Anda di halaman 1dari 5

Resume Pencemaran Limbah Pertambangan Nikel

Resume Pencemaran Limbah Pertambangan Nikel


Industri pertambangan merupakan suatu industri yang secara finansial memang sangat
menguntungkan suatu bangsa karena memiliki daya jual yang amat tinggi di pasaran global.
Namun tidak selamanya industri tersebut memiliki hal-hal yang baik, ada kalanya industri
tersebut juga menimbulkan dampak yang buruk seperti pada kasus lingkungan. Seperti yang kita
ketahui, lokasi bahan tambang umumnya berada di lapisan bumi bawah (bawah tanah) sehingga
diperlukan pengeboran untuk mengeksploitasi barang tambang tersebut. Dalam hal ini maka
timbullah dua jenis pertambangan yakni :
1) Tambang terbuka (dengan cara menggali tanah permukaan untuk mencapai lokasi bahan galian
tambang, dengan kedalaman maksimal 800 meter)
2) Tambang tertutup atau tambang bawah tanah (dengan membuat terowongan dari permukaan
tanah menuju lokasi bahan tambang di bawah tanah)
Dan yang paling sering menimbulkan kerugian bagi lingkungan ialah jenis pertambangan
yang terbuka. Karena setelah bahan tambang yang ingin diambil habis, maka para pelaku industri
pertambangan sangat sering meninggalkan lokasi tambang terbengkalai. Tindakan pemerintah
memang bisa dianggap cukup memihak lingkungan dengan dikeluarkannya peraturan pemerintah
bagi para pelaku industri pertambangan agar setelah bahan tambang habis di suatu daerah
pertambangan, maka daerah tersebut harus direklamasi. Namun walaupun telah dilakukan
reklamasi, lahan tersebut tetap saja tidak bisa ditanami oleh tetumbuhan lain karena sumberdaya
tanah tersebut juga sudah tidak ada lagi, alias lahan tersebut juga akan semakin gundul.
Industri pertambangan merupakan industri yang tidak berkelanjutan karena tergantung pada
sumberdaya yang tidak terbarukan. Pengelolaan lingkungan hidup dalam operasi pertambangan
seharusnya meliputi keseluruhan fase kegiatan pertambangan tersebut, mulai dari fase eksplorasi,
fase produksi, hingga pasca penutupan tambang. Belajar dari catatan operasi penutupan
pertambangan yang dilakukan oleh PT Barisan Tropical Mining (milik Laverton Gold Australia)
di Sumsel, PT Indo Moro Kencana (milik Aurora Gold Australia), PT Newmont Minahasa Raya
(milik Newmont Amerika Serikat), PT Kelian Equatorial Mining (milik Rio Tinto Inggris-
Australia).
Fenomena yang terjadi pada industri pertambangan di Indonesia, justru perusahaan tambang
tersebut memiliki kekebalan untuk tidak mentaati aturan-aturan lingkungan hidup dan dapat
dengan bebas melakukan pencemaran tanpa takut mendapatkan sanksi. Perilaku lainnya adalah
praktik pembuangan limbah pertambangan dengan cara-cara primitif, membuang langsung
limbah tailing ke sungai, danau, dan laut.
Industri pertambangan pada pasca operasi akan meninggalkan banyak warisan yang memiliki
potensi bahaya dalam jangka panjang, antara lain :
1) Lubang Tambang.
Sebagian besar pertambangan mineral di Indonesia dilakukan dengan cara terbuka. Ketika selesai
beroperasi, perusahaan meninggalkan lubang-lubang raksasa di bekas areal pertambangannya.
Lubang-lubang itu berpotensi menimbulkan dampak lingkungan jangka panjang, terutama
berkaitan dengan kualitas dan kuantitas air. Air lubang tambang mengandung berbagai logam
berat yang dapat merembes ke sistem air tanah dan dapat mencemari air tanah sekitar. Potensi
bahaya akibat rembesan ke dalam air tanah seringkali tidak terpantau akibat lemahnya sistem
pemantauan perusahaan-perusahaan pertambangan tersebut. Di pulau Bangka dan Belitung
banyak di jumpai lubang-lubang bekas galian tambang timah (kolong) yang berisi air bersifat
asam dan sangat berbahaya.
2) Air Asam Tambang.
Air asam tambang mengandung logam-logam berat berpotensi menimbulkan dampak lingkungan
dalam jangka panjang. Ketika air asam tambang sudah terbentuk maka akan sangat sulit untuk
menghentikannya karena sifat alamiah dari reaksi yang terjadi pada batuan. Sebagai contoh,
pertambangan timbal pada era kerajaan Romawi masih memproduksi air asam tambang 2000
tahun setelahnya. Air asam tambang baru terbentuk bertahun-tahun kemudian sehingga
perusahaan pertambangan yang tidak melakukan monitoring jangka panjang bisa salah
menganggap bahwa batuan limbahnya tidak menimbulkan air asam tambang. Air asam tambang
berpotensi mencemari air permukaan dan air tanah. Sekali terkontaminasi terhadap air akan sulit
melakukan tindakan penanganannya.
3) Tailing.
Tailing dihasilkan dari operasi pertambangan dalam jumlah yang sangat besar. Sekitar 97 persen
dari bijih yang diolah oleh pabrik pengolahan bijih akan berakhir sebagai tailing. Tailing
mengandung logam-logam berat dalam kadar yang cukup mengkhawatirkan, seperti tembaga,
timbal atau timah hitam, merkuri, seng, dan arsen. Ketika masuk kedalam tubuh mahluk hidup
logam-logam berat tersebut akan terakumulasi di dalam jaringan tubuh dan dapat menimbulkan
efek yang membahayakan kesehatan. Celakanya, tidak ada aturan di Indonesia yang mewajibkan
perusahaan pertambangan melakukan proses penutupan tambang secara benar dan
bertanggungjawab. Kontrak karya pertambangan hanya mewajibkan perusahaan pertambangan
melakukan reklamasi, dalam pikiran banyak pelaku industri ini adalah penghijauan atau
penanaman pohon semata.
Limbah udara merupakan salah satu jenis limbah yang dihasilkan oleh industri
pertambangan. Limbah udara dari pertambangn nikel tersebut dihasilkan sebagai emisi
atmosferik dari industri tersebut. Jenis komponen yang termasuk ke dalam emisi tersebut di
antaranya adalah sebagai berikut :
• Debu/partikulat
• Gas yang diproduksi oleh proses pembakaran, seperti CO, CO2, NOx, SO2
• Coolants, seperti CFCs, yang berasal dari air-conditioners
Dari sejumlah komponen tersebut, emisi debu/partikulat memiliki porsi terbesar dalam
kandungan limbah udara kegiatan pertambangan. Debu, pada khususnya, memiliki ukuran
partikel 1-10000 mikrometer. Debu tersebut dihasilkan dari aktivitas mekanik pertambangan,
seperti pemecahan atau penggerusan batuan, peledakan area tambang, maupun penanganan
massa hasil pertambangan. Pada umumnya, sumber utama dari limbah udara tersebut adalah
akses pertambangan yang tak diaspal, aktivitas penggalian, pembuangan, operasi sabuk
conveyer, serta pembukaan lahan pertambangan.
Adapun penanganan debu tersebut dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap awal dan
akhir, berdasarkan besar partikel debu yang dipisahkan.

