Anda di halaman 1dari 116

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Pada saat ini semua perusahaan baik yang bergerak dibidang manufaktur

maupun jasa pastilah menginginkan adanya peningkatan kualitas produk, karena

dengan peningkatan kualitas produk maka perusahaan akan mendapatkan

keuntungan, baik dari segi biaya maupun kepuasan pelanggan. Untuk

menunjang atau memperbaiki kualitas produk maka diperlukan suatu upaya

untuk menjaga kualitas mulai dari input, proses transformasi sampai pada output

khususnya dalam lini produksi. Pengawasan jalannya setiap proses dalam lini

produksi untuk menghasilkan sejumlah produk akan berpengaruh terhadap

peningkatan kualitas produk akhir.


Usaha untuk berada dalam persaingan industri manufaktur perlu dilakukan

berbagai upaya, salah satunya adalah memberikan produk yang berkualitas

kepada konsumen.Standart dan spesifikasi kualitas produk akhir pastilah dimiliki

oleh perusahaan, sehingga perusahaan harus menghasilkan produk akhir yang

sesuai dan akhirnya mampu meningkatkan kepuasan konsumen dan penjualan

produk.
CV. Salendra Bawana Karya yang berlokasi di Daerah Pandaan

Kab.Pasuruan adalah perusahaan yang bergerak dibidang kerajinan kayu

dengan memproduksi wood flooring ( kayu lantai ).Seiring dengan meningkatnya

permintaan kayu lantai, maka proses pembuatan wood flooring tanpa disadari

sering mengalami keterlambatan pengiriman, yang disebabkan adanya rework

pada proses perbaikan ulang produk jadi yang tidak sesuai standart atau cacat,

dimana produk cacat merupakan suatu jenis pemborosan dalam perusahaan.


Hasil pengamatan dan diskusi, ternyata pemilik perusahaan belum pernah

melakukan identifikasi pemborosan dalam perusahaan khususnya dalam

1
2

kegiatan proses produksi.Akhir-akhir ini pihak manajemen merasa resah karena

biaya produksi semakin meningkat akibat pembiayaan perbaikan produk

akhir.Selama ini perusahan sudah mencoba upaya dalam mengatasinya dengan

menurunkan kapasitas produksi, menambah jumlah tenaga kerja pada proses

pengukuran maupun proses penghalusan dengan harapan akan menambah

tingkat ketelitian, akan tetapi masih saja tejadi rework dalam memperbaiki cacat

produk akhir.
Tabel 1.1
Hasil Produksi Dan Produk Cacat Kayu Lantai
(Per batang parket)

Jumlah yang Jumlah produk


No Tgl/Bln/Thn Hasil Produksi
diperiksa cacat
1 03-01-2011 825 150 31
2 04-01-2011 819 100 35
3 05-01-2011 825 150 35
4 06-01-2011 820 100 36
5 07-01-2011 790 100 36
6 10-01-2011 820 100 32
7 11-01-2011 825 150 41
8 12-01-2011 825 150 33
9 13-01-2011 820 100 35
10 14-01-2011 785 100 35
11 17-01-2011 825 150 34
12 18-01-2011 820 100 30
Total 8979 1450 415
Sumber :Data internal perusahaan

1.2 Identifikasi Masalah

Dari latar belakang masalah diatas, dapat diidentifikasikan masalah

sebagai berikut :
3

1. Selama ini perusahaan belum pernah melakukan identifikasi mengenai

aktifitas-aktifitas perusahaan yang selama ini dirasakan sebagai suatu

pemborosan.
2. Sering terjadinya rework akibat terjadinya cacat produk akhir yang tidak

sesuai standart perusahaan


3. Peneliti yang disepakati oleh Perusahaan ingin menganalisa dan memperbaiki

proses produksi sehingga bisa mereduksi cacat produk akhir.


4. Perusahaan ingin mengurangi biaya akibat perbaikan produk cacat yang

semakin meningkat.

1.3 Batasan Masalah


Agar masalah yang diteliti lebih mengarah pada pembahasan maka penulis

memberikan batasan-batasan masalah adalah sebagai berikut :


1. Produk hanya pada kayu lantai (wood flooring )
2. Tidak ada pengolahan biaya produksi
3. Tidak memperhitungkan jadwal produksi
4. Penelitian dilakukan ketika proses produksi dalam keadaan kondisi berjalan
5. Jumlah operator cukup memenuhi
6. Kondisi bahan baku diasumsikan tersedia dan kondisi normal
7. Kondisi perusahaan memungkinkan untuk melaksanakan perubahan atau

usulan perbaikan.
8. Keseimbangan lintasan produksi diasumsikan normal

1.4 Perumusan Masalah


Berdasarkan permasalahan diatas maka diambil suatu rumusan masalah

sebagai berikut :
1. Waste apa saja yang terjadi pada kegiatan proses produksi produk wood

flooring dan waste apa yang paling dominan untuk segera diatasi ?
2. Apa saja penyebab cacat atau gagalnya produk akhir wood flooring ?
3. Bagaimana peneliti mereduksi produk cacat pada wood flooring dan berapa

peningkatan level sigma sebelum dan setelah dilakukan perbaikan !


4. Berapa perbandingan efisiensi penghematan biaya perbaikan kualitas produk

akhir setelah dilakukan upaya mereduksi produk cacat !

1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian oleh peneliti yang akan dilakukan berdasakan rumusan

masalah adalah sebagai berikut :


4

1. Mengidentifikasikan waste yang ada dan menemukan waste yang paling

dominan serta menentukan metode yang relevan untuk mereduksinya.

2. Mengidentifikasi dan mendeteksi penyebab kegagalan cacat produk wood

flooring

3. Menerapkan metode six sigma dengan pendekatan DMAIC guna mereduksi

produk cacat sekaligus menghitung sigma level.

4. Menghitung tingkat penghematan biaya perbaikan kualitas produk akhir

berdasar jumlah produk cacat setelah usulan perbaikan dilakukan


5

1.6 Manfaat Penelitian

1. Bagi Akademik

Pengembangan dan Implementasi ilmu pada dunia nyata berupa

metode yang bermanfaat dalam menganalisa jenis pemborosan yang ada di

perusahaan dan memberikan konsep usulan perbaikan sehingga

menghasilkan suatu nilai tambah.

2. Dari sisi Praktisi.

Diharapkan bisa menjadi alternatif bagi perusahaan dalam

menyelesaikan permasalahan sistem industri khususnya masalah upaya

peningkatan pengawasan dan pengendalian dalam meningkatkan kualitas

kemampuan proses dan kualitas produk akhir (mencapai zero defect)

sehingga bisa meningkatkan produktifitas dan pencapaian pangsa pasar yang

lebih luas.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hasil Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu yang mendasari penelitian yang akan dilakukan oleh

peneliti adalah sebagai berikut :

1. Muchtiar(2010), meneliti bagaimana perusahaan melakukan perbaikan dan

peningkatan kualitas produk dengan tercapainya tingkat cacat produk

mendekati zero defect, melalui efisiensi dan menfokuskan diri pada

minimalisasi cacat dengan mengimplementasikan metode 5S pada lean six

sixma serta waste dari lini proses produksi pembuatan Mur Baut.

Dalam penelitian yang telah dilakukan diketahui proses pembuatan mur

baut memakan waktu cukup lama.Hal ini ternyata ada banyaknya waktu yang

terpakai untuk kegiatan set-up baik material maupun mesin dan terjadi

berulang.Sehingga mempengaruhi kecepatan proses dan kualitas

produk.Melalui metode 5S dilakukan perbaikan-perbaikan untuk

meminimalisasi waste di lantai produksi dan metode lean six sigma untuk

peningkatan kecepatan proses dari produk.Dengan penggunaan metode 5S

dapat meminimalkan waktu proses pembuatan produk.Selain itu kualitas

produk, waktu proses merupakan hal yang penting untuk

diperhatikan.Perbaikan dari setiap proses dilakukan agar didapat 3,4

kegagalan persejuta, walaupun 6 sigma belum tercapai, tetapi penerapan

metode 5S dan Lean six sigma sudah menunjukkan perbaikan pada proses

yang dilakukan. (Muchtiar,2010)

2. Vanany(2009), meneliti bagaimana upaya memperbaiki dan meningkatkan

kualitas produk stationary dengan menggunakan langkah kerja DMAIC pada

six sigma.

6
7

Dalam penelitian ini diketahui aplikasi six sigma untuk meningkatkan

kualitas penting dilakukan perusahaan agar meningkatkan daya saing produk

semakin baik.Aplikasi tersebut perlu ditunjang dengan tool agar bisa

memenuhi target, seperti DMAIC, seven tools, big picture mapping dan

FMEA.Pendekatan DMAIC dipakai untuk menganalisa dan melakukan

perbaikan produk karena tingginya variabilitas dan tingkat cacat

produk.Metode six sigma didasarkan atas proses dan jenis cacat pada setiap

section.Pendekatan FMEA mampu memberi rekomendasi perbaikan

kualitas.Evaluasi dari hasil perbaikan penting untuk dilakukan secara terus

menerus. (Vanany, 2009)

3. Rini(2009), meneliti, bagaimana mengidentifikasi waste di perusahaan,

bagaimana mengetahui akar penyebab waste dan memberikan rekomendasi

mengenai waste yang menjadi prioritas utama dalam perusahaan.

Dalam penelitian ini memberikan saran perbaikan dalam produksi

dengan cara mengidentifikasi waste dengan menggunakan pendekatan lean

thinking.Untuk memberikan gambaran proses produksi di gunakan big picture

mapping, selanjutnya mengidentifikasi waste yang dominan terjadi saat

produksi.Waste yang terjadi dipetakan dengan tools berdasarkan

VALSAT.Saran perbaikan untuk mengurangi waste diharapkan dapat

memperbaiki kinerja perusahaan.Khususnya untuk mengurangi lead time,

yang akan berpengaruh pada waktu penyelesaian produk sehingga pelayanan

pada customer akan lebih memuaskan.( Rini, 2009)

Aspek Pembeda Dari Penelitian yang akan dilakukan

Dari penelitian sebelumnya dalam melakukan proses menurunkan produk

cacat dengan metode six sigma dengan pendekatan define, measure, analysis,
8

improve and control saja. usulan perbaikan proses kegiatan produksi masih

belum cukup jika tidak dilakukan analisa efisiensi yang berhubungan dengan

biaya.
Perusahaan akan lebih mendapatkan pertimbangan yang logis ketika suatu

perubahan atas usulan perbaikan proses produksi disertai perbandingan hasil

efisiensi biaya sehubungan dengan kualitas produk akhir.Sehingga keunggulan

penelitian yang akan dilakukan tidak hanya sampai pada usulan perbaikan

proses dalam mereduksi cacat produk, akan tetapi juga memperlihatkan

seberapa besar efisiensi yang dihasilkan dalam proses reduksi produk cacat

tersebut.

2.2 Konsep Dasar Lean

Lean adalah suatu upaya terus menerus (continuos improvement efforts)

yang dilakukan oleh perusahaan baik bidang manufaktur maupun bidang jasa

dalam beberapa hal, antara lain :

a. Menghilangkan jenis-jenis pemborosan(waste) dalam sistem perusahaan

b. Sebagai usaha untuk meningkatkan nilai tambah(value added) suatu produk

yang diproduksi oleh perusahaan.

c. Sebagai usaha untuk memberikan nilai pelanggan(customer value)

(Gaspersz,2008)

APICS Dictionary (2005) mendefinisikan Lean sebagai suatu filosofi bisnis

yang berlandaskan pada :

a. Minimasi penggunaan sunber-sumber daya (termasuk waktu) dalam berbagai

aktifitas perusahaan.

b. Upaya perbaikan dan peningkatan terus-menerus yang berfokus pada

identifikasi dan eliminasi aktifitas-aktifitas yang tidak bernilai tambah(non-


9

value adding actities) dalam desain, produksi, maupun dalam supply chain

management yang berkaitan langsung dengan pelanggan.

2.3 Prinsip Dasar Lean

Terdapat lima prinsip dasar dalam melakukan proses Lean dalam suatu

perusahaan, antara lain :

1. Mengidentifikasi nilai produk(barang/jasa)berdasarkan perspektif pelanggan,

dimana pelanggan menginginkan produk yang berkualitas superior, dengan

harga yang kompetitif dan waktu pengiriman produk yang tepat waktu.
2. Mengidentifikasi value stream process mapping(pemetaan proses pada value

stream) untuk setiap produk atau dengan kata lain melakukan pemetaan

proses produk.
3. Menghilangkan pemborosan yang tidak bernilai tambah dari semua aktifitas

sepanjang proses value stream.


4. Mengorganisasikan agar material, informasi, dan produk itu mengalir secara

lancar dan efisien sepanjang proses value stream menggunakan sistem tarik.
5. Mencari terus-menerus berbagai teknik dan alat-alat peningkatan

(improvement tools and techniques) dalam mencapai keunggulan dan

peningkatan terus-menerus.
10

2.4 Konsep Dasar Lean Six Sigma ( Lean Sigma )

Lean six sigma merupakan kombinasi antara lean dan six sigma yang

dapat didefinisikan sebagai suatu filosofi bisnis, pendekatan sistematik untuk

mengidentifikasi dan menhilangkan pemborosan atau aktifitas yang tidak bernilai

tambah melalui peningkatan terus menerus untuk mencapai tingkat kinerja enam

sigma, dengan cara mengalirkan produk (material, work-in-process, output)dan

informasi menggunakan sistem tarik (pull system) dari pelanggan internal dan

eksternal untuk mengejar keunggulan dan kesempurnaan berupa hanya

memproduksi 3,4 DPMO. (Gaspersz,2008).

Pendekatan lean bertujuan untuk menghilangkan pemborosan,

memperlancar aliran bahan baku, produk dan informasi, serta peningkatan terus

menerus.Sedangkan pendekatan six sigma bertujuan untuk mereduksi variasi,

pengendalian proses, perbaikan proses dan peningkatan terus menerus.Integrasi

lean dan six sigma akan meningkatkan kinerja bisnis dan industri dengan

peningkatan kecepatan (shorter cycle time) dan akurasi (zero defect).

Pendekatan lean sigma berlandaskan pada prinsip 5P(Profits, Products,

Processes, Project-by-project, and People) yang saling berkaitan satu sama lain,

yaitu sebagai berikut :

1. Profitts, akan meningkat apabila kinerja produk meningkat sesuai atau

melebihi kebutuhan dan ekspetasi pelanggan.


2. Products, akan meningkat kinerjanya apabila proses yang menghasilkan

produk tersebut meningkat.


3. Processes, akn meningkat hanya apabila dilakukan peningkatan proses value

stream melalui lean sigma.


4. Project-by-project, upaya peningkatan terus menerus akan berhasil apabila

dilakukan juga peningkatan pembelajaran dan pertumbuhan.

2.5 Tools Dalam Lean


11

Lean merupakan sekumpulan tool(alat) yang membantu dalam

pengidentifikasian dan peniadaan waste secara terus-menerus.Seiring hilangnya

waste, maka kualitas menjadi meningkat yang ditandai menurunnya waktu dan

biaya produksi.

Tools dalam Lean terdiri dari :

 5S, proses improvement yang meliputi lima tahapan (Seiri, Seiton, Seiso,

Seiketsu, dan Shitsuke) untuk menciptakan dan menjaga tempat kerja yang

bersih, rapi, dan teratur.


 Standart work dan visual control, digunakan untuk memperkuat prosedur

terstandart dan menampilkan keadaan dari setiap aktifitas sehingga pekerja

mengerti dan mengambil tindakan yang diperlukan saja.


 Just in time atau kanban, merupakan konsep penjadwalan produksi yang

memanggil setiap komponen (bahan baku, produk jadi, produk WIP) yang

diperlukan untuk diproduksi dan selalu tersedia ketika dibutuhkan melalui

kanban(kartu) untuk mengatur inventory dan WIP.


 Total Productive Maintenance(TPM), merupakan pendekatan untuk

mendesain, memilih, memperbaiki dan memelihara peralatan sehingga

memastikan bahwa setiap mesin atau proses selalu dapat melakukan

tugasnya tanpa gangguan dalam keterlambatan produmksi.


 Six-Sigma, merupakan metodologi untuk mengurangi variasi dan

meningkatkan proses bisnis.Six sigma bertujuan untuk menjaga tingkat

kecacatan tidak lebih dari 3,4 produk tiap sejuta kesempatan.

Tidak semua tools tersebut diatas harus digunakan dalam

pengimplementasian lean, akan tetapi penggunaan tools tersebut didasarkan

atas tujuan dan kebutuhan dari sistem yang ada dari setiap perusahaan.

(Wikipedia 2009)

2.6 Jenis-jenis Pemborosan (waste)


12

Taiichi Ohno, Chief Engineer Toyota menyatakan bahwa pemborosan yang

terdapat dalam lantai produksi menjadi “Eight Waste” (Ginting,2009).Delapan

pemborosan ini dipercaya oleh Taiichi Ohno bertanggung jawab dalam 95 %

biaya total dalam proses produksi.

1. Overproduction, adalah produksi produk dengan jumlah lebih banyak dari

permintaan konsumen atau melebihi jumlah yang dibutuhkan.


2. Inventory waste, merupakan bentuk dari bahan baku, produk WIP, maupun

produk jadi yang menambah pengeluaran dan belum menghasilkan

pemasukan, baik oleh produsen maupun konsumen.


3. Defect, merupakan kecacatan kualitas yang terjadi dalam proses maupun

produk akhir akan menghambat pengiriman dan tingginya biaya

produksi.Kecacatan kualitas proses atau produk bisa menimbulkan rework

sehingga ada tambahan biaya.


4. Overprocessing, merupakan pemborosan dari semua aktifitas dalam proses

produksi yang seharusnya tidak ada.


5. Waiting Waste, meliputi seluruh waktu yang membuat proses produksi

terhenti,seperti waktu menunggu kedatangan bahan baku, informasi,

penumpukan produk di satu departemen,maupun waktu konsumen dalam

mendapatkan produk jadi.


6. Motion Waste, meliputi gerakan pekerja atau mesin yang tidak memberikan

nilai tambah bagi jalannya proses produksi, proses kerja yang tidak teratur

atau tidak adanya standart kerja yang terdokumentasi dengan baik dan benar.
7. Transportation Waste, merupakan pergerakan setiap barang ,bahan baku,

barang setengah jadi yang memiliki resiko penundaan, keterlambatan atau

resiko kerusakan sehingga menambah biaya produksi.


8. Underutilized People, merupakan pemborosan karena pekerja yang tidak

mengeluarkan kemampuan, kreatifitas, skill atau mental yang bisa

mengakibatkan suatu jenis pemborosan, misalnya : proses kerja yang tidak


13

teratur atau budaya organisasi yang kurang memotivasi pekerja untuk

berkembang.

Kaufman Consulting Group (1999) telah merumuskan jenis-jenis

pemborosan dalam industri manufaktur dikelompokkan dalam empat kategori

utama yaitu, orang, kuantitas, kualitas, dan informasi, seperti ditunjukkan dalam

Tabel berikut :

Tabel 2.1 Pendekatan untuk Reduksi Pemborosan dalam Industri Manufaktur


Pendekatan
Kategori Contoh Metode
Jenis Pemborosan Reduksi Fokus Peningkatan
Waste Lean six sixma
Pemborosan
Orang Processing,Motion, Manajemen Penetapan Tataletak,
Wating Tempat Kerja standart Pemasangan
kerja,Kaizen, label,efisiensi,
5S Takt time,
training,visual
display
Kuantitas Inventory,Moving JIT Laveling, Workbalance,WIP
thing,Making Too Kanban,Quick location,Lotsizes,
Much setup,TMP TPM
Kualitas Fixing Defect Error Proofing, Detection,Warni Fixture
Autonomation ng, modification,
Prediction,Preve Successive
ntiv,Jidoka checks,
Checksheet,
Automated
assistance,templa
tes
Informasi Planning Teknologi Plan, Queue
scheduling,Executio informasi berfokus schedule,Track, analysis,dynamic
n proses Anticipate schedulingof
OCVimize order/job status
by process
element,timing
2.7 Identifikasi Waste Dengan VALSAT (value stream analysis tool)

Waste dapat didefinisikan sebagai segala aktifitas kerja yang tidak

memberikan nilai tambah dalam proses transformasi input menjadi output

sepanjang value stream.

Untuk memahami kedelapan waste tersebut perlu didefinisikan tiga tipe

aktifitas yang terjadi dalam sistem produksi.Ketiga tipe aktifitas tersebut adalah :

(Gaspersz,2008)
14

1. Value adding activity, yaitu semua aktifitas yang bisa memberikan nilai tambah

bagi produktifitas perusahaan.


2. Necessary but non-value, yaitu semua aktifitas yang tidak memberikan nilai

tambah, akan tetapi tetap perlu dilakukan dan harus dilakukan upaya menuju

efisiensi dan efektifitas.


3. Non value adding activity, yaitu semua aktifitas yang tidak memberikan nilai

tambah dan aktifitas tersebut bisa direduksi atau dihilangkan.

