Laporan Kajian Korupsi Pengadaan Dan Rek PDF
Laporan Kajian Korupsi Pengadaan Dan Rek PDF
KAJIAN PENGADAAN
BARANG/JASA PEMERINTAH
DARI PERSPEKTIF HUKUM
PIDANA DAN KRIMINOLOGI
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.......................................................................................................................................... 0
BAB I ...................................................................................................................................................... 4
A. LATAR BELAKANG ....................................................................................................................................... 4
B. RUMUSAN PERMASALAHAN .................................................................................................................. 7
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN .................................................................................................. 7
1) Tujuan Umum Penelitian ................................................................................................................ 7
2) Tujuan Khusus Penelitian .................................................................................................................. 7
3) Manfaat Penelitian ............................................................................................................................... 8
D. HASIL YANG DIHARAPKAN .................................................................................................................... 9
E. SISTEMATIKA PENULISAN ..................................................................................................................... 9
BAB II ..................................................................................................................................................11
A. PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH ..................................................................................... 11
1. Kontraktualisasi Pemerintah Dalam Pengadaan Barang/Jasa ................................... 11
2. Karakter Hibrida Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah ................................................. 13
3. Regulasi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah .................................................................... 15
4. Ruang Lingkup Pengadaan Barang/Jasa Berdasarkan Perpres No. 54 Tahun
2010 .......................................................................................................................................................... 18
B. PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH DALAM PERSEPEKTIF HUKUM ADMINISTRASI
NEGARA DAN HUKUM PERDATA ...................................................................................................... 24
1. Pengadaan Barang/Jasa dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara .............. 24
2. Pengadaan Barang/Jasa dalam Perspektif Hukum Perdata ......................................... 34
C. POTENSI PELANGGARAN DALAM PELAKSANAAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH .... 48
D. TINDAK PIDANA KORUPSI .................................................................................................................. 51
1. Perumusan Delik Tindak Pidana Korupsi ............................................................................... 53
2. Tindak Pidana Korupsi Yang Berasal dari KUHP ................................................................ 58
3. Sifat Melawan Hukum dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi .................. 64
4. Unsur Menyalahgunakan Kewenangan dalam Undang-Undang Tindak Pidana
Korupsi ..................................................................................................................................................... 70
5. Tindak Pidana Korupsi (Penyuapan) dan Instrumen Internasional .......................... 75
1
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
BAB III................................................................................................................................................83
A. KORUPSI PENGADAAN BARANG/JASA SEBAGAI WHITE COLLAR CRIME .................................... 84
B. HUKUM PIDANA DAN KORUPSI DALAM PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH ................ 89
1) Kesalahan dan Pertanggung Jawaban Pidana ..................................................................... 94
2) Ajaran Penyertaan dalam Korupsi Barang/Jasa Pemerintah .....................................104
3) Pidana dan Pemidanaan ...............................................................................................................110
4) Sanksi yang dirumuskan dalam Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah .....................................................................................113
2
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
3
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
4
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
5
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
6
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
juga korban. Teori ini dapat menjadi landasan kajian untuk melihat seberapa
kompleks dan rumitnya fenomena korupsi barang/jasa pemerintah.
Pendekatan dengan teori-teori kriminologi tersebut penting dilakukan bukan
hanya untuk mengetahui penyebab dan faktor-faktor pendorong terjadinya korupsi
pada pengadaan barang/jasa Pemerintah, tetapi juga untuk memberikan masukan atau
rekomendasi kebijakan untuk menanggulanginya.
B. Rumusan Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, tujuan umum dari kegiatan penelitian ini
untuk melakukan kajian secara mendalam mengenai masalah korupsi
7
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
3) Manfaat Penelitian
8
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
E. Sistematika Penulisan
Penulisan ini dibagi dalam enam Bab, yang terdiri atas Bab Pertama yakni
Pendahuluan yang mencakup Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan dan
Manfaat Penelitian, hasil yang diharapkan, dan sistematika penulisan.
Bab kedua akan memuat tinjauan umum pengadaan barang/jasa oemerintah
dan tindak pidana korupsi. Pada bab ini dipaparkan tinjauan umum pengadaan
barang/jasa pemerintah, yang meliputi aspek hukum perdata dan hukum administrasi
negara. Kemudian bab kedua membahas mengenai tindak pidana korupsi yang berisi
9
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
penjelasan mengenai definisi tindak pidana korupsi dan hubungan antara hukum
pidana umum dan khusus, pemaparan tentang Hukum Pidana yang mencakup tentang
tindak pidana, kesalahan, dan sanksi, dan uraian tentang tindak pidana korupsi yang
meliputi delik korupsi dalam UU 31/1999 jo. UU 20/2001, konsep melawan hukum
dan penyalahgunaaan wewenang dalam tindak pidana korupsi, serta Instrumen
Internasional dalam tindak pidana korupsi.
10
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
BAB II
2
Indonesia, Prinsip Dasar Kebijakan & Kerangka Hukum Pengadaan Barang & Jasa. (Jakarta
:Indonesian Procurement Watch, 2005), hal. 5
3
Ibid.
11
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
4
Dalam http://www.law.cornell.edu/wex/government_contracts (diakses pada tanggal 28
Desember 2011 pada pukul 19.45 WIB)
5
Berdasarkan hubungan antara kontraktualisasi pemerintah dengan penggunaan atau
penambahan bagi keuangan negara, maka meskipun tidak disebutkan secara eksplisit, yang menjadi
dasar hukum utama bagi pembuatan kontrak pemerintah, termasuk kontrak pengadaan barang dan jasa
adalah Pasal 23 UUD 1945. Pasal 23 menentukan bahwa anggaran pendapatan dan belanja negara
ditetapkan setian tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab
untuk sebesar-besarnya kemakmurann rakyat. Prinsip-prinsip yang terkandung dalam pasal ini,
termasuk prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara menjadi landasan
utama penyusunan peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara. Hal yang sama kiranya
berlaku di negara-negara lain. Contohnya seperti di Amerika Serikat, Pemerintah federal memperoleh
kekuasaan untuk melaksanakan fungsinya dari rakyat melalui konstitusi. Konstitusi memberikan
kepada pemerintah kekuasaan untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang disebutkan satu per
satu secara spesifik dalam Pasal 1 Bagian 8. .
6
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Buku
I Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002),
hal. 112.
12
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
7
tersedia dari bantuan pembangunan. Jenis kontrak di mana pemerintah terlibat
sebagai pihak (kontraktan) disebut dengan kontrak pemerintah (government
contracts). 8
13
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
menyangkut keuangan negara dalam jumlah besar dan untuk melindungi keselamatan
umum. 10
Dalam tata hukum perjanjian Indonesia, pengadaan barang dan jasa secara
umum diatur dalam Buku III KUHPerdata. Ada pandangan yang mengelompokkan
perjanjian barang dan jasa sebagai perjanjian nominat berupa perjanjian jual beli
11
sebagaimana yang diatur dalam Buku III Bab V KUHPerdata. Pendapat lain
mengatakan bahwa perjanjian pengadaan barang dan jasa yang dikenal dewasa ini
adalah perjanjian nominat yang dijumpai dalam Bab VII a Buku III KUHPerdata yang
mengatur tentang perjanjian untuk melakukan pekerjaan. yaitu perjanjian
pemborongan dan perjanjian menunaikan jasa. Perjanjian pemborongan dan
perjanjian menunaikan jasa merupakan terminasi yang digunakan dalam KUHPerdata
untuk kontrak atau perjanjian pengadaan barang dan jasa yang dikenal dewasa ini.
Sedangkan pendapat lain menempatkan perjanjian pengadaan barang dan jasa
sebagai perjanjian yang innominaat (tidak bernama) yang timbul dan berkembang
dalam praktek sehari-hari kehidupan bermasyarakat. Namun terlepas dari berbagai
pendapat tersebut, perjanjian barang dan jasa merupakan perjanjian yang diterima
sesuai dengan asas konsensualisme dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan asas
kebebasan berkontrak (freedom of contrat/party autonomy).
Sebagai kontraktan dalam suatu kontrak atau perjanjian, pemerintah
merupakan pelaku hukum keperdataan, dan hubungan kontraktual yang tercipta
dengan mitra dalam perjanjian masuk ke dalam ranah hukum perdata atau privat.
Dengan menjadi bagian dari hukum perdata, tercipta suatu hubungan hukum dalam
lapangan harta kekayaan atau harta benda antara dua pihak atau lebih yang
memberikan kenikmatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan
12
sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan suatu prestasi.
Pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam kontrak, murni
menjadi urusan pihak-pihak yang berkontrak. 13 Keberlakuan suatu kontrak sebagai
10
Miriam Budiarjo, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung : Alumni, 1994), hal. 66
11
Lihat M. Hardjo Soedarjono, Tinjauan Perjanjian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
dalam Hukum Perjanjian Indonesia (Studi Kasus di Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada), Naskah
Publikasi, Program Studi Magister Kenotariatan, Universitas Gajah Mada.
12
Yahya Harahap, Hukum Perjanjian Di Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992),hal. 82.
13
Atiyah, The Law of Contract, (London: Clarendon Press, 1983), hal.1.
14
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
undang-undang yang mengikat para pihak yang berkontrak akan berlaku bagi suatu
kontrak yang dibuat secara sah. 14 Dengan demikian, berdasarkan hukum Indonesia,
keabsahan atau validitas perjanjian atau kontrak yang dibuat oleh pemerintah adalah
didasarkan pada ketentuan Buku III BW, yaitu Pasal 1320 BW yang memuat syarat-
syarat materil pembentukan perjanjian.
14
Ricardo Simanjuntak, Hukum Kontrak: Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, cet.2, (Jakarta:
Kontan Publishing, 2011), hal. 149.
15
Adrian Sutedi, Aspek-Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa dan Berbagai
Permasalahannya, Jakarta, Ed. 1, Cet.2, Sinar Grafika, 2009
16
Kranenburg dalam Utrecht., Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, (Surabaya:
Bina Ilmu, 1988), hal. 64.
15
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
b. Meningkatkan batasan untuk pemilihan langsung dari 50 juta menjadi 200 juta
rupiah (US$ 5,550 menjadi US$ 22,000).
17
Dalam Transparency International Indonesia, Standar Transparansi APEC untuk Pengadaan
di Indonesia. Transparency International-USA dan Center for International Private Enterprise.
Transparency International-USA dan Center for International Private Enterprise.
16
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Selain Perpres No.54 tahun 2010, terdapat sejumlah regulasi lain yang secara
tidak langsung terkait dengan pengadaan barang/jasa pemerintah, yaitu antara lain:
Perpres No. 54 tahun 2010 juga telah diubah dengan Perpres No. 35
tahun 2011, yang mengganti ketentuan dalam Pasal 44.
17
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
18
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
18
Pasal 1 angka 23 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah.
19
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
20
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
21
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
22
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
adalah suatu metode yang dilakukan secara sistemastis untuk mengecaluasi dokumen
penawaran yang dimasukan oleh peserta lelang. Metode evaluasi penawaran terbagi
dalam beberapa jenis metode, yang terdiri atas:
a. Metode Evaluasi Sistem Gugur
Metode ini melakukan penilaian secara berjenjang, yang pertama dinilai
adalah dokumen administrasi. Apabila sesuai dengan yang dipersyaratkan
maka dilanjutkan dengan penilaian teknis. Perusahaan yang administrasinya
kurang lengkap, langsung digugurkan saat itu juga dan tidak mengikuti
penilaian teknis.Selanjutnya dilakukan penilaian teknis terhadap spesifikasi
barang/jasa yang ditawarkan. Apabila sesuai dengan yang dibutuhkan maka
langsung dilanjutkan dengan pembukaan harga.
Bagi perusahaan yang tidak lulus teknis, langsung digugurkan saat itu juga,
walaupun harganya termurah.Kemudian, seluruh perusahaan yang telah lulus
administrasi maupun harga, dibuka penawaran harganya. Dan harga
terendahlah yang dinyatakan memenangkan pengadaan.Namun, di dalam
pelaksanaan sehari-hari, sistem ini biasanya dibalik. Pada saat pembukaan
penawaran, langsung membuka harga penawaran dari seluruh peserta.
Hal yang diperiksa administrasi dan teknisnya adalah perusahaan yang
berada pada urutan 1 hingga 3 yang terendah di dalam penawaran
harganya. Metode evaluasi sistem gugur ini yang paling sering digunakan di
dalam pelelangan. Keuntungannya adalah cepat dalam memberikan hasil
akhir. Metode evaluasi ini paling sering disandingkan dengan Metode
Pemilihan Pelelangan Umum dan Metode Penyampaian Dokumen Satu
Sampul.
23
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
19
Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara (Jakarta: Ghalia, Indonesia, 1981), hal 13-
14.
24
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Keputusan inilah yang disebut sebagai hukum yang diciptakan. Keputusan pejabat
administrasi negara tersebut dalam kajian Hukum Administrasi Negara disebut
sebagai Tindakan Hukum atau Perbuatan Hukum Administrasi Negara.
Tindakan administrasi Negara dalam bidang hukum publik dapat terdiri dari 2
bagian yaitu tindakan administrasi Negara bersegi dua dan tindakan administrasi
Negara bersegi satu. TIndak administrasi Negara bersegi dua (tweezijdige publiek
rechtelijke handeligen) yaitu suatu perbuatan aparat administrasi negara yang
dilakukan oleh dua pihak atau lebih secara sukarela. Misalnya mengadakan perjanjian
pembuatan gedung, jembatan dengan pihak swasta (pemborong). Sementara tindakan
hukum administrasi negara bersegi satu adalah suatu perbuatan hukum yang
dilakukan oleh aparat administrasi negara berdasarkan wewenang istimewa dalam hal
membuat suatu ketetapan yang megatur hubungan antara sesama administrasi negara
maupun antara administrasi negara dan warga masyarakat. Misalnya, ketetapan
tentang pengangkatan seseorang menjadi pegawai negeri.
Pengadaan barang/jasa merupakan suatu kegiatan untuk memperoleh
Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi
lainnya yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya
seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa, yang dalam istilahnya adalah
penyerahan barang/jasa. Proses yang dimulai dari tahap perencanaan sampai pada
tahap penyerahan barang/jasa tersebut merupakan suatu proses administrasi.
Perencanaan sebagai dasar dalam melakukan kegiatan pengadaan barang/jasa
adalah suatu tindakan terpadu dari suatu kementerian atau instansi Pemerintah atau
pemerintah daerah dengan tujuan agar tercipta suatu keadaan yang tertib bilamana
tindakan tersebut selesai direalisasikan. Suatu rencana menunjukkan kebijakan yang
akan dijalankan oleh administrasi Negara pada kegiatan pengadaan barang/jasa.
Perencanaan dalam kegiiatran pengadaan barang/jasa ini secara hukum administrasi
negara dilakukan oleh PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) sebagai piminnan
Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi lainnya. Hal ini
disebabkan terdapat suatu surat keputusan dari pejabat administrasi negara yang
memberikan kewenangan kepada PPK yang bersangkutan.
Pelaksanaan kegiatan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah harus berlandaskan
pada prinsip-prinsip pemerintahan yang baik sebagaimana diatur dalam Undang-
25
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Prinsip-prinisp Pemerintahan yang baik
ini juga telah diakomidir dalam Perpres Nomor 54 Tahun 2010 yang diatur dalam
prinsip pengadaan barang/jasa. Pengaturan tersebut merupakan suatu pengaturan
dalam ruang lingkup Hukum Administrasi Negara.
Untuk menggambarakan bagaimana proses administrasi terjadi dalam suatu
pelaksanaan kegiatan pengadaan barang/jasa, berikut uraian mengenai proses
pengadaan barang/jasa pemerintah, yang ternyata dari awal sampai akhir merupakan
proses administrasi. Proses atau tahapan pengadaan barang/jasa pemerintah terdiri
atas:
1) Perencanaan Pengadaan
Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a Keppres Nomor 80
Tahun 2003, bahwa salah satu wewenang Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) adalah
menyusun perencanaan pengadaan barang dan jasa. Dalam penyusunan perencanaan
pengadaan barang dan jasa, PPK diwajibkan melakukan pemaketan pekerjaan. Dalam
penentuan paket pengadaan, PPK bersama panitia wajib memaksimalkan pengunaan
produksi dalam negeri dan perluasan kesempatan bagi usaha kecil termasuk koperasi
kecil. Berkaitan dengan pemaketan pekerjaan, PPK sendiri diwajibkan untuk:
26
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
2) Pembentukan Panitia
Panitia pengadaan barang dan jasa adalah tim yang diangkat oleh Kuasa
Pengguna Anggaran (KPA) untuk melaksanakan pemilihan penyedia barang dan
jasa. Tindakan KPA yang membentuk dan mengangkat panitia pengadaan ini
merupakan tindakan pemerintah dalam lingkup hukum publik yang bersegi satu,
yang berbentuk Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Jika terjadi kesalahan dalam
pembentukan panitia pengadaan barang dan jasa, maka pejabat yang menerbitkan
KTUN tersebut dapat digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara. Keputusan sendiri
adalah suatu tindakan hukum yang bersifat sepihak dalam bidang pemerintahan,
dilakukan oleh suatu badan pemerintah berdasarkan wewenangngya yang luar
biasa.20
20
Wewenang yang luar biasa menurut Prins Adalah kekuatan yang diperoleh dari undang-
undang yang diberikan khusus/istimewa kepada pemerintah/adminsitrasi Negara, tidak diberikan
kepada badan-badan swasta.
27
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
a. Dokumen pasca/prakualifikasi;
b. Dokumen pemilihan penyedia barang dan jasa
Dalam hal pengadaan dilakukan dengan prakualifikasi, dokumen prakualifikasi
sekurang-kurangnya memuat:
1. Pengumuman prakualifikasi yang memuat: lingkupnpekerjaan, persyaratan
peserta, waktu dan tempat pengambilan dan pemasukan dokumen
prakualifikasi, serta penanggung jawab prakualifikasi;
2. Tata cara penialaian yang meliputi penilaian aspek administrasi, permodalan,
tenaga kerja, peralatan, pengalaman dengan memperginakan metode sistem
gugur atau sistem nilai
Dalam hal pengadaan dilakukan dengan pemilihan penyedia barang dan jasa,
dokumen pemilihan penyedia barang dan jasa sekurang-kurangnya memuat:
1) Undangan kepada penyedia barang/jasa yang mendaftar dalam hal dilakukan
pascakualifikasi/yang lulus prakualifikasi;
2) Instruksi kepada peserta pengadaan barang/jasa yang memuat:
a) Ketentuan umum
b) Isi dokumen pemilihan barang/jasa atau perubahannya
c) Persyaratan bahasa yang digunakan dalam penawaran
d) Cara penyampulan dan penandaan sampul penawaran
e) Prosedur pembukaan penawaran, kerahasiaan dan larangan, klarifikasi
dokumen penawaran, pemeriksaan kelengkapan dokumen penawaran,
koreksi aritmatik, dan sistem evaluasi
f) Penilaian kualifikasi dalam hal dilakukan pascakualifikasi/
3) Syarat-Syarat Umum Kontrak
4) Syarat-Syarat Khusus Kontrak
5) Daftar Kuantitas dan Harga
28
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
6) Khusus untuk pengadaan barang, harga barang dalam negeri dan impor harus
dipisahkan
7) Spesifikasi Teknis dan Gambar
8) Bentuk Surat Penawaran
9) Bentuk Kontrak
10) Bentuk Surat Jaminan Penawaran
11) Bentuk Surat jaminan Pelaksanaan
12) Bentuk Surat Jaminan Uang Muka
5) Pengumuman
Pengumuman pelelangan sebenarnya bertujuan untuk memberikan informasi
seluas-luasnya kepada masyarakat tentang rencana pengadaan barang/jasa.
Pengumuman dilaksanakan selama 7 (tujuh) hari kerja dimana pada hari pertama
pengumuman dilaksanakan melalui media cetak/koran (untuk nilai di atas 1 Milyar,
dipasang pada koran nasional dan propinsi, sedangkan dibawah 1 Milyar cukup pada
koran propinsi, kecuali penyedia barang/jasa untuk pekerjaan tersebut kurang dari 3
perusahaan di propinsi tersebut, maka diumumkan juga di koran nasional).
Selain melalui koran, maka pengumuman juga harus ditempel pada papan
pengumuman institusi dalam jangka waktu 7 hari kerja. Nah, dalam pelaksanaannya,
banyak yang cukup “aneh” dilakukan oleh pengguna barang/jasa di dalam
menyampaikan pengumuman di media massa, utamanya koran nasional. Dimana di
dalam Perpres telah jelas bahwa pengumuman tersebut harus menjelaskan secara
singkat jenis pekerjaan dan perangkat yang akan diadakan, waktu pengambilan
dokumen serta persyaratan peserta.
29
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Hasil aanwijzing bersifat mengikat kepada seluruh peserta, baik yang ikut
maupun yang tidak mengikuti dan menjadi salah satu lampiran dari Dokumen
Pengadaan. Pada kegiatan inilah seluruh peserta dapat menyampaikan pertanyaan dan
meminta informasi serta penjelasan seluas-luasnya kepada panitia, baik hal hal yang
bersifat administrasi maupun teknis. Setiap perubahan terhadap dokumen akan dicatat
dan dimasukkan ke dalam Berita Acara Aanwijzing. Diharapkan pertanyaan dapat
dituntaskan pada acara ini, karena setelah aanwijzing tidak diperbolehkan lagi peserta
berkomunikasi dengan panitia untuk mempertanyakan aspek-aspek administrasi
maupun teknis.
8) Pemasukan Penawaran
Pemasukan dokumen penawaran dilaksanakan 1 hari setelah aanwijzing dan
batas akhirnya minimal 2 hari setelah penjelasan. Lama waktu pemasukan disesuaikan
dengan kompleksitas pelelangan. Bisa 2 hari (misal untuk ATK) dan bisa juga sampai
30
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
30 hari kerja. Dalam pemasukan dokumen penawaran, beberapa hal yang harus
diperhatikan oleh penyedia barang/jasa, yaitu: Dokumen yang dimasukkan harus
diyakini sudah dalam kondisi lengkap, jangan sampai ada tertinggal 1-pun dokumen,
baik administrasi maupun teknis. Karena kekurangan 1 dokumen, apalagi yang
bersifat vital, dapat menggugurkan penawaran itu. Pemasukan dokumen juga harus
memperhatikan batas akhir waktu pemasukan, karena selisih 1 menit saja dari batas
akhir, dapat menyebabkan penawaran ditolak.
