Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

STEMI ( ST Elivasi Miokard Infark )

OLEH

Senci Napeli Wulandari, S.Kep


1705149010048

Preseptor Akademik Preseptor Klinik

( Yossi Fitrina, NERS., M. Kep) ( Ns. Eli Usman, S. Kep )

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


STIKes YARSI SUMBAR
BUKITTINGGI
2017 / 2018
A. Anatomi Jantung

Jantung adalah organ otot yang berongga dan berukuran sebesar kepalan tangan.
Fungsi utama jantung adalah memompa darah ke pembuluh darah dengan kontraksi
ritmik dan berulang. Jantung normal terdiri dari empat ruang, 2 ruang jantung atas
dinamakan atrium dan 2 ruang jantung di bawahnya dinamakan ventrikel, yang berfungsi
sebagai pompa. Dinding yang memisahkan kedua atrium dan ventrikel menjadi bagian
kanan dan kiri dinamakan septum.

Gambar 1. Jantung normal dan sirkulasinya.


Batas-batas jantung:
 Kanan : vena cava superior (VCS), atrium kanan, vena cava inferior (VCI)
 Kiri : ujung ventrikel kiri
 Anterior : atrium kanan, ventrikel kanan, sebagian kecil ventrikel kiri
 Posterior : atrium kiri, 4 vena pulmonalis
 Inferior : ventrikel kanan yang terletak hampir horizontal sepanjang diafragma
sampai apeks jantung
 Superior : apendiks atrium kiri
Darah dipompakan melalui semua ruang jantung dengan bantuan keempat katup
yang mencegah agar darah tidak kembali ke belakang dan menjaga agar darah tersebut
mengalir ke tempat yang dituju. Keempat katup ini adalah katup trikuspid yang terletak di
antara atrium kanan dan ventrikel kanan, katup pulmonal, terletak di antara ventrikel
kanan dan arteri pulmonal, katup mitral yang terletak di antara atrium kiri dan ventrikel
kiri dan katup aorta, terletak di antara ventrikel kiri dan aorta. Katup mitral memiliki 2
daun (leaflet), yaitu leaflet anterior dan posterior. Katup lainnya memiliki tiga daun
(leaflet) . Jantung dipersarafi aferen dan eferen yang keduanya sistem saraf simpatis dan
parasimpatis. Saraf parasimpatis berasal dari saraf vagus melalui preksus jantung. Serabut
post ganglion pendek melewati nodus SA dan AV, serta hanya sedikit menyebar pada
ventrikel. Saraf simpatis berasal dari trunkus toraksik dan servikal atas, mensuplai kedua
atrium dan ventrikel. Walaupun jantung tidak mempunyai persarafan somatik, stimulasi
aferen vagal dapat mencapai tingkat kesadaran dan dipersepsi sebagai nyeri.
Suplai darah jantung berasal dari arteri koronaria. Arteri koroner kanan berasal
dari sinus aorta anterior, melewati diantara trunkus pulmonalis dan apendiks atrium
kanan, turun ke lekukan A-V kanan sampai mencapai lekukan interventrikuler posterior.
Pada 85% pasien arteri berlanjut sebagai arteri posterior desenden/ posterior decendens
artery (PDA) disebut dominan kanan. Arteri koroner kiri berasal dari sinus aorta posterior
kiri dan terbagi menjadi arteri anterior desenden kiri/ left anterior descenden (LAD)
interventrikuler dan sirkumfleks. LAD turun di anterior dan inferior ke apeks jantung.
Mayoritas darah vena terdrainase melalui sinus koronarius ke atrium kanan. Sinus
koronarius bermuara ke sinus venosus sistemik pada atrium kanan, secara morfologi
berhubungan dengna atrium kiri, berjalan dalam celah atrioventrikuler.
B. Fisiologi Jantung
Jantung dapat dianggap sebagai 2 bagian pompa yang terpisah terkait fungsinya
sebagai pompa darah. Masing-masing terdiri dari satu atrium-ventrikel kiri dan kanan.
Berdasarkan sirkulasi dari kedua bagian pompa jantung tersebut, pompa kanan berfungsi
untuk sirkulasi paru sedangkan bagian pompa jantung yang kiri berperan dalam sirkulasi
sistemik untuk seluruh tubuh. Kedua jenis sirkulasi yang dilakukan oleh jantung ini
adalah suatu proses yang berkesinambungan dan berkaitan sangat erat untuk asupan
oksigen manusia demi kelangsungan hidupnya.
Ada 5 pembuluh darah mayor yang mengalirkan darah dari dan ke jantung. Vena
cava inferior dan vena cava superior mengumpulkan darah dari sirkulasi vena (disebut
darah biru) dan mengalirkan darah biru tersebut ke jantung sebelah kanan. Darah masuk
ke atrium kanan, dan melalui katup trikuspid menuju ventrikel kanan, kemudian ke paru-
paru melalui katup pulmonal. Darah yang biru tersebut melepaskan karbondioksida,
mengalami oksigenasi di paru-paru, selanjutnya darah ini menjadi berwarna merah.
Darah merah ini kemudian menuju atrium kiri melalui keempat vena pulmonalis. Dari
atrium kiri, darah mengalir ke ventrikel kiri melalui katup mitral dan selanjutnya
dipompakan ke aorta.
Tekanan arteri yang dihasilkan dari kontraksi ventrikel kiri, dinamakan tekanan
darah sistolik. Setelah ventrikel kiri berkontraksi maksimal, ventrikel ini mulai
mengalami relaksasi dan darah dari atrium kiri akan mengalir ke ventrikel ini. Tekanan
dalam arteri akan segera turun saat ventrikel terisi darah. Tekanan ini selanjutnya
dinamakan tekanan darah diastolik. Kedua atrium berkontraksi secara bersamaan, begitu
pula dengan kedua ventrikel.
C. Anatomi Pendarahan Arteri Koroner
1. Arteri Koroner Kiri Utama/Left Main(LM)
Arteri koroner kiri utama yang lebih popular dengan sebutan Left Main (LM),
keluar dari sinus aorta kiri; kemudian segera bercabang-cabang dua menjadi arteri
Left Anterior Descending (LAD) dan Left Circumflex (LCX).Arteri LM berjalan
diantara alur keluar ventrikel kanan (right ventricle outflow tract) yang terletak
didepannya, dan atrium kiri dibelakangnya; baru kemudian bercabang menjadi arteri
LAD dan arteri LCX (Kaligis, 2012).
2. Arteri Left Anterior Descending (LAD)
Arteri LAD berjalan di parit interventrikular depan sampai ke apeks jantung,
men-suplai: bagian depan septum melalui cabang-cabang septal dan bagian depan
ventricular kiri melalui cabang-cabang diagonal, sebahagian besar ventrikel kiri dan
juga berkas Atrio-ventrikular. Cabang-cabang diagonal keluar dari arteri LAD dan
berjalan menyamping mensuplai dinding antero lateral ventrikel kiri; cabang diagonal
bisa lebih dari satu (Kaligis, 2012).
3. Arteri Left Circumflex (LCX)
Arteri LCX berjalan di dalam parit atrioventrikular kiri diantara atrium kiri
dan ventrikel kiri dan memperdarahi dinding samping ventrikel kiri melalui cabang-
cabang obtuse marginal yang bisa lebih dari satu (M₁ , M₂ dst). Pada umumnya arteri
LCX berakhir sebagai cabang obtuse marginal, namun pada 10% kasus yang
mempunyai sirkulasi dominan kiri maka arteri LCX juga men-suplai cabang
“posterior descending arteri” (PDA) (Kaligis, 2012).

