Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

DOSIS ANTIBIOTIK PADA PASIEN KRITIS DEWASA


YANG MENERIMA TERAPI CRRT

Oleh
Fernando Wahyu

Pembimbing
Dr.Dita Aditianingsih, Sp.An-KIC

Program Studi Dokter Spesialis Farmakologi Klinik


Stase Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo
BAB I
PENDAHULUAN

Terapi penggantian ginjal secara terus-menerus (CRRT) sekarang umum


digunakan sebagai alat untuk mendukung pasien yang sakit kritis dengan gagal ginjal.
Tidak ada pedoman komprehensif terbaru yang memberikan rekomendasi dosis antibiotik
untuk pasien dewasa yang menerima CRRT. Dosis yang digunakan dalam hemodialisis
intermiten tidak dapat langsung diterapkan pada pasien ini, dan farmakokinetik antibiotik
berbeda dari pada pasien dengan fungsi ginjal normal. Kami meninjau literatur untuk
studi yang melibatkan antibiotik berikut yang sering digunakan untuk mengobati pasien
dewasa yang kritis yang menerima CRRT: vankomisin, linezolid, daptomycin,
meropenem, imipenem-cilastatin, nafcillin, ampicillin-sulbactam, piperacillin-
tazobactam, asam ticarcillin-clavulanic, cefazolin, sefotaksim, ceftazaksin, ceftazidim,
sefepime, aztreonam, siprofloksasin, levofloxacin, moksifloksasin, klindamisin, kolistin,
amikasin, gentamisin, tobramycin, flukonazol, itrakonazol, vorikonazol, amfoterisin B
(formulasi deoksikolat dan lipid), dan asiklovir. Kami menggunakan data ini, serta
pengalaman klinis, untuk membuat rekomendasi pemberian antibiotik pada pasien kritis
yang menerima CRRT.
Terapi penggantian ginjal kontinu (CRRT) sering digunakan untuk mengobati
pasien kritis dengan gagal ginjal akut atau gagal ginjal kronis. CRRT lebih baik
ditoleransi oleh pasien hemodinamik yang tidak stabil dan sama efektifnya dengan
menghilangkan zat terlarut selama periode 24-48 jam sebagai satu sesi hemodialisis
konvensional. Penghapusan zat terlarut sangat relevan dengan terapi antimikroba, karena
banyak pasien kritis dengan gagal ginjal akut memiliki infeksi serius dan memerlukan
pengobatan dengan 1 antimikroba. Namun, dibandingkan dengan data tentang dosis
antibiotik pada pasien yang menjalani hemodialisis intermiten, ada sedikit kekurangan
data yang dipublikasikan mengenai dosis antibiotik selama CRRT pada pasien yang sakit
kritis. Selain itu, tingkat pemberian obat selama CRRT dapat sangat bervariasi pada
pasien yang sakit kritis.1
Tinjauan dari literatur Medline yang direferensikan untuk merumuskan
rekomendasi pemberian dosis untuk antibiotik yang sering digunakan untuk mengobati
pasien dewasa dengan sakit kritis yang menjalani CRRT adalah sebagai berikut :
vankomisin, linezolid, daptomycin, meropenem, imipenem-cilastatin, nafcillin,
ampicillin-sulbactam, piperacillin -tazobaktam, asam ticarcillin-klavulanat, cefazolin,
sefotaksim, ceftriaxone, ceftazidime, sefepime, aztreonam, siprofloksasin, levofloxacin,

1
moksifloksasin, klindamisin, kolistin, amikasin, gentamisin, tobramycin, flukonazol,
itrakonazol, vorikonazol, amfoterisin B (formulasi deoksikolat dan lipid) , dan asiklovir.1

2
BAB II

ISI

CRRT atau continuous renal replacement theraphy adalah sebuah proses


ekstrakorporeal ketika darah dipindahkan dari kateter lumen arteri dengan pompa
peristaltik darah dan didorong melalui sebuah membran semipermeabel sebelum
dipompakan kembali ke pasien melalui kateter lumen vena. Kateter tersebut ditempatkan
pada vena subklavia, vena jugular interna, atau vena femoralis. Ketika darah melewati
membran (hemofilter atau dializer), elektrolit dan sampah-sampah berukuran kecil dan
sedang dikeluarkan dari darah dengan cara konveksi dan difusi. Pengeluaran cairan
dicapai dengan ultrafiltrasi pada laju yang tetap setiap jam dan kontinyu.2

CRRT menyerupai fungsi ginjal dalam pengaturan air, elektrolit dan sisa
pembuangan secara kontinyu, memindahkan cairan dan zat terlarut (solute) secara
perlahan-lahan dalam 24 jam untuk beberapa hari. Oleh karena pemindahan cairan pada
CRRT lebih lambat bila dibandingkan intermitten hemodialysis (IHD), maka CRRT
merupakan terapi ideal bagi pasien-pasien kritis dengan kondisi yang tidak stabil.
Pemindahan cairan yang lebih lambat dengan volume yang kecil pada beberapa jam atau
hari pada CRRT dapat meningkatkan stabilitas hemodinamik dibandingkan dengan
IHD.3,4

II.1. Prinsip Dasar CRRT

Untuk memahami CRRT perlu memahami prinsip dari bersihan darah melalui
sebuah membran semi permeabel. Mekanisme transport cairan dan solute (zat terlarut)
dilakukan melalui membran dengan cara difusi, konveksi dan ultrafiltrasi.5,6

Divusi, Konveksi, dan Ultrafiltrasi

Difusi, adalah pergerakan solute melewati suatu membran berdasarkan perbedaan


konsentrasi, untuk mecapai konsentrasi yang sama di ruang distribusi yang tersedia pada
tiap sisi. Hasilnya adalah aliran solute dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah
(Gambar 1).5,6

3
Gambar 1. Pergerakan solute melewati suatu membran berdasarkan perbedaan konsentrasi sesuai
ilustrasi prinsip difusi, maka aliran difusi solute (Jx) akan sebanding dengan permeabilitas
membran disuse (Pm) dan perbedaan konsentrasi (∆Cs)

Konveksi merupakan pergerakan solute melalui membran semipermeabel yang


berhubungan dengan ultrafiltrasi dan air yang melewati membran. Pori- pori membran
merupakan faktor penentu dari pergerakan solute selama terapi pembersihan darah (blood
purification). Konveksi dapat menggerakkan molekul yang besar jika aliran air yang
melalui membran cukup deras. Semakin cepat aliran yang melalui membran, molekul
yang lebih besar dapat ditransport (gambar 2).5,6

Gambar 2. Pergerakan solute selama terapi pembersihan darah sesuai prinsip konveksi maka
solvent flux akan sebanding dengan the dia- lyzer ultrafiltration coefficient (UFC) dan the
transmembrane pres- sure (TMP); dikoreksi dengan tekanan onkotik protein (π), sedang- kan
transfer solute sebanding dengan the solvent flow rate (QF), the solute concentration (CS), dan the
sievingcoefficient (SC).