2.7.1 Konsep VALSAT (value stream analysis tool)

Pemilihan tools ini dilakukan untuk memperoleh alat yang secara tepat

menngambarkan aliran nilai yang terjadi di lantai produksi perusahaan.Dengan

adanya penggambaran menggunakan salah satu dari value stream analysis ini

diharapkan dapat mengidentifikasi secara detail titik-titik pemborosan yang terjadi

serta mengetahui permasalahan yang melatar belakangi terjadinya pemborosan

tersebut.Metode yang digunakan untuk pemilihan tool tersebut adalah dengan

waste workshop dan tabel valsat.

Waste workshop adalah kegiatan untuk mengetahui pemborosan-

pemborosan yang terjadi di lini produksi produksi dengan penyebaran kuisioner

kepada pihak-pihak yang mengetahui keadaan aliran nilai di lini produksi. :

(Gaspersz,2008)

Tabel valsat terdiri dari jenis waste sesuai dengan delapan waste yang

telah dikemukakan diatas, bobot berdasarkan penilaian dari responden

kuisioner.Dengan mengambil nilai bobot rata-rata dari masing-masing jenis

waste.Masing-masing bobot tersebut dikalikan dengan faktor pengalinya, dengan

ketentuan sebagai berikut :

 Untuk waste High Correlation and usefulness (H) dengan faktor pengali = 9
 Untuk waste Medium Correlation and usefulness (M) dengan faktor pengali =

3
 Untuk waste Low Correlation and usefulness (L) dengan faktor pengali = 1
15

Tabel 2.2
Waste Finding Checklist

Work Cell Total Rangking


No Jenis Waste Work Work Work Bobot Prioritas
Cell 1 Cell 2 Cell (n) waste Waste
1 Overproduction
2 Inventory
3 Defect
4 Motion
5 Transportation
6 Waiting
7 Overprocessing
8 Underutilized People
Sumber :(Gaspersz,2008)

Keterangan Penilaian:
0 = No waste found
1 = Very little waste
2 = a little waste
3 = Considerable waste
4 = a lot of waste

Tabel 2.3
VALSAT TOOLS
Supply
Process Chain Production Quality Demand Decision
Waste/ Physical
Activity Variety Filter Amplification Point
Structur Response Structure
mapping Funnel Mapping Mapping Analysis
Matrix
Overproduction L M L M M
Waiting H H L M M
Transportation H L
Overprocessing H M L L
Inventory M H M H M L
Motion H L
Defect L H
Underutilized People L L M L H M H
Sumber : Hinies & Rich,1997(Handiningsih,2006)

Keterangan :

1. Process Activity Mapping


16

Tool ini memetakan proses secara detail, dengan menggunakan simbol

yang berbeda untuk mempresentasikan aktifitas operasi, menunggu,

transportasi, inspeksi dan penyimpanan.Peta ini berguna untuk memahami

aliran proses, mengidentifikasikan apakah suatu proses dapat dilakukan

perbaikan menjadi lebih efisien dan mengidentifikasikan perbaikan aliran

penambahan nilai.

2. Supply Chain Response Matrix

Merupakan sebuah grafik yang menggambarkan hubungan antara

inventory dengan lead time yang digunakan untuk mengidentifikasi dan

mengevaluasi kenaikan atau penurunan tingkat persediaan dan panjang lead

time pada tiap area supply chain.tool ini bertujuan untuk menjaga dan

meningkatkan service level kepada konsumen dalam jalur distribusi dengan

biaya yang seminimal mungkin.

3. Production Variety Funnel

Merupakan teknik pemetaan secara visual dengan melakukan plot pada

sejumlah variasi produk yang dihasilkan dalam setiap tahap proses

manufaktur.Dapat digunakan mengidentifikasi titik mana sebuah produk

generic diproses menjadi beberapa produk yang spesifik, menunjukkan

bottleneck pada desain proses, untuk kebijakan inventory.

4. Quality Filter Mapping

Merupakan tool yang memetakan masalah-masalah kualitas yang

muncul dalam supply chain.Masalah kualitas berupa adanya produk cacat,

internal scrap(kecacatan yang diproduksi dan terdeteksi di bagian inspeksi),

service defect(keterlambatan pengiriman,kesalahan packing/labeling,

permasalahan faktur dan sebagainya.


17

5. Demand Amplification Mapping

Tool yang digunakan untuk memetakan pola permintaan di tiap titik

dalam rantai supply chain.Berguna untuk mendeteksi kebutuhan permintaan

dalam rantai supply chain bisa terpenuhi.

6. Decision Point Analysis

Tool ini juga biasa disebut decoupling point, yaitu titik dimana terjadi

perubahan pemicu kegiatan produksi yang awalnya atas dasar peramalan

berubah menjadi atas dasar order.

7. Physical Stucture

Merupakan tool baru yang dapat digunakan untuk memahami sebuah

rantai supply chain di perusahaan.Berguna untuk mempelajari dan

memberikan fokus perhatian terhadap area-area yang membutuhkan

perhatian cukup/lebih.

Pemakaian dan implementasi terhadap tools tersebut diatas didasarkan

pada situasi dan kondisi setiap perusahaan itu sendiri, tergantung dari tujuan dan

kebutuhan perusahaan tersebut.

2.8 Pengertian Kualitas

Kualitas sangat penting bagi sebuah produk, baik berupa produk barang

maupun jasa. Hal-hal yang sangat penting bagi produsen berkaitan dengan

produk adalah kualitas, biaya dan produktivitas. Sedang bagi konsumen adalah

kualitas, harga dan pelayanan purna jual. Dengan demikian kualitas adalah satu-

satunya hal yang paling penting bagi kedua belah pihak. Dalam banyak kasus,

konsep kualitas berbeda antara pabrikan/produsen dan pelanggan/konsumen.

Kualitas bagi pelanggan berarti kenyamanan dalam penggunaan,

sementara bagi pabrikan, kualitas berarti sifat-sifat kuantitatif yang menjadi


18

tujuan (sifat-sifat khas lain) misalnya kemurnian, viskositas, warna dan benda

asin. Beberapa sifat-sifat khas lainnya bukan merupakan kualitas yang diminta

pelanggan. Suatu produk mempunyai sifat-sifat yang tidak diketahui baik oleh

pabrikan maupun pelanggan. Pelanggan membeli produk yang mempunyai

beberapa sifat yang tidak diketahui sebaik sifat-sifat yang diketahui. Pada saat

proses-proses dipabrikan diganti, beberapa sifat yang tidak diketahui juga akan

diganti.

Kegunaan produk bagi para pelanggan adalah kualitas dari produk. Dalam

pengertian ini, pelanggan yang menentukan kualitas dari produk. Spesifikasi

kualitas ditunjukkan pada spesifikasi pengiriman dalam kadar kualitas minimum

yang harus dipenuhi oleh pabrikan.

Menurut Nasution (2005;2-3) dalam bukunya bahwa Deming (1982:176)

mendefinisikan bahwa kualitas adalah kesesuaian dengan kebutuhan pasar,

sedangkan menurut Feigenbaum (1986:7) menyatakan bahwa kualitas adalah

kepuasan pelanggan sepenuhnya (full customer satisfaction), sedangkan

menurut juran (Hunt, 1993:32) kualitas adalah kecocokan penggunaan produk

(fitness for use) untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan pelanggan.

Kecocokan penggunaan itu didasarkan atas lima ciri utama yaitu:

1. Teknologi, yaitu kekuatan atau daya tahan

2. Psikologis, yaitu citra rasa atau status

3. Waktu, yaitu kehandalan

4. Kontraktual, yaitu adanya jaminan

5. Etika, yaitu sopan santun, ramah atau jujur.

Dari beberapa definisi diatas terdapat persamaan bahwa kualitas meliputi

usaha untuk memenuhi atau melebihi harapan pelanggan, kualitas mencakup


19

produk (barang dan jasa), proses dan lingkungan kerja, serta merupakan kondisi

yang selalu berubah.

2.9 Definisi Six Sigma

Menurut Vincent Gaspersz (2008:6) six sigma adalah suatu upaya terus

menerus (continuous improvement efforts) untuk menurunkan variasi dari proses

agar meningkatkan kapabilitas proses dalam menghasilkan produk (barang dan

atau jasa) yang bebas kesalahan (zero defects) target minimal 3,4 DPMO

(Defects Per Million Opportunities) untuk memberikan nilai kepada pelanggan

(customer value).

Six sigma adalah konsep statistik yang mengukur proses dalam

hubungannya dengan kesalahan pada level six sigma, terdapat 3,4 kegagalan

untuk setiap satu juta kesempatan. Jadi misalnya, kita memproduksi 1juta

barang, maka yang cacat hanya 3,4 itu artinya secara persentase, kita meraih

akurasi kerja hingga 99,9997% atau nyaris sempurna.

(http://rajapresentasi.com/2009/04/ meraih-keunggulan-melalui-six-sigma).

Six Sigma dapat diartikan sebagai sebuah metodologi terstruktur untuk

memperbaiki proses yang difokuskan pada usaha mengurangi variasi pada

proses (proses variances) sekaligus mengurangi cacat (produk/servis yang diluar

spesifikasi) dengan menggunakan statistik dan problem solving tools secara

intensif (http://beranda.net/faktorq/six.sigmasederhanal.htm).

2.10 Tingkat Sigma (Level Sigma)

Menurut Vincent Gaspersz (2007) Tingkat six sigma adalah hasil dari

peningkatan kualitas dramatik yang diukur berdasarkan persentase antara COPQ

(Cost Of Poor Quality) terhadap penjualan, seperti tabel dibawah ini:


20

Tabel 2.4
Tingkatan Six Sigma
Tingkat
DPMO COPQ
No Pencapaian
(Defect Per Million Opportunities) (Cost of Poor Quality)
Sigma
1. 1-Sigma 697.462 (sangat tidak kompetitif) Tidak dapat dihitung
2. 2-sigma 308.538 (rata-rata industri Tidak dapat dihitung
Indonesia)
3. 3-Sigma 66.807 25-40% dari
penjualan
4. 4-sigma 6.210 (rata-rata industri USA) 15-25% dari
penjualan
5. 5-sigma 233 5-155 dari penjualan
6. 6- sigma 3,4 (Industri kelas Dunia) < 1% dari penjualan
Sumber : ( Gaspersz, 2007).

2.11 Sasaran Six Sigma

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa sasaran six sigma adalah

menghasilkan produk pada level six sigma, sedangkan manfaat yang dapat

diperoleh adalah sebagai berikut:

l. Dapat mengurangi jumlah produk yang tidak sesuai (cacat).

2. Meningkatkan keuntungan yang diperoleh perusahaan dan meningkatkan

pemenuhan kepuasan pelanggan.

3. Mengoptimalkan pengeluaran perusahaan dalam melakukan proses produksi.

2.12 Istilah-Istilah Dalam Six Sigma

Dalam program peningkatan kualitas six sigma terdapat beberapa istilah

penting yang perlu dikemukakan dan diketahui terlebih dahulu agar selanjutnya

mudah untuk dipahami. Adapun istilah-istilah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Critical to Quality (CTQ)

Critical to Quality (CTQ) adalah atribut-atribut yang sangat penting untuk

diperhatikan karena berkaitan langsung dengan kebutuhan dan kepuasan


21

pelanggan. Merupakan elemen dari suatu produk, proses, atau praktek-

praktek yang berdampak langsung pada kepuasan pelanggan. Karakteristik

kualitas (Critical to Quality) kunci yang ditetapkan sebaiknya berhubungan

langsung dengan kebutuhan spesifik dari pelanggan atau konsumen.

Penetapan karakteristik kualitas (CTQ) yang berkaitan langsung dengan

kebutuhan spesifik dari pelanggan akan sangat tergantung pada situasi dan

kondisi dari setiap organisasi bisnis. (Gaspersz, 2007).

2. Cacat (defect)

Cacat (defect) adalah semua kejadian atau peristiwa dimana produk

atau proses gagal memenuhi kebutuhan seorang pelanggan, hal ini berarti

kegagalan terjadi bila tidak sesuai dengan kebutuhan pelanggan.

Di dalam proses produksi terdapat istilah tidak sempurna (defective),

yaitu merupakan unit yang sudah selesai diproduksi namun digolongkan

sebagai produk buruk. 10% cacat mengandung makna bahwa 99% produk

tersebut baik. Secara realita tentunya sebagai pihak konsumen

mengharapkan kualitas di atas 99% baik dari supplier.

3. Cost Of Poor Quality (COPQ)

Cost of Poor Quality (COPQ) adalah ukuran-ukuran dollar (uang) yang

menunjukkan pengaruh masalah (kegagalan internal dan eksternal) di dalam

proses saat masalah itu ada, mencakup biaya tenaga kerja dan material

untuk serah terima/dandoff pekerjaan ulang, inspeksi, dan aktivitas lainnya

yang tidak bernilai tambah.

Dari paparan di atas dapat diartikan bahwa COPQ adalah total biaya

yang dikeluarkan untuk menangani kualitas yang buruk, biaya-biaya ini

meliputi biaya inspeksi, pengolahan ulang, penolakan, penggantian barang


22

dan biaya langsung yang berkaitan dengan pencarian dan pembetulan cacat

termasuk juga biaya mutu yang buruk.

4. Variasi (Variation)

Menurut Vincent Gaspersz (2007) mengatakan bahwa Variasi (Variation)

merupakan ketidakseragaman dalam sistem industri sehingga menimbulkan

perbedaan dalam kualitas pada produk, proses produksi (barang dan jasa)

yang dihasilkan. Menurutnya bahwa pada dasarnya dikenal ada dua

penyebab timbulnya variasi yang diklasifikasikan sebagai berikut ini:

a. Variasi Penyebab Khusus (Special Causes Variation)

Variasi Penyebab Khusus (Special Causes Variation) adalah kejadian-

kejadian di luar sistem industri yang mempengaruhi variasi dalam sistem

industri itu. Penyebab khusus dapat bersumber dari faktor-faktor manusia,

peralatan, material, lingkungan, metode kerja dan lain-lainnya.

b. Variasi Penyebab Umum (Common Couses Variation)

Variasi Penyebab Umum (Common Couses Variation) adalah faktor-faktor

di dalam sistem industri atau yang melekat pada proses industri yang

menyebabkan timbulnya variasi dalam sistem industri serta hasil-

hasilnya.

2.13 Metodologi Six Sigma

Six Sigma merupakan pendekatan menyeluruh untuk menyelesaikan

masalah dan peningkatan proses melalui tahap DMAIC, yang harus melibatkan

manajemen dari tingkat atas sampai tingkat bawah secara intensif. DMAIC

dilakukan secara sistematik berdasarkan ilmu pengetahuan dan fakta. Konsep

DMAIC merupakan konsep cloose-loop dimana output dari tiap tahap akan
23

menjadi input bagi tahap berikutnya. Tahap-tahap dalam konsep DMAIC yang

meliputi tahap Define, Measure, Analyze, Improve and Control.

Tahap Define Tahapan proses untuk mengidentifikasi proyek perbaikan

untuk mencapai tingkat kualitas Six Sigma dan menentukan karakteristik CTQ.

Pada tahap ini ditentukan masalahnya, menetapkan persyaratan-persyaratan

pelanggan dan membangun tim. Aspek yang perlu diperhatikan dalam

memaparkan masalah seperti;

 Spesifik, menjelaskan secara tepat apa yang salah, bagian proses bisnis

mana yang salah dan apa masalahnya.

 Dapat diamati, menjelaskan bukti-bukti nyata suatu masalah. Bukti-bukti

tersebut dapat diperoleh misalnya dari laporan internal maupun umpan balik

pelanggan.

 Dapat diukur, menunjukkan lingkup masalah dalam suatu ukuran.

 Dapat dikendalikan, masalah harus dapat diselesaikan dalam rentang waktu

tertentu.

Pada tahap ini tidak banyak menggunakan statistik. Pada tahap ini dapat

menggunakan proses mapping dan diagram SIPOC (supplier, inputs, processes,

outputs, dan customers).

Tahap Measure, tahap mengukur tingkat kinerja saat ini. Tahap ini berfungsi

memvalidasi atau menyaring masalah dan mulai meneliti akar masalah terhadap

sasaran analyze. Sebelum melakukan pengukuran terhadap tingkat kinerja, perlu

dipastikan sistem pengukuran yang dilakukan. Dengan melakukan analisis

terhadap sistem pengukuran, kita dapat mengetahui variasi yang terjadi apakah

berasal dari kesalahan pengukuran atau disebabkan oleh variasi produk. Tingkat

kinerja suatu proses dapat dipantau dengan melakukan analisis atas kapabilitas

proses. Analisis kapabilitas proses akan memperbandingkan kinerja suatu proses


24

dengan spesifikasi yang telah ditetapkan. Pada tahap ini dapat digunakan

metode statistik seperti : capability, analysis, dan lain-lain.

Tahap Analyze, tahap mencari dan menentukan akar penyebab dari suatu

masalah. Masalah-masalah yang timbul terkadang sangat kompleks sehingga

membuat kita bingung mana yang akan kita selesaikan. Diagram Pareto dapat

digunakan untuk memprioritaskan masalah yang harus ditangani dengan aturan

pengelompokan 80-20. selanjutnya akar utama suatu permasalahan dapat

dianalisis menggunakan diagram fish bone yang akan menjabarkan secara detil

sebab-sebab suatu masalah.

Tahap Improve, tahap meningkatkan proses dan menghilangkan sebab-

sebab cacat. Pada tahap ini dilakukan pemilihan strategi peningkatan kualitas.

Selama tahap improve, tim proyek mengidentifikasi proses secara kritis melalui

metode tertentu, misalnya dengan konsep poka-yoke, dan mendesain ulang

proses sebagaimana dibutuhkan( SOP )

Tahap Control, tahap mengontrol kinerja proses dan menjamin cacat tidak

muncul. Alat yang paling umum digunakan adalah diagram kontrol (SPC). Fungsi

umum diagram kontrol adalah;

 Membantu mengurangi variabilitas dengan SOP baru

 Memonitor kinerja setiap saat.

 Memungkinkan proses koreksi setiap saat untuk mencegah penolakan.

 Trend dan kondisi di luar kendali terdeteksi secara cepat.

2.14 Konsep Poka – Yoke

Poka Yoke ditemukan oleh Shigeo Shingo pada tahun 1960an. Istilah Poka

Yoke berasal dari bahasa Jepang poka (kesalahan yang tidak disengaja) dan

yoke (proofing/pembuktian). Gagasan dasar poka yoke adalah untuk mendesain


25

proses agar kesalahan tidak mungkin terjadi atau minimal dapat dideteksi atau

dikoreksi.

Shigeo Shingo memimpin penelitian tentang Statistical Process Control

pada industry manufaktur Jepang pada tahun 1950an. Akan tetapi menjadi

frustasi dengan pendekatan statistic karena beliau sadar bahwa hal tersebut

tidak akan mengurangi cacat.

Saat berkunjung ke pabrik Yamaha Elektrik, Shingo diberitahu tentang

masalah terhadap satu produk. Bagian dari produk ini merupakan switch kecil

dengan dua push button yang dihubungkan dengan dua spring. Kadang-kadang

pekerja lupa untuk memasang spring tersebut. Biasanya kesalahan atau cacat

tersebut ditemukan saat produk sudah sampai ke konsumen. Kemudian sebagai

tanggung jawab kepada konsumen maka perusahaan men”disassemble” produk

dan merangkainya kembali. Masalah hilangnya spring ini sangat membuang

biaya dan memalukan. Pihak manajemen harus memperingatkan pekerja untuk

lebih berkonsentrasi dalam bekerja. Kemudian Shingo memberikan solusi yang

menjadi Poka yoke yang pertama:

 Pada metode lama, seorang pekerja memulai pekerjaannya dengan

mengambil dua spring dari kotak komponen yang besar dan kemudian merakit

switch.

 Pada pendekatan yang baru, pinggan atau piringan kecil diletakkan didepan

kotak komponen dan tugas pertama pekerja adalah mengambil dua spring

dari kotak dan meletakkanya pada piringan kemudian pekerja merakit switch.

Jika tidak ada spring dalam piringan, maka pekerja akan tahu bahwa dirinya

lupa untuk meletakkan spring tersebut. Prosedur baru ini mengeliminasi

masalah hilangnya spring.


26

Shingo mulai mengembangkan konsep mistake-prooving ini untuk tiga

decade ke depan. Satu perbedaan krusial yang beliau buat adalah antara

kesalahan dan cacat. Kesalahan tidak dapat dielakkan; manusia tidak dapat

berkonsentrasi sepanjang waktu pada pekerjaannya dan untuk mengerti semua

instruksi yang diberikan. Cacat dihasilkan dari mengizinkan kesalahan sampai ke

konsumen, dan cacat tidak dapat dielakkan. Tujuan Poka yoke adalah

merancang proses agar kesalahan dapat dicegah atau dideteksi dan dikoreksi

secepatnya. Saat ini konsep Poka yoke digunakan secara luas di Jepang. Toyota

Motor Coorporation. (Shingo, Shigeo. Zero Quality Control: Source Inspection

and the Poka-yoke System. Stamford: Productivity, 1986).