4. Arteri Koroner Kanan/Right Coronary Artery (RCA)


Arteri koroner kanan keluar dari sinus aorta kanan dan berjalan didalam parit
atrioventrikular kanan diantara atrium kanan dan ventrikel kanan menuju ke bagian
bawah dari septum. Pada 50-60% kasus, cabang pertama dari RCA adalah cabang
conus yang kecil yang mensuplai alur keluar ventrikel kanan. Pada 20-30% kasus,
cabang conus muncul langsung dari aorta. Cabang sinus node pada 60% kasus keluar
sebagai cabang kedua dari RCA dan berjalan ke belakang mensuplai SA-node. (Pada
40% kasus cabang ini keluar dari arteri LCX). Cabang-cabang berikutnya adalah
cabang-cabang yang berjalan diagonal dan mengarah ke depan dan men-suplai
dinding depan ventrikel kanan. Selanjutnya adalah cabang acute marginal (AM) dan
berjalan ditepi ventrikel kanan diatas diafragma. RCA berlanjut kebelakang berjalan
didalam parit atrioventrikular dan bercabang arteri AV node.Pada 65% kasus, cabang
Posterior Descending Artery (PDA) keluar dari RCA (sirkulasidominan kanan).
Cabang PDA men-suplai dinding bawah ventricular kiri dan bagian bawah septum
(Kaligis, 2012).
5. Vena koroner
Sebagian besar darah vena disalurkan melalui pembuluh vena yang berjalan
berdampingan dengan arteri koroner. Vena kardiak bermuara di sinus koronarius yaitu
suatu vena besar yang berakhir di atrium kanan. Sebagian kecil darah dari sirkulasi
koroner datang langsung dari otot jantung melalui vena-vena kecil dan disalurkan
langsung ke dalam ke empat ruang jantung (Kaligis, 2012).
6. Vena Kardiak Besar (Great Cardiac Vein/Vena Cordis Magna)
Bermula di apeks jantung dan naik sepanjang parit interventrikular depan,
berdampingan dengan arteri LAD, kemudian belok ke kiri ke dalam parit
atrioventrikular, berjalan disamping arteri LCX. Great Cardiac Vein juga menampung
darah dari atrium kiri (Kaligis, 2012).
7. Sinus koronarius
Berjalan ke kanan di dalam parit atrioventrikular. Berakhir di dinding
belakang atrium kanan, diantara pangkal vena cava inferior dan celahatrioventrikular
dan menerima darah vena kardiak sedang dan kecil (Kaligis, 2012).
8. Vena Kardiak Sedang dan Kecil (Middle Cardiac Vein dan Small Cardiac Vein/Vena
Cordis Parva)
Vena kardiak sedang berjalan didalam parit interventrikular belakang dan
vena kardiak kecil berjalan di parit atrioventrikular berdampingan dengan RCA
(Kaligis, 2012).
9. Vena Posterior Ventrikel Kiri
Vena ini berakhir di sisi samping ventrikel kiri dan masuk ke dalam sinus
koronarius (Kaligis, 2012).
Pendarahan otot jantung berasal dari aorta melalui dua pembuluh koroner utama,
yaitu arteri koroner kanan dan arteri koroner kiri. Kedua arteri ini keluar dari aorta. Arteri
koroner kiri berjalan dibelakang arteri pulmonal sebagai arteri koroner kiri utama. Arteri
ini kemudian bercabang menjadi arteri desendens anterior kiri dan arteri sirkumfleks kiri.
Arteri desendens anterior kiri berjalan pada sulkus interventrikuler hingga ke apeks
jantung. Arteri sirkumfleks kiri berjalan pada sulkus arterio-ventrikuler dan mengelilingi
permukaan posterior jantung. Arteri koroner kanan berjalan di dalam sulkus atrio-
ventrikuler ke kanan bawah. Cabang pertama adalah arteri atrium anterior kanan untuk
mendarahi nodus sino-atrial, dan cabang lain adalah arteri koroner desenden posterior
yang akan mendarahi nodus atrio-ventrikuler (Oemar, 1996). Anatomi pembuluh darah
jantung dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Anatomi arteri koroner jantung.


Sumber : Atlas of human anatomy, Frank H. Netter 2011.