Ultrafiltrasi adalah suatu proses plasma dan kristaloid dipisahkan dari darah
melalui suatu membran semipermeabel sebagai respons terhadap perbedaan tekanan
transmembran. Proses ini diperoleh dari persamaan berikut :5,6

Qf = Km x TMP

Qf = Kecepatan ultrafiltrasi (ml/menit)


Km = Koefisien membrane ultrafiltrasi(QfTMP)

4
TMP = Perbedaan tekanan transmembran

Tekanan hidrostatik pada kompartemen darah tergantung pada aliran darah.


Makin besar laju aliran darah, tekanan transmembran akan makin besar. Demikian juga
ukuran yang menaikkan tekanan negatif pada kompartemen ultrafiltrat dari membran,
juga akan meningkatkan ultrafiltrasi, seperti halnya ukuran yang menurunkan tekanan
onkotik plasma (misalnya predilusi, pemberian cairan pengganti sebelum filter). Ketika
ultrafiltrasi berlangsung dan plasma di-ultrafiltrasi, tekanan hidrostatik akan hilang dan
6
tekanan onkotik akan naik.

Hubungan antara tekanan transmembran dan tekanan onkotik menentukan fraksi


filtrasi, yaitu fraksi plasma yang dikeluarkan dari darah selama hemofiltrasi. Filtrasi
filtrat optimal pasien dengan hematokrit rata-rata 30% adalah dalam interval 20- 25%.
Hal ini untuk mencegah hemokonsentrasi yang berlebihan pada outlet filter.6

Membran Filter

Terdapat 2 tipe membran yang digunakan yaitu membran selulosa, yaitu


membran dengan low flux dan sangat tipis, mempunyai sturktur simetris dengan pori-pori
yang uniform dan bersifat hidrofilik; membran sintetik, yaitu membran dengan dinding
yang tebal antara 40 dan 00 mikron dengan suatu struktur asimetrik terdiri dari lapisan
bagian dalam dan suatu lapisan yang dikelilingi sponge (busa), membran ini mempunyai
pori besar ( 0.000-30.000 Dalton) dan bersifat hidrofobik.5,6

Permeabilitas membran yang tinggi dan pori-pori berukuran besar memberikan


bersihan yang baik dari solute dengan berat molekul kecil dan substansi yang lebih besar,
melebihi ukuran maksimal pori. Substansi dengan berat molekul rendah (< 0,5 KD)
adalah urea, elektrolit, vitamin dan obat-obat tertentu. Substansi dengan berat molekul
besar seperti albumin, sel darah merah dan sel darah putih serta obat-obat yang terikat
dengan protein tidak dapat melalui membran hemofilter (50 KD) karena ukuran yang
besar.3,4 Keuntungan dari dialiser permeabilitas tinggi dan hemofiltrasi adalah
kemampuan untuk mengeluarkan sitokin atau menurunkan konsentrasinya dengan
adsorpsi pada membran.3

Keuntungan CRRT6,7

 CRRT mengeluarkan cairan dengan kecepatan rendah akan menyebabkan


keseimbangan cairan menetap pada kondisi hemodinamik tidak stabil, pasien-
pasien kritis yang berkaitan dengan kondisi penyakitnya, misalnya infark

5
miokard, ARDS, septikemia, kelainan darah. 


 Kontrol yang baik terhadap azotemia, elektrolit dan keseimbangan asam basa.
Pada pasien- pasien katabolik, pengeluaran urea efektif untuk mengendalikan
azotemia. 


 Efikasi dalam pengeluaran cairan pada kondisi tertentu seperti edema paru pasca
bedah, ARDS dan lainnya. 


 CRRT membantu pemberian nutrisi parenteral dan obat-obat intravena seperti


vasopresor atau inotropik. 


 Hemofiltrasi efektif menurunkan tekanan intrakranial bila dibandingkan dengan


hemodialisis intermiten. 


 Pengeluaran mediator proinflamasi seperti IL- , IL-6, IL-8, TNF-α. 


Kerugian CRRT6,7

 Membutuhkan pemantauan hemodinamik dan keseimbangan cairan. 


 Infus dialisat reguler. 


 Antikoagulan yang kontinyu. 


 Pasien imobilisasi. 


 Lebih mahal dari hemodialisis intermiten. 


Komplikasi CRRT2,6

a. Teknis: malfungsi akses vaskular; sirkuit tersumbat, sirkuit pecah, kateter dan
sirkuit terlipat, insufisiensi aliran darah, jalur kateter tidak tersambung, emboli
udara, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. 


b. Klinis: perdarahan, hematoma, trombosis, infeksi dan sepsis, reaksi alergi,


hipotermia, kehilangan nutrien, insufisiensi blood purification, hipotensi, dan
aritmia. 


6
II.2. Tipe CRRT

CRRT memiliki tipe yang beragam, sesuai dengan akses vaskuler, peralatan yang
diperlukan teknik tersebut, mekanisme untuk bersihan air atau zat terlarut, dan kebutuhan
untuk mengganti cairan.6

Slow Continous Ultrafiltration3,4,6

Slow continuous ultrafiltration (SCUF) adalah terapi hemofiltrasi yang


digunakan khusus untuk mengeluarkan cairan dan pasien tidak azotemia serta refrakter
terhadap diuretik seperti edema paru, sepsis, gagal jantung dan ARDS. Terapi ini tidak
menggunakan dialisat atau cairan pengganti.

Continuous Venovenous Hemofiltration3,4,6

Continuous venovenous hemofiltration (CVVH) merupakan teknik venovenous,


ultrafiltrat yang dihasilkan selama melintasi membran digantikan sebagian atau
seluruhnya dengan cairan pengganti yang tepat untuk mencapai bersihan darah dan
mengendalikan volume. Terapi ini diindikasikan untuk uremia atau asidosis berat atau
ketidakseimbangan elektrolit dengan atau tanpa kelebihan cairan. Konveksi dan
ultrafiltrasi digunakan untuk mengeluarkan sisa pembuangan.

