Anda di halaman 1dari 12

TENTANG MILAD MUHAMMADIYAH

OLEH
SABAR SETIAWAN
416020010

PROGRAM STUDI PERTAMBANGAN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MATARAM
2016 – 2017
BAB I
PENGENALAN PEMBAHASAN
 Pendahuluan

Dunia memang sedang mencari keseimbangan. Ditengah maraknya fenomena perilaku


amoral yang melibatkan peserta didik sebagai pelakunya, seperti seks pra-nikah, video porno,
penyalahgunaan NAPZA dan minuman keras, tawuran, kekerasan perploncoan, penghinaan
guru dan sesama murid melalui facebook. Bahkan kasus-kasus korupsi, kolusi dan manipulasi
yang prevalensinya banyak melibatkan orang-orang terdidik dan terpelajar. Hal ini menjadi
tamparan keras bagi dunia pendidikan yang idealnya melahirkan generasi-generasi terdidik
dan beretika sekaligus menjadi musuh utama fenomena-fenomena perilaku amoral tersebut.

Mungkin hal inilah yang menjadi kekhawatiran para tokoh-tokoh dunia, seperti
Mahatma Gandhi yang memperingatkan tentang salah satu tujuh dosa fatal, yaitu “education
without character”(pendidikan tanpa karakter). Begitu pula, Dr. Martin Luther King yang
pernah berkata: “Intelligence plus character….that is the goal of true education” (Kecerdasan
plus karakter….itu adalah tujuan akhir dari pendidikan sebenarnya). Juga Theodore
Roosevelt yang mengatakan: “To educate a person in mind and not in morals is to educate a
menace to society” (Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek
moral adalah ancaman mara-bahaya kepada masyarakat). Bahkan pendidikan yang
menghasilkan manusia berkarakter ini telah lama didengung-dengungkan oleh pandita
pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara, dengan pendidikan yang berpilar kepada Cipta,
Rasa dan Karsa. Bermakna bahwa pendidikan bukan sekedar memberikan pengetahuan
(knowledge) tetapi juga mengasah afeksi moral sehingga menghasilkan karya bagi
kepentingan ummat manusia.

Berdasarkan latar belakang fenomena dan pendapat para tokoh inilah, dunia
pendidikan saat ini mencoba mengevaluasi sistem pembelajarannya untuk menghasilkan
manusia berkarakter. Proses pencarian jati diri sistem pendidikan, khususnya di Indonesia
inilah yang merupakan arah untuk mencapai keseimbangan atau kondisi homeostatic yang
relatif sebagaimana setiap manusia mempunyai keinginan untuk mencapainya. Di sinilah
peran sekolah dan guru sebagai institusi pendidikan formal sebagai posisi yang ‘tertantang’
dalam menghadapi fenomena yang berkaitan dengan globalisasi dan degradasi moral.
Kata – Kata Sambutan

BERI PESAN: Ketua PP Muhammadiyah Prof. Dr. H Syafiq A Mughni saat menyampaikan
ceramahnya dalam Milad Muhammadiyah ke 107 H di Lapangan Umum Narmada, Sabtu
(5/11) lalu.

GIRI MENANG – Ketua PP Muhammadiyah Prof.Dr.H. Syafiq A Mughni


menegaskan Muhammadiyah akan terus memberi kontribusi terhadap pembangunan.
Termasuk di NTB.

Dalam bidang pendidikan, Muhammadiyah terus membangun sekolah-sekolah hingga


universitas. Tujuannya agar lahir SDM yang berkualitas yang nantinya dapat mendukung
pembangunan nasional dan daerah.

“Muhammadiyah tampil menjadi garda untuk membangun peradaban Islam ke arah yang
lebih maju,” ungkapnya dalam tabligh akbar menyambut Milad Muhammadiyah ke-107 H
yang digelar di Lapangan Umum Narmada, Sabtu (5/11) lalu. Hadir dalam kegiatan tersebut
sejumlah tokoh seperti TGH Hasanain Juaini, H Amrul Jihadi, TGH Subki Sasaki, H
Falahudin, Suryadi, serta tokoh agama dan tokoh masyarakat Muhammadiyah se-NTB.