D. Defenisi
Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) terjadi jika aliran darah koroner
menurun secara mendadak akibat oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada
sebelumnya. Trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskuler,
dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi
lipid (Sudoyo, 2010).
Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (ST Elevation Myocardial Infarct)
merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri atas angina
pektoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST, dan IMA dengan elevasi ST. IMA dengan
elevasi ST (STEMI) umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara
mendadak akibat oklusi trombus pada plak arterosklerotik yang sudah ada sebelumnya.
Aterosklerosis adalah penyakit pada bagian muskuler arteri yang ditandai oleh disfungsi
endotel, inflamasi vascular dan adanya penirnbunan lipid, kolesterol serta debris seluler
dalam tunika intima dinding pembuluh darah.
Penimbunan ini menyebabkan pembentukan plak, remodelling vaskuler, obstruksi
lumen akut dan kronik abnormalilas aliran darah dan berkurangnya suplai oksigen ke
organ target. Jadi, STEMI merupakan Oklusi parsial dari arteri koroner akibat trombus
dari plak atherosclerosis yang tidak disertai dengan adanya elevasi segmen ST pada EKG.
E. Etiologi
Berdasarkan penelitian berskala luas dalam Interheart Study menunjukkan kadar
lipid yang abnormal, riwayat merokok, hipertensi, DM, obesitas abdominal, faktor
psikososial, pola diet, konsumsi alkohol serta aktivitas fisik secara signifikan
berhubungan dengan infark miokard akut pada STEMI. Secara garis besar, faktor risiko
tersebut terbagi menjadi dua kelompok berdasarkan dapat atau tidaknya dimodifikasi:
1. Tidak Dapat Dimodifikasi
a. Usia
Resiko aterosklerosis koroner meningkat seiring bertambahnya usia.
Penyakit yang serius jarang terjadi sebelum usia 40 tahun. Faktor resiko lain
masih dapat diubah, sehingga berpotensi dapat memperlambat proses
aterogenik.19 Seluruh jenis penyakit jantung koroner termasuk STEMI yang
terjadi pada usia lanjut mempunyai risiko tinggi kematian dan adverse events.
b. Jenis Kelamin
Laki-laki memiliki risiko lebih besar terkena serangan jantung dan
kejadiannyalebih awal dari pada wanita. Morbiditas penyakit ini pada laki-laki
lebih besar daripada wanita dan kondisi ini terjadi dan kondisi ini terjadi hampir
10 tahun lebih dini pada wanita. Studi lain menyebutkan wanita mengalami
kejadian infark miokard pertama kali 9 tahun lebih lama daripada laki-laki.
Perbedaan onset infark miokard pertama ini diperkirakan dari berbagai faktor
resiko tinggi yang mulai muncul pada wanita dan laki-laki ketika berusia muda.
Wanita agaknya relatif kebal terhadap penyakit ini sampai menopause, dan
kemudian menjadi sama rentannya seperti pria. Hal diduga karena adanya efek
perlindungan esterogen.
c. Ras
Ras kulit putih lebih sering terjadi serangan jantung dari pada ras African
American. Kelompok masyarakat kulit putih maupun kulit berwarna, laki-laki
mendominasi kematian, tetapi lebih nyata pada kulit putih dan lebih sering
ditemukan pada usia muda dari pada usia lebih tua. Insidensi kematian dini
akibat penyakit jantung koroner pada orang Asia yang tinggal di Inggris lebih
tinggi dibandingkan dengan populasi lokal dan juga angka yang rendah pada ras
Afro-Karibia.
d. Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga pada kasus penyakit jantung koroner yaitu keluarga
langsung yang berhubungan darah pada pasien berusia kurang dari 70 tahun
merupakan faktor risiko independen. Agregasi PJK keluarga menandakan adanya
predisposisi genetik pada keadaan ini. Terdapat beberapa bukti bahwa riwayat
keluarga yang positif dapat mempengaruhi usia onset PJK pada keluarga dekat.
Faktor familial dan genetika mempunyai peranan bermakna dalam patogenesis
PJK, hal tersebut dipakai juga sebagai pertimbangan penting dalam diagnosis,
penatalaksanaan dan juga pencegahan PJK.