Continuous Venovenous Hemodialysa3,4,6

Pada teknik continuous venovenous hemodialysa (CVVHD), difusi dan


ultrafiltrasi digunakan untuk mengeluarkan sisa metabolisme. Cairan yang digunakan
dikenal sebagai cairan dialisat, yaitu cairan kristaloid yang berisi elektrolit, glukosa, dan
buffer. CVVHD serupa dengan hemodialisis dan efektif mengeluarkan substansi dengan
berat molekul berukuran kecil sampai sedang.

Continuous Venovenous Hemodiafiltration3,4,6

Pada continuous venovenous hemodiafiltration (CVVHDF) digunakan difusi,


konveksi dan ultrafiltrasi untuk mengeluarkan sisa metabolisme dan air. Tujuan terapi
konveksi untuk berat molekul berukuran sedang dan terapi difusi untuk mengeluarkan
substansi dengan berat molekul kecil. Cairan pengganti dapat diberikan pre-dilusi atau
pre-filter yang akan mengurangi bekuan filter dan dapat diberikan pada laju yang lebih
cepat dari cairan pengganti yang diberikan post-filter. Laju cairan pengganti adalah .000-
2.000 mL/jam. Laju yang lambat tidak akan efektif untuk pengeluaran solute secara

7
konveksi

Slow Low-efficiency daily dialysis (SLEDD) dan Slow Low-efficiency daily


diafiltration (SLEDD-f)

Teknik ini cukup popular dalam RRT, menyerupai teknik IHD untuk
menghasilkan solute yang sama tetapi dilakukan lebih lama, yaitu sekitar 8 jam per hari.
Hemodinamik selama tindakan lebih stabil dengan harga yang lebih murah dari tipe
CRRT yang lain. Pada beberapa penelitian disebutkan bahwa CRRT lebih unggul untuk
mengatasi AKI di ICU, dibandingkan dengan SLEDD oleh karena lebih banyak konveksi
yang dapat dilakukan. Hal ini menyebabkan dikembangkannya teknik baru yaitu SLEDD-
f yaitu melakukan hemodiafiltrasi seperti CVVHDF yaitu melakukan bersihan molekul
kecil dan sedang, tetapi dilakukan dalam waktu seperti SLEDD sehingga harganya juga
lebih murah dibandingkan CRRT.8

CRRT KONVENSIONAL

Beberapa data yang menetapkan bersihan kon- veksi lebih baik bila dibandingkan
dengan bersihan difusi. Substansi dengan berat molekul sedang (peptida) dan berat
molekul besar seperti vankomisin lebih baik dikeluarkan secara konveksi. Beberapa
molekul yang berimplikasi pada sepsis dan disfungsi organ multipel dikategorikan dalam
berat molekul sedang, dan terapi konveksi lebih bermanfaat dalam terapi adjuvant pada
syok septik. Kellum dkk menunjukkan bahwa meskipun CVVH lebih baik dibandingkan
CVVHD dalam menurunkan TNF plasma, ternyata tipe bersihan ini tidak mempengaruhi
konsentrasi plasma IL-6, IL- 0, L-selectin atau endotoksin.9

High-volume Hemofiltration

Adanya pembatasan pada disain pompa, laju aliran selama CRRT secara
tradisional di Amerika direstriksi sampai 2 L/jam atau kurang. Akan tetapi Ronco dkk
melaporkan CRRT dengan dosis yang lebih tinggi (35ml/kg/min) memberikan survival
yang lebih tinggi pada pasien AKI dibandingkan dengan dosis konvensional
(20ml/kg/min). Peningkatan dosis lebih tinggi (45ml/kg/min) tidak banyak membantu.
Ultrafiltrasi dengan dosis 35 ml/kg/min meningkatkan angka survival dari 40% menjadi
57% dibandingkan dengan dosis 20ml/kg/min.6

Coupled Plasma Filtrastion Adsorbtion

Teknik spesifik lainnya yang ditargetkan untuk mengeliminasi mediator sepsis


pada pasien kritis adalah coupled plasma filtration adsorbtion (CPFA). Teknik ini

8
memisahkan plasma dari darah dengan menggunakan filter plasma dan kemudian plasma
yang disaring melalui suatu cartridge resin sintetik masuk kembali ke dalam darah. Filter
kedua dapat ditambahkan untuk mengeluarkan cairan yang berlebihan dan sisa
metabolisme dengan berat molekul kecil.

Penggunaan membran yang lebih terbuka (plasma filter) berpasangan dengan


adsorpsi akan meningkatkan kapasitas sistem adsoprsi dan mencapai bersihan mediator
inflamasi nonspesifik lebih tinggi. Pengeluaran mediator proinflamasi dan antiinflamasi
yang bermakna dan survival dicapai dengan menggunakan teknik tersebut telah terbukti
pada model sepsis pada hewan. Ronco dkk menunjukkan pentingnya keuntungan
psikologik (hemodinamik stabil dan respons monosit) dengan menggunakan teknik ini
pada pasien sepsis. Adsorpsi yang bekerja luas memiliki keuntungan yang bermakna
melebihi hemofiltrasi dan lebih sederhana diaplikasikan daripada plasmaferesis.10

Ada banyak faktor yang perlu diperhatikan yang mempengaruhi bersihan atau
clearance OBAT pada CVVHD. Faktor-faktor tersebut mencakup*:

Faktor Obat dan Dialisat Faktor Dialisat Karakteristik Pasien

Berat molekuk obat Luas area filter dialisis Berat badan/tinggi badan
pasien

Lipofilisitas Aliran darah yang mengalir Lokasi dan keparahan dari


melalui filter infeksi

Ikatan protein Laju ultrafiltrasi MIC patogen

Volume Distribusi Laju dialisat Fungsi ginjal residual

PK/PD antimikroba Adsorpsi obat terhadap Kadar albumin


filter

Adsorpsi obat terhadap Respon klinis pasien


filter terhadap regimen

* Antimicrobial Dosing Recommendations-University of Pennsylvania Health System Department of


Pharmacy Created: 1/2015


9
Rekomendasi dosis didasarkan dari pendapat klinis, erutama bila referensi yang
tersedia terbatas atau sudah ketinggalan jaman. Obat yang dapat digunakan dalam dialisis
terutama ditentukan oleh sifat fisikokimia dan karakteristik dari obat tersebut. Sifat-sifat
ini termasuk ukuran molekul, ikatan protein, volume distribusi, kelarutan dalam air,
bersihan plasma/plasma clearance. Selain dari sifat-sifat obat tadi, aspek teknis dari
prosedur dialisis juga dapat menentukan sejauh mana obat dapat dikeluarkan melalui
dialisis.11

