Anda di halaman 1dari 109

DAMPAK PENGUASAAN LAHAN DAN PEMBANGUNAN

PROPERTI TERHADAP MASALAH SOSIAL EKONOMI


MASYARAKAT DI KAWASAN SEGITIGA EMAS JAKARTA

OLEH

ANDROMEDA ARISTI RACHMI

H14104074

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008
RINGKASAN

ANDROMEDA ARISTI RACHMI. Dampak Penguasaan Lahan dan


Pembangunan Properti terhadap Masalah Sosial Ekonomi Masyarakat di Kawasan
Segitiga Emas Jakarta (dibimbing oleh DIDIN S. DAMANHURI).

Sumberdaya lahan di perkotaan memiliki masalah yang serius sebagai


akibat dari keterbatasan lahan. Jumlah penduduk yang meningkat
mengindikasikan bahwa penggunaan lahan juga akan semakin meningkat. Lahan
di perkotaan sudah mulai terbatas karena telah banyak dimanfaatkan untuk
kepentingan umum maupun kepentingan pribadi sehingga menimbulkan
persaingan dalam memperoleh lahan terutama lahan yang berada di lokasi
strategis pusat kota. Semakin strategis suatu kawasan maka harga lahan akan
semakin tinggi. Nilai komersial lahan yang terus naik mendorong pemilik modal
melakukan penguasaan lahan. Investasi di sektor lahan dipandang sangat
menguntungkan karena dalam waktu yang relatif singkat bisa memberikan capital
gain. Maka banyak spekulan memburu lahan-lahan yang berpotensi untuk
dijadikan pusat bisnis.
DKI Jakarta merupakan salah satu kota besar di Indonesia yang memiliki
kemajuan yang sangat pesat dengan adanya kawasan penggunaan lahan komersial
untuk perdagangan dan jasa industri seperti perkantoran, pusat perbelanjaan, dll.
Kawasan ini biasa disebut sebagai Kawasan Pusat Bisnis atau Central Business
District (CBD). Salah satu kawasan Pusat Bisnis yang terkenal di Jakarta adalah
Kawasan Segitiga Emas yang mencakup daerah Jalan Jendral Sudirman, Jalan
M.H Thamrin, serta Jalan H.R Rasuna Said - Gatot Subroto. Kawasan ini cukup
mewakili Kawasan Pusat Bisnis lainnya di Jakarta. Dengan infrastruktur yang
sangat baik, kawasan ini menjadi barometer pertumbuhan properti di Jakarta.
Dapat dilihat dengan bermunculan gedung-gedung perkantoran, pusat
perbelanjaan, dan pusat hiburan di dalamnya. Sebagai pusat bisnis, Kawasan
Segitiga Emas memang sangat mendominasi. Peluang usaha yang ditawarkan juga
cukup bervariasi dan menjanjikan sehingga bisnis properti di kawasan ini banyak
bermunculan.
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui akibat penguasaan lahan skala
besar melalui mekanisme perburuan rente (rent seeking) yang dilakukan oleh
konglomerat sehingga mendapatkan supernormal profit dan adanya ekonomi
biaya transaksi (transaction cost) untuk pembangunan proyek properti di
Kawasan Segitiga Emas Jakarta. Untuk melihat mekanisme perburuan rente dan
terdapatnya biaya transaksi digunakan metode wawancara, statistika deskriptif
dan koefisien korelasi rank spearman. Data yang dikumpulkan pada penelitian ini
merupakan data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini
diperoleh melalui metode wawancara mendalam dengan para informan dan 30
developer yang mengetahui masalah penguasaan lahan di Kawasan Segitiga Emas
Jakarta. Data sekunder diperoleh dari berbagai instansi pemerintah maupun swasta
seperti, Pusat Data Properti Indonesia, Pusat Studi Properti Indonesia, Badan
Pertanahan Nasional dan Kantor Kecamatan Setiabudi Jakarta Selatan.
Hasil penelitian menunjukan bahwa konglomerat, sebagai pengembang
properti, melakukan aktivitas perburuan rente dengan berkolusi dengan oknum
pemerintah, calo, dan preman agar dimudahkan dalam proses perizinan
penguasaan lahan. Untuk itu para pengembang akan mengeluarkan biaya transaksi
diluar biaya modal pembangunan proyek, baik biaya legal maupun biaya ilegal,
yang besarnya antara nol persen hingga 14 persen. Akibat adanya perburuan rente,
rakyat pemilik lahan akan dirugikan karena pengembang membebaskan lahannya
dengan harga yang rendah, sebaliknya harga jual properti di Kawasan ini sangat
mahal sehingga konglomerat akan mendapatkan supernormal profit dari
proyeknya tersebut.

\
DAMPAK PENGUASAAN LAHAN DAN PEMBANGUNAN
PROPERTI TERHADAP MASALAH SOSIAL EKONOMI
MASYARAKAT DI KAWASAN SEGITIGA EMAS JAKARTA

Oleh

ANDROMEDA ARISTI RACHMI

H14104074

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI


FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh,


Nama mahasiswa : Andromeda Aristi Rachmi
Nomor Registrasi Pokok : H14104074
Program Studi : Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi : Dampak Penguasaan Lahan dan Pembangunan
Properti terhadap Masalah Sosial Ekonomi
Masyarakat di Kawasan Segitiga Emas Jakarta
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian
Bogor.

Menyetujui,
Dosen Pembimbing,

Prof. Dr. H. Didin S. Damanhuri, S.E., M.S., D.E.A.


NIP. 131 404 217
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi

Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S.

NIP. 131 846 872

Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH


BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH
DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, September 2008

Andromeda Aristi Rachmi

H14104074
RIWAYAT HIDUP

Penulis yang bernama lengkap Andromeda Aristi Rachmi lahir pada


tanggal 31 Januari 1986 di Jakarta. Penulis anak pertama dari dua bersaudara, dari
pasangan Satriadi, S.E., M.Si. dan Etty Herawati Rachmi, S.E., M.M. Jenjang
pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah dasar di
SD Islam Al-Azhar Pusat Jakarta pada tahun 1998, kemudian melanjutkan ke
SLTP Islam Al-Azhar 1 Jakarta pada tahun yang sama dan lulus pada tahun 2001.
Pada tahun yang sama penulis diterima di SMU Islam Al-Azhar 1 Jakarta dan
lulus pada tahun 2004.

Pada tahun 2004 penulis melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih


tinggi. Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi pilihan penulis dengan harapan
besar agar dapat memperoleh ilmu dan mengembangkan pola pikir. Penulis masuk
IPB melalui Undangan Saringan Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai
mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi pada fakultas Ekonomi dan Manajemen.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di organisasi HIPOTESA pada Divisi
Hubungan Luar dan Eksternal Periode 2005/2006.
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah


memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan baik. Judul skripsi ini adalah “Dampak Penguasaan Lahan
dan Pembangunan Properti terhadap Masalah Sosial Ekonomi Masyarakat
di Kawasan Segitiga Emas Jakarta”. Penguasaan Lahan di Kawasan Segitiga
Emas Jakarta hanya akan dilakukan oleh konglomerat, dapat menyebabkan
terjadinya supernormal profit ,yaitu keadaan dimana keuntungan yang diperoleh
melebihi keuntungan normal. Jika hal ini terjadi, akan berimplikasi terhadap
masalah sosial ekonomi, yaitu akan ada pihak yang diuntungkan dan pihak yang
dirugikan karena adanya informasi tidak sempurna terhadap harga lahan. Skripsi
ini juga merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut
Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :

1. Kedua orang tua penulis, yaitu Satriadi, S.E., M.Si. dan Etty Herawati
Rachmi, S.E., M.M., serta adik satu-satunya penulis yaitu Bintang Rizki
Ramadhan atas doa, semangat dan dorongan materi serta moral yang
sangat besar artinya bagi perjalanan hidup penulis.
2. Prof. Dr. H. Didin S. Damanhuri, S.E., M.S., D.E.A., selaku dosen
pembimbing skripsi, yang telah membimbing dan memberikan saran
maupun kritik dalam penyelesaian skripsi ini.
3. Dr. Muhammad Findi Alexandi, M.E., selaku dosen penguji utama.
Terima kasih atas saran serta masukan demi perbaikan skripsi ini dan
Tony Irawan, M.App.Ec., selaku komisi pendidikan, terima kasih atas
saran tata cara penulisan skripsi ini.
4. Yulianto Wibisono (Arsitektur Lanskap 41) atas doa, motivasi, dukungan,
semangat dan kenangan indah selama berada di IPB.
5. Para informan, khususnya Hilda B. Alexander, Bapak Abdul Rochim,
Bapak Turgison, Bapak Nandang, dan Ibu Suryani, atas informasi yang
telah diberikan.
6. Seluruh staf Departemen Ilmu Ekonomi yang banyak membantu penulis
dalam kelancaran seminar dan sidang.
7. Teman-teman sebimbingan, yaitu Nina,Tatu, dan Deni atas bantuan dan
kerjasamanya.
8. Teman-teman terbaik penulis khususnya Puspa, Prima, Novie, Annisa,
Rima, Satrio, Duvian, Putri, Mika, Risa, Priyo, Tahur, Novi, Faradilla,
Fenny, Oktafiani, Iqbal dan Rossa yang selalu memberi dukungan dalam
mengerjakan skripsi ini.
9. Rekan-rekan FEM khususnya Marizka, Andra, Yuliana, Rizki Pranaputra,
Irma, Fitriyani, Kak Wawan dan Rama atas dukungan dan semangatnya.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang
membutuhkan.

Bogor, September 2008

Andromeda Aristi Rachmi

H14104074
DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii


DAFTAR TABEL .............................................................................................. v
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... vi
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... vii
I. PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah ........................................................................... 7
1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................... 8
1.4. Manfaat Penelitian ............................................................................. 9
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ................... 10
2.1. Pengertian Sumberdaya Lahan .......................................................... 10
2.2. Teori Harga Lahan ............................................................................. 13
2.3. Teori Permintaan dan Penawaran Lahan ........................................... 14
2.4. Teori Konglomerasi ........................................................................... 16
2.5. Teori Ekonomi Perburuan Rente (Rent Seeker Economic Theory) ... 19
2.6. Teori Ekonomi Biaya Transaksi (Transaction Cost) ......................... 22
2.7. Kawasan Pusat Bisnis (Central Business District) ............................ 24
2.8. Peran Pemerintah dalam Penentuan Harga Lahan ............................. 26
2.9. Koefisien Korelasi Rank Spearman ................................................... 28
2.10. Kerangka Pemikiran ........................................................................ 28
III. METODOLOGI PENELITIAN ............................................................... 31
3.1. Wilayah Penelitian ............................................................................. 31
3.2. Jenis dan Sumber Data ...................................................................... 31
3.3. Metode Analisis Data ........................................................................ 32
3.3.1. Mekanisme Rent Seeking Economic Activity........................... 32
3.3.2. Penguasaan Lahan Untuk Pembangunan Properti ................... 33
3.3.3. Dampak Sosial Ekonomi Penguasaan Lahan dan Properti...... 34
3.3.4. Peran Pemerintah dalam Penentuan Harga Lahan ................... 36
IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH ......................................................... 37
4.1. Perkembangan Wilayah Kawasan Segitiga Emas ............................. 37
4.2. Perkembangan Kawasan Segitiga Emas ............................................ 38
4.2.1. Kawasan Segitiga Emas Sebelum Masa Krisis ....................... 40
4.2.2. Kawasan Segitiga Emas pada Masa Krisis .............................. 41
4.2.3. Kawasan Segitiga Emas Pasca Krisis ...................................... 42
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 45
5.1. Mekanisme Rent Seeking Economic Activity
pada Penguasaan Lahan ..................................................................... 45
5.1.1. Biaya Transaksi (Transaction Cost)
pada Pembebasan Lahan.......................................................... 52
5.2. Penguasaan Lahan Untuk Pembangunan Properti ............................. 57
5.2.1. Pembangunan Properti oleh Grup Besar ................................. 62
5.2.2. Penguasaan Lahan dan Pembangunan Properti saat Krisis ..... 65
5.2.3. Pembangunan Properti Pasca Krisis Ekonomi ........................ 66
5.3. Dampak Sosial Ekonomi Penguasaan Lahan dan Properti ................ 72
5.4. Peran Pemerintah dalam penetapan Harga Lahan ............................. 81
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 86
6.1. Kesimpulan ........................................................................................ 86
6.2. Saran .................................................................................................. 87
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 89
LAMPIRAN ....................................................................................................... 91
DAFTAR TABEL

Nomor Halaman
2.1. Harga Lahan di Kawasan Segitiga Emas Jakarta ................................... 14
4.1. Jenis Bangunan di Kecamatan Setiabudi Jakarta Selatan ....................... 37
4.2. Rasio Luas Bangunan Tinggi dan Luas Wilayah per Kotamadya .......... 38
4.3. Harga Lahan Kawasan Segitiga Emas Sebelum Krisis .......................... 41
4.4. Harga Lahan Kawasan Segitiga Emas ketika Krisis............................... 42
4.5. Harga Lahan Kawasan Segitiga Emas Pasca Krisis ............................... 43
5.1. Penguasaan Lahan oleh Developer Tahun 1990..................................... 58
5.2. Proyek Ketika Krisis Ekonomi ............................................................... 61
5.3. Penguasaan Lahan Skala Besar Tahun 1990 .......................................... 63
5.4. Profit Dua Pengembang Besar Tahun 1990 ........................................... 64
5.5. Nilai Kapitalisasi Proyek Kawasan Segitiga Emas ................................ 66
5.6. Proyek Properti Pasca Krisis .................................................................. 67
5.7. Pertimbangan Teknis Tata Guna Lahan Tahun 2004 - 2008 .................. 68
5.8. Rencana Pembangunan Proyek Tahun 2008 .......................................... 70
5.9. Profit Developer pada Pembebasan Lahan Skala Besar ......................... 77
5.10. Kasus Pembebasan Lahan di Tahun 1990 – 2001 .................................. 79
5.11. Penerapan NJOP Tahun 2007 ................................................................. 82
DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

2.1. Kerangka Pemikiran Operasional ........................................................... 30


5.1. Status Lahan Terhadap Transaction Cost ............................................... 48
5.2. Harga Jual Lahan Properti di Kawasan Segitiga Emas .......................... 50
5.3. Persentase Transaction Cost di Kawasan Segitiga Emas ....................... 55
5.4. Perkembangan Harga Lahan dalam Lima Tahun Pasca Pakto 1988 ...... 58
5.5. Harga Pembebasan Lahan Skala Besar................................................... 75
5.6. Perkembangan Harga Jual Lahan di Kawasan Segitiga Emas ............... 76

\
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Hasil Wawancara Mekanisme Pembebasan Lahan ...................................... 92


2. Tabel Frekuensi Transaction Cost ............................................................... 92
3. Tabel Frekuensi Status Lahan ...................................................................... 93
4. Tabel Frekuensi Harga Jual Lahan............................................................... 93
5. Tabel Frekuensi Harga Pembebasan Lahan ................................................. 93
6. Hasil Korelasi Rank Spearman .................................................................... 93
7. Daftar Informan yang Diwawancara ............................................................ 94
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Lahan merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat penting bagi

kehidupan manusia. Sumberdaya lahan berguna sebagai penunjang aktivitas

manusia. Di perkotaan, kebutuhan akan lahan sangat tinggi baik untuk

dimanfaatkan sebagai tempat tinggal, perkantoran, pusat bisnis, dan pusat hiburan.

Sebagai penunjang aktivitas manusia, ketersediaan lahan relatif tetap dari waktu

ke waktu. Lahan merupakan sebuah komoditi yang sangat penting perannya

dalam perekonomian, khususnya dalam ekonomi perkotaan. Lahan tidak hanya

menyangkut kebutuhan hidup orang banyak, tetapi juga sebagai faktor yang

menentukan suatu bisnis.

Seiring bertambahnya jumlah penduduk dan berkembangnya sektor

perekonomian, kebutuhan terhadap sumberdaya lahan menjadi semakin penting.

Hal ini memberikan dampak meningkatnya tekanan permintaan lahan untuk

berbagai keperluan yang semakin beragam. Di sisi lain persediaan lahan dalam

suatu kawasan adalah inelastis, karena luas lahan tidak dapat ditambah secara

cepat dan drastis. Lahan di perkotaan sudah mulai terbatas karena telah banyak

dimanfaatkan untuk kepentingan umum maupun kepentingan pribadi sehingga

menimbulkan persaingan dalam memperoleh lahan terutama lahan yang berada di

lokasi strategis pusat kota.

Terdapat dua hal yang selalu melekat pada lahan khususnya di daerah

perkotaan, yaitu kelangkaan (scarcity) dan permintaan-penawaran terhadap lahan.

Lahan merupakan sebuah komoditi yang sangat penting perannya dalam


perekonomian, khususnya dalam ekonomi perkotaan. Perkembangan naik

turunnya harga lahan akan mempunyai dampak yang luas dari segi ekonomi

maupun sosial, maka oleh karena itulah pemerintah harus benar-benar

memperhatikan masalah perlahanan. Indikasi ini menunjukkan adanya

ketimpangan antara permintaan dan penawaran terhadap lahan sehingga

mendorong masyarakat dan para pelaku ekonomi melakukan kegiatan investasi

dan spekulasi terhadap lahan. Secara alamiah harga lahan akan mengalami

kenaikan. Semakin strategis suatu kawasan maka harga lahan akan semakin

tinggi.

Nilai komersial lahan yang terus naik mendorong pemilik modal

melakukan penguasaan lahan. Investasi di sektor lahan dipandang sangat

menguntungkan karena dalam waktu yang relatif singkat bisa memberikan capital

gain. Maka banyak spekulan memburu lahan-lahan yang berpotensi untuk

dijadikan pusat bisnis. Biasanya harga lahan tertinggi ini bila lokasi berada di

Central Business District (CBD).

DKI Jakarta merupakan salah satu kota besar di Indonesia yang memiliki

kemajuan yang sangat pesat. Hal ini dapat ditunjukkan dengan pembangunan

daerah yang cepat. Sebagai ibukota negara Indonesia, DKI Jakarta memiliki visi

untuk lebih mensukseskan pembangunan guna tercapainya suatu kesejahteraan,

yaitu dengan menjadikan DKI Jakarta sebagai kota jasa berskala internasional.

Ciri-ciri kota jasa dengan skala internasional adalah dengan adanya

kawasan penggunaan lahan komersial untuk perdagangan dan jasa industri yang

biasa disebut sebagai Kawasan Pusat Bisnis atau Central Business District (CBD).
Pembangunan pusat bisnis Jakarta di era modern baru dimulai pada awal

tahun 1960-an. Hampir bersamaan dengan pembangunan arena olahraga Istora

Senayan, pusat perbelanjaan pertama Sarinah, dan Hotel Indonesia. Semuanya

berada di koridor utama kota yang menghubungkan pusat pemerintahan di

kawasan Monumen Nasional dengan kota satelit pertama, Kebayoran Baru. Jalan

itu kemudian diberi nama Jl. M.H. Thamrin dan Jl. Jend. Sudirman. Seiring

dengan perkembangan kota dan masa, pembangunan gedung-gedung perkantoran

pun merambah hingga daerah Kuningan, dengan dibukanya dua jalan utama Jl.

H.R. Rasuna Said dan Jl. Jend. Gatot Subroto pada akhir tahun 1970-an. Namun,

pada awal tahun 1990-an terjadi booming properti dengan dikenalkannya

pembangunan berkonsep superblok atau kawasan pusat bisnis multifungsi1.

Salah satu kawasan pusat bisnis yang terkenal di Jakarta adalah Kawasan

Segitiga Emas yang mencakup daerah Jalan Jendral Sudirman, Jalan M.H

Thamrin, serta Jalan H.R Rasuna Said - Gatot Subroto. Kawasan ini cukup

mewakili Kawasan Pusat Bisnis lainnya di Jakarta. Dengan infrastruktur yang

sangat baik, kawasan ini menjadi barometer pertumbuhan properti di Jakarta.

Dapat dilihat dengan bermunculan gedung-gedung perkantoran, pusat

perbelanjaan, dan pusat hiburan di dalamnya.

Sebagai pusat bisnis, Kawasan Segitiga Emas memang sangat

mendominasi. Peluang usaha yang ditawarkan juga cukup bervariasi dan

menjanjikan sehingga bisnis properti di kawasan ini banyak bermunculan.

Berdasarkan data Pusat Studi Properti Indonesia luas Kawasan Segitiga

1
Properti Indonesia, Edisi Juli 2005. Hal 26
Emas Jakarta sebesar 1.350 hektar dengan nilai pasar yang mencapai Rp 201,7

triliun. Sebanyak 347 hektar lahan di Kawasan Segitiga Emas merupakan

kawasan rumah tinggal, lahan untuk perkantoran sebesar 87 hektar. Hingga tahun

2002 luas bangunan yang sudah terbangun di kawasan ini baru mencapai 9,5 juta

meter persegi atau 20 persen dari luas keseluruhan kawasan Segitiga Emas2.

Sebagai kawasan elit, harga lahan di kawasan ini sangat tinggi. Hal ini

menimbulkan berbagai kendala-kendala institusional seperti kepemilikan, dan hak

property atas lahan di kawasan Segitiga Emas yang dapat berakibat terjadinya

benturan terhadap kepemilikan lahan. Para konglomerat yang menerima dana dari

bank berlomba-lomba menguasai Kawasan Segitiga Emas, sehingga label

konglomerat baru bisa didapat jika seorang pengusaha telah memiliki gedung di

kawasan tersebut. Hal ini menyebabkan terjadinya spekulasi lahan. Lahan di

Kawasan Segitiga Emas begitu diburu. Saat properti mengalami masa booming

harga lahan rata-rata di Jl. Jend. Sudirman 3.500 dollar AS per m2. Peningkatan

terjadi saat berlangsungnya pembebasan lahan besar-besaran untuk pembangunan

pusat bisnis tersebut3.

Ditinjau dari aspek perpajakan, harga lahan yang tinggi akan sangat

menguntungkan pemerintah karena penerimaan pemerintah menjadi bertambah

dari pajak. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan mempunyai peran dalam

penentuan harga lahan di kawasan pusat bisnis.

