Penganiayaan / berkelahi
10-15
Olahraga
5-10
Jatuh
5
Lain-lain
5-10
Persentase (%)
10-15
Penganiayaan / berkelahi
5-10
50-65
Jatuh
5-10
Luka adalah kerusakan anatomi, diskontinuitas suatu jaringan oleh karena trauma dari luar.
a. Ekskoriasi
c. Luka bakar
d. Luka tembak
Gambar 3. (A) Laserasi yang menyilang garis Langer tidak menguntungkan mengakibatkan
penyembuhan yang secara kosmetik jelek. B. Insisi fasial ditempatkan sejajar dengan garis
Langer
Klasifikasi trauma pada jaringan keras wajah di lihat dari fraktur tulang yang terjadi dan
dalam hal ini tidak ada klasifikasi yg definitif. Secara umum dilihat dari terminologinya,
trauma pada jaringan keras wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan : 3
a. Berdiri Sendiri : fraktur frontal, orbita, nasal, zigomatikum, maxilla, mandibulla, gigi dan
alveolus.
b. Bersifat Multiple : Fraktur kompleks zigoma, fronto nasal dan fraktur kompleks mandibula
a. Fraktur simpel
• Merupakan fraktur sederhana, liniear yang tertutup misalnya pada kondilus, koronoideus,
korpus dan mandibula yang tidak bergigi.
• Fraktur tidak mencapai bagian luar tulang atau rongga mulut. Termasuk greenstik fraktur
yaitu keadaan retak tulang, terutama pada anak dan jarang terjadi.
b. Fraktur kompoun
• Fraktur lebih luas dan terbuka atau berhubungan dengan jaringan lunak.
• Biasanya pada fraktur korpus mandibula yang mendukung gigi, dan hampir selalu tipe
fraktur kompoun meluas dari membran periodontal ke rongga mulut, bahkan beberapa luka
yang parah dapat meluas dengan sobekan pada kulit.
c. Fraktur komunisi
• Benturan langsung terhadap mandibula dengan objek yang tajam seperti peluru yang
mengakibatkan tulang menjadi bagian bagian yang kecil atau remuk.
• Bisa terbatas atau meluas, jadi sifatnya juga seperti fraktur kompoun dengan kerusakan
tulang dan jaringan lunak.
d. Fraktur patologis
• keadaan tulang yang lemah oleh karena adanya penyakit penyakit tulang, seperti
Osteomyelitis, tumor ganas, kista yang besar dan penyakit tulang sistemis sehingga dapat
menyebabkan fraktur spontan.
3. Perluasan tulang yang terlibat 3,9
2. Tidak komplit, seperti pada greenstik, hair line, dan kropresi ( lekuk )
2. Oblique ( miring )
3. Spiral (berputar)
4. Komunisi (remuk)
a. Angulasi / bersudut
b. Distraksi
c. Kontraksi
d. Rotasi / berputar
e. Impaksi / tertanam
a. Dento alveolar
b. Prosesus kondiloideus
c. Prosesus koronoideus
d. Angulus mandibula
e. Ramus mandibula
f. Korpus mandibula
g. Midline / simfisis menti
Gambar 6. (A). I Le Fort I, II Le Fort II, III Le Fort III (pandangan anterior) (B). I Le Fort I,
II Le Fort II, III Le Fort III (pandangan sagital)
Kehadiran energi kinetik dalam benda bergerak adalah fungsi dari massa dikalikan dengan
kuadrat kecepatannya. Penyebaran energi kinetik saat deselerasi menghasilkan kekuatan yang
mengakibatkan cedera. Berdampak tinggi dan rendah-dampak kekuatan didefinisikan sebagai
besar atau lebih kecil dari 50 kali gaya gravitasi. Ini berdampak parameter pada cedera yang
dihasilkan karena jumlah gaya yang dibutuhkan untuk menyebabkan kerusakan pada tulang
wajah berbeda regional. Tepi supraorbital, mandibula (simfisis dan sudut), dan tulang frontal
memerlukan kekuatan tinggi-dampak yang akan rusak. Sebuah dampak rendah-force adalah
semua yang diperlukan untuk merusak zygoma dan tulang hidung.1
Patah Tulang Frontal : ini terjadi akibat dari pukulan berat pada dahi. Bagian anterior dan /
atau posterior sinus frontal mungkin terlibat. Gangguan lakrimasi mungkin dapat terjadi jika
dinding posterior sinus frontal retak. Duktus nasofrontal sering terganggu.
Fraktur Dasar Orbital : Cedera dasar orbital dapat menyebabkan suatu fraktur yang terisolasi
atau dapat disertai dengan fraktur dinding medial. Ketika kekuatan menyerang pinggiran
orbital, tekanan intraorbital meningkat dengan transmisi ini kekuatan dan merusak bagian-
bagian terlemah dari dasar dan dinding medial orbita. Herniasi dari isi orbit ke dalam sinus
maksilaris adalah mungkin. Insiden cedera okular cukup tinggi, namun jarang menyebabkan
kematian.
