Anda di halaman 1dari 51

PROPOSAL SEMINAR EVIDENCE BASED NURSING

PENGARUH BUERGER ALLEN EXCERCISE TERHADAP ANKLE


BRACHIAL INDEX PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2
DI RUMAH SAKIT PREMIER JATINEGARA

Disusun Oleh :
Allysiana Zalfa Madliyah S (21118099)
Aryani Anggraeni (21118103)
Ayunda Lungayu Prameswari (21118104)
Chintyana Dwi Anggraeni (21118106)
Hana Hairunnisa (21118115)
Larasati Kusuma Dewi (21118120)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PERTAMEDIKA
2018
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, tuhan semesta alam yang senantiasa memberi rahmat
dan karunia-Nya. Sholawat serta salam kita sanjungkan keharibaan Nabi Besar
Muhammad SAW, penutup siklus kenabian pembawa syariat islam yang
mengajarkan kita dari alam gelap gulita dan alam terang benderang. Proposal ini
ditulis dengan tujuan dapat memberikan gambaran mengenai kegiatan mahasiswa
yang sedang menjalani gerbong Keperawatan Medikal Bedah untuk melaksanakan
kegiatan Seminar Evidence Based Nursing. Kami menyadari bahwa Proposal ini
masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang
bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan proposal ini. Maka
kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam
penyusunan proposal ini dari awal sampai akhir. Semoga Tuhan Yang Maha Esa
senantiasa meridhoi segala usaha kita. Amin

Jakarta, 25 Maret 2019

Kelompok

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Tujuan .......................................................................................................... 4
C. Manfaat ........................................................................................................ 4
D. Nama Kegiatan ............................................................................................. 5
E. Peserta .......................................................................................................... 5
BAB II TINJAUAN TEORI ................................................................................... 6
A. Diabetes Melitus........................................................................................... 6
B. Buerger Allen Exercise .............................................................................. 20
C. Akle Brachial Index (ABI) ......................................................................... 25
BAB III ANALISA JURNAL............................................................................... 28
A. Jurnal Utama .............................................................................................. 28
B. Jurnal Pendukung ....................................................................................... 30
C. Analisa PICO ............................................................................................. 35
BAB IV ANALISA SWOT .................................................................................. 40
A. Strength (Kekuatan) ................................................................................... 40
B. Weakness (Kelemahan) .............................................................................. 40
C. Opportunities (Peluang) ............................................................................. 41
D. Threats (Ancaman)..................................................................................... 41
BAB V PENUTUP ................................................................................................ 42
A. Kesimpulan ................................................................................................ 42
B. Saran ........................................................................................................... 42
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 43

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejalan dengan perkembangan jaman, pola penyakit di Indonesia telah
mengalami pergeseran dari penyakit infeksi dan kekurangan gizi menjadi
penyakit degeneratif, salah satunya adalah diabetes melitus (Suyono,
2011). Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit degeneratif yang
paling banyak diderita oleh masyarakat Indonesia saat ini (Yunita, 2011).
Estimasi terakhir International Diabetes Federation (IDF) tahun 2014,
terdapat 382 juta orang yang hidup dengan diabetes di dunia pada tahun
2013. Diperkirakan dari 382 orang tersebut, 175 juta diantaranya belum
terdiagnosis, sehingga terancam berkembang progresif menjadi
komplikasi tanpa disadari dan tanpa pencegahan. IDF memperkirakan
Indonesia akan menduduki peringkat ke 3 penderita diabetes melitus
terbesar di dunia pada tahun 2025 mendatang.

Diabetes melitus merupakan salah satu gangguan metabolik yang


ditandai dengan peningkatan kadar gula darah (hiperglikemia) yang
disebabkan oleh kurangnya insulin, ketidakmampuan insulin untuk
bekerja atau keduanya. Hiperglikemia jangka panjang dan tidak
terkontrol dapat menyebabkan komplikasi mikrovaskuler yang kronis
(penyakit ginjal dan mata) dan komplikasi pada neuropati (penyakit pada
saraf). Diabetes melitus juga disertai dengan peningkatan insiden
penyakit makrovaskuler yang mencakup infark miokard, stroke dan
penyakit arteri perifer. Dampak yang paling umum ditimbulkan oleh
penyakit arteri perifer adalah timbul ulkus, gangren, dan penyembuhan
luka yang lambat akibat sirkulasi darah yang buruk pada ekstremitas. Hal
tersebut terjadi karena suplai darah yang membawa nutrisi dan oksigen
berkurang akibat adanya 3 penyumbatan aliran darah terutama daerah
kaki (Smeltzer & Bare, 2002; Brunner & Sudarth, 2001; Mellisha, 2015;
Lorensi, 2015).

1
Diabetes melitus merupakan salah satu faktor yang mampu
mempengaruhi aliran darah karena viskositas akibat penumpukkan gula
darah. Kekentalan darah mengakibatkan aliran darah terganggu dan
dapat menyebabkan penurunan perfusi ke jaringan tubuh terutama pada
daerah kaki. Salah satu indikator untuk melihat penurunan perfusi aliran
darah ke daerah tungkai/ekstremitas bawah yaitu dapat diukur melalui
ankle brachial index (ABI). Banyaknya penderita diabetes melitus yang
terus berkembang begitu cepat, maka banyak dilakukan penelitian yang
bertujuan untuk mengurangi jumlah penderita dan meminimalisir
dampak komplikasi diabetes melitus yang sangat berkaitan dengan kadar
gula darah dan nilai ankle brachial index. Langkah penanganan guna
meminimalkan komplikasi diabetes melitus tipe 2 salah satunya dapat
dilakukan dengan cara pengendalian empat pilar utama yang berupa
edukasi, perencanaan makanan, latihan jasmani/olahraga/aktivitas fisik
dan intervensi farmakologis (Suyono, 2009).

Olahraga/aktivitas fisik mampu meningkatkan pemakaian glukosa oleh


otot-otot yang aktif sehingga glukosa dalam darah dapat menurun.
Aktivitas fisik mampu meningkatkan aliran darah sehingga membuka
jala-jala kapiler. Jala kapiler yang terbuka akan merangsang reseptor
insulin untuk lebih aktif, dan akan mempengaruhi pemakaian glukosa
darah penderita diabetes melitus. Latihan jasmani/aktivitas fisik dapat
menurunkan kadar glukosa darah karena latihan jasmani akan
meningkatkan pemakaian glukosa oleh otot-otot yang aktif (Fitria, 2009).
Turan (2015) berpendapat bahwa aktivitas fisik yang melibatkan
berbagai gerak sendi atau peregangan di segala arah dapat meningkatkan
aliran darah ke ekstremitas bawah.

Latihan fisik merupakan prinsip dasar yang bisa dilakukan untuk


mencegah terjadinya penyakit arteri perifer pada pasien diabetes melitus.
Salah satu latihannya adalah Buerger Allen exercise (Mellisha, 2015).

2
Dalam penelitiannya Aruna dan Thenmozhi (2015) menyebutkan bahwa
Buerger Allen exercise dapat membantu mencegah terjadinya penyakit
arteri perifer. Hasil penelitian Vijayabarathi dan Hemavathy (2014)
menyatakan bahwa Buerger Allen exercise efektif dalam membantu
proses penyembuhan luka pada penderita diabetes melitus tipe 2.

Vijayabarathi (2016) berpendapat bahwa Buerger Allen exercise


merupakan suatu latihan yang dapat dilakukan penderita diabetes yang
berfungsi untuk membantu meningkatkan vaskularisasi dan membantu
meningkatkan proses penyembuhan luka. Chang (2016) menyimpulkan
bahwa Buerger Allen exercise merupakan latihan aktivitas yang ideal dan
non-invasif untuk penderita diabetes melitus dengan penyakit arteri
perifer. Buerger Allen exercise dapat meningkatkan sirkulasi perifer pada
kaki penderita diabetes melitus. Selain itu Buerger Allen exercise dinilai
sebagai suatu latihan aktivitas yang murah dan mudah untuk dipelajari
serta mempunyai risiko yang sangat rendah untuk penderita diabetes
melitus.

Seseorang pada dasarnya memiliki kemampuan untuk merawat dirinya


sendiri yang disebut dengan self-care. Self-Care dalam konteks pasien
dengan penyakit kronis merupakan hal yang kompleks dan sangat
dibutuhkan untuk keberhasilan manajemen serta kontrol dalam penyakit
kronis tersebut. Pada konsep Self-Care, Orem menitikberatkan bahwa
seseorang harus dapat bertanggung jawab terhadap pelaksanaan Self-
Care untuk dirinya sendiri dan terlibat dalam pengambilan keputusan
untuk kesehatannya (Tomey dan Alligood, 2006). Salah satu hal yang
bisa dilakukan secara mandiri oleh penderita diabetes melitus yaitu
latihan aktivitas, dimana latihan aktivitas tersebut diharapkan mampu
menurunkan kadar gula sehingga dapat mencegah komplikasi lebih
lanjut.

3
Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat bahwa manfaat Buerger Allen
exercise efektif dan tanpa biaya sebagai terapi tambahan untuk mencegah
terjadinya komplikasi lebih lanjut dari diabetes melitus. Maka dari itu,
kami ingin mengadakan kegiatan seminar Evidence Based Nursing
tentang perlakuan Buerger Allen exercise kepada pasien diabetes melitus
tipe 2 untuk membantu meningkatkan vaskularisasi dan membantu
mencegah terjadinya penyakit arteri perifer.