Masalah pertanahanan tidak hanya sebagai masalah pengorganisasian

spasial karena masalahnya terletak pada hubungan-hubungan sosial. Itu sebabnya


2
Ibid.Hal.25.
3
Ibid. Hal.27.
masalah lahan di perkotaan sering dipandang sebagai penyebab kontradiksi sosial

serta konflik-konflik apalagi bila pemerintah ikut campur tangan dan turut

bertindak seirama dengan hubungan antara kekuatan-kekuatan golongan serta

kelompok-kelompok sosial dengan mendukung fraksi hagemonis golongan

dominan4.

Dasar hukum yang menjadi landasan kebijakan pemerintah atas lahan

antara lain Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3, Undang-Undang Pokok

Agraria No. 5 Tahun 1960, TAP MPR RI No. IX/MPR/2001, dan Peraturan

Presiden Republik Indonesia No. 36 Tahun 2005. Dengan adanya perangkat

hukum ini, diharapkan dapat lebih berfungsi maksimal dalam menata dan

mengelola lahan di perkotaan. Kebijakan ini tidak mampu mengendalikan harga

lahan di perkotaan karena adanya aktivitas perburuan rente oleh para konglomerat

dan para broker lahan yang mencari kesempatan mengambil keuntungan dalam

spekulasi lahan.

Ditinjau dari aspek ekonomi pasar, peranan pemerintah melakukan intervensi

hanyalah jika pasar tidak dalam keadaan sempurna. Dalam arti ada kondisi-kondisi

yang menghalangi kompetisi yang fair terjadi. Kondisi-kondisi tersebut dikenal

dengan istilah market failure.

Sejumlah contoh klasik dari kondisi market failure antara lain:

eksternalitas (misalnya pencemaran dan kerusakan lingkungan), informasi yang

4
Patrick McAuslan.1986. Lahan Perkotaan dan Perlindungan Rakyat Jelata. PT Gramedia,
Jakarta. Hal. 23.
tidak simetris, biaya transaksi, kepastian institusional serta masalah dalam

distribusi5.

Terbukanya peluang penguasaan dan pemanfaatan lahan, hendaknya tidak

semakin mempertajam polarisasi antara pihak yang kuat dengan pihak yang

lemah. Kegiatan ekonomi terdiri dari tiga pelaku di dalamnya, yakni pemerintah,

pihak swasta, dan masyarakat yang masing-masing memiliki bargaining positions

yang berbeda dalam akses terhadap modal dan akses politik berkenaan dengan

sumber daya lahan yang terbatas. Kedudukan yang tidak seimbang dalam posisi

tawar-menawar di antara masyarakat dan pihak swasta lebih ditegaskan dengan

adanya kewenangan pembuat kebijakan untuk merancang kebijakan yang bias

terhadap kepentingan sekelompok kecil masyarakat tersebut dalam upaya

penguasaan dan pemanfaatan lahan.

Lahan di Kawasan Segitiga Emas Jakarta hanya akan dikuasai oleh

konglomerat yang sama dan pihak konglomerat nantinya yang menentukan

market price atas lahan di Kawasan Segitiga Emas Jakarta. Penguasaan terhadap

Kawasan Pusat Bisnis oleh para pemain lama properti akan menyebabkan

terjadinya keuntungan di atas normal yang akan berimplikasi terhadap masalah

sosial ekonomi, yaitu akan ada pihak yang diuntungkan dan pihak yang dirugikan

karena adanya informasi tidak sempurna terhadap harga lahan.

Penggunaan lahan di Kawasan Segitiga Emas dikhawatirkan tidak lagi

bermanfaat bagi masyarakat sehingga pembangunan properti dapat menggusur

penduduk miskin dari kota.

5
Ari A. Perdana. 2001. Peranan “Kepentingan” Dalam Mekanisme Pasar dan Penentuan
Kebijakan Ekonomi di Indonesia[Jurnal]. Economics Working Paper Series CSIS. Hal. 2.
1.2. Perumusan Masalah

Sumberdaya lahan di perkotaan memiliki masalah yang serius sebagai

akibat dari keterbatasannya lahan. Jumlah penduduk yang meningkat

mengindikasikan bahwa penggunaan lahan juga akan semakin meningkat.

Sebagian besar penduduk di perkotaan menginginkan lokasi lahan yang strategis

dan dekat dengan CBD.

Kawasan Segitiga Emas Jakarta merupakan salah satu superblok lama

yang multifungsi. Seperti diketahui, harga lahan di kawasan Segitiga Emas Jakarta

sangat tinggi. Peluang usaha di kawasan ini sangat menjanjikan sehingga banyak

konglomerat yang berinvestasi di kawasan Segitiga Emas Jakarta untuk dijadikan

gedung-gedung bertingkat dan pusat bisnis.

Hal ini tentu saja akan menggeser pemukiman yang ada di sekitarnya.

Nantinya terdapat pihak yang diuntungkan dan ada pihak yang dirugikan dalam

proses pembangunan di kawasan ini karena adanya spekulasi lahan dari para

pemburu rente dan pihak yang memiliki kepentingan dalam penguasaan lahan di

kawasan itu. Pihak konglomerat ini biasanya merupakan pemain lama yang

sebagian menguasai berbagai aspek perekonomian Indonesia. Para konglomerat

inilah yang sudah dan akan menguasai lahan di Kawasan Segitiga Emas Jakarta.

Penguasaan secara sepihak oleh para konglomerat akan menyebabkan

terjadinya supernormal profit. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan seyogyanya

melakukan intervensi dalam masalah penetapan harga lahan sehingga tercapai

keadilan (fairness).
Harga lahan yang ditetapkan biasanya berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak

(NJOP). Akan tetapi pada praktiknya transaksi yang berlangsung berdasarkan

harga di pasar lahan (market price). Namun adanya informasi yang tidak

sempurna dengan harga pasar yang terbentuk tersebut menimbulkan masalah

sosial ekonomi. Akan timbul salah satu pihak yang diuntungkan dan pihak lainnya

dirugikan, bahkan secara ekstrem. Yakni terjadi pemusatan kekayaan di tangan

segelintir orang (konglomerat) dengan korbanan tergusurnya banyak rakyat

miskin.

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui dominasi konglomerat dalam penguasaan lahan di Kawasan

Segitiga Emas Jakarta.

2. Mengetahui mekanisme aktivitas perburuan rente di Kawasan Segitiga

Emas Jakarta.

3. Mengetahui perkembangan pembangunan properti di Kawasan Segitiga

Emas Jakarta.

4. Mengetahui dampak sosial ekonomi akibat penguasaan lahan di Kawasan

Segitiga Emas Jakarta.


1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah :

1. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi perencanaan dan

pemerintah dalam menetapkan kebijakan atas lahan, khususnya dalam hal

penetapan pajak, dan harga lahan.

2. Sebagai bahan masukan bagi pemilik lahan dalam memperkirakan nilai

ekonomi lahannya agar tidak terjadi informasi yang tidak sempurna.

3. Sebagai bahan referensi penelitian-penelitian selanjutnya.


II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Pengertian Sumberdaya Lahan

Menurut Hartwick dan Olewiler (1986) pengertian sumberdaya lahan ialah

menyangkut seluruh permukaan, termasuk segala yang terkandung dalam lahan

itu yang berguna bagi budidaya atau produksi pertanian, selain itu juga

menyangkut juga bahan-bahan organik dan air yang terkandung6. Sumberdaya

lahan merupakan sumberdaya yang penting untuk menopang segala aktivitas

manusia, baik sebagai sumberdaya yang dapat diolah maupun sebagai tempat

tinggal atau rekreasi, jalan-jalan (transportasi) dan sebagainya serta menunjukkan

bagaimana memanfaatkan sumberdaya lahan secara optimal untuk kemakmuran

rakyat.

Menurut Barlowe (1986) dalam Hasanah (2004) dikatakan bahwa

pengertian atau konsep tentang lahan dapat dibagi menjadi beberapa konsep,

yaitu7 :

1. Lahan sebagai suatu ruang, yaitu bahwa lahan merupakan suatu ruang

yang terdapat kehidupan di dalam dan di permukaannya. Dalam hal ini

sumberdaya lahan adalah tetap dalam kuantitasnya dan tidak dapat

ditingkatkan.

2. Lahan sebagai alam, yaitu bahwa lahan merupakan sumberdaya alam yang

dapat dimodifikasi sebagai sumberdaya.

6
John M. Hartwick dan Nancy D. Olewiler. 1986. The Economics of Natural Resources Use.
Harper&Row, New York. Hal 39.
7
Florin Hasanah.2004. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Lahan Permukiman di
Kecamatan Lahan Sareal, Kota Bogor [Skripsi].Faperta IPB.
3. Lahan sebagai faktor produksi, yaitu lahan bersama-sama dengan faktor

produksi lainnya seperti tenaga kerja, kapital, dan manajemen sebagai

suatu kesatuan faktor produksi dalam perekonomian.

4. Lahan sebagai barang konsumsi, yaitu lahan tidak hanya dimiliki sebagai

kebanggaan karena tidak hanya dapat menambah produksi tetapi juga

memiliki nilai sebagai barang konsumsi di dalam hak miliknya.

5. Lahan sebagai situasi, yaitu mempunyai peran dalam pasar, karena nilai

dan penggunaan lahan ditentukan oleh kepentingan dalam perekonomian

modern dan dunia politik.

6. Lahan sebagai suatu milik, yaitu diperhatikan sebagai suatu areal yang

dimiliki oleh individu, kelompok, atau kekuatan tertentu yang digunakan

secara bertanggung jawab terhadap lahan yang dimilikinya.

7. Lahan sebagai kapital dalam perekonomian.

Berikut ini Empat karakteristik fisik yang paling abstrak yang

membedakan lahan perkotaan dengan entitas ekonomi lainnya8:

1. Berdimensi ruang (Space)

Karakteristik dimensional dari sebuah lahan mungkin merupakan

karakteristik fisik yang terpenting. Jadi kuantitas lokasi yang terdapat pada

sebuah lahan adalah secara kritis amat penting dalam pemahaman kita

akan utilitas ekonomi dari sebuah lahan perkotaan.

8
Michael Goldberg dan Peter Chinloy.1984.Urban Land Economics. John wiley & Sons, Inc.,
Canada. Hal.37.
2. Tidak dapat dihancurkan (Indestructibility)

Lokasi fisik lahan dapat diciptakan atau dimusnahkan. Pemahaman

mengenai suatu lokasi muncul dari suatu struktur yang diciptakan untuk

membuatnya berguna bagi masyarakat. Sifat tidak dapat dihancurkan dari

lahan, ini berarti bahwa lahan perkotaan memiliki sebuah karakteristik

jangka panjang yang secara signifikan berbeda dari jenis barang dan jasa

ekonomi lainnya. Hal tersebut juga mengimplikasikan bahwa jumlah

persediaan fisik lokasi secara absolut adalah tetap, meskipun struktur dari

ketahanan yang tidak lama mempengaruhi penawaran efektif dari properti

riil yang tersedia pada suatu titik waktu tertentu.

3. Tidak dapat bergerak atau dipindahkan (Immobility)

Lokasi pada permukaan bumi tidak dapat dipindahkan dengan cara

apapun. Lahan secara permanen besifat tetap dengan lokasi fisik yang

melingkupinya.

4. Keunikan (Uniqueness)

Setiap unit dari properti adalah unik. Hanya ada satu dari setiap lokasi

pada permukaan bumi ini. Lebih lanjut lagi, setiap unit lahan

dikarakteristikkan dengan kemiringannya, aspek-aspeknya, ketinggiannya,

kesuburannya, mineralisasinya, unit lahan di sekelilingnya dan

karakteristiknya, dimensinya, bentuknya, iklimnya dan seterusnya

Keempat karakteristik diatas membedakan lahan dengan kuantitas ekonomi

lainnya dan membutuhkan pengaturan khusus.


2.2. Teori Harga Lahan

McAuslan (1986) menyatakan bahwa semua lahan memiliki nilai. Nilai itu

tergantung dari nilai barang dan jasa yang dapat dihasilkan di atas lahan tersebut.

Tetapi sulit untuk menemukan dan menggunakan suatu cara untuk menilainya

kecuali melalui pasar9. Pengertian harga lahan yang menyangkut segi keuangan

yaitu harga lahan di pasaran. Harga lahan dapat dilihat dari dua segi :

1. Harga lahan sebagai pasar, yaitu harga lahan yang disetujui pada saat

penjualannya.

2. Harga lahan sebenarnya (assessed value), yaitu harga yang diperkirakan

oleh seseorang yang ahli menilai lahan (assessor) baik swasta maupun

umum. Harga ini tergolong opportunity cost untuk masa depan.

Penentuan harga lahan lebih didominasi oleh harga pasar dan sangat

memungkinkan terjadinya spekulasi lahan karena harga lahan akan terus

meningkat dengan semakin berkembangnya sektor properti di kawasan itu.

Berdasarkan survei Properti Indonesia10. Pada akhir tahun 2003 terjadi

peningkatan harga lahan di kawasan ini, setelah sempat terpuruk akibat krisis

moneter lalu. Banyak properti yang dibangun, khususnya di kawasan Kuningan

sehingga harga lahan cepat meningkat.

9
Patrick McAuslan.Op.Cit. Hal.10
10
Properti Indonesia. Loc.Cit.
Tabel 2.1. Harga Lahan di Kawasan Segitiga Emas Jakarta
Kawasan Segitiga Sebelum Krisis Saat Krisis Pasca Krisis
Emas Jakarta
Jl. Jend. Sudirman Rp 10 juta per m2 Rp 6,3 juta per m2 Rp 12 juta –
Rp 14 juta per
m2
Jl. M.H. Thamrin Rp 8,75 juta per m2 Rp 6 juta per m 2
Rp 15 juta –
Rp 16 juta per
m2
Jl. H.R. Rasuna Said Rp 8 juta per m2 Rp 5,2 juta – Rp Rp 11 juta –
2
Jl. Gatot Subroto 5,9 juta per m Rp 12,5 juta
per m2
Sumber : Properti Indonesia, 2005.

Berdasarkan Tabel 2.1. ternyata harga lahan di Kawasan Segitiga Emas

pernah mengalami penurunan pada saat krisis moneter. Akhir tahun 1997 pasar

masih bisa menyerap 88 persen dari 2,99 juta m2, tapi dalam waktu setahun angka

ini terus menurun hingga penyerapannya hanya sebesar 65 persen atau sebesar 2,1

juta per m2. Krisis yang mendera membuat angka penyerapan tidak berubah11.

Akibat krisis, para konglomerat yang dulu memburu Kawasan Segitiga

Emas banyak yang bermasalah sehingga masuk dalam Badan Penyehatan

Perbankan Nasional (BPPN). Aset-aset yang mereka miliki di kawasan ini

akhirnya diambil alih oleh BPPN menyusul hancurnya perbankan nasional.

2.3. Teori Permintaan dan Penawaran Lahan

Kelangkaan terjadi ketika penawaran bertemu unsur lain seperti harga dan

permintaan, maka akan terjadi kelangkaan atau kelimpahan. Penawaran sangat

dipengaruhi oleh harga, sehingga menimbulkan elastisitas harga terhadap

11
Ibid.Hal.27.
penawaran12. Di kota-kota besar Indonesia, penawaran lahan menjadi semakin

langka yang disebabkan permintaan dari tahun ke tahun yang semakin besar.

Karena ketersediaan prasarana yang lebih baik dibandingkan dengan daerah lain,

maka kota-kota besar seperti Jakarta berkembang menjadi pusat investasi yang

memerlukan lahan luas, yang akhirnya mendorong perluasan atau pengembangan

areal kota. Semua ekspansi investasi tersebut menyebabkan para investor harus

bersaing dengan kebutuhan masyarakat terhadap lahan untuk permukiman.

Permintaan lahan untuk permukiman, investasi, bisnis menyebabkan harga lahan

mengalami peningkatan tajam.

Hartwick dan Olewiler menyatakan bahwa permintaan akan lahan secara

fisik berarti keinginan, kebutuhan atau persyaratan terhadap fasilitas tertentu,

seperti perumahan, rekreasi, sekolah, dan merupakan ruang publik13. Permintaan

lahan secara ekonomi merupakan keinginan dan minat masyarakat untuk membeli

suatu lahan. Sedangkan penawaran secara ekonomi adalah porsi atau bagian dari

penawaran fisik lahan yang digunakan oleh manusia yang secara aktual

dimanfaatkan, dibutuhkan sehingga ada nilai di atasnya.

Harga lahan di suatu lokasi tidak hanya ditentukan oleh jaraknya terhadap

pusat kota, tetapi juga oleh kekuatan antara permintaan dan penawaran

Permintaan dan penawaran lahan ditentukan oleh karakteristik lahan pada suatu

lokasi tertentu14.

12
Ibid.Hal.40.
13
John M. Hartwick dan Nancy D. Olewiler.Loc.Cit.
14
Guritno Mangkoesoebroto. 1994. Kebijakan Ekonomi Publik di Indonesia: Substansi dan
Urgensi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Hal. 182.
Usaha pemerintah untuk mengendalikan harga lahan di Kawasan Segitiga

Emas yang akan mengandung konsekuensi sebagai berikut :

1. penetapan harga lahan akan menjadi sangat arbitrary,

2. adanya kemungkinan pasar gelap (black market),

3. sistem administrasinya lebih sulit.

2.4. Teori Konglomerasi

Menurut Priasmoro, konglomerasi adalah menyatunya berbagai

perusahaan dalam satu grup sehingga seluruh kebijakan manajemen pokok

ditentukan oleh satu pusat saja yang dapat mengalahkan dan merebut pesaingnya.

Perusahaan akan bertambah besar lagi dan mudah mengatur harga transaksi antar

perusahaan untuk menghindari pajak dan memiliki bargaining power15. Saat bank

begitu mudah mengucurkan kredit, para konglomerat yang menerima dana dari

bank akan berlomba-lomba menguasai Kawasan Segitiga Emas. Konglomerat ini

akan melakukan spekulasi atas lahan di kawasan ini. Tidak mengherankan jika

banyak grup konglomerat yang mengembangkan superblok di Kawasan Segitiga

Emas. Misalnya saja Kawasan Niaga Terpadu SCBD yang dikembangkan PT

Danayasa Arthatama, Superblok Mega Kuningan dikembangkan oleh PT Rajawali

Nusantara Indonesia. Melalui PT Kuningan Persada, Grup Salim membangun

superblok seluas 57 hektar. Tidak ketinggalan Grup Ciputra turut

mengembangkan Superblok Satrio di Jl. H.R. Rasuna Said16.

15
Priasmoro.1994. Konglomerasi Ekonomi Indonesia dalam Rangka Persatuan dan Kesatuan
Bangsa. LPSI, Jakarta. Hal. 17.
16
Properti Indonesia. Op.Cit. Hal. 27
Sebagai pelaku ekonomi dengan adanya konglomerasi akan memberi

dampak bagi pembangunan perekonomian Indonesia. Dampak positif yang timbul

akibat konglomerasi adalah adanya bargaining power yang kuat, adanya

peningkatan perekonomian, dan berkembangnya pembangunan di Indonesia.

Walaupun begitu, dampak negatif yang dihasilkan akibat konglomerasi pun cukup

banyak, yaitu17 :

1. kekuatan ekonomi menjurus pada pembentukan monopoli/oligopoli maka

akan menimbulkan ketidakefisiensian sehingga masyarakatlah menjadi

korban,

2. ketidakadilan terhadap masyarakat karena konglomerat mendapat fasilitas

pemerintah berupa kredit murah dari bank-bank negara,

3. proses pembangunan kurang merata karena hanya terkonsentrasi di

wilayah Jakarta dan Pulau Jawa,

4. banyaknya WNI Cina yang berperan penting dalam konglomerasi.

Kekuasaan ekonomi golongan nonpribumi di berbagai sektor

perekonomian telah terkonsolidasi dengan sangat kokoh melalui pembentukan

konglomerasi-konglomerasi dalam berbagai jenis kegiatan ekonomi, mulai dari

perdagangan, industri, perbankan, hingga properti18.

Peran konglomerat di Indonesia menimbulkan polemik karena di satu sisi

banyak anggapan negatif terhadap para konglomerat yang sering mendapat

sorotan dengan adanya penguasaan di sebagian besar sektor perekonomian

17
Priasmoro. Loc.Cit.
18
Sritua Arif.1990. Dari Prestasi Pembangunan Sampai Ekonomi Politik. UI-Press, Jakarta.
Hal.182
Indonesia. Tetapi ada sisi positif yang ditimbulkan. Kwik Kian Gie menyatakan:

Konglomerat merupakan kumpulan profit centre yang dimiliki oleh satu


orang atau perkongsian dari sekelompok orang. Bisa dikatakan yang
menjadi batas apakah perusahaan itu merupakan profit centre atau tidak
adalah bila sebuah organisasi yang bersangkutan bertransaksi melalui
mekanisme pasar atau tidak19.

Ciri dari suatu profit centre bila perilaku perkongsian selalu tunduk pada

persaingan dan mekanisme pasar, walaupun berhubungan dengan kelompoknya

sendiri karena kepemilikan yang sama. Permasalahan yang timbul dari

konglomerat adalah monopoli karena para konglomerat menguasai banyak

perusahaan, mulai dari hulu ke hilir, dari jenis produk tertentu sehingga akan

mematikan pesaingnya. Para pesaingnya harus membeli bahan baku dari

konglomerat dengan harga yang tidak wajar. Jika ini dibiarkan, akan

menimbulkan keuntungan di atas normal (supernormal profit).

Kesan kuat yang timbul di masyarakat bahwa para konglomerat

mendapatkan kesempatan begitu luas dan besar dengan fasilitas yang begitu

banyak. Sementara para pengusaha biasa harus puas dengan apa yang ada, dalam

bentuk eksperimentasi yang tidak terfokus pada terbukanya akses yang sama. Para

konglomerat yang sebagian besar merupakan golongan nonpribumi biasa lebih

diberikan keleluasan dalam sistem perkreditan di Indonesia. Dalam penguasaan

properti, khususnya Lippoland dan Citraland, sektor ini mengandung berbagai

macam tingkat spekulasi yang tinggi dan sistem financing yang bervariasi.

