Laporan Milad Muhammadiayah
Laporan Milad Muhammadiayah
OLEH
SABAR SETIAWAN
416020010
Mungkin hal inilah yang menjadi kekhawatiran para tokoh-tokoh dunia, seperti
Mahatma Gandhi yang memperingatkan tentang salah satu tujuh dosa fatal, yaitu “education
without character”(pendidikan tanpa karakter). Begitu pula, Dr. Martin Luther King yang
pernah berkata: “Intelligence plus character….that is the goal of true education” (Kecerdasan
plus karakter….itu adalah tujuan akhir dari pendidikan sebenarnya). Juga Theodore
Roosevelt yang mengatakan: “To educate a person in mind and not in morals is to educate a
menace to society” (Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek
moral adalah ancaman mara-bahaya kepada masyarakat). Bahkan pendidikan yang
menghasilkan manusia berkarakter ini telah lama didengung-dengungkan oleh pandita
pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara, dengan pendidikan yang berpilar kepada Cipta,
Rasa dan Karsa. Bermakna bahwa pendidikan bukan sekedar memberikan pengetahuan
(knowledge) tetapi juga mengasah afeksi moral sehingga menghasilkan karya bagi
kepentingan ummat manusia.
Berdasarkan latar belakang fenomena dan pendapat para tokoh inilah, dunia
pendidikan saat ini mencoba mengevaluasi sistem pembelajarannya untuk menghasilkan
manusia berkarakter. Proses pencarian jati diri sistem pendidikan, khususnya di Indonesia
inilah yang merupakan arah untuk mencapai keseimbangan atau kondisi homeostatic yang
relatif sebagaimana setiap manusia mempunyai keinginan untuk mencapainya. Di sinilah
peran sekolah dan guru sebagai institusi pendidikan formal sebagai posisi yang ‘tertantang’
dalam menghadapi fenomena yang berkaitan dengan globalisasi dan degradasi moral.
Kata – Kata Sambutan
BERI PESAN: Ketua PP Muhammadiyah Prof. Dr. H Syafiq A Mughni saat menyampaikan
ceramahnya dalam Milad Muhammadiyah ke 107 H di Lapangan Umum Narmada, Sabtu
(5/11) lalu.
“Muhammadiyah tampil menjadi garda untuk membangun peradaban Islam ke arah yang
lebih maju,” ungkapnya dalam tabligh akbar menyambut Milad Muhammadiyah ke-107 H
yang digelar di Lapangan Umum Narmada, Sabtu (5/11) lalu. Hadir dalam kegiatan tersebut
sejumlah tokoh seperti TGH Hasanain Juaini, H Amrul Jihadi, TGH Subki Sasaki, H
Falahudin, Suryadi, serta tokoh agama dan tokoh masyarakat Muhammadiyah se-NTB.
”Umat yang berkarakter akan tumbuh dan maju menjadi insan yang lebih baik untuk
menyebarkan kebaikan,” ujarnya.
”Kita harapkan seluruh ormas Islam untuk tidak saling menjatuhkan, tetap menjaga
persaudaraan,” pesannya.
Pengurus PWM NTB Ustadz Marliadi mengibaratkan posisi Muhammadiyah saat ini berada
di tengah. Kata Marliadi tidak mundur ataupun tidak maju. Karena itu dia mengharapkan
Muhammadiyah khusunya di Lobar terus berkembang.
”Dengan meletakkan pondasi yang kuat, diharapkan Muhammadiya terus eksis di NTB,”
tandasnya.
Disamping memberikan plajaran kepada laki laki,beliau jga memberi plajaran kepada
kaum ibu muda dalan forum pengajian yang di sebut” sidratulmuntha”.pada siang hari
plajaran untuk anak-anak laki-laki dan prempuan. Pada malam hari untuk anak-anak yang
telah dewasa.
KH. AHMAD DAHLAN memimpin muhammadiyah dari tahun 1912 hingga tahun
1922 dimana saat itu masih menghunakan sistem permusyawaratan rapat tahunan. Pada rapat
tahun ke 11,pemimpin muhammadiyah dipegang oleh KH. IBRAHIM yang kemudiyan
memegang muhammadiyah hingga tahun 1934.
Rapat tahunan itu sendiri kemudian berubah menjadi kongres tahunan pada tahun 1926
yang di kemudian hari berubah menjadi muktamar 3 tahunan dan seperti saat ini menjadi
muktamar 5 tahunan.