B. Tujuan
Tujuan dari penyampaian seminar Evidence Based Nursing ini adalah :
1. Menambah wawasan tentang perawatan pada pasien dengan resiko
luka kaki diabetic yang mengalami gangguan vaskularisasi,
khususnya dalam penatalaksanaan pencegahan komplikasi lebih
lanjut dari diabetes melitus dengan Buerger Allen exercise.
2. Mengetahui perbedaan dan pengaruh intervensi penatalaksanaan
nyeri melalui teknik Buerger Allen exercise di ruang perawatan
lantai 2, 5, 6, dan 7 RS Premier Jatinegara Jakarta Selatan.

C. Manfaat
1. Manfaat bagi pelayanan keperawatan
Evidance based nursing ini diharapkan bermanfaat bagi pemberi
asuhan pelayanan keperawatan dalam meningkatkan mutu
pelayanan dalam bidang keperawatan, khususnya dalam pencegahan
komplikasi lebih lanjut dari diabetes mellitus.
2. Manfaat bagi perkembangan ilmu keperawatan
Evidance based nursing ini diharapkan sebagai upaya
pengembangan program dan terapi non farmakologis dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan pasien, terutama pasien dengan
masalah keperawatan gangguan perfusi perifer.

4
D. Nama Kegiatan
Seminar Evidence Based Nursing tentang pengaruh Buerger Allen
exercise terhadap Ankle Brachial Index (ABI) pada pasien dengan
diabetes mellitus di Rumah Sakit Premier Jatinegara.

E. Peserta
Kepala ruangan dan para perawat di RS Premier Jatinegara.

5
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Diabetes Melitus
1. Definisi
Diabetes melitus adalah salah satu gangguan metabolik
akibat pankreas tidak memproduksi cukup insulin atau tubuh tidak
dapat menggunakan insulin yang telah diproduksi secara efektif,
yang ditandai dengan adanya peningkatan konsentrasi glukosa
darah (hiperglikemia), biasanya disertai dengan munculnya gejala
utama yang khas, seperti terbuangnya glukosa bersama dengan urin
(glukosuria) (Kemenkes RI, 2014; Bilous & Donelly, 2014;
Soegondo, 2009).

Berikut ini tabel penggolongan nilai kadar gula darah menurut


Dalimartha (2007):
Bukan DM Belum DM
Pasti
DM
Kadar Plasm < 100 mg/dL 100-199 mg/dL ≥ 200 mg/dL
glukos a vena
a darah
sewakt Darah < 90 mg/dL 90-199 mg/dL ≥ 200 mg/dL
u kapile
r
Kadar Plasm < 100 mg/dL 100-125 ≥ 126 mg/dL
glukos a vena mg/dL
a darah
puasa Darah < 100 mg/dL ≥ 100 mg/dL
kapile 90-99 mg/dL
r
Tabel 2.1 Nilai Kadar Gula Darah Sewaktu dan Puasa

6
2. Klasifikasi Diabetes Melitus
Menurut American Diabetes Association (ADA) (2014),
PERKENI (2015), Bilous & Donelly (2014), Fatimah (2015),
klasifikasi diabetes melitus adalah:
Tipe 1 Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke
definisi insulin absolut
 Autoimun
 Idiopatik
Tipe 2 Bervariasi, mulai yang dominan resistensi
insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai
yang dominan defek sekresi insulin disertai
resistensi
insulin.
Tipe lain  Defek genetik fungsi sel beta
 Defek genetik kerja
insulin Penyakit
eksokrin pankreas
 Endokrinopati
 Karena obat atau zat kimia
 Infeksi
 Sebab imunologi yang jarang
 Sindrom genetik lain yang berkaitan
dengan DM
Diabetes melitus Diabetes Melitus yang muncul pada masa
gestasional kehamilan, umumnya bersifat sementara, tetapi
merupakan faktor risiko untuk Diabetes
Melitus
Tipe 2.
Tabel 2.2 Klasifikasi Diabetes melitus

a. Diabetes Melitus Tipe 1

7
Yaitu diabetes yang tergantung pada insulin. Pada diabetes
ini, sel-sel beta yang menghasilkan insulin dihancurkan oleh
suatu proses autoimun. Akibatnya penyuntikan insulin
diperlukan untuk mengendalikan kadar gula darah, biasanya
terjadi pada usia muda yaitu usia < 30 tahun, bertubuh kurus
saat terdiagnosis dan lebih mudah mengalami ketoasidosis.

b. Diabetes Melitus Tipe 2


Merupakan diabetes yang tidak tergantung pada insulin.
Diabetes ini terjadi akibat adanya penurunan sensitivitas
terhadap insulin (resistensi insulin) atau akibat penurunan
jumlah produksi insulin. Diabetes tipe 2 ini lebih sering
ditemukan pada usia dewasa dan obesitas meskipun dapat
terjadi pada semua umur, ketosis jarang terjadi kecuali dalam
keadaan stres atau mengalami infeksi.

c. Diabetes Melitus Tipe lain


Diabetes melitus ini berhubungan dengan keadaan atau
sindrom tertentu hiperglikemik terjadi karena penyakit lain,
diantaranya: penyakit pankreas, hormonal, alat/bahan kimia,
endokrinopati, kelainan reseptor insulin, dan sindrom genetik
tertentu.

d. Gestasional Diabetes Melitus (GDM)


Merupakan intoleransi glukosa yang terjadi selama masa
kehamilan, biasanya terjadi pada trimester II atau III. Dalam
kehamilan terjadi perubahan metabolisme endokrin dan
karbohidrat yang menunjang pemanasan makanan bagi janin
serta persiapan menyusui. Menjelang aterm, kebutuhan insulin
meningkat sehingga mencapai 3 kali lipat dari keadaan normal.
Bila seorang ibu tidak mampu meningkatkan produksi insulin
sehingga relatif hipoinsulin maka mengakibatkan

8
hiperglikemia. Resisten insulin juga disebabkan oleh adanya
hormon estrogen, progesteron, prolaktin dan plasenta
laktogen. Hormon tersebut mempengaruhi reseptor insulin
pada sel sehingga mengurangi aktivitas insulin.

3. Faktor Resiko Diabetes Melitus Tipe 2


a. Faktor - faktor risiko yang tidak dapat diubah :
1) Umur
2) Lama Menderita Diabetes Melitus ≥ 10 Tahun
3) Ras dan etnik
4) Riwayat keluarga dengan diabetes (anak penyandang
diabetes)
5) Riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lahir bayi >
4000 gram atau riwayat pernah menderita diabetes
gestasional
6) Riwayat lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2,5
Kg

b. Faktor - faktor risiko yang dapat diubah :


1) Neuropati (sensorik, motorik, perifer)
2) Obesitas
3) Hipertensi (tekanan darah > 140/90mmHg)
4) Glikolisasi Hemoglobin (HbA1C) tidak terkontrol
5) Dislipidemia (HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida >
250 mg/dL)
6) Kebiasaan Merokok
7) Ketidakpatuhan Diit Diabetes Melitus
8) Kurangnya Aktivitas Fisik
9) Pengobatan Tidak Teratur

c. Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes:


1) Penderita Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau

9
keadaan klinis lain yang terkait dengan resistensi insulin
2) Penderita sindrom metabolik memiliki riwayat toleransi
glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa
terganggu (GDPT) sebelumnya.
3) Riwayat penyakit kardiovaskular, seperti stroke, penyakit
jantung koroner (PJK), atau Peripheral Arterial Disease
(PAD)

4. Patofisiologi
Kekurangan insulin dikatakan relatif apabila pankreas menghasilkan
insulin dalam jumlah normal, tetapi insulin tidak mampu bekerja
secara efektif. Hal ini terjadi pada penderita diabetes melitus tipe 2,
dimana telah terjadi resistensi insulin. Baik kekurangan insulin
absolut maupun relatif akan mengakibatkan gangguan metabolisme
bahan bakar, untuk melangsungkan fungsinya, membangun jaringan
baru, dan memperbaiki jaringan (Baradero et al., 2005).

Berbeda dengan diabetes melitus tipe 1, pada penderita diabetes


melitus tipe 2, terutama yang berada pada tahap awal, umumnya
dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup di dalam darahnya,
disamping kadar glukosa yang juga tinggi. Jadi, awal patofisiologi
diabetes melitus tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi
insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu
merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai
“resistensi insulin”. Resistensi insulin banyak terjadi di negara-
negara maju seperti Amerika Serikat, antara lain sebagai akibat dari
obesitas, gaya hidup kurang gerak (sedentary), dan penuaan (Depkes
RI, 2005).

Disamping resistensi insulin, pada penderita diabetes melitus tipe 2


dapat juga timbul gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa
hepatik yang berlebihan. Namun demikian, tidak terjadi kerusakan

10
sel-sel beta langerhan secara otoimun sebagaimana yang terjadi pada
diabetes melitus tipe 1. Dengan demikian defisiensi fungsi insulin
pada penderita diabetes melitus tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak
absolut. Oleh sebab itu dalam penanganannya umumnya tidak
memerlukan terapi pemberian insulin (Depkes RI, 2005).

Hormon insulin merupakan hormon metabolik yang mendorong


penyimpanan zat gizi; penyimpanan glukosa sebagai glikogen di hati
dan otot, perubahan glukosa menjadi triasegliserol di hati dan
penyimpanannya di jaringan adipose, serta penyerapan asam amino
dan sintesis protein di otot rangka. Hormon ini juga meningkatkan
sintesis albumin dan protein darah lainnya oleh hati. Insulin
meningkatkan penggunaan glukosa sebagai bahan bakar dengan
merangsang transpor glukosa ke dalam otot dan jaringan adipose.
Pada saat yang sama, insulin bekerja menghambat mobilisasi bahan
bakar (Marks et al., 2000).