19
Kwik Kian Gie. 1994. Analisis Ekonomi Politik Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama dan
STIE IBII, Jakarta. Hal. 234.
Menurut Sjahrir, pentingnya eksistensi konglomerat dilihat dari dua segi,

yaitu20:

1. kehadiran konglomerat sebagai suatu unit ekonomi yang efisien,

2. diterimanya eksistensi konglomerat secara politis.

Kedua hal ini bisa saja sejalan ataupun bertentangan satu sama lainnya. Jika para

konglomerat ingin diterima sebagai unit ekonomi yang efisien, mereka harus

mampu mentransformasikan basis kekuatannya dari kekuatan politik menjadi

kekuatan pasar.

Hal ini memungkinkan terjadinya penetapan harga sepihak, terabaikannya

kepentingan konsumen, serta munculnya berbagai macam praktik inefisiensi pasar

yang sengaja dilakukan demi tercapainya supernormal profit bagi para

konglomerat.

2.5. Teori Ekonomi Perburuan Rente (Rent Seeking Economic Theory)

Berbagai masalah ekonomi yang melanda Indonesia merupakan cermin

dari rusaknya sistem ekonomi politik dan kebijakan publik di Indonesia.

Kebijakan yang rasional dan bertanggung jawab tidak dapat diwujudkan apabila

pengaruh langsung maupun tidak langsung dari suatu kekuasaan yang terlalu kuat

karena tidak ada mekanisme kontrol yang sehat. Eksistensi ruang lobi politik yang

tidak transparan merupakan wahana yang tumbuh subur bagi para pemburu rente.

Ciri utama demokrasi perwakilan adalah dorongan dan kekuatan politis yang

dapat dimiliki para pelakunya untuk meloloskan peraturan yang dapat

20
Sjahrir.1995. Ekonomi Politik Konglomerasi Indonesia. Warta Ekonomi, Jakarta.Hal.11.
meningkatkan kekayaan mereka. Sistem persaingan yang sehat tidak tercipta

karena tatanan untuk membangun sistem bisnis yang jujur sengaja tidak

diciptakan agar perburuan rente ekonomi semakin luas21.

Perburuan rente (rent seeking) dapat didefinisikan sebagai upaya

individual atau kelompok untuk meningkatkan pendapatan melalui pemanfaatan

regulasi pemerintah untuk menghambat penawaran atau peningkatan permintaan

sumberdaya yang dimiliki22. Individu atau kelompok tersebut memperoleh

pendapatan tanpa secara aktual meningkatkan produktivitas atau malah

mengurangi produktivitas tersebut.

Hal ini berkaitan dengan konglomerat yang memiliki kepentingan khusus

yang mempengaruhi suatu instansi untuk menyetujui kebijakan para konglomerat

terhadap penggunaan fasilitas-fasilitas pasar dan penguasaan lahan. Para pemburu

rente (rent seekers) akan melakukan pengalihan sumberdaya dari penggunaan

produktif untuk melakukan pengalihan kepada aktivitas lain yang lebih fokus

kepada pemindahan pendapatan23.

Sumber ketidakefisienan dan eksternalitas tidak saja diakibatkan oleh

kegagalan pasar tetapi juga kegagalan pemerintah (government failure).

Kegagalan pemerintah banyak diakibatkan tarikan kepentingan pemerintah sendiri

atau kelompok tertentu (interest groups), dalam hal ini konglomerat, yang tidak

mendorong efisiensi. Kelompok tertentu ini memanfaatkan pemerintah untuk

21
Didik J. Rachbini.1999. Diagnosa Ekonomi dan Kebijakan Publik. PT Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta. Hal.7.
22
Ahmad Erani Yustika.2006. Ekonomi Kelembagaan : Definisi, Teori dan Strategi. Bayumedia
Publishing, Jatim. Hal.147.
23
Priasmoro. Op. Cit. Hal 22.
mencari rente (rent seeking) melalui proses politik dengan mempengaruhi

kebijakan. Aksi perburuan rente ini bisa diaplikasikan dalam bentuk24 :

1. rent seekers yang mempunyai kepentingan agar diberikan kemudahan

dalam melakukan penguasaan lahan yang akan menguntungkan mereka,

2. praktik mencari keuntungan, bisa dilakukan oleh pemerintah sendiri

seolah-olah secara sah. Misalnya memberlakukan proteksi berlebihan

untuk barang-barang tertentu,

3. praktik mencari keuntungan yang dilakukan oleh aparat atau oknum terkait

yang memiliki otoritas tinggi. Pihak yang berkepentingan bisa

memberikan transaction cost berupa uang sogokan untuk keperluan

tertentu. Ini bertujuan untuk menghindari resiko yang lebih besar.

Praktik mencari keuntungan ini menimbulkan alokasi sumberdaya tidak

efisien karena peraturan tidak berjalan semestinya. Praktik jenis ini mendorong

terjadinya eksternalitas. Pada akhirnya akan ada pihak yang dirugikan akibat

adanya informasi yang tidak sempurna. Aktivitas perburuan rente akan

berimplikasi buruk karena :

1. tidak adanya kontribusi nilai tambah (value added),

2. akan memiskinkan rakyat,

3. rusaknya ekologi karena pembangunan yang tidak berwawasan

lingkungan25.

24
Addinul Yakin. 1997. Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan. Akademika Persindo, Jakarta.
Hal.60.
25
Ibid. Hal.61.
Aktivitas perburuan rente dilakukan oleh para konglomerat yang ingin

menguasai kawasan pusat bisnis di Jakarta. Para konglomerat akan mencari

informasi kawasan yang memiliki prospek menguntungkan. Biasanya informasi

tersebut didapat dari instansi yang terkait dengan Rencana Tata Ruang Wilayah

DKI Jakarta. Jika informasi telah didapat maka para konglomerat tersebut akan

mengeluarkan transaction cost untuk mempermudah mendapatkan rente. Akan

tetapi, tindakan ini menimbulkan eksternalitas negatif bagi pihak lain. Yang sering

dirugikan dalam masalah ini adalah penduduk sekitar karena kurangnya informasi.

Praktik perburuan rente mengindikasikan tidak adanya mekanisme pasar.

Sejalan dengan perspektif ekonomi liberal bahwa pemburu rente ini berusaha

memaksimalkan rente ekonomi yang bisa mereka peroleh dengan cara menghindari

persaingan di pasar. Menurut tradisi pandangan ekonomi klasik dan neoklasik,

mekanisme pasar mengimplikasikan adanya persaingan terbuka antara pencari

keuntungan. Jika persaingan berlangsung terbuka, keuntungan untuk tiap pelaku

secara individu hanya akan terjadi dalam tingkat minimal. Sebaliknya, tanpa adanya

persaingan, tiap-tiap pelaku usaha bisa memperoleh keuntungan di atas normal

(supernormal profit)26.

2.6. Teori Ekonomi Biaya Transaksi (Transaction Cost)

Menurut North, biaya transaksi merupakan ongkos untuk menspesifikasi

dan memaksakan (enforcing) kontrak yang mendasari pertukaran, sehingga

dengan sendirinya mencakup semua biaya organisasi politik dan ekonomi yang

26
Ari A. Perdana. Loc. Cit.
memungkinkan kegiatan ekonomi mengutip laba dari perdagangan (pertukaran)27.

Biaya transaksi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : biaya transaksi sebelum

kontrak (ex-ante) dan setelah kontrak (ex-post).

Biaya ex-ante terjadi jika salah satu pihak transaksi memiliki informasi

yang terbatas tentang pembelian atau penjualan. Tetapi kerugiannya dapat

dihilangkan setelah transaksi itu lengkap. Sedangkan biaya transaksi ex-post

terjadi saat salah satu pihak transaksi memiliki informasi yang terbatas

dibandingkan pihak lain bahkan setelah transaksi tersebut terjadi28.

Biaya transaksi ini terjadi karena adanya rasionalitas terbatas (bounded

rationality) dan perilaku oportunis (opportunistic), yang bertujuan untuk

menghindari kerugian (adverse selection), penyimpangan moral (moral hazard),

penipuan, melalaikan kewajiban, dan bentuk-bentuk perilaku strategis lainnya29.

Pada kasus Kawasan Segitiga Emas, biaya transaksi dikeluarkan oleh

pengembang karena adanya informasi yang tidak sempurna. Jika ingin menguasai

lahan, mereka harus mengetahui informasi yang akurat mengenai lahan yang akan

dikuasai dan dibebaskannya. Untuk itu dibutuhkan informasi dari berbagai pihak.

Biaya transaksi yang dikeluarkan dapat berupa biaya resmi maupun tidak resmi.

Biaya transaksi resmi dalam penghitungan pajak adalah biaya-biaya yang

dikeluarkan developer dalam rangka melakukan prosedur perizinan yang

ditunjang oleh tanda terima pembayaran resmi, seperti biaya kepengurusan

perizinan, biaya formulir perizinan, biaya notaris, biaya konsultan, dll. Sedangkan

27
Ahmad Erani Yustika. Op.Cit. Hal. 107.
28
Ibid. Hal.112.
29
Williamson dalam Ahmad Erani Yustika. Ibid. Hal.113.
biaya ilegal yang harus mereka keluarkan meliputi biaya informasi dari oknum

pemerintah, biaya preman pembebasan lahan, dan biaya ‘ucapan terima kasih’

untuk para aparat pemerintah. Biasanya biaya ilegal ini nilainya jauh lebih besar

dibandingkan biaya resminya jika pada proses perizinan terjadi hal-hal yang

menyimpang dari aturan yang berlaku, misalnya jika para developer ingin

mempercepat proses perizinannya.

2.7. Central Business District (Kawasan Pusat Bisnis)

Kawasan Pusat Bisnis dianggap sebagai pusat dari perdagangan dan jasa.

Pusat ini bisa hanya satu atau lebih. Batasan pusat usaha ini menurut beberapa

penelitian menunjukan ada yang menyebar luas dan di lain kota ada yang malah

berkurang. Perluasan menuju ke arah pemukiman kelas atas, sedangkan

penurunan luas pusat kota terjadi dengan berubahnya daerah yang mendekati

industri.

Pusat-pusat kota di negara maju, seperti di Inggris pada tahun 1980

dicirikan dengan keadaan fisik yang buruk, tidak tersedianya tempat pejalan kaki

yang baik, dan ketika malam berubah menjadi gurun tanpa budaya. Paling utama

adalah kawasan ini tidak memiliki mekanisme ekonomi yang menguntungkan

bagi perekonomian lokal. Namun sejak tahun 1990 terjadi perubahan dengan

perbaikan fisik dan peningkatan budaya di pusat kota30.

Penelitian dari Murphy dan Vance dalam Waugh (2003) untuk kota-kota

Amerika Serikat menunjukkan bahwa ada beberapa ciri KPB. Pertama terdapat

30
David Waugh. 2003. The New Wider World. Nelson Thornes, United Kingdom. Hal.30.
toko-toko pengecer utama, memiliki proporsi tertinggi dalam perkantoran,

konsentrasi gedung tinggi, konsentrasi jumlah pejalan kaki yang tinggi,

konsentrasi volume kendaraan, dan memiliki nilai sewa lahan tertinggi.

Dari uraian mengenai pusat kegiatan usaha atau KPB ini asumsi yang

dipakai adalah salah satu ciri pusat kota yang diuraikan Murphy dan Vance, yakni

konsentrasi gedung tinggi yang membutuhkan penduduk sekitar yang besar untuk

dapat bersaing dalam mendapatkan lokasi terbaik. Konsentrasi gedung-gedung

tertinggi atau pertumbuhan vertikal tertinggi yang diakibatkan oleh sewa yang

tinggi sebagai akibat dari pesaingan atas tanah.

Hal ini tidak terlepas dari adanya pemusatan atau aglomerasi di kawasan

pusat bisnis. Aglomerasi ekonomi adalah berkumpulnya aktivitas-aktivitas

kegiatan ekonomi pada satu lokasi. Aktivitas-aktivitas tersebut dapat berupa

kegiatan produksi yang menghasilkan barang atau kegiatan penjualan barang yang

berada pada satu lokasi31.

Untuk kasus Kawasan Segitiga Emas, terjadi aglomerasi kawasan pusat

bisnis yang memang sengaja dirancang oleh pemerintah untuk mengumpulkan

segala aktivitas perekonomian pada satu lokasi. Aglomerasi di Kawasan Segitiga

Emas ini menyebabkan terjadinya pengelompokan gedung-gedung bertingkat

pada satu kawasan tertentu.

31
D.S Priyarsono dan Sahara. 2006. Modul Mata Kuliah Ekonomi Regional. Bogor. Hal. 38.
2.8. Peran Pemerintah dalam Penentuan Harga Lahan di Perkotaan

Kepemilikan lahan merupakan salah satu bentuk portofolio yang sering

menimbulkan polemik. Di satu pihak, banyak yang memiliki lahan yang luas

untuk permukiman tetapi di lain pihak ada kelompok masyarakat yang

menjadikan lahan tersebut sebagai alat spekulasi. Prinsip ekonomi yang

diterapkan pelaku ekonomi adalah untuk mencapai tingkat kesejahteraan tertinggi

yang mungkin dicapai, dengan berbagai kendala yang ada.

Setiap orang akan berusaha mencapai kesejahteraan ekonominya yang


tertinggi dan dengan demikian akan meningkatkan kesejahteraan seluruh
masyarakat walaupun bukan tujuan utama mereka32.

Lahan merupakan salah satu alternatif bentuk kekayaan yang memberikan

kepuasan maksimal bagi pihak tertentu. Jika informasi sempurna maka setiap

orang akan mencapai kepuasan maksimal dalam kepemilikan lahan. Namun pada

kenyataannya, terdapat berbagai masalah dalam hal penguasaan dan pemilikan

lahan karena informasi yang tidak sempurna. Masyarakat sering tidak mengetahui

tata guna lahan dan harga lahan yang berubah-ubah sehingga fenomena ini sering

dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk mengambil alih lahan untuk mencari

keuntungan.

Badan Pertanahan Nasional (BPN) diberi kewenangan dalam penentuan

besarnya nilai lahan. Dalam hal ini, dibentuk sebuah Panitia Pengadaan Tanah

(PPT) yang terdiri dari sembilan orang. Tugasnya adalah menentukan besarnya

nilai tanah, khususnya ketika pelaksanaan ganti rugi33.

32
Adam Smith dalam Oser dan Blanchfield. 1975.The Evolution of Economic Thought. Edisi ke-3.
Hartcourt Brace Jovanovich , New York. Hal. 68.
33
Maria S.W. Sumardjono. 2007. Kebijakan Pertanahan : Antara Regulasi dan Implementasi.
Kompas, Jakarta. Hal. 75.
Berikut ini beberapa aspek perpajakan dari pengendalian harga lahan :

1. di satu sisi, timbul masalah kesulitan penetapan harga dasar lahan oleh

pemerintah. Penetapan harga dasar yang harus dilakukan secara terus-

menerus dan mempertimbangkan semua faktor penentu harga, akan

menyebabkan biaya penentuan harga lahan menjadi besar,

2. penetapan harga dasar lahan di bawah harga pasar akan menyebabkan

penerimaan pemerintah dari pajak kekayaan akan berkurang. Selanjutnya

penerimaan pajak juga tidak mengimbangi laju kenaikan harga pasar

lahan.

Ditinjau dari aspek perpajakan, harga lahan yang tinggi akan sangat

menguntungkan pemerintah, karena meningkatkan pajak. Agar tidak ada pihak

yang dirugikan maka ada suatu cara pragmatis untuk menentukan harga dasar

lahan, yaitu yang berlandaskan pada prinsip self assessment of property value.

Dalam sistem ini, pemilik lahan bersertifikat diharuskan mengisi pernyataan

mengenai nilai lahan mereka.

Nilai lahannya tidak boleh lebih rendah dari NJOP. Kesulitan yang akan

timbul dalam pelaksanaannya adalah penilaian mengenai Nilai Jual Objek Pajak

(NJOP). NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang

sejenis atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti. NJOP meliputi nilai jual

permukaan bumi beserta kekayaan alam yang berada di atas maupun di bawahnya

dan bangunan yang melekat di atasnya. Dampak positif yang ditimbulkan dalam

self assessment of property value ini akan dirasakan oleh banyak pihak34.

34
Guritno Mangkoesoebroto.Loc.Cit. Hal 185
2.9. Koefisien Korelasi Rank Spearman

Menurut Walpole, koefisien korelasi rank spearman merupakan suatu

ukuran non-parametrik bagi hubungan antara dua peubah35. Koefisien korelasi

Rank Spearman adalah analisis untuk mengetahui hubungan yang terjadi antara

dua variabel ekonomi sehingga dapat diketahui pengaruh dari suatu aktivitas

ekonomi dengan aktivitas ekonomi lainnya.

Pada penelitian ini koefisien korelasi Rank Spearman menjadi salah satu

alat analisis yang dipakai karena data yang digunakan berupa data ordinal.

Analisis ini bertujuan untuk mengukur keeratan hubungan antara harga lahan yang

dibeli oleh para konglomerat kepada pemilik lahan dengan harga lahan setelah

pembangunan properti.

2.10. Kerangka Pemikiran

Harga lahan merupakan nilai lahan di pasar yang bersumber dari total

keuntungan lahan atas masing-masing sifat instrinsik yang dimiliki lahan. Sifat

intrinsik yang dimiliki lahan terdapat aspek fisik, lokasi, sosial, dan

kependudukan serta faktor lingkungan.

Meningkatnya harga lahan merupakan manifestasi dari peningkatan

keuntungan lahan di lokasi tersebut. Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi

tingkat harga lahan di Kawasan Segitiga Emas Jakarta. Peningkatan keuntungan

lahan disebabkan oleh adanya berbagai keterbatasan dan kelangkaan kondisi

lingkungan lahan yang dihadapkan oleh permintaan lahan yang tidak terbatas.

35
Ronald E. Walpole. 1995. Pengantar Statistika. Edisi ke-6. PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta. Hal. 451.
Kawasan Segitiga Emas, yang sejak dahulu dijadikan barometer pusat

bisnis di Jakarta, telah membuat banyak pihak berlomba-lomba menguasai lahan

di sana. Pihak yang mendominasi adalah pihak konglomerat dan pemerintah.

Melalui Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta, pemerintah telah memberikan

keleluasaan bagi para konglomerat untuk membangun propertinya di kawasan ini.

Keadaan ini telah dimulai sejak masa pemerintahan Presiden Soekarno.

Para konglomerat bersaing memperebutkan lahan. Pengajuan izin

penguasaan lahan segera dilakukan sehingga sering bermunculan perburuan rente.

Para konglomerat tidak perlu berlama-lama menunggu keluarnya mekanisme

perizinan untuk menguasai dan membebaskan lahan. Para konglomerat tersebut

segera melakukan pembebasan lahan skala besar di sana. Pembebasan lahan skala

besar tersebut menimbulkan pro dan kontra bagi banyak pihak karena akan ada

yang diuntungkan dan yang dirugikan. Jika hal ini terjadi, yang akan dirugikan

adalah rakyat pemilik lahan. Terdapatnya informasi yang tidak sempurna

membuat pemilik lahan harus merelakan lahannya dijual kepada developer dengan

harga yang rendah. Pemilik lahan tidak mengetahui bahwa harga lahannya akan

segera meningkat berkali-kali lipat dari harga yang mereka jual kepada

pengembang. Para pengembang yang telah menguasai lahan lalu membangun

propertinya dan menjualnya kepada konsumen dengan harga yang tinggi.


Lahan perkotaan

Perumahan CBD Hiburan

Harga Lahan Tinggi

Konglomerasi Penguasaan lahan Perburuan rente

Pembangunan Properti Supernormal profit

Implikasi :

Pihak diuntungkan

Pihak dirugikan

Solusi

Keterangan : : lingkup pembahasan


: lingkup analisis
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Operasional
III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Wilayah Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kawasan Segitiga Emas Jakarta yang

mencakup wilayah Jl. Jend. Sudirman, Jl. M.H. Thamrin, Jl. H.R Rasuna Said, Jl.

Gatot Subroto Jakarta. Penentuan lokasi dilakukan secara sengaja dengan

pertimbangan Kawasan Segitiga Emas Jakarta merupakan salah satu superblok

multifungsi yang menjadi pusat aktivitas perekonomian DKI Jakarta. Penelitian di

lapang dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2008.

3.2. Jenis dan Sumber Data

Data yang dikumpulkan pada penelitian ini merupakan data primer dan

data sekunder. Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui metode

wawancara mendalam dengan para informan dan 30 developer yang mengetahui

masalah penguasaan lahan di Kawasan Segitiga Emas Jakarta. Penguasaan lahan

yang dianalisis adalah seberapa kuat peran konglomerat dalam menguasai properti

di Kawasan Segitiga Emas Jakarta dan mekanisme para konglomerat itu

melakukan pembebasan lahan skala besar untuk membangun properti tersebut.

Data sekunder merupakan data relevan yang meliputi peta-peta wilayah,

penggunaan lahan, status lahan, data properti di Kawasan Segitiga Emas Jakarta,

Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK), data-data properti, dan data lain

yang relevan dengan penelitian ini. Data sekunder diperoleh dari berbagai instansi

pemerintah maupun swasta seperti, Kantor Bappeda DKI Jakarta, Badan


Pertanahan Nasional, Pusat Studi Properti Indonesia, Pusat Data Properti

Indonesia, Kantor Kecamatan Setiabudi Jakarta, dan REI Jakarta.

3.3. Metode Analisis Data

Analisis yang digunakan merupakan analisis deskriptif dan kualitatif.

Penelitian ini dilakukan dengan menyajikan data-data properti yang berada di

Kawasan Segitiga Emas Jakarta dan para penguasa properti di Kawasan tersebut.