Ketua Pengurus Wilayah Muhammadiyah NTB H Falahudin mengatakan, Muhammadiyah


ingin membangun NTB dengan kemajuan yang berkrakter. Dengan bermuamalah baik, serta
menjauhkan diri dari segala masalah. Menurutnya sebagai mayoritas, penduduk muslim
Indonesia, harus menjaga hubungan baik antar sesama.

”Umat yang berkarakter akan tumbuh dan maju menjadi insan yang lebih baik untuk
menyebarkan kebaikan,” ujarnya.

Sementara Sekjen NW TGH Hasanain dalam kesempatannya menyampaikan, antar ormas


Islam harus dibangun sinergi yang baik. Termasuk antara NW dan Muhammadiyah.

”Kita harapkan seluruh ormas Islam untuk tidak saling menjatuhkan, tetap menjaga
persaudaraan,” pesannya.

Pengurus PWM NTB Ustadz Marliadi mengibaratkan posisi Muhammadiyah saat ini berada
di tengah. Kata Marliadi tidak mundur ataupun tidak maju. Karena itu dia mengharapkan
Muhammadiyah khusunya di Lobar terus berkembang.

”Dengan meletakkan pondasi yang kuat, diharapkan Muhammadiya terus eksis di NTB,”
tandasnya.

Sejarah Berdirinya Muhammadiyah dan Perkembangan di NUSANTARA

Muhammadiyah didirikan di kampung kauman yogyakarta, pada tanggal 8 Dzulhijjah


1330H/18 November 1912 oleh seorang yang bernama muhammad darwis,kemudian di kenal
dengan KH. Ahmad Dahlan.Beliau adalah pegawai kesultanan keraton yogyakarta sebagai
seorang khatib dan sebagai pedagang.Melihat kedaan umat islam pada waktu itu dalam
keadaan jumud,beku dan penuh dengan amaml – amalan yang bersifat mistik,Beliau tergerak
hatinya untuk mengajak mereka kembali kepada ajaran islam yang sebenarnya berdasarkan
al-qur’an dan khadits. Oleh karena itu beliau memberikan pengertian keagamaan di rumahnya
di tengah ke sibukannya sebagai khotib dan para pedagang.

Mula-mula ajaran ini di tolak, namun berkat ketekutan dan kesabarannya,akhirnya


mendapat sambutan dari keluarga dan teman dekatnya.
Profisinya sebagai pedagang sangat mendukung ajakan beliau, sehingga dalam waktu
singkat ajakannya menyebar keluar kampung kaumman bahkan sampai keluar daerah dan
keluar pulau jawa. Untuk mengorganisir kegiatan tersebut maka di dirikan persyarikatan
muhammadiyah. Dan kini muhammadiyah telah ada di sluruh plosok tanah air.

Disamping memberikan plajaran kepada laki laki,beliau jga memberi plajaran kepada
kaum ibu muda dalan forum pengajian yang di sebut” sidratulmuntha”.pada siang hari
plajaran untuk anak-anak laki-laki dan prempuan. Pada malam hari untuk anak-anak yang
telah dewasa.

KH. AHMAD DAHLAN memimpin muhammadiyah dari tahun 1912 hingga tahun
1922 dimana saat itu masih menghunakan sistem permusyawaratan rapat tahunan. Pada rapat
tahun ke 11,pemimpin muhammadiyah dipegang oleh KH. IBRAHIM yang kemudiyan
memegang muhammadiyah hingga tahun 1934.

Rapat tahunan itu sendiri kemudian berubah menjadi kongres tahunan pada tahun 1926
yang di kemudian hari berubah menjadi muktamar 3 tahunan dan seperti saat ini menjadi
muktamar 5 tahunan.