2. Dapat dimodifikasi
a. Hipertensi
Risiko serangan jantung secara langsung berhubungan dengan tekanan
darah, setiap penurunan tekanan darah diastolik sebesar 5 mmHg risikonya
berkurang sekitar 16 %. Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik
sedikitnya 140 mmHg dan atau tekanan diastolik sedikitnya 90 mmHg.
Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi vaskuler terhadap
pemompaan darah dari ventrikel kiri. Akibatnya kerja jantung bertambah,
sehingga ventrikel kiri hipertrofi untuk meningkatkan kekuatan pompa. Bila
proses aterosklerosis terjadi, maka penyediaan oksigen untuk miokard
berkurang. Tingginya kebutuhan oksigen karena hipertrofi jaringan tidak sesuai
dengan rendahnya kadar oksigen yang tersedia. Secara sederhana dikatakan
peningkatan tekanan darah mempercepat aterosklerosis dan arteriosclerosis,
sehingga rupture dan oklusi vaskuler terjadi 20 tahun lebih cepat daripada orang
normotensi.
b. Diabetes Mellitus
Diabetes Melitus akan menyebabkan proses penebalan membran basalis
dari kapiler dan pembuluh darah arteri koronaria, sehingga terjadi penyempitan
aliran darah ke jantung. Insiden serangan jantung meningkat 2 hingga 4 kali
lebih besar pada pasien yang dengan diabetes melitus. Orang dengan diabetes
cenderung lebih cepat mengalami degenerasi dan disfungsi endotel. Diabetes
mellitus berhubungan dengan perubahan fisik - pathologi pada system
kardiovaskuler. Diantaranya dapat berupa disfungsi endothelial dan gangguan
pembuluh darah yang pada akhirnya meningkatkan risiko terjadinya coronary
artery diseases (CAD).
3. Dislipidemia
Abnormalitas kadar lipid serum yang merupakan faktor resiko adalah
hiperlipidemia. Hiperlipidemia merupakan peningkatan kadar kolesterol atau
trigliserida serum di atas batas normal. The National Cholesterol Education
Program (NCEP) menemukan kolesterol LDL sebagai faktor penyebab penyakit
jantung koroner. The Coronary Primary Prevention Trial (CPPT)
memperlihatkan bahwa penurunan kadar kolesterol juga menurunkan mortalitas
akibat infark miokard.
Dislipidemia diyakini sebagai faktor risiko mayor yang dapat
dimodifikasiuntuk perkembangan dan perubahan secara progresif atas terjadinya
PJK.48 Kolesterol ditranspor dalam darah dalambentuk lipoprotein, 75 %
merupakanlipoprotein densitas rendah (low density liproprotein/LDL) dan 20 %
merupakanlipoprotein densitas tinggi (high density liproprotein/HDL). Kadar
kolesterol HDL lahyang rendah memiliki peran yang baik pada PJK dan terdapat
hubungan terbalik antara kadar HDL dan insiden PJK. Peningkatan kadar lemak
berhubungan dengan proses aterosklerosis. Berikut ini faktor risiko dari faktor
lipid darah: total kolesterol plasma > 200 mg/dl, kadar LDL > 130 mg/dl, kadar
trigliserid > 150 mg/dl, kadar HDL < 40 mg/dl.
4. Overweight dan Obesitas
Overweight dan Obesitas meningkatkan resiko terkena penyakit jantung
koroner. Sekitar 25-49% penyakit jantung koroner di negara berkembang
berhubungan dengan peningkatan indeks massa tubuh (IMT). Overweight
didefinisikan sebagai IMT > 25-30 kg/m2 dan obesitas dengan IMT > 30 kg/m2.
Obesitas sentral atau obesitas abdominal adalah obesitas dengan kelebihan
lemak berada di abdomen. Biasanya keadaan ini juga berhubungan dengan
kelainan metabolik seperti peninggian kadar trigliserida, penurunan HDL,
peningkatan tekanan darah, inflamasi sistemik, resistensi insulin dan diabetes
melitus tipe II.
Data dari Framingham menunjukkan bahwa apabilasetiap individu
mempunyai berat badan optimal, akan terjadi penurunan insiden PJK sebanyak 25
% dan stroke/cerebro vascular accident (CVA) sebanyak 3,5 %. Penurunan berat
badan diharapkan dapat menurunkan tekanan darah, memperbaiki sensitivitas
insulin, pembakaran glukosa dan menurunkan dislipidemia. Hal tersebut dapat
ditempuh dengan cara mengurangi asupan kalori dan menambah aktifitas fisik.
5. Riwayat Merokok
Merokok meningkatkan resiko terkena penyakit jantung koroner sebesar
50%. Orang yang tidak merokok dan tinggal bersama perokok (perokok pasif)
memiliki peningkatan risiko sebesar 20 – 30 % dibandingkan dengan orang yang
tinggal dengan bukan perokok. Di Inggris, sekitar 300.000 kematian karena
penyakit kardiovaskuler berhubungan dengan rokok. Penggunaan tembakau
berhubungan dengan kejadian miokard infark akut prematur di daerah Asia
Selatan. Merokok sigaret menaikkan risiko serangan jantung sebanyak 2sampai 3
kali. Sekitar 24 % kematian akibat PJK pada laki-laki dan 11 % padaperempuan
disebabkan kebiasaan merokok. Pemeriksaan yang dilakukan pada usia dewasa
muda dibawah usia 34 tahun, dapat diketahui terjadinya atherosklerosis pada
lapisan pembuluh darah (tunika intima) sebesar 50 %.35 Berdasarkan literatur
yang ada hal tersebut banyak disebabkan karena kebiasaan merokok dan
penggunaan kokain.
6. Faktor Psikososial
Faktor psikososial seperti peningkatan stres kerja, rendahnya dukungan
sosial, personalitas yang tidak simpatik, ansietas dan depresi secara konsisten
meningkatkan resiko terkena aterosklerosis. Stres merangsang sistem
kardiovaskuler dengan dilepasnya catecholamine yang meningkatkan kecepatan
denyut jantung dan pada akhirnya dapat menimbulkan vasokonstriksi pembuluh
darah koronaria. Beberapa ilmuwanmempercayai bahwa stress menghasilkan
suatu percepatan dari prosesatherosklerosis pada arteri koroner. Perilaku yang
rentan terhadap terjadinya penyakit koroner (kepribadian tipeA) antara lain sifat
agresif, kompetitif, kasar, sinis, keinginan untuk dipandang,keinginan untuk
mencapai sesuatu, gangguan tidur, kemarahan di jalan, dan lain-lain.Baik ansietas