Patah Tulang Hidung: Ini adalah hasil dari kekuatan diakibatkan oleh trauma langsung.7
Fraktur Nasoethmoidal (noes): akibat perpanjangan kekuatan trauma dari hidung ke tulang
ethmoid dan dapat mengakibatkan kerusakan pada canthus medial, aparatus lacrimalis, atau
saluran nasofrontal.1,7
Patah tulang lengkung zygomatic: Sebuah pukulan langsung ke lengkung zygomatic dapat
mengakibatkan fraktur terisolasi melibatkan jahitan zygomaticotemporal.1
Patah Tulang Zygomaticomaxillary kompleks (ZMCs): ini menyebabkan patah tulang dari
trauma langsung. Garis fraktur jahitan memperpanjang melalui zygomaticotemporal,
zygomaticofrontal, dan zygomaticomaxillary dan artikulasi dengan tulang sphenoid. Garis
fraktur biasanya memperpanjang melalui foramen infraorbital dan lantai orbit. Cedera mata
serentak yang umum.
Patah tulang rahang atas : ini dikelompokkan sebagai Le Fort I, II, atau III.9
§ Fraktur Le Fort I adalah fraktur rahang horizontal di aspek inferior rahang atas dan
memisahkan proses alveolar dan langit-langit keras dari seluruh rahang atas. Fraktur meluas
melalui sepertiga bagian bawah septum dan termasuk sinus maksilaris dinding lateralis
memperluas ke tulang palatina dan piring pterygoideus.
§ Fraktur Le Fort II adalah fraktur piramida mulai dari tulang hidung dan memperluas
melalui tulang lacrimalis; ke bawah melalui jahitan zygomaticomaxillary; terus posterior dan
lateral melalui rahang atas, bawah zygoma itu, dan ke dalam piring pterygoideus.
§ Fraktur Le Fort III atau dysjunction kraniofasial adalah pemisahan dari semua tulang wajah
dari dasar tengkorak dengan fraktur simultan dari zygoma, rahang, dan tulang hidung. Garis
fraktur meluas melalui tulang ethmoid posterolaterally, orbit, dan jahitan pterygomaxillary ke
fosa sphenopalatina.9
Fraktur mandibula: Ini dapat terjadi di beberapa lokasi sekunder dengan bentuk U-rahang dan
leher condylar lemah. Fraktur sering terjadi bilateral di lokasi terpisah dari lokasi trauma
langsung.8
Patah tulang alveolar: Ini dapat terjadi dalam isolasi dari kekuatan rendah energi langsung
atau dapat hasil dari perpanjangan garis fraktur melalui bagian alveolar rahang atas atau
rahang bawah.1
Fraktur Panfacial: Ini biasanya sekunder mekanisme kecepatan tinggi mengakibatkan cedera
pada wajah atas, midface, dan wajah yang lebih rendah.1
· Pembengkakan dan memar pada sisi fraktur sehingga dapat menentukan lokasi daerah
fraktur.
· Laserasi yg terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitar fraktur.
· Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur terjadi dibawah nervus
alveolaris.
· Pada fraktur orbita dapat dijumpai penglihatan kabur atau ganda, penurunan
pergerakan bola mata dan penurunan visus.3,10
2.8 Diagnosis
2.8.1 Anamnesa 1
Mendapatkan informasi tentang alergi, obat, status tetanus, riwayat medis dan bedah masa
lalu, merupakan hal yang paling terakhir, dan peristiwa seputar cedera. Aspek yang perlu
dipertimbangkan adalah sebagai berikut: bagaimana mekanisme cedera? Apakah pasien
kehilangan kesadaran atau mengalami perubahan status mental? Jika demikian, untuk berapa
lama? Apakah gangguan penglihatan, kilatan cahaya, fotofobia, diplopia, pandangan kabur,
nyeri, atau perubahan dengan gerakan mata? Apakah pasien mengalami tinnitus atau vertigo?
Apakah pasien memiliki kesulitan bernapas melalui hidung? Apakah pasien memiliki
manifestasi berdarah atau yang jelas-cairan dari hidung atau telinga? Apakah pasien
mengalami kesulitan membuka atau menutup mulut? Apakah ada rasa sakit atau kejang otot?
Apakah pasien dapat menggigit tanpa rasa sakit, dan pasien merasa seperti kedudukan gigi
tidak normal? Apakah daerah mati rasa atau kesemutan pada wajah?
A. Inspeksi
· Luka tembus.
· Ecchymosis, epistaksisi.
