Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN

Sistemik Lupus Eritematosus


(SLE)

OLEH

Senci Napeli Wulandari, S.Kep


1705149010048

Preseptor Akademik Preseptor Klinik

( ) ( )

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


STIKes YARSI SUMBAR
BUKITTINGGI
2017 / 2018
A. DEFINISI
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisystem yang disebabkan
oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya
gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan
produksi autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003). Terbentuknya
autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel
darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui
mekanisme pengaktivan komplemen (Epstein, 1998). Jadi, SLE (Sistemisc lupus
erythematosus) adalah penyakti radang multisistem yang sebabnya belum diketahui,
dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan
eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam tubuh.

B. ETIOLOGI
Faktor genetik mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan
ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10% – 20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat
(first degree relative) yang menderita SLE. Angka kejadian SLE pada saudara kembar
identik (24-69%) lebih tinggi daripada saudara kembar non-identik (2-9%). Penelitian
terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan antara lain haplotip MHC
terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, komponen komplemen yang berperan pada fase
awal reaksi pengikatan komplemen yaitu C1q, C1r, C1s, C3, C4, dan C2, serta gen-
gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin, dan sitokin (Albar, 2003) .

Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV yang


mengubah struktur DNA di daerah yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan
sistem imun di daerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel keratonosit. SLE
juga dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang
mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak
terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan
protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh
membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing
tersebut (Herfindal et al., 2000). Makanan seperti wijen (alfafa sprouts) yang
mengandung asam amino L-cannavine dapat mengurangi respon dari sel limfosit T
dan B sehingga dapat menyebabkan SLE (Delafuente, 2002). Selain itu infeksi virus
dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem imun dengan mekanisme
menyebabkan peningkatan antibodi antiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit
nonspesifik yang akan memicu terjadinya SLE (Herfindal et al., 2000).

C. KLASIFIKASI
Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid lupus,
systemic lupus erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat.
1. Discoid Lupus
Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema yang
meninggi, skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit
kepala, telinga, wajah, lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini dapat
menimbulkan kecacatan karena lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan parut
di bagian tengahnya serta hilangnya apendiks kulit secara menetap (Hahn, 2005).
2. Systemic Lupus Erythematosus
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan
oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya
gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi
autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003). Terbentuknya autoantibodi terhadap
dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan
fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui
mekanime pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).
3. Lupus yang diinduksi oleh obat
Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada asetilator
lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi
lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan
obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing
oleh
Definitely Possible Unlikely
Hidralazin Antikonvulsan Propitiourasil Griseofulvi

Prokainamid Fenitoin Metimazol Penisilin

Isoniazid Karbamazepin Penisilinamin Garam ema

Klorpromazin Asam valproat Sulfasalazin

Metildopa Etosuksimid Sulfonamid

β-bloker
Nitrofurantoin

Propranolol Levodopa

Metoprolol Litium

Labetalol Simetidin

Acebutolol Takrolimus

Kaptropil

Lisinopril

Enalapril

Kontrasepsi oral

tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA)


untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000).

Tabel II.1 Obat yang menginduksi SLE (Herfindal et al.,2000).

Ket : definitely : tinggi, possible : sedang, unlikely : rendah

D. PATOFISIOLOGI
Pada pasien SLE terjadi gangguan respon imun yang menyebabkan aktivasi
sel B, peningkatan jumlah sel yang menghasilkan antibodi, hipergamaglobulinemia,
produksi autoantibodi, dan pembentukan kompleks imun (Mok dan Lau, 2003).
Aktivasi sel T dan sel B disebabkan karena adanya stimulasi antigen spesifik baik
yang berasal dari luar seperti bahan-bahan kimia, DNA bakteri, antigen virus,
fosfolipid dinding sel atau yang berasal dari dalam yaitu protein DNA dan RNA.
Antigen ini dibawa oleh antigen presenting cells (APCs) atau berikatan dengan
antibodi pada permukaan sel B. Kemudian diproses oleh sel B dan APCs menjadi
peptida dan dibawa ke sel T melalui molekul HLA yang ada di permukaan. Sel T akan
teraktivasi dan mengeluarkan sitokin yang dapat merangsang sel B untuk membentuk
autoantibodi yang patogen. Interaksi antara sel B dan sel T serta APCs dan sel T
terjadi dengan bantuan sitokin, molekul CD 40, CTLA-4 (Epstein, 1998).

Berdasarkan profil sitokin sel T dibagi menjadi 2 yaitu Th1 dan Th2. sel Th1
berfungsi mendukung cell-mediated immunity, sedangkan Th2 menekan sel tersebut
dan membantu sel B untuk memproduksi antibodi. Pada pasien SLE ditemukan
adanya IL-10 yaitu sitokin yang diproduksi oleh sel Th2 yang berfungsi menekan sel
Th1 sehingga mengganggu cell-mediated immunity. Sel T pada SLE juga
mengalami gangguan berupa berkurangnya produksi IL-2 dan hilangnya respon
terhadap rangsangan pembentukan IL-2 yang dapat membantu meningkatkan ekspresi
sel T (Mok dan Lau, 2003). Abnormalitas dan disregulasi sistem imun pada tingkat
seluler dapat berupa gangguan fungsi limfosit T dan B, NKC, dan APCs.
Hiperaktivitas sel B terjadi seiring dengan limfositopenia sel T karena antibodi
antilimfosit T.

Peningkatan sel B yang teraktivasi menyebabkan terjadinya


hipergamaglobulinemia yang berhubungan dengan reaktivitas self-antigen. Pada sel B,
reseptor sitokin, IL-2, mengalami peningkatan sedangkan CR1 menurun (Silvia and
Isenberg, 2001). Hal ini juga meningkatkan heat shock protein 90 (hsp 90) pada sel B
dan CD4+. Kelebihan hsp 90 akan terlokalisasi pada permukaan sel limfosit dan akan
menyebabkan terjadinya respon imun. Sel T mempunyai 2 subset yaitu CD8+
(supresor/sitotoksik) dan CD4+ (inducer/helper). SLE ditandai dengan peningkatan
sel B terutama berhubungan dengan subset CD4+ dan CD45R+. CD4+ membantu
menginduksi terjadinya supresi dengan menyediakan signal bagi CD8+ (Isenberg
and Horsfall, 1998). Berkurang jumlah total sel T juga menyebabkan berkurangnya
subset tersebut sehingga signal yang sampai ke CD8+ juga berkurang dan
menyebabkan kegagalan sel T dalam menekan sel B yang hiperaktif.