Perkembangan Muhammadiyah di NUSANTARA

Latar belakang kelahiran muhammadiyah merupakan gerakan ummat islam yang lahir
di yogyakarta pada tanggal 8 zulhijjah 1330H, atau tanggal 18 november 1912M.
Muhammadiyah berarti ummat nya muhammad atau pengikut nya muhammad . tujuan
menegakkan menjunjung tinggi agama islam, sehingga terwujudnya masyarakat islam yang
sebenarnya, pada tahun 1925 ABDUL KARIM AMRULLAH membawa muhammadiyah ke
sumatra barat dengan membuka cabang di sungi batang, agam. Dan dari daerah inilah
kemudiyan muhammadiyah bergerah ke seluruh sumatra ,sulawesi,dan kalimantan. Pada
tahun 1938, muhammadiyah telah tersebar ke seluruh indonesia. Terdapat pula organisasi
khusus wanita bernama aisyiyah muhammadiyah berasal islam dan bersumber pada alqur’an
dan hadist. Gerakan muhammadiyah bermaksud untuk berta’faul (berpengharapan baik)
dapat mencontoh dan meneladini jejak perjuangan nabi muhammad saw dalam rangka
menegakkan dan menjunjung tinggi agama islam semata-mata demi terwujudnya izzul islami
walmusllimin, kejayaan islam sebagai idealitas dan kemuliaan hidup sebagai realita.

Faktor utama yang mendorong berdirinya muhammadiyah adalah hasil pengalaman


KH.AHMAD DAHLAN terdapat al-qur’an menelaah, membahas, menelitidan mengkaji kan
dungan isi nya. Dalam surat al-imron ayat 104 dikatakan bahwa: ”dan khendaklah ada
diantara kamu sekalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,menyuruh kepada
yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar,merekalah orang-orang yang
beruntung”.memahami seruan di atas, KH.AHMAD DAHLAN tergerak hatinya untuk
membangun sebuah perkumpulan,organisasi atau perserikatan yang teratur dan rapi yang
tugasnya berkhidmad pada pelaksanaan misi daqwah islam amar ma’ruf nahi munkar di
tengah masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam pembahasan tablik akbar muhamadiyah dianggkat sebuah tema oleh Ketua PP
Muhammadiyah Prof. Dr. H Syafiq A Mughni yang berkaitan mengenai ”Umat yang
berkarakter akan tumbuh dan maju menjadi insan yang lebih baik untuk menyebarkan
kebaikan”.

Pemahaman Istilah

Secara etimologis, istilah karakter berasal dari bahasa Yunani, yaitu kharaseein, yang
awalnya mengandung arti mengukir tanda di kertas atau lilin yang berfungsi sebagai pembeda
(Bohlin, 2005). Istilah ini selanjutnya lebih merujuk secara umum pada bentuk khas yang
membedakan sesuatu dengan yang lainnya. Dengan demikian, karakter dapat juga
menunjukkan sekumpulan kualitas atau karakteristik yang dapat digunakan untuk
membedakan diri seseorang dengan orang lain (Timpe, 2007).

Perkembangan berikutnya, pengetahuan tentang karakter banyak dipelajari pada ilmu-


ilmu sosial. Dalam filsafat misalnya, istilah karakter biasa digunakan untuk merujuk dimensi
moral seseorang. Salah satu contoh adalah ilmuwan Aristoteles yang sering menggunakan
istilah ēthē untuk karakter yang secara etimologis berkaitan dengan “ethics” dan “morality”.
Adapun ahli psikologi pun banyak yang mengajukan definisi karakter dari berbagai
pendekatan. Ada yang menggunakan istilah karakter pada area moral saja, ada juga yang
memakainya pada domain moral dan nonmoral. Menurut Hasting et al. (2007), karakter
mempunyai domain moral dan nonmoral. Karakter berdomain moral ialah semua perilaku
yang merujuk kepada hubungan interpersonal atau hubungan dengan orang lain. Contohnya,
kasih sayang, empati, loyal, membantu dan peduli dengan orang lain (sifat-sifat feminis).
Sedangkan karakter berdomain nonmoral adalah semua perilaku yang merujuk kepada
pengembangan sifat-sifat dalam diri atau intrapersonal. Contohnya, disiplin, jujur,
bertanggung jawab, pantang menyerah dan percaya diri (sifat-sifat maskulin). Baik karakter
berdomain moral maupun nonmoral tersebut mempunyai tujuan yang sama, yaitu untuk
membentuk kepribadian yang peka terhadap kepentingan sosial (prososial).