Insulin bekerja pada hidrat arang, lemak, serta protein, dan kerja
insulin ini pada dasarnya bertujuan untuk mengubah arah lintasan
metabolik sehingga gula, lemak dan asam amino dapat disimpan
serta tidak terbakar habis. Jika tidak ada insulin, lemak, gula dan
asam amino tidak dapat masuk ke dalam sel sehingga unsur-unsur
gizi tersebut tetap berada di dalam plasma. Akibatnya, sel-sel tubuh
mengalami starvasi dan terjadi peningkatan kadar glukosa,
kolesterol, serta lemak (Jordan, 2002).

Sel-sel beta kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam dua fase.


Fase pertama sekresi insulin terjadi segera setelah stimulus atau
rangsangan glukosa yang ditandai dengan meningkatnya kadar
glukosa darah, sedangkan sekresi fase kedua terjadi sekitar 20 menit
sesudahnya. Pada awal perkembangan diabetes melitus tipe 2, sel-
sel beta menunjukkan gangguan pada sekresi insulin fase pertama,

11
artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin.
Apabila tidak ditangani dengan baik, pada perkembangan penyakit
selanjutnya penderita diabetes melitus tipe 2 akan mengalami
kerusakan sel-sel beta pankreas yang terjadi secara progresif, yang
seringkali akan mengakibatkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya
penderita memerlukan insulin eksogen. Penelitian mutakhir
menunjukkan bahwa penderita diabetes melitus tipe 2 umumnya
ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan
defisiensi insulin (Depkes RI, 2005).

5. Manifestasi Klinis
Black dan Hawks (2009) menyebutkan bahwa manifestasi klinis
pasien diabetes melitus antara lain:
a. Peningkatan frekuensi urine (polyuria)
Kadar glukosa plasma puasa normal atau toleransi glukosa
setelah makan tidak dapat dipertahankan akibat defisiensi
insulin, sehingga kadar glukosa dalam darah meningkat
(hiperglikemia) dan jika melebihi ambang batas ginjal akan
menyebabkan glikosuria. Hal ini mengakibatkan diuresis
osmotik yang meningkatkan pengeluaran urine.
b. Peningkatan rasa haus (polydipsia)
Glikosuria yang mengakibatkan diuresis osmotik meyebabkan
pasien sering merasa haus dan banyak minum.
c. Peningkatan masukkan makanan dengan penurunan berat
badan (polyphagia)
Glikosuria menyebabkan glukosa hilang bersama urin, sehingga
pasien mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat badan
berkurang. Akibat kehilangan kalori menyebabkan rasa lapar
dan mudah lelah serta mengantuk pada pasien.

12
Misnadiarly (2006); Gibney et al. (2009); Riskesdas, (2013);
menyebutkan gejala kronik yang dapat muncul pada pasien diabetes
mellitus:
a. Kesemutan
b. Kulit terasa panas atau tertusuk-tusuk jarum
c. Rasa tebal di kulit sehingga ketika berjalan terasa seperti di atas
bantal atau kasur
d. Kram
e. Mudah lelah
f. Mudah mengantuk
g. Mata kabur, biasanya sering ganti kacamata
h. Luka sulit sembuh
i. Penyakit kulit akibat jamur di bawah lipatan kulit

6. Komplikasi
Menurut Ignatavicius dan Workman (2012) diabetes melitus
merupakan penyakit yang dapat menyebabkan berbagai komplikasi
diantaranya adalah mikrovaskuler dan makrovaskuler di jaringan
dan organ. Komplikasinya menyebabkan banyak masalah kesehatan.
Hiperglikemia dapat menyebabkan perubahan struktural pembuluh
darah dan menyebabkan penebalan pada membran mikrosirkulasi
yang dapat menyebabkan hipoksia jaringan dan mikroiskemia.

Penderita diabetes melitus berpotensi menderita berbagai


komplikasi, baik komplikasi akut maupun komplikasi kronis.
Komplikasi akut meliputi koma hipoglikemia, ketoasidosis, koma
hiperosmolar non-ketotik, sedangkan komplikasi kronik meliputi
makroangiopati dan mikroangiopati. Makroangiopati yang
mengenai pembuluh darah besar pada jantung dan otak. Sedangkan
mikroangiopati mengenai pembuluh darah kecil, retinopati,
nefropati, neuropati, serta rentan terhadap infeksi seperti
tuberculosis, gingivitis, infeksi saluran kemih dan kerusakan

13
pembuluh darah perifer pada tungkai yang biasa disebut dengan kaki
diabetes (Brands et al., 2003; Picon et al., 2006; Rogus et al., 2002;
Lewis et al., 2011).

Salah satu komplikasi mikroangiopati yaitu mengenai pembuluh


darah kecil/perifer, hal tersebut biasa disebut dengan penyakit arteri
perifer. Penyakit arteri perifer adalah suatu penyakit yang
disebabkan karena adanya sumbatan arteri di ekstremitas bawah
karena adanya arterosklerosis (Roza, 2015). Pengertian lain tentang
penyakit arteri perifer adalah menyempitnya lumen arteri atau
pembentukan thrombus karena adanya penyumbatan pada arteri
perifer akibat dari proses arterosklerosis atau proses inflamasi
(Decroli, 2015).

Diabetes melitus membantu mempercepat proses terjadinya


arterosklerosis, yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit arteri
perifer, penyakit koroner dan penyakit serebrovaskuler.
Patofisiologi diabetes dalam menyebabkan penyakit arteri perifer
belum diketahui dengan jelas, tetapi terdapat dua kemungkinan
penyebab diantaranya hiperglikemia, hipertensi dan hiperlipidemia
dimana hal tersebut sering terjadi pada pasien dengan diabetes
melitus (Coffman, 2003). Diabetes melitus mampu mengakibatkan
peningkatan risiko berkembangnya PAD (Peripheral Arterial
Desease) sebesar 1,5 sampai 4 kali. Bertambah parahnya PAD
berkaitan dengan lamanya hiperglikemia dan kontrol glikemia
(Bartholomew, 2006).

Manifestasi klinis penyakit arteri perifer berupa tanpa gejala ataupun


dengan gejala seperti klaudikasio intermiten, serta rasa sakit pada
ekstremitas bawah pada saat istirahat. Lebih dari 50% kasus PAD
biasanya tanpa gejala baik pada saat olahraga maupun pada saat
istirahat. Klaudikasio intermiten merupakan salah satu gejala klinis

14
yang sering dijumpai pada kasus PAD, yang biasanya disebabkan
oleh iskemia otot dan iskemia yang dapat menimbulkan nyeri pada
saat istirahat. Tanda dan gejala dapat menghilang pada saat istirahat
tetapi pada saat penyakit bertambah buruk, gejala mungkin terjadi
pada saat melakukan aktifitas fisik ringan dan bahkan setiap saat
meskipun sudah beristirahat (Weiss, 2001; Roza, 2015; Decroli,
2015).

Menurut Decroli (2015) gangguan vaskularisasi biasanya terjadi


pada tungkai dan akan menyebabkan nyeri serta jari-jari yang
membiru sampai terlihat gambaran nekrosis. Biasanya kulit akan
menjadi kering dan bersisik bahkan pada saat terkena luka dapat
terjadi ulkus yang disebabkan karena suplai darah yang tidak
adekuat sehingga dapat menyebabkan proses penyembuhan luka
terhambat yang akan berakhir sebagai ulserasi dan gangren pada
penderita DM (Decroli, 2015; Roza, 2015).

7. Penatalaksanaan
Pada dasarnya ada dua pendekatan dalam penatalaksanaan diabetes,
yang pertama pendekatan tanpa obat dan yang kedua adalah
pendekatan dengan obat. Dalam penatalaksanaan diabetes melitus,
langkah pertama yang harus dilakukan adalah penatalaksanaan tanpa
obat berupa pengaturan diit dan olahraga. Apabila dengan langkah
pertama ini tujuan penatalaksanaan belum tercapai, dapat
dikombinasikan dengan langkah farmakologis berupa terapi insulin
atau terapi obat hipoglikemik oral, atau kombinasi keduanya.
Bersamaan dengan itu, apa pun langkah penatalaksanaan yang
diambil, satu faktor yang tidak boleh ditinggalkan adalah
penyuluhan atau konseling pada penderita diabetes oleh para praktisi
kesehatan, baik dokter, apoteker, ahli gizi maupun tenaga medis
lainnya (Depkes RI, 2005).
a. Edukasi

15
Pengelolaan mandiri diabetes secara optimal membutuhkan
partisipasi aktif pasien dalam merubah perilaku yang tidak
sehat. Tim kesehatan harus mendampingi pasien dalam
perubahan perilaku tersebut, yang berlangsung seumur hidup.
Keberhasilan dalam mencapai perubahan perilaku,
membutuhkan edukasi, pengembangan keterampilan (skill), dan
upaya peningkatan motivasi (Perkeni, 2011).

b. Pengaturan Diit
Diit yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan
diabetes. Diit yang dianjurkan adalah makanan dengan
komposisi yang seimbang dalam karbohidrat (60-70%), protein
(10-15%) dan lemak (20-25%). Jumlah kalori disesuaikan
dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stress akut dan kegiatan
fisik yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan
mempertahankan berat badan ideal (Depkes RI, 2005).

Selain jumlah kalori, pilihan jenis bahan makanan juga


sebaiknya diperhatikan. Masukan kolesterol tetap diperlukan,
namun jangan melebihi 300 mg perhari. Sumber lemak
diupayakan yang berasal dari bahan nabati, yang mengandung
lebih banyak asam lemak tak jenuh dibandingkan asam lemak
jenuh. Sebagai sumber protein sebaiknya diperoleh dari ikan,
ayam (terutama daging dada), tahu dan tempe, karena tidak
banyak mengandung lemak (Depkes RI, 2005).