II.3. Sifat-sifat obat yang mempengaruhi kemampuannya dalam proses dialisis11


1. berat Molekul
salah satu prediktor yang paling dapat dipercaya dalam menentukan kemampuan
suatu obat dapat proses dialisis adalah berat molekul. Dialisis tergantung dari
membran dialisis yang digunakan, misal: membran sintetis dengan ukuran pori
tertentu, seperti pada hemodialisis. Pergerakan dari obat-obatan atau zat terlarut
sebagian besar ditentukan oleh ukuran molekul yang berkaitan dengan ukuran
pori dari membran dialisis. Zat dengan berat molekul yang lebih kecil dari ukuran
pori membran dialisis akan lebih mudah melewati membran dialisis
dibandingkan dengan zat dengan berat molekukl yang lebih besar. Obat-obatan
dengan berat molekul sekitar 1.000 dalton tidak terlalu bergantung pada difusi
tetapi lebih bergantung pada bersihan dialisis yang konvensional. Hemodiafiltrasi
tidak berbeda dengan dialisis konvensional dalam bersihan /clearance dari zat
dengan berat molekul <500 dalton. Namun, hemodiafiltrasi dapat melakukan
bersihan zat dengan berat molekul sedang (500 hingga 5.000 dalton) lebih banyak
10% dibandingkan dengan dialisis konvensional, dan melakukan bersihan zat
bermolekul besar (>5.000 dalton) mencapai 24% lebih tinggi dibandingkan
dengan dialisis konvensional. Jika sebuah obat tidak dapat melalui membran
dialisis hal ini disebabkan karena proporsinya yang geometris, maka tidak dapat
dibersihkan dengan dialisis. Istilah ukuran molekuler digunakan untuk
menunjukkan hubungan berat molekul, volume, bentuk, muatan, dan ketahanan
sterik terhadap kemampuan molekuler untuk menembus pori-pori membran.
Asumsi yang umum adalah bahwa ukuran pori membran peritoneal agak lebih
besa daripada membran hemodialisa.
2. Ikatan protein
Faktor penting lain yang menentukan kemapuan suatu zat dapat didialisis adalah
gradien konsentrasi obat bebas melintasi membran dialisis. Fraksi terikat dan tak
terikat dari total obat berada dalam kesetimbangan konstan. Jika obat terikat ketat

10
protein, maka fluks antara obat terikat dan tidak terikat terjadi lebih lambat. Obat
tak terikat adalah bentuk aktif secara farmakologis, karena dapat didistribusikan
secara cuma-cuma k reseptor jaringan yang ditargetkan, organ yang
mengaktifkan metabolik (mis., Hati), atau bagian ekskretori (mis., Ginjal atau
dialyzer). Kondisi tertentu dari uremia dapat menghambat atau meningkatkan
pengikatan protein. Malnutrisi dan proteinuria menurunkan kadar protein serum,
sehingga meningkatkan fraksi obat yang bebas karena berkurangnya protein dari
tempat pengikatan protein yang ada. Akibatnya, pembersihan dialisis meningkat
dan kemungkinan toksisitas obat meningkat.
3. Ikatan terhadap sel darah merah
Berkaitan dengan kompartementalisasi jaringan adalah fenomena masuknya atau
terikatnya obat ke dalam sel darah merah. Marbury et.al mengemukakan
kekhawatiran karena ultrafiltrasi selama dialisis akan meningkatkan hematokrit
dan dapat mempersulit penetuan bersihan obat intradialisis.
4. Volume distribusi
Volume distribusi (Vd) adalah volume yang ditentukan secara matematis yang
mewakili tingkat penyaluran obat ke dalam jaringan tubuh. Obat dengan Vd yang
besar misal digoksin dapat didistribusikan secara luas ke seluruh jaringan dan
terdapat dalam jumlah yang relatif kecil di dalam darah. Obat dengan Vd yang
besar kemungkinan akan sedikit didialisis, meskipun terjadi pembersihan
ekstraseluler yang cepat dengan jenis dialisis jangka pendek, kesetimbangan
intraseluler dengan cairan ekstraseluler bisa lambat, terutama dengan zat antara
berat molekul yang menengah ke besar.
5. Kelarutan air
Dialisat yang digunakan untuk hemodialisis atau dialisis peritoneal adalah larutan
berair. Secara umum, obat-obatan dengan kelarutan yang tinggi di dalam air akan
di dialisis sampai batas yang lebih tinggi daripada obat yang memilik kelarutan
dalam lemak yang tinggi.
6. Clearance plasma
Pada pasien dialisis, pembersihan ginjal sebagian besar diganti dengan
pembersihan dialisat.
7. Eliminasi
Organ utama eliminasi obat adalah hati dan ginjal, kulit, saluran cerna dan paru
juga termasuk dalam organ eliminasi. Dialisis dapat berperan penting dalam
eliminasi obat untuk individu dengan gagal ginjal stadium akhir. Jika rute

11
eliminasi alternatif tidak tersedia untuk bersihan obat, maka obat dan
metabolitnya akan menumpuk. Dengan demikian, jumlah obat yang diberikan
dan/atau frekuensi dosis harus dipertimbangkan.
8. Bioavailabilitas
bioavailabilitas didefinisikan sebagai fraksi dari pemberian obat yang mencapai
aliran darah, bioavailabilitas tergantung dari kelengkapan dan laju absorpsi.
Teknik pemberian obat juga mempengaruhi berapa lama obat dapat mencapai
bioavailabilitas. Absorpsi obat dipengaruhi oleh karakter membran yang harus
dilalui untuk mencapai sirkulasi, aliran darah pada tempat absorpsi, luas area
absorpsi, dan waktu kontak antara obat dan daerah serapan. Selain itu sifat
fisikokimia obat seperti ukuran molekul dan kelarutan obat dalam lipid akan
mempengaruhi absorpsi obat, terutama setelah pemberian oral. Hemodialisis
secara tidak langsung dapat mengubah absorpsi atau bioavailabilitas. Dialisis
dapat menurunkan kadar urea dan sedikit dapat mengurangi kebutuhan pengikat
fosfat, yang dapat meningkatkan penyerapan beberapa obat. Di sisi lain, hipotensi
yang terkait dengan dialisis dapat mengganggu aliran darah mesenterika dan
dapat menyebabkan malabsorpsi. Pengeluaran racun uremik dapat
mengakibatkan tempat pengikatan protein lebih banyak tersedia, sehingga
meningkatkan fraksi obat yang terikat pada protein, dan hal ini dapat
mempengaruhi metabolisme obat.
II.4. Sifat-sifat dialisis yang mempengaruhi bersihan obat11
Karakteristik membran dialisis yang mempengaruhi bersihan obat dapat dibagi
menjadi lima kategori yaitu: bahan dari membran, luas permukaan, interaksi antara
membran dan obat, pengikat membran-obat, dan penggunaan kembali dialisis.
1. Bahan membran
Membran dialyzer dibuat dari berbagai polimer alami dan sintetis: selulosa,
selulosa asetat, polisulfon, poliamida, poliakrilonitril, dan polimetrikolrilat.
Perhatian atas kemungkina racun dengan berat molekul yang lebih tinggi telah
menyebabkan perkembangan membran dengan berbagai permeabilitas zat
terlarut. Perkembangan ini telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir
dengan tersedianya peralatan dialisis yang mampu mengendalikan pengangkatan
cairan. Dengan membran polysulfone,sisa kandungan albumin bisa terjadi pada
dialisat. Pembersihan vankomisin bervariasi dengan membran berbeda. AN69
dan membran polysulfone memiliki clearance terbesar, sedangkan cuprophane
memiliki clearance minimal obat ini di bawah kondisi hemodialisis sim-16.