Berkurangnya kedua subset sel T ini yang umum disebut double negative (CD4-
CD8-) mengaktifkan sintesis dan sekresi autoantibodi (Mok and Lau, 2003). Ciri khas
autoantibodi ini adalah bahwa mereka tidak spesifik pada satu jaringan tertentu dan
merupakan komponen integral dari semua jenis sel sehingga menyebabkan inflamasi
dan kerusakan organ secara luas (Albar, 2003) melalui 3 mekanisme yaitu pertama
kompleks imun (misalnya DNA-anti DNA) terjebak dalam membran jaringan dan
mengaktifkan komplemen yang menyebabkan kerusakan jaringan. Kedua,
autoantibodi tersebut mengikat komponen jaringan atau antigen yang terjebak di
dalam jaringan, komplemen akan teraktivasi dan terjadi kerusakan jaringan.
Mekanisme yang terakhir adalah autoantibodi menempel pada membran dan
menyebabkan aktivasi komplemen yang berperan dalan kematian sel atau
autoantibodi masuk ke dalam sel dan berikatan dengan inti sel dan menyebabkan
menurunnya fungsi sel tetapi belum diketahui mekanismenya terhadap kerusakan
jaringan (Epstein, 1998).

Gangguan sistem imun pada SLE dapat berupa gangguan klirens kompleks
imun, gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan up-take
kompleks imun pada limpa (Albar, 2003). Gangguan klirens kompleks imun dapat
disebabkan berkurangnya CR1 dan juga fagositosis yang inadekuat pada IgG2 dan
IgG3 karena lemahnya ikatan reseptor FcγRIIA dan FcγRIIIA. Hal ini juga
berhubungan dengan defisiensi komponen komplemen C1, C2, C4. Adanya gangguan
tersebut menyebabkan meningkatnya paparan antigen terhadap sistem imun dan
terjadinya deposisi kompleks imun (Mok dan Lau, 2003) pada berbagai macam organ
sehingga terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan
aktivasi komplemen yang menghasilkan mediator-mediator inflamasi yang
menimbulkan reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya
keluhan/gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura,
pleksus koroideus, kulit, dan sebagainya (Albar, 2003).

Pada pasien SLE, adanya rangsangan berupa UVB (yang dapat menginduksi
apoptosis sel keratonosit) atau beberapa obat (seperti klorpromazin yang
menginduksi apoptosis sel limfoblas) dapat meningkatkan jumlah apoptosis sel
yang dilakukan oleh makrofag. Sel dapat mengalami apoptosis melalui kondensasi
dan fragmentasi inti serta kontraksi sitoplasma. Phosphatidylserine (PS) yang
secara normal berada di dalam membran sel, pada saat apoptosis berada di bagian
luar membran sel. Selanjutnya terjadi ikatan dengan CRP, TSP, SAP, dan
komponen komplemen yang akan berinteraksi dengan sel fagosit melalui reseptor
membran seperti transporter ABC1, complement receptor (CR1, 3, 4), reseptor
αVβ3, CD36, CD14, lektin, dan mannose receptor (MR) yang menghasilkan
sitokin antiinflamasi. Sedangkan pada SLE yang terjadi adalah ikatan dengan
autoantibodi yang kemudian akan berinteraksi dengan reseptor FcγR yang akan
menghasilkan sitokin proinflamasi. Selain gangguan apoptosis yang dilakukan
oleh makrofag, pada pasien SLE juga terjadi gangguan apoptosis yang disebabkan
oleh gangguan Fas dan bcl-2 (Bijl et al., 2001).

E. KRITERIA SLE
Pada tahun 1982, American Rheumatism Association (ARA) menetapkan
kriteria baru untuk klasifikasi SLE yang diperbarui pada tahun 1997. Kriteria SLE ini
mempunyai selektivitas 96%. Diagnosa SLE dapat ditegakkan jika pada suatu periode
pengamatan ditemukan 4 atau lebih kriteria dari 11 kriteria yaitu :
1. Ruam malar : eritema persisten, datar atau meninggi, pada daerah hidung dan
pipi.
2. Ruam diskoid : bercak eritematosa yang meninggi dengan sisik keratin yang
melekat dan sumbatan folikel, dapat terjadi jaringan parut.
3. Fotosensitivitas : terjadi lesi kulit akibat abnormalitas terhadap cahaya
matahari.
4. Ulserasi mulut : ulserasi di mulut atau nasofaring, umumnya tidak nyeri.
5. Artritis : artritis nonerosif yang mengenai 2 sendi perifer ditandai oleh nyeri,
bengkak, atau efusi.
6. Serositis
a. Pleuritis : adanya riwayat nyeri pleural atau terdengarnya bunyi gesekan pleura
atau adanya efusi pleura.
b. Perikarditis : diperoleh dari gambaran EKG atau terdengarnya bunyi gesekan
perikard atau efusi perikard.
7. Kelainan ginjal
a. Proteinuria yang lebih besar 0,5 g/dL atau lebih dari 3+
b. Ditemukan eritrosit, hemoglobin granular, tubular, atau campuran.
8. Kelainan neurologis : kejang tanpa sebab atau psikosis tanpa sebab.
9. Kelainan hematologik : anemia hemolitik atau leukopenia (kurang dari 400/mm3)
atau limfopenia (kurang dari 1500/mm3), atau trombositopenia (kurang dari
100.000/mm3) tanpa ada obat penginduksi gejala tersebut.
10. Kelainan imunologik : anti ds-DNA atau anti-Sm positif atau adanya antibodi
antifosfolipid.
11. Antibodi antinukleus : jumlah ANA yang abnormal pada pemeriksaan
imunofluoresensi atau pemeriksaan yang ekuivalen pada setiap saat dan tidak ada
obat yang menginduksi sindroma lupus (Delafuente, 2002).
F. TANDA DAN GEJALA

SLE adalah salah satu dari beberapa penyakit yang dikenal sebagai " peniru
hebat "karena sering meniru atau keliru untuk penyakit lainnya. SLE adalah barang
klasik dalam diagnosis diferensial, karena gejala lupus sangat bervariasi dan datang
dan pergi tak terduga. Diagnosis demikian dapat sulit dipahami, dengan beberapa
orang yang menderita gejala yang tidak jelas dari SLE yang tidak diobati selama
bertahun-tahun. Keluhan awal dan kronis umum termasuk demam, malaise, nyeri
sendi, mialgia, kelelahan, dan hilangnya kemampuan kognitif sementara. Karena
mereka begitu sering terlihat dengan penyakit lain, tanda-tanda dan gejala bukan
merupakan bagian dari kriteria diagnostik untuk SLE. Ketika terjadi dalam
hubungannya dengan tanda-tanda lain dan gejala (lihat di bawah), namun, mereka
dianggap sugestif.