Masukan serat sangat penting bagi penderita diabetes,


diusahakan paling tidak 25 gram per hari. Disamping akan
menolong menghambat penyerapan lemak, makanan berserat
yang tidak dapat dicerna oleh tubuh juga dapat membantu
mengatasi rasa lapar yang kerap dirasakan penderita diabetes
melitus tanpa risiko masukan kalori yang berlebih. Disamping

16
itu makanan sumber serat seperti sayur dan buah-buahan segar
umumnya kaya akan vitamin dan mineral (Depkes RI, 2005).

c. Terapi Farmakologis
Apabila penatalaksanaan terapi tanpa obat (pengaturan diit
dan olahraga) belum berhasil mengendalikan kadar glukosa
darah penderita, maka perlu dilakukan langkah berikutnya
berupa penatalaksanaan terapi obat, baik dalam bentuk terapi
obat hipoglikemik oral, terapi insulin atau kombinasi keduanya
(Depkes RI, 2005).
Pada diabetes tipe 2, insulin mungkin diperlukan sebagai
terapi jangka panjang untuk mengendalikan kadar glukosa darah
jika diit dan obat hipoglikemia oral tidak berhasil
mengontrolnya. Disamping itu, sebagian pasien diabetes tipe 2
yang biasanya mengendalikan kadar glukosa darah dengan diit
dan obat kadang membutuhkan insulin secara temporer selama
mengalami sakit, infeksi, kehamilan pembedahan atau beberapa
kejadian stress lainnya (Perkeni, 2011).

d. Akifitas Fisik
Berolahraga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga
kadar gula darah tetap normal serta memperlancar aliran darah
terutama pada daerah perifer. Prinsipnya, tidak perlu olahraga
berat, olahraga ringan asal dilakukan secara teratur akan sangat
bagus pengaruhnya bagi kesehatan. Olahraga yang disarankan
adalah yang bersifat CRIPE (Continues, Rhytmical, Interval,
Progressive, Endurance Training). Sedapat mungkin mencapai
zona sasaran 75-85% denyut nadi maksimal (220-umur),
disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penderita.
Beberapa contoh olahraga yang disarankan, antara lain jalan
atau lari pagi, bersepeda, berenang dan lain sebagainya.

17
Olahraga aerobic ini, paling tidak dilakukan selama total 30-40
menit per hari didahului dengan pemanasan 5-10 menit dan
diakhiri pendinginan antara 5-10 menit. Olahraga akan
memperbanyak jumlah dan meningkatkan aktivitas reseptor
insulin dalam tubuh dan juga meningkatkan penggunaan
glukosa (Depkes RI, 2005).

Aktivitas fisik atau berolahraga dapat memperbaiki sirkulasi


darah dan memperkuat otot-otot kecil kaki dan mencegah
terjadinya kelainan bentuk kaki. Selain itu dapat meningkatkan
kekuatan otot betis, otot paha dan juga mengatasi keterbatasan
pergerakan sendi (Soegondo, 2009). Aktivitas fisik atau
berolahraga juga dipercaya mampu memberikan rasa nyaman,
mengurangi nyeri, mengurangi kerusakan saraf dan mengontrol
gula darah serta meningkatkan sirkulasi darah pada kaki
penderita diabetes melitus (Black & Hawks, 2009).

Beberapa bukti ilmiah telah menunjukkan bahwa latihan fisik


dapat membantu mencegah dan memperlampat onset penyakit
diabetes melitus tipe 2 dan mengontrol kadar gula darah.
Penelitian di Finlandia (Finnish Diabetes Prevention Study)
menunjukkan bahwa kelompok intervensi dengan latihan fisik
minimal 30 menit setiap hari dengan intensitas sedang terjadi
penurunan 39% terhadap risiko terjadinya diabetes. Penelitian
di Amerika Serikat (The US Diebetes Prevention Study) yang
melibatkan 3234 subyek penelitian dengan intoleransi glukosa
menunjukkan bahwa pada akhir penelitian kelompok dengan
intervensi latihan fisik untuk menurunkan berat badan dan
latihan fisik dengan intensitas sedang 150 menit seminggu dapat
mengurangi risiko terjadinya diabetes 58% dibandingkan
dengan kelompok yang mendapatkan intervensi obat Metformin
(Lindstrom, 2013; Knowler, 2002).

18
Efek akut dan kronis dari aktivitas fisik efek segera atau akut
dari latihan fisik pada diabetes melitus tipe 2 adalah
meningkatkan sensitivitas insulin, memfasilitasi penyerapan
glukosa dan membantu dalam mengontrol glukosa darah.
Biasanya satu sesi latihan fisik akan dapat memberikan efek
penurunan kadar glukosa darah hingga 72 jam pasca latihan.
Berikut beberapa bukti klinis terbaru yang direkomendasikan
mengenai efek akut dari latihan fisik pada diabetes melitus tipe
2:
1) Dengan semakin meningkatnya intensitas aktivitas fisik,
tubuh akan lebih banyak menggunakan karbohidrat sebagai
bahan bakar kerja otot. Sehingga aktivitas fisik akan
menyebabkan peningkatan penyerapan glukosa ke dalam
otot yang bekerja yang akan diimbangi oleh produksi
glukosa hepatik.
2) Penyerapan glukosa darah ke otot rangka yang dirangsang
oleh kerja insulin, terutama terjadi saat istirahat dan
mekanisme ini terganggu pada diabetes melitus tipe 2.
Sementara itu, kontraksi otot merangsang penyerapan
glukosa darah melalui mekanisme tambahan yang berbeda
dan tidak terganggu oleh resistensi insulin atau diabetes
melitus tipe 2. Karena keduanya merupakan dua jalur
mekanisme yang berbeda, maka penyerapan glukosa darah
ke dalam otot yang bekerja tetap berjalan normal bahkan
ketika kerja insulin terganggu pada diabetes melitus tipe 2.
Penyerapan glukosa darah ke dalam otot juga tetap
meningkat setelah latihan karena mekanisme penyerapan
glukosa darah yang dipengaruhi oleh kontraksi otot tersebut
terus berlangsung selama beberapa jam (Tan, 2015; Jonas,
2008).

19
Dengan latihan fisik yang rutin, maka sel akan terlatih dan lebih
sensitif terhadap insulin sehingga asupan glukosa yang dibawa
glukosa transporter ke dalam sel meningkat. Aktifitas fisik ini
pula yang kemudian menurunkan kadar glukosa puasa pada
sampel yang diperiksa, hal tersebut terjadi karena glukosa
yang ada dalam darah hasil dari proses pemecahan senyawa
karbohidrat mampu digunakan secara maksimal dalam proses
metabolisme yang dilakukan oleh sel-sel otot guna untuk
mencukupi kebutuhan kalori dalam beraktivitas (Tortora, 2011).

B. Buerger Allen Exercise


1. Definisi
Latihan Buerger allen pertama kali temukan oleh Buerger tahun
1926 dan kemudian diubah oleh Allen tahun 1930, dalam latihan
buerger allen teknik diterapkan dalam posisi yang berbeda untuk
merangsang otot-otot halus dan sistem vaskular, selanjutya
disempurnakan Jackson tahun 1972, menjelasakan bahwa efek gaya
gravitasi terbukti membantu untuk mengosongkan dan mengisi
kolom darah secara bergantian yang akhirnya mampu meningkatkan
transportasi dan sirkulasi darah vascular. Latihan ini dijelaskan
dalam buku keperawatan Bottomley,Sommers, dan Berry (2007
dalam Chang et al., 2015).

Merupakan aktifitas yang melibatkan berbagai sendi gerak atau


peregangan ke segala arah yang mana dapat meningkatkan aliran
darah ke daerah ekstremitas bawah (Turan, 2015). Burger Allen
adalah salah satu jenis latihan yang dilakukan dengan cara
memberikan posisi lebih rendah pada ekstremitas sehingga dapat
mempercepat proses penyembuhan luka (Vijayabarathi, 2016).

Menurut Mellisha (2016)Buerger allen exercise adalah latihan


postural aktif pada kaki untuk mencegah penyakit pembuluh darah

20
perifer dan untuk meningkatkan sirkulasi ekstremitas bawah.
Buerger allen adalah latihan untuk memperlancar sirkulasi arteri dan
mengembalikan aliran darah vena kaki ke jantung, perawat memiliki
peran penting untuk mengkaji dan mendiagnosa komplikasi vaskular
pada pasien LKD.
Pada tahap awal pasien LKD latihan buerger allen untuk
mengembalikan dan memperbaiki sirkulasiektremitas bawah (John,
Jemcy, & Hospital, 2015).

2. Manfaat
Beberapa penelitian menunjukkan manfaat Buerger Allen exercise
dan senam kaki pada pasien diabetes melitus diantaranya; Buerger
Allen merupakan salah satu jenis latihan yang dilakukan dengan cara
memberikan posisi lebih rendah pada ekstremitas sehingga dapat
mempercepat proses penyembuhan luka selain itu, latihan Buerger
Allen juga mengutamakan aktivitas dengan menggunakan perubahan
postural dan sirkulasi perifer yang dirangsang oleh modulasi
gravitasi dan menerapkan kontraksi otot (Vijayabarathi, 2016;
Chang, 2015). Hal ini meningkatkan perfusi pada ekstremitas bawah
dan mengurangi rasa nyeri ekstremitas bawah pada penderita
diabetes melitus tipe 2, dapat meningkatkan suplai darah ke
ekstremitas dan berpotensi menyebabkan terjadinya pembentukan
struktur vaskular baru, dan dapat meningkatkan suplai darah ke
ekstremitas dan berpotensi menyebabkan terjadinya pembentukan
struktur vaskular baru, sehingga dapat membantu proses
penyembuhan luka (Mellisha, 2015; Turan, 2015; Vijayabarathi,
2014).