12
2. Luas permukaan
Pengeluaran zat-zat kecil yang terlarut tergantung dari derajat konsentrasi antara
darah dan dialisat. Gradien ini dapat dimaksimalkan dengan menaikkan laju alir
dan / atau dengan meningkatkan luas permukaan, prinsip ini berlaku untuk
dialisis aliran tinggi atau efisiensi tinggi. Seiring bertambahnya ukuran molekul
dan difusivitas semakin berkurang dengan ukuran pori membran, clearance
molekul menjadi lebih bergantung pada konveksi. Kemampuan permeabilitas
hidrolik dari membran fluks tinggi melebihi membran konvensional, sehingga
meningkatkan jarak konvektif dari molekul yang lebih besar ini. Bila limabilitas
permeabilitas hidrolik tercapai, luas permukaan yang lebih besar menjadi faktor
yang paling mempengaruhi tingkat konveksi konvektif total.
3. Interaksi obat-membran dan pengikat membran
Kemungkinan untuk bersihan gentamisin yang menurun dapat melibatkan
adsorpsi obat pada membran dialisis. Pengikatan selaput lendir juga telah terjadi
karena tidak adanya protein dalam kondisi eksperimental dari metode
hemofiltrasi yang terus menerus.
4. Penggunaan kembali dialyzer
Penggunaan kembali dialyzer dapat mempengaruhi bersihan dengan mengurangi
volume bundle (berkurangnya luas permukaan), dengan perubahan pada sifat
membran yang berbeda, atau dengan hilangnya permeabilitas hidraulik.
5. Aliran darah dan aliran dialisat
Karena obat-obatan biasanya berpindah dari darah ke dialisat, laju aliran kedua
sub-tahap ini mungkin memiliki efek yang jelas pada dialyzabilitas. Secara
umum, peningkatan laju alir darah selama hemodialisis akan memungkinkan
jumlah obat yang lebih banyak dikirim ke membran dialisis. Karena konsentrasi
obat meningkat pada dialisat, laju alir larutan dialisis juga menjadi penting dalam
bersihan obat secara keseluruhan. Dialisis yang lebih besar dapat dicapai dengan
laju aliran dialisat yang lebih cepat yang menjaga konsentrasi obat dialy-sate
seminimal mungkin.

13
II.5. Dampak CRRT terhadap Karakteristik Farmakologi dan Penyesuaian Dosis
Antimikroba12
CRRT memiliki efek pada farmakokinetik antimikroba dengan beberapa variabel
yang dapat mempengaruhi pemberian obat. Faktor-faktor yang mengatur tingkat bersihan
obat dari sistem ekstrakorporeal dapat diklasifikasikan secara luas menjadi dua kategori
utama yaitu:
1. Faktor Farmakologi dari Antimikroba
Berat Molekul
Sebagian besar antimikroba memiliki berat molekul (BM) sampai dengan 500
dalton. Umumnya, lebih mudah untuk obat dengan molekul yang lebih kecil
(BM<500 dalton) untuk melewati membran dan dikeluarkan. Tetapi, obat-obatan
dengan molekul yang besar, seperti vankomisin (BM=1448 dalton), dapat dengan
mudah melewati membran fluks yang tinggi. Hanya cuprophane dan bebrapa
membran yang berbasis selulosa dengan pori-pori yang kecil yang dapat
menghalangi filtrasi secara signifikan obat-obatan yang tidak terikat.
Volume Distribusi
Pengeluaran zat dengan volume distribusi yang besar oleh CRRT sangat minim
walaupum ada bersihan yang efisien karena sebagian kecil jumlah obat ada di
dalam sirkulasi sistemik tubuh. Karena kandungan tota air dalam tubuh sekitar
67% dari berat badan, obat akan didistribusikan dengan baik di semua
kompartemen cairan akan memiliki volume distribusi mendekati 0,7L/Kg.
sehingga setiap obat dengan Vd >0,8L/Kg kemungkinan besar akan berikatan
dengan jaringan, oleh karena itu, pembersihan obat tersebut tidak akan efisien
dengan CRRT.
Ikatan Protein Plasma
Hanya obat yang tidak terikat yang terdapat dalam plasma yang secara
farmakologis aktif dan dapat dikeluarkan dengan proses ekstraperitoneal. Oleh
karena itu antimikroba dengan tingkat ikatan protein plasma yang tinggi (>80%)
akan dibersihkan/dikeluarkan secara tidak sempurna oleh CRRT.
Bersihan Ekstrakorporeal Fraksional
Bersihan totsl tubuh terhadap antimikroba adalah jumlah dari bersihan yang
berbeda dari berbagai organ, meliputi jalur eliminasi hati, ginjal dan metabolisme
lainna serta terapi ekstrakorporeal. Tetapi eliminasi ekstrakorporeal hanya
dianggap penting secara signifikan jika berkontribusi terhadap bersihan total