maupun depresi merupakan predictor penting bagi PJK.
7. Aktivitas Fisik
Olah raga secara teratur akan menurunkantekanan darah sistolik,
menurunkan kadar katekolamin di sirkulasi, menurunkan kadarkolesterol dan
lemak darah, meningkatkan kadar HDL lipoprotein, memperbaikisirkulasi koroner
dan meningkatkan percaya diri. Diperkirakan sepertiga laki-laki dan dua per tiga
perempuan tidak dapatmempertahankan irama langkah yang normal pada
kemiringan gradual (3 mph padagradient 5 %). Olah raga yang teratur berkaitan
dengan penurunan insiden PJK sebesar 20 – 40 %. Olah raga secara teratur sangat
bermanfaat untukmenurunkan faktor risiko seperti kenaikan HDL-kolesterol dan
sensitivitas insulin sertamenurunkan berat badan dan kadar LDL-kolesterol. Pada
latihan fisik akan terjadi dua perubahan pada sistem kardiovaskuler,yaitu
peningkatan curah jantung dan redistribusi aliran darah dari organ yang
kurangaktif ke organ yang aktif.
8. Gaya Hidup
Resiko terkena infark miokard meningkat pada pasien yang
mengkonsumsi diet yang rendah serat, kurang vitamin C dan E, dan bahan-bahan
polisitemikal. Mengkonsumsi alkohol satu atau dua sloki kecil per hari ternyata
sedikit mengurangi resiko terjadinya infark miokard. Namun tidak semua literatur
mendukung konsep ini, apabila mengkonsumsi alkohol berlebihan, yaitu lebih
dari dua sloki kecil per hari, pasien memiliki peningkatan resiko terkena penyakit.
Studi Epidemiologi yang dilakukan terhadap beberapa orang telah
diketahui bahwa konsumsi alkohol dosis sedang berhubungan dengan penurunan
mortalitas penyakit kardiovaskuler pada usia pertengahan dan pada individu yang
lebih tua, tetapi konsumsi alkohol dosis tinggi berhubungan dengan peningkatan
mortalitas penyakit kardiovaskuler. Peningkatan dosis alkohol dikaitkan dengan
peningkatan mortalitas kardivaskuler karena aritmia, hipertensi sistemik, dan
kardiomiopati dilatasi.
F. Patofisiologi
Lapisan endotel pembuluh darah koroner yang normal akan mengalami kerusakan
karena berbagai faktor resiko, antara lain : faktor hemodinamik seperti hipertensi, zat
vasokonstriktor, mediator (sitokin), rokok, diet aterogenik, kadar gula darah berlebih, dan
oksidasi LDL-C. LDL teroksidasi menyebabkan kematian sel dan menghasilkan respon
inflamasi. Terjadi pula respon angiotensin II, yang menyebabkan vasokonstriksi atau
vasospasme, dan menyetuskan efek protrombik dengan melibatkan platelet dan faktor
koagulasi. Kerusakan endotel memicu terjadinya reaksi inflamasi, sehingga terjadi respon
protektif dan terbentuk lesi fibrofatty dan fibrous, plak atherosklerotik. Plak
atherosklerotik yang terbentuk dapat menjadi tidak stabil dan mengalami ruptur dan
menyebabkan Sindroma Koroner Akut.
Infark terjadi jika plak aterosklerotik mengalami fisur, ruptur, atau ulserasi,
sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi
arterikoroner, sehingga pasokan oksigen terhambat. Penelitian menunjukkan plak
atherosklerotik cenderung mudah mengalami rupturjika fibrous cap tipis dan
mengandung inti kaya lipid (lipid rich core). Gambaran patologis klasik pada STEMI
terdiri atas fibrin rich red thrombus, yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI
memberikan respon terhadap terapi trombolitik. Reaksi koagulasi diaktivasi oleh pajanan
tissue activator pada sel endotel yang rusak. Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan
konversi protombin menjadi trombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi
fibrin. Arteri koroner yang terlibat akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri atas
agregat trombositdan fibrin. Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) terjadi jika
aliran darahkoroner menurun secara mendadak akibat oklusi trombus pada plak
aterosklerotikyang sudah ada sebelumnya. Penyebab lain infark miokard tanpa
aterosklerosis koronaria antara lain emboli arteri koronaria, kelainan arteri koronaria
kongenital, vasospasme koronaria terisolasi, arteritistraumatis, gangguan hematologik,
dan berbagai penyakit inflamasi sistemik.
G. Menisfestasi Klinis
Seseorang kemungkinan mengalami serangan jantung, jika mengeluhkan adanya
nyeri dada atau nyeri hebat di ulu hati (epigastrium) yang bukan disebabkan oleh trauma.
Sindrom koroner akut ini biasanya berupa nyeri seperti tertekan benda berat, rasa
tercekik, ditinju, ditikam, diremas, atau rasa seperti terbakar pada dada. Umumnya rasa
nyeri dirasakan dibelakang tulang dada (sternum) disebelah kiri yangmenyebar ke seluruh
dada. Diagnosa awal merupakan kunci dalam pengobatan awal dari STEMI. Riwayat
nyeri dada atau ketidaknyamanan yang berlangsung 10-20 menit yang dirasakan oleh
pasien harus meningkatkan kecurigaan terhadap STEMI akut pada pasien (pasien laki-
laki paruh baya, terutama jika memiliki faktor resiko penyakit koroner). Diagnosis
STEMI ditegakkan berdasarkan berikut ini :
1) Nyeri dada
2) Perubahan hasil pemeriksaan ECG atau didapatkan gelombang LBBB baru
3) Peningkatan hasil biomarker
Pasien STEMI dapat mengalami berbagai gejala yang bervariasi dari rasa tidak
nyaman pada bagian retrosternal atau nyeri dada pada sisi bagian kiri/ ketidaknyamanan
terkait gejala khas yaitu dyspnea, serangan syncope, malaise dan sesak nafas (nafas
tersengal-sengal). Penderita lansia, diabetes maupun pasien dengan pengobatan NSAID
kemungkinan menderita silent infark miokard. Para pasien ini umumnya ditemukan
adanya syok kardiogenik, hipotensi, aritmia dan conduction block dan kegagalan akut
ventrikel kiri. Pada anamnesis perlu ditanyakan dengan lengkap bagaimana kriteria nyeri