1. Dermatologis manifestasi
Sebanyak 30% dari penderita memiliki beberapa gejala dermatologi (dan 65%
menderita gejala seperti di beberapa titik), dengan 30% sampai 50% menderita dari
klasik ruam malar (atau ruam kupu-kupu ) yang berhubungan dengan penyakit.
Beberapa mungkin menunjukkan tebal, bersisik bercak merah di kulit (disebut
sebagai lupus diskoid). Alopecia , mulut , hidung, saluran kemih dan vagina bisul, dan
lesi pada kulit juga manifestasi mungkin. Air mata kecil dalam jaringan halus di
sekitar mata bisa terjadi setelah menggosok bahkan minim.
2. Musculoskeletal
Perhatian medis yang paling sering dicari adalah untuk nyeri sendi , dengan sendi-
sendi kecil dari tangan dan pergelangan tangan biasanya terpengaruh, meskipun
semua sendi beresiko. The Lupus Foundation of America memperkirakan lebih dari
90 persen dari mereka yang terkena akan mengalami nyeri sendi dan / atau otot
pada beberapa waktu selama perjalanan penyakit mereka. Tidak seperti rheumatoid
arthritis , arthritis lupus kurang mematikan dan biasanya tidak menyebabkan
kerusakan parah sendi. Kurang dari sepuluh persen orang dengan arthritis lupus akan
mengembangkan kelainan bentuk tangan dan kaki. SLE pasien berada pada risiko
tertentu mengembangkan osteoarticular tuberkulosis . Sebuah hubungan yang
mungkin antara rheumatoid arthritis dan lupus telah menyarankan, dan SLE mungkin
berhubungan dengan peningkatan risiko patah tulang pada wanita yang relatif muda.
3. Hematologi
Anemia dapat berkembang pada sampai dengan 50% kasus. Rendah trombosit dan
sel darah putih jumlah mungkin karena penyakit atau efek samping pengobatan
farmakologi. Orang dengan SLE mungkin memiliki hubungan dengan sindrom
antifosfolipid antibodi (gangguan trombotik), dimana autoantibodi untuk fosfolipid
yang hadir dalam serum mereka. Kelainan yang berhubungan dengan sindrom
antifosfolipid antibodi termasuk berkepanjangan paradoks waktu tromboplastin
parsial (yang biasanya terjadi dalam gangguan hemoragik) dan tes positif untuk
antibodi antifosfolipid, kombinasi dari temuan tersebut telah mendapatkan "istilah
lupus antikoagulan positif ". Temuan lain autoantibody pada SLE adalah antibodi
anticardiolipin , yang dapat menyebabkan tes positif palsu untuk sifilis .
4. Jantung
Seseorang dengan SLE mungkin memiliki peradangan berbagai bagian jantung ,
seperti perikarditis , miokarditis , dan endokarditis . Para endokarditis dari SLE adalah
bersifat noninfective ( Libman-Sacks endokarditis ), dan melibatkan baik katup mitral
atau katup trikuspid . Aterosklerosis juga cenderung terjadi lebih sering dan
kemajuan lebih cepat dibandingkan pada populasi umum.
5. Paru
Paru-paru dan radang pleura dapat menyebabkan pleuritis , efusi pleura ,
pneumonitis lupus, penyakit paru kronis interstisial difus, hipertensi pulmonal ,
emboli paru , perdarahan paru , dan sindrom paru-paru menyusut.
6. Ginjal
Painless hematuria atau proteinuria mungkin sering menjadi gejala ginjal hanya
presentasi. Gangguan ginjal akut atau kronis dapat berkembang dengan nefritis lupus
, yang mengarah ke akut atau stadium akhir gagal ginjal . Karena pengenalan dini dan
manajemen dari SLE, stadium akhir gagal ginjal terjadi dalam waktu kurang dari 5%
kasus. Sebuah tanda histologis membran SLE adalah glomerulonefritis dengan "loop
kawat" kelainan. Temuan ini karena endapan komplek imun di sepanjang membran
basal glomerulus, yang mengarah ke penampilan granular khas di
immunofluorescence pengujian.
7. Neuropsikiatri
Neuropsikiatri sindrom bisa terjadi ketika lupus mempengaruhi pusat atau sistem
saraf perifer . The American College of Rheumatology mendefinisikan sindrom
neuropsikiatri 19 dalam lupus eritematosus sistemik. Diagnosis sindrom
neuropsikiatri bersamaan dengan SLE adalah salah satu tantangan paling sulit dalam
pengobatan, karena dapat melibatkan pola yang berbeda begitu banyak gejala,
beberapa di antaranya mungkin keliru untuk tanda-tanda penyakit menular atau
stroke. Gangguan neuropsikiatri paling umum orang dengan SLE miliki adalah sakit
kepala, meskipun keberadaan tertentu sakit kepala lupus dan pendekatan optimal
untuk sakit kepala dalam kasus lupus masih controversial, manifestasi neuropsikiatri
umum lainnya dari SLE termasuk disfungsi kognitif, gangguan mood, penyakit
serebrovaskular, kejang, polineuropati, gangguan kecemasan, dan psikosis . Jarang
sekali bisa hadir dengan sindrom hipertensi intrakranial, ditandai dengan
peningkatan tekanan intrakranial, papiledema, dan sakit kepala dengan sesekali
abducens saraf paresis, adanya lesi menempati ruang-atau pembesaran ventrikel,
dan normal cairan serebrospinal kimia dan hematologi konstituen. Manifestasi lebih
jarang adalah negara confusional akut , sindrom Guillain-Barré, meningitis aseptik,
gangguan otonom, sindrom demielinasi, mononeuropati (yang mungkin
bermanifestasi sebagai multipleks mononeuritis), gangguan gerakan (lebih spesifik,
chorea), myasthenia gravis, myelopathy, tengkorak neuropati dan plexopathy.
8. Neurologis
Gejala saraf berkontribusi pada persentase yang signifikan dari morbiditas dan
mortalitas pada pasien dengan lupus. Sebagai hasilnya, sisi saraf lupus sedang
dipelajari dengan harapan mengurangi angka morbiditas dan mortalitas. Para
manifestasi saraf lupus dikenal sebagai lupus erythematosus neuropsikiatri yang
sistematis (NPSLE). Salah satu aspek dari penyakit ini adalah kerusakan parah pada
sel-sel epitel dari penghalang darah-otak . Lupus memiliki berbagai gejala yang
rentang tubuh. Gejala-gejala neurologis termasuk sakit kepala, depresi, kejang,
disfungsi kognitif, gangguan mood, penyakit serebrovaskular, polineuropati,
gangguan kecemasan, psikosis, dan dalam beberapa kasus yang ekstrim, gangguan
kepribadian. Di daerah tertentu, depresi dilaporkan mempengaruhi hingga 60% dari
wanita yang menderita lupus.
9. Reproduksi
SLE menyebabkan tingkat peningkatan kematian janin dalam rahim dan aborsi
spontan (keguguran). Tingkat kelahiran hidup-keseluruhan pada pasien SLE telah
diperkirakan 72%. hasil Kehamilan tampaknya lebih buruk pada pasien SLE yang
penyakit flare up selama kehamilan. Neonatal lupus adalah terjadinya gejala-gejala
lupus di bayi lahir dari seorang ibu dengan SLE, paling sering menyajikan dengan
ruam yang menyerupai lupus eritematosus diskoid, dan kadang-kadang dengan
kelainan sistemik seperti blok jantung atau hepatosplenomegali. Lupus neonatal
biasanya jinak dan diri terbatas.
10. Sistemik
Kelelahan pada SLE mungkin multifaktorial dan telah terkait dengan aktivitas
penyakit tidak hanya atau komplikasi seperti anemia atau hipotiroidisme,
tetapi juga untuk rasa sakit, depresi, miskin tidur yang berkualitas, miskin
kebugaran fisik dan dirasakan kurangnya dukungan sosial
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Anti ds-DNA
Batas normal : 70 – 200 IU/mL
Negatif : < 70 IU/mL
Positif : > 200 IU/mL