2.14.1 Seven Steps to Poka-Yoke Attainment

a. Proses kualitas – mendesain proses kualitas “kuat” untuk memperoleh zero

defects.

b. Menggunakan suatu lingkungan tim- meningkatkan pengalaman,

pengetahuan tim untuk meningkatkan pengembangan usaha.

c. Mengeliminasi kesalahan – Menggunakan metodologi pemecahan masalah

yang kuat untuk menghilangkan cacat.

d. Mengeliminasi akar masalah kesalahan –Menggunakan pendekatan 5W .

e. Melakukan yang benar pada percobaan pertama – Menggunakan sumber

daya untuk menampilkan fungsi secara benar pada percobaan pertama.

f. Mengeliminasi keputusan yang tidak menambah nilai - Don’t make excuses-

just do it !

g. Mengimplementasikan suatu pendekatan pengembangan Incremental

Continual –Mengimplementasi perkembangan aksi secara cepat dan focus


27

pada pengembangan incremental; efforts do not have to result in a 100%

improvement immediately.

(Liker, Jeffrey and David Meier. Toyota Way Fieldbook. Jakarta:Erlangga, 2007)

2.14.2 Metode Poka-Yoke

Poka Yoke merupakan metode yang menggunakan sensor, alat lain atau

modidfikasi mesin untuk mengetahui kesalahan yang mungkin dilakukan oleh

operator atau perakit.

Poka Yoke digunakan untuk meminimasi adanya kesalahan pada mesin

atau operator. Tujuan dari teknik pokayoke adalah zero defect.

Tiga fungsi regulasi Poka – Yoke antara lain:

a. Metode Control

Ketika terjadi abnormalitas, matikan mesin atau kunci klem untuk

menghentikan operasi, untuk mencegah terjadinya kerusakan yang

berkelanjutan. Metode ini memiliki lebih banyak kemampuan fungsi regulasi

dibanding tipe peringatan lain dan ketepatan maksimum dalam mencapai

‘zero defect’.

b. Metode Peringatan

Metode ini dengan mengaktifkan sebuah alarm atau sebuah cahaya.

Cacat akan terjadi secara berkelanjutan jika para pekerja tidak

memperhatikan sinyal-sinyal ini.

c. Metode Modifikasi

Merupakan metode yang bertujuan untuk memodifikasi mesin sehingga

kerusakan yang sering terjadi pada mesin dapat diminimalisir dan mesin tidak

akan menghasilkan cacat produk.


28

Biasanya para pekerja yang teledor dapat melakukan kesalahan yang

akhirnya menyebabkan produk menjadi cacat terlebih lagi mesin menjadi rusak

atau breakdown. Tetapi terkadang tidak sepenuhnya kesalahan ini merupakan

kesalahan operator semata. Kesalahan operator ini bisa juga disebabkan karena

kesalahan dari sistem (tidak adanya standar prosedur yang pasti), atau cara

kerja mesin yang sulit diikuti oleh operator. Oleh karena itu modifikasi mesin

diperlukan untuk mempermudah operator dalam mengoperasikan mesin supaya

breakdown dan cacat produk dapat terhindarkan. (www.barcominc.com).

Sistem poka yoke terdiri dari tiga metode utama, yaitu:

1. Metode Kontak

Metode kontak didasarkan pada beberapa tipe dari alat sensor yang

mendeteksi ketidaknormalan bentuk produk atau dimensi dan juga responnya.

2. Metode Nilai Tetap

Metode nilai tetap dipakai untuk proses dimana aktivitas yang sama diulang

beberapa waktu, seperti pengetatan. Metode ini melibatkan teknik yang

sangat sederhana, seperti metode yang mengijinkan operator untuk keluar

lebih mudah seberapa sering aktifitas yang telah dilakukan.

3. Motion-step Methods

Metode motion-step sangat berguna untuk semua proses yang memerlukan

beberapa aktivitas yang berbeda yang berada dalam suatu rangkaian yang

dilakukan oleh operator tunggal. Hal ini serupa dengan situasi fixed-value

dimana seorang operator bertanggungjawab terhadap beberapa aktivitas

berbeda tetapi sebagai pengganti melakukan aktivitas yang sama beberapa

kali operator melakukan aktivitas yang bebeda.

(Gasperz, Vincent. Lean Sigma Approach. Jakarta:Erlangga, 2005.)


29

2.15 Perhitungan-perhitungan dalam Six Sigma

Di dalam program peningkatan kualitas six sigma terdapat beberapa

perhitungan dan istilah yang cukup penting. Adapun perhitungan-perhitungan

tersebut adalah sebagai berikut:

1. Defect Per Unit (DPU)

Defect Per Unit (DPU) merupakan ratio jumlah cacat per satu unit,

dihitung dengan cara jumlah cacat yang terjadi dibagi dengan jumlah unit

yang diproduksi.

Adapun rumusan persamaannya adalah sebagai berikut:

Cacat
DPU 
Unit yang diproduksi

Sumber : ( Gaspersz, 2007).


30

2. Defect Per Opportunities (DPO)

Defect Per Opportunities (DPO) merupakan suatu ukuran kegagalan

yang menunjukkan banyaknya cacat atau kegagalan per satu juta

kesempatan. Dihitung dengan menggunakan rumus DPO = banyaknya cacat

atau kegagalan dibagi dengan banyaknya unit usaha yang diperiksa dikalikan

banyaknya CTQ yang potensial menyebabkan cacat/kegagalan sebagaimana

berikut ini :

Cacat
DPO 
Unit yang diproduksi x CTQ

Cacat
DPO 
Peluang / Opportunities

Sumber : ( Gaspersz, 2007).

3. Defect Per Million Opportunities (DPMO)

Defect Per Million Opportunities (DPMO) adalah kalkulasi yang

digunakan dalam inisiatif perbaikan proses six sigma yang mengindikasikan

jumlah defect dalam sebuah proses per satu juta peluang. Perhitungan DPMO

dihitung dengan menggunakan rumusan DPMO = DPO dikalikan 1.000.000.

2.15.1 Tingkat Sigma

Pada program peningkatan kualitas six sigma, perhitungan sigma level

dapat dilakukan dengan beberapa metode, adapun metode tersebut sebagai

berikut ini:

1. Dengan menggunakan Microsoft Excel, maka perhitungan nilai sigma dapat

dilakukan dengan memasukkan rumus:

= normsinv ((1000000 -DPMO)/1000000)+1.5


31

Sedangkan untuk mencari DPMO digunakan rumus:

a. = 1000000-normsdist ((USL-Xbar)/S)*1000000+normsdist(LSL-

Xbar/S)*1000000, untuk perhitungan DPMO yang memiliki 2 batas spesifikasi

atas dan bawah.

b. =1000000-normsdist (abs(USL-Xbar)/S)*1000000,

Untuk perhitungan DPMO yang memiliki satu batas spesifikasi atas, USL.

c. =1000000-normsdist (abs(LSL-Xbar)/S)*1000000

Untuk perhitungan DPMO yang memiliki satu batas spesifikasi bawah, LSL.

2. Menggunakan tabel konversi nilai DPMO ke nilai sigma berdasarkan konsep

motorola (Gaspersz, 2007).

2.16. Uji Kecukupan Data

Dalam proses pengukuran kerja, dilakukan sampling yang tidak mengambil

data dari seluruh populasi. Untuk menentukan berapa jumlah observasi yang

harus dibuat (N’). Untuk itu harus dibuat tingkat kepercayaan (confidence level)

dan derajat ketelitian (degree of accuracy) yang digunakan untuk kegiatan

pengukuran atau pengambilan data ini.

a. Uji kecukupan data variabel dapat dirumuskan sebagai berikut:


2
k  
N x12   x1  
2

N'   s
 x 1 
 

Sumber :(Wignjosoebroto, 1995: 185)

Dimana :

N’ = Jumlah pengamatan yang harus dilakukan

N = Jumlah pengamatan pendahuluan

= Jumlah semua data yang di ukur


32

s = Tingkat ketelitian

k = Tingkat kepercayaan

- Jika tingkat kepercayaannya 68% berarti k = 1

- Jika tingkat kepercayaannya 95% berarti k = 2

- Jika tingkat kepercayaannya 99% berarti k = 3

b. Uji kecukupan data atribut dapat dirumuskan sebagai berikut:

N’ = k2 / S2 x p (1 – p)

Sumber : ( Montgomery, 1996.158)

Dimana :

N’ = Jumlah pengamatan yang harus dilakukan

s = Tingkat ketelitian

- Jika tingkat ketelitiannya 5% berarti s = 0,05

- Jika tingkat ketelitiannya 10% berarti s = 0,1

k = Tingkat kepercayaan

- Jika tingkat kepercayaannya 68% berarti k = 1

- Jika tingkat kepercayaannya 95% berarti k = 2

- Jika tingkat kepercayaannya 99% berarti k = 3

p = produk cacat (%)

Tingkat ketelitian menunjukkan penyimpangan maksimum hasil

pengukuran dari waktu penyelesaian sebenarnya. Sedangkan tingkat

kepercayaan menunjukkan besarnya keyakinan pengukuran bahwa hasil yang

diperoleh memenuhi syarat ketelitian tadi. Dengan kata lain tingkat ketelitian

adalah tingkat atau derajat dimana batas-batas yang digunakan dapat

diijinkan untuk diterima atau ditoleransi. Sedangkan tingkat kepercayaan


33

merupakan tingkat/derajat data yang diperoleh diyakini berasal dari populasi

yang sama.

2.17 Kemampuan Proses

Kemampuan Proses (process capability) merupakan suatu ukuran kinerja

kritis yang menunjukkan proses mampu menghasilkan sesuai dengan spesifikasi

produk yang telah ditetapkan oleh perusahaan berdasarkan kebutuhan dan

ekspektasi pelanggan.

Indeks kemampuan proses yang dipakai adalah Cpm-Cpmk, dimana Cmp dan

Cmpk merupakan indeks kemampuan proses untuk short term condition (kondisi

proses yang terkendali), indeks yang mengukur kemampuan proses yang

memenuhi syarat permintaan/spesifikasi pada titik waktu tertentu berdasarkan

keinginan pelanggan.

Adapun persamaan atau rumus yang digunakan untuk menghitung indeks

kemampuan proses Cpm-Cpmk untuk short term condition (kondisi proses yang

terkendali) adalah sebagai berikut:

- Indeks Cpm untuk yang hanya memiliki satu batas spesifikasi (SL) dihitung

menggunakan rumus sebagai berikut:

( SL  T )
Cpm 
6 X T  2
 S2

1   x  T  / S
2
Cpmk  Cpk /

Karena tidak terdapat T, maka nilai T diganti dengan X-bar atau nilai

spesifikasi sebenarnya yang diharapkan, sehingga:


34

Cpmk  Cpk / 1  0  Cpk

Dimana

Cpmk 
x  LSL 
3S

Sumber : ( Gaspersz,2007)

dimana :

SL = Spesification Limit

x = Nilai rata-rata

S = Standar Deviasi Sampel

Dalam program peningkatan kualitas six sigma digunakan kriteria-

kriteria guna penilaian dari Cpm dan Cpmk adalah sebagai berikut:

a. Cpm, Cpmk > 2,00 : maka proses sangat mampu memenuhi spesifikasi target

kualitas yang diterapkan oleh pelanggan dengan tingkat kegagalan

mendekati nol (zero defect). Kondisi perusahaan stabil dan mampu.

b. Cpm, Cpmk antara 1,00 - 1,99 : maka proses berada di antara tidak sampai

cukup mampu, sehingga perlu adanya upaya-upaya yang giat untuk

meningkatkan kualitas proses menuju target perusahaan berkelas dunia

yang memiliki tingkat kegagalan yang sangat kecil menuju nol (zero

defect). Kondisi perusahaan stabil dan tidak mampu.

c. Cpm, Cpmk < 1,00 : maka proses dianggap tidak mampu untuk mencapai

target kualitas pada tingkat kegagalan nol (zero defecf) kompetitif untuk

bersaing di pasar global.


35

2.18 Alat-Alat Dalam Six Sigma

Di dalam program six sigma terdapat beberapa alat yang berfungsi sebagai

kunci yang dapat digunakan untuk membuka informasi yang akan menjawab apa

yang diperlukan untuk memperbaiki proses, kualitas maupun kinerja.

Alat-alat yang digunakan tersebut berjumlah tujuh yang sering disebut

dengan seven tool, akan tetapi dalam penyelesaiannya six sigma hanya

membutuhkan tiga alat yang terdiri dari diagram pareto, diagram sebab akibat an

peta kontrol. Menurut Rosnani Ginting (2007:304-305) maksud dan tujuan

penggunaan seven tool tersebut adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui masalah.

2. Mempersempit ruang lingkup masalah.

3. Mencari faktor yang diperkirakan merupakan penyebab.

4. Memastikan faktor yang diperkirakan merupakan penyebab.

5. Mencegah kesalahan akibat kurang berhati-hati.

6. Melihat akibat perbaikan.

7. Mengetahui hasil yang menyimpang atau terpisah dari hasil lainnya.

Adapun dari ketujuh alat pengendali kualitas tersebut yang digunakan

adalah sebagai berikut:

1. Pareto Diagram

Diagram pareto adalah grafik batang yang menunjukkan masalah

berdasarkan urutan banyaknya kejadian. Masalah yang banyak terjadi

ditunjukkan dengan grafik batang pertama yang tertinggi serta ditempatkan

pada sisi paling kiri dan seterusnya sampai masalah yang paling sedikit terjadi

ditunjukkan grafik batang terakhir yang terendah serta ditempatkan pada sisi

paling kanan.
36

Pada dasarnya diagram pareto dapat digunakan sebagai alat untuk

interprestasi:

a. Menentukan frekuensi relatif dan urutan pentingnya masalah-masalah atau

penyebab-penyebab dari masalah yang ada.

b. Memfokuskan perhatian pada isu-isu kritis dan penting melalui pembuatan

rangking terhadap masalah itu dalam bentuk yang signifikan.

2. Diagram Sebab Akibat (cause and effect diagram)

Diagram sebab akibat adalah suatu diagram yang menunjukkan

hubungan antara sebab dan akibat yang berkaitan dengan pengendalian

proses statikal. Diagram sebab akibat ini dipergunakan untuk menunjukkan

faktor-faktor penyebab dan karakteristik kualitas (akibat) yang disebabkan

oleh faktor-faktor penyebab tersebut.

Jadi pada dasarnya diagram sebab akibat dapat dipergunakan untuk

kebutuhan-kebutuhan sebagai berikut:

a. Membantu mengidentifikasikan akar penyebab dari suatu masalah.

b. Membantu membangkitkan ide-ide untuk solusi suatu masalah.

c. Membantu dalam penyidikan atau pencarian fakta tentang penyebab

masalah lebih lanjut.

3. Peta Kontrol

Peta kontrol adalah suatu alat yang digunakan untuk menghilangkan

variasi tidak normal melalui pemisahan variasi yang disebabkan oleh

penyebab khusus (special causes variation) dari variasi yang disebabkan

oleh penyebab umum (comnton causes variatin). Peta kontrol ini pertama

kali diperkenalkan oleh Walter Andrew Shewhart dari Belt Telephone

Laboratories, Amerika Serikat tahun 1924.


37

Dapat disimpulkan bahwa peta kontrol adalah suatu alat yang digunakan

untuk menentukan apakah proses dalam keadaan stabil secara statistik guna

mempertahankan level kualitas.

2.19 Konsep Efisiensi Biaya Perbaikan Kualitas Produk

Beberapa Perusahaan menggunakan ukuran biaya kualitas sebagai

indikator keberhasilan program reduksi biaya terus menerus melalui perbaikan

kualitas, yang dapat dihubungkan dengan ukuran-ukuran lain seperti :

 Biaya kualitas dibandingkan nilai penjualan(persentase biaya kulitas total

terhadap nilai penjualan), artinya semakin rendah nilai ini menunjukkan

program perbaikan kualitas semakin sukses.


 Biaya kualitas dibandingkan keuntungan(persentase biaya kualitas total

terhadap nilai keuntungan), artinya semakin rendah nilai ini menunjukkan

program perbaikan kualitas semakin sukses.


 Biaya kualitas dibandingkan dengan harga pokok penjualan, diukur

berdasarkan persentase biaya kualitas total terhadap nilai harga pokok

penjualan, artinya semakin rendah nilai ini menunjukkan program perbaikan

kualitas semakin sukses.

2.19.1 Kategori Biaya Kualitas


Pada dasarnya Kategori biaya kualitas dibedakan menjadi empat jenis,

antara lain :
1. Biaya kegagalan internal (internal failure cost), merupakan biaya yang

berhubungan dengan kesalahan yang ditemukan sebelum menyerahkan

produk ke pelanggan, seperti :Biaya Scrap, Biaya Rework, Biaya Analisa

kegagalan, Biaya inspeksi dan pengujian ulang, Downgrading Cost, dan Biaya

kehilangan bobot produk


2. Biaya kegagalan eksternal ( eksternal failure cost ), merupakan biaya yang

berhubungan dengan kesalahan setelah produk itu diserahkan ke pelanggan,


38

seperti : Biaya jaminan, Biaya penyelesaian keluhan, dan Biaya produk yang

dikembalikan
3. Biaya Penilaian (appraisal cost), merupakan biaya yang berhubungan dengan

penentuan derajat konformansi terhadap persyaratan kualitas (spesifikasi

yang ditetapkan), seperti: Biaya inspeksi dan pengujian bahan baku, Biaya

inspeksi dan pengujian produk dalam proses, Biaya inspeksi dan pengujian

produk akhir dan Biaya audit kualitas produk.


4. Biaya Pencegahan (prevention cost), merupakan biaya yang berhubungan

dengan pencegahan terjadinya kegagalan internal dan eksternal, sehingga

meminimumkan biaya kegagalan internal dan eksternal, seperti : Biaya

perencanaan kualitas, Biaya pengendalian proses dan biaya pelatihan.


BAB III
KERANGKA KONSEP PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian adalah konsep pemecahan dari suatu

penelitian yang akan dilakukan dengan tujuan dalam memudahkan proses

penelitian.Perlu diketahui bahwa perusahaan ini adalah perusahaan yang

memproduksi lantai kayu (wood flooring) sejak tahun 1997, seiring dengan

meningkatnya permintaan maka perusahaan ini mengalami pertumbuhan yang

cukup pesat.Dalam waktu sekarang ini proses produksi pembuatan lantai kayu

memiliki biaya yang cukup tinggi.Tanpa disadari ternyata dalam aktifitas proses

produksi sering terjadi rework yang disebabkan timbulnya produk cacat yang

diterima bagian inspeksi kualitas, dan ini merupakan suatu jenis pemborosan

yang cukup mengkhawatirkan terhadap penurunan produktifitas perusahaan

serta biaya kualitas juga akan tinggi.

Berdasarkan referensi penelitian sebelumnya, bahwa untuk mengatasi

permasalahan seperti kondisi tersebut adalah dengan pendekatan lean Sigma

dengan tools VALSAT yang dapat mengidentifikasikan waste dan sekaligus

mendapatkan suatu upaya dalam mereduksi jenis waste yang ada di

perusahaan.sedangkan dengan six sigma(pendekatan DMAIC) akan didapatkan

suatu bentuk proses analisa yang menyebabkan adanya indikasi produk cacat

atau ada suatu prosedur aktifitas dalam proses yang perlu untuk dilakukan

perbaikan sehingga akan meningkatkan nilai sigma 3,4 DPMO sehingga defect

akan tereduksi dan ada suatu bentuk usulan perbaikan proses yang nantinya

akan dijadikan sebagai standart operasional dalam aktifitas proses produksi.

39
40

3.2 Konsep Lean


Pada Tahap ini akan dilakukan identifikasi jenis-jenis pemborosan yang ada

di perusahaan dengan menyebarkan formulir kuisioner mengenai pemborosan

yang terjadi pada setiap work cell.Dengan menggunakan tools VALSAT akan

didapat jenis waste yang menjadi prioritas untuk dilakukan proses pereduksian

sehingga perusahaan lebih mendapatkan keuntungan atau nilai tambah baik nilai

proses bisnis maupun nilai customer.


Tahap selanjutnya adalah menfokuskan perhatian terhadap jenis waste

yang menjadi proritas bagi perusahaan untuk dilakukan analisa dan usulan

perbaikan.Defact waste ternyata yang memiliki prioritas yang harus direduksi

karena sehubungan semakin meningkatnya biaya perbaikan kualitas dan

meningkatnya permintaan akan wood flooring ini.Untuk itu metode six sigma

dengan pendekatan DMAIC yang nantinya akan bisa mencapai zero defect (3,4

DPMO) dan didapatkan usulan perbaikan proses produksi yang nantinya menjadi

standart operasional produksi.

