Anda di halaman 1dari 35

Manajemen Risiko Mutu

Pendahuluan
Salah satu ciri khusus industri farmasi adalah merupakan salah satu industri yang berisiko tinggi.
Obat, sebagai produk yang dihasilkan oleh industri farmasi, baik dalam proses pembuatannya
penggunaan maupun komponennya mengandung risiko pada tingkatan yang berbeda. Risiko
terhadap mutu obat “hanyalah” salah satu komponen dari keseluruhan resiko. Prinsip utama dari
Manajemen Risiko adalah bahwa mutu produk hendaklah dipertahankan selama siklus-hidup
produk agar atribut penting bagi mutu produk tetap konsisten dengan yang digunakan dalam uji
klinis.

Sekedar mengingatkan kembali, berikut persyaratan kualitas obat menurut Academy of


Pharmaceutical Science, Amerika Serikat :

1. Mengandung kuantitas masing-masing bahan aktif sesuai dengan persyaratan pada etiket,
yang masih dalam nilai batas sesuai dengan spesifikasinya.
2. Mengandung kuantitas bahan aktif yang sama, dalam setiap satuan takaran obat. Tidak
boleh mengandung bahan lain, yang tidak dinyatakan secara jelas.
3. Sampai saat digunakan oleh penderita, tetap terjaga potensi, penampilan dan ketersediaan
terapeutikanya untuk tujuan pengobatan.
4. Pada saat digunakan, melepaskan bahan aktif agar supaya tercapai secara penuh
ketersediaan biologisnya.

Suatu pendekatan Manajemen Risiko Mutu yang efektif dapat lebih menjamin :

 mutu yang tinggi dari produk kepada pasien,


 membuat pengambilan keputusan lebih baik bila terjadi masalah mutu potensial selama
pengembangan dan pembuatan,
 dapat memberi kemudahan dalam pengambilan keputusan dengan informasi yang lebih
lengkap,
 dapat meningkatkan keyakinan Badan POM akan kemampuan perusahaan dalam
menangani risiko potensial dan secara menguntungkan dapat memengaruhi tingkat dan
rentang pengawasan Badan POM.

Pengertian
Secara umum, RISIKO (risk) diartikan sebagai kombinasi kemungkinan terjadinya kejadian
yang membahayakan (harm) dan tingkat keparahan (severity) dari bahaya tersebut (ISO /EIC
Guide 51). Sedangkan Manajemen Risiko (risk management) didefinisikan sebagai aplikasi
sistematis terhadap kebijakan manajemen mutu, prosedur, serta penerapan sampai tugas
penilaian, pengendalian, komunikasi dan peninjauan resiko. Manajemen Risiko Mutu (Quality
Risk Management) diartikan sebagai proses sistematik untuk penilaian, pengendalian,
komunikasi serta pengkajian risiko mutu obat selama siklus-hidup produk (product lifecycle).
Dua prinsip utama dalam Manajemen Risiko Mutu :
1. Evaluasi risiko terhadap mutu hendaklah berdasarkan pengetahuan ilmiah dan dikaitkan
dengan perlindungan pasien sebagai tujuan akhir; dan
2. Tingkat usaha, formalitas, dan dokumentasi pengkajian risiko mutu hendaklah setara
dengan tingkat risiko yang ditimbulkan

Tim untuk Manajemen Risiko :

 Merupakan tim interdisipliner yang khusus dibentuk untuk menangani Pengkajian Risiko
 Terdiri dari tenaga ahli dari berbagai bidang yang dapat memberikan kontribusi dalam
pemecahan masalah
 Dipimpin oleh seorang penanggung jawab yang berkewajiban untuk menetapkan proses
pengkajian, melibatkan sumber yang memadai dan mengkaji risiko mutu secara
menyeluruh

Proses Umum Manajemen Risiko Mutu

Model untuk Manajemen Risiko Mutu diuraikan dalam diagram berikut :


Bagan pengambilan keputusan tidak ditunjukkan dalam diagram di atas karena keputusan dapat
terjadi pada tahap manapun di dalam proses. Keputusan dapat kembali ke langkah sebelumnya
dan mencari informasi lebih jauh, untuk menyesuaikan pengkajian model risiko atau bahkan
mengakhiri proses manajemen risiko berdasarkan informasi yang menunjang suatu keputusan.
Catatan: “tidak dapat diterima” dalam diagram alur tidak hanya mengacu pada persyaratan
peraturan, perundang-undangan atau regulasi, tetapi juga terhadap kebutuhan untuk meninjau
kembali proses penilaian risiko.

Memulai Proses Manajemen Risiko Mutu

Manajemen Risiko Mutu mencakup proses sistematis yang dirancang untuk mengoordinasi,
memberi kemudahan dan membuat pengambilan keputusan lebih baik secara ilmiah dalam hal
risiko. Langkah yang mungkin digunakan untuk memulai dan merencanakan proses Manajemen
Risiko Mutu mencakup hal berikut:

 Tetapkan masalah dan/atau risiko yang dipersoalkan, termasuk asumsi terkait yang
mengidentifikasi potensi risiko.
 Kumpulkan latar belakang informasi dan/ atau data bahaya potensial, ancaman atau
pengaruh pada kesehatan manusia yang relevan untuk penilaian risiko.
 Tentukan pemimpin dan sumber daya yang diperlukan.
 Tetapkan batas waktu, hasil yang akan dilaporkan dan tingkat pengambilan keputusan
yang layak untuk proses manajemen risiko.

Penilaian Risiko

Penilaian risiko terdiri dari identifikasi bahaya, dan analisis serta evaluasi risiko terkait dengan
paparan bahaya (seperti yang dijelaskan di bawah ini). Penilaian risiko mutu dimulai dengan
penetapan masalah atau risiko yang dipersoalkan yang diuraikan dengan baik . Ketika risiko
yang dimaksud telah diuraikan dengan baik, perangkat manajemen mutu yang layak dan jenis
informasi yang diperlukan untuk mengarahkan pertanyaan tentang risiko akan lebih mudah
teridentifikasi. Sebagai bantuan untuk menguraikan secara jelas risiko untuk tujuan penilaian
risiko, berikut ini tiga pertanyaan dasar yang dapat dipakai:
1. Apa yang mungkin menjadi salah?
2. Probabilitas akan terjadi kesalahan?
3. Apa konsekuensi yang mungkin terjadi (tingkat keparahan)?

Pengendalian Risiko

Pengendalian risiko mencakup pengambilan keputusan untuk mengurangi dan/ atau menerima
risiko. Tujuan pengendalian risiko adalah untuk mengurangi risiko sampai batas yang dapat
diterima. Tingkat usaha yang digunakan untuk mengendalikan risiko hendaklah sebanding
dengan signifikan risiko. Pembuat keputusan mungkin menggunakan proses yang berbeda,
termasuk analisis keuntungan-biaya, untuk memahami tingkat yang optimal terhadap
pengendalian risiko.
Pengendalian risiko terfokus pada pertanyaan di bawah ini:
– Apakah risiko tersebut melebihi tingkat yang dapat diterima?
– Apa yang dapat dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan risiko?
– Apa keseimbangan yang layak antara keuntungan, risiko dan sumber daya?
– Apakah muncul risiko baru sebagai hasil identifikasi risiko yang sedang dikendalikan?

Kajian Risiko

Ketika proses Manajemen Risiko Mutu telah dimulai, proses tersebut hendaklah dilanjutkan
untuk digunakan dalam kejadian yang mungkin memberi dampak pada keputusan Manajemen
Risiko Mutu awal, baik kejadian tersebut direncanakan (misal, hasil pengkajian produk, inspeksi,
audit, pengendalian perubahan) maupun yang tidak direncanakan (misal, akar penyebab masalah
dari investigasi penyimpangan, penarikan kembali produk jadi).
Frekuensi pengkajian hendaklah didasarkan pada tingkat risiko.
Pengkajian risiko dapat termasuk mempertimbangkan kembali keputusan penerimaan risiko.

METODOLOGI MANAJEMEN RISIKO (MRM)


Manajemen Risiko Mutu mendukung pendekatan secara ilmiah dan praktis dalam pengambilan
keputusan. MRM menyediakan metode terdokumentasi, transparan, serta dapat diulang dalam
menyelesaikan langkah proses Manajemen Risiko Mutu berdasarkan pengkajian pengetahuan
terkini tentang penilaian probabilitas (probability, p), tingkat keparahan (severity, s)dan kadang-
kadang kemampuan mendeteksi risiko (detection, d).

Industri farmasi dan Badan POM dapat menilai dan mengelola risiko dengan menggunakan
perangkat manajemen risiko dan/ atau prosedur internal (misal, prosedur tetap).