Antibodi ini ditemukan pada 65% – 80% penderita dengan SLE aktif dan
jarang pada penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan
spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada
penderita dengan penyakit reumatik yang lain, hepatitis kronik, infeksi
mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan
pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit terutama
lupus glomerulonefritis. Jumlahnya mendekati negatif pada penyakit SLE yang
tenang (dorman).

Antibodi anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi antinukleus (ANA). Ada


dua tipe dari antibodi anti-DNA yaitu yang menyerang double-stranded DNA
(anti ds-DNA) dan yang menyerang single-stranded DNA (anti ss-DNA). Anti ss-
DNA kurang sensitif dan spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit autoimun
yang lain. Kompleks antibodi-antigen pada penyakit autoimun tidak hanya untuk
diagnosis saja tetapi merupakan konstributor yang besar dalam perjalanan
penyakit tersebut. Kompleks tersebut akan menginduksi sistem komplemen yang
dapat menyebabkan terjadinya inflamasi baik lokal maupun sistemik (Pagana and
Pagana, 2002).

2. Antinuclear antibodies (ANA)


Harga normal : nol
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain. ANA
adalah sekelompok antibodi protein yang bereaksi menyerang inti dari suatu sel.
ANA cukup sensitif untuk mendeteksi adanya SLE, hasil yang positif terjadi pada
95% penderita SLE. Tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA juga
berkaitan dengan penyakit reumatik yang lain. Jumlah ANA yang tinggi berkaitan
dengan kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit tersebut.Setelah pemberian
terapi maka penyakit tidak lagi aktif sehingga jumlah ANA diperkirakan
menurun. Jika hasil tes negatif maka pasien belum tentu negatif terhadap SLE
karena harus dipertimbangkan juga data klinik dan tes laboratorium yang lain,
tetapi jika hasil tes positif maka sebaiknya dilakukan tes serologi yang lain
untuk menunjang diagnosa bahwa pasien tersebut menderita SLE. ANA dapat
meliputi anti-Smith (anti-Sm), anti-RNP (anti-ribonukleoprotein), dan anti-SSA
(Ro) atau anti-SSB (La) (Pagana and Pagana, 2002).

3. Tes Laboratorium lain


Tes laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta
untuk monitoring terapi pada penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P,
antikardiolipin, lupus antikoagulan, Coombs test, anti-histon, marker reaksi
inflamasi (Erythrocyte Sedimentation Rate/ESR atau C-Reactive Protein/CRP),
kadar komplemen (C3 dan C4), Complete Blood Count (CBC), urinalisis, serum
kreatinin, tes fungsi hepar, kreatinin kinase (Pagana and Pagana, 2002).
H. PENATALAKSANAAN MEDIS
Tujuan dari pengobatan SLE adalah untuk mengurangi gejala penyakit,
mencegah terjadinya inflamasi dan kerusakan jaringan, memperbaiki kualitas hidup
pasien, memperpanjang ketahanan pasien, memonitor manifestasi penyakit,
menghindari penyebaran penyakit, serta memberikan edukasi kepada pasien tentang
manifestasi dan efek samping dari terapi obat yang diberikan. Karena banyaknya
variasi dalam manifestasi klinik setiap individu maka pengobatan yang dilakukan juga
sangat individual tergantung dari manifestasi klinik yang muncul. Pengobatan SLE
meliputi terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi (Herfindal et al., 2000).
1. Terapi nonfarmakologi
Gejala yang sering muncul pada penderita SLE adalah lemah sehingga
diperlukan keseimbangan antara istirahat dan kerja, dan hindari kerja yang
terlalu berlebihan. Penderita SLE sebaiknya menghindari merokok karena
hidrasin dalam tembakau diduga juga merupakan faktor lingkungan yang dapat
memicu terjadinya SLE. Tidak ada diet yang spesifik untuk penderita
SLE (Delafuente, 2002). Tetapi penggunaan minyak ikan pada pasien SLE yang
mengandung vitamin E 75 IU and 500 IU/kg diet dapat menurunkan produksi
sitokin proinflamasi seperti IL-4, IL-6, TNF-a, IL-10, dan menurunkan kadar
antibodi anti-DNA (Venkatraman et al., 1999). Penggunaan sunblock (SPF 15)
dan menggunakan pakaian tertutup untuk penderita SLE sangat disarankan
untuk mengurangi paparan sinar UV yang terdapat pada sinar matahari ketika
akan beraktivitas di luar rumah (Delafuente, 2002).
2. Terapi farmakologi
Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan
mengatasi inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat
keparahan dan lamanya pasien menderita SLE serta manifestasi yang timbul
pada setiap pasien.
3. NSAID
Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan termasuk
salisilat dan NSAID yang lain (Delafuente, 2002). NSAID memiliki efek
antipiretik, antiinflamasi, dan analgesik (Neal, 2002). NSAID dapat dibedakan
menjadi nonselektif COX inhibitor dan selektif COX-2 inhibitor. Nonselektif
COX inhibitor menghambat enzim COX-1 dan COX-2 serta memblok asam
arakidonat. COX-2 muncul ketika terdapat rangsangan dari mediator inflamasi
termasuk interleukin, interferon, serta tumor necrosing factor sedangkan COX-
1 merupakan enzim yang berperan pada fungsi homeostasis tubuh seperti
produksi prostaglandin untuk melindungi lambung serta keseimbangan
hemodinamik dari ginjal. COX-1 terdapat pada mukosa lambung, sel endotelial
vaskular, platelet, dan tubulus collecting renal (Katzung, 2002). Efek samping
penggunaan NSAID adalah perdarahan saluran cerna, ulser, nefrotoksik, kulit
kemerahan, dan alergi lainnya. Celecoxib merupakan inhibitor selektif COX-2
yang memiliki efektivitas seperti inhibitor COX non selektif, tapi kejadian
perforasi lambung dan perdarahan menurun hingga 50% (Neal, 2002).
Terapi pada SLE didasarkan pada kesesuaian obat, toleransi pasien terhadap
efek samping yang timbul, frekuensi pemberian, dan biaya. Pemberian terapi
pada pasien SLE dilakukan selama 1 sampai 2 minggu untuk mengevaluasi
efikasi NSAID. Jika NSAID yang digunakan tidak efektif dan menimbulkan
efek samping maka dipilih NSAID yang lain dengan periode 1 sampai 2
minggu. Penggunaan lebih dari satu NSAID tidak meningkatkan efikasi tetapi
malah meningkatkan efek samping toksisitasnya sehingga tidak
direkomendasikan. Apabila terapi NSAID gagal maka dapat digunakan
imunosupresan seperti kortikosteroid atau antimalaria tergantung dari
manifestasi yang muncul (Herfindal et al., 2000).