Pada tahapan ini, panitia juga dapat mengecek kepada pihak yang
mengeluarkan dokumen mengenai kebenaran dokumen yang telah dikeluarkan. Pada
tahap ini, panitia harus benar-benar melakukan evaluasi sesuai dengan persyaratan
yang telah dituliskan di dalam dokumen pengadaan dan tidak boleh menambah atau
31
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
mengurangi syarat apapun. Panitia jugaperlu menghindari penilaian yang sifatnya bias
atau tidak substantif. Jangan sampai hanya karena dokumen penawaran dari peserta
tidak dijilid spiral atau dijilid buku maka langsung digugurkan dengan alasan
administrasi.
Pada tahapan ini panitia harus jeli, karena banyak juga akal-akalan peserta
pengadaan. Misalnya dalam dokumen teknis, mereka hanya melakukan salin tempel
(copy paste) antara spesifikasi yang diminta oleh panitia dengan spesifikasi yang
ditawarkan. Hasilnya, pasti sesuai dengan permintaan dan lulus teknis. Namun,
panitia harus membandingkan spesifikasi tersebut dengan brosur yang mereka
lampirkan, sehingga tidak asal menilai lulus saja. Semua hasil evaluasi harus
dimasukkan dalam berita acara evaluasi yang ditandatangani oleh seluruh panitia.
13) Sanggahan
32
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
33
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
a. Prinsip/Asas Konsensualisme
Berdasarkan prinsip atau asas ini, maka suatu perjanjian dianggap terbentuk
sejak tercapainya kesepakatan diantara para pihak dalam perjanjian tersebut. Dengan
kata lain, hubungan kontraktual terbentuk sejak kesepakatan tercapai, meskipun
belum dilaksanakan. Asas ini ditemukan dalam Pasal 1320 BW menentukan bahwa
untuk terbentuknya perjanjian harus memenuhi syarat-syarat:
21
Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku III tentang Hukum Perikatan dengan
Penjelasan Bandung, 1996 hal 98
34
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
a. Teori ucapan (wilstheorie), yaitu kesepakatan terjadi pada saat pihak yang
menerima penawaran itu menyatakan kehendak bahwa ia menerima
penawaran tersebut.
b. Teori pengiriman (verzenuingstheorie), yaitu kesepakatan terjadi apabila pihak
yang menerima penawaran mengirimkan telegram.
c. Teori pengetahuan (vernemingstheorie), yaitu kesepakatan terjadi apabila
pihak yang menawarkan mengetahui adanya akseptasi (penerimaan), tetapi
penerimaan itu belum diterimanya (tidak diketahui secara langsung).
d. Teori penerimaan (ontvangstheorie), yaitu esepakatan terjadi saat pihak yang
menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.
e. Teori kepercayaan (vetrouwenstheorie), yaitu bahwa pernyataan yang
menimbulkan kepercayaan saja yang menimbulkabn perjanjian.
f. Teori Kehendak (wilstheorie), yaitu bahwa perjanjian itu terjadi apabila ada
persesuaian antara kehendak dan pernyataan.
g. Teori Pernyataan (verklaringstheorie), yaitu bahwa yang menyebabkan
terjadinya perjanjian adalah pernyataan. Jika terjadi perbedaan antara
kehendak dan pernyataan maka perjanjian tetap terjadi.
22
Dalam Hyde v. Wrench (1840)
35
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
23
Ricardo Simanjuntak, Op.Cit, hal. 151.
24
Pasal 67 Perpres Nomor 54 tahun 2010 mensyaratkan agar penyedia barang/jasa
menyerahkan jaminan untuk memenuhi kewajiban sebagaimana dipersyaratkan dalam Dokumen
Pengadaan/Kontrak Pengadaan Barang/Jasa. Jaminan ini harus dapat dicairkan tanpa syarat sebesar
nilai jaminan dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah surat pernyataan
wanprestasi dari PPK/ULP diterima oleh Penerbit Jaminan. Salah satu jaminan yang harus diberikan
oleh penyedia barang/jasa adalah Jaminan Penawaran sebesar 1% (satu perseratus) hingga 3% (tiga
perseratus) dari total Harga Perkiraan Sendiri (HPS). Jaminan Penawaran ini akan dikembalikan
36
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
tahun 2010 yang menyatakan bahwa apabila penyedia barang/jasa setelah menerima
SPPBJ, mengundurkan dalam masa penawaran yang masih berlaku untuk alasan yang
dapat diterima secara obyektif of PPK, pengunduran diri dilakukan dengan ketentuan
bahwa Jaminan Penawaran peserta lelang yang bersangkutan dicairkan dan disetorkan
pad akas negara/daerah. Pasal 85 ayat (4) menambahkan bahwa apabila alasan
pengunduran diri penyedia barang/jasa tidak dapat diterima oleh PPK, maka selain
pencairan Jaminan Penawaran, penyedia barang/jasa juga akan dikenakan sanksi
berupa larangan untuk mengikuti kegiatan pengadaan barang/jasa di instansi
pemerintah selama 2 tahun.
Pada sisi yang lain, PPK juga tidak dapat menolak untuk menandatangani
kontrak atau membatalkan penetapan penyedia barang/jasa, kecuali ada alasan yang
25
membenarkan untuk itu. Salah satu contoh kasus yang dapat dilihat adalah
pembatalan penetapan pemenang lelang program peningkatan sarana dan prasarana
pendidikan tahun 2011 di Dinas Pendidikan Agam, Sumatera Barat, dengan nomor
keputusan panitia 323/108.21/PPBJ-2011 pada tanggal 25 Mei 2011. 26
37
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
27
usaha negara. Sedangkan sengketa yang timbul terkait dengan pembentukan,
pelaksanaan, perubahan atau pemutusan kontrak pasca ditandatanganinya kontrak
menjadi kompetensi peradilan umum (perdata). 28
27
Yohanes Sogar, Op.Cit, hal.92.
28
Ibid.
29
Huruf c.
30
Huruf d.
38
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
pilihan untuk membatalkan perjanjian menjadi pilihan yang tidak lagi relevan. Disisi
lain pembatalan ini pun dapat berakibat pada terlambatnya proyek-proyek
pembangunan yang secara tidak langsung akan merugikan. Pembatalan ini pun dapat
berakibat pada terlambatnya proyek-proyek pembangunan yang secara tidak langsung
akan merugikan masyarakat. Ketentuan kewenangan PPK untuk ‘dapat’ membatalkan
perjanjian ini telah memberikan ruang untuk menilai seberapa berat penyimpangan
31
tersebut sehingga memang pantas untuk dibatalkan.
Pengumuman
Pelaksanaan
Penyediaan
Barang/Jasa
(invitation to treat)
ACCEPTANCE OFFER
Penandatanganan
31
Kontrak Pengadaan
(Berdasarkan hasil FGD I, pada tanggal 7 Desember 2011).
Barang/Jasa
39
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Dari prinsip atau asas ini, pada hakikatnya dapat dipahami bahwa, pertama,
hukum tidak dapat membatasi syarat-syarat yang boleh diperjanjikan oleh para pihak.
Dengan kata lain maka hukum tidak boleh membatasi apa yang telah diperjanjikan.
Kedua, bahwa pada umumnya seseorang menurut hukum tidak boleh dipaksa untuk
memasuki suatu perjanjian. Dengan kata lain merupakan kebebasan bagi para pihak
untuk menentukan dengan siapa dia ingin atau tidak ingin membuat suatu perjanjian.
32
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para
Pihak Dalam Perjanjian (Jakarta: Institut Indonesia, 1993), hal. 11
33
Menurut paham individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang
dikehendakinya.
34
Salim, dkk, Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding (MoU). (Jakarta: Sinar
Grafika, 2007), hal.2
35
Ibrahim, Pengimpasan Pinjaman (Kompensasi) dan Asas Kebebasan Berkontrak dalam
Perjanjian Kredit Bank, (Bandung: CV Utomo, 2003), hal. 40
40
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
1. Kebebasan bagi para pihak untuk menutup atau tidak menutup kontrak;
2. Kebebasan untuk menentukan dengan siapa para pihak akan menutup
kontrak;
3. Kebebasan bagi para pihak untuk menentukan bentuk kontrak;
4. Kebebasan bagi para pihak untuk menentukan isi kontrak;
5. Kebebasan bagi para pihak untuk menentukan cara pembuatan kontrak.
Prinsip atau asas kebebasan berkontrak dalam ketentuan hukum Indonesia dapat
ditemukan dalam Pasal 1338 ayat (1) BW menegaskan bahwa semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Kemudian dari pasal 1330 BW juga dapat disimpulkan bahwa setiap orang
bebas untuk memilih pihak yang dinginkan untuk membuat perjanjian, selama pihak
tersebut bukan pihak yang tidak cakap. Pasal 1331 lebih lanjut menentukan bahwa
seandainya seseorang membuat perjianjian dengan pihak yang dianggap tidak cakap
menurut pasal 1330 KUH Perdata tersebut, maka perjanjian itu tetap sah selama tidak
dituntut pembatalannya oleh pihak yang tidak cakap.
36
Ronny Sautma Hotma Bako, Hubungan Bank dan Nasabah Terhadap Produk Tabungan dan
Deposito: Suatu Tinjauan Hukum Terhadap Perlindungan Deposan di Indonesia Dewasa Ini,
(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995), hal. 15. Lihat juga Ridwan Khairandy, Itikad Baik Dalam
Kebebasan Berkontrak, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hal. 21, dan Sakina
Shaik Ahmad Yusoff, (2000) “Doktrin Kebebasan Berkontrak Dalam Kontrak Jualan barang :
Ketidaksesuaian Sebagai Doktrin Landasan Pembentukan undang-Undang Kontrak Pengguna”, Jurnal
Undang-undang Vol. 4, University Kebangsaan Malaysia, 2000.
37
Johanes Gunawan,
38
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1992), hal. 13.
41
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
39
Mariam Darus Badrulzaman, “Perjanjian Dengan Pemerintah (Government Contract)” dalam
Hukum Kontrak di Indonesia, (Jakarta: Proyek Elips, 1998), hal. 159.
40
J.H. Nieuwenhuis, Hoofdstuken Verbintenissenrecht, D. Saragih (terj),(Surabaya, 1985), hal.
10
42
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Asas ini tercantum dalam pasal yang sama dengan pasal yang berisi asas
kebebasan berkontrak, yaitu pasal 1338 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa
“semua kontrak yang dibuat secara sah akan mengikat sebagai undang-undang bagi
para pihak dalam kontrak tersebut”.
Pemuatan dua asas hukum, yaitu asas kebebasan berkontrak dan asas mengikat
sebagai undang-undang di dalam satu pasal yang sama, menurut logika hukum
berarti:
1) Kedua asas hukum tersebut tidak boleh bertentangan satu dengan yang
lainnya;
2) Kontrak baru akan mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak dalam
kontrak tersebut, apabila di dalam pembuatannya terpenuhi asas kebebasan
berkontrak yang terdiri atas lima macam kebebasan. 41
41
Johanes Gunawan
43
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Prinsip itikad baik (bona fides) telah berkembang sejak zaman Romawi
kuno.42 Beberapa sarjana juga meyakini bahwa prinsip itikad baik telah ada lebih
dahulu daripada hukul alam (natural law). 43 Itikad baik memiliki kedudukan yang
sangat penting, dimana Aristotle menyatakan bahwa "if good faith has been taken
away, all intercourse among men ceases to exist.”44
Di Amerika Serikat, The Restatement of Contracts menyatakan bahwa “every
contract imposes upon each party a duty of good faith and fair dealing in its
performance and its enforcement.” Dalam BW, prinsip itikad baik ditemukan dalam
Pasal 1338 ayat (3) BW yang mengharuskan para pihak untuk melaksanakan kontrak
dengan itikad baik. Asas ini mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak
tidak dapat diwujudukan sekehendaknya tanpa dibatasi oleh itikad baiknya. Asas
itikad baik menjadi instrumen hukum yang membatasi kebebasan berkontrak dan
kekuatan mengikatnya. 45
Prinsip atau asas itikad baik harus diaplikasikan pada masa negosiasi,
46
pembentukan kontrak, maupun pelaksanaan kontrak. Dalam tahap negosiasi,
masing-masing pihak mempunyai kewajiban untuk memeriksa (onderzoekplicht) dan
kewajiban untuk memberikan (medelingsplicht). 47
Pembuatan rancangan kontrak pada umumnya diserahkan kepada salah satu
pihak atas kesepakatan kedua belah pihak. Negosiasi akan dilanjutkan dengan
perundingan untuk memfinalisasi rancangan kontrak untuk kemudian ditandatangani.
42
N.W. Palmieri, “Good Faith Disclosures Required During Precontractual Negotiations”
(1993)
24 Seton Hall L. Rev. at 70
43
W.T. Tête, “Tort Roots and Ramifications of the Obligations Revision” (1986) 32 Loy. L.
Rev.
47 at 58.
44
J.F. O'Connor, Good Faith in International Law (Brookfield USA: Dartmouth Publishing
Company Limited, 1991), hal.56.
45
Ridwan Khairandy, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, cet.1, (Jakarta: Universitas
Indonesia, 2003), hal. 33.
46
William Tetley, “Good Faith in Contract Particularly in the Contracts of Arbitration and
Chartering”, 2004, 35 Journal of Maritime Law and Commerce, hal. 561-616. Lihat juga Nicola W.
Palmieri, “Good Faith Disclosures Required During Precontractual Negotiations”, 1993, 24 Seton Hall
Law Review, hal. 70
47
Yohanes Sogar, Op.Cit, hal. 43
44
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Pada fase ini, ada kewajiban hukum atas itikad baik yaitu kewajiban untuk
mencermati seluruh aspek yang terkandung dalam kontrak yang akan ditandatangani
(the obligation to exercise due diligence). 48
Dalam tahapan pelaksanaan kontrak, prinsip atau asas itikad baik menyangkut
pembatasan dan peniadaan hubungan kontraktual, yang dapat dilakukan apabila
terdapat alasan atau dasar yang sangat penting. Pembatasan hanya dapat dilakukan
apabila terdapat suatu klausula yang tidak dapat diterima karena tidak adil. Para
pihak memiliki otonomi untuk menentukan hak dan kewajiban kontraktual mereka,
tetapi otonomi tersebut dibatasi oleh itikad baik.
Terkait dengan itikad baik dalam pelaksanaan kontrak, Wirjono Prodjodikoro
menyatakan bahwa dalam pelaksanaan persetujuan para pihak harus mengingat bahwa
sebagai manusia yang merupakan anggota masyarakat harus jauh dari sifat menipukan
pihak lain dengan secara kaku dan terlalu tegas menggunakan kata-kata yang dipakai
pada waktu kedua belah pihak membentuk persetujuan. 49 Masing-masing pihak tidak
boleh menggunakan kelalaian pihak lain untuk menguntungkan diri pribadi. 50
Dalam kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah, Perpres Nomor 54 tahun
2010 telah mensyaratkan bahwa kontrak disusun oleh PPK sesuai dengan standar
serta syarat kontrak yang telah ditentukan. Prinsip itikad baik tidak disebutkan secara
ekspilisit dalam Perpres Nomor 54 tahun 2010. Namun diperlukannya prinsip itikad
baik dalam kegiatan penyediaan barang/jasa pemerintah tersirat dalam Pasal 5 Perpres
Nomor 54 tahun 2010 yang mesyaratkan bahwa kegiatan penyediaan barang/jasa
harus menerapkan prinsip-prinsip efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing,
adil/tidak diskriminatif dan akuntabel.
Dalam hal perubahan Kontrak, PPK juga tidak dapat melakukannya secara
sepihak atau tanpa persetujuan penyedia barang/jasa, namun harus berdasarkan
kesepakatan bersama. Hal ini sesuai dengan Pasal 87 ayat (1) Perpres Nomor 54
tahun 2010 yang menyatakan bahwa:
48
Kartini Mulyadi, Hukum Kontrak Internasional dan Pengaruhnya Terhadap Perkembangan
Hukum Nasional, BPHN, Jakarta, 1994, hal 22, dalam Yohanes Sogar, Op.Cit.
49
Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Azas-azas Hukum Perjanjian, (Penerbit
Mandar Maju, Bandung, 2000, hal.104.
50
Ibid.
45
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Dalam hal terdapat perbedaan antara kondisi lapangan pada saat pelaksanaan,
dengan gambar dan/atau spesifikasi teknis yang ditentukan dalam Dokumen
Kontrak, PPK bersama Penyedia Barang/Jasa dapat melakukan perubahan
Kontrak yang meliputi:
Nada serupa juga dijumpai dalam ayat (5) yang menyatakan bahwa perubahan
kontrak yang disebabkan masalah administrasi, dapat dilakukan sepanjang disepakati
kedua belah pihak.
e. Prinsip Transparansi
Dalam pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah, Pasal 5 Peraturan Presiden
Nomor 54 tahun 2000 menyatakan bahwa salah prinsip yang penting dalam
pengadaan barang dan jasa adalah prinsip transparasi, disamping efisien, efektif,
terbuka, bersaing, adil atau tidak diskriminatif dan akuntabel. Penjelasan Pasal 5
huruf c Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2000 menyebutkan sebagai berikut:
Transparan, berarti semua ketentuan dan informasi mengenai Pengadaan
Barang/Jasa bersifat jelas dan dapat diketahui secara luas oleh Penyedia
Barang/Jasa yang berminat serta oleh masyarakat pada umumnya.
f. Prinsip Proporsionalitas
46
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
position yang seimbang, mengingat salah satu pihak adala pemerintah atau penguasa.
Penyedia barang/jasa berada dalam posisi take it or leave it.
Penerapan prinsip pacta sunt servanda serta konsensualisme dalam kontrak
pemerintah harus diletakkan pada proporsi yang tepat, mengingat syarat kontrak
secara umum telah terbakuka, berikut sanksi akibat tidak dipenuhinya prestasi
(damages clause). 51
Hukum Pidana
51
Yohanes Sogar, Op.Cit, hal. 51
47
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
pengguna barang dan jasa sejak penandatanganan kontrak sampai dengan berakhirnya
kontrak pengadaan penyedia barang dan jasa.
Sedangkan Hukum pidana mengatur hubungan hukum antara penyedia dan
pengguna sejak tahap persiapan pengadaan sampai dengan selesainya kontrak dalam
hal terjadinya penyimpangan atau pelanggaran yang miliki unsur pidana dan
mengakibatkan kerugian keuangan negara.
52
Robertson, Crimes against humanity, 90; see "analytical jurisprudence" for extensive debate
on what law is; in The Concept of Law Hart argued law is a "system of rules" (Campbell, The
Contribution of Legal Studies, 184); Austin said law was "the command of a sovereign, backed by the
threat of a sanction" (Bix, John Austin); Dworkin describes law as an "interpretive concept" to achieve
justice (Dworkin, Law's Empire, 410); and Raz argues law is an "authority" to mediate people's
interests (Raz, The Authority of Law, 3–36).
48
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
tindakan militer. filsuf Aristotle menyatakan bahwa "Sebuah supremasi hukum akan
jauh lebih baik dari pada dibandingkan dengan peraturan tirani yang merajalela”.53
Dalam pengadaan barang/jasa Pemerintah, Perpres Nomor 54 Tahun 2010
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Tepatnya Pasal 1 angka 13 mengatur
mengenai Pakta Integritas54. Pada Perpres Nomor 54 Tahun 2010 disebutkan bahwa
yang dimaksud Pakta Integritas adalah surat pernyataan yang ditandatangani oleh
pengguna barang/jasa/panitia pengadaan/pejabat pengadaan/penyedia barang/jasa
yang berisi ikrar untuk mencegah dan tidak melakukan KKN dalam pelaksanaan
pengadaan barang/jasa.55
Pakta Integritas sebagai bagian tak terpisahkan dari pilar-pilar good governance
memastikan para pihak dapat menjalankan hak dan kewajibannya tanpa merubah
sistem hukum yang ada. Selain itu juga meningkatkan transparansi, akuntabilitas,
partisipasi masyarakat, nilai-nilai kejujuran yang akan mendorong terciptanya
persaingan usaha yang sehat, iklim investasi yang baik dan mencegah praktik
penyimpangan Di Indonesia, keberadaan Pakta Integritas diatur dalam Keppres
Nomor 80 Tahun 2003 sebagaimana telah diganti dengan Perpres Nomor 54 Tahun
2010, yang mengatur bagaimana seharusnya hubungan kerja antara Kontraktor
dengan Pemerintah dalam Pengadaan Barang Jasa yang menggunakan anggaran
negara.56
Tujuan dari Pakta Integritas ini ada dua, Pertama, mendukung sektor publik
untuk dapat menghasilkan barang dan jasa pada harga bersaing tanpa adanya korupsi
yang menyebabkan penyimpangan harga dalam pengadaan barang dan jasa barang
53
n.b. this translation reads, "it is more proper that law should govern than any one of the
citizens: upon the same principle, if it is advantageous to place the supreme power in some particular
persons, they should be appointed to be only guardians, and the servants of the laws." (Aristotle,
Politics 3.16).
54
Pakta Integritas merupakan surat pernyataan yang ditandatangani oleh pengguna
barang/jasa/panitia pengadaan/pejabat pengadaan/penyedia barang/jasa yang berisi ikrar untuk
mencegah dan tidak melakukan kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) dalam pelaksanaan pengadaan
barang/jasa. Pakta Integritas perlu dibuat untuk menunjukan suatu komitmen panitia pengadaan logistik
pemilu menjalankan proses pengadaan barang dan jasa sesuai dengan peraturan dan tidak melakukan
KKN serta siap menerima sanksi jika melanggar Pakta Integritas tersebut.
55
Pasal 1 angka 13 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah.
56
Modul Pakta Integritas dan Sistem Pemantauan Pelaksanaan Pengadaan Barang & Jasa di
lingkungan Institusi/Lembaga Publik. Transparancy International Indonesia. 2003.
49
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
dan jasa. Kedua, mendukung pihak penyedia pelayanan dari swasta agar dapat
diperlakukan secara transparan, dapat diperkirakan, dan dengan cara yang adil agar
dapat terhindar dari adanya upaya "suap" untuk mendapatkan kontrak dan hal ini pada
akhirnya akan dapat mengurangi biaya-biaya dan meningkatkan daya saing.57
Namun, dalam tataran pelaksanaannya, Pakta Integritas ini bisa saja tidak
bermanfaat dan tidak berguna. Hal ini disebabkan karena ternyata dalam kegiatan
pelaksanaan barang/jasa pemerintah, pelanggaran dapat terjadi kapan saja dalam
setiap proses. Potensi pelanggaran dalam kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah
ini terjadi dari tahap awal sampai tahap akhir, yang dapat dibagi dalam tiga tahap
yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap akhir.