Berikut ini adalah beberapa saja daftar perangkat tersebut:


– Metode dasar manajemen risiko (flowcharts, check sheets, dll.)
– Failure Mode Effects Analysis (FMEA)
– Failure Mode, Effects and Criticality Analysis (FMECA)
– Fault Tree Analysis (FTA)
– Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP)
– Hazard Operability Analysis (HAZOP)
– Preliminary Hazard Analysis (PHA)
– Penyaringan dan pemberian skala (pemeringkatan) risiko
– Perangkat statistik pendukung

Cara Melakukan Manajemen Risiko Mutu


1. Lakukan Kajian Awal (identifikasi) masalah

Basic Risk Management Facilitation Method (BRFM)

 Flowchart
 Check Sheets
 Process mapping
 Cause and Effect Diagrams (Ishikawa / fish bone / 6M)

==> Metoda untuk support risk identification

Diagram Ishikawa (Fish Bone Analysis)

2. Lakukan kajian terhadap “tingkat risiko”, menggunakan FMEA

FMEA merupakan teknik evaluasi tingkat keandalan dari sebuah sistem untuk menentukan efek
dari kegagalan dari sistem tersebut. Kegagalan digolongkan berdasarkan dampak yang diberikan
terhadap kesuksesan suatu misi dari sebuah sistem.
Istilah-istilah yang digunakan dalam FMEA berbeda dengan yang digunakan dalam standar
manajemen risiko, tetapi pengertiannya sama. Istilah-istilah tersebut adalah :

 Kesalahan (failure) adalah kegagalah proses atau produk


 Kegawatan (severity) adalah dampak yang timbul apabila suatu kesalahan (failure) terjadi
 Kejadian (occurance) adalah kemungkinan atau probabilitas atau frekuensi terjadinya
kesalahan
 Deteksi (detection) adalah kemungkinan untuk mendeteksi suatu kesalahan akan terjadi
atau sebelum dampak kesalahan tersebut terjadi
 Tingkat prioritas risiko (Risk Priority Number-RPN) adalah hasil perkalian dari masing-
masing tingkat kegawatan kejadian dan deteksi.

Terdapat sepuluh langkah dalam penerapan FMEA, yaitu ;

Langkah ke-1 : Peninjauan Proses


Tim FMEA harus meninjau ulang peta proses bisnis atau bagan alir yang ada untuk di analisis.
Ini perlu dilakukan untuk mendapatkan kesalahan paham terhadap proses tersebut. Dengan
menggunakan peta atau bagan alir tersebut, seluruh anggota tim haruslah melakukan peninjauan
lapangan (process walk-through) untuk meningkatkan pemahaman terhadap proses yang
dianalisa. Bila peta proses atau bagan alir belum ada maka tim harus menyusun peta proses atau
bagan alir tersebut sebelum memulai proses FMEA itu sendiri.
Langkah ke-2 : Brainstorming berbagai bentuk kemungkinan kesalahan atau kegagalan proses
Setelah melakukan peninjauan lapangan terhadap proses yang akan di analisis maka setiap
anggota tim akan melakukan brainstorming terhadap kemungkinan kesalahan atau kegagalan
yang dapat terjadi dalam proses tersebut. Proses brainstorming ini dapat berlangsung lebih dari
satu kali untuk memperoleh satu daftar yang komperehensif terhadap segala kemungkinan
kesalahan yang dapat terjadi. Hasil brainstorming ini kemudian dikelompokkan menjadi
beberapa penyebab kesalahan seperti manusia, mesin/peralatan, material, metode kerja dan
lingkungan kerja. Cara lain untuk mengelompokkan adalah menurut jenis kesalahan itu sendiri,
misalnya kesalahan pada proses welding, kesalahan elektrik, kesalahan mekanis dan lain-lain.
Pengelompokkan ini akan mempermudah proses analisis nantinya dan untuk mengetahui dampak
satu kesalahan yang mungkin menimbulkan kesalahan yang lain.
Langkah ke-3 ; membuat daftar dampak tiap-tiap kesalahan

Setelah diketahui semua daftar kesalahan yang mungkin terjadi maka dimulai menyusun dampak
dari masing-masing kesalahan tersebut. Untuk setiap kesalahan, dampak yang terjadi bisa hanya
satu, tetapi mungkin juga bisa lebih dari satu. Bila lebih dari satu maka semuanya harus
ditampilkan. Proses ini harus dilaksanakan dengan cermat dan teliti, karena apa yang terlewat
dari proses ini tidak akan mendapatkan perhatian untuk ditangani.

Kriteria dampak, kemungkinan dan deteksi ini harus ditetapkan terlebih dahulu. Kriteria mula-
mula secara kualitatif dan kemudian dibuat secara kuantitatif. Apabila bias langsung dibuat
secara kuantitatif akan lebih baik. Skala kriteria untuk ketiga jenis penilaian ini juga harus sama,
misalnya terbagi dalam skala 5 atau skala 10. Nilai 1 terendah dam nilai 5 atau 10 tertinggi.
Penilaian peringkat dari ketiga variabel yang dinilai dilakukan secara konsensus dan disepakati
oleh seluruh anggota tim.

Langkah ke-4 : menilai tingkat dampak (severity) kesalahan

Penilaian terhadap tingkat dampak adalah perkiraan besarnya dampak negatif yang diakibatkan
apabila kesalahan terjadi. Bila pernah terjadi maka penilaian akan lebih mudah, tetapi bila belum
pernah maka penilaian dilakukan berdasarkan perkiraan.
Saverity Level

Langkah ke-5 : menilai tingkat kemungkinan terjadinya (occurance) kesalahan

Sama dengan langkah keempat, bila tersedia cukup data maka dapat dihitung probabilitas atau
frekuensi kemungkinan terjadinya kesalahan tersebut. Bila tidak tersedia maka harus digunakan
estimasi yang didasarkan pada pendapat ahli (expert judgement) atau metode lainnya.
Occurrence Level

Langkah ke-6 : menilai tingkat kemungkinan deteksi dari tiap kesalahan atau dampaknya

Penilaian yang diberikan menunjukkan seberapa jauh kita dapat mendeteksi kemungkinan
terjadinya kesalahan atau timbulnya dampak dari suatu kesalahan. Hal ini dapat diukur dengan
seberapa jauh pengendalian atau indikator terhadap hal tersebut tersedia. Bila tidak ada makan
nilainya rendah, tetapi bila indicator sehingga kecil kemungkinan tidak terdeteksi maka nilainya
tinggi.
Detection Level

Langkah ke-7 : hitung tingkat prioritas risiko (RPN) dari masing-masing kesalahan dan
dampaknya

Nilai prioritas risiko (RPN) merupakan perkalian dari :

RPN = (NILAI DAMPAK) X (NILAI KEMUNGKINAN) X (NILAI DETEKSI)

Total nilai RPN ini dihitung untuk tiap-tiap kesalahan yang mungkin terjadi. Bila proses tersebut
terdiri dari kelompok-kelompok tertentu maka jumlah keseluruhan RPN pada kelompok tersebut
dapat menunjukkan bahwa betapa gawatnya kelompok proses tersebut bila suatu kesalahan
terjadi. Jadi terdapat tingkat prioritas tertinggi untuk jenis kesalahan dan jenis kelompok proses.
Langkah ke-8 : urutkan prioritas kesalahan yang memerlukan penanganan lanjut

Setelah dilakukan perhitungan RPN untuk masing-masing potensi kesalahan maka dapat disusun
prioritas berdasarkan nilai RPN tersebut. Apabila digunakan skala 10 untuk masing-masing
variable maka nilai tertinggi RPN adalah = 10 x 10 x 10 = 1000. Bila digunakan skala 5, maka
nilai tertinggi adalah = 5 x 5 x 5 =125. Terhadap nilai RPN tersebut dapatdibuat klasifikasi
tinggi, sedang dan rendah atau ditentukan secara umum bahwa untuk nilai RPN di atas 250 (cut-
off points) harus dilakukan penanganan untuk memperkecil kemungkinan terjadinya kesalahan
dan dampaknya serta pengendalian deteksinya. Penentuan klasifikasi atau nilai batas penanganan
ditentukan oleh kepala tim atau oleh manajemen sesuai dengan jenis proses yang dianalisis.

Langkah ke-9 : lakukan tindak mitigasi terhadap kesalahan tersebut

Idealnya semua kesalahan yang menimbulkan dampak tinggi harus dihilangkan sepenuhnya.
Penanganan dilakukan secara serentak untuk ketiga aspek, yaitu meningkatkan kemampuan
untuk mendeteksi kesalahan, mengurangi dampak kesalahan bila terjadi.

Langkah ke-10 : hitung ulang RPN yang tersisa untuk mengetahui hasil dari tindak lindung yang
dilakukan.

Segera setelah tindak lindung risiko dilaksanakan, harus dilakukan pengukuran ulang atau
perkiraan nilai deteksi, nilai dampak dan nilai kemungkinan timbulnya kesalahan. Setelah itu
dilakukan perhitungan nilai tingkat prioritas risiko kesalahan tadi. Hasil tindak lindung tadi harus
menghasilkan penurunan nilai RPN yang cukup signifikan ke tingkat yang cukup aman. Bila
belum tercapai maka tetap perlu dilakukan tindak lindung lebih lanjut.