Senam kaki bermanfaat merilekskan dan melancarkan peredaran


darah. Akibat dari gerakan senam kaki tersebut akan melacarkan
darah yang membawa oksigen dan nutrisi lebih banyak lagi ke sel-
sel kaki, dengan demikian maka ulkus pada kaki diabetik tidak akan

21
terjadi (Natalia et al., 2012). Hasil dari penelitian Yunita (2011),
menunjukkan bahwa adanya pengaruh antara senam kaki terhadap
peningkatan sirkulasi darah pada kaki penderita diabetes mellitus.
Senam kaki bermanfaat meningkatkan pemakaian glukosa oleh otot-
otot yang aktif dan banyak kapiler yang terbuka sehingga lebih
banyak reseptor insulin yang tersedia dan reseptor insulin menjadi
lebih aktif, sehingga mempengaruhi penurunan glukosa darah pada
penderita diabetes melitus (Misnadiarly, 2006).

Hasil penelitian Wahyuni dan Arisfa (2015) menunjukkan bahwa


senam kaki diabetik dapat meningkatkan ankle brachial index pasien
diabetes melitus tipe 2. Hasil penelitian dari Priyanto, (2013)
menunjukkan bahwa hasil kadar gula dan sesnsitivitas kaki jauh
lebih baik setelah diberikan senam kaki. Hasil dari penelitian
Silalahi, (2015) menunjukkan bahwa nilai sensitivitas kaki lebih
tinggi dan baik setelah diberikan senam kaki. Hasil dari penelitian
Rusli (2015) menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang kuat
antara senam kaki diabetik terhadap penurunan kadar gula darah
pada pasien diabetes melitus tipe 2.

3. Tujuan
Buerger allen exercise bertujuan untuk memperlancar dan
meningkatkan sirkulasi darah pada luka kaki diabetik dengan
gangguan peredaran darah perifer. Metode ini efektif meningkatan
status hemodinamik kaki pada pasien yang mengalami masalah pada
ekstremitas bawah (Kawasaki et al., 2013). Selanjutnya Chang et al
(2016), menjelaskan tujuan buerger allen exercise adalah untuk
meringankan gejala pada pasien dengan ektremitas bawah karena
insufisiensi arteri, latihan buerger mengosongkan pembuluh darah
yang besar dengan menggunakan perubahan postural dan
merangsang peredaran darah perifer dengan memodulasi gravitasi
dan menerapkan kontraksi otot.

22
Pergerakan pergelangan kaki dapat meningkatkan kekuatan otot
sendi ankle dan dapat meningkatkan kontraksi otot-otot kecil pada
betis sehingga terjadi pemompaan vena yang dapat meningkatkan
aliran balik vena kejantung. Sebuah kontraksi yang terjadi pada otot-
otot kecil dibetis dapat meningkatkan suplai darah yang
mengandung oksigen dan zat nutrisi dalam sirkulasi oleh jantung ke
pembuluh-pembuluh darah kaki pasien LKD (Francia et al.,2015;
Tantawy & Zakaria, 2010).

Sedangkan menurut Craven dan Hirnle (2007) latihan yang


dilakukan terdapat pergerakan dan kontraksi otot memiliki
keuntungan yaitu meningkatkan fungsi kardiopulmonal dan aliran
darah mencegah terjadinya kontraktur dan membangun kekuatan
dan massa otot. Latihan pada kaki (leg exercise) pada pasien dengan
gangguan sirkulasi dilakukan untuk mencegah komplikasi serta
untuk meningkatkan sirkulasi. Latihan yang dilakukan berupa
latihan pompa otot betis (calf pumping exercise): dorsifleksi dan
plantar fleksi.

4. Indikasi
Indikasi Buerger Allen exercise menurut Vijayabarathi (2014)
diantaranya:
a. Pasien penderita diabetes melitus tipe 2 baik laki-laki maupun
perempuan
b. Usia di atas 35 tahun
c. Penderita diabetes melitus yang berisiko rendah mempunyai
ulkus kaki diabetik (dalam kelas 0-1 sesuai dengan klasifikasi
wagner system)
d. Bukan penderita yang memiliki diabetes melitus dengan ulkus
kaki dan gangrene yang kronik
e. Bukan penderita yang mengalami penyakit neurologis dan

23
kardiologi.
Kontraindikasi pada klien yang mengalami perubahan fungsi
fisiologis seperti dipsnea atau nyeri dada, depresi, khawatir atau
cemas dan pada pasien yang activity daily living (ADL) yang kurang
baik atau bergantung, pasien dengan luka kaki dengan diabetik yang
tidak mampu melakukan range of motion (ROM) secara aktif atau
mandiri (Chang, Chang, & Chen, 2015).

5. Tahap Latihan
Menurut Allen (1930)Buerger allen exercise dilakukan dalam
beberapa langkah, yaitu: 1) langkah pertama: ekstremitas bawah
diangkat ke atas dengan sudut 45°-90°dan disanggah dengan papan
selama 2-3 menit atau sampai kulit terlihat menjadi (putih pucat
atau kesemutan); 2) langkah kedua: pasien duduk disamping
tempat tidur dengan kaki menggantung kebawah. Pasien secara
sistematis melakukan fleksi dan ekstensi kaki, kemudian pronasi
dan supinasi serta fleksi dan ekstensi jari-jari kaki. Fase ini
berlangsung selama selama 5-10 menit sampai kulit terlihat
kemerahan kembali; 3) langkah ketiga: pasien berbaring selama 10
menit dengan kedua kaki beristirahat ditempat tidur dalam selimut
selama beberapa menit untuk memperlancar sirkulasi. Ketiga posisi
diatas dapat dilakukan 2-3 siklus dalam setiap pertemuan dengan
jumlah latihan 2-4 kali pertemuan dalam sehari pada pasien LKD
Bottomley,Sommers, dan Berry (2007 dalam Chang et al., 2015).

24
C. Akle Brachial Index (ABI)
1. Pengertian
Ankle Brachial Index (ABI) merupakan pemeriksaan non invasif
pembuluh darah yang berfungsi untuk mendeteksi tanda dan gejala
klinis dari iskemia, penurunan perfusi perifer yang dapat
mengakibatkan angiopati dan neuropati diabetik. Pemeriksaan ini
dilakukan dengan cara mengukur tekanan darah pada daerah ankle
(kaki) dan brachial (lengan) dengan memerlukan probe doppler
(Antono & Hamonangani, 2014; Aboyans, 2012).

25
Ankle Brachial Pressure Index (ABPI) adalah tes non invasive
untuk mengukur rasio tekanan darah sistolik kaki (ankle) dengan
tekanan darah sistolik lengan (brachial). Tekanan darah sistolik
diukur dengan menggunakan alat yang disebut simple hand held
vascular doppler ultrasound probe dan tensimeter (manometer
mercuri atau aneroid). Pemeriksaan Ankle Brachial Pressure Index
sebaiknya dilakukan pada pasien yang mengalami luka pada kaki
untuk mendeteksi adanya insufisiensi arteri sehingga dapat
menentukan jenis luka apakah arterial ulcer, venous ulcer atau
mixed ulcer, sehingga dapat memberikan intervensi secara tepat.
Direkomendasikan menggunakan probe dengan frekuensi 8 MHz
untuk ukuran lingkar kaki normal dan 5 MHz untuk lingkar kaki
obesitas atau edema (Udjianti, 2007; Vowden & Vowden , 2001).

Gangguan aliran darah pada kaki dapat dideteksi dengan mengukur


ankle brachial index (ABI) yaitu mengukur rasio dari tekanan
sistolik di lengan dengan tekanan sistolik kaki bagian bawah
(Nussbaumerová et al., 2011; Sato et al., 2011). Ankle brachial
index dihitung dengan membagi tekanan sistolik di pergelangan
kaki dengan tekanan darah sistolik di lengan. Pemeriksaan ankle
brachial index sangat berguna untuk mengetahui adanya penyakit
arteri perifer (PAP) (Bundó et al., 2013; Le Faucheur et al., 2006).
Dengan Rumus:

Ankle Brachial Index (ABI) merupakan pemeriksaan non invasive


pada pembuluh darah yang berfungsi untuk mendeteksi tanda dan
gejala klinis dari iskhemia, penurunan perfusi perifer yang dapat

26
mengakibatkan angiopati dan neuropati diabetik. Ankle brachial
index adalah metode sederhana dengan mengukur tekanan darah
pada daerah ankle (kaki) dan brachial (tangan) dengan
menggunakan probe doppler. Hasil pengukuran ankle brachial
index menunjukkan keadaan sirkulasi darah pada tungkai bawah
dengan rentang nilai 0,90-1,2 menunjukkan bahwa sirkulasi ke
daerah tungkai normal. Nilai ini didapatkan dari hasil perbandingan
tekanan sistolik pada daerah kaki dan tangan (Gitarja, 2015).