Masing-masing tahapan terdapat Standard Operational Prosedure (SOP) yang
menjadi batasan dan patokan dalam melakukan kegiatan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah. Penyimpangan dari SOP itu yang kemudian dapat ditarik ke dalam
pengelompokan tindak pidana di Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Walaupun belum menimbulkan kerugian negara, namun berpotensi
menimbulkan kerugian negara. Terdapat 3 (tiga) unsur untuk dapat dikategorikan
sebagai tindak pidana korupsi, Pertama, menyalahgunakan kewenangannya, kedua,
memberikan keuntungan baik kepada diri sendiri maupun orang lain, dan ketiga,
menimbulkan kerugian keuangan negara. Bila proses yang sedang berjalan, walaupun
belum final/akhir, namun sudah ada indikasi atau “dugaan kuat” adanya
penyimpangan bisa atau dapat dikategorikan pelanggaran terhadap UU Korupsi.
Potensi Pelanggaran dalam kegiatan pengadaan barang/jasa dapat terjadi dalam
bentuk yaitu Penetapan Calon Pemenang yang tidak lengkap lampiran-lampiran
evaluasinya, pada tahap penunjukan pemenang yang terjadi dalam bentuk surat
penunjukan yang tidak lengkap, meliputi berita acara evaluasi, baik administrative
dan teknis, beserta lampiran-lampiran lembar evaluasinya, surat penunjukan yang
sengaja dikeluarkan penundaannya, surat penunjukan yang dikeluarkan secara
terburu-buru, dan surat penunjukan yang tidak sah.
Kemudian dalam tahap penandatangan kontrak, potensi pelanggaran dapat
terjadi dalam bentuk yaitu Penandatanganan kontrak ditunda-tunda dan
57
Ibid.
50
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
58
Indonesia, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31 Tahun 1999,
LN Nomor 140 Tahun 1999, TLN Nomor 3874.
59
Indonesia, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 3 Tahun 1971,
LN Nomor 19 Tahun 1971, TLN Nomor ... .
51
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Kata korupsi berasal dari bahasa Latin “corruptio” atau “corruptus.” Selanjutnya
disebutkan bahwa “corruption” itu berasal dari kata asal “corrumpere”, suatu bahasa
latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun kebanyakan bahasa Eropa, seperti
Inggris; corruption dan corrupt. Dalam bahasa Perancis; corruption, dan bahasa
Belanda; corruptie. Selanjutnya dapat dikatakan bahwa dari bahasa Belanda inilah
kata itu turun ke bahasa Indonesia; “korupsi.”60
Hampir tidak ada definisi korupsi yang lengkap. Bank Dunia (2001)
mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kedudukan publik untuk kepentingan
pribadi. Sedangkan Transparency International mendefinisikan korupsi sebagai
penyalahgunaan wewenang dan jabatan kantor pelayanan publik untuk kepentingan
pribadi. Melanie Manion (1997) menyebutkan korupsi sebagai penyalahgunaan
urusan publik untuk keuntungan pribadi dengan cara melawan hukum dan aturan
formil lainnya.61 The New Grolier Webster International Dictionary mendefinisikan
korupsi sebagai:
“corruption (L. corruptio), the act of corrupting, or the state of being corrupt;
putrefactive decomposition: put id matter; moral perversion of integrity;
corrupt or dishonest proceedings; bribery; perversion from a state of purity;
debasement; as of a language; debased form of a word.”
Arti harfiah dari kata itu adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran,
dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan
62
yang menghina atau memfitnah. Istilah korupsi yang telah diterima dalam
perbendaharaan kata bahasa Indonesia itu disimpulkan oleh Poerwadarminta dalam
60
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Ditinjau dari Hukum Pidana, (Jakarta: Pusat Studi
Hukum Pidana Universitas Trisakti, 2002), hal 7.
61
A. Kholik, Fenomena Korupsi di Sektor Republik, http://www.stei.ac.id/
Fenomena0Korupsi%di% Sektor%Republik0Kholik.doc+pengertian+korporasi&hl, diakses 15 Juli
2003.
62
Hamzah, Ibid., hal 7.
52
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Kamus Umum Bahasa Indonesia; “Korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti
penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.”63
Melalui UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, pada Pasal 1 angka 3, disebutkan bahwa
korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi, yakni tindak
pidana korupsi yang diatur melalui UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun
2001.
Rumusan delik dalam tindak pidana korupsi pada dasarnya merupakan rumusan
delik yang diatur dalam KUHP. Sejak dalam Peraturan Penguasa Perang Pusat
(PEPERPU) Nomor PRT/PEPERPU/013/1958 telah muncul rumusan yang kemudian
terkenal sebagai delik yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) sub a, b, d, dan e UU
No. 31 Tahun 1971. Keempat rumusan ini dibuat oleh pembuat Undang-Undang
pemberantasan tindak pidana korupsi. Sementara itu, rumusan yang tercantum di
dalam Pasal 1 ayat (1) sub c adalah penarikan 13 buah pasal dari KUHP, yaitu Pasal
209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan 435 KUHP.
Dalam UU No. 31 Tahun 1999, Pasal 1 ayat (1) sub a UU No. 3 Tahun 1971
kemudian menjelma menjadi Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 dengan beberapa
perubahan redaksi. Begitu pula rumusan Pasal 1 ayat (1) sub b UU No. 3 Tahun 1971
menjadi Pasal 3 UU UU No. 31 Tahun 1999. Pasal 1 ayat (1) sub d UU No. 3 Tahun
1971 menjadi Pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001. Kemudian
Pasal 1 ayat (1) sub e menyebutkan; barang siapa tanpa alasan yang wajar, dalam
waktu yang sesingkat-singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang
63
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976).
53
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
diberikan kepadanya, seperti yang tersebut dalam Pasal 418, 419, dan 420 KUHP
tidak melaporkan pemberian atau janji kepada yang berwajib, dihapuskan karena
dinilai tidak logis seseorang yang telah melakukan perbuatan korupsi melaporkan
dirinya sendiri64.
64
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi, (Jakarta: Raja Grafindo, 2006), hal. 124.
54
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
55
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Pasal 6
Merupakan Pasal 210
KUHP
Pasal 7
Merupakan Pasal 387
dan 388 KUHP
56
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Pasal 8
Merupakan Pasal 415
KUHP
Pasal 9
Merupakan Pasal 416
KUHP
Pasal 10
Merupakan Pasal 417
KUHP
Pasal 11
Merupakan Pasal 418
KUHP
Pasal 12
Merupakan Pasal
419, 420, 423, 425
dan 435 KUHP
57
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
a. Penyuapan
Tindak pidana suap merupakan tindak pidana yang berada dalam satu jenis
(genus) dengan tindak pidana korupsi dan merupakan jenis tindak pidana yang sudah
sangat tua. Penyuapan sebagai istilah sehari-hari yang dituangkan dalam Undang-
Undang adalah sebagai suatu hadiah atau janji (“giften” atau “beloften”) yang
diberikan atau diterima.5 Oemar Seno Adji, membagi penyuapan menjadi dua bagian
yaitu penyuapan aktif dan penyuapan pasif.
5
Seno Adji, Herziening, Ganti Rugi, Suap, Perkembangan Delik, Penerbit Erlangga, Jakarta,
1981
58
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
saling berpasangan yakni penyuapan aktif dan pasif. Penyuapan aktif sendiri diatur
melalui Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat (1), dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001, sedangkan Penyuapan pasif diatur dalam Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat
(2), Pasal 11, Pasal 12 huruf a, b, c, dan d Undang-Undang No. 20 Tahun 2001.
b. Perbuatan Curang
Perbuatan curang diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Rumusan Pasal 7 berasal dari Pasal 387 dan
Pasal 388 KUHP sebagaimana disebutkan oleh Pasal 7 dalam UU No. 31 Tahun 1999.
Pasal 7 UU 20 Tahun 2001 merujuk pada Pasal 387 dan Pasal 388 KUHP yang
kualifikasinya adalah melakukan perbuatan curang bagi pemborong, ahli bangunan
dan pengawas, sehingga membahayakan keamanan orang atau barang dan
membahayakan keselamatan negara. Pasal-pasal ini erat sekali hubungannya dengan
Keputusan Presiden Nomor 14 A Tahun 1980 dan Keputusan Presiden Nomor 18
Tahun 1981. 65 Contoh perbuatan curang yang dilakukan adalah pemborong dalam
melakukan pembangunan suatu bangunan tidak sesuai atau menyalahi ketentuan yang
sudah diatur dan disepakati yang tertuang dalam surat perjanjian kerja atau leveransir,
bahan bangunan yang dipesan/dibeli darinya tidak sesuai dengan yang diperjanjikan.
Sebenarnya perbuatan ini, dalam kaitan perjanjian jual-beli (dalam lingkup hukum
perdata) apabila salah satu tidak memenuhi perjanjian dikatakan wanprestasi. Tetapi
hal ini dimasukkan dalam ranah hukum pidana karena perbuatan curang itu bersifat
menipu, dan lebih khusus lagi dijadikan tindak pidana korupsi.
Perbutan curang tidak perlu mengakibatkan bangunan itu roboh atau negara
menjadi betul-betul bahaya, karena dalam unsurnya dikatakan “dapat membahayakan
keamanan orang atau barang dan membahayakan keselamatan negara”. Oleh karena
rumusan deliknya ini adalah delik formil bukan materil. Pasal 7 ayat (1) huruf c
mengubah unsur “Angkatan laut atau Angkatan baru dalam Pasal 388 ayat (1) dengan
memperluas unsurnya disesuaikan dengan keadaan sekarang menjadi: “Tentara
65
Hamzah, op.cit., hal. 240.
59
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
c. Kejahatan Jabatan
Dalam UU No. 20 Tahun 2001 kejahatan jabatan diatur dalam Pasal 8, 9, dan
10. Rumusan Pasal 8 merujuk pada Pasal 415 KUHP mengenai pejabat atau pegawai
negeri yang menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena
jabatannya, membiarkan atau membantu, dikenakan pidana minimal maksimal dan
kumulatif/alternatif. Pidana penjara lebih ringan dan pidana denda lebih berat dari
pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak pidana
korupsi. Termasuk dalam perbuatan yang dilarang oleh Pasal 8 adalah:
Yang dimaksud dengan menggelapkan dalam pasal ini tidak berbeda artinya
dengan mengaku/seolah-olah sebagai milik sendiri dalam Pasal 372 KUHP yang
dikualifikasi dengan penggelapan. Oleh karena itu agar dapat dikenai pidana
perbuatan menggelapkan tersebut diatas disamakan dengan perbuatan yang
disebutkan dalam Pasal 372 KUHP tetapi khusus pada Pasal 8 adalah untuk uang atau
surat berharga saja. Di Negeri Belanda ketika membentuk KUHP ada pembicaraan di
Parlemen yang disimpulkan bahwa perbuatan si pelaku dalam Pasal 415 bukan
memiliki, melainkan mempergunakan untuk lain tujuan daripada yang seharusnya,
dan ia mendapatkan keuntungan dari apa yang dilakukannya tersebut. Misalnya,
apabila ada uang yang dimaksudkan untuk membeli radio untuk keperluan dinas,
60
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
dipakai untuk membeli mesin tik, juga untuk keperluan dinas. Dalam hal itu sama
sekali tidak ada keuntungan bagi si pegawai negeri.7
Pasal 9 merujuk pada Pasal 416 KUHP mengenai pejabat atau pegawai negeri
yang memalsukan buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan
administrasi. Dikenakan pidana minimal maksimal dan kumulatif, pidana penjara
lebih ringan dan pidana denda lebih berat dari pada UU No. 3 Tahun 1971. Perbuatan
yang dilarang pada Pasal 9 adalah memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus
untuk pemeriksaan administrasi. Pasal ini memiliki kemiripan dengan Pasal 263
KUHP yang dikualifikasikan sebagai pemalsuan surat. Dalam Pasal 263 KUHP
pelakunya adalah sembarang orang (tidak perlu memiliki kualifikasi tertentu) sedang
dalam Pasal 9 pelakunya harulah seorang pegawai negeri.
Rumusan Pasal 10 merujuk pada Pasal 417 KUHP mengenai pejabat atau
pegawai negeri yang menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat
tidak dapat dipakai barang, akta, surat atau daftar, yang digunakan untuk meyakinkan
atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya
atau membiarkan atau membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan,
merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar
tersebut. Dikenakan pidana minimal maksimal, dan kumulatif/altematif, pidana
penjara lebih ringan dan pidana denda lebih berat dan pada UU No. 3 Tahun 1971.
Termasuk dalam perbuatan yang dilarang oleh Pasal 10 adalah:
7
Prodjodikoro, Wirjono, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, PT. Refika Aditama,
Bandung Cct. Pertama, Edisi Ketiga, Juni 2003
61
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Siapakah yang dimaksud dengan “orang selain pegawai negeri yang ditugaskan
menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau sementara waktu”?
Menurut Noyon-Langemeyer66 yang menceritakan berdasarkan Surat Penjelasan pada
KUHP Belanda sering barang-barang itu dipercayakan kepada orang-orang yang
bukan pegawai negeri seperti pegawai-pegawai dari suatu bank atau anggota-anggota
dari suatu panitia negara atau sarjana-sarjana yang ditugasi untuk mengadakan
penelitian-penelitian ilmiah.
d. Pemerasan
Pasal-pasal mengenai pemerasan terkenal dengan nama “Knevelarij” yang
berarti permintaan memaksa atau pemerasan yang dilakukan ketika menjalankan
tugas. Knevelarij berasal dari kata knevelen, secara harfiah berarti suatu perbuatan
memasukkan secara memaksa suatu benda, contohnya memasukkan sebatang kayu
atau potongan kain kedalam mulut seseorang sehingga orang itu tidak dapat berbicara,
66
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia (halaman 234)
62
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
atau mengikat badan atau tangan seseorang dengan tali. Dari arti harfiah yang seperti
ini lalu dikatakan bahwa Knevelarij merupakan arti kiasan bagi perbuatan yang
memeras rakyat untuk memberikan uang. Mengenai pemerasan dirumuskan dalam
Pasal 12 huruf e, f, dan g UU No. 20 Tahun 2001. Rumusan Pasal ini merupakan
perbaikan dari Pasal 12 UU No. 31 Tahun 1999.
63
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
kejahatan seperti tersebut pada judul diatas dirumuskan dalam Pasal 12 huruf I.
Rumusan Pasal ini diambil dari Pasal 435 KUHP. Jadi kalau ada seorang pegawai
negeri atau penyelenggara negara yang turut serta melakukan pekerjaan pemborongan
sedang yang bersangkutan justru ditugasi untuk mengurus atau mengawasinya.
Pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut dikatakan melakukan tindak
pidana korupsi. Menurut Andi Hamzah, Pasal 435 KUHP ini yang menjadi Pasal 12
huruf I Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 hampir tidak pernah diterapkan, padahal banyak sekali kasus yang pegawai
negeri merangkap pemborong baik ia sendiri maupun keluarganya.67
67
Ibid., hal. 243.
64
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Hoge Raad, seperti Arrest Hoge Raad 28 Juni 1911 terdapat kata wederrechtelijk.
Setelah Indonesia merdeka Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie
diterjemahkan sebagai Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan kata
wederrechtelijk diterjemahkan menjadi melawan hukum. Lebih lanjut pandangan itu
disebut sebagai pandangan wederrechtelijk. Sedangkan pandangan onrechtmatigheid,
mempergunakan istilah Onrechtmatigheid dalam arti perbuatan melanggar hukum
dalam hukum perdata. Rumusan onrechtmatigheid itu sendiri terdapat dalam Pasal
1401 Burgerlijk Wetboek (BW) atau dalam Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (KUHPer). Rumusan Pasal 1401 BW tersebut berbunyi:
“Elke onrechtmatige daad, waardoor aan een ander schade wordt toegebragt,
stelt dengene door wiens. Schuld die scade veroorzaakt is in deverpligting om
dezel ve tevergoeden.”682
Subekti menterjemahkan Pasal tesebut dalam Pasal 1365 KUHPer sebagai berikut:
68
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, cet. ke-1, (Jakarta: Program Pasca Sarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hal. 35.
69
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh R. Soebekti
dan R. Tjitrosoebio, cet. ke-8, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1976), Ps. 1365.
70
Andi Hamzah [1], Asas-asas Hukum Pidana, cet.ke-2, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hal. 133.
65
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Liendenbaum, 71 oleh karena itu pengertian melawan hukum dalam hukum pidana
saling mengisi dengan pengertian perbuatan melanggar hukum dalam hukum perdata.
Unsur melawan hukum dalam UU Nomor 3 Tahun 1971 merupakan hal yang
baru dalam rumusan peraturan perundang-undangan antikorupsi. Unsur melawan
hukum dalam UU Nomor 3 Tahun 1971 menggantikan unsur kejahatan atau
pelanggaran dalam UU Nomor 24 Tahun 1960. Dalam pandangan pembuat undang-
undang unsur melawan hukum lebih mudah untuk membuktikan suatu perbuatan yang
sifatnya koruptif. Unsur melawan hukum secara tegas dirumuskan dalam Pasal 1 ayat
(1) sub a UU Nomor 3 Tahun 1971 yang berbunyi:
71
Indriyanto Seno Adji [1], Korupsi Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana, cet.ke-1,
(Jakarta: Diadit Media, 2006), hal. 29.
72
J.M. van Bemmelen, Hukum Pidana 1 Hukum Pidana Material Bagian Umum, diterjemahkan
oleh Hasnan (Bandung: Binacipta, 1987), hal. 149-150.
73
Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana 2, cet.ke-1, (Jakarta: PT.
Pradnya Paramita, 1996), hal. 23.
74
Loebby Loqman, “Sifat Melawan Hukum dalam Tindak pidana Korupsi” dalam Kapita
Selekta Hukum Mengenang Almarhum Prof. H. Oemar Seno Adji, S.H., cet. ke-1, diedit oleh
Machrup Elric, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995), hal. 239-253.
66
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Akan tetapi dalam pandangan anggota DPR-GR penjelasan yang disampaikan oleh
pemerintah tersebut menimbulkan kesan seolah-olah istilah melawan hukum dalam
lapangan hukum perdata dipergunakan sebagai unsur dalam lapangan hukum pidana.
Selanjutnya rumusan penjelasan umum tersebut diubah sehingga arti melawan hukum
tersebut dipandang masih terbatas dalam lapangan hukum pidana.77
Mengenai pengertian melawan hukum dalam UU Nomor 3 Tahun 1971 Oemar
Seno Adji 78 berpendapat bahwa pengertian melawan hukum dalam UU Nomor 3
Tahun 1971 merupakan pengertian melawan hukum dalam arti luas, yaitu segala
sesuatu yang bertentangan dengan kepatutan yang seharusnya dalam pergaulan
masyarakat, ataupun yang dikatakan dalam undang-undang yang bertentangan dengan
norma kesopanan yang lazim atau bertentangan dengan keharusan dalam pergaulan
75
Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 dijelaskan bahwa yang dimaksud
dengan “secara melawan hukum” dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti
formil dan materil.
76
Albert Hasibuan, ed., Dua Guru Besar Berbicara tentang Hukum (Bandung: Alumni, 1985),
hal. 58.
77
Konsensus-konsensus mengenai Masalah-masalah Pokok dalam Rancangan Undang-undang
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi antara Pemerintah dengan DPR-GR pada saat
pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
78
Oemar Seno Adji adalah Menteri Kehakiman pada saat pembahasan Rancangan UU Nomor 3
Tahun 1971 dan menjadi wakil pemerintah dengan DPR-GR dalam pembahasan Rancangan UU
Nomor 3 Tahun 1971.
67
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
hidup.79 Lebih lanjut pengertian melawan hukum tersebut meliputi pengertian dalam
Arrest setelah tahun 1919.80
Dalam pandangan Indriyanto Seno Adji melawan hukum materil dalam UU
Nomor 3 Tahun 1971 termasuk fungsi melawan hukum materil dalam arti positif.
Lebih lanjut jika dilihat sejarah pembentukan UU Nomor 3 Tahun 1971, tujuan
dicantumkannya unsur melawan hukum adalah untuk menjerat perbuatan yang
dipandangan koruptif dan tercela melalui kemudahan dalam pembuktian, dimana
perbuatan tersebut secara formil tidak melawan hukum karena merupakan bentuk
pelanggaran yang tidak terjangkau oleh hukum.81 Selain itu korupsi merupakan white
collar crime, dimana pelakunya merupakan orang-orang yang berpendidikan,
mempunyai kedudukan ekonomi dan mempunyai jabatan. Para pelaku dengan
menggunakan pendidikan, kedudukan ekonomi ataupun jabatan yang mereka miliki
untuk melakukan perbuatan yang dipandang koruptif yang tercela sifatnya, namun
perbuatan tersebut secara formil tidak melawan hukum, oleh sebab itu fungsi
melawan hukum materil dalam arti positif dalam UU Nomor 3 Tahun 1971
diperlukan untuk menjerat perbuatan tersebut.
Pada praktiknya, beberapa putusan MA tentang tindak pidana korupsi telah
menerapkan melawan hukum materil arti positif sebagaimana dalam putusan MA
Nomor 275K/Pid/1973, putusan MA Nomor 2477K/Pid/1988 dan Putusan MA
Nomor 1571K/Pid/1993, selain itu beberapa putusan MA tentang tindak pidana
korupsi juga menerapkan melawan hukum materil dalam arti negatif, sebagaimana
dalam putusan MA Nomor 42K/Kr/1965, putusan MA Nomor 43K/Kr/1973, putusan
MA Nomor 81K/Kr/1973.82 Sebelum UU Nomor 3 Tahun 1971 disahkan, MA telah
terlebih dahulu menerapkan melawan hukum materil, sebagaimana dalam putusan
MA Nomor 42K/Kr/196583. Putusan tersebut dipandang sebagai putusan MA pertama
79
Oemar Seno Adji, Hukum Pidana Pengembangan, cet. ke-1, (Jakarta: Erlangga, 1985), hal.
252.
80
Hasibuan, loc.cit.
81
Seno Adji [1], loc. cit.
82
Seno Adji [2], op. cit., hal. 337-338.
83
Kasus Delivery Oreder (DO) gula dengan Terdakwa Marchroes Effendi. Terdakwa didakwa
telah memakai kekuasan yang diperoleh kerena jabatannya untuk melakukan penggelapan gula dengan
cara mengeluarkan DO gula intensif padi sejumlah 7.650 kg kepada seorang pemborong yang hasilnya
dipergunakan bagi pembangunan daerah. Dalam tingkat kasasi MA menerapkan melawan hukum
materil dalam arti negatif dengan pertimbangan bahwa faktor kepentingan umum terlayani, faktor
Terdakwa tidak memperoleh keuntungan dan faktor tidak adanya kerugian negara.