Latar belakang kelahiran muhammadiyah merupakan gerakan ummat islam yang lahir
di yogyakarta pada tanggal 8 zulhijjah 1330H, atau tanggal 18 november 1912M.
Muhammadiyah berarti ummat nya muhammad atau pengikut nya muhammad . tujuan
menegakkan menjunjung tinggi agama islam, sehingga terwujudnya masyarakat islam yang
sebenarnya, pada tahun 1925 ABDUL KARIM AMRULLAH membawa muhammadiyah ke
sumatra barat dengan membuka cabang di sungi batang, agam. Dan dari daerah inilah
kemudiyan muhammadiyah bergerah ke seluruh sumatra ,sulawesi,dan kalimantan. Pada
tahun 1938, muhammadiyah telah tersebar ke seluruh indonesia. Terdapat pula organisasi
khusus wanita bernama aisyiyah muhammadiyah berasal islam dan bersumber pada alqur’an
dan hadist. Gerakan muhammadiyah bermaksud untuk berta’faul (berpengharapan baik)
dapat mencontoh dan meneladini jejak perjuangan nabi muhammad saw dalam rangka
menegakkan dan menjunjung tinggi agama islam semata-mata demi terwujudnya izzul islami
walmusllimin, kejayaan islam sebagai idealitas dan kemuliaan hidup sebagai realita.
Pemahaman Istilah
Secara etimologis, istilah karakter berasal dari bahasa Yunani, yaitu kharaseein, yang
awalnya mengandung arti mengukir tanda di kertas atau lilin yang berfungsi sebagai pembeda
(Bohlin, 2005). Istilah ini selanjutnya lebih merujuk secara umum pada bentuk khas yang
membedakan sesuatu dengan yang lainnya. Dengan demikian, karakter dapat juga
menunjukkan sekumpulan kualitas atau karakteristik yang dapat digunakan untuk
membedakan diri seseorang dengan orang lain (Timpe, 2007).
Salah satu definisi karakter yang cukup lugas dikemukakan oleh Berkowitz (2002),
yaitu sekumpulan karakteristik psikologis individu yang mempengaruhi kemampuan
seseorang dan membantu dirinya untuk dapat berfungsi secara moral. Dikarenakan sifat
karakter yang plural, maka beberapa ahli pun membagi karakter itu ke dalam beberapa
kategori. Peterson dan Seligman (2004) mengklasifikasikan kekuatan karakter menjadi 6
kelompok besar yang kemudian menurunkan 24 karakter, yaitu kognitif (wisdom and
knowledge), emosional (courage/kesatriaan), interpersonal (humanity), hidup bersama
(justice), menghadapi dan mengatasi hal-hal yang tak menyenangkan (temperance), dan
spiritual (transcendence). Di Indonesia, sebuah lembaga yang bernama Indonesia Heritage
Foundation merumuskan nilai-nilai yang patut diajarkan kepada anak-anak untuk
menjadikannya pribadi berkarakter.
Sedangkan pemahaman moral sendiri menurut Damon (1988) adalah aturan dalam
berperilaku (code of conduct). Aturan tersebut berasal dari kesepakatan atau konsesus sosial
yang bersifat universal. Moral yang bermuatan aturan universal tersebut bertujuan untuk
pengembangan ke arah kepribadian yang positif (intrapersonal) dan hubungan manusia yang
harmonis (interpersonal). Lebih lanjut, Nucci & Narvaes (2008) menyatakan bahwa moral
merupakan faktor determinan atau penentu pembentukan karakter seseorang. Oleh karena itu,
indikator manusia yang berkarakter moral adalah:
(1) Personal improvement; yaitu individu yang mempunyai kepribadian yang teguh
terhadap aturan yang diinternalisasi dalam dirinya. Dengan demikian, ia tidak mudah goyah
dengan pengaruh lingkungan sosial yang dianggapnya tidak sesuai dengan aturan yang
diinternalisasi tersebut. Ciri kepribadian tersebut secara kontemporer diistilahkan sebagai
integritas. Individu yang mempunyai integritas yang tinggi terhadap nilai dan aturan yang dia
junjung tidak akan melakukan tindakan amoral. Sebagai contoh, individu yang menjunjung
tinggi nilai agamanya tidak akan terpengaruh oleh lingkungan sosial untuk mencontek,
manipulasi dan korupsi.
(2) Social skill; yaitu mempunyai kepekaan sosial yang tinggi sehingga mampu
mengutamakan kepentingan orang lain. Hal ini ditunjukkan dengan hubungan sosialnya yang
harmonis. Setiap nilai atau aturan universal tentunya akan mengarahkan manusia untuk
menjaga hubungan baik dengan orang lain. Contohnya, individu yang religius pasti akan
berbuat baik untuk orang lain atau mengutamakan kepentingan ummat.