3.3Metode Six Sigma (Define, Measure, Analysis, Improvement, dan

Control)

Merupakan Suatu visi penigkatan kualitas menuju target 3,4 kegagalan per

sejuta kesempatan (DPMO-defects per million opportunities) untuk setiap

transaksi produk. Upaya giat menuju kesempurnaan (zero defect-kegagalan nol)

sehingga semakin tinggi target sigma yang dicapai maka kinerja sistim industri

akan semakin baik. Six-sigma juga dapat dipandang sebagai pengendalian

proeses industri berfokus pada pelanggan, melalui memperhatikan kemampuan

proses (process capability).


41

Apabila konsep Six Sigma akan diterpan dalam bidang manufakturing,

maka perhatikan enam aspek berikut: (1) identifikasi karakteristik produk yang

akan memuaskan pelanggan (sesuai kebutuhan dan ekspektasi pelanggan), (2)

mengklasifikasikan semua karakteristik kualitas itu sebagai CTQ (critical-to-

quality) individual, (3) menentukan apakah setiap CTQ itu dapat dikendalikan

melalui pengendalian material, mesin, proses-proses kerja, dll., (4) menentukan

batas maksimum toleransi untuk setiap CTQ sesuai yang diinginkan pelanggan

(menentukan nilai USL dan LSL dari setiap CTQ), (5) menentukan maksimum

variasi proses untuk setiap CTQ (menentukan nilai maksimum standart deviasi

untuk setiap CTQ), dan (6) mengubah desain produk dan/atau proses

sedemikian rupa agar mampu mencapai nilai target Six Sigma, yang berarti

memiliki indeks kemampuan proses, C p minimum sama dengan dua ( C p  2 ),

dan biasanya didefinisikan sebagai C p  USL  LSL  6 . Selanjutnya

efektivitas dari upaya peningkatan proses dan keberhasilan dari aplikasi dalam

program Six Sigma dapat diukur melalui nilai C p yang terus menerus

meningkat.Pendekatan pengendalian proses Six Sigma (Six Sigma process

control) mengijinkan adanya pergeseran nilai target rata-rata setiap CTQ

individual dari proses industri sebesar  1.5-sigma sehingga akan


menghasilkan 3.4 DPMO (defect per million opportunities-kegagalan per sejuta

kesempatan).
42

Pendekatan Konsep Lean Metode SIX SIGMA

Hasil Brainstorming & Tahap DEFINE


Pengamatan Proses Poduksi Konsep VALSAT Pada Lini
Produksi
Tahap MEASURE
Identifikasi Jenis Pemborosan Penghematan Biaya atas
dasar Jumlah Produk
Adanya rework akibat ditemui Identifikasi Prioritas Waste Tahap ANALYSIS
cacat produk

Biaya perbaikan kualitas


semakin meningkat Tahap IMPROVEMENT
Mereduksi Waste Tertinggi
( POKA-YOKE)

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian


BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Pengumpulan Data

Mengumpulkan sejumlah data dan informasi dalam mengidentifikasikan

jenis pemborosan yang ada di perusahaan khususnya di lini proses produksi

dengan mengamati proses produksi produk, sarana dan fasilitas produksi,

keluhan dari pihak manajemen serta kualitas produk yang dihasilkan.

4.1.1 Metode Pengumpulan Data

Dalam proses pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara, antara

lain :

a. Observasi, yaitu proses pengumpulan data untuk memperoleh sejumlah data

dan informasi dengan melakukan pengamatan dan pencatatan secara

langsung dari kegiatan proses bisnis perusahaan yang akan diteliti.

b. Wawancara, yaitu proses pengumpulan sejumlah data dan informasi berupa

keterangan dengan mengadakan komunikasi secara langsung kepada

manajer atau operator untuk mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan

obyek penelitian, permasalahan sistem kerja atau keluhan baik yang bersifat

fisik maupun non fisik.

c. Dokumentasi, yaitu proses pengambilan data dari perusahaan yang telah

terdokumentasikan atau arsip-arsip, seperti : biaya-biaya yang terkait dengan

proses produksi, mesin atau fasilitas peralatan yang digunakan dalam proses

produksi, serta alur proses produksi mulai dari input sampai output yang

sekiranya bisa diberikan perusahaan kepada peneliti.

d. Kuisioner, yaitu lembar yang berisi petanyaan atau pernyataan yang di

tujukan kepada pelaku yang berhubungan dengan analisa permasalahan,

43
44

yaitu untuk mengetahui seberapa besar atau mengidentifikasikan jenis

pemborosan yang ada dalam proses bisnis perusahaan.

Tabel 4.1 Formulir Identifikasi Pemborosan Di Tempat Kerja

Jenis Sumber Penanggung Waktu Alasan


Pemborosan Pemborosan Jawab Terjadi Terjadi
(Apa) (Dimana) (Siapa) (Bilamana) (Mengapa)

4.2 Pengolahan Data

Metode yang digunakan dalam proses pengolahan data adalah dengan

menggunakan pendekatan lean manufacturing dengan tools VALSAT, proses

analisa menggunakan metode Six Sigma untuk meningkatkan kualitas produk

serta memberikan usulan rancangan perbaikan proses, kemudian menghitung

perubahan efisiensi biaya perbaikan kualitas.

Tahapan dalam proses pengolahan data, yaitu sebagai berikut :

1. Identifikasi dan pemberian bobot terhadap jenis-jenis pemborosan dari hasil

kuisioner dengan perhitungan menurut tools VALSAT

2. Data variabel dan data atribut yang diperoleh dan kemudian dilakukan test

kecukupan data.

3. Melakukan perhitungan nilai DPMO

4. Dengan indikator DPMO tersebut, maka dihitung sigma level dari masing-

masing proses.

5. Menghitung kemampuan proses dengan menggunakan indikator Cpm dan

Cpmk

6. Menganalisa hasil perhitungan dengan six sigma tools yaitu diagram pareto,

diagram sebab akibat dan peta kontrol untuk mencari akar penyebab masalah
45

7. Tahap Improve dilakukan untuk memperbaiki proses yang dianggap

menghasilkan cacat terbanyak dengan pendekatan konsep poka-yoke

8. Perbandingan perhitungan DPMO, sigma level, kemampuan proses sebelum

dan sesudah perbaikan.

9. Menghitung efisiensi biaya perbaikan kualitas produk sesudah proses

mereduksi cacat produk.


46

4.6 Diagram Alir

Mulai
Mulai

Survey Perusahaan
Survey Perusahaan
Studi Literatur
Studi Literatur
Identifikasi Masalah
Identifikasi Masalah
Data Jenis
Data Jenis
Pemborosan
Pemborosan
Perumusan Masalah (Kuisioner)
Perumusan Masalah (Kuisioner)

Data Proses
Data Proses
Produksi
Pengumpulan Data Produksi
Pengumpulan Data
Data Kapasitas
Data Kapasitas
Produksi & Jumlah
Produksi & Jumlah
Cacat Produk
Cacat Produk

Pengolahan Data Data Fasilitas


Pengolahan Data Data Fasilitas
Identifikasi Pemborosan (Pendekatan Valsat) Produksi
Identifikasi Pemborosan (Pendekatan Valsat) Produksi
Six Sigma (Pendekatan DMAIC)
Six Sigma (Pendekatan DMAIC)
Perhitungan DPMO
Perhitungan DPMO
Perhitungan Kemampuan Proses
Perhitungan Kemampuan Proses

Usulan Perbaikan Proses


Usulan Perbaikan Proses

Perbandingan Sebelum & Sesudah Perbaikan Proses


Perbandingan Sebelum & Sesudah Perbaikan Proses
Jumlah Produk Cacat
Jumlah Produk Cacat
Nilai DPMO dan Level Sigma
Nilai DPMO dan Level Sigma
Efisiensi biaya perbaikan Kualitas produk cacat
Efisiensi biaya perbaikan Kualitas produk cacat

Analisa & Pembahasan


Analisa & Pembahasan

Kesimpulan
Kesimpulan

Gambar 4.1 Diagram Alir Penelitian


BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Gambaran Umum Perusahaan

CV.Salenda Bawana Karya merupakan industri skala menengah yang

didirikan oleh H.Muhamad Ali di Pandaan Pasuruan.Perusahaan ini bergerak

dalam bidang perkayuan yaitu memproduksi lantai kayu(wood flooring).Untuk

mendapatkan bahan baku kayu yang merupakan bahan dasar utama kayu lantai

ini, CV. Salendra Bawana telah menjali hubungan yag baik antara Perhutani

sebagai supplier utama maupun dinas kehutanan yang mengurusi perkebunan

kayu milik masyarakat sebagai supplier kedua. Selain itu pangsa pasar yang kuat

telah dirintis oleh perusahaan ini baik dalam negeri maupun luar negeri.

5.2 Proses Produksi Kayu Lantai(wood flooring)


5.2.1 Bahan Baku yang Digunakan
Tabel 5.1 Bahan Baku Kayu Lantai

Asal Cara
Jenis Bentuk
Bahan Penyimpana
Bahan Baku Fisik
(DN/LN) n

Sonokeling .1 Gelondong DN R. Terbuka


Merbau .2 Squarelog DN R. Terbuka
Eboni .3 Squarelog DN R. Terbuka
Meranti .4 Squarelog DN R. Terbuka
Komea .5 Squarelog DN R. Terbuka
Ulin .6 Squarelog DN R. Terbuka
Jati .7 Squarelog DN R. Terbuka

5.2.2 Mesin yang digunakan


1. Mesin Band Saw Breakdown
2. Mesin Band Saw Rajang
3. Mesin Cross Cut
4. Mesin Multi Rip
5. Mesin Penghalus

5.2.3 Aktifitas Proses produksi

47
48

Proses produksi lantai kayu (wood flooring ) pada CV.Salendra Bawana

Karya terbagi menjadi enam department, yaitu sebagai berikut :


A. Departemen Persiapan

Merupakan tahap awal dalam proses pembuatan lantai kayu, dimana

pada tahap ini kayu gelondong ditempatkan dan di tata kesebuah rak yang

telah disediakan.

Proses-proses pada tahap ini antara lain :

1. Proses penempatan kayu gelondong ke rak


2. Pengukuran Kayu balok dengan roll meter
3. Penataan Kayu gelondong di rak
B. Departemen Pembelahan

Merupakan tahap kedua dalam proes pembuatan wood flooring, dimana

tahap ini kayu balok diolah menjadi produk yang diinginkan.

Pada proses pemotongan terdapat empat gerakan yaitu :

 Gerakan band saw breakdown


Adalah gerakan untuk membelah kayu yang masih gelondong menjadi dua

bagian.
 Gerakan Band saw Rajang
Adalah gerakan belah kulit dari kayu gelondong yang terbagi menjadi dua

bagian tadi, yang biasa disebut dengan nama “galih”.


 Gerakan Cross Cut
Pada gerakan ini merupakan tahap potong sesuai ukuran standart produk

yang dinginkan.
 Gerakan Pembelahan Multi Rip
Pada gerakan ini merupakan proses pembelahan untuk perataan samping

kanan-kiri dan atas-bawah


C. Departemen Pemotongan

Merupakan tahap ketiga dalam proses pembuatan wood flooring, dimana

kedua bagian kayu tersebut dipotong dalam bentuk “lonjoran blabag” sesuai

dengan ukuran.

D. Departemen Penghalusan
Pada tahap ini bertujuan untuk menghaluskan kayu melalui mesin planer.
49

E. Departemen Pengeringan
Pada tahap ini bertujuan untuk mengeringkan kayu, dengan cara di open

diruangan hampa udara dengan suhu tertentu.


F. Departemen Pembentukan

Pada tahap ini ada 2 proses yang dilalui, yaitu :

1. Proses Pengukuran dan pemotongan


Lonjoran blabag yang telah dihasilkan dilakukan proses pengukuran dan

pemotongan wood flooring sesuai dengan standart ukuran yang ditetapkan.


2. Proses kontrol
Tahap ini melakukan kontrol dan seleksi atas wood flooring yang memenuhi

standart kualitas yang ditetapkan perusahaan.


3. Proses Finishing
Tahap ini melakukan proses pengecatan atau pernis dari produk wood flooring

yang sudah memenuhi standart kualitas sampai benar-benar siap di packing.


5.3 Identifikasi Waste
Waste didefinisikan sebagai segala aktifitas kerja yang tidak memberikan

nilai tambah dalam transformasi input menjadi output.Dalam penelitian ini telah

diidentifikasi yang terjadi dalam proses produksi pembuatan produk wood

flooring.Dimana hasil pengamatan yang disertai penyebaran hasil kuisioner yang

diberikan kepada 7 orang, dimana 6 orang adalah manajer dari setiap

departemen yang berhubungan dengan proses produksi dan 1 orang adalah

pimpinan perusahaan.

5.4 Jenis Waste yang terjadi dalam setiap departemen

A. Departemen Persiapan.

Dalam departemen ini berjalan baik, karena ketika kayu datang

langsung ditangani dengan cepat, karena apabila tidak cepat ditangani akan

menurunkan kualitas kayu akibat perubahan cuaca, akan tetapi sering kali

banyak pemborosan gerakan para pekerja yang mengakibatkan dalam

departemen persiapan ini memerlukan waktu yang cukup lama.Para pekerja

belum memiliki standart kerja yang baku.


50

B. Departemen Pembelahan

Dalam departemen ini ada beberapa kayu gelondong yang sudah

dibagi dua, akan tetapi kulit pohonnya belum dipotong, sehingga departemen

penghalusan terkadang menunggu.

C. Departemen Pemotongan

Dalam departemen ini sering terjadi kesalahan pemotongan yang tidak

rata atau menceng, sehingga proses selanjutnya yaitu proses penghalusan

sering mengembalikan (reject).Dengan demikian di departemen pemotongan

ini sering terjadi rework.

D. Departemen Penghalusan

Dalam departemen ini terkadang dijumpai lonjoran blabag sebagai

bahan wood flooring yang masih belum rata/bersisik/ada titik mata, yang

akibatnya harus diulangi lagi proses penghalusan pada bagian lonjoran

blabag yang masih belum memenuhi standart kualitas yang telah ditetapkan.

E. Departemen Pengeringan

Dalam departemen ini sering terjadi penumpukan lonjoran blabag yang

terkadang melebihi kapasitas ruang pengeringan, sehingga terkadang sering

dijumpai lonjoran blabag yang tergores atau gopel.

F. Departemen Pembentukan

Dalam departemen ini sering terjadi rework akibat ukuran potong produk

wood flooring yang memiliki ukuran panjang lebih dan perbaikannya dilakukan

secara manual.

Setelah disadari bahwa pemborosan-pemborosan telah terjadi pada

perusahaan ini maka peneliti melakukan cheklist atas hasil kuisioner dalam

rangka. Menentukan jenis waste yang memiliki bobot tertinggi sehingga


51

menjadi prioritas waste yang harus segera direduksi atau dianggap

perusahaan ada biaya cukup besar yang tanpa disadari dikeluarkan oleh

perusahaan akibat waste tersebut.


52

Tabel 5.2 waste finding checklist


Work Cell Total Rangking
No Jenis Waste Bobot Prioritas
A B C D E F waste Waste
1 Overproduction 0 0 1 1 1 2 5 7
2 Inventory 1 0 1 2 2 2,5 8,5 2
3 Defect 0 1 2 2,5 1.5 3,2 10,2 1
4 Motion 1,5 1 1 1 0 2 5,5 5
5 Transportation 1 1 1 1 1 1 6 4
6 Waiting 0 1 1,5 1 1,5 2 7 3
7 Overprocessing 1 0 1 1 0 1,5 4,5 8
8 Underutilized 0 1 1 1 0 2 5,5 6
People
Sumber :Hasil Pengolahan
Keterangan Departemen: Keterangan Penilaian:
A = Departemen Persiapan 0 = No waste found
B = Departemen Pembelahan 1 = Very little waste
C = Departemen Pemotongan 2 = a little waste
D = Departemen Penghalusan 3 = Considerable waste
E = Departemen Pengeringan 4 = a lot of waste
F = Departemen pembentukan

Dari tabel waste finding checklist yang diperoleh berdasarkan hasil

kuisioner, terlihat hasil total bobot waste yang tertinggi adalah jenis defect

waste. Berikut adalah urutan jenis waste berdasarkan rangking prioritas waste

yang ada dalam departemen – departemen, yaitu sebagai berikut :

1. Defect 5. Motion
2. Inventory 6. Underutilized People
3. Waiting 7. Overproduction
4. Transportation 8. Overprocessing
Dari urutan tersebut defect waste merupakan urutan jenis pemborosan

tertinggi yang merupakan prioritas rangking pertama yang harus direduksi

oleh perusahaan, karena mengingat biaya yang dikeluarkan dan tanpa

disadari menunjukkan biaya yang cukup besar dan ini merupakan suatu

kerugian bagi perusahaan.

5.5 Pemilihan Tool Dengan VALSAT


53

Pemilihan tool ini dilakukan untuk memperoleh tool yang dapat secara

tepat menggambarkan aliran nilai yang terjadi dilantai produksi mulai

transformasi input sampai output di perusahaan.Tool ini dipilih berdasarkan pada

pemborosan yang terjadi dalam aktivitas produksi di CV.Salendra Bawana Karya.


Dengan adanya penggambaran menggunakan salah satu dari value

stream analysis tools ini diharapkan dapat mengidentifikasi secara detail titik-titik

pemborosan yang terjadi serta mengetahui permasalahan yang melatar

belakangi terjadinya jenis pemborosan tersebut.Metode yang digunakan untuk

pemilhan tool tersebut adalah dengan waste workshop dan tabel VALSAT.
Tabel VALSAT terdiri dari delapan jenis waste yang dikemukakan tersebut

diatas.Total bobot berdasarka penilaian dari responden kuisioner yang

merupakan pihak-pihak dari dalam perusahaan sendiri.Dengan mengambil total

bobot dari masing-masing jenis pemborosan sesuai hasil pengisian

kuisioner.Masing-masing bobot tersebut dikalikan dengan faktor

pengalinya.Dimana terdapat beberapa ketentuan, yaitu untuk waste yang

memiliki hubungan yang tinggi akan dikalikan dengan nilai 9, sementara yang

medium dikalikan dengan nilai 3 dan yang hubungannya rendah akan dkalikan

dengan nilai 1.

Tabel 5.3 Perhitungan VALSAT

Supply
Process Production Quality Demand Decision
Waste/ Chain Physical
Bobot Activity Variety Filter Amplification Point
Structur Response Structur
mapping Funnel Mapping Mapping Analysis
Matrix

Overproduction 5 5 15 5 15 15
Waiting 7 63 63 7 21 21
Transportation 6 54 6
Overprocessing 4,5 40,5 13,5 4,5 4,5
Inventory 8,5 25,5 76,5 25,5 76,5 25,5 8,5
Motion 5,5 49,5 5,5
Defect 10,2 10,2 91,8
54

Underutilized 5,5 5,5 5,5 16,5 5,5 49,5 16,5 49,5


People
Total 253,2 165,5 62,5 106,8 162 82,5 64
Sumber : Hasil Pengolahan

Sesuai dengan hasil perhitungan dari tabel perhitungan VALSAT maka tool

yang terpilih adalah process activity mapping.Proses activity mapping merupakan

peta yang digunakan untuk menggambarkan segala aktifitas yang terjadi selama

proses produksi dari bahan baku hingga menjadi produk jadi, yang dalam

perusahaan ini berarti mulai dari kayu gelondongan sebagai input sampai pada

wood flooring sebagai produk akhir.

Tool ini mampu untuk mendeteksi dan mengealuasi jenis waste yang ada

dalam perusahaan sehubungan dengan aktifitas proses produksi.

Langkah-langkah pembuatan peta dalam process activity mapping adalah

sebagai berikut:

 Mencatat semua aktifitas yang dilakukan mesin, peralatan, tenaga kerja yang

digunakan, jarak perpindahan yang ditempuh, waktu operasi yang dibutuhkan

dan jumlah operator yang ada disetiap proses.


 Mengelompokkan menjadi beberapa kategori yaitu operasi, inspeksi,

transportasi, delay dan penyimpanan.


 Membuat catatan akan setiap kondisi yang dapat menjadi catatan penting

dalam evaluasi lebih lanjut pada kolom keterangan.


 Menganalisa proporsi aktifitas-aktifitas yang tergolong value added dan non

value added time.