Karakter juga terkadang dipandang sebagai kepribadian dan/atau lebih bersifat


perilaku. Banyak ilmuwan psikologi yang mengabaikan fungsi kognitif pada definisi mereka
mengenai karakter, namun ada juga yang lebih bersifat komprehensif. Bahkan ada ilmuwan
yang menyatakan bahwa karakter merupakan suatu konstruksi sosial. Menurut ahli konstruksi
sosial, karakter seseorang dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya. Hal ini akan dijelaskan
lebih lanjut dalam perkembangan moral pada manusia.

Salah satu definisi karakter yang cukup lugas dikemukakan oleh Berkowitz (2002),
yaitu sekumpulan karakteristik psikologis individu yang mempengaruhi kemampuan
seseorang dan membantu dirinya untuk dapat berfungsi secara moral. Dikarenakan sifat
karakter yang plural, maka beberapa ahli pun membagi karakter itu ke dalam beberapa
kategori. Peterson dan Seligman (2004) mengklasifikasikan kekuatan karakter menjadi 6
kelompok besar yang kemudian menurunkan 24 karakter, yaitu kognitif (wisdom and
knowledge), emosional (courage/kesatriaan), interpersonal (humanity), hidup bersama
(justice), menghadapi dan mengatasi hal-hal yang tak menyenangkan (temperance), dan
spiritual (transcendence). Di Indonesia, sebuah lembaga yang bernama Indonesia Heritage
Foundation merumuskan nilai-nilai yang patut diajarkan kepada anak-anak untuk
menjadikannya pribadi berkarakter.

Sedangkan pemahaman moral sendiri menurut Damon (1988) adalah aturan dalam
berperilaku (code of conduct). Aturan tersebut berasal dari kesepakatan atau konsesus sosial
yang bersifat universal. Moral yang bermuatan aturan universal tersebut bertujuan untuk
pengembangan ke arah kepribadian yang positif (intrapersonal) dan hubungan manusia yang
harmonis (interpersonal). Lebih lanjut, Nucci & Narvaes (2008) menyatakan bahwa moral
merupakan faktor determinan atau penentu pembentukan karakter seseorang. Oleh karena itu,
indikator manusia yang berkarakter moral adalah:

(1) Personal improvement; yaitu individu yang mempunyai kepribadian yang teguh
terhadap aturan yang diinternalisasi dalam dirinya. Dengan demikian, ia tidak mudah goyah
dengan pengaruh lingkungan sosial yang dianggapnya tidak sesuai dengan aturan yang
diinternalisasi tersebut. Ciri kepribadian tersebut secara kontemporer diistilahkan sebagai
integritas. Individu yang mempunyai integritas yang tinggi terhadap nilai dan aturan yang dia
junjung tidak akan melakukan tindakan amoral. Sebagai contoh, individu yang menjunjung
tinggi nilai agamanya tidak akan terpengaruh oleh lingkungan sosial untuk mencontek,
manipulasi dan korupsi.

(2) Social skill; yaitu mempunyai kepekaan sosial yang tinggi sehingga mampu
mengutamakan kepentingan orang lain. Hal ini ditunjukkan dengan hubungan sosialnya yang
harmonis. Setiap nilai atau aturan universal tentunya akan mengarahkan manusia untuk
menjaga hubungan baik dengan orang lain. Contohnya, individu yang religius pasti akan
berbuat baik untuk orang lain atau mengutamakan kepentingan ummat.

(3) Comprehensive problem solving; yaitu sejauhmana individu dapat mengatasi konflik
dilematis antara pengaruh lingkungan sosial yang tidak sesuai dengan nilai atau aturan
dengan integritas pribadinya terhadap nilai atau aturan tersebut. Dalam arti, individu
mempunyai pemahaman terhadap tindakan orang lain (perspektif lain) yang menyimpang
tetapi individu tersebut tetap mendasarkan keputusan/sikap/ tindakannya kepada nilai atau
aturan yang telah diinternalisasikan dalam dirinya. Sebagai contoh, seorang murid yang tidak
mau mengikuti teman-temannya mencontek saat tidak diawasi oleh guru karena ia tetap
menjunjung tinggi nilai atau aturan yang berlaku (kejujuran). Meskipun sebenarnya ia
mampu memahami penyebab perilaku teman-temannya yang mencontek. Keluwesan dalam
berfikir dan memahami inilah dibutuhkan untuk menilai suatu perbuatan tersebut benar atau
salah.