Penguasaan lahan di Kawasan Segitiga Emas yang dilakukan oleh para

konglomerat telah menggeser permukiman warga di sekitarnya. Para konglomerat

dengan mudah melakukan pembebasan lahan secara besar-besaran di Kawasan

ini. Hal ini diduga karena adanya praktik rent-seeking economic activity yang

dilakukan antara para oknum pejabat dengan konglomerat agar dimudahkan dalam

proses pembebasan lahan. Tentu saja hal ini membutuhkan transaction cost yang

besar dari para konglomerat. Untuk mendapatkan keuntungan maksimal, para

konglomerat bekerjasama dengan oknum pemerintah melakukan pembebasan

lahan skala besar. Pemerintah berdalih bahwa pembebasan ini dilakukan untuk

kepentingan masyarakat luas. Tetapi, pada kenyataannya hal ini hanya akan

merugikan pihak warga saja karena penggantian uang yang mereka dapatkan tidak

sebanding dengan keuntungan yang nantinya diperoleh oleh para konglomerat.

3.3.1. Mekanisme Rent Seeking Economic Activity

Aktivitas ekonomi perburuan rente (rent seeking economic activity) ini

biasanya selalu melibatkan pihak pemerintah yang mempunyai wewenang dalam


membuat suatu kebijakan. Para konglomerat memanfaatkan informasi yang tidak

sempurna dari masyarakat untuk mendapatkan keuntungan di atas normal dengan

memberikan uang pelicin kepada oknum pejabat yang terkait. Untuk mengungkap

faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya rent seeking economic activity dan

membuktikan ada atau tidaknya mekanisme para pemburu rente dalam

pembebasan lahan skala besar di Kawasan Segitiga Emas Jakarta, maka

dibutuhkan narasumber yang akurat. Oleh karena itu, dilakukanlah wawancara

mendalam kepada informan-informan yang mengetahui masalah para pemburu

rente tersebut, seperti pakar properti, pihak developer , dan pihak akademisi yang

menunjang.

Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan snowball sampling,

yaitu teknik pengambilan sampel dengan mengajukan pertanyaan kepada

informan untuk mengidentifikasi suatu masalah yang mungkin bisa diteliti lebih

mendalam36. Snowball sampling ini dilakukan karena tidak semua orang bersedia

mengungkap masalah rent seeking economic activity sehingga dibutuhkan para

informan yang akurat untuk menggali informasi yang akurat terhadap masalah

tersebut. Wawancara dilakukan dengan mengambil sampel enam informan yang

mengetahui secara lengkap permasalahan di Kawasan Segitiga Emas Jakarta.

3.3.2. Penguasaan Lahan untuk Pembangunan Properti

Sejak dahulu Kawasan Segitiga Emas Jakarta merupakan kawasan

superblok bergengsi. Para konglomerat berlomba-lomba menguasai lahan untuk

36
Lisa Harrison. 2007. Metodologi Penelitian Politik. Jakarta: Kencana. Hal.25.
dijadikan pusat bisnis, perkantoran, dan pusat perbelanjaan. Sehingga analisis

yang dilakukan dalam penelitian ini merupakan analisis deskriptif untuk

membuktikan beberapa hal, yaitu kontribusi pihak swasta (developer) dalam

pembangunan properti dan lokasi yang dikuasai. Analisis ini ditunjang pula

dengan data-data properti dan masterplan di kawasan tersebut.

Untuk memperkuat analisis hubungan antara harga pembebasan lahan,

harga jual oleh developer, dan status lahan, dilakukanlah perhitungan koefisien

korelasi Rank Spearman karena data yang digunakan berupa data ordinal.

Perhitungan Rank Spearman dilakukan untuk melihat kuat tidaknya hubungan

antara harga pembebasan lahan, harga jual developer dan status lahan. Adapun

perhitungan koefisien korelasi Rank Spearman sebagai berikut :


   1  

Dimana :

di = selisih antara harga beli ketika pembebasan lahan dengan harga jual

lahan dan status lahan.

n = banyaknya data, yakni 30 data.

Korelasi positif artinya searah atau jika variabel pertama besar, maka

variabel kedua semakin besar juga . Korelasi negatif yang artinya berlawanan atau

jika variabel pertama besar, maka variabel kedua semakin mengecil.

3.3.3. Dampak Sosial Ekonomi Penguasaan Lahan dan Properti

Aktivitas para pemburu rente ini menimbulkan dampak yang negatif.

Mekanisme perburuan rente umumnya dilakukan para pengusaha dalam


melakukan bisnis dengan segala cara, antara lain mengeluarkan biaya sebelum

aktivitas bisnis dimulai, termasuk mengeluarkan biaya-biaya apapun agar target

memperoleh keuntungan semaksimal mungkin. Biaya-biaya sebelum bisnis

dimulai dikenal dengan transaction cost.

Biaya ini terdiri dari tiga kategori, yaitu37:

1. biaya pencarian dan informasi,

2. biaya negosiasi dan keputusan atau mengeksekusi kontrak,

3. biaya pengawasan, pemaksaan, dan pelaksanaan.

Biaya transaksi diperlukan untuk mendapatkan kemudahan dalam

pembebasan lahan dengan harga yang rendah sehingga nantinya akan mudah

untuk melakukan penguasaan lahan dan pembangunan properti di Kawasan

Segitiga Emas Jakarta.

Dampak yang ditimbulkan dari penguasaan lahan oleh para konglomerat

dapat diketahui dengan wawancara mendalam kepada informan yang akurat dan

sangat mengerti mengenai besarnya harga lahan di Kawasan Segitiga Emas

sebelum proses bisnis dan pada tahap pembebasan lahan skala besar dengan

besarnya harga lahan setelah dibangunnya properti-properti bergengsi. Selisih

keduanya merupakan besarnya kerugian yang terjadi pada warga yang menjual

lahannya kepada para konglomerat dan bagi kalangan konglomerat pada

gilirannya merupakan peluang mendapatkan supernormal profit.

Implikasi terjadinya proses pemiskinan terhadap para pemilik lahan karena

adanya assimetric information sebagai akibat adanya keterbatasan informasi

37
Ahmad Erani Yustika.2006. Op.Cit Hal.107.
penjual lahan. Pada akhirnya pemilik lahan hanya menerima harga yang rendah

dengan konsekuensi tersingkirnya mereka ke pinggiran kota. Terhadap adanya

implikasi sosial ekonomi ini, akan dilakukan interpretasi teoritis yang

menjelaskan fenomena tersebut.

3.3.4. Peran Pemerintah dalam Penentuan Harga Lahan

Pemerintah sebagai pembuat kebijakan tentunya telah membuat berbagai

macam aturan mengenai penetapan harga lahan dasar, yaitu berdasarkan Nilai Jual

Objek Pajak (NJOP). Tetapi mekanisme NJOP ini terkadang justru merugikan

rakyat pemilik lahan karena tidak adanya aturan yang tegas dari pemerintah.

NJOP tidak dapat menjadi acuan yang nyata karena harga lahan terbentuk dari

mekanisme pasar. Nilai NJOP yang ada jauh lebih kecil dibandingkan nilai lahan

di pasaran. Pemerintah cenderung memihak kepada developers sehingga rakyat

pemilik lahan tidak mempunyai pegangan hukum yang kuat. Oleh karena itu,

dilakukan wawancara mendalam kepada berbagai pihak termasuk notaris untuk

mengetahui peran pemerintah atas harga lahan di Indonesia dan wawancara pihak

studi properti untuk mengetahui hukum-hukum pertanahan di berbagai negara

yang telah diterapkan selama bertahun-tahun dan terbukti efektif dalam menekan

harga lahan.
IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH

4.1. Perkembangan Wilayah Kawasan Segitiga Emas

Struktur kota yang paling mudah dilihat adalah kawasan gedung tinggi.

Kawasan gedung tinggi merupakan ciri khas dari kota besar. Kawasan gedung

tinggi ini menjadi identitas suatu pusat kota-kota besar di berbagai negara. DKI

Jakarta, sebagai salah satu kota besar di Indonesia, juga memiliki suatu kawasan

bangunan tinggi yang menjadi pusat aktivitas perekonomian yang dinamakan

kawasan pusat bisnis. Salah satu kawasan pusat bisnis yang terkenal ialah

Kawasan Segitiga Emas yang terletak Jalan Jendral Sudirman, Jalan M.H

Thamrin, serta Jalan H.R Rasuna Said - Gatot Subroto. Walaupun disebut

Kawasan Segitiga Emas, tetapi kawasan ini sebenarnya berbentuk trapesium.

Kawasan Segitiga Emas Jakarta ini terletak di jakarta Selatan yang

masing-masing terdiri dari beberapa kecamatan, yaitu kecamatan Setiabudi.

Kecamatan Setiabudi ini memiliki jumlah gedung sebanyak 136 bangunan,seperti

yang tertera pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Jenis Bangunan di Kecamatan Setiabudi Jakarta Selatan


No Kelurahan Gedung Pabrik Gudang Perkantoran
Lt. 10+
1. Karet Semanggi 17 - - 13
2. Kuningan Timur 18 - - 16
3. Karet Kuningan 11 3 - 9
4. Karet 14 - - 22
5. Menteng Atas - 2 - -
6. Pasar Manggis - - - -
7. Guntur 2 - - -
8. Setiabudi 8 - - 11
Jumlah 60 5 - 71
Sumber : BPS Kodya Jakarta Selatan, 2006.
Berdasarkan Tabel 4.1. dapat dilihat bahwa kecamatan Setiabudi memiliki

jumlah bangunan yang banyak dan tersebar hampir di setiap kelurahan, kecuali

kelurahan Pasar Manggis. Bangunan yang mendominasi di kecamatan ini adalah

perkantoran sebanyak 71 bangunan dan gedung lt. 10+ sebanyak 60 bangunan.

Luasnya persebaran gedung tinggi, walau berada pada kecamatan-

kecamatan yang saling berbatasan di tengah-tengah posisi geografis Jakarta,

menunjukkan kecenderungan bahwa DKI Jakarta memiliki lebih dari satu pusat

kegiatan usaha. Luas bangunan tinggi di DKI Jakarta sebesar 37,9 km2, sedangkan

di Jakarta Pusat seluas 18,3 km2.

Tabel 4.2. Rasio Luas Bangunan Tinggi dan Luas Wilayah per Kotamadya
No. Wilayah Kotamadya Rasio
1. Jakarta Barat 77,4 persen
2. Jakarta Pusat 33,8 persen
3. Jakarta Utara 30,5 persen
4. Jakarta Selatan 25,8 persen
5. Jakarta Timur 11,7 persen
Sumber: Dinas P2K, 2007.

Berdasarkan Tabel 4.2. dari data pembagian luas bangunan tinggi dengan

luas daerah administrasi kotamadya maka Jakarta Barat memiliki perbandingan

tertinggi. Jakarta Pusat yang memiliki gedung terbanyak memiliki angka

perbandingan yang dekat dengan angka untuk keseluruhan DKI Jakarta.

Sedangkan yang terkecil adalah di Jakarta Timur.

4.2. Perkembangan Kawasan Segitiga Emas Jakarta

Pada awal kemerdekaan republik Indonesia, pusat perdagangan dan jasa

terletak di daerah Glodok, Pancoran, Pasar Pagi, dan sekitarnya. Daerah ini sering
juga disebut dengan Pecinan. Daerah ini lebih dekat ke pelabuhan internasional di

Tanjungpriok, pelabuhan antarpulau di Pasar Ikan, begitu juga dengan pelabuhan

udara yang waktu itu berada di Kemayoran, serta stasiun kereta api Beos sehingga

mudah terhubung dengan kota-kota lain di Pulau Jawa. Adapun daerah Menteng

merupakan kawasan perumahan masyarakat menengah atas, diplomat, pejabat

tinggi pemerintah, dan konglomerat.

Pembangunan perkotaan telah diwacanakan sejak masa pemerintahan

presiden Soekarno dalam rangka menyambut Asian Games tahun 1962. Wilayah

yang diprioritaskan dalam pembangunan skala kota ini adalah koridor Jl. Jendral

Sudirman dan koridor Jl. M.H. Thamrin. Sejak saat itu gedung-gedung bertingkat

mulai bermunculan, seperti Wisma Metropolitan dan BBD Plaza. Seiring dengan

berkembangnya waktu, banyak investor dan developer mulai berminat memiliki

properti di kedua koridor tersebut.

Pada masa pemerintahan Gubernur Ali Sadikin, terjadi aglomerasi

pengembangan pusat bisnis di koridor Jl. Jendral Sudirman, koridor Jl. M.H.

Thamrin, dan koridor Kuningan. Tetapi proses pengembangan ketiga koridor ini

tidak serentak dilaksanakan. Koridor Kuningan mulai dikembangkan pada tahun

1970 setelah kedua kawasan lainnya berkembang. Ketiga koridor ini dinamakan

Kawasan Segitiga Emas karena letaknya yang berdekatan dan menyerupai bentuk

segitiga. Semua kantor pusat bank, perusahaan nasional dan internasional, dan

kantor-kantor badan internasional serta diplomatik berlokasi di segitiga emas.

Kawasan ini sudah menjadi pusat bisnis negara, bukan lagi kota Jakarta.

Pengembangan kawasan ini secara besar-besaran mulai terjadi pada tahun 1990.
4.2.1. Kawasan Segitiga Emas Sebelum Masa Krisis

Kawasan Segitiga Emas Jakarta merupakan salah satu kawasan pusat

bisnis yang bergengsi di DKI Jakarta. Kawasan ini telah ada sejak pemerintahan

Gubernur DKI Ali Sadikin. Fenomena gedung bertingkat di Jakarta diawali

sekitar tahun 1960-an dengan berdirinya Hotel Indonesia di Jalan M. H. Thamrin.

Berdasarkan data Dinas Pengawasan Pembangunan Kota (P2K) Provinsi DKI

Jakarta, setelah berjalan 35 tahun, jumlah gedung bertingkat di Jakarta mencapai

angka diatas 400 unit untuk bangunan di atas sembilan lantai, dan sekitar 600 unit

untuk bangunan diatas tujuh lantai. Penyebaran gedung bertingkat tentunya akan

mengikuti pola penyebaran tertentu. Bisa tersebar secara acak, atau mengelompok

secara merata di seluruh DKI Jakarta. Jakarta yang memiliki luas 650 km² dengan

jumlah luas bangunan sekitar 20,25 km², pola penyebaran yang mengelompok

dapat menjadi indikator bahwa kawasan tersebut merupakan Central Business

District.

Pada awalnya, pembangunan sejumlah gedung perkantoran dan apartemen

sangat direspon pasar karena kawasan ini sangat meningkatkan prestige para

konglomerat, sejumlah perusahaan terkemuka di Indonesia memilih berkantor di

Kawasan Segitiga Emas. Apalagi kemudian sejumlah infrastruktur modern

dibangun di Kawasan Segitiga Emas, seperti aksesibilitas jalur jalan tol dalam

kota, bahkan untuk pengembangan transportasi umum, pemerintah kota Jakarta

sangat terfokus di kawasan ini. Akibatnya, semua gedung perkantoran, apartemen

dan pusat belanja pun berharga tinggi. Menurut riset Jones Lang LaSalle38,

38
Properti Indonesia .Op.Cit. Hal. 24.
permintaan ruang kantor paling tinggi berada di koridor Thamrin-Sudirman.

Posisi kedua ditempati daerah Kuningan, dan posisi terakhir ditempati koridor

Gatot Subroto. Selain itu, pertambahan ruang rata-rata mencapai 275 ribu m2 per

tahun dengan jumlah perkantoran sebanyak 123 gedung, 14 apartemen, dan 18

hotel bertaraf internasional.

Lahan di Kawasan Segitiga Emas begitu diminati sehingga harga lahan di

kawasan ini melambung tinggi. Harga rata-rata lahan di Jl. Jend. Sudirman

sebesar 3.500 dollar AS per m2. Jika disetarakan dengan nilai tukar Rp 2.500,00

berarti harga lahan tersebut Rp 8.750.000,00 per m2, bahkan di beberapa lokasi

utama harga sudah mencapai angka Rp 10.000.000,00 per m2. Peningkatan

terutama terjadi saat berlangsung pembebasan lahan skala besar oleh pemerintah

untuk pembangunan superblok-superblok tersebut. Seperti yang terlihat pada

Tabel 4.3. sebagai berikut.

Tabel 4.3. Harga Lahan Kawasan Segitiga Emas Sebelum Krisis


No. Kawasan Segitiga Emas Harga Lahan per m2
1. Jl. Jendral Sudirman Rp 10 juta per m2
2. Jl. M.H. Thamrin Rp 8,75 juta per m2
3. Jl. H.R. Rasuna Said – Jl. Jend. Gatot Subroto Rp 8 juta per m2
Sumber : Pusat Data Properti Indonesia, 2007.

4.2.2. Kawasan Segitiga Emas pada Masa Krisis

Saat krisis ekonomi tahun 1997-1998 melanda Indonesia, banyak sekali

sektor perekonomian yang mengalami keterpurukan. Krisis ini pun berdampak

buruk bagi sektor properti Indonesia, khususnya di kawasan pusat bisnis Kawasan

Segitiga Emas.
Banyak perusahaan yang gulung tikar atau beralih ke luar Kawasan

Segitiga Emas. Banyak perkantoran yang menjadi kosong. Kondisi ini membuat

harga lahan dan sewa ruang perkantoran menurun drastis.

Tabel 4.4. Harga Lahan Kawasan Segitiga Emas Saat Krisis


No. Kawasan Segitiga Emas Harga Lahan per m2
1. Jl. Jendral Sudirman Rp 6,3 juta per m2
2. Jl. M.H. Thamrin Rp 6 juta per m2
3. Jl. H.R. Rasuna Said – Jl. Jend. Gatot Rp 5,2 juta – Rp 5,9 juta per m2
Subroto
Sumber : Pusat Data Properti Indonesia, 2007.

Tabel 4.4. menerangkan bahwa harga lahan mengalami penurunan cukup

tajam. Hal ini terjadi karena pada saat krisis relatif tidak ada transaksi dan

turunnya angka penyerapan pasar pada urban commercial property yang sedang

dibangun. Turunnya nilai lahan di kawasan pusat bisnis Jakarta ini akibat praktik

spekulasi oleh para pengusaha besar sebelum terjadi krisis ekonomi.

Akibat krisis ini pula, para konglomerat yang tadinya berjaya dan

menguasai kawasan tersebut mulai tersandung masalah sehingga banyak aset-aset

yang mereka miliki akhirnya diambil alih oleh Badan Penyehatan Perbankan

Nasional (BPPN). Pembelian lahan tersebut menggunakan dana jangka pendek

dari perbankan. Sedangkan investasi di sektor properti dan lahan, bersifat jangka

panjang, sehingga terjadi mismatch. Karena itu begitu bank pemberi kredit

bangkrut maka pengusaha terkena dampaknya.

4.2.3 Kawasan Segitiga Emas Pasca Krisis

Setelah sempat terpuruk akibat krisis ekonomi, perlahan-lahan Kawasan

Segitiga Emas mulai meningkat kembali. Walaupun peningkatannya tidak


signifikan. Perbaikan keadaan ini terjadi menjelang akhir tahun 2002 dengan

pembangunan beberapa gedung di kawasan tersebut. Berbeda dengan saat

sebelum krisis, pada saat pasca krisis ini dipenuhi oleh pembangunan pusat-pusat

perbelanjaan, dan sejumlah apartemen. Hal ini dikarenakan masih banyaknya

ruang perkantoran yang masih layak dan kegiatan usaha yang belum pulih

sepenuhnya.

Selain itu, sejumlah gedung beralih kepemilikan ke tangan konglomerat

baru. Beberapa konglomerat ada yang memilih untuk membangun lahan-lahan

yang masih kosong dibandingkan meneruskan proyek yang terbengkalai. Adapula

konglomerat yang meneruskan proyeknya saat sudah memiliki dana lagi, seperti

pembangunan apartemen SCBD Suites yang konstruksi awalnya merupakan

bangunan Hotel Marcopolo di SCBD, Hotel Indonesia dan Hotel Ina Wisata yang

dirombak menjadi Grand Indonesia.

Berdasarkan survei Properti Indonesia pada akhir tahun 2003, harga lahan

di Kawasan segitiga emas beranjak naik. Seperti yang tertera pada Tabel 4.5. di

bawah ini.

Tabel 4.5. Harga Lahan Kawasan Segitiga Emas Pasca Krisis


No. Kawasan Segitiga Emas Harga Lahan per m2
1. Jl. Jendral Sudirman Rp 12 juta – Rp 14 juta per m2
2. Jl. M.H. Thamrin Rp 15 juta – Rp 16 juta per m2
3. Jl. H.R. Rasuna Said – Jl. Jend. Rp 11 juta – Rp 12,5 juta per m2
Gatot Subroto
Sumber : Pusat Data Properti Indonesia, 2007.

Sektor properti kembali berkembang seiring dengan mulai membaiknya

kondisi perekonomian Indonesia. Walaupun kondisi ini meningkat sedikit demi

sedikit, permintaan akan sektor properti di Kawasan Segitiga Emas pun


meningkat. Para developer mulai membenahi proyeknya yang sempat terlantar

saat krisis ekonomi. Keadaan ini membuat harga lahan di Kawasan Segitiga Emas

kembali meningkat. Proyek-proyek properti pun banyak yang dibangun dan

dikembangkan. Semakin terbatasnya lahan perkotaan, developer menawarkan

suatu konsep bangunan baru mixed-use development yang mencakup perkantoran,

perbelanjaan, dan apartemen dalam satu bangunan.


V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Mekanisme Rent Seeking Economic Activity pada Penguasaan Lahan

Pembangunan Kawasan Segitiga Emas sudah terkonsep sejak dahulu dan

hingga kini pemerintah DKI Jakarta masih mengembangkan kawasan ini. Rencana

Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta yang dikeluarkan setiap lima tahun

tetap berorientasi pada pembangunan Kawasan Segitiga Emas menjadi kawasan

pusat bisnis yang semakin modern.