68
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
yang menerapkan melawan hukum materil dalam arti negatif.84 Sedangkan Putusan
MA Nomor 81/K/kr/197385 merupakan putusan MA pertama yeng menerapkan sifat
melawan hukum materil setelah UU Nomor 3 Tahun 1971 disahkan. Dalam putusan
tersebut MA dipandang telah menerapkan melawan hukum materil dalam arti
negatif. 86 Dalam hubungannya dengan syarat dalam menerapkan melawan hukum
materil dalam arti negatif, putusan MA tersebut dipandang telah memberikan tiga
syarat penghapus sifat melawan hukum materil yaitu;87
1. Negara tidak dirugikan;
2. Kepentingan umum dilayani dan;
3. Terdakwa tidak mendapatkan keuntungan.
84
Seno Adji [1], op. cit., hal. 53.
85
Kasus dana reboisasi hutan dengan Terdakwa Ir. Moch. Otjo Danaaatmadja yang menjabat
sebagai Kepala Kesatuan Hutan Kabupaten Garut. Terdakwa didakwa melakukan tindak pidana
korupsi menggunakan anggaran reboisasi hutan yang tidak sesuai dengan tujuannya.
86
Loqman, op.cit., hal. 251-252.
87
Oemar Seno Adji, op. cit., hal. 175-178, 189.
88
Kasus tindak pidana korupsi di Bank Bumi daya. Terdakwa Endang Widjaja alias Yap Eng
Kui selaku Direktur Bank Bumi Daya telah didakwa melanggar ketentuan kredit untuk proyek real
estate sebagimana Surat Edaran Bank Indoensia Nomor SE 6/22/UPK. Pada tingkat kasasi MA
menerapkan melawan hukum materil dalam arti negatif dengan petimbangan dengan diberikannya
prioritas kredit tersebut Terdakwa memperoleh keuntungan, dan tersebut negara dirugikan serta
kepentingan masyatakat tidak terlayani, selain itu perbutan terdakwa telah melanggar Pasal 7 Undang-
undang Nomor 18 Tahun 1968 tentang Perbankan.
89
Soemadipradja, op. cit., hal. 162.
69
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama
20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
90
90
Indonesia, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31 Tahun 1999,
LN Nomor 140 Tahun 1999, TLN Nomor 3874.
70
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
KUHP dengan kata “oleh karena melakukan tindak pidana… yang ia peroleh
karena jabatannya.”91
91
Indonesia, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 3 Tahun 1971,
LN Nomor 19 Tahun 1971, TLN Nomor ... .
92
Kitab Undang-undang Hukum Pidana [Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie],
diterjemahkan oleh R. Soesilo [1], cet. ke-6, (Bogor: Politeia, 1996), ps.52.
93
Delict propria disebut juga sebagai delik kualitas.
94
R. Soesilo [2], Pelajaran Lengkap Hukum Pidana (Sistem Tanya-Jawab) (Bogor: Politeia,
1981). hal. 64.
95
Darwin Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, cet. ke-1, (Bandung: PT PT Citra
Aditya Bakti, 2002).hal. 33.
96
Andi Hamzah [2], Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya (Jakarta: PT
Gramidenia, 1984). hal. 107.
71
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Pendapat lain menyatakan bahwa kata kedudukan dalam Pasal 1 ayat (1) sub b UU
Nomor 3 Tahun 1971 berarti pejabat yang dapat melakukan tindak pidana korupsi
dengan cara penyalahgunakan kewenangan tidak hanya terbatas pada pejabat
struktural saja tetapi juga pejabat fungsional. 97 Oleh karena itu kata jabatan dan
kedudukan dalam Pasal 1 ayat (1) sub b UU Nomor 3 Tahun 1971 harus diartikan
sebagai jabatan atau kedudukan dalam lingkup hukum publik atau pemerintahan.
Pengertian pejabat yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) sub b UU Nomor 3
Tahun 1971 menggacu pada pengertian pegawai negeri dalam Pasal 2 UU Nomor 3
Tahun 1971. Pengertian pejabat dalam Pasal 2 UU Nomor 3 Tahun 1971 tidak saja
terbatas pada pengertian pegawai negeri menurut Pasal 92 KUHP dan pengertian
pegawai negeri yang diatur dalan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1961 tentang
Ketentuan Pokok Kepegawaian 98 tetapi juga meliputi orang-orang yang menerima
gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah atau yang menerima gaji atau upah
dari suatu badan hukum yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah,
atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran
dari negara atau masyarakat dengan dana-dana yang diperoleh dari masyarakat untuk
kepentingan sosial, kemanusiaan dan lain-lain.99
Dalam hubungannya dengan subyek dalam Pasal 1 ayat (1) sub b UU Nomor 3
Tahun 1971, dipandang sebagai pengertian pegawai negeri dalam arti luas. Lebih
lanjut seorang yang mempunyai kedudukan sebagai pengurus suatu yayasan yang
menerima bantuan dana dari keuangan negara juga dipandang sebagai pengertian
pegawai negeri dalam Pasal 2 UU Nomor 3 Tahun 1971. Lebih lanjut ketentuan Pasal
1 ayat (1) sub b UU Nomor 3 Tahun 1971 lebih luas dari pada ketentuan Pasal 52
KUHP. Pasal 52 KUHP merupakan delik omisi, sedangkan dalam menyalahgunakan
kewenangan dapat berupa ommissie delict, sedangkan menyalahgunakan kewenangan
dapat berupa ommissie delict, commissie delict maupun campuran antara delict
ommissie dan commissie. Selain itu dalam Pasal 1 ayat (1) sub b UU Nomor 3 Tahun
1971 terdapat unsur dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
97
Hermin Hadiati Koewadji, Korupsi di Indonesia dari Delik Jabatan ke Tindak Pidana
Korupsi, cet.ke-1, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1994). hal. 66.
98
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1961 tentang Ketentuan Pokok Kepegawain telah dicabut
dan digantikan dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian
sebagimana telah Diubah dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999.
99
Indonesia [1], op. cit., ps.2
72
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
badan dan unsur secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan
negara.
Dalam pandangan beberapa yuris seperti Indriyanto Seno Adji dan Nur Basuki
Minarno UU Nomor 3 Tahun 1971 tidak memberikan penjelasan yang eksplisit
tentang unsur menyalahgunakan kewenangan. Lebih lanjut dalam literatur hukum
pidana tidak terdapat pengertian yang eksplisit mengenai menyalahgunakan
kewenangan. 100 Dalam pandangan Nur Basuki Minarno tidak adanya penjelasan
eksplisit menyalahgunakan kewenangan tersebut mengakibatkan beragamnya
penafsiran menyalahgunakan kewenangan, sebagaimana dalam beberapa putusan
berikut:101
Tabel 1
100
Seno Adji [1], op. cit., hal. 67-68.
101
Minarno, op. cit., hal. 5-6.
73
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
102
Seno Adji [1], loc. cit.
103
Seno Adji [1], loc.cit.
74
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Peradilan Tata Usaha Negara (UU Nomor 5 Tahun 1986)104 yaitu, telah menggunakan
wewenang untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut.105
Penggunaan penafsiran ekstensif dalam doktrin De Autonomie van het
Materiele Strafrecht sebagaimana dalam putusan MA Nomor 1340/Pid/1992
dipandang sebagai suatu penafsiran yang dapat diterima, karena pada saat
pembentukan UU Nomor 3 Tahun 1971 arti unsur menyalahgunakan kewenagan
belum berkembang seperti ketika UU Nomor 5 Tahun 1986 dibentuk, oleh karena itu
penggunaan penafsiran ekstensif dipandang sebagai bentuk penyesuaian arti unsur
menyalahgunakan kewenangan dengan perkembangan zaman. Akan tetapi akan
terjadi dishamoni apabila penggunaan penyalahgunaan wewenang dalam hukum
administrasi negara ke dalam UU Nomor 3 Tahun 1971 tanpa mempertimbangkan
teori, fiksi dan kontruksi dalam penerapannya dalam UU Nomor 3 Tahun 1971, oleh
karena itu dipandang penting untuk mengetahui tentang penyalagunaan wewenang
dalam hukum administrasi negara, mengingat penyalahgunaan wewenang banyak
dibahas dalam literatur hukum administrasi negara.
Tindak pidana korupsi telah manjadi salah satu perhatian masyarakat dunia
karena dampak yang ditimbulkan sangat besar, khususnya bagi masyarakat suatu
negara. Korupsi telah diumpamakan sebagai “kejahatan luar biasa” karena pada
umumnya dikerjakan secara sistematis, punya aktor intelektual, melibatkan
stakeholder di suatu daerah, termasuk melibatkan aparat penegak hukum, dan
memiliki dampak “merusak” dalam spektrum yang luas. Karakteristik inilah yang
menjadikan pemberantasan korupsi semakin sulit jika hanya mengandalkan aparat
penegak hukum biasa, terlebih jika korupsi sudah membudaya dan menjangkiti
seluruh aspek dan lapisan masyarakat.
104
UU Nomor 5 Tahun 1986 telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, termasuk
dalam perubahan tersebut adalah ketentuan dalam Pasal 53 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1986.
105
Indonesia [3], Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, UU Nomor 5, LN 77
Tahun 1986, LTN Nomor 3344, ps. 53.
75
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Salah satu lahan korupsi yang paling subur dan sistemik adalah di bidang
Pengadaan barang/jasa Pemerintah. Sektor ini memiliki pengaruh yang sangat besar
dalam membangun kekuatan ekonomi di suatu negara, dan juga rentannya sektor ini
terhadap resiko mal administrasi dan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan
negara. Sepanjang berdirinya Komisi Pemberantasan Korupsi, tidak kurang 50 (lima
puluh) perkara yang terkait penyimpangan pengadaan barang/jasa pemerintah di mana
perkara-perkara tersebut mengakibatkan kerugian negara sebesar 35 (tiga puluh lima)
persen dari total nilai proyeknya.106
Dalam sebuah kajian, yang dilakukan oleh Bank Dunia (Country Procurement
Assesment Review, CPAR), menyebutkan bahwa 10–50 persen Pengadaan Barang
/Jasa Pemerintah di Indonesia mengalami kebocoran (baca: korupsi). Bank Dunia juga
mengatakan ”... bahwa korupsi paling merajalela terjadi dalam pengadan barang
dan jasa publik..”107. Secara terang-terangan Indonesia Procurement Watch dalam
hasil surveinya menyatakan bahwa hampir dipastikan tidak ada proses tender
dilakukan secara jujur dan adil di Jabodetabek, melainkan penuh dengan rekayasa dan
persekongkolan antara pihak aparat pemerintah dan para pengusaha barang/jasa.
Praktik Suap menjadi penyebab utamanya. Tender yang dilakukan di Jabodetabek,
hanyalah tender yang diada-adakan, yang pemenangnya sudah ditentukan jauh
sebelum proses tender resmi dilakukan. Banyak tender dilakukan, hanyalah tender
performa, untuk memenuhi ketentuan aturan dan ketentuan administratif belaka. 108
Dalam dunia internasional, berdasarkan hasil 2011 Bribe Payers Index yang disusun
oleh Transparency International, tingkat penyuapan yang terjadi di Indonesia dalam
106
Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa Terbanyak Ditangani KPK,
<http://www.iprocwatch.org/berita/berita/167-korupsi-pengadaan-barang-dan-jasa-terbanyak-
ditangani-kpk.html>, informasi diunduh pada tanggal 4 November 2011.
107
Indonesia Procurement Watch, LAPORAN SURVEI JEJAK SUAP DALAM
PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH, 17 Januari 2011, <
http://www.iprocwatch.org/images/stories/data/laporan_survei_suap_pbjp.pdf>, informasi diunduh
pada tanggal 4 November 2011.
108
Ibid., Bagian Kesimpulan dan Rekomendasi.
76
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
109
Businesses in RI among top bribe payers
<http://www.thejakartapost.com/news/2011/11/03/businesses-ri-among-top-bribe-payers.html>,
informasi diunduh pada tanggal 4 November 2011.
110
Indonesia meratifikasi UNCAC dengan disertai Reservation (pensyaratan) terhadap Pasal 66 ayat
(2) tentang penyelesaian sengketa. Karena memang di dalam proses negosiasi dan ratifikasi suatu
perjanjian internasional harus telah dipertimbangkan, apakah perjanjian internasional dimaksud
termasuk "non-reserved convention” atau "konvensi dengan klausul reservasi" atau konvensi yang
memberikan kesempatan untuk di-reservasi. Reservasi Indonesia pada UNCAC diajukan berdasarakan
prinsip untuk tidak menerima kewajiban dalam pengajuan perselisihan kepada Mahkamah
Internasional kecuali dengan kesepakatan para pihak.
77
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
111
Hal wajib untuk dikriminalisasi lainnya dalam UNCAC adalah penggelapan, pencucian uang
dan obstruction of justice. Selain hal tersebut juga terdapat enam perilaku kriminal yang dinyatakan
dalam Konvensi itu namun tidak wajib untuk dikriminalisasi, yaitu Pengkayaan terlarang (illicit
enrichment), memperdagangkan pengaruh, penyuapan pasif pejabat publik asing.
78
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
wajib dari UNCAC. Setidaknya, terdapat tiga pasal utama dalam UNCAC yang
berkaitan dengan penyuapan. Dua ketentutan wajib diatur dalam Pasal 15 (penyuapan
terhadap pejabat publik nasional) dan Pasal 16 (penyuapan kepada pejabat Publik
Asing dan Pejabat-pejabat Organisasi Internasional Publik). Sebagai tambahan, dalam
Pasal 21 terdapat dua peraturan yang mengharuskan suatu negara untuk
mempertimbangkan (to consider) melakukan kriminalisasi terhadap penyuapan dalam
sektor swasta.
Dari tiga pasal berkaitan dengan penyuapan dalam UNCAC, dapat secara jelas
dikatakan bahwa Indonesia telah memiliki pengaturan secara jelas serupa dengan
Pasal 15 UNCAC.112 Namun, Indonesia belum memiliki peraturan sebagaimana diatur
dalam Pasal 16 dan 21 UNCAC. Untuk Pasal 16 UNCAC, peraturan perundang-
undangan Indonesia belum mengatur penyuapan kepada pejabat Publik Asing dan
Pejabat-pejabat Organisasi Internasional Publik, namun para pelaku suap tersebut
tetap dimungkinkan untuk dijerat dengan hukum Indonesia melalui Pasal 2 KUHP.113
Rekomendasi yang disepakati adalah untuk tunduk (karena memang sifatnya yang
wajib) untuk memasukkan ketentuan mengenai hal ini dalam ketentuan undang-
undang Indonesia.114
112
Lihat Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b, Pasal 5 ayat (2) untuk pegawai negeri/pejabat publik,
Pasal 6 untuk hakim dan advokat UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana sudah dirubah dengan UU No.
20 Tahun 2001.
113
Pasal 2 KUHP mengatur bahwa ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia
diterapkan bagi setiap orang yang melakukan sesuatu tindak pidana di Indonesia.
114
KPK, Gap Analysis Study Report: Identification of Gaps between Laws/Regulation of the
Republic of Indonesia and the United Nations Convention Against Corruption (Jakarta: KPK,
November 2006), hal. 103.
79
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
“penyuapan merupakan penyuapan, siapapun penerimanya” dan oleh karena itu tidak
dilakukan pembedaan antara penyuapan yang dilakukan oleg pihak swasta ataupun
publik. Maka ketentutan ini dengan keras di rekomendasikan untuk dimasukkan
dalam ketentuan undang-undang Indonesia.115
115
Ibid., hal. 31.
116
IMF Policy Development and Review Department, OECD Convention on Combating
Bribery of Foreign Public Officials in International Business Transactions, 18 September 2001, <
http://www.imf.org/external/np/gov/2001/eng/091801.pdf>, informasi diunduh pada tanggal 4
November 2011.
117
Indonesia merupakan salah satu dari banyak Negara yang bukan anggota dan OECD, tetapi
memiliki hubungan kerja dengan negara-negara anggota OECD.
80
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
berkembang yang merupakan pembeli barang dan jasa utama yang pada saat ini telah
berkembang menjadi rumah bisnis pasar internasional.118
118
Nicola Ehlermann-Cache, The impact of the OECD Anti-Bribery Convention, <
http://www.oecd.org/dataoecd/47/45/41054440.pdf >, informasi diunduh pada tanggal 4 November
2011.
119
Penyuapan yang dimaksud dalam konvensi ini termasuk setiap perbuatan yang dilakukan
dengan sengaja untuk menawarkan, menjanjikan atau memberikan keuntungan berupa uang atau
lainnya yang tidak semestinya, baik secara langsung atau melalui perantara, kepada pejabat publik
asing, secara langsung atau dengan perantara, agar bertindak atau menahan diri dari bertindak untuk
memperoleh atau mempertahankan bisnis atau keuntungan lainnya yang tidak pantas dalam melakukan
bisnis internasional.
120
Lihat Article 1 dan 2 CONVENTION ON COMBATING BRIBERY OF FOREIGN
PUBLIC OFFICIALS IN INTERNATIONAL BUSINESS TRANSACTIONS.
121
Konvensi ini menghindari istilah dari penyuap aktif dan pasif, dikarenaka tidak
menginginkan penyuapan secara aktif diartikan bahwa sang penyuap adalah mereka yang mengambil
inisiatif dan sang penerima suap adalah korban. Faktanya, penerima suap dapat lebih “aktif” dari pada
pemberi suap. Dalam perundang-undangan Indonesia; penyuapan aktif (active omkoping) adalah jenis
penyuapan yang pelakunya sebagai pemberi hadiah atau janji (Pasal 209 dan Pasal 210 KUHP ditarik
menjadi Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 6 ayat (1) Undang-undang No. 20 Tahun 2001), sedang penyuapan
pasif (passive omkoping) adalah jenis penyuapan yang pelakunya sebagai penerima hadiah atau janji
(Pasal 418, Pasal 419 dan Pasal 420 KUHP ditarik menjadi Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (2), Pasal 11,
Pasal 12 huruf a, b, c, dan d Undang-undang No. 20 Tahun 2001).
122
IMF Policy Development and Review Departement, OECD Convention on Combating
Bribery of Foreign Public Officials in International Business Transactions, 18 September 2001, <
http://www.imf.org/external/np/gov/2001/eng/091801.pdf>, informasi diunduh pada tanggal 4
November 2011.
81
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
sendirinya (not self executing) dan membutuhkan formulasi ulang sebelum dapat
dimasukkan dalam peraturan perundang-undangan suatu negara.
BAB III
KEJAHATAN DAN KORUPSI
123
Berdasarkan UU NO. 31 tahun 1999 sebagaimana dirubah dengan UU No. 20 tahun 2001,
bentuk sanksi yang dijatuhkan untuk tindak pidana korupsi secara keseluruhan merupakan sanksi
pidana, tidak ada satu sanksi pun yang bersifat administratif. Walaupun dimungkinkan dalam beberapa
negara lain yang untuk perbuatan sejenis dijatuhkan sanksi administratif.
82
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Korupsi sebagai sebuah kejahatan pada masa ini dapat diibaratkan seperti
penyakit mematikan yang tidak kunjung disembuhkan. Korupsi di dalam
pemerintahan khususnya, seperti korupsi pengadaan barang/jasa (dikenal dengan
istilah procurement / public procurement) menyerap anggaran sedikit demi sedikit
dan secara perlahan dan pasti telah menghabiskan anggaran negara yang seharusnya
dialokasikan untuk kepentingan rakyat. Akibatnya, berbagai fasilitas dan akses
masyarakat akan kebutuhan tertentu tidak mampu diakomodasi oleh pemerintah
secara maksimal. Publik yang merasakannya karena telah menderita kerugian akibat
penyimpangan yang dilakukan dalam persiapan dan pelaksanaannya. Indonesia
Procurement Watch mengemukakan bahwa korupsi terbesar yang terjadi di Indonesia
dilakukan dalam bentuk penyimpangan dalam pengadaan barang dan jasa.
Selanjutnya, potensi terbesar kerugian Negara ternyata disebabkan oleh
penyimpangan dalam pengadaan barang dan jasa. Bahkan menurut data di Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) banyak kepala daerah yang sedang menjalani proses
hukum di KPK karena melakukan penyimpangan. Berdasarkan hal ini maka kajian
terhadap topik ini menjadi menarik dan penting karena penyimpangan tersebut telah
merugikan masyarakat dan negara.
Bab ini akan membahas mengenai korupsi pengadaan barang/jasa sebagai
sebuah kejahatan, karakteristik, penanggulangan, serta berbagai permasalahan dalam
menanggulangi fenonema korupsi pengadaan barang/jasa. Oleh karena itu, kajian ini
akan menggunakan dua pendekatan secara bersamaan, yaitu pendekatan kriminologi
dan hukum pidana.
83
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
hyper ketika ia melampaui berbagai realitas (hukum, moralitas, akal sehat, dan
budaya) dan telah berkembang sedemikian rupa menuju tingkatannya yang sempurna
(hyper criminalitas). Hyper criminalitas terwujud manakala kejahatan menjadi suatu
wacana yang direncanakan, diorganisir, dan dikontrol secara sempurna melalui
teknologi tinggi, manajemen tinggi, dan politik tinggi. Kejahatan ini melangkahi
otoritas hukum, melewati kemampuan akal sehat, dan melompati jangkauan nilai-nilai
budaya dan moralitas 124 . Kejahatan sempurna tampaknya memang tepat untuk
menjadi frase yang menggambarkan fenomena korupsi. Hal ini dikarenakan
kejahatan-kejahatan finansial lain yang selama ini dikenal umumnya dilakukan oleh
orang-orang yang memiliki keterbatasan ekonomi, dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Korupsi dikatakan sebagai kejahatan sempurna karena
pelakunya dianggap sebagai orang-orang yang sudah berada pada kondisi ekonomi
yang baik, orang-orang yang sejahtera secara financial. Maka merupakan suatu hal
yang tidak masuk akal jika masih terdapat pihak-pihak yang tetap melakukan korupsi
semata-mata untuk memperkaya dirinya.
Korupsi menjadi suatu kejahatan yang semakin tidak masuk akal jika
berbicara dalam konteks korupsi pengadaan barang/jasa pemerintah. Pelaku yang
seharusnya menjalankan tanggung jawab sebagai pejabat publik, melayani masyarakat
dan memberikan fasilitas yang memadai untuk masyarakat dengan sedemikian rupa
menyimpangkan anggaran tersebut untuk digunakan untuk kepentingan pribadi
pelaku. Modus yang dilakukan terorganisir sedemikian rupa hingga sulit untuk diurai
dan ditemukan pelaku utamanya. Hal ini semakin sulit untuk dilakukan jika
kepentingan dan kekuatan politik juga turut berperan menutupi fenomena korupsi di
pemerintahan.