Bagan FMEA

Abstract

Pekerjaan konstruksi merupakan pekerjaan yang banyak mengandung risiko, salah satunya
adalah risiko biaya. Biaya adalah salah satu komponen penting dalam pelaksanaan proyek
konstruksi gedung selain sumber daya material, pekerja dan waktu. Penggunaan biaya yang
melebihi anggaran yang ditentukan merupakan pembengkaan biaya terhadap anggaran tersebut,
sehingga akan merugikan Perusahaan. Agar pembengkaan ini tidak terjadi, maka kontraktor
perlu mengetahui faktor-faktor dominan yang menyebabkan terjadinya penyimpangan biaya.
Analisis faktor resiko biaya pada tahap pelaksanaan proyek konstruksi gedung ini merupakan
penelitian deskriptif yang bertujuan untuk dapat mengetahui faktor-faktor dominan yang
menyebabkan pembengkaan biaya. Penelitian dilakukan di Surakarta dan data diperoleh melalui
survei kuesioner dengan responden yang diteliti adalah kontraktor yang pernah terlibat dalam
pelaksanaan pembangunan konstruksi gedung. Data yang terkumpul kemudian dianalisis dengan
menggunakan analisis deskriptif. Untuk mengetahui keakuratan data dilakukan uji validitas dan
reliabilitas. Untuk mengetahui faktor dominan yang dapat mengakibatkan pembengkaan biaya
dilakukan analisis mean dan analisis faktor. Faktor-faktor dominan yang dapat menimbulkan
resiko pembengkaan biaya pada tahap pelaksanaan konstruksi gedung yang pertama adalah
Faktor perencanaan dan profesionalisme yang terdiri dari spesifikasi material yang kurang jelas,
metode pelaksanaan yang kurang tepat, keterlambatan pengadaan material di lapangan,
pengetahuan dan pengalaman subkontraktor yang kurang, kesalahan dan keterlambatan dalam
pengambilan keputusan, teknik dan metode estimasi yang kurang tepat, Kurangnya kedisiplinan
kerja. Yang kedua adalah Faktor lingkungan dan estimasi yang terdiri dari terjadi huru-hara,
lingkungan proyek yang tidak aman, dan Kecakapan estimator. Yang ketiga adalah Faktor
material yang terdiri dari kelangkaan material di pasaran dan kelemahan dalam perencanaan
logistik. Faktor paling dominan yang dapat menimbulkan resiko pembengkaan biaya pada tahap
pelaksanaan konstruksi gedung adalah Faktor Perencanaan dan Profesionalisme sebesarnya
35,21 %, selanjutnya Faktor Lingkungan dan Estimasi besarnya 21,47 % kemudian Faktor
Material sebesar 10,04 %.

LATAR BELAKANG
Dalam pelaksanaan pembangunan konstruksi di Indonesia, ditemui banyak kegagalan konstruksi
(failure constructions) dengan penyebabnya salah satunya akibat pelaksanaan konstruksi yang
tidak sesuai dengan standar kualitas yang ditetapkan. Kejadian runtuhnya jembatan kukar
(samarinda) baru-baru ini, rusak dan runtuhya beberapa bangunan sekolah yang baru di bangun,
dan lain sebagainya menunjukan masih rendahnya kepedulian terhadap pelaksanaan konstruksi
yang memenuhi kualitas yang diharapkan. Dan dari hasil penyelidikan, kegagalan konstruksi
banyak disebabkan karena tidak diterapkannya standar kualitas pelaksanaan konstruksi dan tidak
sesuainya mutu hasil pekerjaan yang mana secara umum tidak mengikuti arahan mutu
sebagaimana diatur dalam dokumen spesifikasi teknis masing-masing pekerjaan.

Dalam pelaksanaan proyek konstruksi, sasaran pengelolaan proyek (project management)


disamping biaya dan jadwal adalah pemenuhan persyaratan mutu. Dalam hubungan ini, suatu
peralatan, material dan cara kerja diangap memenuhi persyaratan mutu apabila dipenuhi semua
persyaratan yang ditentukan dalam kriteria dan spesifikasi. Dengan demikian,
instalasi/bangunan yang dibangun atau produk yang dihasilkan, yang terdiri dari komponen
peralatan dan material yang memenuhi persyaratan mutu, dapat diharapkan berfungsi secara
memuaskan selama kurun waktu tertentu atau dengan kata lain siap untuk dipakai (fitness for
use). Dan untuk mencapai tujuan tersebut secara efektif dan ekonomis tidak hanya diperlukan
pemeriksaan di tahap akhir sebelum diserahterimakan (FHO) kepada pemilik proyek/konsumen,
tetapi juga diperlukan serangkaian tindakan sepanjang siklus proyek mulai dari penyusunan
program, perencanaan, pengawasan, pemeriksanaan dan pengendalian mutu. Kegiatan
tersebut dikenal dengan penjaminan mutu (Quality Assurance-QA).
Dan paper ini dimaksudkan untuk memberi gambaran bagaimana pelaksanaan manajemen
kualitas dalam proyek konstruksi dan aplikasi penjaminan mutu (Quality Assurance-QA) agar
hasil pelaksanaan konstruksi dapat memenuhi tujuan secara efektif dan ekonomis dan memenuhi
persyaratan mutu, dapat diharapkan berfungsi secara memuaskan selama kurun waktu tertentu
atau dengan kata lain fitness for use.

B. TINJAUAN MUTU (QUALITY)


DAN PENGELOLAAN MUTU (QUALITY
MANAGEMENT)
Dalam arti yang luas “mutu” atau “kualitas” bersifat subyektif. Suatu barang yang amat bermutu
bagi seseorang belum tentu bermutu bagi orang lain. Oleh karena itu, dunia usaha dan industri
mencoba memberikan batasan yang dapat diterima oleh kalangan yang berkepentingan, misalnya
ISO 8402 (1986):[1]

“Mutu adalah sifat dan karakterisk produk atau jasa yang membuatnya memenuhi kebutuhan
pelanggan atau pemakai (customers).”

Sementara definisi lain untuk mutu yang sering diasosiasian dengan proyek adalah fitness for
use. Istilah ini disamping mempunyai arti seperti yang diuraikan diatas, juga memperhatikan
masalah tersediaya produk, kehandalan dan masalah pemeliharaan.

Definisi diatas tentunya akan sangat bervariasi tergantung pada masing-masing bidang usaha
maupun industri. Akan tetapi secara umum ada 4 (empat) spektrum mutu/kualitas yakni kualitas
perencanaan (quality planning), pemantauan kualitas (quality control), jaminan kualitas (quality
assurance) dan pengembangan kualitas (quality improvement).[2]

Manajemen mutu/kualitas mengadopsi beberapa prinsip-prinsip manajemen[3], yang dapat


diterapkan pada puncak manajemen perusahaan untuk menjadi pedoman bagi organisasi dalam
mengembangkan kinerja organisasi. Beberapa prinsip tersebut adalah sebagai berikut:

1. Fokus pada keinginan konsumen (customer focus)

Suatu perusahaan dapat menjaga dan mengembangkan konsumennya, bilamana perusahaan dapat
mengerti dan memahami tuntutan dan kebutuhan konsumen saat ini dan mendatang, sehingga
berusaha memenuhi kebutuhan dan mencoba memenuhi ekspetasi konsumen adalah kuncinya.

2. Kepemimpinan (Leadership)

Para pemimpin dalam setiap unit dalam suatu organisasi perusahaan (penyedia jasa konstruksi)
menyiapkan dan diarahkan untuk mengembangkan budaya kualitas. Mereka harus dapat
mengkreasikan dan memelihara budaya kualitas dalam setiap lingkungan internal yang
dipimpinnya, mendorong setiap anggota timnya untuk mencapai tujuan perusahaan yakni
pencapaian target kualitas/mutu pekerjaan, dan dalam hal ini mencapai mutu/kualitas pekerjaan
konstruksi.

3. Pengembangan Individu (Involvement of people)

Setiap individu baik karyawan maupun pemimpin pada setiap level perusahaan jasa konstruksi
harus memahami budaya manajemen kualitas. Setiap individu harus berusaha mengembangkan
segala kemampuan dan kemungkinan yang dapat digunakan bagi keuntungan perusahaan.

4. Pendekatan proses (Process approach)

Hasil yang buruk dapat dikurangi bila setiap aktivitas dan kebutuhan sumber daya (manusia,
material/bahan/alat, waktu) dikelola dalam suatu organisasi perusahaan sebagai suatu proses.

5. Pendekatan Sistem Pada Manajemen (System approach to management)

Suatu organisasi perusahaan dapat efektif dan efisien dalam mengembangkan target dan tujuan
mutu/kualitas yang merupakan kontribusi dari tahap identifikasi, pemahaman dan pengelolaan
semua proses yang saling terkait sebagai suatu sistem.

6. Terus Berkembang (Continual improvement)

Salah satu target tujuan kualitas/mutu secara permanen dari suatu organisasi adalah terus
mengembangkan kinerja pencampaian mutu semua aktivitasnya.

7. Perumusan Keputusan Berdasarkan Pendekatan Fakta (Factual approach to decision making)

Keputusan-keputusan yang efektif adalah beranjak dari dari analisis data dan informasi yang
benar.

8. Membangun Hubungan yang Saling Menguntungkan dengan Suplier (Mutually beneficial


supplier relationships)

Sejak hubungan antara suatu perusahaan (penyedia jasa konstruksi) dan supliernya adalah
interdependent, maka perlu dikembangkan hubungan yang saling menguntungkan diantara
keduanya untuk memungkinkan pengembangan meningkatkan value keduanya.

8 (delapan) prinsip dasar ini berbasis pada Quality Management System (QMS) standard
dalam ISO 9001:2008.[4]

Pengelolaan mutu (Quality Management) bertujuan mencapai persyaratan mutu proyek pada
pekerjaan pertama tanpa adanya pengulangan (to do right things right the first time) dengan cara-
cara yang efektif dan ekonomis. Pengelolaan mutu proyek konstruksi merupakan unsur dari
pengelolaan proyeks secara keseluruhan, yang antara lain adalah sebagai berikut:

1. Meletakan dasar filosofi dan kebijakan mutu proyek


2. Memberikan keputusan strategis mengenai hubungan antara mutu, biaya dan jadwal
3. Membuat program penjaminan dan pengendalian mutu proyek (QA/QC)
4. Implementasi Program QA/QC.