14
tubuh lebih dari 25-30%. Hal ini menjelaskan mengapa eliminasi ekstrakorporeal
tidak relevan secara klinis untuk obat-obatan yang diekskresikan tanpa melalui
jalur eliminasi ginjal. Perlu ditentakankan bahwa eliminasi ekstrakorporeal hanya
menggantikan filtrasi glomerulus. Namun, bersihan obat di ginjal meliputi filtrasi
di glomerulus, sekresi tubulus dan reabsorpsi. Oleh karena itu, setiap usaha untuk
menentukan klirens kreatinin ekstrakorporeal harus menggunakan pedoman dosis
yang sama seperti pada pasien dengan fungsi ginjal yang sudah menurun tidak
dapat direkomendasikan, terutama untuk obat-obatan yang sebagian bear
diekskresikan dengan sekresi tubular.
2. Faktor Teknik dari Ekstrakorporeal dalam Pemurniaan darah
Membran12
Luas permukaan dan ukuran pori-pori membran dialisis atau hemofilter dianggap
sebagai dua faktor penting yang menentukan tingkat bersihan obat. Secara umum,
ukuran pori membran dialisis konvernsional terdiri dari zat alami (selulosa atau
cuprophane) relatif kecil, yang memungkinkan pengeluaran dari cairan dan zat
terlarut kecil (<500 dalton) saja. Selaput dialisis tinggi biasanya terdiri dari bahan
biosintesis (polisulfon, poliakrilonitril, poliamida) dengan ukuran pori yang
relatif besar (5.000 – 20.000 dalton). Ukuran pori yang lebih besar lagi digunakan
pada hemofilter (20.000 – 50.000 dalton)
Difusi (hemodialisis)
Efisiensi dari bersihan zat terlarut berdasarkan difusi dalam hemodialisis
ditentukan oleh gradien konsentrasi disamping porositas dan luas permukaan
membran dialisis. Dibandingkan dengan konveksi clearance, clearance difusi
akan menurun saat berat molekul dari suatu zat meningkat. Karena permeabilitas
difusi yang lebih rendah sehingga berat molekul berpengaruh besar pada
clearance difusi dengan membran dialisis konvensional dibandingkan dengan
membran sintetis yang digunakan pada CRRT
Konveksi (hemofiltrasi)
Pengeluaran zat terlarut konveksi yang digunakan pada hemofiltrasi tidak
dipengaruhi oleh berat molekul. Hemofiltrasi kontinu biasanya menggunakan
membran yang sangat baik, dengan niali cut-off yang tinggi (20.000 – 50.000
dalton), sehingga mikrofil mikroba hanya sedikit dampak pada bersihan obat
dengan hemofiltrasi.

15
Kombinasi antara Difusi dan Konveksi (hemodiafiltrasi)
Dalam hemodiafiltrasi, perhitungan pemberian obat selama terapi kombinasi ini
sangat sulit. Pemberian obat dengan CVVHDF dalam post dilusi dapat
diperkirakan dengan menghitung clearance konveksi dan clearance disufi.
Membran Absorpsi
Adsorpsi untuk membram penyaring menyebabkan meningkatnya pengeluaran
obat dari plasma dan berbagai filter memiliki kemampuan yang berbeda. Bebrapa
membran dialisis, seperti poliakrilonitril dapat menyerap sejumlah obat ke
permukaannya. Meskipun penyesuaian dosis tidak memperhitungkan efek
adsorpsi, penggunaan membran penyerap obat untuk CRRT biasanya tidak
dianjurkan.
II.6. Penyesuaian Rejimen Obat12
Pada pasien dengan gagal gainjal yang menggunakan CRRT, kurangnya dosis
obat dapat menyebabkan terapi menjadi tidak adekuat, sementara overdosis dapat
menyebabkna toksisitas. Penyesuaian dosis obat selama CRRT dapat dipandu dengan
menggunakan rekomendasi dosis obat yang sudah tersedia, dengan mengukur atau
memperkirakan pemberian obat atau dengan memantau konsentrasi serum obat pada
pasien dengan CRRT.
Rekomendasi dosis obat yang tersedia
Rekomendasi dosis obat untuk pasien dengan gagal ginjal akut dengan CRRT
tidak mengikuti kemajuan dari teknologi CRRT dan perkembangan yang cepat dari
antimikroba yang lebih baru. Namun terdapat beberapa rekomendasi yang merangkum
karakteristik farmakokinetik dan rekomdasi pemberian dosis untuk antimikroba yang
paling umum digunakan pada pasien kritis yang menjalani CRRT (Tabel 1).

16
Tabel 1. Penyesuaian dosis antimikroba pada pasien dengan gagal ginjal akut yang
melakukan CRRT12

17
Tabel 1. (cont.)

18
Tabel 1. (Cont.)

19
Tabel 1. (Cont.)

Terapi antimikroba yang tepat tetap penting dalam mengurangi tingkat


morbiditas dan mortalitas yang tinggi di ICU. Data ayang cukup banyak tersedia untuk
menunjukkan bahwa sepsis, gagal ginjal akut, dan CRRT masing-masing meiliki efek
mendalam pada karakteristik farmakokinetik dan farmakodinamik dari berbagai agen
yang umum digunakan di ICU.12
Vankomisin1
Waktu paruh dari vankomisin akan meningkat secara signifikan pada pasien
dengan insufisiensi ginjal. Vankomisin adalah antibiotik dengan berat molekul
menengah, dan meskipun zat dengan ukuran ini dapat dikeluarkan dengan baik oleh
hemidalisis intermiten, CRRT lebih baik terhadap pasien dengan hemodinamik yang
tidak stabil dan dapat mengeluarkan obat ini dalam waktu 25 – 48 jam. Karena waktu
paruh yang berkepanjangan, waktu untuk mencapai stady state juga akan berkepanjangan.
Oleh karena itu, dosis pemuatan vankomisin adalah 15-20 mg /kg. Dosis pemeliharaan
vankomisin untuk pasien yang menerima CVVH bervariasi dari 500 mg per 24 jam