Untuk lebih memahami tentang korupsi, dalam kajian kriminologi,terdapat
tiga bidang penelitian yang dapat dilakukan untuk membuka tabir korupsi125. Ketiga
bidang penelitian tersebut adalah Corruption and Organized Crime 126 , Corruption
124
Yesmil Anwar dan Adang, Kriminologi, (Bandung : Refika Aditama, 2010), h. xvii
125
Wawancara dengan Dr. Kemal Darmawan, 9 November 2011.
126
Bidang penelitian ini memandang bahwa korupsi tidak mungkin dilakukan sendiri. Korupsi
dilakukan jika ada dukungan, baik dukungan berupa sistem, maupun orang. Korupsi secara perlahan
dan berpola pada akhirnya akan berwujud sebagai organized crime, yang artinya ada sistem yang
84
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
and White Collar Crime127 dan Corruption in Victimology128. Pada kesempatan ini,
bidang penelitian Kriminologi Korupsi yang akan dibahas adalah bidang Corruption
sebagai White Collar Crime (WCC). Istilah WCC pertama kali dipopulerkan oleh
Edwin Sutherland, seorang kriminolog dan juga sosiolog, yang pada tahun 1939
berbicara di depan pertemuan tahunan American Sociological Society ke-34 di
Philadelphia pada tanggal 27 Desember 1939. Kajian Sutherland mengenai WCC
merupakan terobosan dari anggapan bahwa kejahatan sangat dipengaruhi oleh kondisi
sosial dan ekonomi tertentu. Menurut Sutherland, kejahatan tidak hanya dilakukan
oleh seseorang dengan tingkat kesejahteraan dan status sosial rendah, tetapi juga
dilakukan oleh mereka yang dihormati dan memiliki status sosial tinggi. Pendapat
Sutherland ini menunjukkan bahwa kejahatan dapat dilakukan oleh semua tingkatan
masyarakat oleh pihak-pihak yang beragam latar belakang sosial ekonominya129.
Teori yang dikemukakan oleh Sutherland ini mampu mengakomodasi tentang
fenomena kasus korupsi yang kini marak terjadi di seluruh dunia. Setiap kasus tindak
pidana korupsi pasti melibatkan pejabat yang menempati posisi tertentu di dalam
sebuah instansi. Karena jabatannya itu, mereka adalah orang-orang yang kerap
dihormati di dalam lingkungan masyarakat. Dan karena jabatan itu pulalah, kejahatan
yang dilakukan tidak sekedar kejahatan yang sifatnya street crime, tetapi kejahatan
dengan modus yang lebih rumit dengan jumlah yang lebih besar serta memiliki
dampak yang signifikan bagi kesejahteraan masyarakat dalam suatu negara.
terorganisr yang menjadi supporting dan permissive. Sehingga kemudian, menangkap pelaku korupsi
saja tidak cukup dalam mengatasi dan mencegah terjadinya korupsi.
127
Bidang penelitian Kriminologi Korupsi yang sedang popular adalah penelitian yang
menghubungkan antara korupsi dengan White Collar Crime (selanjutnya disebut WCC). WCC
didefinisikan sebagai sebuah kejahatan yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki kehormatan dan
status sosial yang tinggi dalam kaitannya dengan pekerjaannya. Dalam pengertian ini, termasuk di
dalamnya adalah kejahatan yang dilakukan korporas atau badan hukum lainnya. Lihat Edwin H.
Sutherland, White Collar Crime: The Uncut Version 7 (1983). dalam J. Kelly Strader, “Understanding
White Collar Crime”, (USA : Matthew Bender & Company Inc, 2002), hal. 1. Lihat juga John
Braithwaite, “White Collar Crime”, ( USA : Annual Reviews Inc., 1983), h.2
128
Bidang penelitian yang memberikan kaitan antara korupsi dan viktimologi masih belum
banyak dikaji. Dalam kajian ini terdapat temuan bahwa korupsi masih sulit untuk diberantas karena ada
pihak-pihak yang sebenarnya merupakan korban, tetapi tidak merasa dirinya sebagai korban.
Pembiaran yang dilakukan oleh korban justru mendukung korupsi terus berlangsung
129
Ibid., hal. 1.
85
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
1. Low visibility
Satu karakteristik yang cukup esensial dari kejahatan WCC adalah tindak
kejahatan itu terbungkus oleh satu kegiatan atau rutinitas pekerjaan yang normal.
Kejahatan ini melibatkan pekerjaan dengan keahlian khusus ataupun melibatkan
sistem organisasi. Mereka kemudian mampu menyamarkan kejahatan itu sebagai
“business offenders that are legitimately present at the scene”. Begitu samarnya
kejahatan ini mengakibatkan korban seringkali tidak menyadari bahwa telah terjadi
suatu tindak kejahatan sehingga seringkali pula tidak terlaporkan kepada pihak yang
berwenang.
Dalam konteks korupsi pengadaan barang/jasa, karakterstik low visibility ini
terpenuhi dengan terbungkusnya tindak pidana ini oleh kegiatan pengadaan yang
memang sudah dijadwalkan terjadi, tercatat di dalam anggaran, dan direalisasikaan
berdasarkan kewenangan para pihak yang menyelenggarakannya. Namun demikian,
korupsi pengadaan barang/jasa termasuk jenis tindak pidana korupsi yang paling
mudah untuk dilihat dan dibuktikan. Hal ini dikarenakan proses pengadaan
barang/jasa diselenggarakan berdasarkan proyek, tidak sekedar rutinitas dan mudah
untuk diukur penyimpangannya berdasarkan anggaran yang sudah tercatat. Apabila
biaya yang dikeluarkan tidak sesuai dengan anggaran, anggaran yang disusun ternyata
jauh lebih tinggi dari perkiraan harga pasar, atau laporan kegiatan dan laporan
keuangan ternyata tidak sesuai dengan pelaksanaannya, maka dapat disimpulkan
bahwa telah terjadi penyimpangan di dalam suatu proyek pengadaan barang/jasa.
Meskipun demikian, untuk menarik kesimpulan apakah penyimpangan tersebut
masuk ke dalam tindak pidana korupsi atau tidak, perlu dibuktikan lebih lanjut.
130
Hazel Croall, White Collar Crime, (Philadelphia : Open University Press, 1992), h. 12-16.
86
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
2. Complexity
Meskipun banyak kejahatan WCC yang sederhana seperti penipuan, tindakan
kecurangan, dan pencurian, masih banyak yang lain yang lebih kompleks. Kejahatan
WCC melibatkan pelaku-pelaku dengan keahlian hukum, keuangan, dan juga
teknologi. Banyak juga kejahatan WCC yang highly organized, melibatkan banyak
pekerja, dan bisa saja telah berlangsung selama bertahun-tahun. Peraturan yang ada
juga tidak cukup untuk mendeterminasikan secara pasti tindakan apa yang dapat
dijatuhi hukuman dan siapa yang harus bertanggung jawab terhadap tindakan tersebut.
Kompleksitas pelaku juga digambarkan dari kategori pelaku WCC yang
dikemukakan oleh Jo Ann Miller131, yaitu:
a. Organizational Occupational crime, yaitu kejahatan yang dilakukan oleh
organisasi atau perusahaan;
b. Government Occupational Crime, yaitu kejahatan yang dilakukan oleh
pemerintah atau atas nama pemerintah;
c. Professional Occupational crime, yaitu kejahatan yang berkenaan dengan
profesi; dan
d. Individual Occupational Crime, yaitu kejahatan yang dilakukan secara
individu.
131
Jo Ann Miller. 1991. White Collar Crime. Makalah. 24 Juli. Tidak diterbitkan. Hal 8-9.
dikutip oleh Forum Kajian Kriminologi dan Sosial, “White Collar Crime”, < http:// qsukri
.blogspot.com/2011/01/white-collar-crime.html>, diakses pada tanggal 29 Oktober 2011.
87
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
3. Diffusion of Responsibility
Kompleksitas kejahatan WCC yang melibatkan banyak pekerja
mengakibatkan sulitnya menentukan siapa yang paling bertanggung jawab atas
terjadinya kejahatan tersebut. Di satu sisi, pekerja secara individual mungkin dapat
dimintai pertanggungjawaban karena telah mengabaikan peraturan. Sedangkan di sisi
lain, pengawas dari pekerja itu juga dapat disalahkan karena kurangnya pengawasan.
Dalam tiap tingkatan pertanggungjawaban, baik di dalam korupsi pengadaan
barang/jasa, maupun dalam modus korupsi lainnya, pekerja atau bawahan secara
individual kemudian dapat berdalih bahwa mereka hanya menjalankan perintah dari
atasan, atau sebalikya, atasan dapat berdalih bahwa pekerja atau bawahan itu yang
telah mengabaikan perintahnya. Dengan demikian, dalam WCC sulit untuk secara
langsung menunjuk pihak yang bersalah. Hubungan yang erat antara pemerintah dan
korporasi dalam pengadaan barang/jasa juga menjadi tantangan tersendiri untuk
melihat bentuk pertanggungjawabannya. Tidak jarang korporasi tidak memiliki
pilihan lain selain memberikan sejumlah uang kepada pejabat negara, panitia tender,
atau penanggung jawab proyek pengadaan barang/jasa.
88
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Pada kejahatan konvensional lainnya, yang terjadi adalah penjahat yang dapat
diidentifikasi melukai atau melanggar hak-hak korban yang juga dapat diidentifikasi.
Di dalam WCC, viktimisasi menjadi samar dan sulit untuk diidentifikasi siapa
individu yang menjadi korban dari tindakan ini. Korban dari WCC adalah sebuah
“entitas abstrak”, seperti pemerintah, perusahaan, ataupun masyarakat. Hal ini pula
yang mengakibatkan pelaku WCC kerap tidak secara langsung dianggap sebagai
“penjahat”. Dalam konteks tindak pidana korupsi, samarnya korban mengakibatkan
timbulnya satu bidang penelitian yang khusus mengkaji korupsi dari sudut pandang
viktimologi.
6. Lenient Sanction
Meskipun telah masuk ke dalam sistem peradilan pidana, tidak banyak pelaku
WCC yang mendapatkan hukuman setimpal. Hanya sedikit pelaku yang dipenjara,
lebih banyak pelaku yang dijatuhi hukuman denda. Pelaku kejahatan ini yang dengan
kredibilitasnya mengklaim bahwa mereka tidak bermaksud merugikan siapapun dan
tidak bertanggung jawab secara langsung, seringkali dilihat oleh masyarakat sebagai
“not really criminal” atau bukan penjahat yang sebenar-benarnya penjahat. Ketiadaan
89
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
7. Ambiguous Laws
Kompleksitas kejahatan WCC mengakibatkan sulitnya untuk menangkap
pelaku yang paling bertanggung jawab atas tindakan itu. Kesulitan juga terjadi ketika
menentukan secara pasti peraturan mana yang dilanggar dengan banyaknya celah
hukum yang dapat diberdayakan. Dalam konteks korupsi pengadaan barang/jasa,
tersamarnya pertanggungjawaban tindakan juga menyulitkan untuk
mendeterminasikan siapa yang secara hukum bertanggung jawab dan dapat diproses
secara pidana. Masalah ini juga mengarahkan pada perdebatan apakah sebuah
korporasi atau badang dapat dinyatakan bersalah atas sebuah tindak kejahatan WCC.
90
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Berkaitan dengan korupsi dalam pengadaan barang dan jasa dari perspektif
hukum pidana, maka bagian yang menarik untuk dibahas yakni bentuk kesalahan dan
pertanggung jawaban pidana pihak-pihak yang terkait dengan proses pengadaan
barang dan jasa ketika terjadi kerugian keuangan negara dalam suatu kegiatan
pengadaan barang/jasa pemerintah.
Keterangan:
C = corruption
M = monopoly power
D = discretion by official; dan
A = accountability
Dari rumus tersebut maka terlihat peluang korupsi muncul karena adanya monopoli
kekuasaan yang didukung oleh adanya kewenangan untuk mengambil keputusan
namun tidak ada pertanggung jawaban.
91
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
132
Muhammad Jasin, et.al., Memahami untuk Melayani Melaksanakan e-Announcement dan
eProcurement dalam Sistem Pengadaan Barang dan Jasa, Komisi Pemberantasan korupsi (KPK),
Jakarta: ………, tahun ?
92
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
93
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
133
Bagian ini disarikan dari Modul Hukum Pidana bagi Kejaksaan Agung RI yang disusun oleh
Tim FHUI Tahun 2009.
94
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
95
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
b. Kesalahan
1. Pengertian Kesalahan
Dipidananya seseorang tidaklah cukup dengan membuktikan bahwa orang itu
telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan
hukum. Jadi meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam Undang-undang
dan tidak dibenarkan (an objective breach of a penal provision), namun hal tersebut
belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk dapat
dipertanggungjawabkannya orang tersebut, masih perlu adanya syarat, bahwa orang
yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt).
Dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat dipertanggung-jawabkan atas
perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya harus dapat
dipertanggungkan kepada orang tersebut. Dalam hal ini berlaku asas ”TIADA
PIDANA TANPA KESALAHAN” (Keine Strafe ohne Schuld atau Geen straf zonder
schuld atau Nulla Poena Sine Culpa (”culpa” disini dalam arti luas, meliputi juga
kesengajaan)).
96
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Asas ini tidak tercantum dalam K.U.H.P. Indonesia atau dalam peraturan lain,
namun berlakunya asas tersebut sekarang tidak diragukan. Akan bertentangan dengan
rasa keadilan, apabila ada orang yang dijatuhi pidana padahal ia sama sekali tidak
bersalah, Pasal 6 ayat 2 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman (UU. No. 14/1970)
berbunyi : Tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila Pengadilan,
karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-undang, mendapat keyakinan,
bahwa seorang yang dianggap dapat bertanggung-jawab, telah bersalah atas perbuatan
yang dituduhkan atas dirinya. Bahwa unsur kesalahan itu, sangat menentukan akibat
dari perbuatan seseorang, dapat dikenal juga dari pepatah (Jawa) ”sing salah, seleh”
(yang bersalah pasti kalah). Untuk adanya pemidanaan harus ada kesalahan pada
sipelaku. Asas ”tiada pidana tanpa kesalahan” yang telah disebutkan di atas
mempunyai sejarahnya sendiri.
2. Dasar Pemikiran
Filosofi dasar yang mempersoalkan kesalahan sebagai unsur yang menjadi
persyaratan untuk dapat dipertanggungjawabkannya pelaku berpangkal pada
pemikiran tentang hubungan antara perbuatan dengan kebebasan kehendak. Mengenai
hubungan antara kebebasan kehendak dengan ada atau tidak adanya kesalahan ada 3
(tiga) pendapat dari:
a. Aliran klasik yang melahirkan pandangan indeterminisme, yang pada dasarnya
berpendapat, bahwa manusia mempunyai kehendak bebas (free will) dan ini
merupakan sebab dan segala keputusan kehendak.Tanpa ada kebebasan kehendak
maka tidak ada kesalahan dan apabila tidak ada kesalahan, maka tidak ada
pencelaan, sebingga tidak ada pemidanaan.
b. Aliran positivist yang melahirkan pandangan determinisme mengatakan, bahwa
manusia tidak mempunyai kehendak bebas. Ini berarti bahwa seseorang, tidak
dapat dicela atas perbuatannya atau dinyatakan mempunyai kesalahan, sebab ia
tidak punya kehendak bebas. Namun meskipun diakui bahwa tidak punya
kehendak bebas, itu tak berarti bahwa orang yang melakukan tindak pidana tidak
dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Justru karena tidak adanya
kebebasan kehendak itu maka ada pertanggungan-jawab dari seseorang atas
perbuatannya. Tetapi reaksi terhadap perbuatan yang dilakukan itu berupa
97
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
98
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
berupa menghendaki perbuatan (beserta aktbatnya) dan pada kealpaan tidak ada
kehendak demikian. Jadi di sini hanya digambarkan (deskriptif) keadaan batin
berupa kehendak terhadap perbuatan atan akibat perbuatan.
99
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Kalau ketiga-tiga unsur ada maka orang yang bersangkutan bisa dinyatakan
bersalah atau mempunyai pertanggungan jawab pidana, sehingga bisa di pidana.
Dalam pada itu harus diingat bahwa untuk adanya kesalahan dalam arti
seluas-luasnya (= pertanggungan-jawab pidana), orang yang bersangkutan
harus pula dibuktikan terlebih dahulu bahwa perbuatannya bersifat melawan
hukum. Kalau ini tidak ada, artinya, kalau perbuatannya tidak melawan hukum,
maka tidak ada perlunya untuk menerapkan kesalahan sipelaku. Sebaliknya,
seseorang yang melakukan perbuatan yang melawan hukum tidak dengan sendirinya
mempunyai kesalahan, artinya tidak dengan sendirinya dapat dicela atas perbuatan
itu. Itulah sebabnya, maka kita harus senantiasa menyadari akan dua pasangan dalam
syarat- syarat pemidanaan, ialah adanya:
1. dapat dipidananya perbuatan (strafbaarheid van het feit)
2. dapat dipidananya orangnya atau pelakunya (strafbaarheid van de persoon).
Apakah yang diartikan dengan sengaja ? K.U.H.P. kita tidak memberi definisi.
Petunjuk untuk dapat mengetahui arti kesengajaan, dapat diambil dari M.v.T.
100
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Teori-teori kesengajaan
Berhubung dengan keadaan batin orang yang berbuat dengan sengaja, yang
berisi menghendaki dan mengetahui itu, maka dalam ilmu pengetahuan hukum pidana
dapat disebut 2 teori sebagai berikut:
a. Teori kehendak (wilstheorie)
Inti kesengajaan adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam
rumusan undang-undang, (Simons ,Zevenbergen)
b. Teori pengetahuan atau membayangkan (voorstellings-theorie).
Sengaja berarti membayangkan akan timbulnya akibat perbuatannya; orang tak
bisa menghendaki akibat, melainkan hanya dapat membayangkannya. Teori ini
menitik beratkan pada apa yang diketahui atau dibayangkan oleh sipelaku ialah
apa yang akan terjadi pada waktu ia berbuat.(Frank).
Terhadap perbuatan yang dilakukan si pelaku kedua teori itu tak ada
perbedaan, kedua-duanya mengakui bahwa dalam kesengajaan harus ada kehendak
untuk berbuat. Dalam praktek penggunaannya, kedua teori adalah sama.
Perbedaannya adalah dalam istilahnya saja.
Bentuk Kesengajaan
Dalam hal seseorang melakukan sesuatu dengan sengaja dapat dibedakan 3
(tiga) bentuk sikap batin, yang menunjukkan tingkatan atau bentuk dari kesengajaan
sebagai berikut:
a. Kesengajaan.sebagai maksud (opzet als oogmerk) untuk mencapai suatu tujuan
(yang dekat); dolus directus.
101
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Dalam KUHP kita tidak ada ketentuan tentang makna kesengajaan. Rumusan
delik dalam undang-undang ada yang memuat unsur kesengajaan dengan tegas-tegas
dan memakai perkataan “dengan sengaja” atau istilah lain (sedang ia mengetahui,
dengan tujuan/maksud, dsb) dan ada pula yang tidak mencantumkannya dengan tegas-
tegas, namun dari perkataan-perkataan yang digunakan itu dapat ditarik-kesimpulan
keharusan adanya kesengajaan pada si-pelaku.
Kenyataannya ialah bahwa KUHP. yang ada sekarang adalah terjemahan dari W.v.S.,
oleh karena itu pedoman yang diberikan oleh M.v.T. tidak bisa diabaikan begitu saja.
Dalam hal ini bisa dipakai pedoman yang sama seperti pada perkataan ”sengaja”. Jadi
perkataan tersebut meliputi unsur-unsur yang terletak dibelakangnya.
b) Kealpaan (Culpa)
Di samping sikap batin berupa kesengajaan ada pula sikap batin yang berupa
kealpaan. Hal ini terdapat dapat beberapa delik. Akibat ini timbul karena ia alpa, ia
sembrono, teledor, ia berbuat kurang hati-hati atau kurang penduga-duga. Dalam buku
ke II K.U.H.P. terdapat beberapa Pasal yang memuat unsur kealpaan. Ini adalah delik-
delik culpa (culpose dellicten). Delik-delik itu dimuat antara lain dalam Pasal: 188,
231 ayat (4), 359, 360, dan 409.
Perkataan culpa dalam arti luas berarti kesalahan pada umumnya, sedang
dalam arti sempit adalah bentuk kesalahan yang berupa kealpaan. Suatu keadaan,
yang sedemikian membahayakan keamanan orang atau barang, atau mendatangkan
kerugian terhadap seseorang yang sedemikian besarnya dan tidak dapat diperbaiki
lagi, sehingga Undang-undang juga bertindak terhadap larangan penghati-hati, sikap
102
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
134
Disarikan dari materi kuliah Hukum Pidana, FHUI.
103
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Secara singkat dapat dijelaskan bahwa golongan peserta dalam tindak pidana
menurut KUHP terdiri dari:
a. Pembuat/dader (ps. 55), dipidana sebagai pelaku :
1. Yang melakukan/pelaku (pleger)
2. Yang menyuruh lakukan (doen pleger)
3. Yang turut serta (medepleger)
4. Yang mengganjurkan/ penggerak pembujuk/pemancing (uitlokker)
b. Pembantu/medeplichtige (ps. 56 dan 57) :
1. Pembantu pada saat kejahatan dilakukan
2. Pembantu sebelum kejahatan dilakukan.
104
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
2. Turut melakukan. Dalam turut melakukan kondisi yang mungkin terjadi adalah:
Beberapa orang melakukan tindak pidana bersama-sama, semua dari mereka yang
terlibat yang tidak memenuhi unsur sama sekali; atau semua hanya memenuhi
sebagian unsur saja;
Dalam turut melakukan terdapat syarat adanya:
1) Kerjasama secara sadar, tidak perlu ada kesepakatan tp hrs ada kesengajaan
utk: bekerja sama dan mencapai tujuan yg sama berupa terjadinya suatu tindak
pidana;
2) Kerjasama secara fisik, ada pelaksanaan bersama, perbuatan pelaksanaan
perbuatan yg langsung menyebabkan selesainya suatu delik.
105
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Ada kesengajaan utk menggerakkan org lain melakukan tindak pidana; dengan
upaya-upaya yang diatur secara limitatif dalam Ps. 55 ayat (1) butir 2 KUHP
berupa: pemberian, perjanjian, salah memakai kekuasaan, pengaruh, kekerasan,
ancaman kekerasan atau tipu daya atau dengan memberi kesempatan, daya upaya
atau keterangan. Ada yang tergerak untuk melakukan tindak pidana dengan
upaya-upaya di atas; yangg digerakkan dapat dipertanggung jawabkan menurut
Hukum Pidana; yang menggerakkan bertanggung jawab terhadap akibat yg
timbul. Adapun tanggung jawab penggerak adalah sebatas perbuatan yang
digerakkan beserta akibat-akibatnya. Pemidanaan terhadap Penggerak (Uitlokker)
adalah diancam pidana yang sama dengan pelaku langsung (yang
digerakkan/uitgelokte), pada: penggerakan yang berhasil (geslaagde uitlokking)
dan penggerakan yang sampai pada taraf percobaan yang dapat dipidana
(uitlokking bij poging).