2. Interpretasi Hasil Pengukuran Ankle Brachial Index (ABI)

Nilai ABI Interpretasi


˃ 1,3 Dugaan kalsifikasi arteri
0,91 – 1.30 Normal
0,90 – 0,81 Ringan
0,78 – 0,50 Sedang
˂ 0,50 Berat

Tabel. 2.3 Interpretasi Nilai Ankle Brachial Index


menurut American Diabetes Association (2014)

27
BAB III
ANALISA JURNAL

A. Jurnal Utama
Penelitian yang dilakukan oleh Supriyadi, Sri Nabawiyati Nurul
Makiyah, dan Novita Kurnia Sari pada tahun 2017 dengan judul
Pengaruh Buerger Allen Exercise Terhadap Ankle Branchial Index Dan
Kadar Gula Darah Sewaktu Pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 Di
Puskesmas Wilayah Kecamatan Nganjuk. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui Pengaruh Buerger Allen Exercise Terhadap Ankle Branchial
Index Dan Kadar Gula Darah Sewaktu Pada Penderita Diabetes Melitus
Tipe 2 Di Puskesmas Wilayah Kecamatan Nganjuk 2017. Metode
penelitian ini menggunakan Quasy Eksperiment Design dengan bentuk
rancangan pretest-post test dengan with control group. Teknik
pengambilan sampling menggunakan Purposive Sampling. Sampel yang
digunakan adalah 60 orang. Sampel dibagi menjadi 2 kelompok yaitu
kelompok perlakuan sejumlah 30 orang dan kelompok kontrol sejumlah
30 orang.

Kriteria responden pada penelitian ini yaitu penderita diabetes melitus


tipe 2, penderita diabetes melitus tipe 2 yang mempunyai keluarga untuk
mendampingi selama latihan, penderita diabetes melitus tipe 2 yang
belum mempunyai ulkus, penderita diabetes mellitus tipe 2 yang tidak
mempunyai komplikasi penyakit akut maupun kronik yang berbahaya.

Prosedur pengambilan data diambil dua kali periode, periode pertama


dilakukan pengumpulan data tentang pengukuran ankle brachial index
dengan menggunakan Doppler Ultrasound 8 MHz dan
spygmomanometer sedangkan pengukuran kadar gula darah sewaktu
menggunakan gluko tes (Easy Touch) pengukuran dilakukan sebelum
responden melakukan Buerger Allen Exercise pada kelompok perlakuan
dan kontrol. Kelompok perlakuan mendapat penjelasan tentang

28
penelitian dan latihan, buku panduan Buerger Allen Exercise, kaset
DVD/VCD tentang video Buerger Allen Exercise, mendapatkan papan
sebagai salah satu alat untuk latihan, dan ada pengawas latihan dari salah
satu anggota keluarga serta diberikan lembar observasi untuk
pemantauan setiap kali latihan. Pengumpulan data periode kedua tentang
pengukuran ankle brachial index dan pengukuran kadar gula darah
sewaktu setelah responden melakukan Buerger Allen exercise.

Karakteristik responden pada penelitian ini didapatkan hasil pada


kelompok perlakuan sebagian berusia 51-64 tahun (53.3%), sebagian
besar berjenis kelamin perempuan (66.7%), tingkat pendidikan hampir
setengahnya tidak sekolah (43.3%). Hampir setengahnya pekerjaan
responden sebagai ibu rumah tangga (43.3%), sebagian besar responden
lama menderita diabetes melitus antara ≥ 1 tahun - < 5 tahun (56.7%).
Hampir setengahnya responden tinggal satu rumah dengan suami
(46.7%), seluruh responden menyatakan belum pernah mendapatkan
penyuluhan tentang Buerger Allen Exercise (100%). Sebagian responden
tidak pernah diit sesuai dengan diit DM (53.3%), sebagian besar
responden tidak pernah merokok (66.7%), hampir seluruhnya responden
tidak pernah berolahraga (76.7%).

Sedangkan responden pada kelompok kontrol sebagian besar berusia 51-


64 tahun (63.3%), sebagian besar berjenis kelamin perempuan (66.7%),
tingkat pendidikan responden hampir setengahnya tidak sekolah
(33.3%). Hampir setengahnya pekerjaan responden sebagai ibu rumah
tangga (43.3%), hampir setengahnya responden lama menderita diabetes
melitus antara ≥ 5 tahun (43.3%). Hampir setengahnya responden tinggal
satu rumah dengan suami (46.7%), seluruh responden menyatakan belum
pernah mendapatkan penyuluhan tentang Buerger Allen Exercise
(100%). 76 Hampir seluruhnya responden tidak pernah diit sesuai dengan
diit DM (70%), hampir seluruhnya responden tidak pernah merokok
(70%), hampir seluruhnya responden tidak pernah berolahraga (80%).

29
Rata-rata nilai ankle brachial index sebelum dan sesudah diberikan
Buerger Allen Exercise pada kedua kelompok tidak setara. Nilai rata-rata
sebelum diberikan intervensi pada kelompok perlakuan adalah 0.84 dan
mengalami peningkatan sesudah diberikan intervensi yaitu 0.93
sedangkan pada kelompok kontrol nilai rata-rata ankle brachial index
sebelum diberikan Buerger Allen Exercise sebesar 0.86 dan mengalami
penurunan sesudah intervensi adalah 0.84. Hasil analisa signifikansi
kelompok perlakuan menunjukkan p value 0.001 dan kelompok kontrol
p value 0.006. Nilai p < 0.05 yang berarti nilai ankle brachial index
sebelum dan sesudah diberikan Buerger Allen Exercise pada kedua
kelompok bermakna secara statistik.

B. Jurnal Pendukung
1. “Pengaruh Buerger Allen Exercise Terhadap Sirkulasi Ektremitas
Bawah Pada Pasien Luka Kaki Diabetik”. Penelitian ini dilakukan
oleh tiga orang peneliti, dengan peneliti utama Jannaim dan dibantu
oleh Ridha Dharmajaya dan Asrizal pada tahun 2018.

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan desain pre


experiment pre dan post tanpa kontrol. Penentuan jumlah sampel
dalam penelitian ini dengan menggunakan power analisis. Jumlah
sampel yang didapatkan dari power 0,8, effect size 0,5, dan α= 0,05
adalah 43 responden. Sampel dalam penelitian yaitu pasien yang
menjalani perawatan modern dresing pada luka kaki diabetik di
Klinik A Wound Care Medan berjumlah 43 responden LKD. Teknik
pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
consecutive sampling.

Kriteria responden pada penelitian ini yaitu pasien yang di diagnosa


medis menderita LKD mengkonsumsi obat oral gula darah, berusia
antara 21–65 tahun, pasien menderita LKD dalam proses perawatan

30
dengan teknik modern dresing, pasien LKD dengan ulkus arteri dan
ulkus vena, pasien yang memiliki skor ABI kurang dari 0,9 mmHg.

Penelitian ini membedakan nilai ankle brachial index pada


ektremitas bawah pada pasien LKD sebelum dan sesudah intervensi
pada satu kelompok responden, peneliti mengidentifikasi responden
berdasarkan kriteria yang telah dibuat sebelumnya. Kemudian
peneliti menjelaskan tata cara proses penelitian, yaitu pertemuan
pertama semua sampel dilakukan pengisian kuesioner data
demografi responden, melakukan pemeriksaan nilai KGDS, nilai
ABI dan melakukan perawatan modern serta mengajarkan teknik
Buerger Allen exercise selama 17–23 menit. Latihan dilakukan dua
kali sehari dengan rentang jarak per enam jam selama tiga minggu.
Data yang terkumpul dianalisis dengan uji Wilcoxon signed ranks
test.

Karakteristik Responden. Hasil penelitian menunjukkan sebagian


besar responden yang mengalami gangguan sirklulasi ulkus vena dan
ulkus arteri yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 25 orang
(58,1%), dan responden berusia 56–65 tahun sebanyak 27 orang
(62,8%). Sedangkan responden dengan lama menderita LKD 1–5
tahun sebanyak 34 orang (79,1%), dan responden yang
mengkonsumsi obat oral gula darah sebanyak 38 orang (88,4%).
Distribusi frekuensi sirkulasi ABI didapatkan bahwa pada
pertemuan pada pertama sebelum intervensi nilai ABI responden
(81,4%) pada kategori gangguan ulkus vena (0,8–0,9 mmhg)
sebanyak 35 orang, dan sesudah intervensi (62,8%) mengalami
penurunan menjadi 27 orang. Nilai responden sebelum intervensi
(18,6%) pada kategori ABI gangguan ulkus arteri (0,5–0,7 mmHg)
sebanyak 8 orang, sesudah intervensi mengalami penurunan menjadi
(0,0%). Sedangkan nilai ABI responden sebelum intervensi pada

31
kategori vena normal sebanyak (0,0%), sesudah intervensi
mengalami peningkatan menjadi (37,2%) sebanyak 16 orang.

Rata-rata nilai sirkulasi didapatkan bahwa nilai rata-rata sirkulasi


ABI di ektremitas bawah pasien LKD sebelum intervensi 0,84,
median 0,83, minimum 0,73 dan maximum 1,09. Sedangkan nilai
rerata sirkulasi ABI di ektremitas bawah pasien LKD sesudah
intervensi 0,95, median 0,92, minimal 0,75, maksimal 1,18, dengan
nilai p= 0,000 yang artinya ada pengaruh yang signifikan.

2. “Buerger Allen Exercise Dan Ankle Brachial Index (ABI) Pada


Pasien Ulkus Kaki Diabetik Di Rsu Dr. Slamet Garut”. Penelitian ini
dilakukan oleh Sandra Pebrianti pada tahun 2017.

Penelitian ini menggunakan True Eksperimental dengan metode


studi pre dan post, Randomized Control Trial (RCT) Pengukuran
dilakukan penyamaran (blinding) dengan penyamaran double blind.
subyek dialokasikan Populasi pada penelitian ini adalah semua
pasien ulkus kaki diabetik yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum
dr Slamet Garut. Pengambilan sampel menggunakan rumus power
analysis dengan teknik consecutive sampling. Jumlah sampel
sebanyak 54 responden yang dibagi menjadi dua yaitu 27 untuk
responden kelompok intervensi dan 27 untuk responden kelompok
kontrol.