55

Flow Process Chart


Summary Pekerjaan : Pembuatan Lantai Kayu
Kegiatan Total Waktu
Dipetakan Oleh : Misbach
Operasi 11 113,9
Inspeksi 3 18,3
Transportasi 2 14,5
Menunggu (Delay) 1 8,2
Penyimpanan 1 9,3
Total 18 164,2
Lambang
Aktivitas Waktu
Keterangan
(Menit)

Penurunan Kayu dari truk Indikasi motian


1 20
waste
Pemindahan Kayu ke rak
2 5 Cukup baik

Terjadi waktu
3 Pemindahan Kayu ke kereta jepit 7,5
tunggu
Pembelahan kayu gelondong
Perlu pengukuran
4 jadi dua bagian dengan mesin 15
teliti
Bandsaw
Perajangan kayu untuk diambil Indikasi inventory
5 9,3
galihnya dengan mesin Bandsaw waste
56

Pemotongan kayu menjadi dua Perlu pengukuran


6 5,7
dengan mesin Crosscut. teliti
Pembelahan kayu untuk di ambil
Indikasi inventory
7 tengah kayu/hati kayu dengan 7
waste
mesin SingleRip
Pengukuran kayu dan inspeksi
8 6 Perlu ketelitian
kayu

Pemotngan Kayu dengan Mesin


9 8 Perlu ketelitian
Radial Arm Saw

Penatan Kayu untuk Persiapan Diperlukan alat


10 7
pemotongan kanan-kiri penjepit
Pemotongan kayu kanan kiri
yang sudah dipotong dengan
11 8,4 Indikasi waiting
mesin Single Rip/Pembentukan
waste
kayu
Inspeksi kayu yang akan Indikasi defect
12 5,7
dikeringkan waste (rework)

Pengeringan kayu yang sudah Indikasi over


13 8,2
berbentuk sawntimber production

Proses penghalusan pada kedua Indikasi defect


14 10
sisis kayu waste(rework)

Pembentukan kayu sesuai Indikasi inventory


15 17
dengan bentuk yang diinginkan & defect waste

Indikasi defect
16 Inspeksi kayu 6,6
waste(rework)

Indikasi waiting
17 Pemaletan/pengepakan 8,5
waste

Indikasi
18 Penggudangan 9,3
transportasi waste

Gambar 5.1 Peta Process Activity Mapping Wood Flooring

Tabel 5.4 Pengelompokan waktu berdasar jenis kegiatan


Jenis Kegiatan Waktu (menit)
Operasi 113,9
Transportasi 14,5
Inspeksi 18,3
Delay 8,2
Penyimpanan 9,3
Total waktu 164,2

Berdasarkan jenis kegiatan terdapat beberapa aktivitas yang termasuk

dalam kategori jenis pemborosan, dalam pengelompokan waktu berdasar jenis

kegiatan ada beberapa catatan mengenai adanya indikasi pemborosan-

pemborosan.Dari peta tersebut diatas indikasi adanya defect waste memiliki


57

pengaruh yang cukup menyita waktu operasi akibat terjadinya kegiatan rework

yang memerlukan biaya, waktu dan pekerja dalam melakukan perbaikan produk

wood flooring.
Untuk mereduksi produk cacat wood flooring khususnya yang dihasilkan

pada departemen pembentukan, perlu adannya analisa six sigma dengan

pendekatan DMAIC dalam rangka memperbaiki proses dalam departemen

pembentukan sehingga produk wood flooring bisa mencapai zero defect.

5.6 Analisa Defect Waste dengan Metode Six Sigma ( Pendekatan DMAIC )
Cacat produk wood flooring yang terjadi diklasifikasikan menjadi 7 kategori,

yaitu sebagai berikut :

C 1 = Lebar miring

C 2 = Panjang kurang/lebih

C 3 = Berjamur

C 4 = Ada Titik Mata

C 5 = Gopel

C 6 = Bersisik

C 7 = Retak

Dari kategori cacat produk wood flooring tersebut diatas merupakan jenis

cacat yang terjadi di Perusahaan Salendra Bawana Karya. Dari 7 kategori cacat

tersebut dibedakan menjadi dua jenis cacat, yaitu sebagai atas :

1. Cacat data varibel adalah jika karakteristik kualitas dapat diukur dan

diekspresikan ke dalam suatu skala pengukuran yang kontinyu.Dalam hal ini

adalah kategori :
C 1 = Lebar miring
C 2 = Panjang Kurang/lebih
2. Cacat data atribut adalah jika karakteristik kualitas tidak dapat diukur ke dalam

skala kontinyu atau skala kwantitatif, sehingga pengukuran kulitas dilakukan

melalui penilaian pada setiap atribut tertentu pada unit produk berdasar pada
58

apakah unit produk tersebut sesuai dengan persyaratan atau tidak.Dalam hal

ini adalah kategori :


C 3 = Berjamur
C 4 = Ada Titik Mata
C 5 = Gopel
C 6 = Bersisik
C 7 = Retak

Berikut adalah data produksi dan total cacat produk wood flooring sesuai

dengan kategori-kategori yang telah dijelaskan diatas.

Tabel 5.5 Data Produksi Dan Total cacat Wood Flooring


Hari Hasil Sample Jenis Karakteristik Cacat Wood Flooring Total
Ke Produksi C1 C2 C3 C4 C5 C6 C7 Cacat
1 825 unit 150 0 12 0 9 0 6 4 31
2 819 unit 100 2 8 3 8 0 8 6 35
3 825 unit 150 3 9 2 9 0 6 6 35
4 820 unit 100 0 8 1 9 2 9 7 36
5 790 unit 100 0 9 2 9 0 9 7 36
6 820 unit 100 0 11 0 6 0 7 8 32
7 825 unit 150 0 19 2 8 0 7 5 41
8 825 unit 150 2 10 2 8 2 6 5 33
9 820 unit 100 0 9 3 7 3 5 8 35
10 785 unit 100 1 11 2 7 0 6 8 35
11 825 unit 150 0 8 1 8 2 7 8 34
12 820 unit 100 0 7 2 8 0 8 5 30
Total 8 121 20 96 9 84 77 415
Sumber ; Data intern Perusahaan

5.6.1 Data Cacat Produk Wood Flooring


A. Data Cacat Variabel
Untuk data cacat varibel yang digunakan adalah Pada departemen

Pembentukan, ketika lonjoran blabag yang diterima dari departemen

pembelahan, maka proses selanjutnya adalah pembentukan produk wood

flooring.Pada perusahaan ini produk wood flooring terdiri dengan tiga macam

type yang sifatnya diproduksi secara kontinyu yaitu :


 Type A ( 190 cm ) biasa disebut dengan perbatang dua meteran
59

 Type B ( 90 cm ) biasa disebut dengan perbatang satu meteran


 Type C ( 40 cm ) biasa disebut dengan perbatang setengah meteran
Data cacat varibel pada penelitian yang akan dilakukan hanya pada

proses produksi dengan Type B ( 90 cm ), dengan mengacu pada karakteristik

cacat produk atau yang sering terjadi adanya rework yaitu proses perbaikan

panjang wood flooring yang tidak memenuhi ukuran standart dari perusahaan.
Untuk menjaga kualitas produk wood flooring, maka perusahaan telah

menetapkan suatu ketentuan atau suatu standart mengenai karakteristik

produk yang akan di pasarkan.Salah satu standartnya adalah yang

berhubungan dengan panjang perbatang, dimana standart untuk produk type

B memiliki spesifikasi panjang perbatang adalah 89-91 cm.Panjang perbatang

pada produk wood flooring mempengaruhi sifat fisik jika terpasang atau

berpasangan dengan lainnya.Selain itu karena pangsa pasar yang dimiliki

sebagian atau hampir 60 % adalah luar negeri, maka tuntutan kesesuaian

dengan standart harus terpenuhi.


Panjang wood flooring diatas spesifikasi akan merugikan perusahaan,

karena timbul adanya rework untuk perbaikan dan hal itu akan menambah

biaya, sebaliknya ketika panjang wood flooring dibawah speifikasi juga akan

merugikan perusahaan karena timbul adanya rework untuk perbaikan dan

juga penambahan bahan baku untuk memenuhi target produksi.


Tabel 5.6
Data Panjang Wood Flooring (cm) Untuk Type B.

Sample(ukuran dalam cm)


(Hari Ke)
X1 X2 X3 X4 X5 ∑X
1 89,8 90 92 90,8 88 450,8
2 93,9 91,9 92,9 92,9 92,9 464,9
3 89,4 90,8 92 93,6 87 452,8
4 91 92,7 89,4 90 88,4 451,5
5 87,8 90 91 91,5 89 449,3
6 92,7 91,75 93,7 92,7 92,7 463,75
7 89,8 91,8 92,4 90,6 92,8 457,4
60

8 92,9 92,97 91,9 93,9 92,9 464,85


9 91,8 89 90,8 92,5 91,8 455,9
10 91,8 91,6 90 89 88,2 450,6
11 88,3 89 87,8 88,3 88,3 441,9
12 91,8 89,8 91,9 90,6 92,5 456,5
Sumber : Hasil Pengamatan & Pengukuran

B. Data Cacat Atribut

Di dalam pengumpulan data cacat atribut produk kayu lantai (wood

floring) ini diambil pada bagian akhir (finishing) selama 12 hari di bulan Maret

2011 secara kontinyu.

Adapun data jumlah produksi keseluruhan dan cacat kayu lantai CV.

Salendra Bawana karya seperti pada tabel di bawah. Data tersebut diperoleh

dari perusahaan, sedangkan data produk cacat diperoleh dari jumlah sampel

yang diperiksa pada jumlah produksi per hari, kemudian diperiksa menurut

jenis-jenis cacatnya. Adapun kriteria atau jenis ketidaksesuaian/kecacatan

data atribut produk yang ditemui pada CV. Salendra Bawana Karya adalah

sebagai berikut:

a. C4 = Adanya Titik Mata

b. C6 = Bersisik/kasar

c. C7 = Retak

Tabel 5.7
Data Produk Cacat Atribut Pada Wood Flooring

Hari Jumlah Jumlah Sampel Jenis Cacat Total Produk


Ke Produksi Yang Diperiksa Cacat
C4 C6 C7
1 806 81 9 10 5 24
2 816 82 11 9 5 25
3 814 81 9 8 7 24
4 819 82 7 5 4 16
5 826 83 6 9 4 19
6 829 83 8 7 5 28
7 821 82 7 5 4 16
61

8 813 81 6 10 3 19
9 820 82 8 7 3 18
10 825 83 8 7 4 19
11 813 81 7 8 5 20
12 814 82 8 11 3 22
Jumlah 982 94 96 52 250
Sumber : Hasil Pengamatan

5.6.2 Define (Mendefinisikan)

Dalam tahapan ini akan kita definisikan proyek peningkatan kualitas six

sigma, dimana proyek ini akan menjadi fokus utama pada pembahasan

berikutnya.

a. Masalah Utama

CV. Salendra Bawana Karya adalah salah satu perusahaan yang

memproduksi produk wood flooring dengan beberapa type ukuran. Di dalam

pembuatan lantai kayu ini, ternyata masih dapat kesalahan-kesalahan yang

dilakukan dalam proses produksinya yang mana dapat menyebabkan hasil

produksi menjadi tidak sesuai (cacat) dengan spesifikasi yang telah

perusahaan tentukan.

b. Tujuan Proyek

Adapun tujuan dari peningkatan kualitas six sigma di perusahaan ini

adalah untuk mengidentifikasi kesalahan-kesalahan proses produksi serta

menurunkan tingkat ketidaksesuaian/kecacatan produk akhir, baik cacat

produk dalam kategori cacat variabel maupun cacat atribut.

5.6.3 Penentuan Critical To Quality (CTQ)

Critical To Quality (CTQ) adalah suatu kriteria karakteristik kualitas yang

menimbulkan suatu ketidaksesuaian produk, kegagalan maupun kecacatan

produk. Sebelum suatu produk dapat dikatakan sebagai produk yang tidak
62

sesuai/cacat, maka kriteria-kriteria tentang ketidaksesuaian/kecacatan produk

harus diidentifikasikan terlebih dahulu agar tidak terjadi salah persepsi/

pengertian.

Adapun kriteria atau jenis ketidaksesuaian/kecacatan produk pada wood

flooring khususnya type B yang terjadi pada CV. Salendra Bawana Karya adalah

sebagai berikut:

C 1 = Lebar miring

C 2 = Panjang kurang/lebih

C 3 = Tidak Center

C 4 = Ada Titik Mata

C 5 = Gopel

C 6 = Bersisik

C 7 = Retak

Di dalam program peningkatan kualitas six sigma tersebut jenis-jenis

produk yang tidak sesuai/cacat dinyatakan sebagai banyaknya karakteristik

kualitas (CTQ) potensial penyebab kegagalan dalam proses produksi. Jadi

banyaknya karakteristik (CTQ) potensial penyebab kegagalan didasarkan pada

data jumlah cacat seperti di tabel 5.5 yang sering atau paling banyak terjadi dan

cacat tersebut dirasakan oleh manajemen perusahaan merupakan cacat yang

prioritas biasanya menjadi standart pasar.

Dimana dari data jumlah cacat sesuai dengan kategori seperti dalam tabel

5.5 diatas akan di analisa dengan suatu diagram pareto untuk mengetahui

sebenarnya kategori cacat apa yang akan menjadi CTQ yang kemudian akan

menjadi upaya perusahaan dalam menentukan kebijakan atau strategi dalam


63

memperbaiki proses produksi sehingga cacat yang menjadi CTQ tersebut bisa

tereduksi atau mendekati 3,4 DPMO.


64

Gambar 5.2 Diagram Pareto Cacat Variabel Wood Flooring Type B

Kategori Cacat C2 C1
Count 121 8
Percent 93,7 6,3
Cum % 93,7 100,0

Dari diagram pareto tersebut diatas terlihat bahwa kategori cacat C2

memiliki tingkat prosentase diatas 80%, sehingga kategori cacat C2 dianggap

sebagai CTQ untuk data cacat variabel.


65

Gambar 5.3 Diagram Pareto Cacat Atribut Wood Flooring Type B

Kategori Cacat C4 C6 C7 C3 C5
Count 96 84 77 20 9
Percent 33,6 29,4 26,9 7 3,1
Cum % 33,6 63 89,9 96,9 100,0

Dari diagram pareto tersebut diatas terlihat bahwa kategori cacat C4, C6

dan C7 memiliki tingkat prosentase diatas 25% dan dianggap cacat paling sering

terjadi atau bersifat kritis sehingga kategori cacat C4, C6 dan C7 dianggap

sebagai CTQ untuk data cacat atribut.


Dari hasil pengamatan dan diskusi dengan pihak manajemen perusahaan

bahwa kategori cacat yang harus atau segera untuk dilakukan analisa sehingga

cacat dapat direduksi dan cacat tersebut akan menjadi CTQ ( Critical To Quality )
66

potensial penyebab kegagalan dalam proses produksi, dari CTQ yang akan

ditentukan nantinya akan diproses untuk menentukan nilai DPMO dan sigma

level.
Adapun yang menjadi CTQ (Critical To Quality, seperti dalam dua

diagram pareto tersebut diatas adalah sebagai berikut :


1. C2 = Panjang kurang/lebih (sebagai data variabel)
2. C4 = Ada Titik Mata (sebagai data atribut)
3. C6 = Kasar/Bersisik (sebagai data atribut)
4. C 7 = Retak (sebagai data atribut)

5.6.4 Measure (Mengukur)


Pada tahap ini akan dilakukan perhitungan DPMO, Sigma level, dan

kapabilitas proses dari kedua macam data (data cacat variabel dan data cacat

atribut).Untuk data pada proses produksi di departemen pembentukan yang data

cacat varibel dan data cacat atribut yang telah disebutkan diatas.Dalam tahap

measure ini akan dilakukan test kecukupan data, peta kontrol dan kemudian

dilakukan perhitungan nilai DPMO dan Sigma levelnya.

5.6.4.1 Test Kecukupan Data


Test kecukupan data dimaksudkan agar jumlah observasi yang dilakukan

dapat mencukupi seluruh karakteristik populasi serta untuk mengetahui besarnya

jumlah data yang telah diambil telah mencukupi atau belum untuk dilakukan

pengolahan data selanjutnya, yaitu untuk menentukan nilai DPMO dan sigma

level.
Test kecukupan data ini dilakukan pada data variabel dan data atribut

sehubungan dengan defect produk wood flooring, dimana test kecukupan data ini

digunakan tingkat kepercayaan 95 % ( K = 2 ) dan tingkat ketelitian 5 % ( S =

0,05 )
Tabel 5.8
Data Panjang Wood Flooring ( cm ) Type B

(Hari Sample(ukuran dalam cm)


∑X X-Bar R
Ke) X1 X2 X3 X4 X5
1 89,8 90 92 90,8 88 450,8 90,12 4
67

2 93,9 91,9 92,9 92,9 92,9 464,9 92,98 2


3 89,4 90,8 92 93,6 87 452,8 90,56 6,6
4 91 92,7 89,4 90 88,4 451,5 90,3 4,3
5 87,8 90 91 91,5 89 449,3 89,86 3,7
6 92,7 91,75 93,7 92,7 92,7 463,75 92,75 2
7 89,8 91,8 92,4 90,6 92,8 457,4 91,48 3
8 92,9 92,97 91,9 93,9 92,9 464,85 92,97 2
9 91,8 89 90,8 92,5 91,8 455,9 91,18 3,5
10 91,8 91,6 90 89 88,2 450,6 90,12 3,6
11 88,3 89 87,8 88,3 88,3 441,9 88,38 0,5
12 91,8 89,8 91,9 90,6 92,5 456,5 91,3 2,7
Jumlah 5460,2 1092 35,3
Rata-Rata 455,02 91 2,9

N = 60
∑X = 5460,02
∑X2 = 29813784,04
K =2
S = 0,05

2
k  
N x12   x1  
2

N'   s
 x 1 
 

N’ = 0,33

Karena nilai N’ < N, maka pengambilan data pengamatan untuk panjang

wood flooring sebagai data cacat variabel panjang dianggap cukup.

5.6.4.2 Pembuatan Peta kontrol X, R, dan P

Pembuatan peta kontrol X dan peta kontrol P digunakan untuk data cacat

variabel sedangkan peta kontrol P untuk data cacat atribut.

1. Pembuatan Peta kontrol untuk data cacat variabel (Peta kontrol X dan R)

Pembuatan peta kontrol X dan R ini digunakan untuk memudahkan

perhitungan data cacat variabel pada produk wood flooring type B, maka

digunakan perhitungan sebagai berikut :


68

Sesuai spesifikasi produk wood flooring type B adalah 89 – 91 ( cm ),

maka :

 Untuk Peta kontrol X chart

Mean / X Bar ( CL ) = 91

Dalam tabel faktor A2 pada sub group atau ukuran sampel n = 5

diperoleh nilai 0,577, maka :

UCL/BKA = X Bar + A2.R

= 91 + 0,577 (2,9)

= 92,6

LCL/BKB = X Bar – A2.R

= 91 – 0,577 (2,9)

= 89,33
69

Gambar 5.4 Peta Kontrol X Chart Data Variabel Panjang Wood Flooring
Type B

 Untuk Peta kontrol R Chart

Mean/ R ( CL ) = 2,9

Dalam tabel faktor D4 pada sub group atau ukuran sampel n = 5

diperoleh nilai 2,115 dan dalam tabel faktor D3 pada sub group atau ukuran

sampel n = 5 diperoleh nilai 0, maka :

UCL/BKA = D4.R

= 2,115 (2,9)

= 6,13

LCL/BKB = D3.R

= 0 (2,9)

=0
70

Gambar 5.5 Peta Kontrol R Chart Data Variabel Panjang Wood Flooring
Type B

2. Pembuatan Peta kontrol untuk data cacat Atribut (Peta kontrol P)

Peta kontrol P merupakan peta kontrol yang digunakan untuk

perhitungan data atribut dalam hal ini digunakan data tidak sesuai (cacat)

produk. Dalam pembuatan peta kontrol P tersebut memiliki perumusan

penyelesaian sebagai berikut:

Jumlah produk tidak sesuai (Cacat )


P
Jumlah total yang diperiksa

P (1  P )
UCL = P  3
n

P(1  P )
LCL = P  3
n

Keterangan :

P = Rata-rata bagian tidak sesuai (cacat)

UCL = Upper Control Limit (Batas Kontrol Atas)

LCL = Lower Control Limit (Batas Kontrol Bawah)


71

Tabel 5.9
Data Peta Kontrol P Kategori Cacat Atribut Produk Wood Flooring Type B

Jumlah Jenis Cacat


Hari Jumlah P
Sampel Yang ∑P
Ke Produksi
Diperiksa
C4 C6 C7
1 806 81 9 10 5 24 0,29
2 816 82 11 9 5 25 0,3
3 814 81 9 8 7 24 0,29
4 819 82 7 5 4 16 0,19
5 826 83 6 9 4 19 0,22
6 829 83 8 7 5 28 0,33
7 821 82 7 5 4 16 0,19
8 813 81 6 10 3 19 0,23
9 820 82 8 7 3 18 0,21
10 825 83 8 7 4 19 0,22
11 813 81 7 8 5 20 0,24
12 814 82 8 11 3 22 0,26
Jumlah 982 94 96 52 250 2,97
Sumber : Hasil Pengolahan

Perhitungannya adalah sebagai berikut :

250 = 0,25
P 
982

Karena jumlah sampel yang diperiksa tidak sama dalam jumlahnya,

maka nilai UCLp dan LCLp bervariasi menurut n per harinya.