Selain itu terdapat pula ketentuan Pasal 163 bis KUHP yang mencakup tentang
penggerakan yang gagal (mislukte uitlokking/ poging tot uitlokking = mencoba
menggerakkan) dan penggerakan tanpa akibat (zonder gevolg gebleven
uitlokking), yang mana pemidanaan terhadap penggerak adalah maksimal 6 tahun
penjara atau denda Rp. 4500,- tetapi tidak boleh lebih berat daripada: pidana
untuk percobaan TP (kalau percobaannya dapat dipidana) dan pidana karena
melakukan tindak pidana dan dalam hal percobaan melakukan tindak pidana
(yaitu kejahatan) tidak dapat dipidana. Dalam hal penggerakan maka tanggung
jawab penggerak hanya sebatas perbuatan yang dengan sengaja digerakkan oleh
penggerak, beserta dengan akibatnya.
106
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Pasal 56 dan Pasal 60 KUHP) dengan ancaman pidana maksimal bagi seorang
pembantu: pidana bagi pelaku kejahatan dikurangi 1/3-nya. Pertanggung jawaban
pembantua hanya terbatas pada perbuatan yang dengan sengaja dimudahkan oleh
pembantu; beserta dengan akibatnya.
Selain itu subyek yang dimintai pertanggung jawaban pidana selain individu
juga ada yang berkedudukan sebagai direktur utama suatu Perseroan Terbatas. 136
Sehingga sering diperbincangkan apakah perbuatan terdakwa menjadi tanggung
jawab pribadi atau tanggung jawabnya sebagai atasan dari suatu perusahaan. Dalam
kasus ini terdakwa bertanggung jawab secara pribadi dengan dijatuhi pidana penjara
dan dikenai hukuman untuk membayar uang pengganti dengan jumlah tertentu.
Dalam kajian hukum pidana terkait dengan topik penelitian ini maka bentuk
penyertaan yang muncul dalam kasus-kasus adalah turut serta melakukan tindak
pidana karena para pihak biasanya melakukan perbuatan tersebut dengan kerja sama
baik yang dilakukan secara sadar dan secara fisik.
135
Adrian Sutedi, Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa dan Berbagai Permasalannya,
Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2008, hal. 222. Persengkongkolan tender didefinisikan sebagai kerja
sama antar dua pihak atau lebih, secara terang-terangan atau diam-diam melalui tindakan penyesuaian
dan/atau pembandingan dokumen tender sebelum penyerahan dan/atau menciptakan persaingan semu
(rekayasa--!penulis) dan/atau menyetujui dan/atau memfasilitasi dan/atau tidak menolak melakukan
suatu tindakan meskipun mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa tindakan itu dilakukan untuk
mengatur dalam rangka memenangkan peserta tender tertentu.
136
Misalnya dalam Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat No.24/PID.B/TPK/2008/PN.JKT.PST tanggal 2 Pebruari 2009 dalamkasus tukar guling (ruislag)
asset pemda Lombok Barat dengan PT Varindo Lombok Inti an. Terdakwa Drs. Izzat Husein.
107
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
108
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
109
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Dalam kajian ini paparan tentang pidana dan pemidanaan menjadi bagian yang
tak kalah menarik mana kala membahas tentang korupsi dalam pengadaan barang/jasa
pemerintah. Karena akan diketahui justifikasi perumusan dan penjatuhan sanksi bagi
perbuatan tersebut.
Teori Pemidanaan
137
Herbert L. Packer, The Limits of The Criminal Sanction, California: Stanford University
Press, 1968, hal. 11-12
110
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
138
Djisman Samosir, Fungsi Pidana penjara dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia, Bandung:
Binacipta, Cetakan pertama, 1994, hal. 27
139
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penangulangan Kejahatan dengan Pidana
Penjara, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Edisi Ke-dua Cetakan Ke-dua, 1994,
tanpa halaman, catatan kaki no 48.
111
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
140
Ibid.
141
Antony Duff dan David Garland, A Reader on Punishment, Oxford: Oxford University Press,
1994, hal. 6-dst.
142
Harkristuti Harkrisnowo, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan terhadap
Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia (Pidato Orasi pada Upacara Pengukuhan Guru Besar
Tetap dalam Hukum Pidana FHUI), Depok, 8 Maret 2003, hal. 11-12.
112
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
yang berpendapat bahwa pidana merupakan penderitaan yang harus diberikan kepada
pelaku kejahatan (backward looking), namun demikian proporsionalitas
(keseimbangan dalam penjatuhan hukuman) tetap diperhatikan oleh penganut non-
konsekuensialis.143
143
Ibid.
144
Perpres No. 54 Tahun 2010 Pasal 118:
(1) Perbuatan atau tindakan Penyedia Barang/Jasa yang dapat dikenakan sanksi adalah:
a. berusaha mempengaruhi ULP/Pejabat Pengadaan/pihak lain yang berwenang dalam bentuk
dan cara apapun, baik langsung maupun tidak langsung guna memenuhi, keinginannya yang
bertentangan dengan ketentuan dan prosedur yang telah ditetapkan dalam Dokumen
Pengadaan/Kontrak, dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. melakukan persekongkolan dengan Penyedia Barang/Jasa lain untuk mengatur Harga
Penawaran diluar prosedur pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa, sehingga
mengurangi/menghambat/memperkecil dan/ atau meniadakan persaingan yang sehat dan/atau
merugikan orang lain;
c. membuat dan/atau menyampaikan dokumen dan/atau keterangan lain yang tidak benar untuk
memenuhi persyaratan Pengadaan Barang/Jasa yang ditentukan dalam Dokumen Pengadaan;
d. mengundurkan diri dari pelaksanaan Kontrak dengan alasan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan dan/atau tidak dapat diterima oleh ULP/Pejabat Pengadaan;
e. tidak dapat menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan Kontrak secara bertanggung jawab;
dan/atau
f. berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (3), ditemukan
adanya ketidaksesuaian dalam penggunaan Barang/Jasa produksi dalam negeri.
(2) Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi berupa:
a. sanksi administratif;
b. sanksi pencantuman dalam Daftar Hitam;
c. gugatan secara perdata; dan/atau
d. pelaporan secara pidana kepada pihak berwenang.
(3) Pemberian sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dilakukan oleh
PPK/ULP/Pejabat Pengadaan sesuai dengan ketentuan.
(4) Pemberian sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dilakukan oleh PA/KPA
setelah mendapat masukan dari PPK/ ULP/Pejabat Pengadaan sesuai dengan ketentuan.
113
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
ini maka ada perbuatan-perbuatan yang dapat diproses secara pidana, yakni apabila
Penyedia Barang dan Jasa :
1. berusaha mempengaruhi ULP/Pejabat Pengadaan/pihak lain yang berwenang
dalam bentuk dan cara apapun, baik langsung maupun tidak langsung guna
memenuhi, keinginannya yang bertentangan dengan ketentuan dan prosedur yang
telah ditetapkan dalam Dokumen Pengadaan/Kontrak, dan/atau ketentuan
peraturan perundang-undangan atau
2. melakukan persekongkolan dengan Penyedia Barang/Jasa lain untuk mengatur
Harga Penawaran diluar prosedur pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa, sehingga
mengurangi/menghambat/memperkecil dan/atau meniadakan persaingan yang
sehat dan/atau merugikan orang lain
3. atau membuat dan/atau menyampaikan dokumen dan/atau keterangan lain yang
tidak benar untuk memenuhi persyaratan Pengadaan Barang/Jasa yang ditentukan
dalam Dokumen Pengadaan atau
4. mengundurkan diri dari pelaksanaan Kontrak dengan alasan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan dan/atau tidak dapat diterima oleh ULP/Pejabat
Pengadaan atau
5. tidak dapat menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan Kontrak secara bertanggung
jawab; dan/atau berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 99 ayat (3), ditemukan adanya ketidaksesuaian dalam penggunaan
Barang/Jasa produksi dalam negeri.
Dalam hal ini untuk perbuatan di atas, maka khusus untuk pemberian sanksi
administrasi dilakukan oleh PPK/ULP/Pejabat Pengadaan sesuai dengan ketentuan.
Sedangkan pemberian sanksi berupa pencantuman dalam daftar hitam dilakukan oleh
PA/KPA setelah mendapat masukan dari PPK/ULP/Pejabat Pengadaan sesuai dengan
ketentuan. Adapun tindakan berupa gugatan secara perdata dan/atau pelaporan secara
pidana, dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Rumusan ini sesuai
dengan isi Pasal 118 Ayat (5) Perpres No. 54 Tahun 2010. Terhadap perbuatan yang
dirumuskan dalam Pasal 118, jika dilaporkan secara pidana kepada yang berwajib dan
apabila kemudian direspon oleh instansi penegak hukum maka selanjutnya dapat
diproses melalui sistem peradilan pidana. Terkait dengan ULP, sesuai Pasal 123 yang
114
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
mana dalam hal terjadi kecurangan dalam pengumuman Pengadaan, sanksi diberikan
kepada anggota ULP/Pejabat Pengadaan sesuai peraturan perundang-undangan.
145
Adapun rincian perbuatan beserta sanksinya adalah sebagai berikut:
Pasal 120 ketentuan ini memungkinkan penjatuhan denda keterlambatan jika Penyedia
Barang/Jasa terlambat menyelesaikan pekerjaannya dalam jangka waktu yang telah disepakati dalam
kontrak.
Pasal 121: Konsultan perencana yang tidak cermat dan mengakibatkan kerugian negara,
dikenakan sanksi berupa keharusan menyusun kembali perencanaan dengan beban biaya dari konsultan
yang bersangkutan, dan/atau tuntutan ganti rugi. Pasal 122: PPK yang melakukan cidera janji terhadap
ketentuan yang termuat dalam Kontrak, dapat dimintakan ganti rugi dengan ketentuan sebagai berikut:
a. besarnya ganti rugi yang dibayar oleh PPK atas keterlambatan pembayaran adalah sebesar bunga
terhadap nilai tagihan yang terlambat dibayar, berdasarkan tingkat suku bunga yang berlaku pada saat
itu menurut ketetapan Bank Indonesia; atau b. dapat diberikan kompensasi sesuai ketentuan dalam
Kontrak. Pasal 123: Dalam hal terjadi kecurangan dalam pengumuman Pengadaan, sanksi diberikan
kepada anggota ULP/Pejabat Pengadaan sesuai peraturan perundang-undangan. Pasal 124: (1) K/L/D/I
dapat membuat Daftar Hitam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (2) huruf b, yang memuat
identitas Penyedia Barang/Jasa yang dikenakan sanksi oleh K/L/D/I. (2) Daftar Hitam sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), memuat daftar Penyedia Barang/Jasa yang dilarang mengikuti Pengadaan
Barang/Jasa pada K/L/D/I yang bersangkutan. (3) K/L/D/I menyerahkan Daftar Hitam kepada LKPP
untuk dimasukkan dalam Daftar Hitam Nasional.
(4) Daftar Hitam Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dimutakhirkan setiap saat dan
dimuat dalam Portal Pengadaan Nasional.
115
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Berdasarkan rumusan sanksi yang terdapat dalam Perpres ini maka tampaknya
perumus ketentuan menganut teori konsekuensialis, yang menganggap suatu
pemidanaan merupakan akibat perilaku yang menimbulkan kerugian, dan sudah
selayaknya pelaku dikenakan suatu kerugian berupa penjatuhan sanksi pidana. Dalam
pandangan ini, pencegahan kejahatan yang terjadi di masa yang akan datang
merupakan tujuan utama pemidanaan. Dan dengan sanksi-sanksi yang dirumuskan, di
mana pelaporan secara pidana menjadi jalan akhir tampak bahwa pembentuk aturan
berpandangan bahwa pidana itu dapat membawa kebaikan karena dapat mencegah
kejadian yang lebih buruk serta berpikir bahwa tidak ada alternatif lain yang setara
baiknya dalam penanggulangan penyimpangan ini.
BAB IV
A. Pendahuluan
Pengadaan barang dan jasa, terutama pengadaan barang dan jasa Pemerintah
merupakan proses yang sangat penting mengingat hal tersebut akan menyangkut
kepentingan dari banyak pihak, terutama masyarakat luas. Namun sayangnya, sektor
pengadan barang dan jasa ini merupakan salah satu sektor yang sangat rentan
terhadap berbagai penyimpangan sehingga menjadi lahan-lahan subur terjadinya
praktik-praktik korupsi.146 Salah satu bentuk penyelewengan dalam pengadaan barang
146
Dalam hal ini Pemerintah Daerah menjadi pasar yang sangat menggiurkan bagi penyedia
barang dan jasa. Hal ini terutama disebabkan oleh keuangangan yang mengalir ke daerah-daerah.
Berdasarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato penyampaian keterangan pemerintah
atas Rancangan Undang-Undang tentang APBNP 2011 beserta nota keuangannya aliran Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (APBN) ke daerah secara keseluruhan saat ini mencapai lebih dari 60
116
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
dan jasa adalah praktik penunjukkan langsung dan merekayasa Harga Perkiraan
Sendiri (HPS). Akibatnya timbul penggelembungan harga (M A R K U P ), yang disusul
dengan adanya aliran dana dari penyedia barang/jasa kepada pengguna
barang/jasa seperti aparat pemerintah daerah dan pejabat kementerian.
Ada ada sejumlah metode untuk pengadaan barang dan jasa menurut Peraturan
Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yakni
metode lelang, metode pemilihan langsung, metode penunjukan langsung, metode
swakelola dan metode seleksi dengan persaingan. Metode tersebut kemudian
bertambah dengan adanya sistem pengadaan barang dan jasa dengan sistem layanan
pengadaan barang/jasa pemerintah secara elektronik (untuk selanjutnya disebut
147
“LPSE”). Dasar keberlakuan sistem tersebut kemudian diperkuat di dalam
Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Keputusan
Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah, yang sebagaimana telah diganti dengan peraturan presiden
Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
persen dari total belanja APBN. Tentu ini jumlah yang sangat besar. Dengan demikian, dalam proses
pengadaan barang dan jasa rawan terjadinya penyimpangan.
147
Hal ini sesuai dengan ketentuan di dalam Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003
tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, di dalam Bab II huruf A, Lampiran
I mengenai Pelelangan Umum, disebutkan bahwa dalam hal Pengumuman dan Pendaftaran Peserta,
Panitia/pejabat pengadaan harus mengumumkan secara luas tentang adanya pelelangan umum dengan
pascakualifikasi atau adanya prakualifikasi dalam rangka pelelangan umum untuk pengadaan yang
kompleks, Melalui media cetak, papan pengumuman resmi untuk penerangan umum serta bila
memungkinkan melalui media elektronik. Selain itu, pengumuman pengadaan barang/jasa melalui
media cetak dan papan pengumuman resmi untuk penerangan umum, dan jika memungkinkan melalui
media elektronik, yang sebagaimana telah diganti dengan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
117
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Kerugian Negara yang cukup besar akibat banyaknya praktik korupsi dalam
kegiatan pengadaan harus ditekan seminimal mungkin. upaya pencegahan terjadinya
praktik korupsi dalam pengadaan barang/jasa dapat dilakukan antara lain dengan
mendorong pengawasan oleh berbagai pihak, baik masyarakat secara umum dan
vendor (pengawasan eksternal), maupun Pemerintah sendiri (pengawasan internal).
Masyarakat bisa melapor atau mengadukan bila ada penyimpangan dalam pengadaan
barang dan jasa dengan disertai dokumen pendukung. Pengaduan bisa dilakukan ke
KPK, Kepolisian setempat, Kejaksaan dan LKPP. Tak hanya itu masyarakat juga bisa
ikut mengawasi yang dapat dimulai dari tahap penyusunan pelaksanaan kontrak,
kontraktor dan hasilnya. Dalam hal ini masyarakat memiliki hak untuk anggaran,
pengumuman transparansi meminta data-data publik terkait pengadaan barang dan
jasa di setiap instansi yang sebagian besar bisa diakses dan itu diatur dalam UU
Keterbukaan Informasi Publik.
118
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
1. e-Tendering
148
Dalam Pasal 1 angka 37 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang/Jasa pemerintah, diatur bahwa Pengadaan secara elektronik atau E-ProcurementE-
ProcurementE-ProcurementE-ProcurementE-ProcurementE-Procurement adalah Pengadaan
Barang/Jasa yang dilaksanakan dengan menggunakan teknologi informasi dan transaksi elektronik
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
149
Pasal 1 angka 39 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa
pemerintah.
150
Pasal 1 angka 41, Ibid.
151
Dengan diterapkannya E-ProcurementE-ProcurementE-ProcurementE-ProcurementE-
ProcurementE-Procurement atau pengadaan barang/jasa secara elektronik, pengeluaran Negara dalam
hal pengadaan barang/jasa diprediksi dapat ditekan hingga Rp 40 triliun pertahunnya. Lihat Situs
Tempo, 2007.
119
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
2. e-Purchasing
120
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
121
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
korupsu, kolusi, dan nepotiem. Tanpa adanya praktik pengaturan pemenang dan
manipulasi dokumen. E-Procurement juga memberian rasa aman dan nyaman bagi
peserta dan panitia dalam melaksanakan pengadaan barang/jasa. Rasa aman karena
proses pengadaan mengikuti ketentuan yang diatur secara elektronik dengan
mengedepankan transparansi dan akuntabilitas sehingga pemenang adalah penyedia
barang/jasa yang telah mengikuti kompetisi dengan adil dan terbuka.
2. Informasi dan transaksi (di Amerika Latin, antara lain Mexico, Brasil, Chili; di
Filipina, pemerintah menjalankan e-procurement dengan sistem GEPS);
122
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
C. E-Procurement di Filipina
Sebagai Negara anti-korupsi dan bagian dari agenda menuju tata kelola
pemerintahan yang baik, pemerintah Filipina telah mengeluarkan regulasi di bidang
pengadaan barang/jasa yang dinamakan Government Procurement Reform Act
(Republic Act 9184) pada bulan Januari 2003. Tadinya, Filipina memiliki lebih dari
100 produk hokum terkait dengan pengadaan barang/jasa pemerintah. Produk-produk
hukum yang sangat terfragmentasi tersebut kemudian dikonsolidasikan dalam
Government Procurement Reform Act yang menjadi dasar bagi modernisasi,
standardisasi, dan regulasi aktivitas pengadaan barang/jasa pemerintah.
123
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Informasi tentang siapa yang menjadi pemenang , alas an pemenang, dan nilai kontrak
dapat diakses melalui system. Dengan Philippine Government Electronic
Procurement System (PhilGEPS) ini, penyedia barang/jasa tidak perlu lagi
mengunjungi kantor lembaga pemerintah untuk melihat pengumuman pengadaan
barang/jasa pemerinah. Jadi. terlihat jelas bahwa pengadaan barang/jasa di Filipina
dialkukan dengan memanfaatkan infrastruktur jaringan telekomunikasi & informatika
serta sistem infomasi elektronik.
Sistem ini juga dinilai dapat menjadikan kinerja pemerintah lebih transparan
dan kompetitif. Sebelumnya, sistem ini hanya digunakan oleh lembaga pemerintah
skala nasional seperti kementerian. Ke depannya, seluruh lembaga pemerintahan
Filipina termasuk kepolisian, militer, badan usaha milik negara, lembaga keuangan
pemerintah, universitas negeri, dan unit kerja pemerintah lokal ditargetkan dapat
menggunakan sistem elektronik ini.
124
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
kelemahan yang dapat terjadi adalah ketika ada aplikasi yang salah sehingga
menyebabkan sistem tidak dapat digunakan secara efektif dan efisien.
Tulisan berikut ini akan mencoba untuk mengkaji lebih mendalam mengenai
kelemahan yang terdapat di dalam proses e-procurement sekaligus potensi
pelanggaran yang mungkin dapat terjadi dalam proses tersebut.
Berbagai penyimpangan yang terjadi pada sektor pengadaan barang dan jasa
akan sangat terkait dengan motivasi atau tujuan dari para pelaku itu sendiri. Terdapat
beberapa modus operasi penyimpangan yang terjadi dalam proses pengadaan barang
dan jasa. Salah satunya adalah dengan cara penyuapan dan pemerasan dalam proses
pengadaan barang dan jasa, yang dilakukan untuk mendapatkan beberapa tujuan.
Dalam hal ini, ada beberapa modus korupsi dalam proyek pengadaan itu.
Kebanyakan berupa penggelembungan biaya, penyusutan biaya, suap, penggelapan,
dan proyek fiktif. Korupsi terjadi akibat persekongkolan penguasa dan pengusaha
yang terjadi sejak proyek masih dalam perencanaan. Bertolak dari realita yang
demikian, maka sudah sepantasnya pemberantasan korupsi di sektor pengadaan
barang dan jasa harusmendapat perhatian serius dari seluruh komponen bangsa.
125
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Khusus yang terkait dengan proses pengadaan barang dan jasa yang dilakukan
dengan melalui perangkat elektronik atau e-procurement, terdapat
a. Confidentiality
Confidentiality merupakan aspek yang menjamin kerahasiaan data atau informasi.
Sistem yang digunakan untuk mengimplementasikan e-procurement harus dapat
menjamin kerahasiaan data yang dikirim, diterima dan disimpan. Bocornya informasi
dapat berakibat batalnya proses pengadaan.
152
Pembahasan tentang hal ini secara lengkap dapat dilihat dari buku Budi Rahardjo, “Keamanan
Sistem Informasi Berbasis Internet,” (INDO CISC) yang dapat diperoleh secara gratis dari
http://budi.insan.co.id/books/handbook.pdf atau jika berada pada jaringan ITB dapat diperoleh dari
http://budi.paume.itb.ac.id/books/handbook.pdf.
126
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
b. Integrity
Integrity merupakan aspek yang menjamin bahwa data tidak boleh berubah
tanpa ijin pihak yang berwenang (authorized). Untuk aplikasi e-procurement, aspek
integrity ini sangat penting. Data yang telah dikirimkan tidak dapat diubah oleh pihak
yang berwenang. Pelanggaran terhadap hal ini akan berakibat tidak berfungsinya
sistem e-procurement. Secara teknis ada banyak cara untuk menjamin aspek integrity
ini, seperi misalnya dengan menggunakan messange authentication code, hash
function, digital signature.
c. Availability
Availability merupakan aspek yang menjamin bahwa data tersedia ketika
dibutuhkan. Dapat dibayangkan efek yang terjadi ketika proses penawaran sedang
dilangsungkan ternyata sistem tidak dapat diakses sehingga penawaran tidak dapat
diterima. Ada kemungkinan pihak-pihak yang dirugikan karena tidak dapat
mengirimkan penawaran, misalnya.