Gambar 1 memperlihatkan hubungan dan pembentukan program QA perusahaan, program QA


Proyek, dan QC proyek yang merupakan unsur-unsur pengelolaan mutu proyek.

Sumber : Soeharto Iman, “Manajemen Proyek: Dari Konseptual sampai Operasional”,


Editor Yati Sumiharti, Cet.3 Jakarta Erlangga, 1997.

Gambar 1. Program QA/QC Proyek

Perlu juga dipahami bahwa penanganan masalah mutu dimulai sejak awal sampai proyek
dinyatakan selesai. Pada priode tersebut penyelenggaraan proyek dibagi menjadi pekerjaan
spesifik, yang kemudian diserahkan kepada masing-masing bidang/unit sesuai keahlian. Jadi
semua pihak memiliki tanggung jawab yang sama untuk menjaga kualitas/mutu, bila
melaksanakan tugasnya dengan benar dan tepat dari segi mutu. Atau dengan kata lain harus
selalu berorientasi kepada mutu.

Penjaminan mutu (QA) adalah semua perencanaan dan langkah sistematis yang diperlukan untuk
memberikan keyaknian bahwa instalasi atau sistem yang akan diwujudkan dapat beroperasi
secara memuaskan. Sedangkan pengendalian mutu (QC) adalah bagian dari penjaminan mutu
yang memberikan petunjuk dan cara-cara untuk mengendalikan mutu material, struktur,
komponen atau sistem agar memenuhi keperluan yang telah ditentukan.

Jadi Pengendalian Mutu (QC) meliputi tindakan-tindakan yang berupa: pengetesan, pengukuran
dan pemeriksaan apakah kegiatan-kegiatan engineering/konstruksi dan kegiatan lainnya telah
memenuhi dan sesuai dengan kriteria yang digariskan. Dalam konstruksi kriteria ini berupa SNI,
maupun standar internasional yang berlaku untuk setiap bahan dan pekerjaan konstruksi,
misalnya acuan-acuan dalam pelaksanaan konstruksi meliputi sebagai berikut:

NI-2 Peraturan Beton Bertulang Indonesia (PBI) 1997.

NI-3 Peraturan umum untuk Bahan Bangunan Indonesia

NI-5 Peraturan Konstruksi Kayu Indonesia (PKKI)

NI-8 Semen Potland

SNI 03-1750-1990 Mutu dan Cara Uji Agregat Beton.

SNI 15-2049-1990 Mutu dan Cara Uji Semen Portland.

SNI 03-2052-1990 Baja Tulangan Beton.


SNI 03-6861.1-2002 Spesifikasi air sebagai Bahan Bangunan.

SNI 03-6883-2002 Spesifikasi Toleransi untuk Konstruksi dan Bahan Beton.

Inspeksi dan pengetesan dilakukan secara konfrehensif, dan dalam konteks ini dimaksudkan
dengan inspeksi adalah mengkaji karakteristik obyek dalam aspek mutu, dalam hubungannya
dengan suatu standar yang ditentukan, misalnya standar SNI diatas. Dengan tahapan sebagai
berikut:

C. PENGENDALIAN MUTU
KONSTRUKSI
Masalah mutu/kualitas dalam proyek konstruksi erat hubungannya dengan masalah-masalah
berikut:

 Material konstruksi, yang umumnya tersedia ataupun dapat dibeli di lokasi atau sekitar lokasi
proyek.
 Peralatan (equipment), yang dibuat di pabrik atas dasar pesanan, seperti kompresor, generator
mesin-mesin, dlsb. Peralatan demikian umumnya diangkut dari jarak jauh untuk sampai ke lokasi
proyek.
 Pelatihan dan sertifikasi tenaga konstruksi, misalnya melatih ahli mengelas, pertukangan,
mandor dlsb.

Pengendalian proyek konstruksi mencakup dan tidak terbatas pada hal-hal sebagai berikut:

 Membuat kerangka kerja secara total;


 Pengisian tenaga kerja termasuk penunjukan konsultan;
 Menjamin bahwa semua informasi yang ada telah dikomunikasikan ke semua pihak terkait;
 Adanya jaminan bahwa semua rencana yang dibuat akan dapat dilaksanakan;
 Monitoring hasil pelaksanaan dan membandingkannya dengan rencana, dan
 Mengadakan langkah perbaikan (corrective action) pada saat yang paling awal.

Hubungan antara fungsi-fungsi manajemen dan faktor-faktor yang menjadi ukuran suksesnya
perencanaan dan pengendalian termasuk pengendalian mutu dapat dilihat pada gambar 2.
Merupakan kewajiban penyedia jasa konstruksi untuk menyiapkan rencana pengawasan kualitas
dan kepastian kualitas. Rencana pengawasan kualitas dan kepastian kualitas/Quality Control dan
Quality Assurance/QA-QC meliputi kegiatan berikut:

1. Rencana penggawasan kualitas

Penyedia jasa konstruksi (kontraktor) harus mendapatkan persetujuan dari wakil pemberi kerja
mengenai QA-QC untuk seluruh pekerjaan yang menjelaskan seluruh prosedur, instruksi,
rekaman-rekaman, dan personil yang digunakan untuk memastikan dan mengontrol kualitas
pekerjaan.

Rencana QA/QC harus diajukan penyedia jasa konstruksi (kontraktor) kepada wakil pemberi
kerja sebelum rapt mulainya proyek. Penyedia jasa konstruksi (kontraktor) harus menyajikan
kepada wakil pemberi kerja rencana pengawasan kualitas yang akan dilaksanakannya. Rencana
QA/QC tersebut harus disetujui oleh wakil pemberi kerja agar sesuai dengan yang diharapkan.
Gambar 2. Alur Kerja Pelaksanaan Konstruksi (Pada Proyek Pemerintah/Swasta)

1. QA/QC manajer

Penyedia jasa konstruksi (kontraktor) harus menunjuk seorang QA/QC manajer sebelum
pekerjaan konstruksi dilaksanakan. QA/QC manajer akan bertaggung jawab terhadap
pelaksanaan dan keberlangsungan rencana pengawasan kualitas. Orang yang ditunjuk oleh
penyedia jasa konstruksi (kontraktor) sebagai QA/QC manajer harus disetujui oleh wakil
pemberi kerja. QA/QC manajer akan melaporkan pekerjaannya langsung kepada Manajer proyek
dari penyedia jasa konstruksi (kontraktor).

1. Perubahan pada rencana pengawasan kualitas

Penyedia jasa konstruksi (kontraktor) harus memberi tahukan kepada wakil pemberi kerja secara
tertulis segala usulan perubahan pada rencana pengawasan kuaitas. Perubahan yang dibuat pada
rencana pengawasan kuaitas tidak boleh dilaksanakan sebelum persetujuan tertulis dari wakil
pemberi kerja.

1. Hal-hal yang melekat pada rencana pengawasan kualitas


Penyedia jasa konstruksi (kontraktor) harus memastikan bahwa rencana pengawasan kualitas
yang telah disetujui telah diikuti dan dilaksanakan selama pelaksanaan pekerjaan. Seluruh hasil
pengawasan, record dan seluruh operasi pengawasan kualitas harus dilaporkan secara berkala
kepada wakil pemberi kerja.

Dalam pengendalian kualitas/mutu terdapat 2 (dua) komponen kegiatan utama dalam


pelaksanaan konstruksi yakni pengendalian kualitas (QA) dan pengendalian kuantitas (QC).
Urain masing-masing kegiatan sebagai berikut:

1. Pengendalian Kualitas

Pekerjaan pelaksanaan konstruksi dimulai dari pekerjaan tanah sampai pada konstruksi akan
dikendalikan dengan memberikan pengawasan, arahan, bimbingan dan instruksi yang diperlukan
kepada penyedia jasa konstruksi (kontraktor) guna menjamin bahwa semua pekerjaan
dilaksanakan dengan baik, tepat kualitas. Aspek-aspek pengendalian mutu yang perlu
diperhatikan dalam pelaksanaan konstruksi antara lain meliputi :

 Peralatan yang digunakan


 Cara pengangkutan material/campuran ke lokasi kerja.
 Penyimpanan bahan/material
 Pengujian material yang akan digunakan termasuk peralatan laboratorium.
 Pengujian rutin laboratorium selama pelaksanaan
 Test lapangan
 Administrasi dan formulir-formulir.

2. Pengendalian Kuantitas

Pengawasan kuantitas (Quantity Control), dilakukan dengan mengecek bahan-bahan/campuran


yang ditempatkan atau yang dipindahkan oleh penyedia jasa konstruksi (kontraktor) atau yang
terpasang. Konsultan akan memproses bahan-bahan/campuran berdasarkan atas :

 Hasil pengukuran yang memenuhi batas toleransi pembayaran.


 Metoda perhitungan
 Lokasi kerja
 Jenis pekerjaan
 Tanggal diselesaikannya pekerjaan.

Setelah pekerjaan memenuhi persyaratan baik secara kualitas maupun persyaratan lainnya, maka
pengukuran kuantitas dapat dilakukan agar volume pekerjaan dengan teliti/akurat yang disetujui
oleh konsultan sehingga kuantitas dalam kontrak adalah benar diukur dan mendapat persetujuan
dari konsultan.