Penguasaan lahan yang dilakukan oleh para konglomerat tergantung dari

Rencana Tata Ruang Wilayah. Untuk dapat menguasai lahan di Kawasan Segitiga

Emas, para konglomerat harus mengikuti prosedur-prosedur perijinan yang

dikeluarkan Pemerintah DKI Jakarta. Sebelum para pengembang dapat

membebaskan dan menguasai lahan, mereka harus mengajukan izin prinsip. Izin

prinsip merupakan prosedur perizinan yang pertama kali diajukan para

pengembang kepada pemerintah. Jika tujuan penguasaan lahan dan konsep

pembangunan properti sesuai dengan rencana tata ruang yang ada, maka perizinan

akan lebih mudah diberikan.

Pada kenyataannya, pembangunan properti sering menyimpang dari tata

ruang yang sudah ada. Hal ini terjadi karena para pengembang melihat kondisi

faktual perekonomian dan potensi pasar yang berkembang saat ini. Seperti yang

pernah terjadi pada tahun 1962. Konversi lahan untuk pusat bisnis dan komersial

pertama kali dilakukan di kawasan Senayan dengan didirikannya Hotel Atlet

Century. Tujuannya adalah untuk mengakomodasi para atlet yang akan bertanding
di Asian Games. Akan tetapi, pembangunan hotel ini menyalahi masterplan yang

telah ada karena seharusnya pembangunan komersial tidak boleh dilakukan di

dalam kawasan fasilitas olahraga dan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Namun

pemerintah tidak menindak tegas pelanggaran yang terjadi karena melihat keadaan

aktual kawasan tersebut.

Fenomena yang terjadi pada proses penguasaan lahan adalah terdapatnya

para pemburu rente (rent seekers) yang dilakukan oleh para pengembang. Dalam

kasus penelitian ini, rent seekers mencari kesempatan untuk mendapatkan

keuntungan yang sebesar-besarnya melalui pemanfaatan regulasi pemerintah

untuk menghambat penawaran atau peningkatan permintaan sumberdaya yang

dimiliki39.

Proses rent seeking ini diawali dengan pencarian informasi mengenai

kawasan yang akan dibangun dan sesuai dengan rencana pembangunan

pemerintah. Kegiatan mencari rente dapat didefinisikan sebagai upaya individual

atau kelompok untuk meningkatkan pendapatan melalui pemanfaatan regulasi

pemerintah. Para pengusaha mencari rente ekonomi ketika menggunakan

kekuasaan pemerintah untuk menghambat penawaran atau peningkatan

permintaan sumber daya yang dimiliki. Perilaku mencari rente dianggap sebagai

pengeluaran sumber daya untuk mengubah kebijakan ekonomi, agar dapat

menguntungkan bagi para pencari rente.

Setelah perijinan prinsip dan lokasi didapatkan, para developer harus

memiliki surat izin penggunaan lahan. Tujuannya agar mengetahui penggunaan

39
Ahmad Erani Yustika. Op.Cit. Hal.147.
lahan dengan jelas dan menghindari praktik spekulasi lahan. Lahan yang telah

dikuasai skala besar tidak boleh dibiarkan kosong, tetapi harus dimanfaatkan

sesuai dengan izin yang diperoleh. Pemerintah menetapkan sanksi kepada para

developer yang menyalahgunakan izin penggunaan lahan. Hal ini terjadi

mengingat pada tahun 1997 saat terjadinya krisis ekonomi, para konglomerat yang

tadinya menguasai lahan skala besar tiba-tiba saja collapse sehingga lahan-lahan

tersebut diambil alih oleh BPPN. Agar kejadian itu tidak terulang kembali, maka

pemerintah mengantisipasi dengan memberikan perizinan hukum yang tegas.

Setelah memperoleh surat keputusan izin lokasi dari Pemerintah Daerah

sesuai dengan peruntukkannya, maka dimulailah proses panjang pembebasan

lahan. Proses ini dimulai dari meneliti kavling-kavling di lapangan, kelengkapan

administrasi sebagai bukti hak atas tanah, meneliti pemilik lahan dan ahli waris,

negosiasi harga, pengukuran, pematokan, dan transaksi. Semua tahap tersebut,

selain memakan biaya, juga membutuhkan tenaga dan waktu yang tidak singkat.

Selama mekanisme pasar berjalan semestinya dan tidak adanya intervensi

dari pihak luar, maka konflik itu tidak akan terjadi. Ir. Nugroho Suksmanto,

mantan direktur sebuah perusahaan properti terkenal, mengatakan bahwa dengan

pendekatan yang baik antara pihak developer dengan pemilik lahan tidak akan

terjadi konflik karena para developer juga memberikan biaya ganti-rugi yang

layak kepada pemilik lahan.

Selain masalah aktivitas perburuan rente, harga lahan dapat melambung

sangat tinggi jika dalam proses pembebasan lahan terdapat calo. Menurut Ir.

Nugroho Suksmanto, masalah percaloan dalam pembebasan lahan secara konkrit


pernah terrjadi ketikaa mengerjaakan proyek
k Grand Kuningan
K paada tahun 1990.

Proyek inii dinilai sebbagai salah satu contoh


h penerapann participatoory development,

karena paada saat itu


i banyakk sekali para calo yang
y meribbutkan maasalah

pembebasan lahan di kawasaan Kuning


gan. Para calo ingin mendap
patkan

keuntungaan yang besar dengaan pembebasan lahann skala besar di kaw


wasan

Kuningan40
4
.

Akkar permasaalahan terjaadi jika stattus kepemilikan lahann tidak jelass dan

bila beruppa Letter C41. Para pem


mburu rente akan mencaari peluang untuk men
ndapat

keuntungaan yang besar dengan berkolusi


b beersama oknuum pemerinntah.

20%
%
30%
%

Tidak jeelas
Letter C
Girik
20%
% 0%
SHM

3
30%

Sumber : Data
D Primer, diolah.
Gambaar 5.1. Statuus Lahan terrhadap Trannsaction Coost

40
Dalam wawancara
w yanng dilakukan pada tanggall 4 Juni 20088 terhadap H Hilda B. Alex xander,
seorang warrtawan Properrti Indonesia dan aktivis LSM,
L untuk mengetahui
m keepiawaian devveloper
dalam kasuus pembebasaan lahan skaala besar di Kawasan Seegitiga Emas. Informan pernah p
mewawancaarai Ir. Nugrohho Suksmantoo yang ketika itu menjabat sebagai direkktur PT Abadii Guna
Papan.
41
Letter C merupakan suurat tanah yanng dianggap sebagian oranng menjadi buukti hak atas tanah.
Biasanya beerupa catatan tertulis di kantor
k kelurah
han yang diannggap sebagaai bukti pengu uasaan
tanah. Tetappi surat ini bellum menunjukkan bukti kepemilikan lahaan secara sah kkarena tidak adanya
a
sertifikat ataas tanah.
Kepemilikan lahan secara hukum yang sah dapat mengurangi praktik rent

seeking. Lahan yang bermasalah biasanya membutuhkan biaya transaksi yang

lebih banyak dibandingkan lahan dengan status hukum yang jelas. Pemilik lahan

yang memiliki status kepemilikkan lahan secara sah dalam hukum, biasanya dapat

bernegosiasi kepada para developer mengenai harga yang layak mereka dapatkan

sehingga mekanisme transaksi ganti-rugi sesuai dengan musyawarah mufakat.

Pada praktiknya, masih saja terdapat rent seekers yang mengambil

keuntungan walaupun status lahan dari pemiliknya telah jelas, yakni berupa

Sertifikat Hak Milik (SHM) yang langsung dikeluarkan oleh Badan Pertanahan

Nasional (BPN). Pada Gambar 5.1. terlihat bahwa praktik rent seeking dapat

terjadi pada 20 persen developer atau sebanyak enam developer karena harus

berurusan dengan para calo pada saat pembebasan lahan. Semakin lemah status

hukum kepemilikan lahan, maka semakin mudah praktik perburuan rente ini

dilakukan. Sebagian besar developer tidak ingin berurusan dengan lahan yang

masih dalam status sengketa karena prosedurnya semakin berbelit-belit dan

pastinya para calo semakin merajalela.

Masalah pembebasan lahan skala besar menimbulkan kerumitan tersendiri.

Perilaku rent seeking itu terjadi tidak hanya dari pengusaha dan oknum-oknum

terkait saja, tetapi bisa dilakukan oleh pemilik lahan itu sendiri. Lahan yang sudah

dilepaskan hak, diakuinya kembali. Ada pula yang meminta ganti-rugi lagi. Selain

itu, kerap dijumpai pihak lain yang mengaku pemilik lahan padahal haknya telah

dibayarkan. Status kepemilikan lahan juga bisa digandakan. Hal seperti itu pernah

dialami oleh PT Danayasa Arthatama, Tbk. saat membebaskan lahan seluas 45


hektar unttuk proyek Kawasan Niaga
N Terpaadu Sudirmaan. Ketika ddilakukan proses
p

pembebasan lahan, pihak


p PT Danayasa
D Arrthatama, Tbk.
T sempatt membayaar dua

kali ganti-rugi untukk kepemilikkan lahan yang


y sama. Solusinyaa adalah deengan

memfoto setiap pemiilik lahan begitu


b transaaksi pembaayaran dilakkukan, lalu lahan

yang telahh dipindah tangan keppada develop


per harus segera
s diberri tanda. Hal
H ini

dilakukan untuk menghindari klaaim.

3
3%
20%
Rp 5.000.000
5 - Rp
R
40% 7.49
99.000
Rp 7.500.000
7 - Rp
R
9.99
99.000
Rp 10.000.000
1 - Rp
12.4
499.000
>Rp
p 12.500.000

37%

Sumber : Data
D Primer, diolah.
Gaambar 5.2. Harga
H Jual Lahan Prop
perti di Kaw
wasan Segitiiga Emas

Gaambar 5.2. menunjukka


m an adanya perilaku
p rennt seeking inni berakibatt pada

bertambahhnya biaya yang harus dikeluarkaan para penggembang unntuk melolo


oskan

proyek peembangunann propertinyya. Tentu saja


s ini mennyebabkan harga jual lahan

properti naantinya akaan sangat tinnggi, khusussnya di Kaw


wasan Segittiga Emas. Harga
H

jual di Kaawasan Segitiga Emas sudah men


ncapai lebihh dari Rp 122.500.000,0
00 per

m2. Sebesar 40 persenn atau sekittar 12 develloper menjuual lahan prropertinya di


d atas

Rp 12.5000.000,00. Harga
H paling tinggi beerada di kaw
wasan Sudirman. Biassanya

developer memberikkan harga sekitar


s Rp 24.700.0000,00 per m2. Sebanyaak 11

developer atau 37 peersennya menjual


m lahaan propertinnya pada kkisaran harg
ga Rp
10.000.000,00 hingga Rp 12.499.000,00 per m2. Harga lahan ini mendominasi di

kawasan Kuningan. Tetapi ada juga developer yang menjual lahan propertinya

dengan harga Rp 7.500.000,00 sampai dengan Rp 9.999.000,00 per m2, yakni

sebesar 20 persen developer dan sebanyak tiga persen developer menjual lahannya

sebesar Rp 5.000.000,00 sampai dengan Rp 7.499.000,00 per m2. Para developer

yang menjual lahan properti dengan harga kurang dari Rp 10.000.000,00 per m2

karena lahan yang mereka kuasai tidak berada tepat pada koridor utama Kawasan

Segitiga Emas, tapi di pinggir kawasan itu atau letaknya kurang strategis.

Untuk lebih memperkuat hasil penelitian, maka dilakukanlah uji korelasi

rank spearman. Berdasarkan hasil pengujian koefisien korelasi spearman antara

harga beli saat pembebasan lahan dengan harga jual developer (lampiran 6),

didapatkan nilai estimasi 0,579 pada α = 0,01. Nilai ini mengindikasikan bahwa

terdapat hubungan yang cukup kuat antara harga beli ketika pembebasan lahan

dengan harga jualnya. Jika developer harus mengeluarkan banyak uang untuk

pembebasan lahan, maka mereka akan menjual lahan dan propertinya dengan

harga yang lebih tinggi karena biaya investasi yang dikeluarkannya lebih besar.

Harga pembebasan lahan yang mereka berikan juga relatif lebih kecil

dibandingkan dengan harga pembebasan lahan di koridor utama.

Aktivitas perburuan rente menjadi salah satu penyebab tingginya harga

jual lahan properti oleh para pengembang akibat adanya biaya transaksi yang

besar. Para pengembang, selaku rent seekers, ingin menguasai lahan skala besar

dengan berbagai cara agar dimudahkan dalam proses penguasaan lahan sehingga

dibutuhkan informasi yang sempurna, negosiasi dan kerjasama dengan


pemerintah. Untuk itu para pengembang membutuhkan biaya tambahan untuk

mempercepat proyeknya yang menyebabkan biaya investasi proyek semakin

bertambah. Hal ini terjadi karena biaya tambahan yang harus dikeluarkan selama

proses perizinan hingga pelaksanaan proyek semakin besar.

Para pengembang yang menginginkan keuntungan di atas normal akan

berkolusi dengan oknum pemerintah agar dimudahkan dalam pembebasan lahan.

Jika hal ini terjadi maka pengembang akan memperoleh keuntungan di atas

normal yang besar karena pada saat penjualan properti nantinya akan dikenakan

harga yang sangat mahal.

Praktik perburuan rente ini sebenarnya dapat diantisipasi oleh pemerintah

dengan menghilangkan hambatan informasi dengan cara :

1. adanya good governance untuk menghilangkan hambatan

informasi agar tercipta transparansi informasi. Misalnya dapat

dilakukan dengan membuat suatu website pelayanan pertanahan

dan informasi mengenai harga lahan,

2. keterbukaannya birokrasi pemerintah untuk mengurangi prosedur.

5.1.1. Biaya Transaksi (Transaction Cost) pada Pembebasan Lahan

Mekanisme penguasaan lahan untuk pembangunan properti harus melalui

berbagai prosedur. Pengembang harus mengetahui perencanaan wilayah suatu

kawasan. Untuk mendapatkannya dibutuhkan informasi yang akurat mengenai

karakteristik lokasi dan keadaan lahan. Oleh karena itu, para pengembang harus

mengeluarkan berbagai macam biaya selama proses pencarian informasi


berlangsung. Pengembang mencari informasi untuk mengetahui wilayah yang

akan dikembangkan. Informasi tersebut tentunya didapat dari banyak pihak.

Sesuai dengan tinjauan pustaka pada bab II, maka developer akan mengeluarkan

transaction cost. Biaya transaksi awalnya dikenal dalam teori ekonomi sebagai

biaya exchange untuk barang dan jasa antara produsen dan konsumen. Biaya ini

timbul akibat dari imperfect market dan asymetric information sehingga muncul

pihak ketiga sebagai middleman yang nantinya menyebabkan ekonomi biaya

tinggi42. Transaction cost ini dapat timbul karena adanya praktik perburuan rente

yang dilakukan para pengembang.

Biasanya informasi didapat dari oknum-oknum pemerintah daerah. Pelaku

rent seeking akan berkolusi dengan oknum tersebut agar diberikan informasi yang

akurat mengenai suatu kawasan. Untuk mendapatkan itu tidaklah murah karena

dibutuhkan biaya tambahan. Biaya selama proses negosiasi ini tergolong biaya

transaksi ex-ante. Biaya ex-ante yang dikeluarkan pihak pengembang bisa berupa

biaya resmi (legal) maupun tidak resmi (ilegal), tergantung dari kesepakatan

kedua belah pihak.

Menurut informan yang diwawancara, biaya negosiasi dapat lebih tinggi

dari biaya resminya jika terjadi penyimpangan. Setelah informasi didapatkan,

maka mereka mulai mengajukan proposal kepada BPN agar diberikan izin,

selanjutnya terjadilah proses panjang pengurusan izin yang juga membutuhkan

biaya ekstra yang tidak sedikit. Biaya ini meliputi biaya-biaya resmi yang

dikeluarkan pihak pemerintah ataupun biaya tidak resmi untuk meloloskan proses
42
William M. Evan 1993. Organization Theory : Research and Design. New York : MacMillan
Publishing Company.Hal. 12.
perizinan dari para pengembang. Biaya ini termasuk biaya ketika transaksi

menyimpang dari prosedur. Jika semua proses perizinan telah selesai dilakukan

maka dimulailah kegiatan pembebasan lahan.

Setiap perizinan memerlukan biaya. Di setiap wilayah besarnya biaya

berbeda-beda. Sebenarnya pemerintah telah memberikan aturan biaya pengurusan

izin secara resmi. Namun pada praktiknya, jika mengikuti proses perizinan secara

resmi dibutuhkan waktu yang lama. Para pengembang biasanya ingin

mendapatkan izin secara mudah dan singkat. Untuk itu diperlukan biaya tambahan

sebagai jalan mempercepat proses birokrasi tersebut. Biaya ini sering disebut

dengan biaya sogokan.

Biaya sogokan ini merupakan salah satu transaction cost secara ilegal

yang dikeluarkan pengembang. Besarnya biaya ini tergantung dari oknum aparat

yang menangani masalah perizinan dan tingkat kebutuhan akan penggunaan lahan

oleh para pengembang. Menurut pengakuan 30 developer yang diwawancarai dan

pernah membebaskan lahan skala besar di Kawasan Segitiga Emas, mereka harus

mengeluarkan transaction cost dalam mengerjakan proyek pembangunan properti.


33%
%

0% - 4%
%
5% - 9%
%
10% - 14%
64%
% 3%

Sumber : Data
D Primer, diolah.
Gam
mbar 5.3. Persentase
P T
Transaction Cost di Kaw
wasan Segittiga Emas

Beerdasarkan Gambar 5.33. transactiion cost yaang dikeluarrkan oleh setiap


s

developer bervariasi nilainya. Untuk


U Kaw
wasan Segittiga Emas, para deveeloper

umumnyaa mengeluarrkan biaya transaksi sebesar lim


ma persen hhingga sem
mbilan

persen daari total biaaya keseluruuhan proyeek pembanggunan propperti di kaw


wasan

tersebut, yakni
y mencaapai 64 perrsen atau seb
banyak 19 developer yyang diantaranya

sembilan developer harus


h menggeluarkan biaya
b transaaksi di kaw
wasan Kuningan,

tujuh deveeloper di kawasan Suddirman, dan


n tiga developer di kaawasan Thaamrin.

Menurut developer,
d r
range lima persen hing
gga sembilaan persen m
merupakan biaya

transaksi yang massih wajar karena ad


da beberappa developper yang harus

mengeluarrkan biaya di atas rannge tersebu


ut, yakni 100 persen hingga 14 peersen.

Sebesar 33 persen attau sebanyaak 10 develloper yang diwawancaarai, diantarranya

empat devveloper di kawasan


k Kuuningan, tig
ga developerr di kawasaan Sudirman
n dan

Thamrin.

Traansaction cost ini harus


h dikelluarkan peengembang ketika mereka
m

memulai mencari
m lokkasi yang berpeluang
b untuk dikeembangkan dan berpro
ospek
cerah. Menurut pengakuan pengembang, biaya transaksi resmi dalam

penghitungan pajak adalah biaya-biaya yang dikeluarkan developer dalam rangka

melakukan prosedur perizinan yang ditunjang oleh tanda terima pembayaran

resmi, seperti biaya kepengurusan perizinan, biaya formulir perizinan, biaya

notaris, biaya konsultan, dll. Sedangkan biaya ilegal yang harus mereka keluarkan

meliputi biaya informasi dari oknum pemerintah, biaya preman pembebasan

lahan, dan biaya ‘ucapan terima kasih’ untuk para aparat pemerintah. Biasanya

biaya ilegal ini nilainya jauh lebih besar dibandingkan biaya resminya jika pada

proses perizinan terjadi hal-hal yang menyimpang dari aturan yang berlaku,

misalnya jika para developer ingin mempercepat proses perizinannya. Untuk

kasus itu dibutuhkan biaya ilegal yang lebih besar.

Berdasarkan informasi yang didapat dari beberapa informan, besarnya

nilai transaction cost yang dikeluarkan oleh para developer ini terjadi karena

melihat prospek Kawasan Segitiga Emas yang sangat baik dan banyaknya

developer yang berminat untuk menguasai lahan dan membangun properti di

kawasan tersebut. Terkadang beberapa developer mengeluarkan biaya transaksi

ketika mereka ingin membangun properti yang menyimpang dari tata ruang yang

ada. Misalnya jika menurut rencana tata ruang suatu kawasan itu direncanakan

suatu pembangunan residential area, tetapi pengembang ingin membangun suatu

commercial area karena melihat prospek komersil yang lebih baik, maka tentu

saja menyalahi aturan RTRW. Oleh karena itu, para developer tersebut biasanya

menyogok oknum pemerintah untuk melakukan konsolidasi dengan para

pengembang.
5.2. Penguasaan Lahan untuk Pembangunan Properti

DKI Jakarta merupakan salah satu kota besar di Indonesia yang memiliki

kemajuan yang sangat pesat. Hal ini dapat ditunjukkan dengan pembangunan

daerah yang cepat. Sehingga sebagai ibukota negara Indonesia, DKI Jakarta

memiliki visi untuk lebih mensukseskan pembangunan guna tercapainya suatu

kesejahteraan, yaitu dengan menjadikan DKI Jakarta sebagai kota jasa berskala

internasional.

Aglomerasi pusat bisnis di Jakarta mulai terjadi ketika pemerintahan

Gubernur Ali Sadikin dengan dikembangkannya kawasan pusat bisnis di tiga

koridor utama yang saling berdekatan, yaitu Jalan Jendral Sudirman, Jalan M.H.

Thamrin, dan Kuningan. Kawasan ini lalu dinamakan Kawasan Segitiga Emas

karena letak ketiga koridor tersebut saling berdekatan dan harga lahannya relatif

lebih mahal dibandingkan kawasan lain di Jakarta.

Sejak ditetapkannya Kawasan Segitiga Emas sebagai pusat bisnis pertama

di Jakarta, telah terjadi alih fungsi lahan yang tadinya berfungsi sebagai

penunjang aktivitas manusia kini menjadi komoditas ekonomi. Terbukanya

peluang pengalihan hak atas lahan telah menjadikan lahan sebagai komoditi yang

dapat ditransaksikan. Bagi banyak developer, lahan merupakan raw material yang

siap diolah untuk kemudian dipasarkan.