Hilangnya layanan dapat disebabkan oleh berbagai hal, mulai dari benca alam
(kebakaran, banjir, gempa bumi), ke kesalahan sistem (server rusak, disk rusak,
jaringan putus), sampai ke upaya pengrusakan yang dilakukan secara sadar (attack).
Pengamanan terhadap ancaman ini dapat dilakukan dengan menggunakan sistem
backup dan menyediakan disaster recovery center (DRC) yang dilengkapi dengan
panduan untuk melakukan pemulihan (disaster recovery plan).
d. Non-repudiation
Non-repudiation merupakan aspek yang sangat penting dalam transaksi
elektronik. Aspek ini seringkali dilupakan. Aspek non-repudiation menjamin bahwa
pelaku transaksi tidak dapat mengelak atau menyangkal telah melakukan transaksi.
127
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
153
Budi Rahardjo, “E-Procurement Security,” (Makalah pada seminar “Sosialisasi Keppres No.
61/2004 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah secara elektronik dan aplikasi perpajakannya,”
Sahid Jaya Hotel, Jakarta, 20 April 2005).
128
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
154
Greg Hoglund dan Gary McGraw, “Exploiting Software: How To Break Code,” Addison
Wesley, 2004.
129
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Memang harus diakui bahwa tidak ada sebuah sistem yang aman seratus
persen. Hal yang dapat kita lakukan adalah memperkecil kemungkinan terjadinya
masalah yang terkait dengan kemananan dan memperkecil dampak yang terjadi jika
masalah itu terjadi. Penerapan e-procurement masih pada tahap awal. Untuk itu
diharapkan pengguna dan penyedia layaran e-procurement berhati-hati dalam
penerapannya.
130
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
BAB V
131
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Dalam tahapan ini, pola penyimpangan yang dapat terjadi antara lain:
Dalam tahap pengadaan ini, terdapat tipologi/modus korupsi yang dapat terjadi,
yakni:
132
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
5) Panitia tidak transparan, yakni Panitia bekerja tertutup dan tidak memberi
layanan/penilaian sama di antara para peserta lelang. Pada umumnya hal
seperti ini terjadi karena adanya unsur suap atau sogok, dari pihak pengusaha
ingin memenangkan tender, atau tekanan dan pengaruh pihak atasan langsung
mereka yang berniat unjuk melakukan KKN.
133
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Kasus yang lainnya adalah korupsi pengadaan alat-alat kesehatan atas nama
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok Barat dr. HL Sekarningrat. Pengadilan
Negeri Mataram dalam putusan No. 274/PID.B/2004/PN.MTR tanggal 17 Pebruari
2005 memutusakan bahwa terdakwa terbukti melakukan tindak pidana korupsi
dengan menerima sejumlah fee proyek dari rekanan dengan janji atau hadiah yang
berhubungan dengan jabatannyaPidana penjara 5 bulan dan denda 10 juta Rupiah
subsider bulan kurungan.
134
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Guna menanggulangi masalah ini maka rencana pengadaan harus dikaji ulang
melalui program pengawasan yang ketat dan pengawasan masyarakat yang
berdasarkan UU. Perlu juga dilakukan pengkajian ulang atas spesifikasi teknis, jika
mengarah para produk tertentu maka dokumen harus dibatalkan. Untuk itu kajian
ulang melalui program keterbukaan (disclosure) dengan pengawasan/partisipasi oleh
masyarakat sangat diperlukan.
Pola penyimpangan yang dapat terjadi dalam tahapan ini antara lain: 155
155
Dari Pakta Integritas Transparency International Indonesia
135
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
136
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
137
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
156
Transparency International Indonesia (Pakta Integritas)
138
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Tim peneliti belum menemukan kasus pengadaan yang secara spesifik terkait
dengan penyimpangan dalam tahapan prakualifikasi. Namun apabila melihat kasus
korupsi pengadaan kotak Suara Pemilu 2004 dengan terdakwa Mulyana W. Kusuma
(Terdakwa I) dan Richard Manusun Purba (Terdakwa II) dan Sihol P. Manullang
(berkas perkara terpisah), dapat dilihat penyimpangan yang terjadi dalam tahap
prakualifikasi. Peraturan pengadaan yang berlaku pada saat itu adalah Keputusan
Presiden Nomor 18 tahun 2000. Dalam kasus ini, Mulyana didakwa telah melakukan
rekayasa penentuan pemenang tender dalam pengadaan kotak suara Pemilu. Selain
itu terdapat pula penyuapan yang dilakukan terhadap auditor BPK.
Kedua terdakwa dalam kasus ini didakwa dengan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18
undang-undang No.31 tahun 1999 sebagaimana diperbaharui undang-undang No.20
tahun 2001 tentang pemberantasan korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke satu KUHPidana
untuk dakwaan primair. Sedangkan untuk dakwaan subsidair, kedua terdakwa dinilai
melanggar hukum sesuai Pasal 3 jo Pasal 18 undang-undang No.31 tahun 1999
sebagaimana diperbaharui undang-undang No.20 tahun 2001 tentang pemberantasan
korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke satu KUHPidana. Terdakwa dalam kasus ini dijatuhi
pidana penjara selama 3 tahun dan denda sebesar Rp 50 Juta subsidair pidana
kurungan selama 3 bulan.
Dalam kasus ini dapat dilihat bahwa salah satu penyimpangan dalam tahapan
139
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
140
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
141
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Pola penyimpangan yang dapat terjadi dalam tahapan ini antara lain sebagai
berikut:
1) Pengumuman lelang yang semu
2) Materi pengumuman yang membingungkan
3) Jangka waktu pengumuman yang terlalu singkat
4) Pengumuman lelang tidak lengkap
Tim peneliti belum menemukan kasus terkait penyimpangangan dalam tahapan ini.
142
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
157
Pakta integritas hal. 62.
143
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Penyimpangan yang terajadi dalam tahapan ini dapat dilihat contohnya dalam
pembangunan Puskesmas di salah satu kota. Pada tahun 2010, Dinas Kesehatan Kota
tersebut (selanjutnya disebut DKKX) dilaporkan ke Polresta setempat oleh sejumlah
asosiai kontraktor. Hal ini disebabkan oleh pungutan liar yang dipraktikkan oleh
DKKX ketika para kontraktor hendak mengambil dokumen lelang atas tender
pembangunan Puskesmas senilai satu miliar Rupiah. Dokumen lelang dijual sebesar
4,8 Juta Rupiah. DKKX juga disinyalir telah melakukan kolusi dengan rekanan
peserta lelang dengan cara menerima titipan dokumen penawaran di luar prosedur.
Pola penyimpangan yang dapat terjadi dalam tahap pengadaan ini antara lain
sebagai berikut:
144
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
3) Penentuan estimasi harga tidak sesuai aturan, yakni besarnya menyusun HPS
adalah panitia, namun dalam rangka kolusi, menyusun adalah “calon
pemenang”. Cara dan data serta metode mirip penawaran dari mitra kerja
dalam rangka kolusi (disamping panitia juga tidak berkemampuan menyusun
HPS sendiri).
145
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Contoh penyimpangan yang dapat terjadi dapat dilihat dalam kasus pengadaan
alat pendidikan dokter di di Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM
Kesehatan (BPPSDMK) pada Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tahun 2010, yang
mana Kejaksaan Agung telah menetapkan 3 tersangkanya. Dalam kasus ini diduga
telah terjadi rekayasa harga dalam tender pengadaan alat pendidikan dokter tersebut
Tersangka Widianto Aim berperan membuat penetapan Harga Perkiraan Sendiri
(HPS) yang tidak profesional terkait tender pengadaan alat pendidikan dokter rumah
sakit tersebut. Kemudian tersangka Syamsul Bahri sebagai Kasubag Program dan
Anggaran (PA) juga terkait dalam penetapan HPS dalam tender tersebut. Terakhir,
tersangka Bantu Marpaung sebagai pemenang tender terkait dalam penetapan HPS
tender tersebut.
Kasus yang lain adalah tindak pidana korupsi proyek fiktif dalam pelaksanaan
Proyek Indonesian Investment Year 2003 dan 2004 di Badan Koordinasi Penanaman
Modal (BKPM) dengan tersangka Theodorus F. Toemion (Mantan Kepala BKPM
Tahun 2001 - 2005).
Kemudian ada pula kasus lain dengan terdakwa Cornelis Kimha yang terbukti
menyalahgunakan kewenangan sebagai pengguna anggaran pada proyek pengadaan
baju Hansip di Pontianak. Terdakwa telah membiarkan kelalaian bawahan yang tidak
membuat harga perkiraan sendiri. Namun dirinya tetap membuat keputusan untuk
menetapkan pemenangan lelang, sehingga kelalaian tersebut menimbulkan kerugian
negara dan menjadi tindakan yang berupaya melawan hukum. Kendati demikian,
majelis hakim juga menyatakan sesuai fakta persidangan tidak terbukti jika terdakwa
melakukan perbuatan untuk memperkaya diri sendiri.
Pelanggaran yang didakwakan dalam kasus ini adalah menyalahgunakan
kewenangan sebagai pengguna anggaran pada proyek pengadaan baju Hansip, yakni
membiarkan kelalaian bawahan yang tidak membuat harga perkiraan sendiri. Untuk
pelanggaran ini, terdakwa terbukti bersalah dan dihukum satu tahun penjara dalam
perkara dugaan korupsi pengadaan baju Hansip. Majelis Hakim dalam amar
putusannya juga membebankan terdakwa denda Rp50 juta subsidair dua bulan
146
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Adapun pola Penyimpangan yang dapat terjadi dalam tahapan ini adalah
sebagai berikut: 158
a. Pre-Bid Meeting terbatas, yakni pembatasan informasi oleh panitia agar hanya
kelompok dekat saja memiliki informasi lengkap. Dalam penawaran, ada
cluster penawaran lengkap dan ada cluster penawaran tidak lengkap. Bila para
peserta tidak jeli melihat dokumen lelang dibagikan, mereka akan terjebak
dalam kerugian. Akibatnya, tidak ada transparansi informasi, mengakibatkan
ketimpangan dalam persaingan. Pengaturan tender akan mengarah pada
ekonomi biaya tinggi. Dunia usaha dirugikan secara menyeluruh akibat ulah
sekelompok pengusaha sehingga akuntabilitas dibina dengan susah payah,
hilang dalam sekejab.
b. Informasi dan deskripsi terbatas, yaitu Panitia memberi penjelasan dalam
bentuk pertanyaan dan jawaban. Adakalanya formulasi dan distribusi adendum
selama pertemuan, tidak merata antar peserta (setelah aanwijzing). Penjelasan
parsial dimaksud untuk berKKN, sehingga kelompok berKKN akan
158
Diintisarikan dari Transparency International Indonesia (Pakta Integritas) dan Sutedi, Op.Cit,
hal. 135-136
147
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
159
Berdasarskan wawancara dengan salah satu anggota panitia lelang di Kementerian
Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia yang tidak ingin dipublikasi identitasnya.
160
Ibid.
161
Transparency International Indonesia, ibid.
148
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Dalam tahap ini, kecenderungan untuk terjadi pelanggaran sangat kecil, hal ini
disebabkan pada tahap ini para calon penyedia barang/jasa atau peserta tender secara
bersama-sama saling menerima dan menukarkan dokumen penawaran harga dalam
paket pekerjaan yang ditenderkan tersebut. setelah itu mereka secara bersama-sama
menandatangani sampul dokumen penawaran harga dan berita acara. Dengan
demikian, belum ditemuka kasus yang mengarah pada pelanggaran dalam tahap
penyerahan dan pembukaan dokumen penawaran harga.
162
Ibid.
149
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
163
Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia Perkara Nomor 28/KPPU-
L/2010, diunduh dari < http://www.kppu.go.id/docs/Putusan/putusan_28_2010_upload0 9022011.pdf
>, 17 Januari 2012.
150
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Bahwa Ketua Panitia Lelang
dan Sekretaris Panitia Lelang tidak mengevaluasi dokumen perusahaan manapun, dan
hanya mempercayakan proses evaluasi terkait kepada rekan-rekan sesama panitia.
Selanjutnya Panitia Lelang tidak pernah membaca metode pelaksanaan yang
disampaikan peserta lelang untuk mengetahui sejauh mana ukuran metode
pelaksanaan itu sudah benar atau belum. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa Panitia Lelang telah lalai karena tidak melakukan evaluasi secara benar.
151
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Penyimpangan yang terjadi dalam tahapan ini dapat dilihat dalam kasus
Penyelenggaraan Pencarian dan Penyelematan Musibah, Bencana Alam, dan Bencana
Lainnya yang terjadi di Banten dengan terdakwa Hudaya Firdaus, SH.Msi, yang
didakwa melanggar Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 yang dirbah dan ditambah
dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 dan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (Pasal 55 dan Pasal 64). Kasus ini sudah in kracht berdasarkan PUTUSAN
KASASI No. 2261 K / Pid. Sus/2009
Sanksi yang dijatuhkan adalah sanksi pidana berupa pidana penjara dan denda.
Namun pada tingkat Kasasi Hakim berpendapat bahwa perbuatan Terdakwa terbukti
melakukan perbuatan yang didakwakkan kepadanya pada dakwaan Primair dan
152
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Subsidair, akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana dan
oleh karena itu melepaskan terdakwa oleh karena itu dari segala tuntutan hukum
Dalam tahapan ini, pola penyimpangan yang dapat terjadi adalah sebagai
berikut:
153
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Pola penyimpangan yang dapat terjadi dalam tahapan ini antara lagi sebagai
berikut:
Penyimpangan dalam tahap ini dapat dilihat dalam kasus Eks. Bupati
Wonosobo, Drs. Trimawan Nugrohadi, M.Si., dalam Pengadaan Mobil Pemadam
Kebakaran Kabupaten Wonosobo, dalam perkara nomor 80/Pid.B/2008/PN. Wnsb.
Terdakwa dijerat dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pelanggaran yang terjadi dalam kasus ini adalah penunjukan pemenang tanpa
melalui proses lelang yang melanggar Pasal 17 ayat (4) Keppres 18 Tahun 2001 dan
uang sisa pencairan dana disumbangkan ke Persatuan Sepak Bola Indonesia
Wonosobo dan beberapa persatuan sepak bola yang ada di desa-desa Wonosobo untuk
membangun lapangan sepak bola dan kostum. Terdakwa dijatuhi hukuman pidana
penjara selama 1 (satu) TAHUN dan pidana denda sebesar Rp.50.000.000,- (LIMA
PULUH JUTA RUPIAH) subsider pidana kurungan selama 2 (DUA) BULAN dan
pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar Rp. 324.775.000,-
154
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
15. Amandemen/Perubahan
155
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Pola penyimpangan yang dapat terjadi dalam tahapan ini antara lain:
1) Penyerahan Barang
Pada tahap ini penyimpangan yang mungkin timbul adalah kualitas yang
tidak sama dengan spesifikasi awal, kriteria penerimaan barang bias, dan
volume barang menyimpang dalam rangka KKN.
156
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Kerangka Acuan Kerja. Selain itu, data lapangan juga sering dipalsukan.
Terjadi pula plagiarisme dalam membuat design note.
Kasus yang dapat dijadikan contoh adalah kasus dimana Pejabat Pengelola
Kegiatan beserta pihak-pihak yang turut serta melakukan rekayasa hasil pengadaan.
Laporan yang disampaikan menyatakan bahwa proses pengadaan telah mencapai
100%, padahal berdasarkan pemantauan dari BAWASDA Kabupaten dan
BAWASDA Propinsi, proses pengadaan baru mencapai 60%.
157
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
BAB VI
A. Kesimpulan
1. Proses pengadaan barang dan jasa Pemerintah merupakan suatu proses yang
berkaitan dengan banyak bidang hukum. Setidaknya terdapat tiga bidang hukum
yang terkait dengan proses ini, yaitu Hukum Admnistrasi Negara, Hukum Perdata
dan Hukum Pidana. Keterkaitan proses pengadaan barang dan jasa Pemerintah
dengan beberapa bidang hukum tersebut mengakibat bentuk-bentuk pelanggaran
yang mungkin dapat terjadi akan terbagi berdasarkan bidang hukum tersebut.
164
Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia Perkara Nomor 28/KPPU-
L/2010, diunduh dari < http://www.kppu.go.id/docs/Putusan/putusan_28_2010_upload0 9022011.pdf
>, 17 Januari 2012.
158
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
159
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
160
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
meskipun para pihak telah membuat perjanjian untuk tidak saling menuntut
atas perbuatan pidana yang dilakukannya dalam proses pengadaan. Bentuk
pelanggaran pidana yang paling sering ditemukan adalah pelanggaran terhadap
UU Tindak Pidana Korupsi, bahkan Pengadaan barang/jasa merupakan jenis
perkara korupsi tertinggi yang ditangani KPK (44%) dalam kurun waktu tahun
2004 - 2010. Penyimpangan yang dilakukan dalam proses pengadaan barang
dan jasa menimbulkan kerugian keuangan negara mengingat sumber dana dari
pengadaan barang dan jasa Pemerintah berasal dari keuangan negara, sehingga
memenuhi unsur-unsur yang ada di dalam delik tindak pidana korupsi. Selain
tindak pidana korupsi, sebenarnya masih terdapat kemungkinan pelanggaran
tindak pidana lain seperti misalnya penipuan (Pasal 378 KUHP) dan
pemalsuan (Pasal 263 KUHP), atau bahkan bentuk-bentuk baru terkait dengan
karakteristik khusus pengadan barang dan jasa.
2. Kriminolgi merupakah salah satu bidang ilmu yang dapat membantu mencari
jawaban atas permasalahan tingginya tingkat penyimpangan (pidana) dalam
proses pengadaan barang dan jasa. Ilmu ini merupakan ilmu tentang kejahatan
dan penjahat. Berbeda dengan hukum pidana yang mencari apakah suatu tindakan
telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana dan bagaimana pertanggungjawaban
pelaku tindak pidana, Kriminologi mempelajari sebab musabab kejahatan,
mencari jawaban mengenai mengapa dan bagaimana suatu kejahatan dapat
terjadi. Terkait dengan korupsi pengadaan barang dan jasa pemerintah, terdapat
beberapa teori yang dapat digunakan. Dalam lingkup organisasi, teori White
Collar Crime merupakan teori yang dapat menjelaskan mengapa orang-orang
yang memiliki pendidikan dan kekuasaan melakukan suatu tindak pidana dalam
kaitannya dengan pekerjaan (okupasi). Dorongan untuk melakukan suatu tindak
pidana, khususnya dalam hal ini adalah kejahatan tindak pidana korupsi yang
termasuk dalam white collar crime disebabkan oleh faktor moral dan lemahnya
sistem pengawasan.
Sistem pengawasan yang dimaksud disini adalah sistem pengawasan internal dan
eksternal. Sistem pengawasan internal yang dimaksud disini adalah penegakan
aturan dalam lembaga pemerintahan, termasuk pelaksanaan sanksi yang ketat dan
161
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
tegas jika terjadi penyalahgunaan dan kinerja yang tidak baik. Penerapan prinsip-
prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dalam sistem pengadaan merupakan
suatu hal yang mutlak harus dilaksanakan guna mencegah terjadinya
penyimpangan terutama praktek korupsi, kolusi, nepotisme. Pengawasan
eksternal adalah pengawasan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pengawasan
administratif baik yang preventif maupun represif, misalnya memberi
kewenangan terhadap LKPP.
3. Pada saat ini lebih dari 50% kasus pelanggaran dalam proses pengadaan barang
dan jasa akan berakhir di pengadilan sebagai kasus tindak pidana korupsi. Hal ini
disebabkan karena dalam setiap proses pengadaan barang dan jasa pasti akan
melibatkan uang negara, dimana penggunaan yang tidak tepat sasaran akan
membawa dampak munculnya kemungkinan kerugian negara. Berdasarkan
fenomena ini, dapat dilihat bawah aparat penegak hukum telah memanfaatkan
luasnya unsur-unsur dalam tindak pidana korupsi untuk menjerat pelaku
penyimpangan pengadaan barang dan jasa. Namun sebenarnya selain pelanggaran
tindak pidana korupsi, dalam proses pengadaan barang dan jasa terdapat juga
pelanggaran dalam ranah Hukum Administrasi Negara dan Hukum Perdata, serta
juga kemungkinan untuk membuat pasal dengan sanksi pidana khusus sesuai
dengan karakteristik penyimpangan dalam proses pengadaan barang dan jasa,
misalnya faktor-faktor terkait dengan keuangan publik selain kerugian negara dan
juga perilaku-perilaku yang menyimpang.
Walaupun pada saat ini telah ada Peraturan Presiden tentang Pengadaan barang
dan Jasa pemerintah, namun Peraturan Presiden tersebut hanya mengatur proses
atau prosedur dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa. Bentuk dan
pengaturan tersebut dirasakan belum cukup dalam mengakomodir pelaksanaan
proses pengadaan barang dan jasa, terutama berkaitan dengan bentuk
penyimpangan dan sanksi dalam proses pengadaan barang. Sehingga dibutuhkan
pengaturan dalam bentuk yang lebih tinggi (undang-undang) guna mengatur
bentuk-bentuk penyimpangan dan sanksi atas pelanggaran proses pengadaan
barang dan jasa, baik sanksi administratif maupun sanksi pidana.
162
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
B. Saran/Rekomendasi
163
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
164
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Adji, Indriyanto Seno. Korupsi Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana.
cet.ke-1. (Jakarta: Diadit Media, 2006).
Adji, Oemar Seno. Hukum Pidana Pengembangan,. cet. ke-1. (Jakarta: Erlangga,
1985).
Adji, Seno, Herziening, Ganti Rugi, Suap, Perkembangan Delik. (Jakarta: Penerbit
Erlangga, 1981).
Adler, Freda et.al. Criminology, ( New York : McGraw-Hill, Inc , 1991)
Agustina, Rosa. Perbuatan Melawan Hukum, cet. ke-1, (Jakarta: Program Pasca
Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003).
Amiruddin. Korupsi Dalam Pengadaan Barang dan Jasa. (Yogyakarta: Genta
Publishing, 2010).
Arief, Barda Nawawi. Kebijakan Legislatif dalam Penangulangan Kejahatan dengan
Pidana Penjara, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1994).
Atiyah. The Law of Contract. (London: Clarendon Press, 1983).
165
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Collins, Hugh. Regulating Contracts. (Oxford University Press: New York, 2002).
Croall, Hazel. White Collar Crime. (Philadelphia : Open University Press, 1992).