Manajemen risiko adalah suatu pendekatan terstruktur/metodologi dalam mengelola


ketidakpastian yang berkaitan dengan ancaman; suatu rangkaian aktivitas manusia termasuk:
Penilaian risiko, pengembangan strategi untuk mengelolanya dan mitigasi risiko dengan
menggunakan pemberdayaan/pengelolaan sumberdaya. Strategi yang dapat diambil antara lain
adalah memindahkan risiko kepada pihak lain, menghindari risiko, mengurangi efek negatif
risiko, dan menampung sebagian atau semua konsekuensi risiko tertentu. Manajemen risiko
tradisional terfokus pada risiko-risiko yang timbul oleh penyebab fisik atau legal (seperti
bencana alam atau kebakaran, kematian, serta tuntutan hukum. Manajemen risiko keuangan, di
sisi lain, terfokus pada risiko yang dapat dikelola dengan menggunakan instrumen-instrumen
keuangan.

Sasaran dari pelaksanaan manajemen risiko adalah untuk mengurangi risiko yang berbeda-beda
yang berkaitan dengan bidang yang telah dipilih pada tingkat yang dapat diterima oleh
masyarakat. Hal ini dapat berupa berbagai jenis ancaman yang disebabkan oleh lingkungan,
teknologi, manusia, organisasi dan politik. Di sisi lain pelaksanaan manajemen risiko melibatkan
segala cara yang tersedia bagi manusia, khususnya, bagi entitas manajemen risiko (manusia,
staff, dan organisasi).

Dalam perkembangannya Risiko-risiko yang dibahas dalam manajemen risiko dapat diklasifikasi
menjadi

 Risiko Operasional
 Risiko Hazard
 Risiko Finansial
 Risiko Strategik

Hal ini menimbulkan ide untuk menerapkan pelaksanaan Manajemen Risiko Terintegrasi
Korporasi (Enterprise Risk Management).

Manajemen Risiko dimulai dari proses identifikasi risiko, penilaian risiko, mitigasi,monitoring
dan evaluasi.

Manajemen Resiko dalam Proyek Konstruksi

Ada banyak definisi tentang resiko, resiko dapat ditafsirkan sebagai bentuk keadaan
ketidakpastian tentang suatu keadaan yang akan terjadi nantinya (future) dengan keputusan yang
diambil berdasarkan berbagai pertimbangan pada saat ini. Manajemen resiko adalah proses
pengukuran atau penilaian resiko serta pengembangan strategi pengelolaannya. Strategi yang
dapat diambil antara lain adalah memindahkan resiko kepada pihak lain, menghindari resiko,
mengurangi efek negatif resiko, dan menampung sebagian atau semua konsekuensi resiko
tertentu. Manajemen resiko tradisional terfokus pada resiko-resiko yang timbul oleh penyebab
fisik atau legal (seperti bencana alam atau kebakaran, kematian serta tuntutan hokum).
(Wikipedia).
Adapun Pengertian manajemen resiko menurut beberapa ahli :

1. Menurut Smith, 1990 Manajemen Resiko didefinisikan sebagai proses identifikasi,


pengukuran, dan kontrol keuangan dari sebuah resiko yang mengancam aset dan
penghasilan dari sebuah perusahaan atau proyek yang dapat menimbulkan kerusakan atau
kerugian pada perusahaan tersebut.
2. Menurut Clough and Sears, 1994, Manajemen risiko didefinisikan sebagai suatu
pendekatan yang komprehensif untuk menangani semua kejadian yang menimbulkan
kerugian.
3. Menurut William, et.al.,1995,p.27 Manajemen risiko juga merupakan suatu aplikasi
dari manajemen umum yang mencoba untuk mengidentifikasi, mengukur, dan menangani
sebab dan akibat dari ketidakpastian pada sebuah organisasi.
4. Dorfman, 1998, p. 9 Manajemen risiko dikatakan sebagai suatu proses logis dalam
usahanya untuk memahami eksposur terhadap suatu kerugian.

Tindakan manajemen resiko diambil oleh para praktisi untuk merespon bermacam-macam
resiko. Responden melakukan dua macam tindakan manajemen resiko yaitu mencegah dan
memperbaiki. Tindakan mencegah digunakan untuk mengurangi, menghindari, atau mentransfer
resiko pada tahap awal proyek konstruksi. Sedangkan tindakan memperbaiki adalah untuk
mengurangi efek-efek ketika resiko terjadi atau ketika resiko harus diambil (Shen, 1997).

Manajemen resiko adalah sebuah cara yang sistematis dalam memandang sebuah resiko dan
menentukan dengan tepat penanganan resiko tersebut. Ini merupakan sebuah sarana untuk
mengidentifikasi sumber dari resiko dan ketidakpastian, dan memperkirakan dampak yang
ditimbulkan dan mengembangkan respon yang harus dilakukan untuk menanggapi resiko
(Uher,1996).

Pendekatan sistematis mengenai manajemen risiko dibagi menjadi 3 stage utama, yaitu
(Soeharto, 1999):

1. Identifikasi resiko
2. Analisa dan evaluasi resiko
3. Respon atau reaksi untuk menanggulangi resiko tersebut

Manfaat Manajemen Risiko


Manfaat yang diperoleh dengan menerapkan manajemen resiko antara lain (Mok et al., 1996)
Berguna untuk mengambil keputusan dalam menangani masalah-masalah yang rumit.

– Memudahkan estimasi biaya.


– Memberikan pendapat dan intuisi dalam pembuatan keputusan yang dihasilkan dalam cara
yang benar.
– Memungkinkan bagi para pembuat keputusan untuk menghadapi resiko dan ketidakpastian
dalam keadaan yang nyata.
– Memungkinkan bagi para pembuat keputusan untuk memutuskan berapa banyak informasi
yang dibutuhkan dalam menyelesaikan masalah.
– Meningkatkan pendekatan sistematis dan logika untuk membuat keputusan.
– Menyediakan pedoman untuk membantu perumusan masalah.
– Memungkinkan analisa yang cermat dari pilihan-pilihan alternatif.
Menurut Darmawi, (2005, p. 11) Manfaat manajemen risiko yang diberikan terhadap perusahaan
dapat dibagi dalam 5 (lima) kategori utama yaitu :
a. Manajemen risiko mungkin dapat mencegah perusahaan dari kegagalan.
b. Manajemen risiko menunjang secara langsung peningkatan laba.
c. Manajemen risiko dapat memberikan laba secara tidak langsung.
d. Adanya ketenangan pikiran bagi manajer yang disebabkan oleh adanya perlindungan terhadap
risiko murni, merupakan harta non material bagi perusahaan itu.
e. Manajemen risiko melindungi perusahaan dari risiko murni, dan karena kreditur pelanggan
dan pemasok lebih menyukai perusahaan yang dilindungi maka secara tidak langsung menolong
meningkatkan public image.

Manfaat manajemen risiko dalam perusahaan sangat jelas, maka secara implisit sudah
terkandung didalamnya satu atau lebih sasaran yang akan dicapai manajemen risiko antara lain
sebagai berikut ini (Darmawi, 2005, p. 13).
a. Survival
b. Kedamaian pikiran
c. Memperkecil biaya
d. Menstabilkan pendapatan perusahaan
e. Memperkecil atau meniadakan gangguan operasi perusahaan
f. Melanjutkan pertumbuhan perusahaan
g. Merumuskan tanggung jawab social perusahaan terhadap karyawan dan masyarakat.

ANALISIS RISIKO

Risiko adalah hal yang tidak akan pernah dapat dihindari pada suatu kegiatan / aktivitas yang
idlakukan manusia, termasuk aktivitas proyek pembangunan dan proyek konstyruksi. Karena
dalam setiap kegiatan, seperti kegiatan konstruksi, pasti ada berbagai ketidakpastian
(uncertainty). Faktor ketidakpastian inilah yang akhirnya menyebabkan timbulnya risiko pada
suatu kegiatan. Para ahli mendefinisikan risiko sebagai berikut :

1. Risiko adalah suatu variasi dari hasil – hasil yang dapat terjadi selama periode tertentu pada
kondisi tertentu (William & Heins, 1985).

2. Risiko adalah sebuah potensi variasi sebuah hasil (William, Smith, Young, 1995).

3. Risiko adalah kombinasi probabilita suatu kejadian dengan konsekuensi atau akibatnya
(Siahaan, 2007).

Macam Risiko

Risiko adalah buah dari ketidakpastian, dan tentunya ada banyak sekali faktor – faktor
ketidakpastian pada sebuah proyek yang tentunya dapat menghasilkan berbagai macam risiko.
Risiko dapat dikelompokkan menjadi beberapa macam menurut karakteristiknya, yaitu lain:

1. Risiko berdasarkan sifat


a. Risiko Spekulatif (Speculative Risk), yaitu risiko yang memang sengaja diadakan, agar dilain
pihak dapat diharapkan hal – hal yang menguntungkan. Contoh: Risiko yang disebabkan dalam
hutang piutang, membangun proyek, perjudian, menjual produk, dan sebagainya.

b. Risiko Murni (Pure Risk), yaitu risiko yang tidak disengaja, yang jika terjadi dapat
menimbulkan kerugian secara tiba – tiba. Contoh : Risiko kebakaran, perampokan, pencurian,
dan sebagainya.