Efek antiinflamasi dan analgesik aspirin dapat digunakan untuk pengobatan


demam, artritis, pleuritis, dan perikarditis. Dosis yang digunakan adalah 1,5 g
sehari. Selain itu dosis rendah aspirin (60–80 mg sehari selama kehamilan
minggu ke-13–26) yang dikombinasikan dengan heparin dapat digunakan pada
pasien SLE yang mengalami kehamilan dengan sindrom antifosfolipid antibodi
melalui hambatan pembentukan tromboksan-A2 Pemberian aspirin dapat
dilakukan bersama dengan makanan, air dalam jumlah besar, atau susu untuk
mengurangi efek samping pada saluran cerna. Aspirin diabsorpsi di dalam
saluran cerna sebesar 80-100% dari dosis oral. Di dalam tubuh, aspirin
mengalami hidrolisis menjadi metabolitnya yaitu salisilat. Obat ini
didistribusikan secara cepat dan luas ke dalam jaringan dan cairan tubuh dan
mempunyai ikatan yang lemah dengan protein plasma. t1/2 aspirin 15 – 20 menit.
Apirin diekskresi di dalam urin dalam bentuk metabolit salisilat, hanya 1% dari
dosis oral yang diekskresikan sebagai aspirin tidak terhidrolisis melalui urin
(McEvoy,2002).

Efek samping nefrotoksik karena NSAID dapat menghambat prostaglandin


PGE2 dan prostasiklin PGI2 yang merupakan vasodilator kuat yang disintesa di
dalam medulla dan glomerolus ginjal berfungsi mengontrol aliran darah ginjal
serta ekskresi garam dan air. Adanya hambatan dalam sintesis prostaglandin di
ginjal menyebabkan retensi natrium, penurunan aliran darah ginjal dan
kegagalan ginjal. NSAID juga dapat menyebabkan interstitial nefritis dan
hiperkalemia (Neal, 2002). Oleh karena itu penggunaan NSAID sebaiknya
dihentikan pada pasien yang diduga lupus nefritis. Selain itu NSAID dapat
merusak mukosa gastrointestinal, kerusakan ini lebih disebabkan oleh hambatan
sintesa prostaglandin oleh NSAID daripada mekanisme lokal secara langsung.
Dengan menghambat prostaglandin, NSAID merusak barier perlindungan
mukus sehingga mukosa terpapar oleh asam lambung dan menyebabkan
ulserasi. (Neal, 2002). Karena efek samping tersebut di atas maka pemberian
NSAID sebaiknya dikombinasi dengan obat gastroprotektif (Rahman, 2001).

4. Antimalaria
Antimalaria efektif digunakan untuk manifestasi ringan atau sedang
(demam, atralgia, lemas atau serositis) yang tidak menyebabkan
kerusakan organ-organ penting. Beberapa mekanisme aksi dari obat antimalaria
adalah stabilisasi membran lisosom sehingga menghambat pelepasan enzim
lisosom, mengikat DNA, mengganggu serangan antibodi DNA, penurunan
produksi prostaglandin dan leukotrien, penurunan aktivitas sel T, serta pelepasan
IL-1 dan tumor necrosing factor α (TNF- α).

Pemberian antimalaria dilakukan pada 1 sampai 2 minggu awal terapi dan


kebanyakan pasien mengalami regresi eritema lesi kulit pada 2 minggu pertama.
Jika pasien memberikan respon yang baik maka dosis diturunkan menjadi 50%
selama beberapa bulan sampai manifestasi SLE teratasi. Sebelum
pengobatan dihentikan sebaiknya dilakukan tapering dosis dengan memberikan
obat malaria dosis rendah dua atau tiga kali per minggu. Sekitar 90% pasien
kambuh setelah 3 tahun penghentian obat. (Herfindal et al., 2000).