· Defisit pendengaran.
B. Palpasi
1. Periksa kepala dan wajah untuk melihat adanya lecet, bengkak, ecchymosis, jaringan
hilang, luka, dan perdarahan, Periksa luka terbukauntuk memastikan adanya benda asing
seperti pasir, batu kerikil.
2. Periksa gigi untuk mobilitas, fraktur, atau maloklusi. Jika gigi avulsi,
mengesampingkan adanya aspirasi.
3. Palpasi untuk cedera tulang, krepitasi, terutama di daerah pinggiran supraorbital dan
infraorbital, tulang frontal, lengkungan zygomatic, dan pada artikulasi zygoma dengan tulang
frontal, temporal, dan rahang atas.
6. Balikkan kelopak mata dan periksa benda asing atau ada#nya laserasi.
9. Lakukan tes palpasi bimanual hidung, bius dan tekan intranasal terhadap lengkung
orbital medial. Secara bersamaan tekan canthus medial. Jika tulang bergerak, berarti adanya
kompleks nasoethmoidal yang retak.
10. Lakukan tes traksi. Pegang tepi kelopak mata bawah, dan tarik terhadap bagian
medialnya. Jika "tarikan" tendon terjadi, bisa dicurigai gangguan dari canthus medial.
11. Periksa hidung untuk telecanthus (pelebaran sisi tengah hidung) atau dislokasi. Palpasi
untuk kelembutan dan krepitasi.
12. Periksa septum hidung untuk hematoma, massa menonjol kebiruan, laserasi pelebaran
mukosa, fraktur, atau dislokasi, dan rhinorrhea cairan cerebrospinal.
13. Periksa untuk laserasi liang telinga, kebocoran cairan serebrospinal, integritas
membran timpani, hemotympanum, perforasi, atauecchymosis daerah mastoid (Battle sign).
14. Periksa lidah dan mencari luka intraoral, ecchymosis, atau bengkak. Secara Bimanual
meraba mandibula, dan memeriksa tanda-tanda krepitasi atau mobilitas.
15. Tempatkan satu tangan pada gigi anterior rahang atas dan yang lainnya di sisi tengah
hidung.
16. Gerakan hanya gigi menunjukkan fraktur le fort I. Gerakan di sisi hidung menunjukkan
fraktur Le Fort II atau III.
17. Memanipulasi setiap gigi individu untuk bergerak, rasa sakit, gingival dan pendarahan
intraoral, air mata, atau adanya krepitasi.
18. Lakukan tes gigit pisau. Minta pasien untuk menggigit keras pada pisau. Jika rahang
retak, pasien tidak dapat melakukan ini dan akan mengalami rasa sakit.
19. Meraba seluruh bahagian mandibula dan sendi temporomandibular untuk memeriksa
nyeri, kelainan bentuk, atau ecchymosis.
20. Palpasi kondilus mandibula dengan menempatkan satu jari di saluran telinga eksternal,
sementara pasien membuka dan menutup mulut. Rasa sakit atau kurang gerak kondilus
menunjukkan fraktur.
· Panoramic X-ray.
- Posteroanterior (Caldwells).
- Posisi towne.
2.10 Penatalaksanaan3
Penatalaksanaan awal pada pasien dengan kecurigaan trauma masilofasial yaitu meliputi :
a. Fraktur Zygomatikus
· Periksa mulut bagian dalam dan periksa juga sulkus bukal atas apakah ada hematoma,
nyeri tekan dan krepitasi pada dinding zigomatikus.
b.Fraktur nasal
c. Fraktur Orbita
o Pergeseran orbita
o Paralisis saraf ke VI
o Edema
· Raba secara cermat seluruh bagian kepala dan wajah : nyeri tekan, deformitas,
iregularitas dan krepitasi.
· Raba tulang zigomatikus, tepi orbita, palatum dan tulang hidung,pada fraktur Le Fort
tipe II atau III banyak fragmen tulang kecil sub cutis pada regio ethmoid. Pada pemeriksaan
ini jika rahang tidak menutup secara sempurna berarti pada rahang sudah terjadi fraktur.
e. Cedera saraf
· Uji anestesi pada wajah ( saraf infra orbita) dan geraham atas (saraf gigi atas).
f. Cedera gigi
· Raba giginya dan usahakan menggoyangkan gigi bergerak abnormal dan juga
disekitarnya.
Pada pasien dengan trauma hebat atau multiple trauma akan dievaluasi dan ditangani secara
sistematis, di titik beratkan pada penentuan prioritas tindakan berdasarkan atas riwayat
terjadinya kecelakaan dan derajat beratnya trauma.
Jika sulit : Ada obstruksi. Lidahnya jatuh kearah belakang atau tidak.