(3) Comprehensive problem solving; yaitu sejauhmana individu dapat mengatasi konflik
dilematis antara pengaruh lingkungan sosial yang tidak sesuai dengan nilai atau aturan
dengan integritas pribadinya terhadap nilai atau aturan tersebut. Dalam arti, individu
mempunyai pemahaman terhadap tindakan orang lain (perspektif lain) yang menyimpang
tetapi individu tersebut tetap mendasarkan keputusan/sikap/ tindakannya kepada nilai atau
aturan yang telah diinternalisasikan dalam dirinya. Sebagai contoh, seorang murid yang tidak
mau mengikuti teman-temannya mencontek saat tidak diawasi oleh guru karena ia tetap
menjunjung tinggi nilai atau aturan yang berlaku (kejujuran). Meskipun sebenarnya ia
mampu memahami penyebab perilaku teman-temannya yang mencontek. Keluwesan dalam
berfikir dan memahami inilah dibutuhkan untuk menilai suatu perbuatan tersebut benar atau
salah.
Dalam psikologi perkembangan, selalu ada debat tentang masalah-masalah nature dan
nurture. Artinya, para ahli senantiasa memiliki pendapat yang berbeda tentang apakah aspek-
aspek pertumbuhan dan perkembangan manusia itu dibawa sejak lahir atau terbentuk dari
lingkungan, mana yang lebih banyak mempengaruhi seorang individu, dan pertanyaan-
pertanyaan serupa. Begitu pula halnya dengan perkembangan moral atau karakter seseorang,
apakah karakter itu merupakan sesuatu yang bersifat herediter (bawaan lahir/keturunan)
ataukah dapat dibentuk melalui didikan lingkungan. Perdebatan tersebut tidak pernah selesai
dan mungkin tidak akan pernah mendapatkan jawaban pasti. Satu hal yang jelas bahwa
memang ada interaksi antara aspek nature dan nurture dalam perkembangan karakter
individu, yang dibuktikan dengan penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para ahli.
Di sisi lain, lingkungan keluarga membawa pengaruh yang cukup penting bagi
pembentukan karakter anak. Kochanska, dkk. (2004) menyatakan bahwa kelekatan antara
orangtua dan anak merupakan aspek yang sangat penting bagi awal perkembangan moral
anak. Untuk selanjutnya, pengasuhan orangtua secara menyeluruh, meliputi relasi antara
orangtua dan anak yang hangat dan responsif disertai penerimaan, dukungan, serta
pemahaman akan membawa dampak terhadap karakter anak (Grusec, dkk., 2000; Kerr &
Stattin, 2000; Kochanska, 2002; Zhou, dkk., 2002). Di samping itu, pola disiplin yang
diterapkan orangtua juga merupakan hal yang penting (Kochanska, dkk., 2003). Dalam hal
ini, disiplin akan mengontrol perilaku anak dan biasanya dikaitkan dengan konsekuensi
negatif terhadap perilaku pelanggaran. Aspek yang paling penting dari penegakkan disiplin
tersebut adalah konsekuensi yang logis terkait dengan pelanggaran yang dilakukan.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Laible & Thompson (2000) bahwa disiplin yang
menekankan pada penalaran dan logika akan mempercepat terjadinya internalisasi nilai-nilai
pada anak.
Pendidikan berkarakter moral dikatakan efektif apabila telah mencapai tujuan untuk
menjadikan manusia yang mempunyai karakter; kemampuan sosial (social skill),
pengembangan kepribadian (personal improvement) dan pemecahan masalah secara
komprehensif (comprehensive problem solving).
Pendidikan berkarakter moral memerlukan figur teladan sebagai role model untuk
menegakkan nilai atau aturan yang telah disepakati bersama. Di sinilah peran pendidik,
khususnya guru, orang tua, masyarakat dan pemerintah sebagai figur teladan agar peserta
didik mampu melakukan imitasi terhadap perilaku moral. Oleh karena semua pihak dituntut
untuk terlibat aktif maka perlu adanya sinergisitas diantara elemen tersebut sehingga
pendidikan berkarakter moral dapat terus dilakukan secara berkelanjutan. Sinergi semua
elemen inilah yang mengingatkan kita kepada kata-kata bijak, “Tidak ada keberhasilan
individu, yang ada adalah keberhasilan kolektif.”