Latihan buerger allen exercise pada kelompok intervensi selama 15


menit sebanyak 2 kali sehari yaitu pada pukul 09.00 dan pukul 15.00.
Sebelum dan sesudah dilakukan intervensi responden di ukur nilai
Ankle Brachial Indeks (ABI) setiap hari pada hari ke- 1 sampai hari
ke-5, pengukuran sensitifitas kaki dan perbaikan luka dilakukan
pada hari ke-1 dan hari ke-5. Pada proses penelitian kelompok

32
kontrol mendapatkan buerger allen exercise hanya saja dibedakan
beradasrakan lama waktu pelakuan yaitu 3 menit.

Karakteristik Responden pada kelompok intervensi berdasarkan usia


rata-rata 52 tahun, sedangkan pada kelompok kontrol 50 tahun.
Responden pada kelompok intervensi berdasarkan rata-rata lama
DM 6 tahun sedangkan pada kelompok kontrol 4 tahun dan
responden pada kelompok intervensi berdasarkan lama menderita
luka 7 hari sedangkan pada kelompok kontrol 5 hari. Responden
dengan riwayat hipertensi terbanyak adalah 37 (74%). Menurut
kebiasaan merokok, sebanyak 29 (52%). Sedangkan menurut lkasi
luka terbanyak pada jari kaki 28 (48%).

Pada penelitian ini didapatkan hasil terdapat perbedaan rata-rata nilai


ABI yang bermakna sebelum dan setelah 5 hari diberikan buerger
allen exercsise pada kelompok intervensi dengan nilai P Value 0.00,
sedangkan pada kelompok kontrol tidak ada perbedaan nilai ABI
sebelum dan setelah diberikan buerger allen exercise dengan P Value
0.38.

Ada perbedaan Sensitifitas kaki sebelum dan setelah di berikan


buerger allen exercise selama 5 hari pada kelompok intervensi
dengan P Value 0.00, sedangkan pada kelompok kontrol tidak ada
perbedaan sensitifitas kaki sebelum dan sebelum diberikan buerger
allen exercise dengan nilai P Value 0.06

Ada perbedaan skor MUNGS sebelum dan setelah di berikan


buerger allen exercise selama 5 hari pada kelompok intervensi
dengan P Value 0.00, sedangkan pada kelompok kontrol tidak ada
perbedaan skor MUNGS sebelum dan setelah diberikannya buerger
allen exercise dengan nilai P Value 0.57.

33
Berdasarkan hasil pada penelitian ini didapatkan selisih rata-rata
nilai ABI kelompok intervensi dan kontrol setelah perlakuan 0.1148
dengan taraf signifikansi 0.00 yang berarti lebih kecil dari 0.05.
Dapat disimpulkan bahwa setelah perlakuan terlihat bahwa selisih
rata-rata nilai ABI pada kelompok intervensi lebih tinggi dari pada
selisih rata-rata ABI kelompok kontrol. Jadi, selisih rata-rata nilai
ABI kelompok intervensi berbeda secara signifikan dengan selisih
rata-rata nilai ABI kelompok kontrol.

Selisih rata-rata nilai sensitifitas kaki kelompok intervensi dan


kontrol setelah perlakuan 0.185 dengan taraf signifikansi 0.16 yang
berarti lebih besar dari 0.05. Dapat disimpulkan bahwa setelah
perlakuan pada kelompok intervensi dan kontrol meskipun terdapat
perbedaan selisih ratarata nilai sensitifitas kaki antara kedua
kelompok, namun perbedaan tersebut bukan merupakan perbedaan
yang signifikan.

Selisih rata-rata skore MUNGS kelompok intervensi dan kontrol


setelah perlakuan -1.963 dengan taraf signifikansi 0.00 yang berarti
lebih kecil dari 0.05 dapat disimpulkan bahwa setelah perlakuan
terlihat bahwa selisih rata-rata skore perbaikan luka pada kelompok
intervensi lebih tinggi dari pada selisih rata-rata perbaikan luka
kelompok kontrol.

3. “A study to assess the effectiveness of burger allen exercise on


improving peripheral circulation among type 2 Diabetes Mellitus
patients in selected hospitals of Nadiad city”. Penelitian ini
dilakukan oleh satu orang peneliti, yaitu Vipir Patidar pada tahun
2018.

Metode yang digunakan pada penelitian ini yaitu Quasy Eksperiment


Design dengan one group Pretest-posttest design. Populasi pada

34
penelitian ini adalah pasien dengan Diabetes Militus tipe 2. Teknik
pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah non
probability purposive sampling, dengan jumlah sampel 30 pasien
yang terkena Diabetes Militus tipe 2 di Rumah Sakit Kota Nadiad.
Data yang terkumpul dianalisis dengan uji statistik Paired T test.
Kemudian dilakukan perbedaan nilai sebelum dan sesudah
perlakukan untuk mengetahui pengaruh variabel independen
terhadap variabel dependen.

Karakteristik responden pada penelitian ini adalah laki-laki


berjumlah 18 orang dan perempuan 12 orang dengan usia 50-60
tahun berjumlah 8 orang, 60-70 tahun berjumlah 15 orang dan usia
70-80 tahun berjumlah 7 orang. Dengan pasien yang menderita
Diabetes Militus tipe 2 selama < 5 tahun berjumlah 4 orang, 5-10
tahun berjumlah 18 orang, 10-15 tahun berjumlah 6 orang dan > 5
tahun berjumlah 2 orang. Dengan kebiasaan mengkonsumsi alkohol
berjumlah 4 orang, merokok 1 orang, mengkonsumsi narkotika
berjumlah 2 orang dan yang tidak mengkonsumsi alkohol, rokok dan
narkotika berjumlah 23 orang.

Hasil penelitian menunjukan bahwa nilai rata-rata sebelum diberikan


Buerger Allen exercise pada sirkulasi perifer pada pasien dengan
Diabetes Militus tipe 2 pada kaki kanan dan kaki kiri masing-masing
adalah 4.93 dan 4.9. setelah diberikan Buerger Allen exercise pada
sirkulasi perifer pada pasien dengan Diabetes Militus tipe 2 pada
kaki kanan dan kaki kiri masing-masing adalah 2.76 and 2.63.

C. Analisa PICO
1. Problem
Diabetes melitus adalah salah satu gangguan metabolik akibat
pankreas tidak memproduksi cukup insulin atau tubuh tidak dapat
menggunakan insulin yang telah diproduksi secara efektif, yang

35
ditandai dengan adanya peningkatan konsentrasi glukosa darah
(hiperglikemia), biasanya disertai dengan munculnya gejala utama
yang khas, seperti terbuangnya glukosa bersama dengan urin
(glukosuria) (Kemenkes RI, 2014; Bilous & Donelly, 2014;
Soegondo, 2009).

Hiperglikemia jangka panjang dan tidak terkontrol dapat


menyebabkan komplikasi mikrovaskuler yang kronis (penyakit
ginjal dan mata) dan komplikasi pada neuropati (penyakit pada
saraf). Diabetes melitus juga disertai dengan peningkatan insiden
penyakit makrovaskuler yang mencakup infark miokard, stroke dan
penyakit arteri perifer. Dampak yang paling umum ditimbulkan oleh
penyakit arteri perifer adalah timbul ulkus, gangren, dan
penyembuhan luka yang lambat akibat sirkulasi darah yang buruk
pada ekstremitas

Pada dasarnya ada dua pendekatan dalam penatalaksanaan diabetes,


yang pertama pendekatan tanpa obat dan yang kedua adalah
pendekatan dengan obat. Dalam penatalaksanaan diabetes melitus,
langkah pertama yang harus dilakukan adalah penatalaksanaan tanpa
obat berupa pengaturan diit dan olahraga. Apabila dengan langkah
pertama ini tujuan penatalaksanaan belum tercapai, dapat
dikombinasikan dengan langkah farmakologis berupa terapi insulin
atau terapi obat hipoglikemik oral, atau kombinasi keduanya.).

Penggunaan obat pada penderita diabetes melitus memiliki beberapa


kelemahan antara lain biaya yang mahal, membutuhkan kepatuhan
karena membutuhkan waktu yang relative lama untuk dapat
menurunkan tekanan darah serta sering timbul kebosanan dalam
mengkonsumsi obat pada pasien diabetes mellitus.

2. Intervention

36
Chang (2016) menyimpulkan bahwa Buerger Allen exercise
merupakan latihan aktivitas yang ideal dan non-invasif untuk
penderita diabetes melitus dengan penyakit arteri perifer. Buerger
Allen exercise memiliki beberapa keunggulan selain metodenya
mudah untuk dipelajari karena bertumpu pada pergerakan kaki yang
diselingi dengan elevasi, teknik ini mempunyai risiko atau efek
samping yang sangat rendah untuk penderita diabetes melitus.

Terapi non-farmakologi ini merupakan metode untuk memperlancar


dan meningkatkan sirkulasi darah pada luka kaki diabetik dengan
gangguan peredaran darah perifer. Metode ini efektif meningkatan
status hemodinamik kaki pada pasien yang mengalami masalah pada
ekstremitas bawah (Kawasaki et al., 2013).

Elevasi pada langkah pertama berfungsi mengembalikan aliran


darah vena kaki ke jantung. Latihan yang dilakukan berupa latihan
pompa otot betis (calf pumping exercise): dorsifleksi dan plantar
fleksi yang dapat meningkatkan kontraksi otot-otot kecil pada betis
sehingga dapat meningkatkan suplai darah yang mengandung
oksigen dan zat nutrisi dalam sirkulasi oleh jantung ke pembuluh-
pembuluh darah kaki. Hal ini dapat meningkatkan fungsi
kardiopulmonal serta mencegah terjadinya kontraktur dan
membangun kekuatan dan massa otot.