dada yang di alami pasien, sifat nyeri dada pada pasien STEMI merupakan nyeri dada
tipikal (angina). Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi
STEMI, seperti aktivitas fisik berat, stress, emosi, atau penyakit medis lain yang
menyertai. Walaupun STEMI bisa terjadi sepanjang hari atau malam, tetapi variasi
sirkadian di laporkan dapat terjadi pada pagi hari dalam beberapa jam setelah bangun
tidur.
Pada pemeriksaan fisik di dapati pasien gelisah dan tidak bisa istirahat. Seringkali
ektremitas pucat di sertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal > 30 menit
dan banyak keringat di curigai kuat adanya STEMI. Tanda fisik lain pada disfungsi
ventrikular adalah bunyi jantung S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas jantung pertama
dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau
late sistolik apikal yang bersifat sementara. Diagnosis STEMI ditegakan melalui
gambaran EKG adanya elevasi ST kurang lebih 2mm, minimal pada dua sadapan
prekordial yang berdampingan atau kurang lebih 1mm pada 2 sadapan ektremitas.
Pemeriksaan enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis.
Diagnosis IMA dengan elevasi segmen ST ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri dada
yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST >2mm, minimal pada 2 sandapan
prekordial yang berdampingan atau >1 mm pada 2 sandapan ekstremitas. Pemeriksaan
enzim jantung terutama troponin T yang meningkat akan memperkuat. Kombinasi nyeri
dada substernal >30 menit dan banyak keringat merupakan kecurigaan kuat adanya
STEMI. Beberapa gambaran klinis dari STEMI, adalah:
1) Nyeri dada dengan lokasi substernal, retrosternal, dan prekordial.
2) Sifat nyeri seperti rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat,
seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.
3) Penjalaran biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi,
punggung/interskapula, perut, dan dapat juga ke lengan kanan.
4) Nyeri membaik atau menghilang dengan istirahat, atau obat nitrat.
5) Gejala yang menyertai seperti mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin, cemas
dan lemas (Alwi, 2009).
H. Pemeriksaan Penunjang
1. EKG
EKG memberi bantuan untuk diagnosis dan prognosis, rekaman yang dilakukan
saat sedang nyeri dada sangat bermanfaat.
Gambaran diagnosis dari EKG adalah :
1) Depresi segmen ST > 0,05 mV
2) Inversi gelombang T, ditandai dengan > 0,2 mV inversi gelombang T yang
simetris di sandapan prekordial.
Perubahan EKG lainnya termasuk bundle branch block (BBB) dan aritmia
jantung, terutama Sustained VT. Serial EKG harus dibuat jika ditemukan adanya
perubahan segmen ST, namun EKG yang normal pun tidak menyingkirkan
diagnosis APTS/NSTEMI. Pemeriksaaan EKG 12 sadapan pada pasien SKA
dapat mengambarkan kelainan yang terjadi dan ini dilakukan secara serial untuk
evaluasimlebih lanjut dengan berbagai ciri dan katagori:
1) Angina pektoris tidak stabil; depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi
gelombang T, kadang-kadang elevasi segmen ST sewaktu nyeri, tidak
dijumpai gelombang Q
2) Infark miokard non-Q: depresi segmen ST, inversi gelombang T dalam
(Kulick, 2014).
2. Chest X-Ray (foto dada)
Thorax foto mungkin normal atau adanya kardiomegali, CHF (gagal jantung
kongestif) atau aneurisma ventrikiler (Kulick, 2014).
3. Latihan tes stres jantung (treadmill)
Treadmill merupakan pemeriksaan penunjang yang standar dan banyak digunakan
untuk mendiagnosa PJK, ketika melakukan treadmill detak jantung, irama jantung,
dan tekanan darah terus-menerus dipantau, jika arteri koroner mengalami
penyumbatan pada saat melakukan latihan maka ditemukan segmen depresi ST pada
hasil rekaman (Kulick, 2014).
4. Ekokardiogram
Ekokardiogram menggunakan gelombang suara untuk menghasilkan gambar
jantung, selama ekokardiogram dapat ditentukan apakah semua bagian dari dinding
jantung berkontribusi normal dalam aktivitas memompa. Bagian yang bergerak lemah
mungkin telah rusak selama serangan jantung atau menerima terlalu sedikit oksigen,
ini mungkin menunjukkan penyakit arteri koroner (Mayo Clinik, 2012).
5. Kateterisasi jantung atau angiografi
`Kateterisasi jantung atau angiografi adalah suatu tindakan invasif minimal
dengan memasukkan kateter (selang/pipa plastik) melalui pembuluh darah ke
pembuluh darah koroner yang memperdarahi jantung, prosedur ini disebut kateterisasi
jantung. Penyuntikkan cairan khusus ke dalam arteri atau intravena ini dikenal
sebagai angiogram, tujuan dari tindakan kateterisasi ini adalah untuk mendiagnosa
dan sekaligus sebagai tindakan terapi bila ditemukan adanya suatu kelainan (Mayo
Clinik, 2012).
6. CT scan (Computerized tomography Coronary angiogram)
Computerized tomography Coronary angiogram/CT Angiografi Koroner adalah
pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk membantu memvisualisasikan arteri
koroner dan suatu zat pewarna kontras disuntikkan melalui intravena selama CT scan,
sehingga dapat menghasilkan gambar arteri jantung, ini juga disebut sebagai ultrafast
CT scan yang berguna untuk mendeteksi kalsium dalam deposito lemak yang
mempersempit arteri koroner. Jika sejumlah besar kalsium ditemukan, maka
memungkinkan terjadinya PJK (Mayo Clinik, 2012).
7. Magnetic resonance angiography (MRA)
Prosedur ini menggunakan teknologi MRI, sering dikombinasikan dengan
penyuntikan zat pewarna kontras, yang berguna untuk mendiagnosa adanya
penyempitan atau penyumbatan, meskipun pemeriksaan ini tidak sejelas pemeriksaan
kateterisasi jantung (Mayo Clinik, 2012).