20
sampai 1500 mg per 48 jam. Bagi pasien yang menerima CVVHD atau CVVHDF, kami
merekomendasikan dosis pemeliharaan vankomisin 1-1,5 g per 24 jam. Pemantauan
konsentrasi plasma dan penyesuaian dosis selanjutnya direkomendasikan untuk mencapai
konsentrasi yang diinginkan. Konsentrasi palma 5-10 mg / L cukup untuk infeksi dimana
penetrasi obat optimal, seperti infeksi kulit dan jaringan lunak atau bakteriemia ringan.
Namun, konsentrasi yang lebih tinggi (10-15 mg / L) diindikasikan untuk infeksi dimana
penetrasi bergantung pada difusi pasif obat ke dalam bagian tubuh avaskular, seperti
osteomielitis, endokarditis, atau meningitis. Pedoman terbaru juga merekomendasikan
konsentrasi yang lebih tinggi (15-20 mg / L) dalam pengobatan pneumonia terkait
perawatan kesehatan, karena penetrasi vankomisin yang tidak optimal ke dalam jaringan
paru-paru.
Linezolid1
Lima puluh persen dari dosis linezolid dimetabolisme di hati menjadi metabolit
yang tidak aktif, dan 30% dosis dikeluarkan dalam urin sebagai obat yang tidak berubah.
Tidak ada penyesuaian yang direkomendasikan untuk pasien dengan gagal ginjal;
Namun, clearance linezolid meningkat sebesar 80% selama hemodialisis intermiten.
Hanya ada sedikit data tentang clearance linezolid selama CRRT.
 - Laktam1
Karbapenem1
Imipenem dimetabolisme pada brush border renal oleh enzim dehydropeptidase-
I, yang dihambat oleh cilastatin. Tujuh puluh persen dosis imipenem diekskresikan tidak
berubah dalam urin saat diberikan sebagai kombinasi dosis tetap dengan cilastatin.
Imipenem dan cilastatin memiliki sifat farmakokinetik serupa pada pasien dengan fungsi
ginjal normal; Namun, kedua obat tersebut menumpuk pada pasien dengan insufisiensi
ginjal. Cilastatin dapat terakumulasi sampai batas yang lebih tinggi, karena pembersihan
cilastatin nonrenal menyumbang persentase yang lebih rendah dari pembersihan totalnya,
dibandingkan dengan imipenem. Untuk mempertahankan konsentrasi imipenem sebesar ~
2 mg / L selama CRRT, dosis 250 mg per 6 jam atau 500 mg per 8 jam
direkomendasikan. Dosis yang lebih tinggi (500 mg/6 jam) dapat dibenarkan jika terjadi
resistensi relatif terhadap imipenem (MIC, 4mg/L). Cilastatin juga terakumulasi pada
pasien dengan disfungsi hati, dan peningkatan interval pemberian dosis mungkin
diperlukan untuk menghindari kemungkinan adanya efek samping yang tidak diketahui.
Berbeda dengan imipenem, meropenem tidak memerlukan a-dehidropeptidase inhibitor.
MIC meropenem untuk bakteri yang rentan adalah 4mg/L. Dari 3 kombinasi b-laktamase-
inhibitor yang tersedia secara komersial, hanya piperasilin-tazobaktam yang telah

21
dipelajari secara ekstensif pada pasien yang menerima CRRT. Berdasarkan data yang
dipublikasikan, piperacillin dibersihkan oleh semua modalitas CRRT.
Sefalosporin dan Aztreonam1
Cefazolin, sefotaksim, ceftriaxone, ceftazidime, sefepime, dan aztreonam
diselidiki. Dengan pengecualian ceftriaxone, b-lactam ini dikeluarkan dan di ekskresikan
melalui ginjal dan akan terjadi akumulasi pada orang dengan disfungsi ginjal. Karena
tingkat eliminasi berbanding lurus dengan fungsi ginjal, pasien yang memerlukan
hemodialisis intermiten mungkin akan menerima dosis lebih jarang. Dalam beberapa
kasus, dosis 3 kali seminggu setelah hemodialisis cukup. Namun, clearance oleh CRRT
lebih besar untuk sebagian besar agen ini, yang mengharuskan dosis lebih sering untuk
mempertahankan konsentrasi terapeutik lebih besar daripada MIC untuk proporsi interval
pemberian dosis optimal.
Ceftriaxone adalah pengecualian dalam kelompok b-lactams ini, terutama karena
kapasitas pengikat proteinnya yang luas, yang mencegahnya disaring, dan
metabolismenya di hati serta ekskresi pada empedu. Pembersihan Ceftriaxone pada
pasien yang menerima CVVH telah terbukti setara dengan pembersihan pada subyek
dengan fungsi ginjal normal, dan oleh karena itu, tidak ada penyesuaian dosis yang
diperlukan untuk pasien yang menerima CRRT
Sefalosporin dan aztreonam lainnya dibersihkan pada tingkat yang setara dengan
tingkat pembersihan kreatinin 30-50 mL / menit selama CVVHD atau CVVHDF,
sedangkan tingkat clearance oleh CVVH lebih rendah. Jika tujuan pada pasien yang sakit
kritis adalah mempertahankan konsentrasi terapeutik untuk keseluruhan interval
pemberian dosis, dosis normal dan tidak perlu penyesuaian dosis.
Fluorokuinolon1
Ciprofloksasin
Ada bukti bahwa dosis yang dianjurkan produsen untuk ciprofloxacin tidak akan
selalu mencapai target AUC /MIC rasio pada pasien kritis, termasuk mereka yang
menerima CAVHD. Dosis ciprofloxacin 400 mg/hari. direkomendasikan oleh produsen
untuk pasien dengan tingkat pembersihan kreatinin 30 mL / menit. Pada pasien kritis
yang menerima CRRT, dosis 600-800 mg per hari mungkin lebih mungkin mencapai
rasio AUC / MIC optimal, dan untuk organisme dengan MIC ciprofloxacin 1 mg / mL,
dosis standar cenderung tidak mencapai rasio target Selain itu, eskalasi dosis mungkin
diperlukan jika ciprofloxacin adalah satu-satunya antibiotik antibiotik anti gram gram
negatif yang ditentukan, terutama jika patogennya adalah P. aeruginosa.

22
Levofloksasin
Levofloxacin saat diekskresikan sebagian besar tidak berubah dalam urin, dan
penyesuaian dosis yang signifikan diperlukan untuk pasien dengan gagal ginjal.
Hemodialisis intermiten tidak secara efektif menghilangkan levofloksasin, dan oleh
karena itu, dosis tambahan tidak diperlukan setelah hemodialisis, Levofloxacin
dieliminasi oleh CVVH dan CVVHDF. Malone dkk, menemukan bahwa dosis
levofloxacin 250 mg/24 jam memberikan nilai Cmax / MIC dan AUC24 / MIC yang
sebanding dengan nilai yang ditemukan pada pasien dengan fungsi ginjal normal setelah
dosis 500 mg/24 jam. Dosis Levofloxacin 250 mg/24 jam, setelah dosis pemuatan 500
mg, sesuai untuk pasien yang menerima CVVH, CVVHD, atau CVVHDF
Colistin
Polymyxins baru-baru ini muncul kembali sebagai pilihan terapeutik untuk
organisme gram negatif yang multidrug resisten, seperti spesies P. aeruginosa dan
Acinetobacter. Natrium coliorethate adalah formulasi parenteral kolistin dan merupakan
produk yang rekomendasi dosisnya dibuat. Colistin adalah molekul kationik besar dengan
berat molekul 1.750 D, dan terikat erat dengan selaput membran sel dalam jaringan di
seluruh tubuh. 2 sifat ini menunjukkan bahwa dampak CRRT pada eliminasi colistin
minimal. Dosis colistin harus didasarkan pada 2 faktor spesifik pasien berikut: fungsi
ginjal yang mendasarinya dan berat badan ideal. Tidak ada data klinis yang ada pada
dosis kolistin untuk pasien yang menerima CRRT. Berdasarkan pengalaman klinis dan
sifat farmakokinetik colistin, kami merekomendasikan penggunaan kolistin pada dosis
2,5 mg / kg q48h pada pasien yang menjalani CRRT.
Aminoglikosida
Parameter farmakokinetik adalah prediktor penting dari dosis aminoglikosida.
Volume distribusi dapat digunakan untuk memprediksi dosis obat, dan tingkat eliminasi
dapat digunakan untuk memprediksi interval pemberian dosis yang diinginkan. Volume
distribusi dapat secara signifikan lebih besar pada pasien yang sakit kritis dan dapat
menyebabkan konsentrasi sub terapeutik setelah dosis pemuatan awal. CRRT sendiri
dapat berkontribusi pada distribusi yang lebih besar. Namun, CRRT menawarkan
beberapa "kontrol" dalam keadaan dinamis seperti itu, dan jika variabel CRRT
dipertahankan konstan, eliminasi aminoglikosida juga sama konstannya.
Filter yang ada saat ini mampu mengeluarkan aminoglikosida pada tingkat yang
setara dengan tingkat pembersihan kreatinin 10-40 mL/menit. Ini setara dengan waktu
paruh aminoglikosida 6-20 jam. Interval dosis khas dengan aminoglikosida akan menjadi