Kait dengan jari tangan anda mengelilingi bagian belakang palatum durum, dan tarik tulang
wajah bag tengah dengan lembut kearah atas dan depan memperbaiki jalan napas dan
sirkulasi mata. Reduksi ini diperlukan pengetahuan dan ketrampilan yang baik juga gaya
yang besar jika fraktur terjepit dan jika reduksi tidak berhasil lakukan Tracheostomi.
Untuk melepaskan himpitan tulang pegang alveolus maksilaris dengan forcep khusus
(Rowes) atau forcep bergerigi tajam yang kuat dan goyangkan.
Lakukan beberapa jahitan atau jepitkan handuk melaluinya,dan secara lembut tarik kearah
depan, lebih membantu jika posisi pasien berbaring, saat evakuasi sebaiknya dibaringkan
pada salah satu sisi
Pada saat mengangkutnya, baringkan pasien dengan kepalapada salah satu ujung sisi dan
dahinya ditopang dengan pembalut di antara pegangan.
Biarkan posisi demikian mungkin jalan napas akan membaik dengan cepat ketika ia
melakukannya. Hisap mulutnya dari sumbatan bekuan darah. Jalan napas buatan (OPA, ETT)
mungkin tidak membantu.
6. Jika hidungnya cedera parah dan berdarah
Hisap bersih (suction) dan pasang NPA atau pipa karet tebalyang sejenis ke satu sisi.
Jika terjadi perdarahan : Ikat pembuluh darah yang besar atau jika terjadi perdarahan yang
sulit gunakan tampon yang direndam adrenalin yang dipakai untuk ngedep perdarahan yang
hebat. Tampon post nasal selalu dapat menghentikan perdarahan. Jika perlu gunakan jahitan
hemostasis sementara.
b. Mengontrol perdarahan.
Yang harus di perhatikan pada saat melakukan pemeriksaan intra oral adalah adanya floating
pada susunan tulang-tulang wajah, seperti :
· Mandibular floating.
· Maxillar floating.
· Zygomaticum floating
Yang dimaksud dengan floating disini adalah keadaan dimana salah satu dari struktur tulang
diatas terasa seperti melayang saat dilakukan palpasi, jika terbukti adanya floating, berarti ada
kerusakan atau fraktur pada tulang tersebut.3
Pasien dengan trauma maksilofasial harus dikelola dengan segera, dimana dituntut tindakan
diagnostik yang cepat dan pada saat yang sama juga diperlukan juga tindakan resusitasi yang
cepat. Resusitasi mengandung prosedur dan teknik terencana untuk mengembalikan
pulmonary alveolaris ventilasi, sirkulasi dan tekanan darah yang efektif dan untuk
memperbaiki efek yang merugikan lainnya dari trauma maksilofasial. Tindakan pertama yang
dilakukan ialah tindakan Primary Survey yang meliputi pemeriksaan vital sign secara cermat,
efisien dan cepat. Kegagalan dalam melakukan salah satu tindakan ini dengan baik dapat
berakibat fatal.11
Jadi secara umum dapat disimpulkan, penderita trauma maksilofasial dapat dibagi dalam 2
kelompok :
1. Kelompok perlukaan maksilofasial sekunder pada relative trauma kecil, misalnya dipukul
atau ditendang, dapat di terapi pada intermediate atau area terapi biasa pada ruang gawat
darurat.
2. Kelompok perlukaan maksilofasial berat sekunder kedalam trauma tumpul berat, misalnya
penurunan kondisi secara cepat dari kecelakaan lalulintas atau jatuh dari ketinggian, harus
diterapi di tempat perawatan kritis pada instalasi gawat darurat :
1.Trauma maksilofasial berat harus di rawat di ruang resusitasi atau kritis area diikuti dengan
teknik ATLS
2.Yakinkan dan jaga potensi jalan napas dengan immobilisasi tulang leher.
a. Setengah duduk jika tidak ada kecurigaan perlukaan spinal, atau jika penderita perlu
melakukannya.
6. Pasang 1 atau 2 infus perifer dengan jarum besar untuk pengantian cairan.
Beberapa pegangan pada bedah plastik dapat digunakan dalam menangani trauma dan luka
pada wajah :
1. Asepsis.
3. Hemostasis, sedemikian rupa sehingga setetes darah pun tidak bersisa sesudah dijahit.
4. Hemat jaringan, hanya jaringan yang nekrosis saja yang boleh dieksisi dari pinggir luka.
7. Non tensi, tidak boleh ada tegangan dan tarikan pinggir luka sesudah dijahit. Benang hanya
berfungsi sebagai pemegang
8. Eksposure, luka sesudah dijahit sebaiknya dibiarkan terbuka karena penyembuhan dan
perawatan luka lebih baik, kecuali ditakutkan ada perdarahan di bawah luka yang harus
ditekan (pressure)3.