Anda di halaman 1dari 10

ETIKA BISNIS

Bisnis, Lingkungan, dan Keberlanjutan (sustainability)


(Moralitas, Uang, dan Mobil)

Nama Dosen Pengampu : Nur Ravita Hanun, SA., AK., M.Acc.


Nama Kelompok 1 : Akuntansi 6 B4
1. Lia Agustina (152010300204)
2. Nira Rinanda Soeprayogie (152010300217)
3. Nur Isma Adhadia (152010300233)
4. Selly Arum Sari (152010300234)
5. Erina Nitami Firdausi (152010300231)

Kelompok 4
PROGRAM STUDI AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI & BISNIS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SIDOARJO
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan salah satu tugas mata kuliah yaitu makalah ETIKA
BISNIS yang berjudul “Moralitas, Uang, dan Mobil”.

Kami berterima kasih kepada dosen pengampu yang telah membimbing kami. Kami juga
berterima kasih kepada teman teman serta orang tua kami yang senantiasa mendukung kami
untuk menyelesaikan makalah ini.

Makalah ini menjelaskan tentang penjelasan dari faktor-faktor lingkungan eksternal,


komponen lingkungan eksternal, dimensi peluang & ancaman eksternal, matriks analisis
lingkungan eksternal yang terdapat didalamnya.

Makalah ini kami susun secara sistematis, teratur dan terstruktur sehingga memudahkan
untuk dipahami teman-teman. Selain memenuhi tugas, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
teman-teman guna memperoleh wawasan dan pengetahuan.

Meskipun kami telah berusaha segenap kemampuan, tapi kami menyadari bahwa makalah
ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran sangat kami harapkan dalam
upaya perbaikan dalam membuat makalah sekarang dan yang akan datang.

Sidoarjo, 22 Mei 2018

Kelompok 4
Bisnis, Lingkungan, dan Keberlanjutan (Sustainability)

Apabila kita memiliki sebuah bisnis, pastilah kita menginginkan agar bisnis kita
bisa sustainableatau berkelanjutan. Namun, sebagian besar dunia ini didominasi oleh pemikiran
jangka pendek, pandangan mengenai banyaknya masalah yang dihadapi manusia sekarang, serta
membiarkan individu atau kelompok melakukan sesuatu tanpa mempertimbangkan konsekuensi
dari perbuatannya di masa mendatang merupakan fakta yang menyedihkan.
Kata ‘berkelanjutan’ memiliki kata ‘hijau’ yang melekat padanya. Kata berkelanjutan
sendiri menggambarkan atau memberikan arti sebuah proses atau tindakan kelanjutan jangka
panjang, menyebabkan atau membiarkan sesuatu berlanjut dalam jangka waktu tertentu, dan
sebuah proses atau tindakan yang membuat sesuatu tetap berjalan atau membuat sesuatu tetap
berjalan. Dari beberpa pengertian diatas dapat disimpulkan dalam konteks bisnis ‘berkelanjutan’
atau sustainability melibatkan proses dan tindakan yang menjaga perusahaan dari waktu ke
waktu.
Secara garis besar, bagaimana sebuah perusahaan dapat berkelanjutan tidak hanya mengenai
hijaunya lingkungan. Memang benar bahwa lingkungan tetap harus menjadi perhatian utama
karena setiap bisnis dan kehidupan membutuhkan sumberdaya yang berasal dari lingkungan.
Namun, keberlanjutan sebuah bisnis selain lingkungan juga mencakup bidang hukum, keuangan,
ekonomi, industri, social, material dan perilaku.
Masing-masing dari aspek ini memiliki bahasa, kebiasaan dan kebudayaannya masing-
masing sehingga berdiri dalam porsi lingkaran berbeda. Tetapi masih memiliki kesamaan, yaitu
pembuangan limbah (waste elimination) dan perpanjangan sumber daya (resource extension)
yang ada. Singkatnya, inti sustainability terdiri dari eliminasi limbah dan perluasan sumber daya.
Dari sudut pandang bisnis, sustainability adalah tentang bagaimana mengurangi biaya sekarang
maupun biaya yang mungkin timbul di masa mendatang, dalam bentuk apapun sehingga dapat
memfasilitasi profitabilitas, daya saing, dan umur bisnis. Pada tahun 1994, konsultan bisnis
Inggris John Elkington Mengkondensasi area ini menjadi tiga kategori dan menyebut mereka
sebagai ‘triple bottom line‘ yaitu People, Planet and Profit. Singkat kata, ketiganya merupakan
pilar yang mengukur nilai kesuksesan suatu perusahaan dengan tiga kriteria, yaitu ekonomi,
sosial, dan lingkungan.
Latar Belakang Masalah