2. Risiko berdasarkan dapat tidaknya dialihkan

a. Risiko yang dapat dialihkan, yaitu risiko yang dapat dipertanggungkan sebagai obyek yang
terkena risiko kepada perusahaan asuransi dengan membayar sejumlah premi. Dengan demikian
kerugian tersebut menjadi tanggungan (beban) perusahaan asuransi.

b. Risiko yang tidak dapat dialihkan, yaitu semua risiko yang termasuk dalam risiko spekulatif
yang tidak dapat dipertanggungkan pada perusahaan asuransi.

3. Risiko berdasarkan asal timbulnya

a. Risiko Internal, yaitu risiko yang berasal dari dalam perusahaan itu sendiri. Misalnya risiko
kerusakan peralatan kerja pada proyek karena kesalahan operasi, risiko kecelakaan kerja, risiko
mismanagement, dan sebagainya.

b. Risiko Eksternal, yaitu risiko yang berasal dari luar perusahaan atau lingkungan luar
perusahaan. Misalnya risiko pencurian, penipuan, fluktuasi harga, perubahan politik, dan
sebagainya.

Selain macam – macam risiko diatas, Trieschman, Gustavon, Hoyt, (2001), juga mengemukakan
beberapa macam risiko yang lain, diantaranya :

1. Risiko Statis dan Risiko Dinamis (berdasarkan sejauh mana ketidakpastian berubah karena
perubahan waktu)

a. Risiko Statis. Yaitu risiko yang asalnya dari masyarakat yang tidak berubah yang berada
dalam keseimbangan stabil. Risiko statis dapat bersifat murni ataupun spekulatif. Contoh risiko
spekulasi statis : Menjalankan bisnis dalam ekonomi stabil. Contoh risiko murni statis :
Ketidakpastian dari terjadinya sambaran petir, angin topan, dan kematian secara acak (secara
random).

b. Risiko Dinamis. Risiko yang timbul karena terjadi perubahan dalam masyarakat. Risiko
dinamis dapat bersifat murni ataupun spekulatif. Contoh sumber risiko dinamis : urbanisasi,
perkembangan teknologi, dan perubahan undang – undang atau perubahan peraturan pemerintah.

2. Risiko Subyektif dan Risiko Obyektif

a. Risiko Subyektif
Risiko yang berkaitan dengan kondisi mental seseorang yang mengalami ragu – ragu atau cemas
akan terjadinya kejadian tertentu.

b. Risiko Obyektif

Probabilita penyimpangan aktual dari yang diharapkan (dari rata – rata) sesuai pengalaman.

Manajemen Risiko

Untuk dapat menanggulangi semua risiko yang mungkin terjadi, diperlukan sebuah proses yang
dinamakan sebagai manajemen risiko. Adapun beberapa definisi manajemen risiko dari berbagai
literatur yang didapat, antara lain :

a. Manajemen risiko merupakan proses formal dimana faktor – faktor risiko secara sistematis
diidentifikasi, diukur, dan dicari

b. Manajemen risiko merupakan metoda penanganan sistematis formal dimana dikonsentrasikan


pada pengientifikasian dan pengontrolan peristiwa atau kejadian yang memiliki kemungkinan
perubahan yang tidak diinginkan.

c. Manajemen risiko, dalam konteks proyek, adalah seni dan pengetahuan dalam
mengidentifikasi, menganalisa, dan menjawab faktor – faktor risiko sepanjang masa proyek.

Tabel 1. Definisi manajemen risiko

Definisi Manajemen Risiko Sumber


Referensi
Manajemen risiko merupakan pengenalan, pengukuran, Williams dan
dan perlakuan terhadap kerugian dari kemungkinan Heins, 1985
kecelakaan yang muncul
Manajemen risiko merupakan sebuah proses untuk Redja, 2008
mengidentifikasi terjadinya kerugian yang dialami oleh
suatu organisasi dan memilih teknik yang paling tepat
untuk menangani kejadian tersebut
Manajemen risiko adalah sebuah proses formal untuk Al Bahar dan
mengidentifikasi, menganalisa, dan merespon sebuah Crandall, 1990
risiko secara sistematis, sepanjang jalannya proyek,
untuk mendapatkan tingkatan tertinggi atau yang bias
diterima, dalam hal mengeliminasi risiko atau kontrol
risiko
Manajemen risiko merupakan suatu aplikasi dari Williams,
manajemen umum yang mencoba untuk Smith, Young,
mengidentifikasi, mengukur, dan menangani sebab dan 1995
akibat dari ketidakpastian pada sebuah organisasi
Dalam pelaksanaannya, terdapat beberapa tahapan dalam manajemen risiko. Terdapat beberapa
ahli yang mengemukakan pendapat mengenai tahapan – tahapan dalam manajemen risiko. Untuk
lebih jelasnya, dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Tahapan manajemen risiko

Tahapan Manajemen Risiko Sumber Referensi


a. Identifikasi risikob. Menafsir kerugian yang dapat Williams dan
terjadi (menentukan probabilitas dan dampaknya) Heins, 1985

c. Menangani risiko

d. Pengimplementasian

e. Memonitor dan mengevaluasi


pengimplementasiannya

a. Identifikasi misib. Menafsir risiko dan ketidakpastian Williams, Smith,


Young, 1995
c. Mengontrol risiko

d. Membiayai risiko

e. Pengadministrasian program

a. Identifikasi risikob. Evaluasi risiko Trieschmann,


Gustavon, Hoyt,
c. Memilih teknik manajemen risiko 1995

d. Mengimplementasikan dan meninjau kembali


keputusan yang dibuat

a. Menafsir risikob. Menganalisa risiko (menentukan Kerzner, 1995


probabilitas dan konsekuensinya)

c. Menangani risiko

d. Mendokumentasikan proses manajemen risiko

a. Mengidentifikasi kerugianb. Menganalisa kerugian Redja, 2008


c. Memilih teknik pengangan yang tepat (mengontrol
risiko dan membiayai risiko)

d. Mengimplementasikan dan memonitor program


manajemen risiko

a. Mengidentifikasi risikob. Menafsir dan menganalisa Loosemore,


risiko Raftery, Reilly,
Higgon, 2006
c. Mengontrol risiko

a. Identifikasi risikob. Analisa risiko dan proses Al Bahar dan


evaluasi Crandall, 1990

c. Respon manajemen

d. Administrasi sistem

Selanjutnya, dalam penelitian ini akan dipakai tahapan – tahapan manajemen risiko yang
dikemukakan oleh Al Bahar dan Crandall (1990), dengan sedikit modifikasi, sehingga menjadi
sebagai berikut :

1. Identifikasi dan Analisa Risiko

2. Respon manajemen

3. Administrasi system.

Identifikasi dan Analisa Risiko

Tahapan pertama dalam proses manajemen risiko adalah tahap identifikasi risiko. Identifikasi
risiko merupakan suatu proses yang secara sistematis dan terus menerus dilakukan untuk
mengidentifikasi kemungkinan timbulnya risiko atau kerugian terhadap kekayaan, hutang, dan
personil perusahaan. Proses identifikasi risiko ini mungkin adalah proses yang terpenting, karena
dari proses inilah, semua risiko yang ada atau yang mungkin terjadi pada suatu proyek, harus
diidentifikasi.

Adapun proses identifikasi harus dilakukan secara cermat dan komprehensif, sehingga tidak ada
risiko yang terlewatkan atau tidak teridentifikasi. Dalam pelaksanaannya, identifikasi risiko
dapat dilakukan dengan beberapa teknik, antara lain:
a. Brainstorming

b. Questionnaire

c. Industry benchmarking

d. Scenario analysis

e. Risk assessment workshop

f. Incident investigation

g. Auditing

h. Inspection

i. Checklist

j. HAZOP (Hazard and Operability Studies)

k. dan sebagainya

Adapun cara – cara pelaksanaan identifikasi risiko secara nyata dalam sebuah proyek, adalah :

1. Membuat daftar bisnis yang dapat menimbulkan kerugian.

2. Membuat checklist kerugian potensial. Dalam checklist ini dibuat daftar kerugian dan
peringkat kerugian yang terjadi.

3. Membuat klasifikasi kerugian.

a. Kerugian atas kekayaan (property).

• Kekayaan langsung yang dihubungkan dengan kebutuhan untuk mengganti kekayaan yang
hilang atau rusak.

• Kekayaan yang tidak langsung, misalnya penurunan permintaan, image perusahaan, dan
sebagainya.

b. Kerugian atas hutang piutang, karena kerusakan kekayaan atau cideranya pribadi orang lain.

c. Kerugian atas personil perusahaan. Misalnya akibat kematian, ketidakmampuan, usia tua,
pengangguran, sakit, dan sebagainya.