23
~ 3 masa paruh; Oleh karena itu, interval pemberian dosis khas selama CRRT adalah 18-
60 jam. Memang, kebanyakan pasien yang menjalani CRRT memerlukan waktu 24, 36,
atau 48 jam. Konsentrasi puncak target juga bisa memprediksi interval pemberian dosis.
Jika gentamisin diresepkan untuk bersinergi dalam pengobatan infeksi dengan organisme
gram positif, target puncaknya adalah 3-4 mg/mL. Hanya 2 waktu paruh yang dibutuhkan
untuk mencapai konsentrasi 1 mg/mL. Jika konsentrasi puncak target 8 mg/mL,
dibutuhkan waktu paruh tambahan untuk mendapatkan 1 mg/mL. Oleh karena itu,
semakin tinggi konsentrasi puncak target, semakin lama interval dosis yang dibutuhkan.

Theurapeutic Drug Monitoring13


Dalam tahap perawatan yang lebih lanjut, dosis antibiotik harus dimodifikasi
secara teratur tergantung pada perubahan Vd dan clearance. Perbaikan keadaan klinis
pasien biasanya disertai dengan penurunan Vd dan oleh karena itu diperlukan
pengurangan dosis. Sebaliknya, penurunan status klinis mungkin memerukan peningkatan
dosis.
Dalam keadaan seperti ini, pemantauan konsentrasi obat sangat terbukti
membantu. Namun, dalam praktik klinis saat ini, hanya ada untuk aminoglikosida dan
glikopeptida. Karena antibiotik tersebut memiliki kadar terapeutik obat yang sempit dan
sangat nefrotosisitas, pemantauan kadar serum untuk aminoglikosida dan glikopeptida
pada pasien kritis harus diwajibkan. Biasanya, data diperoleh dari dosis ketiga atau
setelah pemberian dosis dan kemudian diperiksa kembali setelah beberapa hari. Trough
konsentrai perlu diperiksa 30 menit sebelum dosis berikutnya, dan konsentrasi puncak
diperiksa 30 samapai 45 menit setelah invus intravena obat. Konsentrasi aminoglikosida
yang dan konsetrasi serum vankomisin diinginkan untuk infeksi serius ditampilkan pada
Tabel 2. Sedangakan untuk aminoglikosida, konsentrasi serum puncak dan palung sama
pentingnya untuk terapi dan keamanan, pada kasus vankomisin, yang memiliki komponen
dependen waktu yang penting, hanya konsentrasi palung yang diperlukan untuk
pemantauan rutin.
Untuk saat ini monitoring konsentrasi obat tidak tersedia untuk β-laktam,
kelompok antibiotik yang paling umum digunakan pada pasien dengan sakit kritis.
Karena agen ini dapat menyebabkan efek samping yang parah, misalnya komplikasi
neurologis dalam kasus sefepim terutama pada pasien dengan gagal ginjal.

24
Tabel 2. Target konsentrasi serum aminoglikosida dan vankomisin untuk infeksi
yang serius13

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Trotman RL, Williamson JC, Shoemaker DM, et.al. Antibiotics Dosing in


Critically Ill Adult Patients Receiving Continuous Renal Replacement Therapy.
Clinical Infectious Diseases. 2005; 1159 – 1166.

2. Kes P. Continuous renal replacement therapy. Acta Clin Croat. 2000; 39:99- 6.

3. Dirkes S, Hodge K. Continuous renal replacement therapy in adult intensive care


unit. Crit Care Nurs. 2007; 27: 6 -80. 


4. Self-learning Pocket. Principles of continuous renal replacement therapy.


Orlando Regonal Healthcare, Education and Development, 2005. 


5. Bellomo R, Ronco C. Renal replacement therapy in the intensive care unit. Crit
Care Resus. 999; : 3-24. 


6. Chaturvedi M. Continuous renal replacement therapy (CRRT). The Indian


Anaesthetists Forum. Oktober 2004

7. Vanholder R, Van Biesen W, Lamiere N. What Is the renal replacement method


of first choice for intensive care patients? J Am Soc Nephrol. 200 ; 2:S40-3.

8. Bellomo R, Ronco C. Continuous haemofiltration in the intensive care unit. Cri


Care. 2000; 4:339-45.

9. Marshal MR, Galler D, Rankin APN, Willisms AD. Sustained Low-efficiency


Daily Diafiltration (SLEDD-f) for critically ill patients requiring renal
replacement therapy: towards an adequate therapy. Nephrol Dial Transplant.
2004; 9:877-84.

10. Joy MS, Matzke GR, Armstrong DK, Marx MA, Zarowitz BJ. A primer on
continuous renal replacement therapy for critically ill patients. Ann
Pharmacother. 998; 32:362-75.

11. Sefer S, Degoricija V. About Drug Dialyzability. Acta Clin Croat 2003; 42:257 –
267.

12. Kuang d, Ronco C, Adjustment od Antimicrobial Regimen in Critical Ill Patient

26
Undergoing Continuous Repacemnt Renal Therapy. P 593 – 605.

13. Rowinska JM, Malyszko J, et.al. Dosing of antibiotics in critically ill patients: are
we left to wander in the dark?. Pol Arch Med Wewn. 2012; 122(12): 630 – 640.

27

Anda mungkin juga menyukai