Adapun hasil perhitungan nilai UCLp dan LCLp untuk cacat atribut

ditunjukkan pada tabel 5.10 seperti yang dibawah berikut ini :


72

Tabel 5.10
Data hasil perhitungan nilai UCLp dan LCLp Cacat Atribut

Hari Ke P UCLp LCLp P


1 0,25 0,625 -0,115 0,29
2 0,25 0,625 -0,115 0,3
3 0,25 0,625 -0,115 0,29
4 0,25 0,625 -0,115 0,19
5 0,25 0,625 -0,115 0,22
6 0,25 0,625 -0,115 0,33
7 0,25 0,625 -0,115 0,19
8 0,25 0,625 -0,115 0,23
9 0,25 0,625 -0,115 0,21
10 0,25 0,625 -0,115 0,22
11 0,25 0,625 -0,115 0,24
12 0,25 0,625 -0,115 0,26
Sumber : Pengolahan data

Gambar 5.6 Peta Kontrol P Data Atribut Produk Wood Flooring


73

5.6.5 Perhitungan Nilai DPMO dan Sigma Level

 Untuk data cacat variabel Panjang

Untuk perhitungan standart deviasi (digunakan rumus SD = R/d2 ,

dimana untuk d2 adalah koefisien untuk pendugaan standart deviasi, untuk n =

5, maka d2 = 2,326.

Untuk perhitungan nilai DPMO dapat dicari dengan bantuan program

Microsoft Excel dengan menggunakan rumus :

= 1000000-normsdist ((USL-Xbar)/S)*1000000+normsdist(LSL-Xbar/S)*

1000000, untuk perhitungan DPMO yang memiliki 2 batas spesifikasi atas

dan bawah.

Perhitungan sigma level dilakukan dengan melihat pada tabel

konversi DPMO ke nilai sigma berdasarkan konsep Motorola.Selain itu

dengan menggunakan bantuan program Microsoft Excel dengan

menggunakan rumus :

= normsinv ((1000000 -DPMO)/1000000)+1.5

Perhitungan tingkat sigma level juga bisa dilakukan dengan melihat

indeks kapabilitas proses Cp dengan rumus (USL-LSL)/6S, yang kemudian

nilai Cp tersebut dikonversikan kedalam tingkat sigma bedasar referensi

pengendalian kualitas 3-sigma, yang kemudian dapat dilihat juga nilai setiap

DPMOnya.

 Untuk data cacat atribut kategori C4, C6 dan C7

Perhitungan nilai DPMO dan sigma level dengan menggunakan rumus :

DPMO = Cacat / (banyaknya unit yang diperiksa x CTQ) x 1.000.000


74

Tabel 5.11
Sigma Level Dan DPMO Data Cacat Variabel Panjang Untuk
Produk Wood Flooring Type B
Data Panjang(cm) Wood Flooring Type B
Hari Nilai
∑X X Bar UCL LCL R SD Cp DPMO
ke Sigma
1 450,8 90,12 92,6 89,33 4 1,72 0,37 1,12 648.024
2 464,9 92,98 92,6 89,33 2 0,86 0,75 2,25 226.627
3 452,8 90,56 92,6 89,33 6,6 2,83 0,22 0,66 799.546
4 451,5 90,3 92,6 89,33 4,3 1,84 0,35 1,05 673.645
5 449,3 89,86 92,6 89,33 3,7 1,59 0,4 1,2 617.911
6 463,75 92,75 92,6 89,33 2 0,86 0,75 2,25 226.627
7 457,4 91,48 92,6 89,33 3 1,28 0,5 1,5 500.000
8 464,85 92,97 92,6 89,33 2 0,86 0,75 2,25 226.627
9 455,9 91,18 92,6 89,33 3,5 1,50 0,43 1,29 583.166
10 450,6 90,12 92,6 89,33 3,6 1,54 0,41 1,23 60642
11 441,9 88,38 92,6 89,33 0,5 0,21 1,84 5,4 48
12 456,5 91,3 92,6 89,33 2,7 1,16 0,23 0,69 79103
Jumlah 20,89 4641969
Rata-Rata 1,74 405.165

Tabel 5.12
Sigma Level Dan DPMO Data Cacat Atribut Untuk Kategori C4(Ada Titik
Mata)Produk Wood Flooring Type B
Jumlah Jumlah Produk Sigma
Hari Ke DPMO
Sampel Tidak Sesuai Level
1 81 9 111.111,11 2,72
2 82 11 134.146,34 2,60
3 81 9 111.111,11 2,72
4 82 7 85.365,85 2,87
5 83 6 72.289,15 2,96
6 83 8 96.385,54 2,80
7 82 7 85.365,85 2,87
8 81 6 74.074,07 2,94
9 82 8 97.560,97 2,79
10 83 8 96.385,54 2,80
11 81 7 86.419,75 2,86
12 82 8 97.560,97 2,79
Jumlah 982 94 1.147.776,25 33,72
Rata-rata 82 8 95.648 2,81
Sumber : Pengolahan data
75

Dari tabel 5.12 di atas dapat diketahui bahwa DPMO rata-rata sebesar

95.648 dengan sigma level sebesar 2,81

Tabel 5.13
Sigma Level Dan DPMO Data Cacat Atribut Untuk Kategori C6(Bersisik)
Produk Wood Flooring Type B

Jumlah Jumlah Produk Sigma


Hari Ke DPMO
Sampel Tidak Sesuai Level
1 81 10 123.456,79 2,66
2 82 9 109.756,09 2,73
3 81 8 98.765,43 2,79
4 82 5 60.975,60 3,05
5 83 9 108.433,73 2,73
6 83 7 84.337,34 2,88
7 82 5 60.975,60 3,05
8 81 10 123.456,79 2,66
9 82 7 85.365,85 2,87
10 83 7 84.337,34 2,88
11 81 8 98.765,43 2,79
12 82 11 134.146,34 2,61
Jumlah 982 96 1.088.436,6 33,7
Rata-rata 82 8 90.702,88 2,84
Sumber : Pengolahan data

Dari tabel 5.13 di atas dapat diketahui bahwa DPMO rata-rata sebesar

90.702,88 dengan sigma level sebesar 2,84


76

Tabel 5.14
Sigma Level Dan DPMO Data Cacat Atribut Untuk Kategori C7(Ada Retak)
Produk Wood Flooring Type B

Jumlah Jumlah Produk Sigma


Hari Ke DPMO
Sampel Tidak Sesuai Level
1 81 5 61.728,39 3,04
2 82 5 60.975,60 3,05
3 81 7 86.419,75 2,86
4 82 4 48.780,48 3,16
5 83 4 48.192,77 3,16
6 83 5 60.240,96 3,05
7 82 4 48.780,48 3,16
8 81 3 37.037 3,28
9 82 3 36.585,36 3,29
10 83 4 48.192,77 3,16
11 81 5 61.728,39 3,04
12 82 3 36.585,36 3,29
Jumlah 982 52 635.247,31 37,54
Rata-rata 82 4 52.937,27 3,12
Sumber : Pengolahan data

Dari tabel 5.14 di atas dapat diketahui bahwa DPMO rata-rata sebesar

52.937,31 dengan sigma level sebesar 3,12

5.6.6 Perhitungan Kemampuan Proses

Pada tahap ini akan dilakukan proses perhitungan mengenai kemampuan

proses dari data produk wood flooring yang merupakan data cacat variabel

maupun data cacat atribut yang telah disebutkan seperti diatas, yaitu sebagai

berikut :
1. Perhitungan Kemampuan Proses Untuk Data Cacat Variabel Panjang

Sehubungan data cacat variabel diatas yaitu berhubungan dengan spesifikasi

panjang produk wood flooring, dimana panjang yang ditetapkan oleh


77

perusahaan adalah 89 – 91 cm.Maka kemampuan proses untuk kategori

panjang wood flooring adalah sebagai berikut :

USL - LSL
Cpm =
6 ( X - bar - T)2 + S2
91 – 89
= -----------------------
6 √ ( 91-90)2+2,92
= 0,11

Cpk = Min (USL-Xbar) ; (Xbar-LSL)


3xS 3xS
= Min (91 - 91) ; (91 – 89)
3 x 2,9 3 x 2,9
= Min ( 0 ; 0,22 )
= 0

Cpmk = Cpk / √ 1 + ( X bar – T )/ S)2


= 0 / √ 1 + ( 91 – 90 )/ 2,92
= 0

Karena nilai Cpmk = 0 < 1,00 maka proses dianggap tidak mampu

mencapai target kualitas pada tingkat kegagalan nol ( zero defect ) sehingga

kurang kompetitif untuk bersaing dipasaran.

2. Perhitungan Kemampuan Proses Untuk Data Cacat Atribut(C4, C6 dan C7)


Sehubungan data cacat atribut diatas yaitu berhubungan dengan

spesifikasi produk wood flooring yang berkaitan dengan cacat akibat ada titik

mata, kasar dan retak dan hal itu disebut data kualitatif.Data atribut ini sering

berbentuk kategori atau kualitatif seperti : baik, jelek, sukses atau gagal. Maka

kemampuan proses untuk jenis cacat atribut wood flooring adalah sebagai

berikut
78

Tabel 5.15
Cara pencatatan kemampuan proses data Cacat Atribut Kategori C4
(Ada Titik Mata)

Hasil
No Tindakan Persamaan
Perhitungan
1 Proses yang ingin diketahui - Pembuatan
lantai kayu
2 Berapa banyak produk yang diperiksa - 982
3 Berapa banyak produk yang tidak sesuai - 94
4 Hitung tingkat ketidaksesuaian (cacat) 0,095
5 Menentukan banyaknya CTQ Banyaknya 1
karakter CTQ
6 Peluang tingkat ketidaksesuaian per Langkah 4/ 0,095
karakter CTQ langkah 5
7 Kemungkinan ketidaksesuaian Langkah 6 x 95.000
1.000.000
8 Nilai sigma level - 2,81
Sumber : Pengolahan data

Tabel 5.16
Cara pencatatan kemampuan proses data Cacat Atribut Kategori
C6(Bersisik)

Hasil
No Tindakan Persamaan
Perhitungan
1 Proses yang ingin diketahui - Pembuatan
lantai kayu
2 Berapa banyak produk yang diperiksa - 982
3 Berapa banyak produk yang tidak sesuai - 96
4 Hitung tingkat ketidaksesuaian (cacat) 0,09
5 Menentukan banyaknya CTQ Banyaknya 1
karakter CTQ
6 Peluang tingkat ketidaksesuaian per Langkah 4/ 0,09
karakter CTQ langkah 5
7 Kemungkinan ketidaksesuaian Langkah 6 x 90.000
1.000.000
8 Nilai sigma level - 2,84
Sumber : Pengolahan data
79

Tabel 5.17
Cara pencatatan kemampuan proses data Cacat Atribut Kategori C7
(Ada Retak)

No Tindakan Hasil
Persamaan
Perhitungan
1 Proses yang ingin diketahui - Pembuatan
lantai kayu
2 Berapa banyak produk yang diperiksa - 982
3 Berapa banyak produk yang tidak sesuai - 52
4 Hitung tingkat ketidaksesuaian (cacat) 0,053
5 Menentukan banyaknya CTQ Banyaknya 1
karakter CTQ
6 Peluang tingkat ketidaksesuaian per Langkah 4/ 0,053
karakter CTQ langkah 5
7 Kemungkinan ketidaksesuaian Langkah 6 x 53.000
1.000.000
8 Nilai sigma level - 3,12
Sumber : Pengolahan data

5.6.7 Diagram Sebab Akibat


Diagram sebab akibat ( cause effect diagram ) digunakan untuk

mengetahui apa saja yang menyebabkan terjadinya kegagalan atau kecacatan.

5.6.8 Analyze ( Menganalisa )


Pada tahap ini akan dianalisa hasil-hasil perhitungan yang telah dilakukan

seperti tersebut diatas yang meliputi : Pembuatan peta kontrol X chart, peta

kontrol R chart dan peta kontrol P, perhitungan DPMO, dan sigma level ( nilai

sigma, kemampuan proses, serta diagram sebab akibat.


Pada tahap ini akan menganalisa baik perhitungan untuk data cacat

variabel panjang maupun untuk data cacat atribut ada titik mata, bersisik dan ada
80

retak seperti yang sudah dilakukan perhitungan perhitungan untuk kedua jenis

cacat tersebut.
5.6.8.1 Analyze Terhadap Data Cacat Variabel Panjang
A. Peta Kontrol X Chart dan R Chart Pada Panjang Wood Flooring Type B

Pada Peta kontrol X Chart data variabel panjang wood flooring type B

(Gambar 5.4 ) menunjukkan bahwa nilai rata-rata panjang wood flooring

bervariasi dan ada beberapa nilai yang tidak berada dalam batas-batas

kontrol yang ditetapkan.Hal ini berarti bahwa proses produksi wood flooring

type B berada dalam keadaan tidak stabil dan luar kontrol, yang artinya ada

beberapa produk wood flooring type B yang dihasilkan berada dalam batas

tidak normal sehingga masuk dalam kategori cacat dan hal itu perlu suatu

perbaikan dalam proses produksinya.

Pada Peta kontrol R Chart data variabel panjang wood flooring type B

(Gambar 5.5) menunjukkan bahwa nilai rata-rata panjang wood flooring

bervariasi dan ada beberapa nilai yang tidak berada dalam batas-batas

kontrol yang ditetapkan.Hal ini berarti bahwa proses produksi wood flooring

type B berada dalam keadaan tidak stabil dan luar kontrol, yang artinya ada

beberapa produk wood flooring type B yang dihasilkan berada dalam batas

tidak normal sehingga masuk dalam kategori cacat dan hal itu perlu suatu

perbaikan dalam proses produksinya.

B. Analisa Perhitungan DPMO Dan Sigma Level


Dari hasil Perhitungan didapatkan nilai DPMO sebesar 405.165 dengan

nilai sigma level sebesar 1,74.Nilai DPMO diinterprestasikan bahwa dalam

satu juta kesempatan akan terdapat 438.468,9 kemungkinan bahwa proses

produksi pembuatan wood flooring akan mengalami kegagalan atau tidak

memenuhi spesifikasi yang telah ditentukan yaitu untuk panjang produk wood
81

flooring type B ( 89 – 91 cm ).Apabila suatu proses dikendalikan dan

ditingkatkan secara terus menerus, maka akan menunjukkan pola DPMO

yang terus menerus turun dan pola sigma level akan meningkat pula,

sehingga akan mencapai sigma level mendekati atau bergerak menuju sigma

level 3,4.

C. Analisa Kemampuan Proses

Dari perhitungan kemampuan proses untuk data cacat variabel

mengenai panjang produk wood flooring type B seperti diatas, maka dapat

dilakukan analisa yaitu sebagai berikut :

Cpm = 0,11Dapat disimpulkan bahwa indeks kapabilitas proses sangat rendah

dan dianggap tidak kompetitif di pasaran, dan out put proses yang

dihasilkan tidak mampu memenuhi spesifkasi yang telah

ditentukan.

Cpmk = 0 Dapat disimpulkan bahwa proses pembuatan wood flooring type B

tidak mampu memenuhi batas spesifikasi atas dan batas

spesifikasi bawah yang diinginkan, karena nilai Cpmk < 1,00 maka

proses dianggap tidak mampu memiliki target kualitas pada tingkat

kegagalan nol ( zero defect ) dan kurang bisa kompetitif di

pasaran.

D. Analisa Diagram sebab akibat


Dengan melihat dari analisa diagram sebab akibat pada data cacat

variabel yaitu berhubungan dengan kategori cacat akibat panjang produk

wood flooring type B yang tidak memenuhi spesifikasi yang telah ditetapkan

oleh perusahan, sehingga dibutuhkan suatu upaya perbaikan proses produksi

tersebut sehingga produk wood flooring type B yang akan dihasilkan di waktu
82

mendatang akan bisa memenuhi spesifikasi panjang yang telah ditetapkan

dengan harapan tidak ada atau mengurangi adanya rework akibat perbaikan

produk cacat dan otomatis jumlah produk cacat akan tereduksi.


83

Tabel 5.18
Prioritas Rencana Perbaikan Kategori Cacat Variabel Panjang
Wood Flooring Type B

Penyebab Usulan Penanganan


a. Manusia a. Manusia
- Konsentrasi hilang - Ruang hendaknya
- Kurang teliti dan hati-hati disekat/mengurangi
kesempatan berbicara waktu
bekerja
- ada pengecekan rutin sebagai
kontrol kinerja operator
b. Metode
b. Metode - Perlu dibuatkan alat penjepit
- Gerakan tangan sering semi otomatis sehingga
berubah kayu yang akan dipotong
- Kejar waktu akibat terjadi tidak bergerak.
penumpukan WIP - Pengukuran yang dilakukan
harus lebih teliti
- Mengatasi adanya
penumpukan WIP yang
melebihi kapasitas harian
c. Mesin
- Perlu dibuatkan tataan meja
dan penjepit kayu agar tidak
c. Mesin goyang saat dipotong.
- Tidak ada alat bantu - Perlu modifikasi komponen
penjepit untuk memotong alat potong sehingga
- Kecepatan potong sering kecepatannya selalu stabil.
tidak stabil - Harus dilakukan perawatan
- Perawatan alat potong yang intensif karena sifatnya
kurang maksimal vital
d. Lingkungan
d. Lingkungan - Pencahayaan diperbaiki
- Kurangnya Pencahayaan sehingga meningkatkan
sehingga mempengaruhi ketelitian
tingkat ketelitian - Sirkulasi udara ditambah
- Sirkulasi udara kurang sehingga operator lebih
sehingga operator gerah nyaman.
akibatnya kurang
konsentrasi

5.6.8.2 Analyze Terhadap Data Cacat Atribut C4, C6 dan C7


84

A. Peta Kontrol P untuk data cacat atribut pada kategori cacat ada titik

mata, permukaan kasar dan ada retak di permukaan


Dari perhitungan yang telah dilakukan pada tabel 5.10 dan gambar 5.5,

disitu terlihat bahwa memang tidak ada yang keluar dari batas atas maupun

batas bawah, artinya jumlah total cacat atribut dengan pengambilan sejumlah

sampel seperti diatas masih dalam batas kontrol. Akan tetapi sesuai dengan

tujuan six sigma yaitu upaya secara terus menerus dalam rangka mencapai

zero defect, maka perlu adanya suatu perbaikan sehingga jumlah cacat dalam

kategori cacat atribut bisa tereduksi sehingga peningkatan sigma level bisa

dilakukan secara terus menerus.

B. Analisa Perhitungan DPMO Dan Sigma Level


Hasil perhitungan yang telah dilakukan sebelumnya akan di analisa

mengenai nilai DPMO dan sigma level.


Pada perhitungan yang telah dilakukan didapatkan nilai DPMO sebesar

95.648(C4), 90.702,88(C6), 52.937,2(C7) dengan Sigma Level sebesar

2,81(C4), 2,84(C6), 3,12(C7). Dalam proyek peningkatan kualitas Six Sigma

ini akan melakukan peningkatan terus menerus hingga mencapai 6 sigma

(6). Dalam hal ini perusahaan dituntut untuk melakukan aksi perbaikan untuk

mencapai tingkat kegagalan Zero Defect (0%). Nilai DPMO dapat

dipresentasikan bahwa dari satu juta kesempatan akan terdapat sebesar nilai

DPMO tersebut yang kemungkinan bahwa proses produksi pembuatan lantai

kayu (wood floring) menghasilkan produk yang tidak sesuai/cacat. Tetapi

secara keseluruhan proses pembuatan lantai kayu (wood flooring) telah

mempunyai kualitas yang cukup baik, sehingga perlu ditingkatkan menuju

produk bebas cacat. Apabila proses produksi dikendalikan dan ditingkatkan

terus menerus, maka akan menunjukkan pola DPMO yang terus menerus

menurun dan pola sigma level yang meningkat secara terus menerus pula.
85

C. Analisa Kemampuan Proses


Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan pada sebelumnya, maka

untuk penentuan kemampuan proses ketidaksesuaian produk (cacat) lantai

kayu (wood floring) didasarkan pada sigma level dan DPMO dan proses

pembuatan lantai kayu (wood floring).Didapatkan jumlah lantai kayu (wood

floring) yang diperiksa sebanyak 982 pcs, jumlah lantai kayu (wood floring)

yang tidak sesuai (cacat) sebanyak 250 pcs, banyaknya karakteristik

penyebab ketidaksesuaian produk (cacat atribut) CTQ sebanyak 3 (tiga).

Dengan nilai sigma level yang sudah dihitung diatas harus ditingkatkan lagi

menuju tingkat kegagalan Zero Defect (0%) yang merupakan tujuan dan

program peningkatan kualitas Six Sigma dengan jalan perbaikan terus

menerus.