Dalam mengidentifikasi risiko, beberapa ahli membaginya menjadi beberapa kategori,


diantaranya :
Tabel 3. Kategori risiko

Kategori Risiko Sumber Referensi


a. Risiko eksternalb. Risiko internal Kerzner, 1995

c. Risiko teknis

d. Risiko legal

a. Risiko yang berhubungan dengan konstruksib. Fisk, 1997


Risiko fisik

c. Risiko kontraktual dan legal

d. Risiko pelaksanaan

e. Risiko ekonomi

f. Risiko politik dan umum

a. Risiko finansialb. Risiko legal Shen, Wu, Ng, 2001

c. Risiko manajemen

d. Risiko pasar

e. Risiko politik dan kebijakan

f. Risiko teknis

a. Risiko teknologib. Risiko manusia Loosemore, Raftery,


Reilly, Higgon,
c. Risiko lingkungan 2006

d. Risiko komersial dan legal

e. Risiko manajemen

f. Risiko ekonomi dan finansial

g. Risiko partner bisnis


h. Risiko politik

a. Risiko finansial dan ekonomib. Risiko desain Al Bahar dan


Crandall, 1990
c. Risiko politik dan lingkungan

d. Risiko yang berhubungan dengan konstruksi

e. Risiko fisik

f. Risiko bencana alam

Respon Manajemen

Setelah risiko – risiko yang mungkin terjadi diidentifikasi dan dianalisa, kontraktor akan mulai
memformulasikan strategi penanganan risiko yang tepat. Strategi ini didasarkan kepada sifat dan
dampak potensial / konsekuensi dari risiko itu sendiri. Adapun tujuan dari strategi ini adalah
untuk memindahkan dampak potensial risiko sebanyak mungkin dan meningkatkan kontrol
terhadap risiko.

Ada lima strategi alternatif untuk menangani risiko, yaitu :

1. Menghindari risiko

2. Mencegah risiko dan mengurangi kerugian

3. Meretensi risiko

4. Mentransfer risiko

5. Asuransi

1. Menghindari risiko

Menghindari risiko merupakan strategi yang sangat penting, strategi ini merupakan strategi yang
umum digunakan untuk menangani risiko. Dengan menghindari risiko, kontraktor dapat
mengetahui bahwa perusahaannya tidak akan mengalami kerugian akibat risiko yang telah
ditafsir. Di sisi lain, kontraktor juga akan kehilangan sebuah peluang untuk mendapatkan
keuntungan yang mungkin didapatkan dari asumsi risiko tersebut.

Contohnya : seorang kontraktor yang ingin menghindari risiko politik dan finansial berkaitan
dengan proyek pada negara dengan kondisi politik yang tidak stabil, dapat menolak melakukan
tender proyek pada negara tersebut. Namun demikian, apabila kontraktor tersebut menolak untuk
melakukan tender, maka kemungkinan untuk mendapatkan keuntungan dari proyek tersebut juga
ikut menghilang.

2. Mencegah risiko dan mengurangi kerugian

Alternatif strategi yang kedua adalah mencegah risiko dan mengurangi kerugian. Strategi ini
secara langsung mengurangi potensi risiko kontraktor dengan 2 cara, yaitu :

1. Mengurangi kemungkinan terjadinya risiko.

2. Mengurangi dampak finansial dari risiko, apabila risiko tersebut benar – benar terjadi.

Contohnya : pemasangan alarm atau alat anti – maling pada peralatan di

proyek, akan mengurangi kemungkinan terjadinya pencurian. Sebuah gedung yang dilengkapi
dengan sprinkler system, akan mengurangi dampak finansial, apabila gedung tersebut mengalami
kebakaran.

3. Meretensi risiko

Retensi risiko telah menjadi aspek penting dari manajemen risiko ketika perusahaan menghadapi
risiko proyek. Retensi risiko adalah perkiraan secara internal, baik secara utuh maupun sebagian,
dari dampak finansial suatu risiko yang akan dialami oleh perusahaan. Dalam mengadopsi
strategi retensi risiko ini, perlu dibedakan antara 2 jenis retensi yang berbeda.

1. Retensi risiko yang terencana (planned) adalah asumsi yang secara sadar dan sengaja
dilakukan oleh kontraktor untuk mengenali atau mengidentifikasi risiko. Dengan strategi seperti
itu, risiko dapat ditahan dengan berbagai cara, tergantung pada filosofi, kebutuhan khusus, dan
juga kapabilitas finansial dari kontraktor itu sendiri.

2. Retensi risiko yang tidak terencana (unplanned) terjadi ketika kontraktor tidak mengenali
atau mengidentifikasi kberadaan dari suatu risiko dan secara tidak sadar mengasumsi kerugian
yang akan muncul.

4. Mentransfer risiko

Pada dasarnya, transfer risiko dapat dilakukan, melalui negosiasi, kapanpun kontraktor menjalani
perencanaan kontraktual dengan banyak pihak seperti pemilik, subkontraktor ataupun supplier
material dan peralatan. Transfer risiko bukanlah asuransi. Biasanya, transfer risiko ini dilakukan
melalui syarat atau pasal – pasal dalam kontrak seperti : hold – harmless aggrement dan klausul
jaminan atau penyesuaian kontrak. Karakeristik esensial dari transfer risiko ini adalah dampak
dari suatu risiko, apabila risiko tersebut benar – benar terjadi, ditanggung bersama atau
ditanggung secara utuh oleh pihak lain selain kontraktor.
Contohnya : penyesuaian pada harga penawaran, dimana kompensasi ekstra akan diberikan
kepada kontraktor apabila terjadi perbedaan kondisi tanah pada suatu proyek.

5. Asuransi

Asuransi menjadi bagian penting dari program manajemen risiko, baik untuk sebuah organisasi
ataupun untuk individu. Asuransi juga termasuk di dalam strategi transfer risiko, dimana pihak
asuransi setuju untuk menerima beban finansial yang muncul dari adanya kerugian. Secara
formal, asuransi dapat didefinisikan sebagai kontrak persetujuan antara 2 pihak yang terkait
yaitu : pengasuransi (insured) dan pihak asuransi (insurer). Dengan adanya persetujuan tersebut,
pihak asuransi (insurer) setuju untuk mengganti rugi kerugian yang terjadi (seperti yang
tercantum dalam kontrak) dengan balasan, pengasuransi (insured) harus membayar sejumlah
premi tiap periodenya.

Administrasi sistem

Administrasi sistem adalah tahapan terakhir dari program manajemen risiko. Manajer risiko
harus mengandalkan kemampuan manajerialnya untuk mengkoordinasi, mengarahkan,
mengorganisasi, memotivasi, memfasilitasi dan menjalankan organisasi menuju rencana
penanganan risiko yang rasional dan terintegrasi. Menurut William, Smith, Young (1995), ada 5
hal manajerial penting yang dihadapi oleh seorang manajer risiko, yaitu :

1. Tantangan untuk menyusun prosedur dan kebijakan manajemen risiko.

2. Pengkomunikasian risiko, baik secara organisasi maupun personal.

3. Manajemen kontrak dan kontrak portfolio.

4. Pengawasan klaim.

5. Proses mengkaji ulang, memonitor, dan mengevaluasi program manajemen risiko.

1. Kebijakan dan prosedur

Proses manajemen risiko harus dilakukan oleh semua pihak dalam suatu organisasi. Namun,
dengan demikian banyaknya pihak yang terlibat, akan sangat mudah untuk terjadinya
miskomunikasi. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah kebijakan dan prosedur pelaksanaan proses
manajemen risiko yang formal, yang sesuai dengan misi atau tujuan dari program manajemen
risiko dan sejalan dengan misi organisasi tersebut.
Menurut William, Smith, Young (1995), untuk menyusun kebijakan dan prosedur program
manajemen risiko tersbut, dibutuhkan beberapa tahapan, yaitu :

1. Statement kebijakan manajemen risiko

Perusahaan harus menyusun statement kebijakan manajemen risiko yang berisi tentang misi dan
tujuan dari program manajemen risiko.

2. Organisasi

Perusahaan sebaiknya menyusun sebuah organisasi atau departemen khusus, yang menangani
masalah manajemen risiko.

3. Manual (rencana kegiatan)

Perusahaan sedianya menyiapkan rencana kegiatan operasional manajemen risiko, yang


menjelaskan mengenai prosedur, metode, dan juga kegiatan – kegiatan yang akan dilakukan
untuk program manajemen risiko.

2. Manajemen informasi

Supaya proses manajemen risiko dapat berlajan secara lancar, proses pengkomunikasian risiko
yang terjadi pada suatu proyek, harus dilakukan dengan lancar pula. Karena pentingnya
informasi risiko ini, maka manajemen informasi juga berperan sangat penting untuk
kelangsungan proses manajemen risiko. Manajemen informasi dapat digunakan sebagai basis
dari segala buku text mengenai komunikasi dalam organisasi. Ruang lingkup manajemen
informasi pada program manajemen risiko :

1. Komunikasi risiko

Proses pengkomunikasian informasi (dalam hal ini, risiko) yang mengalir dari dan menuju ke
manajer risiko.

2. Sistem informasi manajemen risiko

Penggunaan teknologi masa kini yang dapat membantu jalannya proses manajemen informasi
dalam rangka melakukan manajemen risiko pada suatu proyek.
3. Proses pelaporan manajemen risiko

Isi dan bentuk formal dari proses pelaporan risiko yang dilakukan oleh pihak – pihak yang terkait
dalam proses manajemen risiko.

4. Sistem alokasi sumber daya

Mekanisme pembiayaan proses manajemen risiko.