8. Pemeriksaan biokimia jantung (profil jantung)


Petanda biokimia seperti troponin I (TnI) dan troponin T (TnT) mempunyai nilai
prognostik yang lebih baik dari pada CKMB. Troponin C, TnI dan TnT berkaitan
dengan konstraksi dari sel miokrad. Susunan asam amino dari Troponin C sama
dengan sel otot jantung dan rangka, sedangkan pada TnI dan TnT berbeda. Nilai
prognostik dari TnI atau TnT untuk memprediksi risiko kematian, infark miokard dan
kebutuhan revaskularisasi dalam 30 hari. Kadar serum creatinine kinase (CK) dan
fraksi MB merupakan indikator penting dari nekrosis miokard, risiko yang lebih
buruk pada pasien tanpa segment elevasi ST namun mengalami peningkatan nilai
CKMB (Depkes, 2006).
I. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan ST elevasi IMA menurut ACC/AHA 2013 :
a. Pemberian Oksigen
Suplementasi oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri
< 90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen
selama 6 jam pertama.
b. Nitrogliserin
Pasien dengan nyeri iskemik di dada harus diberikan nitrogliserin sublingual 0,4
mg setiap 5 menit dengan dosis maksimal 3 dosis. Setelah melakukan penialaian
seharusnya dievaluasi akan kebutuhan nitrogliserin intravena. Intravena
nitrogliserin ini diindikasikan untuk bila nyeri iskemik masih berlangsung, untuk
mengontrol hipertensi, dan edema paru. Nitrogliserin tidak diberikan pada pasien
dengan tekanan darah sistolik <90 mmHg, bradikardi, (kurang dari 50 kali per
menit), takikardi (lebih dari 100 kali per menit, atau dicurigai adannya RV infark..
nitrogliserin juga harus dihindari pada pasien yang mendapat inhibitor
fosfodiesterase dalam 24 jam terakhir.
c. Analgesik
Morfin sulfat (2-4 mg intravena dan dapat diulang dengan kenaikan dosis 2 – 8
mg IV dengan interval waktu 5 sampai 15 menit) merupakan pilihan utama untuk
manajemen nyeri yang disebabkan STEMI. Efek samping yang perlu diwaspadai
pada pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui penurunan
simpatis sehingga terjadi pooling vena yang akan mengurangi curah jantung dan
tekanan arteri. Efek hemodinamik ini dapat diatasi dengan elevasi tungkai dan
pada kondisi tertentu diperlukan penambahan cairan IV dan NaCl 0,9%. Morfin
juga dapat menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan bradikardia atau blok
jantung derajat tinggi, terutama pasien dengan infark posterior. Efek samping ini
biasanya dapat diatasi dengan pemberian atropine 0,5 mg.
d. Aspirin
Aspirin kunyah harus diberikan pada pasien yang belum pernah mendapatkan
aspirin pada kasus STEMI. Dosis awal yang diberikan 162 mg sampai 325 mg.
Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162 mg.
e. Beta Bloker
Terapi beta bloker oral dianjurkan pada pasien yang tidak memiliki kontraindikasi
terutama bila ditemukan adanya hipertensi dan takiaritmia. Jika morfin tidak
berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat beta IV, selain nitrat
mungkin efektif. Regimen yang biasa digunakan adalah metoprolol 5 mg setiap 2-
5 menit sampai total3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung > 60 menit, tekanan
darah sistolik > 100 mmHg, interval PR < 0,24 detik dan ronki tidak lebih dari 10
cm dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan
metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam dan dilanjutkan
100mg tiap 12 jam.
f. Clopidogrel
Pemberian clopidogrel 600 mg sedini mungkin. Dan dilanjutkan dengan dosis
rumatan sebesar 75 mg per hari.
g. Reperfusi
Semua pasien STEMI seharusnya menjalani evaluasi untuk terapi reperfusi.
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat
disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien STEMI
berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventricular yang maligna.
Sasaran terapi reperfusi pada pasien STEMI adalah door to needle atau medical
contact to balloon time untuk Percutaneous Coronary Intervention (PCI) dapat
dicapai dalam 90 menit (Patrick, 2013).
Reperfusi, dengan trombolisis atau PCI primer, diindikasikan dalam waktu
kurang dari 12 jam sejak onset nyeri dada untuk semua pasien Infark Miokard
yang juga memenuhi salah satu kriteria berikut :
1) ST elevasi > 0,1mV pada >2 ujung sensor ECG di dada yang berturutan,
2) ST elevasi >0,2mV pada >2 ujung sensor di tungkai berturutan,
3) Left bundle branch block baru.
Terdapat beberapa metode reperfusi dengan keuntungan dan kerugian masing-masing.
PCI primer merupakan terapi pilihan jika pasien dapat segera dibawa ke pusat kesehatan
yang menyediakan prosedur PCI (Zafari, 2013).
Pasien dengan STEMI harus menemui pelayanan kesehatan dalam 1,5 – 2 jam setelah
terjadinya gejala untuk mendapatkan medikamentosa sedini mungkin. Pasien dengan
STEMI harus dilakukan terapi reperfusi dalam 12 jam awal. Terapi fibrinolitik
diindikasikan sebagai terapi reperfusi awal yang dilakukan pada 30 menit awal dari
kedatangan di Rumah Sakit (Patrick, 2013).
Penatalaksanaan pada kasus ini kurang tepat karena:
a. Oksigen (O2), suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi
Oksigen < 90%. Namum pada semua pasien STEMI baik dengan komplikasi ataupun
tidak dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama.
b. Infus Ringer Laktat, untuk memenuhi kebutuhan cairan harian yaitu dengan
memberikan cairan isotonik.
c. Ceftriaxon, tingginya tingkat infeksi nosokomial yang dapat terjadi di rumah sakit
menyebabkan pemberian antibiotik profilaksis diperlukan untuk mencegah terjadinya
infeksi pada pasien yang dapat memperberat penyakit pasien. Namun pola dari jenis
mikroorganisme patogen yang ada di setiap rumah sakit berbeda-beda sehingga setiap
rumah sakit seharusnya memiliki protab antibiotik yang dapat digunakan sebagai
antibiotik profilksis.
d. Ranitidin, berfungsi untuk mengurangi produksi asam lambung, bila produksi asam
lambung terlalu banyak dapat menyebabkan kerusakat pada dinding lambung
e. Vitamin B19, pemberian B 19 dirasakan kurang bermanfaat pada kasus ini. Namun,
pemberian B 1 dapat dipertimbangkan karena dapat membantu metabolisme
karbohidrat sehingga tidak terjadi penumpukan asam piruvat pada metabolisme yang
tidak sempurna yang dapat menganggu kontraksi dari otot jantung
f. Obat Batuk Hitam, dirasakan kurang tepat karena pasien tidak mengeluh batuk
g. Ketorolac, selain dengan memberikan nitogliserin, dengan pemberian ketorolac
diharapkan dapat membantu mengurangi nyeri yang akut sedang ataupun berat namun
bila kembali mengacu pada ACC/AHA penggunaan ketorolac masih belum tepat
h. Aspilet, apabila embolus yang beredar di sirkulasi sistemik mencapai otak,
dikhawatirkan dapat terjadinya iskemik pada otak yang selanjutnya dapat
meyebabkan stoke. Hal ini semakin memperberat keadaan pasien, sehingga dengan
pemberian aspilet difungsikan untuk menurunkan agregasi trombosit sehingga
pembentukan trombis berkurang dan efek antikoagulasi.
i. Isosorbid Dinitrat, menyebabkan relaksasi otot polos dan vasodilatasi vaskular
sehingga mengurangi tekanan pengisian dan meningkatkan curah jantung pada
arteriol kecil serta menurunkan bendungan paru-paru
j. Clopidogrel, dapat mengurangi progresivitas terjadinya aterosklerosis dan infark pada
pembuluh darah koroner.