D. Analisa Diagram sebab akibat

Setelah diketahui penyebab ketidaksesuaian (cacat atribut) produk cacat

yang tertinggi dari proses produksi pembuatan lantai kayu (wood flooring) di

CV. Salendra Bawana Karya adalah jenis C4(ada titik mata), C6(Bersisik),

C7(ada retak) melalui analisa diagram pareto, maka tindakan selanjutnya

perlu diadakan evaluasi dan mencari solusi yang efektif dan efisien dan

masalah tersebut. Melalui diagram sebab akibat akan diketahui penyebab

ketidaksesuaian (cacat) produk lantai kayu (wood flooring) pada produk lantai

kayu (wood flooring) antara lain:

1. Diagram sebab akibat untuk data cacat variabel panjang produk wood flooring
Lingkungan Metode Manusia
type B.
Pencahayaan Konsentrasi
Hilang
Gerakan tangan
berubah Kurang hati-2
Sirkulasi Kurang teliti
udara Kejar waktu
Panjang Tidak
sesuai standart
Tidak ada penjepit
Perawatan kayu
kurang maks
Kecepatan Potong
tidak stabil
Mesin
86

Gambar 5.7 Diagram sebab akibat (cause effect diagram)

2. Diagram sebab akibat untuk data cacat atribut kategori adanya titik mata

produk wood flooring type B.

Lingkungan Metode Manusia

Terjadi Kurang Personil


penumpukan
Kurang hati-2
Pencahayaan Alokasi waktu Kurang teliti
kurang kurang Adanya
Titik mata

Kurang tajam Pemilihan


Perawatan jenis BB
kurang maks
Kualitas
Gambar 5.8 Diagram sebab akibat (cause effect BB
diagram)

Mesin /Alat Bahan Baku


87

3. Diagram sebab akibat untuk data cacat atribut kategori kasar pada produk

wood flooring type B.

Lingkungan Manusia

Kurang Teliti

Kurang hati-2
Pencahayaan
Permukaan
kasar
Kecepatan
Kayu kurang kering
Gambar
Perawatan 5.9 Diagramkurang
sebab akibat (cause effect diagram)
kurang maks
Kualitas BB
4. Diagram sebab akibat untuk data cacat atribut kategori adanya retak pada
Mesin Bahan Baku
produk wood flooring type B.

Lingkungan Metode Manusia

Penumpukan
WIP
Kurang hati-2
Pencahayaan
Adanya
Retak di
Permukaan
Gambar 5.10 Diagram sebab akibat (cause effectPemilihan
diagram)
Perawatan jenis BB
kurang maks Terjadi
Gesekan Kualitas BB

Mesin Bahan Baku


88

 Faktor Manusia

Ketidaksesuaian (cacat) produk lantai kayu (wood flooring) yang

terjadi salah satunya disebabkan oleh faktor manusia. Penyebab utama

pada faktor ini yaitu karena kurang telitinya para karyawan dalam melaku

pengerjaan proses produksi pembuatan lantai kayu (wood flooring)

sehingga menghasilkan lantai kayu (wood flooring) yang tidak sesuai

standar dan perusahaan. Selain itu dari faktor kurang hari-hari dalam

bekerja, sumberdaya manusia yang kurang serta rasa mudah bosan juga

menjadi penyebab terjadinya ketidaksesuaian (cacat) produk lantai kayu

(wood flooring) yang telah distandartkan.


 Faktor Mesin
Faktor material yang menyebabkan ketidaksesuaian (cacat) produk

lantai kayu (wood flooring) adalah perawatan mesin, jenis mesin dan

kurangnya pemanasan sebelum mengoperasikan mesin merupakan

penyebab terjadinya ketidaksesuaian (cacat) produk latai kayu (wood

flooring).
 Faktor Metode
Ketidaksesuaian (cacat) produk lantai kayu (wood flooring) yang

disebabkan oleh faktor ini terjadi karena ukuran produk lantai kayu (wood

flooring) yang selalu berubah-ubah sesuai dengan pemesanan serta

mengejar waktu pengiriman (mengejar target produk). Sehingga hal

tersebut perlu diperhatikan kembali.


 Faktor Bahan Baku

Ketidaksesuaian (cacat) produk lantai kayu (wood flooring) yang

disebabkan oleh faktor ini terjadi karena kualitas bahan baku yang didapat serta

pengklasifikasian kayu yang kurang teliti ini juga yang menyebabkan terjadinya

ketidaksesuaian (cacat) produk lantai kayu (wood flooring).


89

Tabel 5.19
Prioritas Rencana Perbaikan Kategori Cacat Atribut Adanya Titik Mata
Wood Flooring Type B
Penyebab Usulan Penanganan
a. Manusia a. Manusia
- Kurangnya personil atau - Perlu penambahan operator
operator lapis kedua dalam proses
- Kurangnya hati-hati dalam penghalusan secara manual
proses penghalusan - Perlu pengawasan yang lebih
- Kurang teliti dalam proses intensif untuk menjaga
penghalusan konsentrasi dalam bekerja
b. Metode b. Metode
- Sering terjadinya - Penerapan sistem
penumpukan produk wip keseimbangan lintasan
sehingga terjadi harus diterapkan.
ketidaktelitian dalam - Perlu perhitungan waktu
penghalusan standart setiap proses yang
- Waktu untuk penghalusan mengacu pada produktifitas
dirasakan kurang proses dan produk
sehingga terjadi untuk
segera menuju proses
selanjutnya
c. Mesin/Alat
- Mesin penghalus c. Mesin/Alat
ketajamannya kurang - Perlu suatu standart mengenai
stabil akibat perawatan penentuan sampai berapa
yang kurang intensif lama suatu mesin penghalus
harus dilakukan penggantian
d. Bahan Baku konponen.
- Pemilihan bahan baku yang d. Bahan Baku
sejak awal kurang teliti - Perlu adanya pengarahan
(bawaan kayu) yang intensif kepada
e. Lingkungan karyawan borongan
- Kurangnya pencahayaan e. Lingkungan
sehingga mengganggu - Perlu penambahan tingkat
tingkat ketelitian pencahayaan
90

Tabel 5.20
Prioritas Rencana Perbaikan Kategori Cacat Atribut Adanya Bagian Kasar
Wood Flooring Type B

Penyebab Usulan Penanganan


a. Manusia a. Manusia
- Konsentrasi hilang - Ruang hendaknya
- Kurang teliti dan hati-hati disekat/mengurangi
kesempatan berbicara waktu
bekerja
- ada pengecekan rutin sebagai
kontrol kinerja operator
b. Mesin
b. Mesin - Harus dilakukan perawatan
- Perawatan alat penghalus yang intensif karena sifatnya
kurang maksimal vital
sehingga terkadang
c. Lingkungan
kecepatan tidak stabil
- Pencahayaan diperbaiki
c. Lingkungan
- Kurangnya Pencahayaan sehingga meningkatkan
sehingga mempengaruhi ketelitian
- Sirkulasi udara ditambah
tingkat ketelitian
- Sirkulasi udara kurang sehingga operator lebih
sehingga operator gerah nyaman.
akibatnya kurang
d. Bahan baku
konsentrasi - Perlu sistem pemakaian bahan
d. Bahan baku
baku yang teratur
- Kayu yang kekeringannya
menurun akibat
kelembaban
- Memang bawaan kayu

Tabel 5.21
Prioritas Rencana Perbaikan Kategori Cacat Atribut Adanya Retak
Wood Flooring Type B
91

Penyebab Usulan Penanganan


a. Manusia a. Manusia
- Konsentrasi hilang - Ruang hendaknya
- Kurang teliti dan hati-hati disekat/mengurangi
kesempatan berbicara waktu
bekerja
- ada pengecekan rutin sebagai
kontrol kinerja operator
b. Metode b. Metode
- Kejar waktu akibat terjadi - Mengatasi adanya
penumpukan WIP penumpukan WIP yang
melebihi kapasitas harian
- Perbaikan sistem persediaan
setiap proses
c. Mesin c. Mesin
- Terjadinya gesekan yang - Perlu modifikasi komponen
kuat alat potong sehingga
- Perawatan alat potong kecepatannya selalu stabil.
kurang maksimal - Harus dilakukan perawatan
yang intensif karena sifatnya
vital
d. Lingkungan
d. Lingkungan - Pencahayaan diperbaiki
- Kurangnya Pencahayaan
sehingga meningkatkan
sehingga mempengaruhi
ketelitian
tingkat ketelitian - Sirkulasi udara ditambah
- Sirkulasi udara kurang
sehingga operator lebih
sehingga operator gerah
nyaman.
akibatnya kurang
konsentrasi

5.6.9 Improve ( Memperbaiki )

Sesuai dengan metodologi dan program peningkatan kualitas Six Sigma

maka setelah tahap Analyze (menganalisa) maka tahap berikutnya adalah

Improve (Memperbaiki). Pada tahap ini akan dibahas tindakan dan langkah-

langkah apa saja yang harus dilakukan untuk menurunkan ketidaksesuaian

(cacat) produk lantai kayu (wood floring) baik dari kategori data cacat variabel

maupun data cacat atribut sehingga dapat meningkatkan kualitas produk

akhir.Beberapa tindakan yang harus diperhatikan dalam melakukan penanganan


92

proses produksi produk lantai kayu (wood flooring) agar tidak terjadi

ketidaksesuaian (cacat) produk lantai kayu (wood floring) antara lain adalah

sebagai berikut ini:

Tabel 5.22
Prioritas Rencana Tindakan Perbaikan Terhadap Kategori Cacat Variabel
Maupun Cacat Atribut

No Faktor Penyebab Usulan Penanganan


1 Manusia 1) Kurang teliti 1) Memberikan pengarahan
2) Kurang hati-hati 2) Memberikan pelatihan
3) Sumber daya manusia 3) Mensupport, serta
4) Mudah bosen memberikan dan
mengarahkan
2 Metode 1) Kejar waktu 1) Keteraturan penjadwalan
2) Gerakan tangan yang produksi
sering berubah 2) Membuat tataan meja
yang ada penjepit kayu
3 Lingkungan 1) Sirkulasi udara 1) Penambahan ventilasi
2) Pencahayaan 2) Penambahan lampu
4 Bahan baku 1) Kualitas Bahan Baku 1) Memilih bahan baku yang
2) Pemilihan/Klasifikasi baik dan berkualitas
Bahan Baku
5 Mesin 1) Alat potong yang kurang 1) Merawat, serta mengontrol
stabil kecepatannya mesin yang sudah ada
2) Kurang pengawasan 2) Melakukan modifikasi
dan perawatan yang mesin alat potong dengan
intensif dari orang yang konsep poka-yoke untuk
berkompeten menstabilkan kecepatan,
keakuratan ukuran potong
dan gerakan pemotongan.

KONSEP POKA-YOKE DENGAN METODE MODIFIKASI MESIN


TERHADAP ALAT POTONG KAYU LANTAI
93
94

Gambar 5.11 Mesin Alat Potong Wood Flooring


95

5.7 Hasil Dari Tindakan Perbaikan

Dari tahapan improve seperti tersebut diatas, yang kemudian telah

dilakukan upaya proses perbaikan kualitas baik data cacat variabel maupun data

cacat atribut, maka diperoleh data dengan pengamatan baru yaitu sebagai

berikut :

1. Untuk data cacat variabel sehubungan dengan panjang wood flooring

type B
Tabel 5.23
Hasil Data Panjang Wood Flooring ( cm ) Type B

(Hari Sample(ukuran dalam cm)


∑X X-Bar R Sd
Ke) X1 X2 X3 X4 X5
1 90,1 90,1 90 90 90 450,2 90,04 0,1 0,04
2 90 90,13 90 90,05 90 450,18 90,03 0,13 0,05
3 90 90 90 90,07 90 450,07 90,01 0,07 0,03
4 90,12 90 90,1 90 90 450,22 90,04 0,12 0,05
5 89 90,3 90 90 90 449,3 89,8 1,3 0,5
6 90 90 90 90 90,11 450,11 90,02 0,11 0,04
7 90 90,58 90 90 90 450,58 90,11 0,58 0,2
8 90,41 90 90 90,12 90 450,53 90,10 0,41 0,17
9 90 90 90,26 90 90 450,26 90,05 0,26 0,1
10 90 90,7 90 90 90 450,7 90,14 0,7 0,3
11 90 90 90,06 90 90 450,06 90,01 0,06 0,02
12 90 90 90 90,9 90 450,9 90,18 0,9 0,3
Jumlah 5403,11 1080.622 4,74 2,037
Rata-Rata 450,25 90,05 0,39 0,16
Sumber : Pengolahan data

N = 60

∑X = 5403,11
∑X2 = 29193597,67
K =2
S = 0,05
2
k     x  
2
N x 2

N'   s 
1 1

 x 1 
 
96

N’ = 0,04

Karena nilai N’ < N, maka pengambilan data pengamatan untuk

panjang wood flooring sebagai data cacat variabel panjang dianggap cukup.

2. Untuk data cacat atribut sehubungan dengan Data produk tidak


sesuai/cacat

Tabel 5.24
Hasil Cacat Atribut Kategori C4,C6 dan C7
Hari Jumlah Jumlah Jenis Cacat
∑P p
ke Produksi Sampel C4 C6 C7
1 806 81 1 2 1 4 0,04
2 816 82 2 2 2 6 0,07
3 814 81 1 1 1 3 0,03
4 819 82 2 2 1 5 0,06
5 826 83 3 1 1 5 0,06
6 829 83 2 2 1 5 0,06
7 821 82 1 2 2 5 0,06
8 813 81 2 2 2 6 0,07
9 820 82 2 3 1 6 0,07
10 825 83 1 1 1 3 0,04
11 813 81 1 2 1 4 0,04
12 814 82 1 1 1 3 0,03
Jumlah 982 19 21 15 55 0,69
Sumber : Pengolahan data

N = 982

P = 0,29

K =2

S = 0,05

N’ = k2 / S2 x p ( 1 – p )
= 329,4

Karena nilai N’ < N , maka pengambilan data untuk kategori data cacat

atribut dianggap cukup.


97

5.7.1 Pembuatan Peta kontrol untuk data cacat variabel.Panjang ( Peta

kontrol X dan R )

Pembuatan peta kontrol X dan R ini digunakan untuk memudahkan

perhitungan data cacat variabel panjang pada produk wood flooring type B,

maka digunakan perhitungan sebagai berikut :

Sesuai spesifikasi produk wood flooring type B adalah 89 – 91 ( cm ), maka :

 Untuk Peta kontrol X chart

Mean / X Bar ( CL ) = 90,05

Dalam tabel faktor A2 pada sub group atau ukuran sampel n = 5 diperoleh

nilai 0,577, maka :

UCL/BKA = X Bar + A2.R

= 90,05 + 0,577 (0,39)

= 90,27

LCL/BKB = X Bar – A2.R

= 90,07 – 0,577 (0,39)

= 89,8
98

Gambar 5.12 Peta Kontrol X chart Panjang Wood Flooring

 Untuk Peta kontrol R Chart

Mean/ R ( CL ) = 0,39

Dalam tabel faktor D4 pada sub group atau ukuran sampel n = 5 diperoleh

nilai 2,115 dan dalam tabel faktor D3 pada sub group atau ukuran sampel n =

5 diperoleh nilai 0, maka :

UCL/BKA = D4.R
= 2,115 (0,39)
= 0,8
LCL/BKB = D3.R
= 0 (0,39)
=0
99

Gambar 5.13 Peta Kontrol R chart Variabel Panjang

5.7.2 Pembuatan Peta kontrol untuk data cacat atrbut.( Peta kontrol P )

Perhitungannya adalah sebagai berikut :

55
P  = 0,06
982

Karena jumlah sampel yang diperiksa tidak sama dalam jumlahnya, maka

nalai UCLp dan LCLp bervariasi menurut n per harinya.

Adapun hasil perhitungan nilai UCLp dan LCLp untuk cacat atribut

ditunjukkan pada tabel seperti yang dibawah berikut ini :

Tabel 5.25
Data hasil perhitungan nilai UCLp dan LCLp
Cacat produk atribut

Hari Ke P UCLp LCLp P


1 0,06 0,14 -0,02 0,04
2 0,06 0,14 -0,02 0,07
3 0,06 0,14 -0,02 0,03
4 0,06 0,14 -0,02 0,06
5 0,06 0,14 -0,02 0,06
6 0,06 0,14 -0,02 0,06
7 0,06 0,14 -0,02 0,06
8 0,06 0,14 -0,02 0,07
9 0,06 0,14 -0,02 0,07
10 0,06 0,14 -0,02 0,04
11 0,06 0,14 -0,02 0,04
12 0,06 0,14 -0,02 0,03
Sumber : Pengolahan data
100

Gambar 5.14 Peta Kontrol P chart

5.8 Hasil Perhitungan DPMO Dan Sigma Level Dari Data Perbaikan

 Untuk Data Cacat Variabel Panjang

Tabel 5.26
Sigma Level Dan DPMO Data Cacat Variabel Panjang Untuk
Produk Wood Flooring Type B
Data Panjang Wood Flooring Type B
Hari
ke Nilai
∑X X Bar UCL LCL R SD Cp DPMO
Sigma
1 450,2 90,04 90,27 89,8 0,1 0,04 1,9 5,87 6
2 450,18 90,03 90,27 89,8 0,13 0,05 1,5 4,7 687
3 450,07 90,01 90,27 89,8 0,07 0,04 1,9 5,87 6
4 450,22 90,04 90,27 89,8 0,12 0,05 1,5 4,7 687
5 449,3 89,8 90,27 89,8 1,3 0,5 0,15 0,47 848.495
6 450,11 90,02 90,27 89,8 0,11 0,04 1,9 5,87 6
7 450,58 90,11 90,27 89,8 0,58 0,2 0,39 1,17 629.300
8 450,53 90,10 90,27 89,8 0,41 0,17 0,46 1,38 547.758
9 450,26 90,05 90,27 89,8 0,26 0,1 0,78 2,35 197.662
10 450,7 90,14 90,27 89,8 0,7 0,3 0,26 0,78 764.238
11 450,06 90,01 90,27 89,8 0,06 0,04 1,9 5,87 6
12 450,9 90,18 90,27 89,8 0,9 0,3 0,26 0,78 764.238
Jumlah 12,9 39,81 3753089
Rata-Rata 1,075 3,31 312.757
Sumber : Pengolahan data
 Untuk Data Cacat Atribut Kategori C4, C6 dan C7
101

Tabel 5.27
Hasil perhitungan DPMO dan sigma level Cacat Atribut Kategori C4
(ada Titik Mata)
Jumlah
Hari Jumlah Nilai
Sample Produk Tidak DPMO
Ke Produksi Sigma
Sesuai/cacat
1 806 81 1 12.345,67 3,74
2 816 82 2 24.390,24 3,47
3 814 81 1 12.345,67 3,74
4 819 82 2 24.390,24 3,47
5 826 83 3 36.144,57 3,29
6 829 83 2 24.096,38 3,46
7 821 82 1 12.195,12 3,75
8 813 81 2 24.691,35 3,47
9 820 82 2 24.390,24 3,47
10 825 83 1 12.048,19 3,75
11 813 81 1 12.345,67 3,74
12 814 82 1 12.195,12 3,75
Jumlah 982 19 231.578,46 43,1
Rata-rata 82 2 19.298,2 3,59
Sumber : Pengolahan data
Dari tabel 5.13 di atas dapat diketahui bahwa DPMO rata-rata sebesar

19.298,2 dengan sigma level sebesar 3,59

Tabel 5.28
Hasil perhitungan DPMO dan sigma level Cacat Atribut Kategori
C6(Bersisik)
Jumlah
Hari Jumlah Nilai
Sample Produk Tidak DPMO
Ke Produksi Sigma
Sesuai/cacat
1 806 81 2 24.691,35 3,47
2 816 82 2 24.390,24 3,47
3 814 81 1 12.345,67 3,74
4 819 82 2 24.390,24 3,47
5 826 83 1 12.048,19 3,75
6 829 83 2 24.096,38 3,46
7 821 82 2 24.390,24 3,47
8 813 81 2 24.691,35 3,47
9 820 82 3 36.585,36 3,29
10 825 83 1 12.048,19 3,75
11 813 81 2 24.691,35 3,47
12 814 82 1 12.195,12 3,75
Jumlah 982 21 256.563,6 42,56
Rata-rata 82 2 21.380,3 3,54
Sumber : Pengolahan data
102

Dari tabel 5.13 di atas dapat diketahui bahwa DPMO rata-rata sebesar

21.380,3 dengan sigma level sebesar 3,54

Tabel 5.29
Hasil perhitungan DPMO dan sigma level Cacat Atribut Kategori C7
Jumlah
Hari Jumlah Nilai
Sample Produk Tidak DPMO
Ke Produksi Sigma
Sesuai/cacat
1 806 81 1 12.345,67 3,74
2 816 82 2 24.390,24 3,47
3 814 81 1 12.345,67 3,74
4 819 82 1 12.195,12 3,75
5 826 83 1 12.048,19 3,75
6 829 83 1 12.048,19 3,75
7 821 82 2 24.390,24 3,47
8 813 81 2 24.691,35 3,47
9 820 82 1 12.195,12 3,75
10 825 83 1 12.048,19 3,75
11 813 81 1 12.345,67 3,74
12 814 82 1 12.195,12 3,75
Jumlah 982 15 171.043,6 44,13
Rata-rata 82 1 14.253,63 3,67
Sumber : Pengolahan data
Dari tabel 5.13 di atas dapat diketahui bahwa DPMO rata-rata sebesar

14.253,63 dengan sigma level sebesar 3,67.