5. Obat lain
Obat-obat lain yang digunakan pada terapi penyakit SLE antara lain
adalah azatioprin, intravena gamma globulin, monoklonal antibodi, terapi
hormon, mikofenolat mofetil dan pemberian antiinfeksi.
a. Azatioprin
Penggunaan azatioprin pada pengobatan pasien SLE ditujukan apabila
pasien mengalami intoleran siklofosfamid. Dosis yang digunakan pada
pasien SLE 2 – 3 mg/kg BB per hari. Mekanisme kerja azatioprin meliputi
menurunkan limfosit sel B dan sel T dalam sirkulasi, sintesis IgM dan IgG,
sekresi IL-2, serta gangguan ribonukleotida adenin dan guanin melalui
supresi sintesis asam inosinat (Clements and Furst, 1994). Pada
penggunaannya dapat dikombinasikan dengan steroid (Rahman, 2001).
Apabila penyakitnya sudah terkontrol maka dilakukan tapering steroid
sampai dosis serendah mungkin setelah itu baru dilakukan tapering
azatioprin. Pasien dengan terapi azatioprin harus dimonitor toksisitas
limforetikuler atau hemopoitik setiap 2 minggu pada 3 bulan pertama terapi
sambil dilakukan penyesuaian dosis. Selain itu juga dilakukan monitoring
fungsi hati setiap 6 bulan (Herfindal et al., 2000). Azatioprin diserap baik di
saluran cerna dan dimetabolisme menjadi merkaptopurin.
Efek imunosupresan dari azatioprin muncul dalam beberapa hari
sampai beberapa minggu dan masih berlanjut ketika obat sudah dihentikan.
Tidak ada hubungan antara konsentrasi dalam serum dengan efetivitas atau
toksisitasnya. Merkaptopurin dan sejumlah kecil obat dalam bentuk utuh
diekskresikan melalui urin. t1/2 azatioprin 9,6 ± 4,2 menit, sedangkan
merkaptopurin 0,9 ± 0,37 jam (Katzung, B.G., 2006). Azatioprin
mempunyai efek samping pada saluran cerna dan supresi sumsum tulang.
Apabila supresi sumsum tulang sudah muncul maka pengobatan dihentikan
atau dosisnya dikurangi. Blood count harus dimonitor secara rutin. Pada
pemakaian kronik dapat meningkatkan resiko hematopoitik dan kanker
limforetikuler. Efek samping lain yaitu infeksi herpes zoster, kemandulan,
hepatotoksik (Herfindal et al., 2000).
b. Metotreksat
Merupakan analog asam folat yang dapat mengikat dehidrofolat
reduktase, memblok pembentukan DNA, dan menghambat sintesis purin.
Pada terapi SLE, digunakan dosis 7,5 – 15 mg secara oral satu kali
seminggu (Herfindal et al., 2000). Pada pemakaian oral absorpsi obat
bervariasi dan tergantung dosis tetapi rata-rata 30%. Obat ini didistribusikan
secara luas ke dalam jaringan melalui mekanisme transpor aktif dengan
konsentrasi terbesar berada dalam ginjal, limpa, hati, kulit, dan saluran
kemih. Lebih dari 90% dari dosis oral diekskresikan melalui ginjal
dengan mekanisme transpor aktif dan filtrasi glomerolus dalam waktu 24
jam. t1/2 metotreksat pada terapi dosis rendah (kurang dari 30 mg/m2) adalah
3-10 jam sedangkan pada terapi dosis tinggi 8-15 jam (McEvoy, 2002). Efek
samping metotreksat meliputi defisiensi asam folat, gangguan
gastrointestinal dengan stomatitis atau dispepsia, teratogenik (Brooks,
1995).
c. Intravena gamma globulin
Intravena gamma globulin digunakan purpura trombositopenia
idiopatik, sindroma Gillae-Barre, miastenia gravis, sindroma Kawasaki, dan
penyakit autoimun lain. Mekanisme kerja gamma globulin sangat kompleks
meliputi perubahan ekspresi dan fungsi reseptor Fc, menganggu aktivasi
komplemen dan sitokin, menyediakan antibodi antiidiopatik, dan
mempengaruhi aktivasi, diferensiasi, dan fungsi efektor dari sel T dan sel B.
Komponen-komponen dalam intravena gamma globulin yaitu molekul IgG
yang utuh, IgA, CD4, CD8, molekul HLA, dan sitokin (Kazatchkine and
Kaveri, 2001). Dosis yang digunakan 1-2 g/kg BB (Katzung, 2006).
Intravena gamma globulin mempunyai t1/2 21-29 hari (McEvoy, 2002). Efek
samping intravena imunoglobulin adalah mual, muntah, mialgia, letih, sakit
kepala, urtikaria, hipertensi, dll. (McEvoy, 2002).

6. Terapi hormon
Dehidroepiandrosteron (DHEA) merupakan hormon pada pria yang
diproduksi pada saat masih fetus dan berhenti setelah dilahirkan. Hormon ini
kembali aktif diproduksi pada usia 7 tahun, mencapai puncak pada usia 30
tahun, dan menurun seiring bertambahnya usia. Pasien SLE mempunyai kadar
DHEA yang rendah. Pemberian hormon ini memberikan respon pada penyakit
yang ringan saja dan mempunyai efek samping jerawat dan pertumbuhan
rambut (Isenberg and Horsfall, 1998). Secara in vitro, DHEA mempunyai
mekanisme menekan pelepasan IL-1, IL-6, dan TNF-α serta meningkatkan
sekresi IL-2 yang dapat digunakan untuk mengaktivasi sel T pada murine.
Meskipun demikian mekanisme secara in vivo belum diketahui (FDA Arthritis
Advisory Comittee, 2001).
a. Antiinfeksi/Antijamur/Antivirus
Pemberian imunosupresan dapat menurunkan sistem imun sehingga
dapat menyebabkan tubuh mudah terserang infeksi. Infeksi yang umum
menyerang adalah virus herpes zoster, Salmonella, dan Candida (Isenberg
and Horsfall, 1998). Untuk herpes zoster dapat diatasi dengan pemberian
antivirus asiklovir atau vidarabin secara oral 800 mg lima kali sehari selama
5 – 7 hari. Salmonella dapat diterapi dengan antibiotik golongan kuinolon,
ampisilin, kotrimoksazol, dan kloramfenikol (Katzung, 2002). Sedangkan
golongan penisilin dan sefalosporin tidak digunakan karena menyebabkan
rash yang sensitif sehingga dapat memperparah rash SLE (Isenberg and
Horsfall, 1998). Adanya infeksi dari Candida dapat diatasi dengan
pemberian amfoterisin B, flukonazol, dan itrakonazol (Katzung, 2002).
b. Mikofenolat mofetil
Efektif pada lupus nefritis terutama pada pasien yang tidak
menunjukkan respon dan intoleran terhadap siklofosfamid. Mikofenolat
mofetil mempunyai mekanisme kerja antara lain menekan secara selektif
proliferasi limfosit T dan B, pembentukan antibodi, menghambat sintesis
purin dan deplesi monosit dan limfosit (Chan et al., 2000). Selain itu
mikofenolat mofetil merupakan selektif, reversibel, dan inhibitor
nonkompetitif dari enzim inosine monophosphate dehydrogenase (IMPDH)
yaitu enzim yang berperan dalam sintesis de novo nukleotida guanosin dari
limfosit sel B dan T (Sanquer, et al., 1999). Toksisitas dari mikofenolat
mofetil meliputi gangguan saluran cerna (mual dan muntah, diare, dan nyeri
abdomen) dan supresi myeloid (terutama neutropenia) (Katzung, 2002)
tetapi efek samping yang dimiliki tetap lebih rendah daripada siklofosfamid
serta tidak mempunyai efek mutagenik (Chan et al., 2000). Dosis yang
diberikan dua kali sehari sebesar 1 g dan setelah 12 bulan pemakaian
dihentikan, diganti dengan azatioprin (Rahman, 2001).

I. PENATALAKSANAAN MEDIS SLE (Sistemisc Lupus Erythematosus)


1. Preparat NSAID untuk mengatasi manifestasi klinis minor dan dipakai bersama
kortikosteroid, secara topikal untuk kutaneus.

2. Obat antimalaria untuk gejala kutaneus, muskuloskeletal dan sistemik ringan


SLE.