Tahap awal dikhususkan menangani partikel debu yang berukuran cukup besar berskala
milimeter. Alat yang sering digunakan untuk menangani debu pada tahap awal adalah settling
chamber (ruang pengendapan) dan siklon, yang dijelaskan sebagai berikut.

a) Settling chamber
Alat ini merupakan teknologi penanganan debu yang telah diterapkan sejak lama. Prinsip dari
alat ini adalah pengendapan berdasarkan gaya gravitasi. Alat ini terdiri dari sebuah chamber
(kamar/ruang) besar yang terintegrasi dalam aliran pipa gas pertambangan yang mengandung
partikel debu yang akan dipisahkan. Keberadaan ruang tersebut akan m
engurangi kecepatan gas yang melewatinya sehingga
partikel debu yang cukup besar akan terendapkan di
dasar chamber tersebut. Partikel debu yang dapat
dipisahkan oleh alat ini berukuran lebih besar dari 60
mm. Alat inipun kemudian difungsikan sebagai
pembersih awal (preliminary cleaners) gas dari sistem
penanganan debu yang ada. Alat ini dapat dipasang
sejumlah tray pada tiap sisi chamber untuk mempersingkat waktu pengendapan partikel debu
yang akan dipisahkan sehingga efisiensi pemisahan dan pengumpulan debu menjadi lebih besar.
Settling chamber ini memiliki biaya instalasi dan operasi yang murah, namun juga memiliki
efisiensi pengumpulan debu overall yang cukup rendah. b) b) Cyclone (siklon)

Skema Operasi Siklon


Alat ini menggunakan gaya sentrifugal sebagai driving force pemisahan debu dari gas
yang akan dihasilkan kegiatan pertambangan. Alat ini memiliki biaya instalasi dan operasi yang
rendah, serta memiliki dimensi yang relatif kecil untuk mendukung efisiensinya. Keuntungan
tersebut membuat siklon banyak digunakan industri pertambangan untuk mengumpulkan partikel
debu yang akan menimbulkan pencemaran udara. Siklon yang berdiameter kecil akan
memberikan gaya sentrifugal sampai 2500 kali dibandingkan dengan gaya gravitasi pada settling
chamber. Efisiensi siklon dapat ditingkatkan dengan pengurangan diameter, penambahan
panjang siklon, dan penambahan rasio siklon terhadap diameter keluaran gas. Contoh industri
yang menggunakan siklon ini adalah Ampol Lytton, industri petroleum refinery di Brisbane,
Queensland, dan Alcoa.

Anda mungkin juga menyukai