Durkheim, Emile. The Division of Labour in Society. (Illinois : Free Press, 1933).
Hamzah, Andi. Asas-asas Hukum Pidana, cet.ke-2. (Jakarta: Rineka Cipta, 1994).
Hamzah, Andi. Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya (Jakarta: PT
Gramidenia, 1984).
Hamzah, Andi. Pemberantasan Korupsi Ditinjau dari Hukum Pidana. (Jakarta: Pusat
Studi Hukum Pidana Universitas Trisakti, 2002).
Hamzah, Andi. Pemberantasan Korupsi., (Jakarta: Raja Grafindo, 2006).
Harahap, Yahya. Hukum Perjanjian Di Indonesia. (Jakarta: Djambatan, 1992).
Hasibuan, Albert, .ed. 2. Guru Besar Berbicara tentang Hukum (Bandung: Alumni,
1985).
Hoglund, Greg dan Gary McGraw, “Exploiting Software: How To Break Code,”
Addison Wesley, 2004.
166
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
167
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Cohen, L.E. dan M. Felson. “Social Change and Crime Rate Trends : A Routine
Activity Approach” dalam American Sociological Review, Vol. 44, 1979.
168
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Hukum Pidana FHUI), Depok,
8 Maret 2003.
Tête, W.T. “Tort Roots and Ramifications of the Obligations Revision” (1986) 32
Loy. L. Rev. 47.
Tetley, William. “Good Faith in Contract Particularly in the Contracts of Arbitration
and Chartering”, 2004, 35. Journal of Maritime Law and Commerce.
Yusoff, Sakina Shaik Ahmad. (2000) “Doktrin Kebebasan Berkontrak Dalam Kontrak
Jualan barang : Ketidaksesuaian Sebagai Doktrin Landasan Pembentukan
undang-Undang Kontrak Pengguna”. Jurnal Undang-undang Vol. 4,
University Kebangsaan Malaysia, 2000.
169
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
http://www.lkpp.go.id/v2/berita-detail.php?id=9841771586
http://www.law.cornell.edu/wex/government_contracts
PERATURAN
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh R.
Soebekti dan R. Tjitrosoebio, cet. ke-8, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1976).
Kitab Undang-undang Hukum Pidana [Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch
Indie], diterjemahkan oleh R. Soesilo [1], cet. ke-6, (Bogor: Politeia, 1996),
KAMUS
Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka,
1976).
MODUL
Modul Hukum Pidana bagi Kejaksaan Agung RI yang disusun oleh Tim FHUI Tahun
2009.
REPORT
170
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
< http://www.iprocwatch.org/images/stories/data/laporan_survei_suap_pbjp.pdf>
171
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Tahapan Pengadaan Pola Penyimpangan Contoh Kasus Jenis Pelanggaran Peraturan Sanksi
barang Perundangan
yang dilanggar
172
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Tahapan Pengadaan Pola Penyimpangan Contoh Kasus Jenis Pelanggaran Peraturan Sanksi
barang Perundangan
yang dilanggar
173
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Tahapan Pengadaan Pola Penyimpangan Contoh Kasus Jenis Pelanggaran Peraturan Sanksi
barang Perundangan
yang dilanggar
awal. Kondisi ini dapat pesawat terbang ditambah dengan Terdakwa atas
terjadi dengan cara
tersebut telah tidak Undang-Undang ketiga perbuatan
menyuap panitia agar
informasi tender dari berpedoman pada No. 20 Tahun 2001 tersebut dengan
pekerjaan dapat mereka
Keppres No. 18 tentang pidana penjara
peroleh lebih awal dari
perserta lain. tahun 2000 Pemberantasan selama 5 (lima)
(merupakan Tindak Pidana tahun dan Denda
Tahap ini memiliki
peraturan yang Korupsi jo. Pasal sebesar Rp.
tipologi/modus korupsi yakni:
berlaku pada saat 55 ayat (1) ke -1 400.000.000,-
1. kejadian KUHP. (empat ratus juta
1. Pengelembungan Anggaran, berlangsung) rupiah) subsidair
yakni pengelembungan tentang pengadaan 6 (enam) bulan
anggaran pada berbagai aspek: barang dan jasa, kurungan
biaya,kualitas, bahan, volume dimana proyek
dll tidak realistis dan biasanya yang telah
berlebihan, jauh di atas dilaksanakan tidak Putusan PT:
kebutuhan sebenarnya. dilengkapi dengan
Menjatuhkan
2. Rencana pengadaan yang SPK (Surat
pidana atas
174
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Tahapan Pengadaan Pola Penyimpangan Contoh Kasus Jenis Pelanggaran Peraturan Sanksi
barang Perundangan
yang dilanggar
175
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Tahapan Pengadaan Pola Penyimpangan Contoh Kasus Jenis Pelanggaran Peraturan Sanksi
barang Perundangan
yang dilanggar
176
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Tahapan Pengadaan Pola Penyimpangan Contoh Kasus Jenis Pelanggaran Peraturan Sanksi
barang Perundangan
yang dilanggar
177
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Tahapan Pengadaan Pola Penyimpangan Contoh Kasus Jenis Pelanggaran Peraturan Sanksi
barang Perundangan
yang dilanggar
KKN.
6. Integritas Panitia lemah,
yakni Lemahnya integritas
mental dan kompetensi panitia
membuat proses pengadaan
terbuka terhadap ancaman
KKN. Lemahanya integritas
ini ditandai cara kerja
cenderung tidak obyektif, tidak
jujur, bekerja tanpa visi, tidak
profesional, tidak transparan
dan tidak bertanggungjawab.
7. Panitia Lelang memihak ,
yakni Panitia cenderung
memberikan keistimewaan
pada kelompok tertentu.
Putusan selalu mengacu pada
178
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Tahapan Pengadaan Pola Penyimpangan Contoh Kasus Jenis Pelanggaran Peraturan Sanksi
barang Perundangan
yang dilanggar
179
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Tahapan Pengadaan Pola Penyimpangan Contoh Kasus Jenis Pelanggaran Peraturan Sanksi
barang Perundangan
yang dilanggar
TAHAP
PEMBENTUKAN
1) Panitia bekerja secara
PANITIA Misalnya Panitia memberi
tertutup dan tidak adil
Panitia pengadaan barang keistimewaan pada kelompok
dan jasa adalah tim yang Patologi ini muncul karena tertentu atau Panitia mengacu
180
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Tahapan Pengadaan Pola Penyimpangan Contoh Kasus Jenis Pelanggaran Peraturan Sanksi
barang Perundangan
yang dilanggar
diangkat oleh Kuasa panitia tidak lagi memiliki kepada kesepakatan tidak tertulis.
Pengguna Anggaran sifat jujur, terbuka, dan Panitia bekerja dengan mengacu
(KPA) untuk dapat dipercaya. Hal ini pada kriteria yang tidak baku dan
melaksanakan pemilihan
dapat dilihat dari gejala- muncul kelompok-kelompok yang
penyedia barang dan jasa.
gejala: memiliki kedekatan dengan pimpro
sehingga kualitas produk
Dalam melaksanakan
pengadaan rendah dan timbul
tugas panitia tidak
tender. Dalam proses tender
pernah melakukan
pengadaan dan pemasangan Solar
diseminasi informasi
Home Sistem (SHS) di Dinas
yang diperlukan oleh
Pemberdayaan Masyarakat Pasar
masyarakat pemerhati.
dan UKM (PMP-UKM) Kota
Panitia juga tidak
Batam senilai Rp5 miliar yang
memberi layanan atau
dimenangkan PT Karya Satria
penilaian yang sama di
Putra (KSP) dengan memberikan
antara peserta lelang
penawaran terendah yakni Rp
181
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Tahapan Pengadaan Pola Penyimpangan Contoh Kasus Jenis Pelanggaran Peraturan Sanksi
barang Perundangan
yang dilanggar
182
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Tahapan Pengadaan Pola Penyimpangan Contoh Kasus Jenis Pelanggaran Peraturan Sanksi
barang Perundangan
yang dilanggar
183
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Tahapan Pengadaan Pola Penyimpangan Contoh Kasus Jenis Pelanggaran Peraturan Sanksi
barang Perundangan
yang dilanggar
184
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Tahapan Pengadaan Pola Penyimpangan Contoh Kasus Jenis Pelanggaran Peraturan Sanksi
barang Perundangan
yang dilanggar
interinstitusi yang
menjadikan dana proyek
sebagai konspirasi untuk
dihamburkan tanpa
memikirkan outcome
dari proyek itu.
4) Panitia dikendalikan
oleh pihak tertentu
Untuk mengatur
pelaksanaan Pengadaan agar
mengikuti atau terpakai,
kelompok tertentu
mengendalikan panitia
melalui sogok/suap,
sehingga keinginan
185
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Tahapan Pengadaan Pola Penyimpangan Contoh Kasus Jenis Pelanggaran Peraturan Sanksi
barang Perundangan
yang dilanggar
186
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Tahapan Pengadaan Pola Penyimpangan Contoh Kasus Jenis Pelanggaran Peraturan Sanksi
barang Perundangan
yang dilanggar
tender”.
Sesuai harapan birokrat,
panitia akan menyusun
dokumen yang bersih.
Tender tersebut hanya
dapat terlihat di data
resume akhir tahun
TAHAP a. Dokumen adminsitratif Kasus korupsi pengadaan kotak Dalam proses untuk Pasal 2 ayat (1) Pidana penjara
PRAKUALIFIKASI tidak memenuhi syarat, Suara Pemilu 2004 dengan mengikuti jo Pasal 18 UU selama 3 tahun
PESERTA yakni Dokumen mitra terdakwa Mulyana W. Kusuma prakualifikasi tidak Tipikor dan denda
kerja tidak memenuhi (Terdakwa I) dan Richard membuat syarat- sebesar Rp 50
jo Pasal 55 ayat
syarat, data palsu, dll Manusun Purba (Terdakwa II) dan syarat secara Juta subsidair
(1) ke satu
tetapi panitia tetap Sihol P. Manullang (berkas perkara lengkap yang harus pidana
187
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Tahapan Pengadaan Pola Penyimpangan Contoh Kasus Jenis Pelanggaran Peraturan Sanksi
barang Perundangan
yang dilanggar
188
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Tahapan Pengadaan Pola Penyimpangan Contoh Kasus Jenis Pelanggaran Peraturan Sanksi
barang Perundangan
yang dilanggar
meluluskan peserta
tender dokumen “aspal“,
walau pada proses
informal tetap dipakai
azas pembuktian tidak
langsung bermuara pada
suap.
c. Tidak dilakukan
legalisasi dokumen,
yakni dokumen
prakualifikasi tidak
diperkuat oleh data
otentik dan pengesahan
pihak berwenang.
Namun dokumen ini
malah diluluskan karena
189
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Tahapan Pengadaan Pola Penyimpangan Contoh Kasus Jenis Pelanggaran Peraturan Sanksi
barang Perundangan
yang dilanggar
praktik KKN.
d. Evaluasi tidak sesuai
kriteria, yakni dokumen
pralikualifikasi tidak
diperkuat data otentik
dan pengesaahan dari
pihak berwenang.
Dokumen ini diluluskan
karena KKN.
e. Tidak dilakukan
pemeriksaaan lapangan,
yakni Panitia tidak
memeriksa kondisi
perusahaan secara
langsung ke lokasi
perusahaan berada.
190
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Tahapan Pengadaan Pola Penyimpangan Contoh Kasus Jenis Pelanggaran Peraturan Sanksi
barang Perundangan
yang dilanggar
Biasanya perusahaan
tidak diperiksa adalah
perusahaan akan
dimenangkan. Jika
dilakukan pemeriksaaan
lapangan hanya
dilakukan secara
proforma.
TAHAP PENYUSUNAN 1) Adanya 1. Kasus korupsi Pembebasan Ditemukan telah UU Tipilkor Terdakwa
DOKUMEN penggelembungan harga Lahan SMAN 1 Ciomas yang terjadi bebas
pada tahap penyusunan divonis bebas. penggelembungan
HPS atau harga harga yang yang
perkiraaan sendiri yang mengakibatkan
191
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Tahapan Pengadaan Pola Penyimpangan Contoh Kasus Jenis Pelanggaran Peraturan Sanksi
barang Perundangan
yang dilanggar
192
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Tahapan Pengadaan Pola Penyimpangan Contoh Kasus Jenis Pelanggaran Peraturan Sanksi
barang Perundangan
yang dilanggar
193
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Tahapan Pengadaan Pola Penyimpangan Contoh Kasus Jenis Pelanggaran Peraturan Sanksi
barang Perundangan
yang dilanggar
194
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Tahapan Pengadaan Pola Penyimpangan Contoh Kasus Jenis Pelanggaran Peraturan Sanksi
barang Perundangan
yang dilanggar
195
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Tahapan Pengadaan Pola Penyimpangan Contoh Kasus Jenis Pelanggaran Peraturan Sanksi
barang Perundangan
yang dilanggar
3) Jangka waktu
pengumuman yang
terlalu singkat
4) Pengumuman lelang
tidak lengkap
196
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Tahapan Pengadaan Pola Penyimpangan Contoh Kasus Jenis Pelanggaran Peraturan Sanksi
barang Perundangan
yang dilanggar
197
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Tahapan Pengadaan Pola Penyimpangan Contoh Kasus Jenis Pelanggaran Peraturan Sanksi
barang Perundangan
yang dilanggar
198
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Tahapan Pengadaan Pola Penyimpangan Contoh Kasus Jenis Pelanggaran Peraturan Sanksi
barang Perundangan
yang dilanggar
TAHAP PENENTUAN Gambaran HPS ditutup- 1. Pengadaan alat pendidikan dokter di Rekayasa Pasal 2 dan pasal
tutupi walaupun sudah ada di Badan Pengembangan dan
HARGA PERKIRAAN hargadalam tender 3 UU Tipikor
ketentuan bahwa HPS tidak Pemberdayaan SDM Kesehatan
SENDIRI (HPS) bersifat rahasia, namun (BPPSDMK) pada Kementerian pengadaan alat
hanya kelompok tertentu Kesehatan (Kemenkes) tahun 2010,
pendidikan dokter
yang dapat mengakses HPS yang mana Kejaksaan Agung telah
tersebut menetapkan 3 tersangkanya. Dalam tsb. Dan salah
Penggelembunangan (mark kasus ini diduga telah terjadi
199
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Tahapan Pengadaan Pola Penyimpangan Contoh Kasus Jenis Pelanggaran Peraturan Sanksi
barang Perundangan
yang dilanggar
Merupakan kegiatan
up) rekayasa harga dalam tender seirang Tersangka,
menentukan perkiraan Harga dasar yang tidak pengadaan alat pendidikan dokter
melakukan
standar. Harga dasar tersebut
besaran biaya pekerjaan material, peralatan dan Tersangka Widianto Aim berperan penyimpangan dalam
tenaga merupakan beberapa membuat penetapan Harga
yang akan dilelangkan hal penetapan harga
penentu dalam HPS. Data Perkiraan Sendiri (HPS) yang tidak
berdasarkan: 1. Harga yang tidak valid/sah akan profesional terkait tender pengadaan perkiraan sendiri.
mengakibatkan HPS berubah alat pendidikan dokter rumah sakit
pasaran yang berlaku 2.
Penentuan estimasi harga tersebut. Kemudian tersangka
Patokan jenis, ukuran, yang tidak sesuai aturan Syamsul Bahri sebagai Kasubag
Menurut ketentuan yang Program dan Anggaran (PA) juga
volume, metode dan
mentukan HPS adalah terkait dalam penetapan HPS dalam
pekerjaan sesuai dengan panitia pengadaan, namunn tender tersebut. Terakhir, tersangka
dalam rangka kolusi yang Bantu Marpaung sebagai pemenang
desain atau rancang
menyusun HPS adalah calon tender terkait dalam penetapan HPS
bangun pekerjaan pemenang (jadi yang tender tersebut.
dimaksud 3. Perhitungan menyusun adalah mitra
kerja).
kenaikan harga dan waktu
pelaksanaan pekerjaan 4.
Tahap ini memiliki
Harga perkiraan sendiri
tipologi/modus korupsi yakni:
perlu dalam pemyusunan
1.Harga perkiraan sendiri
anggaran, proses
(HPS) ditutup-tutupi, yakni
200
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Tahapan Pengadaan Pola Penyimpangan Contoh Kasus Jenis Pelanggaran Peraturan Sanksi
barang Perundangan
yang dilanggar
201
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Tahapan Pengadaan Pola Penyimpangan Contoh Kasus Jenis Pelanggaran Peraturan Sanksi
barang Perundangan
yang dilanggar
diatur sebelumnya dengan majelis hakim juga menyatakan yang tidak membuat juga
sesuai fakta persidangan tidak
mitra kerja. Nilai kontrak harga perkiraan membebankan
terbukti jika terdakwa melakukan
menjadi tinggi karena nilai perbuatan untuk memperkaya diri sendiri terdakwa denda
sendiri.
ditawarkan pemenang dekat Rp50 juta
nilai HPS. Koefisien dan faktor subsidair dua
mempengaruhi suatu harga bulan kurungan
tidak menguntungkan. selain
Produktivitas rendah karena dibebankan biaya
upaya ini digunakan untuk perkara sebesar
berKKN. Mitra kerja terkait Rp5000, di
akan memanfaatkan nilai HPS. Pengadilan
•Penentuan estimasi harga Negeri
tidak sesuai aturan, yakni Pontianak.
besarnya menyusun HPS
adalah panitia, namun dalam
rangka kolusi, menyusun
adalah “calon pemenang”.
202
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Tahapan Pengadaan Pola Penyimpangan Contoh Kasus Jenis Pelanggaran Peraturan Sanksi
barang Perundangan
yang dilanggar
203
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Tahapan Pengadaan Pola Penyimpangan Contoh Kasus Jenis Pelanggaran Peraturan Sanksi
barang Perundangan
yang dilanggar
204
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Tahapan Pengadaan Pola Penyimpangan Contoh Kasus Jenis Pelanggaran Peraturan Sanksi
barang Perundangan
yang dilanggar
sehingga akuntabilitas
dibina dengan susah
payah, hilang dalam
sekejab.
b. Informasi dan deskripsi
terbatas, yaitu Panitia
memberi penjelasan
dalam bentuk pertanyaan
dan jawaban.
Adakalanya formulasi
dan distribusi adendum
selama pertemuan, tidak
merata antar peserta
(setelah aanwijzing).
Penjelasan parsial
dimaksud untuk
205
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Tahapan Pengadaan Pola Penyimpangan Contoh Kasus Jenis Pelanggaran Peraturan Sanksi
barang Perundangan
yang dilanggar
berKKN, sehingga
kelompok berKKN akan
memperoleh informasi
lebih sempurna. Pihak
tidak berKKN akan
menawar kurang
sempurna dan cenderung
dinyatakan gugur secara
administratif.
c. Peserta aanwijzing
terbatas atau sengaja
dibatasi.
206
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Tahapan Pengadaan Pola Penyimpangan Contoh Kasus Jenis Pelanggaran Peraturan Sanksi
barang Perundangan
yang dilanggar
207
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Tahapan Pengadaan Pola Penyimpangan Contoh Kasus Jenis Pelanggaran Peraturan Sanksi
barang Perundangan
yang dilanggar
208
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Tahapan Pengadaan Pola Penyimpangan Contoh Kasus Jenis Pelanggaran Peraturan Sanksi
barang Perundangan
yang dilanggar
TAHAP 1) Pengumuman yang Kasus Penyelenggaraan Pencarian 1. Membuat secara UU Tipikor dan Pada tingkat
PENGUMUMAN disebarluaskan sangat dan Penyelematan Musibah, palsu Berita KUHP kasasi, terdakwa
CALON PEMENANG terbatas Bencana Alam, dan Bencana Acara Evaluasi dibebaskan
209
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Tahapan Pengadaan Pola Penyimpangan Contoh Kasus Jenis Pelanggaran Peraturan Sanksi
barang Perundangan
yang dilanggar
210
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Tahapan Pengadaan Pola Penyimpangan Contoh Kasus Jenis Pelanggaran Peraturan Sanksi
barang Perundangan
yang dilanggar
211
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Tahapan Pengadaan Pola Penyimpangan Contoh Kasus Jenis Pelanggaran Peraturan Sanksi
barang Perundangan
yang dilanggar
212
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Tahapan Pengadaan Pola Penyimpangan Contoh Kasus Jenis Pelanggaran Peraturan Sanksi
barang Perundangan
yang dilanggar
213
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Tahapan Pengadaan Pola Penyimpangan Contoh Kasus Jenis Pelanggaran Peraturan Sanksi
barang Perundangan
yang dilanggar
2) Substansi Sanggahan
yang Tidak Tanggap
214
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Tahapan Pengadaan Pola Penyimpangan Contoh Kasus Jenis Pelanggaran Peraturan Sanksi
barang Perundangan
yang dilanggar
3) Sanggahan Performa
Untuk Menghindari
Tuduhan tender Diatur
215
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Tahapan Pengadaan Pola Penyimpangan Contoh Kasus Jenis Pelanggaran Peraturan Sanksi
barang Perundangan
yang dilanggar
atau tender.
TAHAP PENUNJUKAN 1) Surat penunjukan tidak Kasus Eks. Bupati Wonosobo, Drs. Pelanggaran yang UU Tipikor Pidana penjara
PEMENANG lengkap Trimawan Nugrohadi, M.Si., terjadi dalam kasus 1 (satu) tahun
dalam Pengadaan Mobil Pemadam ini adalah dan pidana
2) Surat penunjukan sengaja
Kebakaran Kabupaten Wonosobo, penunjukan denda sebesar
ditunda pengeluarannya
Udalam perkara nomor pemenang tanpa Rp.50.000.000,-
3) Surat penunjukan yang 80/Pid.B/2008/PN. Wnsb. melalui proses subsider pidana
dikeluarkan secara lelang yang kurungan
terburu-buru melanggar Pasal 17 selama 2 (dua)
ayat (4) Keppres 18 bulan dan
4) Penandatanganan surat
Tahun 2001 dan pidana
penunjukan yang tidak
uang sisa pencairan tambahan
sah
dana disumbangkan berupa uang
ke Persatuan Sepak pengganti
216
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Tahapan Pengadaan Pola Penyimpangan Contoh Kasus Jenis Pelanggaran Peraturan Sanksi
barang Perundangan
yang dilanggar
217
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Tahapan Pengadaan Pola Penyimpangan Contoh Kasus Jenis Pelanggaran Peraturan Sanksi
barang Perundangan
yang dilanggar
218
Draft Penelitian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Tahapan Pengadaan Pola Penyimpangan Contoh Kasus Jenis Pelanggaran Peraturan Sanksi
barang Perundangan
yang dilanggar
3) Rekayasa hasil
penyerahan barang dan
jasa
219