3. Manajemen kontrak

Dalam pelaksanaannya, manajemen risiko juga membutuhkan system manajemen kontrak, yaitu
suatu proses untuk mengatur semua perkara mengenai kontrak, seperti : penawaran, asuransi, dan
sebagainya. William, Smith, Young (1995), memaparkan bahwa, manajemen kontrak

harus dapat menguasai atau menangani, setidaknya 4 hal, yaitu :

1. Mengatur hubungan dan kontrak – kontrak dengan agen asuransi dan broker.

2. Mempersiapkan dokumen atau kontrak penawaran untuk layanan jasa pihak ketiga.

3. Mengatur dokumen dan sertifikat asuransi.

4. Memberikan garansi atau menjamin rencana pembiayaan risiko dengan pihak ke tiga.

4. Pengawasan klaim

Seorang manajer risiko, juga harus dapat berperan dalam manajemen atau pengawasan klaim.
Apabila suatu kejadian yang tidak diinginkan terjadi pada suatu proyek, dan pihak kontraktor
mengajukan klaim pada perusahaan asuransi, manajer risiko mempunyai tanggungjawab untuk
bernegosiasi dengan utusan dari pihak asuransi dan mengumpulkan informasi yang berkaitan
dengan klaim tersebut.

Ada beberapa macam klaim yang harus ditangani oleh manajer risiko, antara lain :

1. Klaim yang berkaitan dengan properti

Klaim yang terjadi apabila ada suatu kerugian pada suatu proyek dan kontraktor mengajukan
klaim pada pihak asuransi.

2. Klaim pertanggungjawaban atau klaim dari pihak ketiga

Klaim yang terjadi akibat kecelakaan yang dialami oleh pihak ketiga (misalnya : konsumen jatuh
di tempat parkir yang licin).
3. Klaim yang berkaitan dengan sumber daya manusia

Klaim yang berhubungan dengan kesehatan dan keselamatan pekerja dalam sebuah perusahaan.

5. Memonitor dan mengkaji ulang program

Untuk mengetahui seberapa berhasil, manajemen risiko yang telah dijalankan, perlu dilakukan
suatu proses untuk memonitor dan mengkaji ulang program manajemen risiko yang telah
dijalankan. Dengan adanya proses pemantauan dan penkajian ulang ini, kontraktor dapat
mengetahui sejauh manaproses manajemen risiko yang telah dijalankan. Selain itu, dengan
proses tersebut, kontraktor dapat melihat kesalahan – keslahan atau kekurangan – kekurangan
yang terjadi selama proses manajemen risiko, sehingga kontraktor dapat memperbaiki
kekurangannya dan tidak melakukan kesalahan untuk yang kedua kalinya.

Untuk melakukan proses pemantuan kegiatan manajemen risiko, beberapa hal harus dilakukan :

1. Pemantauan secara terus – menerus

Pemantauan akan proses manajemen risiko yang dijalankan harus dilakukan secara terus –
menerus, sehingga terdapat kesinambungan antara data – data yang didapatkan.

2. Audit program

Proses audit program manajemen risiko harus dijalankan untuk memverifikasi sistem
pemantauan dan pelaporan berkala. Audit program dapat digunakan sebagai evaluasi untuk
manajer risiko dan fungsi manajemen risiko, serta menyediakan masukan yang obyektif untuk
pengembangan program.

Risiko Kegiatan Pembangunan Perumahan

Resiko adalah bagian penting dari sebuah pelaksanaan terhadap manajemen resiko karena resiko
adalah obyek yang menjadi akar teori dan permasalahan yang digunakan untuk mengembangkan
teknik-teknik dan analisa dalam menanggulangi resiko itu sendiri. Persepsi dan definisi terhadap
resiko berbeda-beda tergantung dari kepercayaan seseorang, kelakuan penilaian dan perasaan
dan juga termasuk faktor-faktor pendukung antara lain: latar belakang pendidikan, pengalaman
praktis di lapangan, karakterisitik individu, kejelasan informasi, dan pengaruh lingkungan
sekitar.

Manajemen resiko adalah sebuah cara yang sistematis dalam memandang sebuah resiko dan
menentukan dengan tepat penanganan resiko tersebut. Ini merupakan sebuah sarana untuk
mengidentifikasi sumber dari resiko dan ketidakpastian, memperkirakan dampak yang
ditimbulkan dan mengembangkan respon yang harus dilakukan untuk menanggapi resiko.

Rumah sehat sederhana adalah tempat kediaman yang layak dihuni, yang dibangun
menggunakan bahan bangunan dan konstruksi sederhana akan tetapi masih memenuhi standar
kebutuhan minimal dari aspek kesehatan, keamanan, dan kenyamanan, dengan
mempertimbangkan dan memanfaatkan potensi local meliputi potensi fisik seperti bahan
bangunan, geologis, dan iklim setempat serta potensi sosial budaya seperti arsitektur lokal, dan
cara hidup dan harganya terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah atau sedang
(Keputusan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah Republik Indonesia, 2002).

Pendekatan sistematis mengenai manajemen resiko terdiri dari :

1. Identifikasi Resiko

Langkah yang utama dan paling penting dalam menghadapi resiko adalah dengan
mengidentifikasikannya. Banyak pembuat keputusan meyakini bahwa prinsip yang baik dalam
manajemen resiko berasal dari tahap identifikasi daripada tahap analisa. Hal ini dikarenakan
identifikasi resiko mencakup perincian pemeriksaan strategi proyek, melalui resiko potensial
mana yang bisa ditemukan dan kemungkinan disusunnya respon.

2. Dampak dan Frekuensi

Untuk mengetahui seberapa besar dampak dan frekuensi dari identifikasi resiko, yang harus
dilakukan adalah dengan pengumpulan data untuk proses manajemen risiko. Data bisa diperoleh
melalui database perusahaan, namun apabila tidak bisa didapat dari database, bisa juga diambil
dari pengalaman masa lalu.

Data yang diambil merupakan sebuah asumsi prosentase atas sebuah resiko yang dapat terjadi
dalam sebuah item pekerjaan yang diangggap beresiko.

Hal ini bertujuan untuk menentukan seberapa besar dampak yang dapat diakibatkan dan
mengetahui frekuensi terjadinya resiko yang telah teridentifikasi tersebut.

3. Penanganan Resiko

Penanganan resiko adalah elemen terakhir dalam pendekatan manajemen resiko berupa sebuah
atau serangkaian tindakan yang menjadi bagian dari para pembuat keputusan untuk menangani
segala resiko yang ada. Berbagai cara penanganan yang mungkin dilakukan oleh kontraktor
rumah sehat sederhana adalah:

▪ Asuransi

▪ Menunda proyek

▪ Menentukan klausa akan penambahan atau kompensasi di kontrak pembayaran

▪ Menentukan sistem rekruitmen dan seleksi pekerja


▪ Membuat jadwal dan biaya dalam plan and control yang jelas dan sesuai

▪ Memasukkan klausa yang sesuai dalam tingkat suku bunga, tingkat inflasi dan keterlambatan
untuk rencana kontingensi di dalam kontrak

▪ Mengadopsi program safety control, manajemen sistem, pengawasan dan pencegahan yang
sesuai

▪ Memasukkan kondisi di dalam kontrak untuk tingkat polusi, dan sebagainya

▪ Mengalihkan pekerjaan ke subkontraktor

▪ Menyediakan/stok kebutuhan material terlebih dahulu dan menyimpannya

▪ Memperbaiki segala kerusakan atas komplain yang diterima.

Contoh kasus Manajemen Proyek dan Resiko

1. Perusahaan memutuskan untuk tidak menambah utang baru untuk membangun kembali
gedung yang terbakar berserta asetnya, namun menerbitkan saham baru. Penerbitan saham baru
ini tidaklah murah karena perusahaan harus mengeluarkan underwriting fees. Skenario lain yang
mungkin muncul adalah pada saat yang sama, perusahaan sebenarnya memiliki sebuah proyek
investasi yang sangat prospektif dan membutuhkan dana misalnya 2 triliun rupiah, yang
kebetulan persis sebesar kerugian akibat kebakaran tersebut. Seandainya perusahaan tidak
memiliki uang di atas jumlah itu, dana sebesar 2 triliun itu harus digunakan untuk membangun
kembali pabrik dan asetnya, akibatnya proyek investasi baru itu harus didanai dari sumber lain
seperti utang baru atau penerbitan saham baru.
2. Di Indonesia belum ada Ahli hukum kontrak bidang konstruksi, dilain pihak pembayaran Ahli
hukum kontrak konstruksi dari luar negeri sangat mahal, sementara yang dilakukan pemerintah
adalah dengan menunjuk Tim Pengganti ahli hukum kontrak konstruksi yang anggotanya terdiri
dari pejabat-pejabat yang dipandang menguasai hukum kontrak konstruksi.
Sertifikat tanda mengikuti Diklat Nasional Perikatan Hukum Kontrak & Manajemen Proyek ini
minimal dapat dijadikan salah satu syarat untuk diangkat sebagai anggota Tim Pengganti Ahli
Hukum Konstruksi di Instansinya masing – masing.

3. Manajemen risiko yang efektif juga mengurangi kemungkinan financial distress, yaitu
keadaan di mana perusahaan mengalami kesulitan yang serius untuk memenuhi kewajibannya,
baik bunga maupun pokok pinjaman. Misalkan perusahaan sepatu di atas tidak melakukan
asuransi terhadap potensi kebakaran pabrik, perusahaan harus membangun kembali pabrik
beserta aset di dalamnya dengan dana yang diusahakannya sendiri. Apabila kas perusahaan
ternyata tidak cukup untuk itu, perusahaan terpaksa harus meminjam dari lembaga keuangan
seperti bank. Pinjaman yang bertambah meningkatkan potensi financial distress perusahaan.
Oleh karena itu, manajemen risiko yang efektif dapat mengurangi kemungkinan ini

Anda mungkin juga menyukai