Booming properti terjadi setelah dikeluarkannya Pakto 1988. Kala itu

bank-bank mengalir uang yang perlu segera disalurkan, tingkat suku bunga yang

rendah, dan prosedur pencairan kredit begitu mudah. Suasana ini melanda bisnis

properti. Para developer berlomba-lomba menguasai lahan dan membangun


proyek di kawasan pusat bisnis untuk dapat merebut peluang pasar.

Rp 7.000.000

Rp 6.000.000

Rp 5.000.000

Rp 4.000.000
Rasuna Said
Rp 3.000.000
Gatot Subroto
Rp 2.000.000 Sudirman-Thamrin
Rp 1.000.000

Rp 0
Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun
1988 1989 1990 1991 1992

Sumber : Panangian & Associates, 1994.


Gambar 5.4. Perkembangan Harga Lahan Pasca Pakto 1988

Pada Gambar 5.4. terlihat bahwa harga lahan yang tadinya hanya berkisar

antara Rp 100.000,00 hingga Rp 300.000,00 per m2 segera melonjak tajam

mencapai jutaan rupiah. Kawasan Sudirman menempati angka tertinggi dalam

perkembangan harga jual lahan dalam 5 tahun.

Tabel 5.1. Penguasaan Lahan oleh Developer Tahun 1990


Nama Nama Proyek Pemilik Penguasaan
Perusahaan Lahan
Ciputra Grup Wisma Ir. Ciputra dan Ir. 20,5 hektar
dan Metropolitan Budi Brasali
Metropolitan I,II,III
Grup
Lippo Grup Sudirman Tower James T. Riady 1,5 hektar
PT Danayasa SCBD Tommy Winata 45 hektar
Arthatama, Tbk.
PT Bakrie Renovasi GOR Aburizal Bakrie 1,5 hektar
Investido Sumantri
Brojonegoro
PT Abadi Guna Mega Kuningan Konsorsium 51 hektar
Papan
Sumber : Pusat Data Properti Indonesia, 2000.
Pelopor penguasaan lahan dan pembangunan properti adalah Ir. Ciputra.

Melihat kondisi yang demikian baik, Ciputra segera merebut peluang. Berbagai

proyek di kawasan bisnis sudah dikuasainya. Tidak ada sektor properti yang tidak

di kuasainya. Mulai dari perumahan, pusat perbelanjaan, perkantoran, hotel,

apartemen, dan lapangan golf. Lahan di Kawasan Segitiga Emas yang telah

dikuasainya seluas 20,5 hektar yang terbagi menjadi dua grup usaha, yakni 13,5

hektar dikuasai oleh Ciputra Grup dan tujuh hektar dikuasai oleh Metropolitan

Grup, yang bekerjasama dengan Ir. Budi Brasali.

Konglomerat lainnya yang bermunculan pada awal tahun 1990 adalah

James T. Riady, putra pemilik Grup Lippo Muchtar Riady. Gebrakan Lippo yang

mengejutkan adalah ketika peluncuran perdana Sudirman Tower pada tahun 1992.

Penguasaan lahan yang dilakukannya di Kawasan Segitiga Emas sebesar 1,50

hektar.

Grup lain yang memiliki pengaruh besar pada penguasaan lahan dan

pembangunan properti di Kawasan Segitiga Emas ialah PT Danayasa Arthatama

dibawah kendali Tommy Winata. Perusahaan ini mempunyai proyek yang luar

biasa di sepanjang ruas koridor Sudirman. Dengan total luas pembebasan lahan

sebesar 45 hektar di Sudirman, PT Danayasa Arthatama harus bernegosiasi

dengan 6.616 kepala keluarga. Prosesnya tidak memerlukan waktu yang panjang

karena para pemilik lahan di sana menyetujui ketetapan harga ganti rugi yang

ditawarkan43.

43
Dalam wawancara yang dilakukan pada tanggal 18 Juni 2008 terhadap Hilda B. Alexander,
seorang wartawan Properti Indonesia dan aktivis LSM, untuk melihat peta bisnis konglomerat
besar di Indonesia.
Tidak ketinggalan, Aburizal Bakrie di bawah bendera PT Bakrie Investido

ikut meramaikan pembangunan properti di kawasan Kuningan. Proyek

pertamanya di sana ialah renovasi GOR Sumantri Brojonegoro, Kuningan.

Kelompok usaha Bakrie pun sukses membangun belasan menara apartemen.

Menurut Direktur Utama Bakrieland Development Marudi Surachman, grup

usaha ini akan membangun gedung opera paling nyaman, stasiun televisi yang

spektakuler, dan gedung pencakar langit berarsitektur fantastis setinggi 50 lantai.

Selain itu, di kawasan Kuningan juga dibangun proyek Mega Kuningan di

bawah bendera PT Abadi Guna Papan, sebuah perusahaan yang bekerjasama

dengan Bimantara Grup. Lahan yang dikuasainya seluas 51 hektar. Nantinya,

Mega Kuningan ini akan dikembangkan menjadi kawasan diplomatik,

perkantoran, apartemen, dan pusat belanja.

Pada saat krisis ekonomi melanda Indonesia, para penguasa lahan di

Kawasan Segitiga Emas sebagian besar terjerat hutang. Lahan-lahan yang

sebagian besar telah dikuasai para konglomerat, banyak yang tidak terbangun.

Proyek-proyek pembangunan pun terhenti seketika. Hal ini disebabkan karena

para konglomerat sebagian besar terjerat hutang. Asset-asset berupa lahan yang

berada di Kawasan Segitiga Emas beralih kepemilikan ke tangan Badan

Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Aset-aset lahan itu mayoritas masuk

dalam pengelolaan BPPN, yang kini bersalin rupa jadi Perusahaan Pengelola Aset.
Tabel 5.2. Proyek Ketika Krisis Ekonomi
Nama Grup Nama Proyek Luas Lahan Keterangan
Usaha
PT Putera Surya Apartemen M.T. 2,9 hektar Diakuisisi oleh Grup
Perkasa Haryono Agung Podomoro
Grup Bentala Kota Kasablanka 9,5 hektar Diakuisisi oleh Grup
Sanggrahan Pakuwon
PT Abadi Guna Mega Kuningan 51 hektar 65persen
Papan terbengkalai,
restrukturisasi hutang
PT Danayasa Kawasan Niaga 45 hektar Sewa tenants pada
Arthatama, Tbk. Terpadu jangka pendek
Sudirman
Sumber : Pusat Data Properti Indonesia, 2007.

Tabel 5.2. menunjukan PT Putera Surya Perkasa dengan lahan yang

dikuasainya seluas 2,9 hektar cukup lama berada di tangan BPPN, sebelum

akhirnya telah diakuisisi oleh pengembang Grup Agung Podomoro. Serupa

dengan Grup Bentala Sanggrahan kendati pondasi dan konstruksi basement Kota

Kasablanka-nya sudah berdiri, namun tak bisa menghindari krisis yang menerpa

Indonesia.

Mereka tidak mampu meneruskan proyek ini karena melonjaknya harga

bangunan dan ketidaksanggupan melunasi kredit bank. Hingga akhirnya Kota

Kasablanka diambil alih pula oleh BPPN. Pada tahun 2007 lalu, Grup Pakuwon

merekonstruksi aset yang dimiliki PT Bentala Sanggrahan.

Mega Kuningan yang telah terjual 65 persen oleh para investor, dibiarkan

terbengkalai. PT Abadi Guna Papan harus merustrukturisasi hutang-hutangnya.

Berbeda dengan PT Danayasa Arthatama ketika krisis melanda, mereka

melakukan evaluasi pasar, yakni memunculkan tenants yang mampu

mendatangkan likuiditas jangka pendek untuk untuk membiayai pemeliharan

SCDB. Bagi lahan yang tidak terjual, PT Danayasa Arthatama, Tbk. menyewakan
lahannya berjangka waktu tiga hingga lima tahun. Keadaan ini terjadi hingga awal

tahun 2000.

Pada awal tahun 2001, Kawasan Segitiga Emas mulai bangkit kembali dari

keterpurukan. Para konglomerat yang telah membenahi hutang-hutangnya mulai

mengembangkan proyeknya kembali di kawasan ini. Ada yang memilih untuk

membeli lahan kosong yang pernah dikuasai pengembang lain, ataupun

melanjutkan proyek-proyek yang sempat terbengkalai saat krisis. Nama-nama

konglomerat dengan perusahaan-perusahaan baru pun bermunculan. Pemain-

pemain baru siap bersaing menguasai lahan di Kawasan Segitiga Emas.

5.2.1. Pembangunan Properti oleh Grup Besar

Pada tahun 1970, Ir. Ciputra yang bekerjasama dengan Ir. Budi Brasali dan

Ismail Sofyan membangun gedung perkantoran pertama di koridor Sudirman yang

dinamakan Wisma Metropolitan I, II, III. Pembangunan gedung ini merupakan

solusi terhadap kebutuhan ruang perkantoran yang meningkat saat itu.

Terdapat empat kawasan pusat bisnis pertama di Jakarta yang dirintis sejak

dahulu, yaitu Sudirman Central Business District, Mega Kuningan, Thamrin, dan

Kota Baru Bandar Kemayoran. Dari keempat kawasan tersebut, Kota Baru Bandar

Kemayoran mengalami kemunduran karena daerahnya yang rawan sehingga

kurangnya kepercayaan dari para investor untuk menanamkan modalnya di sana.

Pembangunan Kawasan Segitiga Emas mulai berkembang pesat pada awal

tahun 1990. Pada saat itu ketiga koridor tersebut menjadi kawasan yang prestisius.

Banyak konglomerat yang bersaing memperebutkan lahan di Kawasan Segitiga


Emas. Tabel 5.3. menyajikan data mengenai jumlah pengusaan lahan oleh

konglomerat dan luas penguasaan lahan tahun 1990.

Tabel 5.3. Penguasaan Lahan Skala Besar Tahun 1990


Nama Proyek Luas Lahan Pengembang
Kawasan Niaga Terpadu 45 hektar PT Danayasa Arthatama, Tbk.
Sudirman
Mega Kuningan 51 hektar PT Abadi Guna Papan
Sumber : Pusat Data Properti Indonesia, 2005.

Konsep kawasan pusat bisnis pertama yang didirikan adalah Kawasan

Niaga Terpadu Sudirman yang mulai dikembangkan tahun 1992. Kawasan ini

dibangun dengan aliran dana yang kuat oleh pengembangnya, yaitu PT Danayasa

Arthatama, Tbk. yang berada di bawah kendali Grup Artha Graha milik Tommy

Winata. Dengan penguasaan lahan seluas 45 hektar telah dibagi menjadi 25 lot

dengan kebutuhan pembangunan properti yang berbeda. Pada tahun 1994, PT

Rajawali Nusantara Indonesia sebagai BUMN di bawah kendali Departemen

Keuangan memasarkan proyek superblok Mega Kuningan seluas 51 hektar.

Kawasan Mega Kuningan memiliki konsep awal sebagai kawasan pusat

bisnis yang mencakup perkantoran, perdagangan, 120 kavling untuk landed house

serta 60 kavling untuk kawasan kedutaan-kedutaan besar asing. Kedua superblok

ini mendominasi penguasaan lahan di kawasan ini. Dengan hadirnya kedua

superblok ini sangat menarik minat para investor. Untuk Kawasan Niaga Terpadu

Sudirman, 25 lot yang telah disediakan itu tidak dijual kepada investor melainkan

dilakukan kerjasama.
Tabel 5.4. Profit Dua Pengembang Besar Tahun 1990
Nama Nilai Investasi Nilai Akhir Profit Pengembang
Pengembang Awal
PT Danayasa Rp 750 Miliar Rp 2,475 Triliun Rp 1,725 Triliun
Arthatama,Tbk.

PT Abadi Guna Rp 160 Miliar Rp 1,632 Triliun Rp 1,472 Triliun


Papan
Sumber : Data Primer, diolah.
Keterangan : Harga Konsolidasi Lahan Rp 3.200.000,00 per m2.

Tabel 5.4. menjelaskan kasus dua pengembang yang menguasai lahan

terbesar, yakni PT Danayasa Arthatama,Tbk. dengan luas lahan sebesar 45 hektar

dan PT Abadi Guna Papan dengan luas lahan sebesar 51 hektar. Dengan modal

yang dimiliki oleh PT Danayasa Arthatama,Tbk. sebesar Rp 750 miliar ternyata

mampu menghasilkan nilai jual propertinya sebesar Rp 2,475 triliun. Sehingga

pihaknya memperoleh keuntungan sebesar Rp 1,725 triliun atau sebesar 70 persen

dari nilai akhir proyek propertinya. Sama halnya dengan PT Abadi Guna Papan

yang memiliki modal awal sebesar Rp 160 miliar, ternyata mampu menghasilkan

nilai jual akhir proyeknya sebesar Rp 1,632 triliun, sehingga pihak PT abadi Guna

Papan mendapatkan keuntungan sebesar Rp 1,472 triliun atau sebesar 90 persen.

Keuntungan yang diperoleh kedua pengembang besar ini merupakan

supernormal profit karena keduanya memiliki keuntungan sebesar 70 persen dan

90 persen dari nilai jual keseluruhan proyeknya. Pada tahun 1990, kedua

pengembang ini yang mendominasi penguasaan lahan di Sudirman dan Kuningan.

Supernormal profit terjadi pada keadaan monopoli karena adanya

hambatan bagi perusahaan lain untuk masuk. Dalam kasus penelitian ini adalah

tindakan para konglomerat sebagai pengembang yang ingin menguasai lahan dan

properti di Kawasan Segitiga Emas. Hal ini terjadi karena adanya peluang bagi
pengembang untuk dapat meraih keuntungan di atas normal karena mudahnya

kolusi antara pengembang dengan oknum pemerintah.

5.2.2. Penguasaan Lahan dan Pembangunan Properti Ketika Krisis

Pada saat terjadi krisis ekonomi, kawasan ini tidak lagi bersinar. Para

konglomerat tidak ada yang menanamkan modalnya di kawasan ini. Sebagian

besar dari mereka terjerat kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan

hingga kini menjadi konglomerat hitam. Harga lahan di kawasan ini pun sempat

mengalami penurunan yang cukup berarti.

Para investor beralih untuk menanamkan modalnya di kawasan lain yang

lebih murah. Beberapa gedung pun mulai berpindah hak kepemilikan, bahkan ada

juga yang terbengkalai. Secara fisik, memang gedung-gedung yang berada di

kawasan Sudirman-Thamrin-Kuningan itu tidak ada yang berubah sejak badai

krisis moneter menerpa Indonesia. Krisis ekonomilah yang kemudian

menghentikan semua pembangunan itu.

Sejumlah proyek pun beralih status menjadi proyek macet. BDNI Tower,

Hotel Le Meridien II yang berlokasi di Jalan Sudirman, lalu ada pula Menara

Bakrie, Apartemen Kuningan Square dan Adhi Karya di wilayah Kuningan.

Padahal, total nilai kapitalisasi dari proyek-proyek macet tersebut pun cukup besar

mencapai Rp 8,6 triliun. Berdasarkan Tabel 5.5. terdapat 8 investor di kawasan

Segitiga Emas yang memegang nilai kapitalisasi pasar senilai lebih dari Rp 25

triliun.
Tabel 5.5. Nilai Kapitalisasi Proyek Kawasan Segitiga Emas
Grup Nama Proyek Nilai Kapitalisasi
Pasar
Grup Mulia Menara Mulia, Sentra Rp 6,7 triliun
Mulia, Wisma GKBI,
Hotel Mulia
Grup Artha Graha SCBD Rp 1,9 triliun
Grup Liman & Salim Plaza Sentral, Wisma Rp 2,9 triliun
BCA, BNI Tower, Wisma
46, Hotel Shangrila
Grup Duta Anggada Chaze Plaza, Bapindo I Rp 2,6 triliun
dan II, Plaza Great River
Grup Bakrie Pasar Festival, Apartemen Rp 2,5 triliun
Taman Rasuna, Wisma
Bakrie
Grup Duta Pertiwi ITC Rp 2,06 triliun
Grup Sahid Hotel Sahid Rp 1,5 triliun
Grup Lippo Sudirman Tower Rp 1,5 triliun

Grup Duta Pertiwi ITC Rp 2,06 triliun


Grup Sahid Hotel Sahid Rp 1,5 triliun
Grup Lippo Sudirman Tower Rp 1,5 triliun
Sumber : Pusat Studi Properti Indonesia, 2004.

Perbedaan yang sangat mencolok di Kawasan Segitiga Emas sejak krisis

moneter adalah pada kemampuan sewa-menyewa. Tingkat hunian gedung-gedung

perkantoran dan apartemen yang sebelumnya nyaris penuh, selama krisis moneter

ini menurun drastis. Penyebabnya adalah karena turunnya minat penyewa dan

penghuni sebagai akibat meningkatnya harga sewa.

5.2.3. Pembangunan Properti Pasca Krisis Ekonomi

Setelah sempat terpuruk saat krisis ekonomi 1997, Kawasan Segitiga Emas

di Jakarta kini kembali menggeliat. Sejumlah pembangunan proyek properti hadir

kembali di wilayah ini, baik yang sama sekali baru maupun yang sempat tertunda.

Tabel 5.6. Proyek Properti Pasca Krisis


Wilayah Perkantoran Perbelanjaan Apartemen Hotel
Kuningan Menara ITC Kuningan Bellagio Hotel Crown
Jamsostek Residences,
Apartemen
Airlangga
Sudirman Sampoerna Plaza Semanggi, Apartemen Hotel Ritz
Strategic Pacific Place Da Vinci Carlton
Square
Sumber : Pusat Data Properti Indonesia, 2008.

Beberapa proyek yang kini sudah memasuki pasaran, di antaranya Paviliun

Setiabudi, ITC Kuningan, STC Senayan, Menara Jamsostek, Plaza Semanggi,

Crown Hotel, Apartemen Da Vinci yang bersebelahan dengan Hotel Sahid Jaya,

dan yang terbaru adalah proyek prestisius Bellagio Residences, Apartemen

Airlangga, Hotel Ritz Carlton, yang ketiganya berlokasi di kawasan Mega

Kuningan, berdekatan dengan Hotel JW Marriot. Walaupun kawasan ini belum

sepenuhnya bangkit, tetapi telah menunjukan potensinya kembali sebagai

kawasan pusat bisnis terbaik di Jakarta.

Menurut pakar properti dari Pusat Studi Properti mengatakan pada awal

tahun 2001, pasar properti kembali bergairah. Pembangunan proyek SCBD dan

Mega Kuningan kembali terjadi. Strategi pembangunan pun berubah dengan

melihat potensi pasar. Kawasan Mega Kuningan tidak lagi berkonsep pada

pembangunan diplomatik, tetapi kawasan komersial saja.

Pengembang baru yang menanamkan modalnya di Mega Kuningan adalah

Tan Kian, sekaligus menjadi benchmark dengan membangun hotel J.W. Marriot

dan apartemen Sailendra. Menyusul kemudian, Grup Gapura Prima dan

Metropolitan yang telah membangun Bellagio Mansion dan Bellagio Residences.

Sama halnya dengan SCBD, kawasan ini kembali bersinar dengan


dikembangkannya The Capital Residences oleh Grup Mahaka, Pacific Place, dan

Graha Millenia Office.

Kegiatan properti kini menunjukan hasil yang meningkat. Seperti yang

tertera pada Tabel 5.7. mengenai rencana penggunaan lahan yang perizinannya di

keluarkan oleh Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional DKI Jakarta dari

tahun 2004 hingga 2008.

Tabel 5.7. Pertimbangan Teknis Tata Guna Lahan Tahun 2004-2008


Tahun Pemohon Lokasi Rencana Luas (m2)
Penggunaan
Lahan
2004 PT Wiratara Prima Kuningan Perkantoran 7.345,6420
2005 PT Arah Sejahtera Kuningan Apartemen, 29.449,4430
Abadi hotel, kantor
2007 PT Bumi Daya Sudirman Apartemen 38.354,0430
Makmur
2007 PT Graha Sudirman Perkantoran 8.156,8520
Metropolitan Nuansa
2007 PT Karya Graha Kuningan Perkantoran 6.943,1000
Nusantara
2007 PT Mitrasraya Adhi Kuningan Perkantoran 6.338,3350
Jasa
2007 PT Mulia Karya Kuningan Perkantoran 6.137.8190
Gemilang
2007 PT Nagadi Walujo Kuningan Perkantoran 6.988,5850
2008 PT Jakarta Setiabudi Kuningan Mixed-use 44.783,8940
Internasional,Tbk. development
2008 PT Windas Kuningan Apartemen 16.080,0000
Development
Sumber : Kanwil BPN DKI Jakarta , 2008.
Pembangunan properti setelah krisis lebih mendominasi di koridor

Kuningan. Hal ini terjadi karena pada dasarnya kawasan Sudirman dan Thamrin

telah dibangun terlebih dahulu, lalu harga lahan di kawasan Kuningan relatif lebih

murah dibandingkan kedua koridor lainnya.


Tahun 2007 sebagai tahun kebangkitan properti di Indonesia. Berbagai

rencana untuk tiga tahun ke depan telah dipersiapkan. Para pengembang melihat

potensi pasar yang ada pada para konsumen. Properti yang sekarang ini sedang

menjamur adalah apartemen dan pusat perbelanjaan sedangkan untuk perkantoran

masih tidak banyak. Developer melihat adanya keterbatasan lahan tinggal bagi

sebagian besar warga Jakarta, kemacetan yang hampir di semua ruas jalan, dan

tingginya tingkat konsumsi masyarakat.

Proyek paling megah adalah proyek Grand Indonesia di Bundaran Hotel

Indonesia. Hotel Indonesia yang diresmikan Presiden Soekarno pada tanggal 5

Agustus 1962 tidak diubah wujud fisiknya tetapi hanya direnovasi dan

ditambahkan pusat perbelanjaan mewah dan megah yang melingkari hotel

tersebut.

Grup Djarum bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta

melalui penerapan Build Operate and Transfer (BOT). Selama 25-30 tahun Grup

Djarum berhak atas Grand Indonesia. Kewajiban terhadap pemerintah hanya

dalam bentuk pajak di luar kesepakatan BOT tersebut. Tidak dapat dihitung

besarnya pendapatan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta karena pembagiannya

dikonversikan menjadi kepemilikan saham kepada pemerintah44.