Sering kali para pemerhati lingkungan berargumen bahwa bisnis memiliki tanggung
jawab khusus untuk melindungi lingkungan. Meskipun saya setuju dengan pendapat para
pemerhati lingkungan, pada poin ini, saya tidak setuju dengan mereka, yaitu mengenai dimana
tanggung jawab itu berada. Bisnis tidak memiliki tanggung jawab untuk melindungi lingkungan
melebihi dari apa yang disyaratkan oleh hukum namun, bisnis memang memiliki tanggung jawab
moral untuk tidak turut campur wilayah politik guna mengalahkan atau melemahkan undang-
undang lingkungan. Dalam mengembangkan tesis ini, terdapat beberapa poin yang akan
disebutkan berdasarkan urutan.

Pertama banyak bisnis telah melanggar kewajibanmoral yang penting, dan pelanggaran ini
memiliki dampak yang sangat negative pada lingkungan. Sebagai contoh, perusahaan
pembuangan limbah beracun secara illegal telah membuang bahan-bahan yang berbahaya, dan
dan akibatnya lingkungan menjadi rusak. Kita dapat berargumen bahwa para pembuang racun
yang secara illegal telah membuang bahan-bahan yang berbahaya telah melanggar kewajiban
khusus terhadap lingkungan. Apakah tidak lebih akurat untuk mengatakan bahwa para pembuang
limbah beracun ini telah melanggar kewajiban mereka untuk mematuhi hukum dalam kasus ini
hukum yang telah dilanggar adalah hukum yang berkaitan dengan lingkungan? Bisnis memiliki
tanggung jawab untuk mematuhi hukum baik hukum lingkungan dan hukum lainnya. Karena ada
banyak kasus bisnis yang telah melanggar hukum lingkungan yang dipublikasiskan dengan baik,
mudah untuk berpikir bahwa bisnis telah melanggar kewajiban khusus terhadap lingkungan.
Bahkan, kebanyakan hal yang telah dilakukan oleh bisnis hanyalah melanggar hukum. Para
pemerhati lingkungan tidak membutuhkan kewajiban khusus terhadap lingkungan untuk
melindunginya dari kegiatan bisnis illegal, mereka hanya perlu menegaskan agar bisnis mematuhi
hukum.
Contoh Kasus

Valdez, kapal tanker minyak milik Exxon yang mengalami kebocoran di Alaska. Kapal
tanker itu bocor dan terdampar karena dijalankan oleh awak kapal yang tidak terlatih secara
memadai untuk mengemudikannya sementara sang kapten berada dibawah dek kapal dan mabuk.
Apa yang perlu ditentukan di sini adalah apakah kebijakan dan prosedur Exxon cukup longgar
sehingga dapat dikatakan bahwa secara moral Exxon telah bersalah. Mungkin dapat dinyatakan
bahwa Exxon secara legal bertanggung jawab terhadap kecelakaan tersebut berdasarkan doktrin
respondent superior, tetapi dengan demikian Exxon secara moral tidak bertanggung jawab.
Namun anggaplah bahwa kebijakan Exxon begitu longgar sehingga perusahaan dapat dianggap
lalai secara moral. Dalam kasus ini, perusahaan telah melanggar kewajiban moralnya untuk
bertindak dengan hati-hati dan menghindari kelalaian meskipun kelalainnya menyebabkan
bencana terhadap lingkungan, Exxon tidak melanggar kewajiban khusus terhadap lingkungan.
Kesalahan Exxon adalah kelalaian moral.