Terminologi pendidikan memang berbeda dengan pengajaran. Perbedaan tersebut


terletak pada ranah yang ‘disentuh’ oleh pendidikan dan pengajaran. Dalam terminologi
pengajaran maka guru hanya memberikan ilmu sebatas dalam ranah pengetahuan (cognitive)
kepada muridnya. Sedangkan dalam terminologi pendidikan maka guru memberikan ilmu
dalam ranah pengetahuan (cognitive), perasaan (affective), sikap (attitude) dan tindakan
(action). Hal tersebut sebenarnya berdasarkan pemikiran filosofis dari Aristoteles (filusuf
Yunani) yang mempunyai prinsip soul & body dualism, yaitu manusia hakikatnya terdiri dari
dua elemen dasar, yaitu rohani dan ragawi. Oleh karena itu, pendidikan tidak hanya
memberikan ‘asupan’ untuk raga (dalam hal ini direpresentasikan dengan otak) tetapi juga
‘asupan’ untuk rohani berupa moralitas untuk menentukan sikap baik-buruk atau benar-salah.

Berdasarkan paparan pemaham istilah di atas maka saya mencoba mendefinisikan


pendidikan berkarakter moral sebagai proses transfer pengetahuan, perasaan, penentuan
sikap dan tindakan terhadap fenomena berdasarkan nilai atau aturan universal sehingga
peserta didik mempunyai kepribadian yang berintegritas tinggi terhadap nilai atau aturan
tersebut dan mampu melakukan hubungan sosial yang harmonis tanpa mengesampingkan
nilai atau aturan yang ia junjung tinggi tersebut. Sehingga pendidikan berkarakter moral ini
dapat membantu peserta didik memahami kebaikan, mencintai kebaikan dan menjalankan
kebaikan (know the good, love the good, and do the good). Dengan demikian, karakter
sebagai pembeda antara orang terdidik dengan orang yang tidak terdidik terlihat dengan jelas
dari tiga indikator output yang telah disebutkan. Oleh karena itu, pemakalah mempunyai
perspektif yang berbeda dengan Hasting et al. (2007) yang membedakan karakter moral dan
nonmoral. Berdasarkan definisi tersebut, justru pemakalah menggabungkan karakter domain
moral dan nonmoral menjadi tiga indikator yang tidak dapat dipisahkan ketika ingin
mengetahui ciri manusia yang berkarakter moral.

Perkembangan Karakter Moral Pada Manusia

Dalam psikologi perkembangan, selalu ada debat tentang masalah-masalah nature dan
nurture. Artinya, para ahli senantiasa memiliki pendapat yang berbeda tentang apakah aspek-
aspek pertumbuhan dan perkembangan manusia itu dibawa sejak lahir atau terbentuk dari
lingkungan, mana yang lebih banyak mempengaruhi seorang individu, dan pertanyaan-
pertanyaan serupa. Begitu pula halnya dengan perkembangan moral atau karakter seseorang,
apakah karakter itu merupakan sesuatu yang bersifat herediter (bawaan lahir/keturunan)
ataukah dapat dibentuk melalui didikan lingkungan. Perdebatan tersebut tidak pernah selesai
dan mungkin tidak akan pernah mendapatkan jawaban pasti. Satu hal yang jelas bahwa
memang ada interaksi antara aspek nature dan nurture dalam perkembangan karakter
individu, yang dibuktikan dengan penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para ahli.

Faktor determinan karakter dapat berupa biologis/ herediter. Penelitian-penelitian


untuk mengungkap pengaruh ini biasanya dilakukan pada subjek anak kembar dan adopsi
serta bersifat longitudinal. Beberapa ahli telah membuktikan adanya pengaruh genetis yang
cukup kuat terhadap karakter anak (Deater-Deckard & O’Connor, 2000; Plomin and
McGuffin, 2003). Beberapa dimensi karakter seperti empati dan simpati juga banyak diamati
melalui perspektif neurosains yang lebih mengarah kepada herediter (Caspi, dkk., 2003;
Decety & Chaminade, 2003; Harris, 2003)