3. Preparat imunosupresan (pengkelat dan analog purion) untuk fungsi imun.

J. PENGKAJIAN KEPERAWATAN

a. Identitas klien

Meliputi nama, umur, alamat, agama, tempat tanggal lahir dan nomor rekam
medis.
b. Riwayat kesehatan
1. Riwayat penyakit sekarang
Biasanya klien akan mengeluh susah bernafas dan dadanya terasa sesak,
mual dan disertai muntah, bagian sendi tampak bengkak ,terdapat purpura
pada bagian ujung kaki dan tangannya dan ruam berbentuk kupu-kupu pada
bagian pipi dan hidungnya.
2. Riwayat penyakit terdahulu
Biasanya klien mengeluh selalu merasa mudah lelah saat beraktifitas.
3. Riwayat keluarga
Penyakit yang sama atau penyakit lain yang pernah dialami anggota keluarga.

c. Pemeriksaan fisik
1. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernapasan, dan suhu.
2. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada
gejala sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah,
lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap
gaya hidup serta citra diri pasien:
a. Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
b. Kardiovaskuler
Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.
c. Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan
gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan
permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tanga.
d. Sistem Muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku
pada pagi hari.
e. Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang
melintang pangkal hidung serta pipi.
f. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
g. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
h. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler,
eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan
ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
i. Sistem Renal
Edema dan hematuria.
j. Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea
ataupun manifestasi SSP lainnya.
K. PENGKAJIAN FUNGSIONAL GORDON

1. Persepsi dan penanganan kesehatan


Karena demam yang sudah ia rasakan sejak 1 minggu yang lalu Ny.S dan
suaminya merasa khawatir ditambah lagi terdapat purpura pada ujung kaki dan
tangan Ny.S serta pembengkakkan pada sendinya, Ny.S dan suaminyapun
memutuskan untuk segera ke Rumah Sakit.
2. Nutrisi dan metabolic
Nafsu makan Ny.S sebelumnya baik, Ny.S makan 3x sehari. Namun sejak dua
minggu yang lalu Ny.S selalu merasa mual dan muntah sebanyak 3x dalam sehari
sehingga Ny.S tidak nafsu makan dan hanya makan 1 x dalam sehari. Ny.S hanya
minum sebanyak 1500 ml dalam sehari.
3. Eliminasi
Frekuensi BAB dan BAK Ny.S menurun sejak 1 minggu yang lalu. Ny.S hanya
BAB sebanyak 2 kali dalam sehari dan BAK sebanyak 3 kali dalam semalam.
4. Aktivitas dan latihan
Ny.S selalu merasa mudah lelah saat beraktifitas sejak 2 minggu yang lalu dan
merasa kesulitan dalam bernafas, dadanya terasa sesak saat beraktifitas. Sehingga
aktifitas Ny.S terkadang dibantu suami dan anak-anaknya.
5. Tidur dan istirahat
Sebelumnya Ny.S tidak mempunyai masalah saat tidur, namun sejak 1 minggu
yang lalu Ny.S merasa kesulitan untuk tidur , Ny.S merasa sesak nafas dan gelisah
sehingga hanya tidur 5 jam di malam hari.
6. Pola kognitif-persepsi
Ny.S merasakan nyeri pada sendinya, merasa cepat lelah,lesu dan lemah. Ny.S
juga mengalami penurunan dalam penglihatannya, ia merasa pandanganya kabur.
Ny.S juga kesulitan untuk mengingat sesuatu .
7. Pola persepsi-konsep diri
Ny.S merasa khawatir dengan kondisi kesehatannya yang semakin memburuk,
dengan kondisi fisiknya saat ini Ny.S merasa kurang percaya diri dan mulai
mengurangi interaksi dengan teman-temannya.
8. Pola peran dan hubungan
Ny. S memiliki seorang suami dan tiga orang anak. Ny.S dan anggota keluarganya
memiliki hubungan yang cukup harmonis. Peran Ny.S sebagai Ibu rumah tangga
sedikit terganggu sejak kesehatannya menurun, sehingga suaminya yang selalu
membantu tugas-tugas rumah tangga. Sejak seminggu yang lalu Ny.S pun tidak
masuk kerja.
9. Pola seksual-reproduksi
Tidak terkaji
10. Koping-toleransi stress
Ny.S merupakan tipe orang yang cepat stress, Ny.S kesulitan dalam mengontrol
emosinya. Dan sejak seminggu yang lalu Ny.S mudah tersinggung. Namun suami
Ny.S selalu berusaha untuk menenangkan fikiran Ny.S.
11. Nilai dan kepercayaan
Ny.S beragama Islam dan taat dalam beribadah. Sejak kesehatannya menurun
Ny.S kesulitan untuk beribadah jarena merasa nyeri pada sendi-sendinya. Nilai
dan kepercayaan Ny.S tidak mempengaruhi kondisi kesehatan Ny.S
L. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri
2. Gangguan mobilitas fisik
3. Ketidakefektifan pola nafas

M. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa keperawatan NOC NIC

1 Nyeri akut b.d inflamasi kontrol nyeri Manajemen nyeri


indicator :
Definisi : sensori yang  lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
tidak menyenangkan dan  Mengenali faktor penyebab termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
pengalaman emosional  Mengenali onset (lamanya kualitas dan faktor presipitasi
yang muncul secara sakit)  observasi reaksi non verbal dari ketidaknyamanan
aktual atau potensial,  Menggunakan metode  gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk
kerusakan jaringan atau pencegahan mengetahui pengalaman nyeri pasien
menggambarkan adanya  Menggunakan metode  kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
kerusakan. nonanalgetik untuk  evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
mengurangi nyeri  evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain
 Menggunakan analgetik tentang ketidakefektifan kontrol nyeri masa lampau
sesuai kebutuhan  bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan
 Mencari bantuan tenaga menemukan dukungan
kesehatan  kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri
 Melaporkan gejala pada seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan
tenaga kesehatan  kurangi faktor presipitasi
 Menggunakan sumber-  pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi,
sumber yang tersedia non farmakologi dan inter personal)
 Mengenali gejala-gejala  kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan
nyeri intervensi
 Mencatat pengalaman nyeri  ajarkan tentang teknik non farmakologi
sebelumnya  berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
 Melaporkan nyeri sudah  evaluasi keefektifan kontrol nyeri
terkontrol  tingkatkan istirahat

Tingkat nyeri

Indicator :
 melaporkan adanya nyeri
 luas bagian tubuh yang terpengaruh
 frekuensi nyeri
 panjangnya episode nyeri
 pernyataan nyeri
 ekspresi nyeri pada wajah
 posisi tubuh protektif
 kurangnya istirahat
 ketegangan otot
 perubahan pada frekuensi
pernafasan
 perubahan nadi
 perubahan tekanan darah
 perubahan ukuran pupil
 keringat berlebih
 kehilangan selera makan