William Frankena membedakan kewajiban berdasarkan peringkat dalam kesulitan


pelaksanaannya menghindari kerusakan, mencegah kerusakan, dan melakukan tindakan yang
baik. Persyaratan yang paling ketat adalah menghindari kerusakan, hal ini mendesak karena tidak
seorangpun memiliki hak untuk membuat kerusakan kepada pihak lain kecuali jika ada alasan
moral yang memaksa, dan dapat mengesampingkan larangan tersebut untuk membuat kerusakan.
Beberapa penulis telah menyebut kewajiban ini sebagai minimum moral. Perilaku sebuah
perusahaan konsisten degan minimum moral jika perusahaan tidak menyebabkan kerusakan yang
dapat dihindari bagi pihak lain. Mencegah kerusakan adalah kewajiban yang tidak terlalu ketat,
namun kadang-kadang kewajiban ini mungkin hamper sama katatnya dengan kewajiban untuk
menghindari kerusakan. Bahkan jika kita tidak menekankan bahwa sebuah pelanggaran adalah
pelanggaran terhadap aturan hukum, tindakan mencemarkan danau tidak akan dihitung sebagai
suatu tindakan perusakan berdasarkan definisi ini. Para pemerhati lingkungan merespons bahwa
tindakan itu termasuk perusakan. Mencemari sebuah danau mungkin dapat mencederai orang
yang berenang di danau atau orang yang makan ikan dari danau tersebut. Tentu saja hal ini akan
menghilangkan kebebasan orang-orang untuk menikmati danau tersebut. Meskipun apa yang
dikatakan para pemerhati lingkungan itu benar, terutama jika kita mengesahkan legitimasi dari
hak asasi manusia untuk mendapatkan lingkungan yang bersih, keberhasilan dari tanggapan ini
tidak cukup untuk membangun argument yang umum.

Pertimbangkan kerusakan yang diakibatkan oleh produksi mobil. Kita tahu secara statistic bahwa
sekitar 50.000 orang akan meninggal setiap tahunnya dan hamper 250.000 orang lainnya akan
mengalami cedera serius akibat kecelakaan mobil di Amerika Serikat saja. Kematian dan cedera,
yang juga merupakan kerusakan, sebenarnya dapat dihindari.

Apakah ini berarti bahwa sebuah perusahaan memiliki kewajiban untuk meciptakan mobil
seaman mungkin yang bias dibuatnya ? jawabannya tidak. Standar untuk keselamatan harus
menjaga agar biaya produksi tetap berada dalam kisaran harga yang dapat dijangkau konsumen.
Namun bagi sebuah bisnis, kapabilitas juga merupakan fungsi dari profitabilitas. Sebuah
perusahaan yang menciptakan mobil dengan tingkat keamanan yang maksimal pada biaya yang
menempatkannya pada kerugian kompetitif dan mengancam kelangsungan hidup perusahaan
berarti membangun mobil yang aman yang berada di luar kapabilitas perusahaan.

Ford Motor Company telah membuat pilihan yang salah secara moral ketika meletakkan tangki
bensin mobil Pinto. Para konsumen tidak diberitahu, catatan mengenai tubrukan pada sisi
belakang Pinto lebih buruk dibandingkan pesaingnya, dan Ford telah melanggar peraturan
pemerintah.