Tahun 2008, walaupun diterpa isu kenaikan harga minyak dunia,

melemahnya ekonomi AS, dan hiruk-pikuk menjelang pemilu 2009 yang

dikhawatirkan berdampak terhadap sektor properti, tetapi ternyata tidak

mempengaruhi pembangunan properti di Kawasan Segitiga Emas. Proyek-proyek

44
Ibid
baru segera dibangun. Para pengembang dari berbagai grup konglomerat mulai

merencanakan pembangunan properti.

Tabel 5.8. Rencana Pembangunan Proyek Tahun 2008


Grup Pemilik Nama Proyek
Gapura Prima Gunarso Susanto Margono Victoria Tower
Ciputra Ir. Ciputra Ciputra World
Agung Podomoro Trihatma Kusuma Haliman Mega Kuningan Land
Sumber : Pusat Data Properti Indonesia, 2008.

Tabel 5.8. menjelaskan Grup Gapura Prima, yang dimiliki oleh Gunarso

Susanto Margono, sedang merencanakan pembangunan di kawasan Mega

Kuningan yang dinamakan perkantoran Victoria Tower. Selain itu, grup ini juga

tengah mempersiapkan Initial Public Offering (IPO) sejumlah anak usahanya

untuk memperkuat konstruksi finansial grup Gapura Prima. Grup Ciputra, setelah

merestrukturisasi hutangnya pada tahun 2006, kini tengah mempersiapkan proyek

raksasanya Ciputra World yang dibagi menjadi tiga tahap. Ciputra World ini

rencananya dibangun di lahan seluas 12 hektar di kawasan Kuningan. Grup

Agung Podomoro, yang dimiliki oleh Trihatma Kusuma Haliman, yang sepanjang

tahun 2002-2006 menjadi pemain tunggal properti di Kawasan Segitiga Emas,

juga sedang mempersiapkan proyek terbarunya yang menghabiskan dana Rp 2,2

triliun, yakni Mega Kuningan Land.

Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo, akan merestrukturisasi ulang

pembangunan kawasan pusat perbelanjaan Satrio Shopping Belt di Kuningan yang

telah dirintis Gubernur DKI Jakarta Suryadi Sudirja. Grup Agung Podomoro dan

PT Ciputra Property, Tbk., akan segera merealisasikan megaproyek Kuningan

City dan Ciputra World Jakarta, sebagai partisipasi membangun pusat sentra

perdagangan ini. Menyusul Grup Asiatic yang membangun Asiatic Tower dan
agresifitas PT Duta Pertiwi, Tbk. yang telah lebih dulu menggarap Ambassador

Superblok. Proyek tersebut mulai dibangun pada 2000 dan resmi beroperasi 2003.

Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa PT Duta Pertiwi Tbk dan Grup Asiatic,

pengembang pertama yang mampu merampungkan komitmennya dalam merintis

Satrio Shopping Belt ini.

PT Ciputra Property, Tbk. merupakan salah satu pelopor yang telah

memberikan konfirmasi untuk bergabung dalam proyek ini. Hanya baru sebagian

kecil yang terwujud karena terkena krisis ekonomi tahun 1997. Mereka baru

merampungkan Somerset Grand Citra Serviced Apartment pada 1995. Kompleks

apartemen ini berlokasi di kavling satu (lot 1) Jl. Dr. Satrio yang menempati lahan

seluas 1,1 hektar.

PT Ciputra Property, Tbk., Grup Asiatic dan PT Duta Pertiwi, Tbk.,

tergabung dalam sembilan pengembang yang mendapat ijin membangun di

koridor Satrio Shopping Belt yang diresmikan mantan Gubernur DKI Suryadi

Sudirja, pada 31 Agustus 1997 silam. Enam pengembang lainnya adalah, PT

Danamon, PT Mega Kuningan, PT Jakarta Setiabudi International, Tbk., PT

Putera Surya Perkasa, Jakarta Land, serta Hatmohadji dan Kawan Group (Grup

Haka).

5.3. Dampak Sosial Ekonomi Penguasaan Lahan dan Properti

Pergeseran fungsi lahan diwarnai pula oleh tarik-menarik antara berbagai

kepentingan sehingga menimbulkan masalah yang menjadi salah satu topik politik

nasional. Penyediaan lahan untuk pembangunan seringkali bertolak belakang


dengan perlindungan hak-hak rakyat pemilik lahan. Hal ini disebabkan banyak

pihak telah melihat lahan dari fungsi ekonomi yang dapat memberikan

keuntungan yang berlipat ganda.

Pemerintah memberikan peluang kepada para pengembang swasta untuk

membangun Kawasan Segitiga Emas dengan memberikan izin lokasi. Melalui

instrumen ini, peran swasta dalam pembangunan meningkat sehingga mulai

bermunculan kawasan bisnis yang terencana mengikuti kaidah planologi. Lahan di

Indonesia tidak pernah luput dari berbagai permasalahan. Persoalan pokoknya

berawal dari penetapan ganti rugi dalam pembebasan lahan. Pemberian ganti rugi

sering tidak transparan sehingga memunculkan berbagai spekulasi yang memicu

melonjaknya harga lahan.

Mekanisme pasar yang semula berfungsi mendistribusikan lahan secara

efisien dan merata menjadi tidak terkontrol. Akibatnya beberapa kalangan yang

memiliki bangunan yang besar dan menguasai lahan seluas-luasnya, di sisi lain

banyak kalangan yang tidak mampu memiliki lahan.

Esensi permasalahan terletak pada kebutuhan yang terus meningkat,

sementara persediaannya relatif tetap sehingga harga terus meningkat dari tahun

ke tahun. Perilaku pertanahan di Indonesia dalam praktiknya ditentukan oleh

kelompok-kelompok yang menguasai lahan dan end users. Pihak yang

mendominasi dalam penguasaan lahan adalah pemerintah dan swasta.


Pada akhirnya, mesin permintaan dan penawaran tidak lagi dikendalikan

oleh mekanisme pasar bebas, melainkan dikendalikan oleh sekelompok

monopsonis yang mendapat perlindungan hukum dari pemerintah melalui hak

khusus yang dinamakan izin lokasi.

Pemerintah begitu mudahnya memberikan izin lokasi dalam skala luas

ratusan sampai ribuan hektar atas dalih pembangunan suatu kawasan terpadu.

Walaupun secara fisik lahan belum seluruhnya dikuasai oleh developer, tetapi

secara yuridis hak pembebasan lahan sudah digenggam oleh pemegang izin lokasi

yang mengakibatkan terkuncinya mekanisme penawaran lahan di pasar bebas. Izin

lokasi yang semula dimaksudkan menjadi instrumen pengendali harga lahan

berubah menjadi penyebab kenaikan harga tanpa kendali.

Penyalahgunaan izin lokasi oleh sebagian pengembang bertujuan untuk

menguasai lahan dan berspekulasi. Hal ini mengakibatkan mekanisme tidak

berjalan baik sebab pemilik lahan yang berada di area izin lokasi, sebetulnya tidak

bisa lagi menjual lahannya melalui transaksi pasar bebas, kecuali kepada

developer pemegang izin. Rakyat pemilik lahan sering merasa terpojokkan bila

berhadapan dengan developer besar pemegang izin lokasi. Informasi pembebasan

lahan yang kurang transparan, kurangnya profesionalisme tenaga pembebasan

lahan yang ditempatkan developer, adanya unsur-unsur penekanan oleh developer

sering menyebabkan timbulnya sikap antipati rakyat kepada developer45.

45
Ibid
Sumber yang digunakan sebagai acuan dalam penetapan harga lahan

bermacam-macam, yakni :

1. harga ganti rugi yang ditetapkan oleh Panitia Pengadaan Tanah BPN,

2. harga pasar yang dikenal dengan NJOP dalam penetapan PBB,

3. harga yang ditetapkan swasta,

4. harga pasar yang ditetapkan notaris dalam kasus jual beli lahan.

Wacana pembebasan lahan skala besar di Kawasan Segitiga Emas pertama

kali dilakukan pada tahun 1970 di era pemerintahan Gubernur Ali Sadikin. Tetapi,

rencana itu tidak terealisasi sepenuhnya. Pembangunan gedung-gedung bertingkat

pun telah dilakukan hanya jumlahnya masih tidak banyak.

Pembebasan lahan skala besar di Kawasan Segitiga Emas ini terfokus di

beberapa kelurahan, yaitu kelurahan Guntur, kelurahan Karet Kuningan,

kelurahan Setiabudi, dan kelurahan Karet. Kelurahan Guntur ini dulunya

merupakan permukiman kumuh dan liar yang dihuni berbagai warga pendatang

dari luar Jakarta. Sedangkan tiga kelurahan lainnya sebagian besar merupakan

perkampungan warga Betawi. Keempat kelurahan ini sengaja difokuskan sebagai

kawasan pusat bisnis. Proses pembebasan lahan skala besar ini baru terealisasi

pada tahun 1990 dengan masuknya banyak pengembang yang ingin menguasai

lahan.

Selama proses pembebasan lahan skala besar, para pengembang harus

menyelidiki terlebih dahulu pemilik lahan yang sah sehingga informasi yang

didapat oleh pengembang merupakan informasi yang sempurna. Para pengembang

pun mempunyai tolak ukur penetapan ganti rugi. Biasanya pihak pengembang
swasta beertujuan meengejar keuuntungan, berprinsip
b u
untuk mem
mbeli murah
h dan

menjual dengan
d hargga yang maahal. Hal in
ni membuatt semua haarga berdasarkan

perkiraan yang diwarrnai masingg-masing keepentingan. Harga transsaksi bebas yang

dalam teoori sering disebut


d fairr market value (hargaa pasar waajar) belum
m bisa

berjalan.

Paada proses ganti


g rugi pemilik
p lah
han tidak mempunyai
m alat ukur untuk
u

menetapkaan nilai gannti rugi atass lahannya. Dengan addanya kebuttuhan mend
desak,

terkadang rakyat pem


milik lahann tersebut dengan
d muddahnya mellepaskan haaknya

kepada peemilik proyeek.

13% 0%
3%
% Rp 100.00
00 - Rp 499.0
000
40%
Rp 500.00
00 - Rp 999.0
000

Rp 1.000.0
000 - Rp
1.499.000
Rp 1.500.0
000 - Rp
44%
%
1.999.000

Sumber : Data
D Primer, diolah.
Gambbar 5.5. Harga Pembebaasan Lahan Skala Besaar

Gaambar 5.5. menunjukkkan bahwa sebanyak 44 persen atau sekitaar 13

pengembaang membeli lahan di Kawasan Segitiga


S Em
mas sebesarr Rp 500.00
00,00

hingga Rpp 999.000,000 per m2. Sekitar 12 pengembanng atau 40 persen mem
mbeli

lahan denggan harga yang


y lebih rendah
r lagii, yaitu sebeesar Rp 1000.000,00 hingga

Rp 499.0000,00 per m2. Hanya 16


1 persen attau sekitar lima pengeembang mem
mbeli

lahan sebeesar Rp 1.0000.000,00 hingga


h Rp 1.999.000,0
1 0 per m2. B
Berdasarkan
n hasil
wawancara dari pengembang, harga pembebasan lahan sekitar Rp 100.000,00

hingga Rp 500.000,00 per m2 terjadi di kawasan Kuningan karena harga lahan

yang lebih murah dibandingkan harga lahan di Sudirman. Sedangkan di kawasan

Sudirman dan Thamrin harga pembebasan lahan adalah sebesar Rp 500.000,00

hingga Rp 1.999.000,00 per m2.

Rp 12.000.000
Rp 10.000.000
Rp 8.000.000
Rp 6.000.000
Rasuna Said
Rp 4.000.000
Gatot Subroto
Rp 2.000.000 Sudirman-Thamrin
Rp 0

Sumber : Panangian S. & Associates, 1997.


Gambar 5.6. Perkembangan Harga Jual Lahan di Kawasan Segitiga Emas

Jika melihat Gambar 5.6. harga lahan pada tahun 1990 ketika terjadi

pembebasan lahan telah berkisar antara Rp 2.800.000,00 hingga Rp 5.500.000,00.

Sedangkan harga ganti rugi yang diberikan hanya sekitar Rp 100.000,00 hingga

Rp 1.999.000,00. Untuk kasus permukiman liar, dengan adanya pembebasan lahan

skala besar akan memberi dampak positif dan negatif. Dampak negatifnya,

pengembang hanya memberikan ganti rugi Rp 200.000,00 sampai dengan Rp

600.000,00.
Tabel 5.9. Profit Developer Pasca Pembebasan Lahan Skala Besar
Jumlah Profit Developer per m2
Developer
4 Rp 3.501.000,00 – Rp 4.000.000,00
1 Rp 4.001.000,00 – Rp 4.500.000,00
13 Rp 4.501.000,00 – Rp 5.000.000,00
12 Rp 5.001.000,00 – Rp 5.400.000,00
Sumber : Data Primer, diolah.
Keterangan : Asumsi harga jual lahan Rp 5.500.000,00 per m2 .

Tabel 5.9. menjelaskan bahwa sebanyak 25 pengembang mendapatkan

keuntungan berkisar antara Rp 4.501.000,00 hingga Rp 5.400.000,00 per m2 atau

sebesar 81 persen hingga 99 persen dari harga jual lahan pada tahun 1990.

Sebanyak lima pengembang meraih keuntungan sebesar Rp 3.501.000,00 hingga

Rp 4.000.000,00 per m2 atau sebesar 64 persen sampai dengan 74 persen dari

harga jual lahan per m2. Dengan keuntungan yang berkisar antara 64 persen

hingga 99 persen, pengembang mendapatkan keuntungan di atas normal hingga

mencapai dua kali lipat dari harga pembebasan lahan per m2.

Hal ini terjadi di Kelurahan Guntur yang memang pada saat itu merupakan

perkampungan liar dan kumuh. Latar belakang para pemilik lahan tidak jelas.

Sebagian besar dari mereka adalah warga pendatang yang mengadu nasib di

ibukota. Tidak adanya status lahan menyebabkan para pengembang mengambil

alih keputusan penetapan harga ganti rugi. Terdapatnya informasi yang tidak

sempurna, mengakibatkan pemilik lahan tidak mengetahui dengan pasti seberapa

besar harga lahan itu di pasaran dan prospek lahan itu di masa yang akan datang

sehingga mereka terpaksa menyetujui besarnya ganti rugi yang ditetapkan, apalagi

sebagian besar warga permukiman liar tersebut merupakan keluarga miskin yang

tidak memiliki penghasilan yang tetap.


Hal ini tentunya akan memberi dampak negatif bagi para pemilik lahan.

Mereka akan terpinggirkan dari kawasan sentral Jakarta. Di satu pihak, dampak

positif yang ditimbulkan dengan dilakukannya pembebasan lahan di permukiman

liar tersebut dapat membenahi struktur tata ruang kota yang tadinya tidak baik

menjadi lebih tertata rapi dan sesuai dengan AMDAL.

Di lain pihak, jika rakyat pemilik lahan memiliki status hukum yang jelas

maka mereka dapat bernegosiasi dengan pihak pengembang mengenai

kesepakatan harga pembebasan lahan. Hasil korelasi peringkat spearman

(lampiran 6) menunjukan adanya hubungan yang cukup kuat antara harga

pembebasan lahan dengan status hukum lahan dengan nilai estimasi sebesar 0,513

pada α = 0,01. Dengan adanya status hukum kuat, pemilik lahan bisa

mempertahankan lahannya hingga diperoleh harga yang tepat atau paling tidak,

sesuai dengan NJOP yang berlaku.

Pemilik lahan bisa mengajukan keberatan kepada developer jika nilai ganti

rugi yang ditetapkan di bawah NJOP dan dapat melaporkannya ke BPN. Karena

itu, sebagian besar rakyat pemilik lahan yang memiliki Sertifikat Hak Milik tidak

akan dirugikan. Seperti yang tertulis sekilas di Majalah Properti Indonesia Edisi

Juli 2005:

Pemilik-pemilik tanah warga Betawi asli menjadi kaya mendadak setelah


menerima uang penggusuran yang tinggi.

Kerugian lain yang ditimbulkan setelah penggusuran yakni adanya

permainan spekulasi lahan oleh developer. Hal ini muncul karena izin

pembebasan lahan dan penguasaan lahan telah didapatkan. Sisa lahan yang ada

didiamkan hingga harga lahan bergejolak naik. Hingga saat ini berdasarkan hasil
riset PSPI dari 1.350 hektar lahan Kawasan Segitiga Emas yang telah dikuasai

para developer lahan potensial yang masih belum dikembangkan sebanyak 729

hektar, tetapi telah dikuasai oleh pengembang46.

Tabel 5.10. Kasus Pembebasan Lahan di Tahun 1990-2001


No. Kasus Alasan Penggusuran Keterangan
1. 6.616 KK dan 34.514 Lahan akan dijadikan Penggusuran disertai
jiwa kehilangan tempat lokasi bisnis. dgn kekerasan &
tinggal. pembakaran yg
melibatkan aparat
pemda, preman,
banpol, polisi dan
TNI.

2. 6.588 rumah dan 5 Penyerobotan lahan Warga mendapat


sekolah dihancurkan, oleh warga pendatang ganti rugi sebesar Rp
52 orang kehilangan dan 200.000,00 hingga Rp
pekerjaan, 19 orang pembersihan warga 600.000,00.
tewas, 67 orang pendatang yang tidak
terluka, 50 orang sakit, memiliki KTP.
1000 orang depresi.

3. Pembebasan lahan Lahan akan dijadikan Belum terealisasi


peternakan sapi di pusat bisnis. karena tidak adanya
Kuningan. kesepakatan.
4. Rencana pembebasan Lahan akan dijadikan Belum terealisasi
Sekolah Dasar Negri. pusat bisnis dan karena penolakan dari
keadaan sekolah yang orangtua murid dan
tidak kondusif. para guru.
Sumber : FAKTA, 1990 - 2001.

Tabel 5.10. menjelaskan terdapat beberapa kasus ketika terjadi

pembebasan lahan di beberapa kelurahan dengan permasalahan yang sama, yakni

harga pembebasan lahan yang rendah. Di kawasan Kuningan saat ini masih

terdapat satu peternakan sapi perah yang tersisa. Pemiliknya tetap bertahan untuk

meneruskan usaha peternakanya walaupun kondisi lingkungan sekitarnya sudah

46
Dalam wawancara terhadap Turgison, Asisten Bagian Informasi dan Data Panangian &
Associates, pada tanggal 4 Juni 2008 untuk mengetahui penggunaan lahan di Kawasan Segitiga
Emas.
tidak kondusif lagi. Sampai saat ini, banyak developer yang mengincar lahan

tersebut. Pemilik lahan itu berdalih bahwa usaha peternakan sapi perahnya

merupakan warisan turun-temurun sejak dahulu sehingga mereka tidak akan

berpindah tempat. Hanya saja banyak tekanan yang timbul dengan sikap

bertahannya pemilik lahan tersebut. Sering terdapat beberapa ancaman dari pihak-

pihak yang tidak dikenal. Tetapi, sampai saat ini mereka masih tetap berusaha

bertahan di kawasan Kuningan.

Selain itu pada Tabel 5.10. dipaparkan kasus lain yang terjadi yaitu

terdapat satu-satunya Sekolah Dasar Negri yang diapit oleh banyak gedung

bertingkat. Beberapa tahun lalu, di kawasan ini masih terdapat banyak

perkampungan relatif kumuh, Sekolah Menengah Pertama Negri, dan Sekolah

Dasar Negri. Tetapi telah digusur oleh developer dan pemerintah dengan dalih

pembangunan properti untuk kepentingan publik. Akhirnya hanya Sekolah Dasar

Negri saja yang tersisa. Walaupun begitu, menurut beberapa informan yang di

wawancara, para pengembang sudah merencanakan akan membangun properti

baru di tempat itu. Sehingga nasib sekolah tersebut masih tidak jelas.

Lain halnya dengan kasus penggusuran besar-besaran perkampungan liar

di Kawasan Segitiga Emas pada tahun 1990. Banyak warga pendatang yang

bermukim di sana. Sebagian besar warga pendatang tersebut tidak memiliki

identitas yang jelas, bahkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) saja tidak ada. Ketika

itu, kawasan ini akan dibangun properti besar-besaran.

Pemerintah, yang saat itu memang ingin membangun Kawasan Segitiga

Emas, bekerjasama dengan para pengembang untuk mengadakan pembebasan


lahan skala besar di kawasan tersebut. Pemilik lahan tidak memiliki wewenang

untuk menolak pembebasan lahan tersebut karena mereka bermukim secara liar

yang membuat lingkungan sekitar menjadi kumuh dan kotor, dan mereka pun

tidak memiliki KTP. Dengan begitu mereka terpaksa menerima perlakuan dari

pihak pemerintah dan developer.

Hal ini sebenarnya menjadi polemik yang berkepanjangan. Di satu sisi,

pemilik lahan di permukiman liar itu memang telah menyalahi aturan karena

mendirikan bangunan tanpa izin yang jelas. Di sisi lain, pemerintah tidak pernah

menegakkan peraturan yang berkaitan dengan masalah warga pendatang yang

tidak memiliki izin tinggal. Dengan adanya warga permukiman liar ini justru

membuka peluang bagi oknum pemerintah untuk memaksa mereka membayar

berbagai macam retribusi, baik yang legal maupun ilegal.

Kasus penggusuran yang terjadi sangat ekstrem dan bersifat memaksa.

Seperti yang tertera pada Tabel 5.10. sebanyak 34.514 jiwa menjadi korban

ketidakadilan pihak pemerintah dan pengembang. Pemerintah dan developer tidak

peduli dengan nasib warga tersebut. Justru pihak pemerintah menyudutkan warga

pendatang karena tidak adanya identitas diri dan keberadaan mereka hanya

membuat kotor dan kumuh.