2 Gangguan mobilitas fisik  Ketahanan Terapi Aktifitas


 Mobilitas
Definisi : keterbatasan  Fungsi rangka - Tentukan komitmen pasien untuk peningkatan freku
dalam melakukan tindakan Kriteria Hasil : –-kegiatan
secara mandiri Membantu untuk mengeksplorasi makna pribadi aktiv
- Ketahanan untuk biasa (misalnya, bekerja) dan atau kegiatan rekr
mempertahankan aktivitas favorit
- kinerja rutin biasa - Membantu untuk memilih kegiatan sesuai dengan f
- aktivitas kemampuan psikologis, dan social
- konsentrasi - Membantu untuk fokus pada apa yang pasien d
- daya tahan otot lakukan, bukan pada defisit
- pola makan - Membantu untuk mengidentifikasi dan memper
- libido sumber daya yang diperlukan untuk kegiatan y
- energi di kembalikan diinginkan
setelah istirahat. - Membantu pasien untuk mengidentifikasi prefer
- Keseimbangan untuk kegiatan
- Koordinasi - Membantu pasien untuk mengidentifikasi kegiatan y
berarti
- Kiprah
- Membantu pasien untuk jadwal waktu tertentu u
- gerakan tulang
tingkat aktivitas pengalihan
- kinerja posisi tubuh
- Membantu pasien dan keluarga untuk mengidentifi
- berjalan
tingkat defisit kegiatan
- melompat
- Anjurkan pasien dan keluarga bagaimana melaku
- crawling
aktivitas yang diinginkan atau ditetapkan
- Bergerak dengan mudah - Membantu pasien / keluarga untuk beradap
- integritas tulang lingkungan untuk mengakomodasi aktivitas y
- kepadatan tulang diinginkan
- penyelarasan rangka - Menyediakan kegiatan untuk meningkatkan ren
perhatian dalam konsultasi dengan PL
- Membantu dengan kegiatan fisik secara teratur (e
perawatan pribadi), sesuai kebutuhan.
- Menyediakan aktivitas motorik untuk mereda
ketegangan otot.
- Membantu pasien untuk mengembangkan motivasi
dan penguatan.
- Memantau respon emosional, fisik, sosial, dan spir
dengan aktivitas.
- Membantu pasien / keluarga untuk memantau kema
menuju pencapaian tujuan sendiri.
Penahan Fisisk
- Membatasi aktivitas fisik untuk mengurangi
gangguan.
- Menyediakan staf yang cukup untuk membantu k
dengan perangkat aplikasi yang aman.
- Menunjuk salah satu anggota staf perawat untuk s
langsung dan berkomunikasi dengan pasien selam
penerapan pengekangan fisik.
- Gunakan hal yang sesuai ketika pasien dalam situ
darurat
- Monitor respon pasien untuk prosedur.
Hindari mengikat hambatan di luar jangkauan pas
- Memberikan tingkat yang tepat dari pengawasan
memantau pasien dan untuk memungkinkan tinda
terapi, sesuai kebutuhan.
- Menyediakan untuk kenyamanan pasien
phychological, sesuai kebutuhan.
- Memberi obat PRN untuk kegelisahan atau agitas
- Memantau kondisi kulit pada saat menahan diri.
- Monitor suhu, dan sensasi di ekstremitas terkend
- Menyediakan alat untuk gerakan dan latihan, sesu
dengan tingkat kondisi, dan kemampuan pasien.
- Memfasilitasi pasien untuk kenyamanan posisi da
mencegah aspirasi dan kerusakan kulit.
- Memberikan informasi pada pasien cara memang
bantuan ketika pengasuh tidak hadir.
- Membantu kebutuhan yang berkaitan dengan gizi
eliminasi, hidrasi, dan kebersihan pribadi.
- Libatkan pasien dalam kegiatan untuk meningkat
kekuatan, koordinasi, penilaian, dan orientasi.
- Dokumen alasan untuk menggunakan intervensi
terbatas, respon pasien terhadap intervensi, kondi
fisik pasien, asuhan keperawatan yang diberikan
seluruh intervensi, dan dasar pemikiran untuk
mengakhiri intervensi.
3 Pola Nafas tidak efektif Re Respiratory status : Ventilation Airway Management

Definisi : Pertukaran  Respiratory status : Airway - Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau
udara inspirasi dan/atau patency thrust bila perlu
ekspirasi tidak adekuat - Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
Vital sign Status - Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan n
buatan
Kriteria Hasil : - Pasang mayo bila perlu
- Lakukan fisioterapi dada jika perlu
 Mendemonstrasikan batuk - Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
efektif dan suara nafas - Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
yang bersih, tidak ada - Lakukan suction pada mayo
sianosis dan dyspneu - Berikan bronkodilator bila perlu
(mampu mengeluarkan - Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab
sputum, mampu bernafas - Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbang
dengan mudah, tidak ada - Monitor respirasi dan status O2
pursed lips) Terapi oksigen
 Menunjukkan jalan nafas
yang paten (klien tidak - Bersihkan mulut, hidung dan secret trakea
merasa tercekik, irama
- Pertahankan jalan nafas yang paten
nafas, frekuensi pernafasan
- Atur peralatan oksigenasi
dalam rentang normal,
tidak ada suara nafas - Monitor aliran oksigen
abnormal) - Pertahankan posisi pasien
 Tanda Tanda vital dalam - Onservasi adanya tanda tanda hipoventilasi
rentang normal (tekanan - Monitor adanya kecemasan pasien terhadap oksigenas
darah, nadi, pernafasan) Vital sign Monitoring

- Monitor TD, nadi, suhu, dan RR


- Catat adanya fluktuasi tekanan darah

- Monitor VS saat pasien berbaring, duduk,


berdiri

- Auskultasi TD pada kedua lengan dan bandingka

- Monitor TD, nadi, RR, sebelum, selama, dan set


aktivitas

- Monitor kualitas dari nadi

- Monitor frekuensi dan irama pernapasan

- Monitor suara paru

- Monitor pola pernapasan abnormal

- Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit

- Monitor sianosis perifer

- Monitor adanya cushing triad (tekanan nadi y


melebar, bradikardi, peningkatan sistolik)

- Identifikasi penyebab dari perubahan vital sign

DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, Gloria M., Howard K. Butcher, Joanne McCloskey Dochterman. 2008. Nursing
Interventions Classification (NIC) : Fifth Edition. Missouri : Mosby Elsevier.
Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC.
Moorhead, Sue., Marion Johnson, Meridean L. Maas, Elizabeth Swanson. 2008. Nursing
Outcomes Classification (NOC) : Fourth Edition. Missouri : Mosby Elsevier.
Reeves, Charlere J. 2001.Keperawatan Medikal Bedah.Jakarta:Salemba Medika
Wiley, John dan Sons Ltd. 2009. NANDA International : 2009-2011. United Kingdom :
Markono Print Media.

Anda mungkin juga menyukai