3. Comparison
a. Penelitian yang dilakukan oleh Rahmi Affiani dan Puji Astuti
pada tahun 2017 yang bejudul Efektifitas Spa Kaki Diabetik
Terhadap Sirkulasi Darah Perifer Pada Pasien Diabetes Mellitus
Tipe 2 di wilayah Kerja Puskesmas Wonokromo Surabaya. Pada
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas spa kaki
diabetic terhadap sirkulasi darah perifer, sampel pada penlitian
46 orang, dibagi 2 kelompok yaitu perlakuan dan kontrol

37
masing-masing 23 orang. Hasil penelitian pada kelompok
perlakuan sebelum dilakukan spa kaki diabetik sebagian besar
(52,2%) sirkulasi darah perifer ringan dan kelompok kontrol
sebagian besar (60,9%) juga ringan. Setelah dilakukan spa kaki,
kelompok perlakuan hampir seluruhnya (91,3%) sirkulasi darah
perifer normal, sedangkan pada kelompok kontrol sebagian
besar (73,9%) tetap ringan. Analisa uji Mann-Whitney
P=0,000<α= 0,05, sehingga Ho ditolak artinya spa kaki diabetic
efektif terhadap sirkulasi darah perifer.
b. Penelitian yang dilakukan oleh Galvani Volta Simanjuntak dan
Mathalena Simamora pada tahun 2017 yang berjudul Pengaruh
Latihan Relaksasi Otot Progresif Terhadap Kadar Gula Darah
Dan Ankle Brachial Index Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe
II. Pada penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh
latihan relaksasi otot progresif terhadap kadar gula darah dan
nilai ABI pada pasien DM tipe II. Sample pada penelitian ini
sebanyak 30 orang. Hasil penelitian menunjukan bahwa ada
perbedaan signifikan kadar gula darah sebelum dan setelah
dilakukan intervensi (pvalue 0,001). Namun, tidak ada
perbedaan signifikan nilai ABI sebelum dan setelah intervensi
(0,997). Hal ini menunjukkan bahwa relaksasi otot progresif
efektif dalam menurunkan kadar gula darah, namun tidak dapat
meningkatkan nilai ABI.

4. Outcome
Setelah dilakukan intervensi Buerger Allen exercise diharapkan nilai
ABI dalam rentang normal dan kadar gula darah terjadi penurunan,
diharapkan teknik Buerger Allen exercise ini dapat diaplikasikan di
Rumah Sakit maupun dilakukan secara mandiri oleh klien penderita
Diabetes Milletus Tipe 2.

38
39
BAB IV
ANALISA SWOT

Buerger Allen Exercise pada pasien Diabetes Mellitus di RS Premier Jatinegara.


Adapun pendekatan analisis situasi pada program inovasi ini menggunaan analisis
SWOT (Strength, Weakness, Opportunities, Threats) sebagai berikut:
A. Strength (Kekuatan)
Kekuatan dalam program inovasi yang akan dilaksanakan di RS Premier
Jatinegara antara lain
1. Klinis
a. RS Premier Jatinegara mendukung kegiatan EBN
b. RS Premier Jatinegara memberikan kesempatan bagi mahasiswa
Ners STIKes Pertamedika untuk melakukan pemaparan terhadap
ilmu-ilmu yang dapat diterapkan di Rumah Sakit.
c. RS Premier Jatinegara sudah memiliki tim wound care
d. RS Premier Jatinegara memiliki ruangan khusus bedah
e. RS Premier Jatinegara memiliki kapasitas tempat tidur sebanyak 44
bed yang didominasi kasus bedah
f. Jumlah perawat di ruang perawatan lantai 7 terdiri dari 24 perawat
yang dilatarbelakangi pendidikan D3 Keperawatan dan S1
Keperawatan

2. Intervensi
a. Perawat di ruangan melibatkan pasien dan keluarga dalam proses
pemberian asuhan keperawatan demi tercapainya intervensi pada
pasien Diabetes Mellitus
b. Buerger Allen Exercise merupakan latihan aktivitas yang non invasif
c. Buerger Allen Exercise mudah dilakukan secara mandiri.

B. Weakness (Kelemahan)
1. Klinis
a. Mobilitas perawat yang tinggi
b. Keterbatasan waktu

40
c. Hasil tidak dapat di evaluasi secara mandiri

2. Intervensi
a. Pasien kurang memahami tentang definisi, prosedur serta manfaat
dari Buerger Allen Exercise
b. Pasien tidak kooperatif
c. Prosedur Buerger Allen Exercise membutuhkan waktu yang tidak
singkat (dalam beberapa siklus)
d. Untuk mengukur efektifitas dari Buerger Allen Exercise dibutuhkan
alat USG doppler atau Ankle Brachial Index (ABI)

C. Opportunities (Peluang)
1. Klinis
a. Belum pernah dilaksanakan Buerger Allen Exercise di RS Premier
Jatinegara
b. Pasien tidak mengetahui manfaat dan prosedur Buerger Allen
Exercise
c. Mahasiswa Ners STIKes Pertamedika diberi kesempatan untuk
menerangkan EBN tentang Buerger Allen Exercise di RS Premier
Jatinegara
d. Adanya pasien dengan Diabetes Mellitus di RS Premier Jatinegara

2. Intervensi
a. Pasien dapat diminta control rutin untuk mengetahui efektifitas dari
Buerger Allen exercise dan terkait diabetes mellitus yang diidapnya.

D. Threats (Ancaman)
1. Klinis
a. Pasien menolak untuk dilakukannya Buerger Allen Exercise
b. Keluarga menolak karena tidak mengerti tentang prosedur yang akan
dilakukan
2. Intervensi
a. Adanya pemberian terapi farmakologi

41
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran

42
DAFTAR PUSTAKA

Jannaim, Dharmajaya Ridha, Asrizal. (2018). Pengaruh Buerger allen exercise


terhadap sirkulasi ekstremitas bawah pada pasien luka kaki diabetik.
Medan: Universitas Sumatera Utara. Diakses dari
https://media.neliti.com/media/publications/272611-none-dedd2bbb.pdf
pada tanggal 25 Maret 2019.

Pebrianti Sandra. (2017). Buerger Allen Exercise dan Ankle Branchial Index (ABI)
Pada Pasien Ulkus Kaki Diabetk Di RSU DR. Slamet Garut . Bandung:
Universitas Padjajaran. Diakses dari
https://jurnal.umj.ac.id/index.php/ijnsp/article/view/2710 pada tanggal 25
Maret 2019

Supriyadi, dkk. (2017). Pengaruh Buerger Allen Exercise Terhadap Ankle


Brachial Index Dan Kadar Gula Darah Sewaktu Pada Penderita Diabetes
Melitus Tipe 2 Di Puskesmas Wilayah Kecamatan Nganjuk. Yogyakarta:
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Diakses dari
http://repository.umy.ac.id/handle/123456789/20862?show=full pada
tanggal 25 Maret 2019

Patidar, Vipin. (2018). A study to assess the effectiveness of burger allen exercise
on improving peripheral circulation among type 2 Diabetes Mellitus
patients in selected hospitals of Nadiad city. Diakses dari
https://www.openaccessjournals.com/articles/a-study-to-assess-the-
effectiveness-of-burger-allen-exercise-on-improving-peripheral-
circulation-among-type-2-diabetes-m.pdf pada tanggal 27 Maret 2019

43
LAMPIRAN
DOKUMENTASI
SESI TANYA JAWAB

A. Pertanyaan
1. Apakah buerger allen exercise efektif bila dilakukan pada pasien dm
yg sudah memiliki luka sudah komplikasi bahkan gangren maupun
diviti?
2. Kapan waktu yg efektif untuk dilakukan buerger allen exercise? Dan
apa rasionalnya?
3. Apakah sudah pernah kalian lakukan buerger allen exercise di rs
premier ini? Jika sudah, bagaimana respon pasien?

B. Jawaban
1. Buerger allen exercise merupakan tindakan pencegahan sebelum
terjadinya komplikasi pada diabetes mellitus tipe 2, jika sudah
mengalami ganggren hanya bisa dilakukan pada derajat luka 0 dan 1
menurut klasifikasi wagner, tujuannya untuk melancarkan sirkulasi
perifer kaki agar nutrisi dan oksigen sampai ke sel yag mengalami
kerusakan sehingga mempercepat proses penyembuhan luka. Jika
sudah terjadi dvt harus dilakukan penyembuhan terlebih dahulu
(pemberian antikoagulan), setelah itu bisa dilakukan Buerger allen
exercise untuk mempertahankan sirkulasi yang baik.

2. Pada dasaranya Buerger allen exercise dapat dilakukan kapan saja,


selama memiliki waktu senggang.

3. Sayangnya belum pernah dilakukan kepada pasien, karena


keterbatasan waktu, dan lagi tujuan dari seminar EBN sendiri lebih
kearah sharing mengenai tindakan mandiri keperawatan terbaru
berdasarkan penelitian atau jurnal yang ada, bukan melakukan riset.
EVALUASI PELAKSANAAN

Pelaksanaan berlangsung dengan baik sesuai dengan susunan rencana yang telah
dibuat, pemaparan singkat, padat dan jelas, audience antusias dalam mengikuti
seminar, mereka ingin mengetahui lebih banyak tentang Buerger allen exercise
dan diharapkan intervensi Buerger allen exercise ini dapat dilakukan di RS
Premiere Jatinegara karena mudah dilakukan secara mandiri oleh pasien.

Persiapan yang kurang matang dan pendalaman materi tentang Buerger allen
exercise yang kurang baik membuat kelompok agak kesulitan untuk menjawab
pertanyaan dari audience.

Anda mungkin juga menyukai