Sejak masa pemerintahan camat Rustam Effendi, terjadi pembenahan pada

struktur wilayah kecamatan Setiabudi yang sebagian besar daerahnya berupa

permukiman liar (slum area). Melihat banyaknya kasus penggusuran paksa di

kawasan tersebut, Rustam Effendi ingin melakukan perubahan pola pembebasan

lahan dengan kekeluargaan. Para pemilik lahan yang menempati perkampungan


liar akan mendapat ganti rugi yang lebih baik agar mereka dapat bermukim di

tempat yang lebih layak47.

5.4. Peran Pemerintah dalam Penetapan Harga Lahan

Pengendalian pasar lahan di Indonesia dapat dilakukan dengan membentuk

suatu pusat data dan informasi yang dikelola oleh suatu badan yang sekaligus

melaksanakan penilaian harga lahan sesuai dengan prinsip fair market value.

Walaupun Badan Pertanahan Nasional telah memiliki Panitia Pengadaan Tanah

yang berfungsi untuk melakukan penilaian terhadap harga tanah, tetapi saat ini

harga lahan disesuaikan melalui mekanisme pasar. Harga yang menjadi acuan

adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang ditetapkan oleh Ditjen Pajak

berdasarkan harga transaksi untuk memperoleh pemasukan bagi negara.

Walaupun setiap tahun nilai NJOP selalu mengalami peningkatan yang

disesuaikan dengan harga pasar. Namun pada kenyataannya, NJOP lebih rendah

dari nilai pasar sesungguhnya. Padahal NJOP menjadi patokan dalam penentuan

harga ganti rugi, sesuai dengan Kepres No. 55 tahun 1993.

Tabel 5.11. Penerapan NJOP 2007


Nama Jalan NJOP Harga Pasar
Jl. Jend. Sudirman Rp 22.005.000,00 Rp 24.700.000,00
Jl. H.R. Rasuna Said Rp 18.375.000,00 Rp 19.600.000,00
Jl. M.H. Thamrin Rp 18.375.000,00 Rp 20.800.000,00
Sumber : Kecamatan Setiabudi, 2007.
Terlihat pada Tabel 5.11. bahwa nilai NJOP jauh di bawah harga pasar.

Selisih keduanya lebih dari Rp 2.000.000,00 per m2. Tentu saja jika saat ini

47
Wawancara dilakukan terhadap Abdul Rohim,Kepala Kecamatan Setiabudi Jakarta, pada
tanggal 28 Mei 2008 untuk mengetahui sejarah perkembangan Kawasan Segitiga Emas.
dilakukan penggusuran dengan ketentuan berdasarkan NJOP, maka rakyat akan

dirugikan. Padahal pihak pemerintah selalu berdalih bahwa proyek penggusuran

dilakukan demi kepentingan rakyat. Akan tetapi, untuk kasus ini justru rakyatlah

yang menjadi korban. Pemerintah cenderung berpihak kepada pengembang

swasta. Dengan mudahnya Pemda mengeluarkan izin pembebasan lahan kepada

developer demi keuntungan pihak-pihak tertentu saja, tanpa memperhatikan

kondisi rakyat.

Pengalaman beberapa negara dalam proses pembebasan lahan perlu

diperhatikan dan dijadikan contoh. Pembebasan lahan untuk kepentingan umum

yang dikenal sebagai compulsory purchase diatur dalam undang-undang yang

disebut Land Acquisition Act. Compulsory Purchase, yaitu pembelian properti

yang berlawanan dengan keinginan pemilik, khususnya untuk kepentingan umum.

Di Inggris, pembebasan lahan untuk kepentingan pemerintah diatur dalam

Land Compensation Act 1961, lalu diubah menjadi Local Government 1980 dan

menjadi Planning and Land Act 1980. Di Amerika pembebasan lahan dilakukan

sebagai pelaksanaan eminent domain, negara berwenang menguasai untuk

kepentingan umum yang diatur dalam Land Compensation Act 1961. Di Malaysia

ada istilah adequate compensation yang diatur dalam Land Acquisition Act 196048.

Ketiga negara ini merujuk pada fair market value, yang pengaturannya jelas

secara transparan dalam undang-undang. Selain itu, ketiga negara ini mempunyai

lembaga yang dikenal dengan valuation office yang berada dalam pengawasan

Departemen Keuangan.

48
Dalam wawancara tanggal 31 April 2008 terhadap Suryani , notaris dan PPAT di wilayah
Setiabudi Kuningan, untuk mengetahui peraturan-peraturan pertanahan di negara lain.
Setiap tahunnya, lembaga-lembaga tersebut mengeluarkan informasi harga

lahan yang disebut land price index dan building price index untuk residential,

commercial dan industrial property. Data ini menjadi acuan ketika terjadi

pembebasan lahan oleh swasta untuk menentukan harga penawaran dalam

bernegosiasi dalam proses jual beli. Keterbukaan dalam patokan harga lahan ini

merupakan awal efisiensi pasar properti di negara maju. Hasilnya infrastruktur

berkembang dan investasi perkotaan berjalan lancar. Dengan adanya nilai lahan

yang diakui pemerintah dan masyarakat, maka berbagai kasus ganti rugi yang

selama ini menjadi masalah dapat diredam.

Pasar lahan akan semakin efisien karena adanya transparansi informasi

harga pasar. Kegiatan spekulasi di balik perbedaan nilai harga lahan dapat

dikendalikan. Selain itu pajak-pajak lainnya dapat dikontrol, dan sewaktu-waktu

pemerintah dapat melakukan intervensi untuk mencegah spekulasi serta

mengendalikan alokasi pemanfaatan lahan secara efisien dan merata.

Indonesia masih belum dapat menerapkan peraturan pengawasan harga

lahan. Berdasarkan hasil observasi, peraturan ini masih belum bisa diterapkan

karena pemerintah lebih berpihak kepada developer yang memberi banyak

keuntungan.

Terdapat beberapa oknum pemerintah yang justru melakukan tindakan

pemerasan kepada para pengembang dan warga pemilik lahan. Seperti kasus

adanya mark-up uang ganti rugi masyarakat ketika adanya pembebasan lahan di

untuk pembangunan fasilitas umum pada tahun 1990. Selama 18 tahun berjalan,

kasus ini baru diungkap kembali oleh Badan Pemeriksa Keuangan sehingga
banyak pejabat yang pada masa itu terlibat, kini harus diperiksa oleh pihak yang

berwajib49.

Kasus ini diusut kembali karena banyaknya laporan masyarakat mengenai

adanya pembebasan lahan secara ganda, yaitu pada tahun 1970 telah dilakukan

pembebasan skala besar, tetapi pada tahun 2006 terjadi pembebasan lahan di

lokasi yang sama. Selain itu, terdapat juga sertifikasi ganda pada SHM yang

menimbulkan sengketa.

49
Wawancara dilakukan pada tanggal 22 Juli 2008 terhadap Etty Herawati yang menjabat sebagai
kasubag dan sekretaris Wakil Gubernur Pemprov DKI Jakarta. Kasus mark-up ini sedang dibuka
kembali mengingat banyaknya laporan warga kepada Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Hal ini juga diutarakan oleh Abdul Rochim yang menjabat sebagai Kepala Kecamatan Setiabudi
yang menerima laporan keluhan masyarakat. Masalah ini masih diproses pada tingkat Wakil
Gubernur untuk diteruskan dan ditindaklanjuti.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan masalah yang ada, tujuan yang ingin dicapai, dan hasil

pembahasan yang telah dilakukan. Maka dari penelitian ini dapat diambil

beberapa kesimpulan, yaitu :

1. Aktivitas perburuan rente selalu menjadi bagian dalam proses pembebasan

lahan dan penguasaan lahan. Hal ini terjadi karena para pengembang

menggunakan kekuasaan pemerintah melalui proses perizinan dengan

mengeluarkan biaya transaksi yang besar. Untuk dapat menguasai lahan

dan membangun properti di Kawasan Segitiga Emas, para developer harus

mengeluarkan biaya transaksi hingga 14 persen dari nilai proyek untuk

memudahkan dalam proses perizinan dan pembebasan lahan yang

tergantung dari strategis atau tidaknya lahan.

2. Sejak diaglomerasikannya Kawasan Segitiga Emas sebagai pusat bisnis

multifungsi, banyak pengembang yang mengincar lahan yang berada di

sana. Sebagian besar developer merupakan konglomerat-konglomerat

besar yang sudah mendominasi penguasaan lahan dan properti. Pada masa

booming properti tahun 1990, grup-grup yang mendominasi adalah PT

Danayasa Arthatama, PT Abadi Guna Papan, dan Grup Ciputra dengan

penguasaan lahan mencapai ratusan hektar. Saat terjadi krisis ekonomi

1997, para konglomerat mengalami collapse karena melonjaknya harga

bahan baku dan hutang bank yang meningkat sehingga lahan-lahan yang
dikuasai pun diambil alih oleh BPPN. Pada awal tahun 2000, kebangkitan

sektor properti pun terlihat. Setelah para konglomerat merestrukturisasi

hutang-hutangnya, pembangunan properti mulai nampak kembali.

Penguasaan lahan pun berganti kepemilikan. Diantara grup yang mulai

giat aktivitas proyeknya adalah Grup Agung Podomoro, Grup Gapura

Prima, Grup Pakuwon, dan Grup Duta Pertiwi.

3. Adanya pembebasan lahan skala besar telah menggusur warga

permukiman liar di Kawasan Segitiga Emas. Tindakan penggusuran

dilakukan tanpa melihat aspek kemanusiaan karena terdapatnya aksi

kekerasan, pembakaran, dan pelecehan seksual sehingga banyak warga

permukiman liar di kawasan tersebut yang menjadi korban.

4. Pemerintah cenderung berpihak pada pengembang swasta dalam hal

penguasaan lahan dan pembangunan properti karena kurangnya lembaga-

lembaga pengendali harga lahan.

6.2. Saran

Berdasarkan pendahuluan hingga kesimpulan yang telah dibuat, maka

beberapa saran yang bisa direkomendasikan, yaitu :

1. Diharapkan adanya good governance melalui transparansi informasi dan

peningkatan pelayanan kepada masyarakat karena timbulnya perilaku

perburuan rente (rent seeking) dalam masalah lahan, mengindikasikan

masih lemahnya prosedur perizinan atas lahan dan rentannya praktik

percaloan karena sebagian besar oknum pemerintah masih menerima uang


sogokan dari para developer dan kurangnya hukum yang tegas untuk

menindak para calo.

2. Para developer diharapkan tidak hanya mengembangkan proyeknya di

Kawasan Segitiga Emas saja, tetapi juga mulai membuka peluang untuk

berinvestasi di kawasan pusat bisnis lainnya di Jakarta.

3. Pemerintah diharapkan bersikap tegas dalam menegakan peraturan untuk

melarang warga pendatang bermukim liar di suatu kawasan dan

merelokasi warga permukiman liar ke tempat yang lebih baik, misalnya

rusunawa. Di sisi lain, pemerintah juga tidak boleh mengambil

kesempatan dengan menarik berbagai macam retribusi dan pungutan liar

dari para warga di permukiman liar.

4. Pemerintah dapat mencontoh negara lain dalam pengendalian harga lahan

dengan dibuatnya Land Acquition Act sehingga penilaian harga lahan

dapat lebih baik.

5. Untuk peneliti selanjutnya diharapkan dapat meneliti penguasaan lahan

dan mekanisme pembebasan lahan di kawasan pusat bisnis lainnya yang

sedang gencar-gencarnya dikembangkan oleh para konglomerat sehingga

dapat diperoleh perbandingan antar kawasan pusat bisnis yang ada saat ini.
DAFTAR PUSTAKA

Alexander, Hilda B., Juli 2005. “Kawasan Segitiga Emas Masih Diburu”. Properti
Indonesia : Hal.34.

Arif, Sritua.1990. Dari Prestasi Pembangunan Sampai Ekonomi Politik. UI-Press,


Jakarta.

Badan Pertanahan Nasional. 2008. Pertimbangan Teknis Tata Guna Lahan Tahun
2004-2008. Kanwil BPN DKI Jakarta, Jakarta.

Cahyono, Bambang Tri.1983. Ekonomi Pertanahan. Liberty, Yogyakarta.

Dinas Perencanaan dan Pengembangan Kota. 2007. Rasio Luas Bangunan Tinggi
dan Luas Wilayah per Kotamadya. P2K DKI Jakarta, Jakarta.

Evan, William M.1993. Organization Theory : Research and Design. MacMillan


Publishing Company, New York.

Fakta. 1990-2001. Kasus Pembebasan Lahan di Tahun 1990-2001. LSM Fakta,


Jakarta.

Gie, Kwik Kian.1994. Analisis Ekonomi Politik Indonesia. PT Gramedia Pustaka


Utama dan STIE IBII, Jakarta.

Goldberg, Michael dan Peter Chinloy.1984. Urban Land Economics. John Wiley
and Sons, Canada.

Hasanah, Florin.2004. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Lahan


Permukiman di Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor [Skripsi]. Faperta
IPB.

Harrison, Lisa.2007. Metodologi Penelitian Politik. Kencana, Jakarta.

Hartwick, John M. And Nancy D. Olewiler.1986. The Economics of Natural


Resources Use. Harper and Row, New York.

Juanda, Bambang.2007. Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis. IPB Press,


Bogor.

Mangkoesoebroto, Guritno.1994. Kebijakan Ekonomi Publik di Indonesia :


Substansi dan Urgensi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
McAuslan, Patrick.1986.Tanah Perkotaan dan Perlindungan Rakyat Jelata. PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Oser dan Blanchfield.1975. The Evolution of Economic Though. Hartcourt Brace


Jovanovich, New York.

Perdana, Ari A.2001. Peranan “Kepentingan” dalam Mekanisme Pasar dan


Penentuan Kebijakan Ekonomi di Indonesia [Jurnal]. Economics Working
Paper Series CSIS.

Pohan, Rusdin.2007. Metodologi Penelitian Pendidikan. Ar-Rijal Institute,


Jakarta.

Priasmoro. 1994. Konglomerasi Ekonomi Indonesia dalam Rangka Persatuan dan


Kesatuan Bangsa. LPSI, Jakarta.

Priyarsono, D.S. dan Sahara. 2006. Modul Mata Kuliah Ekonomi Regional.
Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi Manajemen IPB, Bogor.

Pusat Data Properti Indonesia. 1997. Perkembangan Harga Lahan di Kawasan


Segitiga Emas Jakarta. Properti Indonesia, Jakarta.

Pusat Studi Properti Indonesia. 1997. Perkembangan Harga Jual Lahan di


Kawasan Segitiga Emas Jakarta. Panangian and Associates, Jakarta.

Rachbini, Didik J. 1999. Diagnosa Ekonomi dan Kebijakan Publik. PT Pustaka


Sinar Harapan, Jakarta.

Sjahrir. 1995. Ekonomi Politik Konglomerasi Indonesia. Warta Ekonomi, Jakarta.

Sumardjono, Maria S.W.2007. Kebijakan Pertanahan : Antara Regulasi dan


Implementasi. Kompas, Jakarta.

Walpole, Ronald E.1995. Pengantar Statistika.Edisi ke-6. PT Gramedia Pustaka


Utama, Jakarta.

Waugh, David.2003. The New Wider World. Nelson Thornes, United Kingdom.

Yakin, Addinul.1997. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Akademika


Persindo, Jakarta.

Yustika, Ahmad Erani.2006. Ekonomi Kelembagaan: Definisi, Teori, dan


Strategi. Bayumedia Publishing, Jatim.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Wawancara Mekanisme Pembebasan Lahan

Lokasi Harga Pembebasan Biaya Harga Jual Status


Lahan Lahan Transaksi Pengembang Lahan
Sudirman 500000 - 999000 5%-9% >12500000 Tidak jelas
Thamrin 500000 - 999000 5%-9% 10000000 – 12499000 SHM
Thamrin 500000 - 999000 10%-14% 10000000 – 12499000 Girik
Sudirman 1500000 -1999000 10%-14% >12500000 SHM
Kuningan 1500000 - 1999000 5%-9% 7500000 – 9990000 SHM
Sudirman 500000 - 999000 10%-14% >12500000 SHM
Sudirman 100000 - 499000 0%-4% 10000000 – 12499000 Letter C
Kuningan 100000 - 499000 5%-9% 7500000 – 9990000 Letter C
Kuningan 500000 - 999000 10%-14% 10000000 – 12499000 SHM
Kuningan 100000 - 499000 5%-9% 5000000 – 7490000 Girik
Kuningan 500000 - 999000 5%-9% 10000000 – 12499000 SHM
Thamrin 1500000 -1999000 10%-14% >12500000 SHM
Thamrin 100000 - 499000 5%-9% >12500000 SHM
Sudirman 1500000 -1999000 5%-9% >12500000 SHM
Kuningan 500000 - 999000 5%-9% 10000000 – 12499000 Letter C
Kuningan 100000 - 499000 10%-14% 7500000 – 9990000 Girik
Thamrin 100000 - 499000 5%-9% 10000000 – 12499000 Letter C
Kuningan 100000 - 499000 5%-9% 7500000 – 9990000 Letter C
Sudirman 100000 - 499000 5%-9% >12500000 Letter C
Sudirman 500000 - 999000 10%-14% >12500000 SHM
Sudirman 500000 - 999000 5%-9% >12500000 Girik
Kuningan 100000 - 499000 10%-14% 10000000 – 12499000 Tidak jelas
Sudirman 500000 - 999000 5%-9% >12500000 Girik
Kuningan 100000 - 499000 5%-9% 7500000 – 9990000 Tidak jelas
Kuningan 100000 - 499000 5%-9% 7500000 – 9990000 Tidak jelas
Sudirman 500000 - 999000 5%-9% >12500000 Letter C
Thamrin 500000 - 999000 10%-14% 10000000 – 12499000 Girik
Sudirman 500000 - 999000 5%-9% >12500000 Letter C
Kuningan 100000 - 499000 10%-14% 10000000 – 12499000 Tidak jelas
Kuningan 100000 - 499000 5%-9% 10000000 - 12499000 Letter C
Sumber : Data Primer.

Lampiran 2. Tabel Frekuensi Transaction Cost

Valid Frequencies Percent Valid Percent Cumulative Percent


0 % − 4% 1 3,3 3,3 3,3
5%−9% 19 63,3 63,3 66,7
10 % − 14 % 10 33,3 33,3 100,0
Total 30 100,0 100,0
Lampiran 3. Tabel Frekuensi Status Lahan

Valid Frequencies Percent Valid Percent Cumulative Percent


Tidak jelas 9 30,0 30,0 30,0
Letter C 9 30,0 30,0 60,0
Girik 6 20,0 20,0 80,0
SHM 6 20,0 20,0 100,0
Total 30 100,0 100,0

Lampiran 4. Tabel Frekuensi Harga Jual Lahan


Valid Frequencies Percent Valid Cumulative
Percent Percent
5000000 − 7490000 1 3,3 3,3 3,3
7500000 − 9990000 6 20,0 20,0 23,3
10000000 – 11 36,7 36,7 60,0
12499000
> 12500000 12 40,0 40,0 100,0
Total 30 100,0 100,0

Lampiran 5. Tabel Frekuensi Harga Pembebasan Lahan


Valid Frequencies Percent Valid Cumulative
Percent Percent
100000 − 499000 12 40,0 40,0 40,0
500000 – 999000 13 43,3 43,3 83,3
1000000 − 1499000 1 3,3 3,3 86,7
1500000 − 1999000 4 13,3 13,3 100,0
Total 30 100,0 100,0

Lampiran 6. Hasil Korelasi Spearman


Harga Harga Status
Beli Jual Lahan
Spearman’s Harga Beli Correlation 1,000 0,579** 0,513*
*
rho Coefficient . 0,001
Sig. (2-tailed) 30 30 0,004
N 30
Harga Jual Correlation 0,579* 1,000 0,253
*
Coefficient . 0,178
Sig. (2-tailed) 0,001 30 30
N 30
Status Correlation 0,513* 0,253 1,000
*
Lahan Coefficient 0,178 .
Sig. (2-tailed) 0,004 30 30
N 30
**.
Correlation is significant at the 0,01 level (2-tailed)

Lampiran 7. Daftar Informan yang Diwawancara

Nama Informan Jabatan Tanggal Alasan


Wawancara
Suryani, Notaris PPAT di 31 April 2008 Pernah melakukan
S.H.,M.H., Setiabudi pembuatan akte
tanah warga di
Kuningan dan
mengetahui sejarah
kawasan Kuningan
Hilda B. Wartawan & 4 Juni 2008 Mengetahui sejarah
Alexander Aktivis LSM 18 Juni 2008 Kawasan Segitiga
Lingkungan Hidup Emas dan
berpengalaman
meliput masalah-
masalah
pertanahan,
kenal dekat dengan
pengembang
Turgison, S.H. Asisten Bagian 4 Juni 2008 Peneliti kasus
Informasi dan pertanahan dan
Data Panangian mengetahui
Simanungkalit & proyek-proyek
Associates pembangunan
properti
Abdul Rochim Kepala Kecamatan 28 Mei 2008 Mengetahui harga
Setiabudi lahan di pasaran
dan kasus mark-up
penjualan lahan
Etty Herawati R. Kasubag dan 22 Juli 2008 Menangani
Sekretaris Wakil pelaporan keluhan
Gubernur masyarakat
Pemprov DKI mengenai masalah
Jakarta lahan
Lampiran 8. Daftar Pengembang

Nama Pengembang Nama Pengembang


Grup Agung Podomoro PT Abadi Guna Papan
Grup Agung Sedayu PT Bakrie Investido
Grup Bentala Sanggrahan PT Bangun Cipta Pratama
Grup Ciputra PT Bangun Cipta Sarana
Grup Gapura Prima PT Benua Biru Nusa
Grup Haka PT Danayasa Athatama, Tbk.
Grup Intercon PT Duta Anggada
Grup Jayakarta PT Duta Pertiwi
Grup Lippo PT Jakarta Land
Grup Metropolitan PT Jakarta Setiabudi Properti
Grup Pakuwon PT Metropolitan Kencana
Grup Pudjiadi PT Pembangunan Djaja
Grup Sahid PT Skyline Building
Grup Sinarmas PT Graha Menteng Indah
Grup Summarecon PT Duta Makmur

Anda mungkin juga menyukai