J. Pengkajian Keperawatan
1) Keluhan utama : Biasanya pasien mengeluh nyeri dada mendadak dan semakin
memberat, nyeri dada bagian bawah/ulu hati, sifat nyeri seperti rasa terbakar dan
panas, lama 10 – 15 menit, menjalar ke dada bagian tengah dan seluruh perut,
disertai keringat dingin, klien mengeluh sesak napas , mual, muntah, punggung
terasa sakit/pegal.
2) Riwayat penyakit dahulu: Biasanya pasien akan mengalami penyakit pencetus
atau faktor resiko dari STEMI seperti, hipertensi, riwayat memiliki kolesterol
tinggi, diebtes mellitus, merokok, dll.
3) Riwayat penyakit keluarga: Biasanya merupakan riwayat penyakit yang diderita
oleh anggota keluarga baik dengan penyakit yang sama atau tidak.
4) Pemeriksaan Fisik, Fokus pada Sistem Kardiovaskuler dan Sistem Respirasi
Pemeriksaan tanda-tanda vital TD, Nadi, RR dan Suhu penting dilakukan untuk
mengetahui tanda awal dari ketidakstabilan hemodinamik tubuh, gambaran dari
tanda vital yang tidak stabil merupakan indikasi dari peningkatan atau penurunan
kondisi perfusi jaringan dan kegagalan jantung dalam berkontraksi.
Keluhan/adanya nyeri pada identifikasi nyeri perlu dikaji lebih dalam seberapa
besar nyeri muncul, lokasi dan sifat nyeri termasuk penjalaran dari nyeri yang
muncul sehingga dapat diklasifikasikan daerah/area yang mengalami infark.
Adanya nyeri yang terkaji dapat menjadi patokan, didaerah mana kira-kira lokasi
yang mengami penyumbatan dan setelah itu perlu diidintifikasi kembali dengan
beberapa pemeriksaan penunjang untuk membuktikan dan mempertegas kondisi
pasien.
Tanda-tanda vital merupakan pemeriksaan fisik yang sangat penting
dilakukan karena adanya perubahan tanda-tanda vital menunjukkan kelainan
sirkulasi dalam sistem sistemik tubuh. Dengan asumsi penurunan kontraktilitas
otot-otot jantung, maka denyut nadi akan menurun dan juga tekanan darah naik
lama kelamaan akan menurun karena penurunan cardiak output. Oleh karena itu
pengkajian terhadap tanda-tanda vital sangat perlu dilakukan sebagai indikasi
awal adanya kelainan sistemik tubuh.
Disamping pemantauan TTV, perlu juga haru dikaji sistem hemodinamik
tubuh, karena adanya perubahan curah jantung, maka sirkulasi juga akan
berkurang, demikian juga cairan dan keseimbangan cairan akan berpengaruh
terhadap tekanan hemodinamik tubuh
Pemeriksaan fisik Head to toe:
1. Status kesehatan umum: Keadaan penyakit, kesadaran, Tekanan darah, nadi,
pernafasan, suhu, BB, dan TB.
2. Kepala: Kesimetrisan bentuk kepala, nyeri tekan.
3. Muka: Kesimetrisan bentuk muka, palpasi adanya odema, kekuatan otot muka dan
rahang.
4. Mata: bentuk Alis mata, kelopak mata, konjuktiva, pupil, sclera, reflek cahaya dan
penglihatan.
5. Telinga: inspeksi adanya secret, serumen, benda asing, membrane timpani dan
mengetahui pendengaran pasien normal atau tidak.
6. Hidung: inspeksi mukosa, secret, bau, obstruksi dan pernafasan cuping hidung.
7. Mulut dan faring: Menilai Bau mulut, ekstraksi gigi, kelainan lidah, suara dan bahasa
jelas.
8. Leher: menilai kesimetris, kaku kuduk, pembesaran vena jugularis, dan
pembengkakan thyroid.
9. Thoraks : Inspeksi gerakan dada, retraksi dada, perkusi dada dan vocal fremitus.
10. Jantung: mengetahui batas jantung dan capillary refill.
11. Abdomen: Auskultasi bising usus , palpasi adanya benjolan, nyeri tekan.
12. Inguinal-Genitalia-Anus : menilai siklus mentruasi dan kaeadaan normal inguinal,
genitalia dan anus.
13. Ekstrimitas: meraba akral, palpasi adanya edema, menilai kekuatan otot dan anggota
gerak
K. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b/d iskemia jaringan sekunder terhadap sumbatan arteri yang ditandai
dengan penurunan curah jantung.
2. Penurunan curah jantung b/d perubahan faktor-faktor listrik, penurunan karakteristik
miaokard.
3. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b/d iskemik, kerusakan otot jantung,
penyempitan / penyumbatan pembuluh darah arteri koronaria.
L. Asuhan Keperawatan
Diagnosa Keperawatan 1:
Nyeri akut b/d iskemia jaringan sekunder terhadap sumbatan arteri yang ditandai dengan
penurunan curah jantung.
Tujuan /NOC:
 Pain level
 Pain control
 Comfort Level
Kriteria Hasil:
 Mampu mengontrol nyeri
 Melaporkan bahwa nyeri berkurang dan menggunakan manajemen nyeri
 Mampu mengenali nyeri
 Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
Intervensi/ NIC:
 Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif.
 Observasi reaksi non verbal dari ketidaknyamanan
 Gunakan teknik komunikasi terapeutik
 Control lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri
 Ajarkan tentang teknik non farmakologi
 Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
 Monitor Vital Sign
 Tingkatkan istirahat
 Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi
Diagnosa keperawatan 2:
Penurunan curah jantung b/d perubahan faktor-faktor listrik, penurunan karakteristik
miaokard.
Tujuan /NOC:
 Cardiac pump effectiveness
 Circulation status
 Vital sign status
Kriteria Hasil:
 Tanda vital dalam rentang normal
 Dapat mentoleransi aktivitas, tidak ada kelelahan
 Tidak ada edema paru, perifer dan tidak ada asietas
 Tidak ada penuruna kesadaran
Intervensi/ NIC:
 Evaluasi adanya nyeri dada.
 Monitor status kardiovasler
 Monitor status pernafasan
 Monitor abdomen
 Monitor balance cairan
 Monitor adanya perubahan tekanan darah
 Monitor intoleransi aktivitas
 Anjurkan menurunkan stress
 Monitor vital sign
Diagnosa keperawatan 3:
Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b/d iskemik, kerusakan otot jantung,
penyempitan / penyumbatan pembuluh darah arteri koronaria.
Tujuan /NOC:
 Circulation Status
 Tissue Perfusion: cerebral
Kriteria Hasil:
 Tekanan siastole dan diastole dalam rentang yang diharapkan
 Tidak ada ortostetik hipertensi
 Tidak ada tanda-tanda peningkatan tekanan intrakarnial
 Berkomuikasi dengan jelas dan sesuai dengan kemampuan
 Menunjukkan perhatian, orientasi dan konsentrasi
 Memproses informasi
 Membuat keputusan dengan benar
 Tingkat kesadaran membaik dan tidak ada gerakan-gerakan involunter
Intervensi/ NIC:
 Monitor daerah tertentu yang hanya peka terhadap panas/dingin/tajam/tumpul
 Monitor adanya paretese
 Instruksikan pada keluaraga untuk mengobservasi kulit jika ada isi atau laserasi
 Batasi gerakan pada kepala, leher dan punggung
 Monitor kemampuan BAB
 Kolaborasi dalam pemberian analgetik
 Monitor adanya thrombophlebitis

M. WOC
Daftar Pustaka
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
II edisi V. Jakarta: Interna Publishing
Ripa MS. 2012. The ECG as decision support in STEMI. Pubmed. United States
Patrick T O’Gara,et all. 2013. ACC/AHA Guidelines for the Management of Patients
With ST-Elevation Myocardial Infarction. American : ACC/AHA Practice
Guidelines
https://nardinurses.files.wordpress.com/2008/01/asuhan-keperawatan-pasien-dengan-
stemi-post-ptca.pdf
http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/INJ/article/viewFile/6343/5210
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=122525&val=5502
http://eprints.undip.ac.id/46852/3/Vania_22010111120050_LapKTI_BAB2.pdf
NANDA NIC NOC. 2013. Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis.
Mediaction Publishing. Jilid 1 dan 2.

Anda mungkin juga menyukai