Di sisi lain, lingkungan keluarga membawa pengaruh yang cukup penting bagi
pembentukan karakter anak. Kochanska, dkk. (2004) menyatakan bahwa kelekatan antara
orangtua dan anak merupakan aspek yang sangat penting bagi awal perkembangan moral
anak. Untuk selanjutnya, pengasuhan orangtua secara menyeluruh, meliputi relasi antara
orangtua dan anak yang hangat dan responsif disertai penerimaan, dukungan, serta
pemahaman akan membawa dampak terhadap karakter anak (Grusec, dkk., 2000; Kerr &
Stattin, 2000; Kochanska, 2002; Zhou, dkk., 2002). Di samping itu, pola disiplin yang
diterapkan orangtua juga merupakan hal yang penting (Kochanska, dkk., 2003). Dalam hal
ini, disiplin akan mengontrol perilaku anak dan biasanya dikaitkan dengan konsekuensi
negatif terhadap perilaku pelanggaran. Aspek yang paling penting dari penegakkan disiplin
tersebut adalah konsekuensi yang logis terkait dengan pelanggaran yang dilakukan.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Laible & Thompson (2000) bahwa disiplin yang
menekankan pada penalaran dan logika akan mempercepat terjadinya internalisasi nilai-nilai
pada anak.

Sekolah, sebagai lingkungan kedua, turut mempengaruhi konsep diri, keterampilan


sosial, nilai, kematangan penalaran moral, perilaku prososial, pengetahuan tentang moralitas,
dan sebagainya (Berkowitz, 2002). Adanya ikatan yang kuat dengan sekolah dan
komunitasnya, termasuk juga kelekatan dengan guru, merupakan dasar bagi perkembangan
prososial dan moral anak. Hawkins, dkk. (2001) menyatakan bahwa seorang anak akan
menerapkan sebuah standar atau norma bila standar tersebut jelas dan disertai dengan adanya
ikatan emosi, komitmen, dan kelekatan dengan sekolah. Dalam hal ini, sekolah perlu
memiliki atmosfir moral dalam rangka meningkatkan tanggung jawab dan mengurangi
pelanggaran di sekolah (Brugman, dkk., 2003). Di lingkungan sekolah, tentu saja anak
mengalami perluasan aktivitas. Relasi dengan teman sebaya pun akan membawa dampak
terhadap pembentukan karakter anak. Hubungan emosi yang kuat dan aktivitas bermain
merupakan mediator bagi anak untuk mengembangkan karakter mereka (Dunn & Hughes,
2001; Howe, dkk., 2002; Killen, dkk., 2001; Theimer, dkk., 2001).
BAB III
PENUTUP
Pendidikan berkarakter moral adalah kunci untuk perbaikan sosial dan kemajuan
peradaban bangsa yang menjunjung tinggi integritas nilai dan kemanusiaan. Harapan dari
pendidikan berkarakter moral adalah tercapainya keseimbangan antara pengetahuan dan
moral. Salah satu pendekatan dalam pendidikan berkarakter moral ialah dengan pendidikan
moral agama yang diterapkan dalam setiap kehidupan akademis. Jika pengetahuan dan moral
agama dapat diintegrasikan maka berkembanglah kesempurnaan ilmu berlandaskan moralitas
(excellent with morality). “Ilmu tanpa agama akan buta, agama tanpa ilmu akan lumpuh.”

Pendidikan berkarakter moral dikatakan efektif apabila telah mencapai tujuan untuk
menjadikan manusia yang mempunyai karakter; kemampuan sosial (social skill),
pengembangan kepribadian (personal improvement) dan pemecahan masalah secara
komprehensif (comprehensive problem solving).

Pendidikan berkarakter moral memerlukan figur teladan sebagai role model untuk
menegakkan nilai atau aturan yang telah disepakati bersama. Di sinilah peran pendidik,
khususnya guru, orang tua, masyarakat dan pemerintah sebagai figur teladan agar peserta
didik mampu melakukan imitasi terhadap perilaku moral. Oleh karena semua pihak dituntut
untuk terlibat aktif maka perlu adanya sinergisitas diantara elemen tersebut sehingga
pendidikan berkarakter moral dapat terus dilakukan secara berkelanjutan. Sinergi semua
elemen inilah yang mengingatkan kita kepada kata-kata bijak, “Tidak ada keberhasilan
individu, yang ada adalah keberhasilan kolektif.”

Anda mungkin juga menyukai