Baru-baru ini para pemerhati lingkungan telah menunjukkan bahwa kerusakan lingkungan
disebabkan oleh popok sekali pakai yang digunakan secara luas. Apakah Amerika Serikat
bersedia untuk berhenti menggunakan popok sekali pakai dan beralih kembali pada pemakaian
popok kain dan keranjang popok ? sebagaian besar pengamat mengatakan tidak. Procter &
Gamble tidak melanggar kriteria menghindari kerusakan dengan memproduksi Pampers. Selain
itu, jika public menginginkan popok kain, tentu bisnis akan memproduksinya jika para pemerhati
lingkungan menginginkan bisnis untuk memproduksi produk yang ramah lingkungan, maka
mereka harus meyakinkan orang Amerika untuk membeli produk tersebut. Bisnis akan merespons
pasar. Public yang mengkonsumsi lah yang memiliki kewajiban untuk membuat trade-off antara
biaya dan keutuhan lingkungan.

Setiap orang menyatakan nilai dari preferensinya terhadap produk produk yang tidak ramah
lingkungan terlalu rendah. Oleh karena itu, perusahaan tidak dapat menyimpulkan dari perilaku
pasar bahwa produk yang tidak ramah lingkungan lebih disukai.anggaplah apa yang dikatakan
oelh kritik lingkungan adalan benar, bahwa karakteristik barang public dari produk ramah
lingkungan menciptakan sebuah kegagalan pasar. Bahwa Procter & Gemble harus melakukan
sesuatu terhadap hujan asam. Bahkan dengan mempersempit kewajiban terhadap kerusakan yang
benar-benar ditimbulkan perusahaan, tidak akan memadai untuk menetapkan kewajiban atau
bahan untuk melakukan tindakan melampaui apa yang disyaratkan hukum untuk melindungi
lingkungan. Bahkan untuk kerusakan yang benar-benar disebabkan oleh perusahaan, tingginya
biaya untuk memelihara lingkungan dan tekanan kompetitif dari bisnis membuat tindakan yang
lebih jauh dalam menjaga lingkungan berada di luar kemampuan bisnis.
Contoh Kasus Serupa yang Terjadi di Indonesia

PT Sekar Group perusahaan yang bergerak di bidang pengemasan ikan laut di Sidoarjo,
diprotes warga. Diduga perusahaan itu melakukan pencemaran yang menimbulkan bau busuk
akibat limbah pabrik. Kondisi tersebut membuat warga Tegal Gunung Bluru yang letaknya lebih
dekat pabrik, menuntut kompensasi dari perusahaan tersebut berupa uang serta meminta pabrik
menghentikan pembuangan limbah ke sungai Kali Kemambang. Limbah pabrik pengemasan ikan
laut yang produknya diekspor ke manca negara itu, dibuang ke Kali Kemambang sungai yang
lokasinya di sebalah utara pabrik. Aliran sungai tersebut, mengalir ke timur dan melewati Desa
Bluru dan Desa Kemiri. Informasi yang dihimpun dari warga setempat, pabrik membuang
limbahnya pada malam hari sekitar pukul 19.00 WIB dan kadang menjelang tengah malam
sekitar pukul23.00WIB.
Pencemaran dari limbah pabrik yang menimbulkan bau menyengat dan terlihat seperti busa
sabun, sudah dikeluhkan warga kedua desa tersebut sejak beberapa bulan lalu. Bahkan Komisi C
DPRD sidoarjojugaturuntangan.
Hasilnya, warga Desa Kemiri mendapatkan kompensasi dari PT Sekar Group sebesar Rp 300
juta. Sedangkan warga Desa Bluru yang lokasinya lebih dekat pabrik, sampai saat ini belum
mendapatkan kompensasi.
Kesimpulan & Saran

Selama bisnis mematuhi hukum lingkungan dan menghargai kewajiban moral standar
lainnya, sebagian besar kerusakan lingkungan yang telah dilakukan bisnis dapat diterima oleh
masayarakat. Melalui keputusan mereka di pasar, kita dapat melihat bahwa kebanyakan
konsumen tidak bersedia membayar lebih untuk produk yang lebih ramah lingkungan
dibandingkan produk pesaing yang kurang ramah lingkungan.juga tidak banyak bukti bahwa para
konsumen bersedia memelihara sumber daya alam, melakukan daur ulang, atau membayar pajak
untuk lingkungan.

Anda mungkin juga menyukai