5.9 Hasil Perhitungan Kemampuan Proses Dari Data Rencana Perbaikan


 Untuk Data Cacat Variabel Panjang
Sehubungan data cacat variabel diatas yaitu berhubungan dengan
spesifikasi panjang produk wood flooring, dimana panjang yang ditetapkan
oleh perusahaan adalah 89 – 91 cm.Maka kemampuan proses untuk kategori
panjang wood flooring adalah sebagai berikut :
USL – LSL
Cpm = ________________
6 √ ( X-bar - T)2+S2

91 – 89
= -------------------------------
6 √ ( 90,05 - 90)2+0,162

= 2,08

Cpk = Min (USL-Xbar) ; (Xbar-LSL)


3xS 3xS
= Min (91 - 90,05) ; (90,05 – 89)
103

3 x 0,16 3 x 0,16
= Min ( 1,97 ; 2,18 )
= 1,97
Cpmk = Cpk / √ 1 + ( X bar – T )/ S)2
= 1,97 / √ 1 + ( 90,05 – 90 )/ 0,16)2
= 1,9

Karena nilai Cpmk = 1,9 > 1,00 maka proses dianggap mampu dalam

mencapai target kualitas pada tingkat kegagalan nol ( zero defect ) sehingga

kompetitif untuk bersaing di pasaran.


 Untuk Data Cacat Atribut Kategori C4, C6 dan C7
Sehubungan data cacat atribut diatas yaitu berhubungan dengan

spesifikasi produk wood flooring yang berkaitan dengan cacat akibat ada titik

mata, kasar dan retak dan hal itu disebut data kualitatif.Data atribut ini sering

berbentuk kategori atau kualitatif seperti : baik, jelek, sukses atau gagal. Maka

kemampuan proses untuk jenis cacat atribut wood flooring adalah sebagai

berikut

Tabel 5.30
Cara pencatatan kemampuan proses data cacat atribut Hasil Perbaikan
Kategori C4(Ada Titik Mata)
Hasil
No Tindakan Persamaan
Perhitungan
1 Proses yang ingin diketahui - Pembuatan
lantai kayu
2 Berapa banyak produk yang diperiksa - 982
3 Berapa banyak produk yang tidak sesuai - 19
4 Hitung tingkat ketidaksesuaian (cacat) 0,02
5 Menentukan banyaknya CTQ Banyaknya 1
karakter CTQ
6 Peluang tingkat ketidaksesuaian per Langkah 4/ 0,02
karakter CTQ langkah 5
7 Kemungkinan ketidaksesuaian Langkah 6 x 20.000
1.000.000
8 Nilai sigma level - 3,59
Sumber : Pengolahan data
Tabel 5.31
Cara pencatatan kemampuan proses data cacat atribut Hasil Perbaikan
Kategori C6(Bersisik)

No Tindakan Persamaan Hasil


104

Perhitungan
1 Proses yang ingin diketahui - Pembuatan
lantai kayu
2 Berapa banyak produk yang diperiksa - 982
3 Berapa banyak produk yang tidak sesuai - 21
4 Hitung tingkat ketidaksesuaian (cacat) 0,0214
5 Menentukan banyaknya CTQ Banyaknya 1
karakter CTQ
6 Peluang tingkat ketidaksesuaian per Langkah 4/ 0,0214
karakter CTQ langkah 5
7 Kemungkinan ketidaksesuaian Langkah 6 x 21.400
1.000.000
8 Nilai sigma level - 3,54
Sumber : Pengolahan data

Tabel 5.32
Cara pencatatan kemampuan proses data cacat atribut Hasil Perbaikan
Kategori C7(Retak)
No Tindakan Hasil
Persamaan
Perhitungan
1 Proses yang ingin diketahui - Pembuatan
lantai kayu
2 Berapa banyak produk yang diperiksa - 982
3 Berapa banyak produk yang tidak sesuai - 15
4 Hitung tingkat ketidaksesuaian (cacat) 0,0153
5 Menentukan banyaknya CTQ Banyaknya 1
karakter CTQ
6 Peluang tingkat ketidaksesuaian per Langkah 4/ 0,0153
karakter CTQ langkah 5
7 Kemungkinan ketidaksesuaian Langkah 6 x 15.300
1.000.000
8 Nilai sigma level - 3,67
Sumber : Pengolahan data

5.10 Perbandingan Nilai DPMO dan Sigma Level Sebelum dan Sesudah

Perbaikan
105

Setelah diperoleh hasil nilai DPMO dan sigma level sebelum dan sesudah

perbaikan maka dibuat perbandingan antara nilai DPMO dan sigma level

sebelum dan sesudah perbaikan seperti tabel dibawah ini:

Tabel 5.33
Hasil perhitungan Rata-rata DPMO dan sigma level
Sebelum Sesudah
Nilai Selisih Prosentase
Perbaikan Perbaikan
Jenis Data
Sigma Sigma Sigma Sigma
DPMO DPMO DPMO DPMO
level level level level
Data
Variabel 405.165 1,74 312.757 3,31 92.408 1,57 22,8 90,2
Panjang
Data atribut 95.648 2,81 19.298 3,59 76.350 0,78 79,8 27,75
(ada Titik
Mata)
Data atribut 90.702,88 2,84 21.380 3,54 69.322,88 0,7 76,4 24,6
(Bersisik)
Data atribut 52.937,27 3,12 14.253,6 3,67 38.683,67 0,55 73,07 17,63
(Ada Retak)
Sumber: Pengolahan data
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa telah terjadi peningkatan

prosentase baik nilai DPMO maupun Sigma level setelah perbaikan yaitu untuk

data variabel panjang sebesar 22,8% untuk nilai DPMO dan 90,2% untuk nilai

sigma level. Sedangkan untuk data atribut kategori (ada titik mata) sebesar

79,8% untuk nilai DPMO dan 27,75% untuk nilai sigma level, kategori (bersisik)

sebesar 76,4% untuk nilai DPMO dan 24,6% untuk nilai sigma sedangkan

kategori (ada retak) sebesar 73,07% untuk nilai DPMO dan 17,63% untuk nilai

sigma.

Dengan hasil prosentase tersebut maka menunjukkan bahwa telah terjadi

peningkatan kualitas pada proses produksi pembuatan lantai kayu (wood

flooring) untuk Type B di CV. Salendra Bawana Karya Pandaan.

5.11 Perbandingan Kemampuan Proses Sebelum dan Sesudah Perbaikan

Tabel 5.34
106

Perbandingan Kemampuan Proses Data Cacat Variabel Panjang

Proses Nilai Cpmk Kriteria Hasil


Sebelum Perbaikan 0 0 <1 Tidak Kompetitif
Setelah Perbaikan 1,9 1,9 > 1 Kompetitif

Tabel 5.35
Perbandingan Kemampuan Proses Data Cacat Atribut Kategori C4, C6, C7
Kriteria Sebelum Perbaikan Setelah Perbaikan
Kategori Cacat C4 C6 C7 C4 C6 C7
Proses yang ingin diketahui Wood Flooring Type B Wood Flooring Type B
Berapa banyak produk yang 982 982 982 982 982 982
diperiksa
Berapa banyak produk yang 94 96 52 19 21 15
tidak sesuai
Hitung tingkat ketidaksesuaian 0,095 0,09 0,052 0,02 0,0214 0,0153
(cacat)
Menentukan banyaknya CTQ 1 1 1 1 1 1
Peluang tingkat ketidaksesuaian 0,095 0,09 0,052 0,02 0,0214 0,0153
per karakter CTQ
Kemungkinan ketidaksesuaian 95.000 90.000 52.000 20.000 21.400 15.300
Nilai sigma level 2,81 2,84 3,12 3,59 3,54 3,67

5.12 Control (Mengendalikan)

Control (Mengendalikan) merupakan tahap operasional yang terakhir dan

metodologi program peningkatan kualitas produk Six Sigma. Pada tahap ini hasil-

hasil peningkatan kualitas didokumentasikan dan disebarluaskan kepada

karyawan. Prosedur-prosedur yang telah dibuktikan ampuh untuk meningkatkan

kualitas didokumentasikan dan disajikan sebagai pedoman standar kerja.

Langkah-langkah yang terdapat dalam improve untuk mengatasi beberapa

masalah ketidaksesuaian produk (cacat) harus didokumentasikan,

disebarluaskan dan dibuat standar pedoman kerja. Hal ini sangatlah penting

karena apabila tindakan atau langkah-langkah program peningkatan kualitas Six

Sigma atau solusi dan masalah ketidaksesuaian produk (cacat) ini tidak

didokumentasikan dan dibuat standar pedoman kerja maka akan ada


107

kemungkinan bila setelah periode waktu terjadi pergantian manajemen dan

karyawan baru, akan menggunakan cara-cara kerja lama yang dapat

memunculkan kembali atau terjadinya ketidaksesuaian produk (cacat) yang

sudah pernah terselesaikan.

Standarisasi sangatlah diperlukan sebagai tindakan pencegahan untuk

mencegah kembalinya masalah ketidaksesuaian produk (cacat) yang pernah

terjadi. Selain itu juga bermanfaat sebagai bahan belajar dan sumber informasi

yang berguna untuk mempelajari masalah-masalah kualitas, sehingga tujuan dan

program peningkatan kualitas Six Sigma yaitu menurunkan jumlah

ketidaksesuaian produk (cacat) atau kegagalan yang dihasilkan oleh perusahaan

untuk menuju tingkat kegagalan yang mendekati nol (zero defect) dapat tercapai

sehingga perusahaan dapat meningkatkan kualitas produk akhir dan perusahaan

dapat lebih mudah untuk bersaing di pasar global dan menjadi perusahaan

berkelas dunia.

5.12.1 Pengendalian Melalui Pergeseran Peta Kontrol Variabel Panjang

Peta Kontrol untuk data variabel panjang yang mengalami perubahan

pergeseran dari sebelum dan sesudah dilakukan perbaikan melalui konsep poka-yoke

(modifikasi mesin), nantinya akan menjadi pedoman dan fokus dalam upaya peningkatan

level sigma untuk periode-periode yang akan datang, seperti berikut ini :

Keterangan Sebelum Perbaikan Sesudah Perbaikan


UCL 92,6 90,27
LCL 89,3 89,8
Nilai Sigma 1,74 3,31

Peta Kontrol Pengendalian Panjang Produk Wood Flooring Type B


108

Gambar 5.15.A Peta Kontrol X chart sebelum Perbaikan

Gambar 5.15.B Peta Kontrol X chart setelah Perbaikan

2.12.2Pengendalian Melalui Parameter Indeks Kapabilitas(Variabel Panjang)

Parameter indeks kapabilitas digunakan untuk mengukur kemampuan dari

suatu proses stabil untuk menghasilkan bagian-bagian dalam batas spesifikasi.


109

Ada tiga cara untuk menilai bahwa suatu proses dapat ditunjukkan dengan

histogram yang dibandingkan dengan nilai USL dan LSL.

A. Kapabilitas Proses Short-term


Variabilitas proses akan menghasilkan kapabilitas short-term, yang

menunjukkan hasil terbaik yang bisa dicapai proses tersebut.kapabiitas short-

term ini dibatasi oleh teknologi dan desain dan disebut dengan potensial

proses.Pada kapabilitas short-term menggunakan dua parameter yaitu nilai

Cp dan nilai Zst (Z short-term)


Zst adalah perhitungan dari kapabilitas teknologi yang mengasumsikan

bahwa proses terpusat pada target.

Nilai Cp dan Zst dapat dihitung sebagai berikut :

Cp = USL – LSL
6.σ

Cp = 90,27 – 89,8
6.0,16

Cp = 0,52

Sedangkan Zst = 3 * Cp , maka :


Zst = 3 * 0,52
Zst = 1,56

B. Kapabilitas Proses Long-term


Kapabilitas proses long-term didapatkan dari variasi dan kontrol yang

menunjukkan performansi aktual dari proses yang ditentukan oleh teknologi

dan kontrol proses.kapabilitas proses long-term disebut performansi proses,

dimana parameter yang digunakan dalam kapabilitas proses long-term adalah

Cpk dan Zlt (Z long-term)

Zlt adalah perhitungan dari teknologi dan kontrol.

Nilai Cpk dan Zlt dapat dihitung sebagai berikut :


110

Cpk = Cp * ( 1 – k )

Dimana k diperoleh dari k= (T – Xbar)__


(USL – LSL)/2

k= 90 – 90,05___
(90,27 – 89,8 )/2

k = - 0,21

Maka, Cpk = 0,52 * ( 1 – ( -0,21 )

Cpk = 0,62

Sedangkan, Zlt = Cpk * 3

Zlt = 0,62 * 3

Zlt = 1,86

C. Z shift
Zshift merupakan perbedaan matematis antara kapabilitas proses short

term dan long-term, perbedaan ini ditunjukkan dengan nalai Z shift.Zshift

mempresentasikan kemampuan mengendalikan teknologi secara rata-rata.

Nilai Zshift didapatkan dengan rumus :

Zshift = Zst - Zlt

Maka , Zshift = 1,56 – 1,86

Zshift = 0,3

Untuk menentukan apakah kapabilitas proses yang didapat merupakan

hasil dari kontrol atau teknologi dapat dilihat pada gambar berikut ini :

jelek 2,5
A B
2
kontrol
Zshift 1
C D
111

0,5

Baik
1.5 2 3 4 5 6
Baik Jelek
Teknologi Zst
Gambar 5.16 Posisi Kuadran Indeks Kapabiitas Data Variabel Panjang

Dalam kuadran A, B, C dan D merupakan letak kapabilitas proses, dimana

dapat diintepretasikan sebagai berikut :

A = kontrol buruk, dan teknologi tidak memadahi

B = Harus mengontrol proses lebih baik, dan teknologi baik

C = kontrol proses baik, dan teknologi tidak cukup memadahi

D = kontrol dan teknologi kelas dunia

Nilai Zshift dan Zst kemudian diplot kedalam grafik, untuk melihat apakah

kapabilitas proses yang didapat hasil dari kontrol atau teknologi.Dari grafik diatas

menunjukkan bahwa kapabilitas proses yang didapatkan terletak di kuadran C,

dalam arti lebih merupakan hasil dari kontrol proses yang jauh lebih baik dari

teknologi yang tersedia.Oleh karena itu untuk kedepan perlu diterapkan teknologi

yang lebih baik atau lebih memadahi.


112

5.13 Perhitungan Efisiensi Penghematan Biaya Perbaikan Kualitas Produk

Wood Flooring Type B

Tabel 5.36
Total cacat Wood Flooring Type B Sebelum Perbaikan

Hari Ke Jenis Karakteristik Cacat Wood Flooring Total


Cacat
C1 C2 C3 C4 C5 C6 C7
1 0 12 0 9 0 6 4 31
2 2 8 3 8 0 8 6 35
3 3 9 2 9 0 6 6 35
4 0 8 1 9 2 9 7 36
5 0 9 2 9 0 9 7 36
6 0 11 0 6 0 7 8 32
7 0 19 2 8 0 7 5 41
8 2 10 2 8 2 6 5 33
9 0 9 3 7 3 5 8 35
10 1 11 2 7 0 6 8 35
11 0 8 1 8 2 7 8 34
12 0 7 2 8 0 8 5 30
Total 8 121 20 96 9 84 77 415
Sumber ; Data Pengamatan
113

Tabel 5.37
Perhitungan Biaya Kualitas Sebelum Perbaikan

Jumlah Total Quality


Keterangan Biaya
Unit /batang Cost
 Untuk C1
Internal Failure cost 8 Rp.5.300,- Rp. 42.400,-
- Biaya Perbaikan Produk
* Untuk C2
Internal Failure cost 121 Rp.3.400,- Rp. 411.400,-
- Biaya Perbaikan Produk
* Untuk C3
Internal Failure cost 20 Rp.2.800,- Rp. 56.000,-
- Biaya Perbaikan Produk
* Untuk C4
Internal Failure cost 96 Rp.2.800,- Rp. 268.800,-
- Biaya Perbaikan Produk
* Untuk C5
Internal Failure cost 9 Rp.2.800,- Rp. 25.200,-
- Biaya Perbaikan Produk
* Untuk C6
Internal Failure cost 84 Rp.4.000,- Rp. 336.000,-
- Biaya Perbaikan Produk
* Untuk C7
Internal Failure cost
- Biaya Perbaikan Produk 77 Rp.4.000,- Rp. 308.000,-
Jumlah Rp.1.447.800,-

Tabel 5.38
Total cacat Wood Flooring Type B Setelah Perbaikan
Jenis Karakteristik Cacat Wood Flooring Total
Hari Ke Cacat
C1 C2 C3 C4 C5 C6 C7
1 0 3 0 1 0 2 1 7
2 0 2 2 2 0 2 2 10
3 0 2 0 1 1 1 1 6
4 1 2 2 2 2 2 1 12
5 0 0 2 3 0 1 1 7
6 0 1 3 2 1 2 1 10
7 0 0 0 1 0 2 2 5
8 2 1 2 2 0 2 2 11
9 0 2 3 2 0 3 1 11
10 0 2 3 1 1 1 1 9
11 0 0 0 1 0 2 1 4
12 0 2 0 1 0 1 1 5
Total 3 17 17 19 5 21 15 97
Sumber ; Data Pengamatan
114

Tabel 5.39
Perhitungan Biaya Kualitas Setelah Perbaikan
Keterangan Jumlah Biaya Total Quality
Unit /batang Cost
 Untuk C1
Internal Failure cost
- Biaya Perbaikan Produk 3 Rp.5.300,- Rp.15.900,-
* Untuk C2
Internal Failure cost
17 Rp.3.400,- Rp.57.800,-
- Biaya Perbaikan Produk
* Untuk C3
Internal Failure cost
17 Rp.2.800,- Rp.47.600,-
- Biaya Perbaikan Produk
* Untuk C4
Internal Failure cost
19 Rp.2.800,- Rp.53.200,-
- Biaya Perbaikan Produk
* Untuk C5
Internal Failure cost
5 Rp.2.800,- Rp.14.000,-
- Biaya Perbaikan Produk
* Untuk C6
Internal Failure cost
21 Rp.4.000,- Rp.84.000,-
- Biaya Perbaikan Produk
* Untuk C7
Internal Failure cost
15 Rp.4.000,- Rp.60.000,-
- Biaya Perbaikan Produk
Jumlah Rp.332.500,-

Tabel 5.40
Prosentase Penghematan Biaya Akibat Penurunan Produk Cacat
(selama 12 Hari Pengamatan)

Prosentase
Kondisi Total Quality Cost Selisih
Penurunan
Sebelum Perbaikan Rp.1.447.800,- Rp.1.115.300,- 77,03 %
Setelah Perbaikan Rp.332.500,-
BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Dari rangking prioritas waste didapat defect waste merupakan waste yang

harus segera direduksi dengan metode six sigma melalui pendekatan DMAIC

2. Cacat produk wood flooring yang menjadi CTQ, yaitu sebagai berikut :

C 2 = Panjang kurang/lebih

C 4 = Ada Titik Mata

C 6 = Bersisik

C 7 = Retak

3. Terjadi peningkatan sigma level sebesar 90,2% untuk cacat variabel panjang

dan untuk cacat atribut kategori (ada titik mata) sebesar 27,75%, kategori

(bersisik) sebesar 24,6% sedangkan kategori (ada retak) 17,63% .

Dimana hal tersebut dilakukan dengan beberapa rencana tindakan

perbaikan, yaitu

- Diberikan pengarahan secara teratur atau dilakukan pelatihan untuk

meningkatkan kemampuan pekerja.

- Membuat sop berdasarkan konsep poka-yoke yang digunakan dalam

perbaikan metode kerja dengan modifikasi mesin potong dan membuat

tatanan meja yang ada penjepit kayunya sehingga dihasilkan keakuratan

ukuran potongan perbatang parket dan gerakan pemotongan yang stabil.

(lihat Lampiran I)

- Penambahan ventilasi udara dan pencahayaan ruangan produksi untuk

mendukung ketelitian dan kenyamanan pekerja.

115
116

4. Setelah dilakukan tahapan improve, maka terlihat bahwa CV.Salendra

Bawana Karya bisa melakukan reduksi cacat produk wood flooring type B dari

415 unit menjadi 97 unit sehingga terjadi penghematan biaya atas dasar

penurunan jumlah produk cacat sebesar 77,03 %.

6.2 Saran-Saran

1. Perusahaan diharapkan secara terus-menerus meningkatkan kinerja proses

produksinya mulai dari input-proses-output dengan mengutamakan kualitas

sehingga dapat mencapai zero defect.

2. Perusahaan sebaiknya melakukan kontrol mulai dari awal hingga akhir secara

intens, sehingga dengan begitu akan memperkecil tingkat kecacatan.

3. Pihak manajemen sebaiknya memikirkan masalah keergonomisan dalam

proses kerja karyawan, karena hal tersebut berhubungan dengan tingkat

performance produksi

4. Untuk menjadi kelas dunia, perusahaan harus selalu meningkatkan kontrol

yang baik serta mengimbangi dengan melakukan inovasi teknologi dalam

proses produksinya.

Anda mungkin juga menyukai